Berkasih Sayang dalam Kemungkaran Berkasih Sayang Dalam Penyimpangan Beragama

3 ”Islam itu engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan sesungguhnya Muhammad itu utusan Allah, engkau mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan dan mengerjakan ibadah haji ke Baitullah jika engkau mampu melakukannya. ” HR Muslim, Shahîh Muslim, juz I, hal. 28, hadits no. 102 Justeru surat al-Anbiyâ21: 107 ini merupakan bantahan telak terhadap gagasan pluralisme agama. Karena ayat ini adalah dalil bahwa semua manusia di muka bumi wajib memeluk agama Islam. Karena Islam itu ‘li al-âlamîn‘, diperuntukkan bagi seluruh manusia di muka bumi. Sebagaimana dijelaskan Ibnu Qayyim al-Jauziyah : “Islam adalah rahmat bagi setiap manusia, namun orang yang beriman menerima rahmat ini dan mendapatkan manfaat di dunia dan di akhirat. Sedangkan orang kafir menolaknya”.

2. Berkasih Sayang dalam Kemungkaran

Sebagian kaum muslimin membiarkan orang-orang meninggalkan shalat, membiarkan pelacuran merajalela, membiarkan wanita membuka aurat mereka di depan umum bahkan membiarkan praktik-praktik kemusyrikan dan enggan menasihati mereka karena khawatir para pelaku maksiat tersinggung hatinya jika dinasihat i, kemudian berkata : “Islam ‘kan’ rahmatan li al- ‘âlamîn , penuh kasih sayang”. Sungguh aneh. Padahal bukanlah demikian tafsir QS al- Anbiyâ’21: 107 ini. Islam sebagai rahmat Allah bukanlah bermakna berbelas kasihan kepada pelaku kemungkaran dan membiarkan mereka dalam kemungkarannya. Sebagaimana dijelaskan ath- Thabari dalam tafsirnya di atas, “Rahmat bagi orang orang yang beriman yaitu Allah memberinya petunjuk dengan sebab diutusnya Rasulullah s.a.w.. Beliau s.a.w. memasukkan orang-orang beriman ke dalam surga dengan iman dan amal mereka terhadap ajaran Allah”. Maka bentuk kasih sayang Allah terhadap orang yang beriman adalah dengan memberi mereka petunjuk untuk menjalankan perintah- perintah Allah dan menjauhi apa yang dilarang oleh Allah, sehingga mereka menggapai jannah surga. Dengan kata lain, jika kita juga merasa cinta dan sayang kepada saudara kita yang melakukan maksiat, sepatutnya kita menasihatinya dan mengingkari maksiat yang dilakukannya dan mengarahkannya untuk melakukan amal shalih kebaikan. Dan sikap rahmat pun diperlukan dalam mengingkari maksiat. Sepatutnya pengingkaran terhadap maksiat mendahulukan sikap lembut dan penuh kasih sayang, bukan mendahulukan sikap kasar dan keras. Rasulullah s.a.w. bersabda: 4 “Tidaklah kelembutan itu ada pada sesuatu, kecuali akan menghiasnya. Tidaklah kelembutan itu hilang dari sesuatu, kecuali akan memerburuknya ” HR Muslim, Shahîh Muslim , VIII22, hadits no. 6767

3. Berkasih Sayang Dalam Penyimpangan Beragama

Adalagi yang menggunakan ayat ini untuk melegalkan berbagai bentuk bid’ah, syirik dan khurafat. Karena mereka menganggap bentuk- bentuk penyimpangan tersebut adalah perbedaan pendapat yang harus ditoleransi sehingga merekapun berkata: “Biarkanlah kami dengan pemahaman kami, jangan mengusik kami, bukankah Islam rahmatan li al- ’âlamîn ?”. Sungguh aneh. Menafsirkan rahmat dalam surat al-Anbiyâ21: 107 dengan kasih sayang dan toleransi terhadap semua pemahaman yang ada pada kaum muslimin, adalah penafsiran yang sangat jauh. Tidak ada ahli tafsir yang menafsirkan demikian. Perpecahan ditubuh umat menjadi bermacam golongan adalah fakta, dan sudah diperingatkan sejak dahulu oleh Nabi Muhammad s.a.w.. Dan orang yang mengatakan semua golongan tersebut itu benar dan semuanya dapat ditoleransi tidak berbeda dengan orang yang mengatakan semua agama sama. Diantara bermacam golongan tersebut tentu ada yang benar dan ada yang salah. Dan kita wajib mengikuti yang benar, yaitu yang sesuai dengan ajaran Nabi s.a.w.. Bahkan Ibnu Qayyim al-Jauziyah mengatakan tentang rahmat dalam Qs al-Anbiyâ21: 107: “Orang yang mengikuti beliau, dapat meraih kemuliaan di dunia dan akhirat sekaligus”. Artinya, Islam adalah bentuk kasih sayang Allah kepada orang yang mengikuti golongan yang benar yaitu: “yang mau mengikuti ajaran Nabi s.a.w. ”. Pernyataan ‘biarkanlah kami dengan pemahaman kami, jangan mengusik kami’ hanya berlaku kepada orang kafir. Sebagaimana dinyatakan dalam QS al-Kâfirûn ’109: 1-6: 5 “Katakanlah: ‘Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. dan kamu tidak pernah pula menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku ‘” Sedangkan kepada sesama muslim, tidak boleh demikian. Bahkan wajib menasihati bila saudaranya terjerumus dalam kesalahan. Yang dinasihati pun sepatutnya lapang menerima nasihat. Bukankah orang-orang beriman itu saling menasihati dalam kebaikan? “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang- orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran ” QS. Al ‘Ashr103: 1–3 Dan menasihati orang yang berbuat menyimpang dalam agama adalah bentuk kasih sayang kepada orang tersebut. Bahkan orang yang mengetahui saudaranya terjerumus ke dalam penyimpangan beragama namun mendiamkan, ia mendapat dosa. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad s.a.w.: “Jika engkau mengetahui adanya sebuah kesalahan dalam agama terjadi dimuka bumi, orang yang melihat langsung lalu mengingkarinya, ia sama seperti orang yang tidak melihat langsung tidak dosa. Orang yang tidak melihat langsung namun ridha terhadap kesalahan tersebut, ia sama seperti orang yang melihat langsung mendapat dosa ” HR Abu Daud, Sunan Abî Dâwud, IV218, hadits no. 4347, dihasankan Al-Albani dalam Shahîh Sunan Abî Dâwud Perselisihan pendapat pun tidak bisa dipukul-rata bahwa semua pendapat bisa ditoleransi. Apakah kita menoleransi sebagian orang sufi yang berpendapat shalat lima waktu itu tidak wajib bagi orang yang mencapai 6 tingkatan tertentu? Atau sebagian orang kejawen yang menganggap shalat itu yang penting ‘ingat Allah’ tanpa harus melakukan shalat? Apakah kita menoleransi pendapat Ahmadiyyah yang mengatakan bahwa berhaji tidak harus ke Makkah? Tentu tidak dapat ditoleransi. Jika semua pendapat orang dapat ditoleransi, hancurlah agama ini. Namun pendapat-pendapat yang berdasarkan dalil shahih, cara berdalil yang benar, menggunakan kaedah para ulama, barulah dapat kita toleransi.

4. Menyepelekan Permasalahan Aqidah