Salah Kaprah Soal Dan Cinta

Salah Kaprah Soal Cinta
Oleh : Jacinta F. Rini
Rabu, 16 November 2011
Immature people falling in love destroy each other's freedom, create a bondage, make a
prison. Mature persons in love help each other to be free; they help each other to destroy
all sorts of bondages. And when love flows with freedom there is beauty. When love flows
with dependence there is ugliness
(OSHO)
Kalimat di atas sengaja di tampilkan untuk menimbulkan kontras dan keterkejutan
terhadap mereka yang selama ini menganggap cinta sebagai benda statik yang akan terus
begitu sepanjang masa, atau sesuatu yang akan di capai ketika menikah. Pengertian ini
telah membawa banyak kekecewaan dalam kehidupan berpasangan maupun berkeluarga.
Salah satu penelitian yang dimuat dalam berita online memperlihatkan tahun 2010 angka
perceraian mencapai rekor tertinggi selama 5 tahun terakhir yakni 285.184 (sumber :
Direktur Jenderal Badilag MA, Agung Wahyu Widiana). Berbagai alasan yang
melatarbelakangi perceraian, mulai dari faktor cemburu, masalah ekonomi,
ketidakharmonisan hingga masalah politik yang rupanya kian turut berkontribusi dalam
menceraiberaikan perkawinan.
Selain itu, jumlah kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di Indonesia dari tahun
ke tahun juga semakin meningkat, terlihat dari laporan dari berbagai daerah di Indonesia,
masing-masing menunjukkan peningkatan signifikan. Misalnya, Kepala Badan

Pemberdayaan Perlindungan Perempuan Anak dan Keluarga Berencana (BP3AKB)
Jateng Soelaimah mengatakan, kasus kekerasan di 35 kabupaten/kota di tahun 2010
mencapai 2.829 dan hingga semester I/2011 tercatat 1.234 kasus. Di wilayah lain seperti
Tegal, Tuban, Makassar, Papua, bahkan Jakarta, tingkat KDRT juga terbilang tinggi.
Beberapa alasan yang melatarbelakangi adalah faktor ekonomi, minuman keras,
rendahnya tingkat pendidikan serta faktor usia dini. Menurut laporan PLAN, 44% kasus
KDRT dengan frekuensi tinggi, dialami wanita yang menikah di usia dini, sementara 56%
perempuan mengalami KDRT dalam frekuensi rendah; dan laporan tersebut
mengindikasikan banyaknya perkawinan anak (13 - 18 tahun). Faktor tradisi, masalah
social - ekonomi, perilaku seksual dan kehamilan yang tidak dikehendaki, rendahnya
pengetahuan tentang reproduksi, rendahnya pendidikan orangtua serta lemahnya
penegakkan hukum menjadi persoalan yang memicu terjadinya perkawinan usia dini.
Pertanyaannya, apa sebenarnya yang terjadi ketika mengawali sebuah hubungan ?
apakah hubungan yang dilandasi oleh cinta sudah pasti akan abadi ? Apakah hubungan
yang tidak abadi karena tidak ada cinta ? pertanyaan semacam ini kerap muncul dalam
pemikiran maupun asumsi-asumsi. Marilah kita telaah bersama.
Ada beberapa jenis cinta di dalam berbagai versi dan definisi para pakarnya yang dapat di
unduh maupun di pelajari lewat berbagai buku. Oleh karenanya, dalam artikel ini kita tidak
akan membahas jenis cinta, maupun manifestasinya, namun akan membatasi
pembahasan pada persoalan problem perkawinan.

It needs love to make to make two become one
Kalimat di atas bisa benar, tapi bisa pula keliru jika mengartikannya secara sempit dan
dangkal. Sebab, makna cinta tidak berhenti pada rasa senang terhadap sesuatu,
seseorang maupun lawan jenis (pacar, calon suami atau calon istri). CS. Lewis
mengkategorikan perasaan "senang dan suka" di tingkat terbawah dari derajat intensitas
cinta; rasa senang dan suka ini muncul karena di antara kedua pihak ada kesamaan,

sama-sama senang nonton bioskop, menyukai group musik yang sama, mempunyai
tempat makan favorit yang sama, sedang menyukai kegiatan yang sama, entah itu
demonstrasi atau sama-sama ikut menjadi pendukung sebuah gerakan. Kekuatan dan
durasi perasaan suka ini sangat lemah karena sifatnya yang situasional dan temporer; dan
hubungan yang terbentuk atas dasar perasaan suka ini pun rentan persoalan karena tidak
punya fondasi yang kuat. Sementara, banyak orang yang mengambil keputusan untuk
menikah atas dasar kuantitas kesamaan, karena rasionalitas kedua pihak terhalang oleh
emosi jiwa serta fantasi fairy tale "happily ever after".
Selama ini banyak orang umumnya menganggap cinta adalah sebuah produk pabrikan
dan bersifat one for all. Ketika diantara kedua manusia ada cinta, maka semua persoalan
selesai atau akan selesai. Sayangnya banyak pula yang lupa bahwa definisi cinta yang
digunakan sebagai acuan penilaian kualitas dan masa depan hubungan, adalah perasaan
"suka dan senang". Bagi Scott Peck dalam bukunya The Roadless Travelled, cinta

bukanlah perasaan, melainkan tindakan nyata "The will to extend one's self for the
purpose of nurturing one's own or another's spiritual growth". Motivasi dan tindakan untuk
membuat diri sendiri dan orang lain yang "dicintai" bertumbuh, menjadi pribadi yang punya
identitas sejati, dan menggenapi panggilan hidupnya, itulah yang dinamakan cinta. Dan
karena itulah, cinta tidak mungkin bersifat mengekang, menjajah, menindas, membatasi,
memanipulasi, menghilangkan kemerdekaan apalagi menghilangkan kemanusiaan orang
yang dicintai. "It is about giving the other person what they need to grow".
Kedewasaan Pribadi, Kedewasaan Cinta
Dari definsi cinta Scott Peck terlihat bahwa orang yang bisa mencintai, tentunya bukan
orang yang masih terjebak dalam egosentrisme dan egoisme namun sudah mampu
berkeinginan dan berbuat untuk orang lain. Apabila orang menyatakan cinta, namun dalam
tindakan sehari-hari, banyak menuntut, mengekang, melarang, memenjarakan
kemanusiaan pasangan, maka itu bukanlah cinta, namun conditioning/pengkondisian agar
orang memenuhi kebutuhannya, entah itu kebutuhan fisik (makan, minum, sexual, dsb)
maupun psikologis (ingin di perhatikan, diakui, dikagumi, di puja, dsb). Di sini lah banyak
terjadi kesalahkaprahan, ketika pasangan bersikap nrimo, diam saja bahkan semakin takut
dan taat serta semakin "menderita demi cinta". Kesalahkaprahan ini membuat banyak
penderitaan panjang terutama di sisi wanita (ada pula pria), tidak hanya menghancurkan
perkawinan itu sendiri, namun menghancurkan pula jiwa-jiwa dan setiap pribadi yang ada
di dalamnya, seperti dirinya sendiri serta anak-anak (bagi yang telah punya anak). Cinta

tidak menjajah.
Oleh karena cinta bukanlah romantisme perasaan belaka, maka kedewasaan seseorang
akhirnya berperan dalam menentukan seperti apa cinta yang ia berikan kepada orang lain,
baik itu pasangan maupun komunitasnya. Semakin dewasa seseorang, maka semakin
dewasalah cinta-nya; sehingga untuk menghasilkan cinta yang dewasa dan buah-buah
cinta yang mendewasakan diri sendiri dan orang lain, maka seseorang harus melalui
proses pendewasaan. Scott Peck mengatakan dalam The Roadless Travelled, seseorang
menjadi dewasa dan matang, melalui proses yang bertahap dan semua itu menuntut
latihan disiplin diri dalam beberapa elemen, yakni :
1. Delaying gratification, menunda kepuasan sesaat / saat ini demi kebaikan di masa
mendatang. Istilah Indonesia, sakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian. Secara
kongkrit, setiap keputusan baik itu berpacaran (dengan segala tingkatannya dan
tindakannya) dan berkeluarga, didasarkan pada pertanyaan apakah yang menjadi
motivasinya. Apakah karena ingin segera memuaskan apapun desakan yang ingin di
puaskan atau karena ada alasan rasional lain yang memang baik dan bermanfaat besar
bagi kedua belah pihak (yang menjadi ukuran adalah menumbuhkan dan mendewasakan
kedua pihak).
2. Acceptance of responsibility, bertanggung jawab atas pilihan dan keputusan diri sendiri.
Apa yang termasuk di dalamnya adalah menyadari bahwa setiap orang punya andil dalam
menciptakan problem yang sedang dihadapi, sudah dialami atau akan terjadi. Semua

berawal dari pilihan sikap diri. Padahal umumnya, ketika terjadi masalah cenderung
menyalahkan orang lain, persoalan, situasi dan kondisi daripada introspeksi diri.

Konsekuensi logisnya, menganggap diri sebagai korban keadaan yang tidak berdaya
untuk mengambil alih kendali hidup. Amat disayangkan karena sebagian orang melihat
proses ini sebagai suratan takdir dan nasib bahwa ia terlahir untuk melayani dan
menderita demi orang yang dikasihi. Padahal, takdir cinta tidaklah demikian. Cinta itu
membebaskan dan memerdekaan, seperti ungkapan Oslo, seorang filsuf kontemporer, di
bagian paling atas artikel ini.
Menerima tanggung jawab di sini mempunyai konsekuensi logis, untuk membuat setiap
pribadi berhati-hati, jangan sampai aplikasi dari memerdekakan diri menciptakan
penjajahan bagi pribadi lainnya. Mengutip Erich Fromm yang mengatakan, no freedom
without responsibility, tidak ada kemerdekaan tanpa tanggung jawab. Jika ingin
berpacaran atau menikah, ingin bercerai atau bahkan ingin bertahan dalam problema yang
ada, maka setiap pemikiran, keputusan dan tindakan harus dipikirkan sejauh mana kita
mampu bertanggung jawab atas implikasinya, baik bagi diri sendiri, keluarga, orangtua,
anak, pasangan, mertua, tempat kerja kita, dsb.
3. Dedication to the truth, selalu mencari dan menemukan kebenaran. Mabuk kepayang
maupun kepahitan, bisa menjadi penghalang kejernihan dalam melihat kenyataan dan
kebenaran. Konsep diri yang negative (menganggap diri tidak baik, buruk rupa, banyak

dosa, tidak berharga, tidak cantik, tidak beruntung, dsb) juga menjadi tembok penghalang
realitas karena kenegatifan itu sudah mewarnai cara pandang kita terhadap dunia.
Kasus KDRT yang berkepanjangan membuat pihak korban percaya bahwa dirinya pantas
dan layak di hina dan disia-siakan karena tidak berharga. Oleh sebab itu korban tidak
berani melepaskan diri dari abuser karena tidak yakin ada tempat yang bisa menerima
kehadirannya, atau tidak yakin dirinya kuat hidup tanpa abuser. Scott Peck mengatakan,
jika jiwa manusia ingin bertumbuh, jauhkan diri dari prejudis, stereotype, prasangka negatif
yang mendistorsi kebenaran. Sikap terbuka, berani menatap kenyataan, bahkan menerima
bahwa ada kebenaran dan fakta lain yang bisa meruntuhkan keteguhan hati dan
keyakinan - mengapa kita takut jika hal itu justru memerdekakan kita. The truth will set
you free.
4. Balancing & flexible, menjadi lebih seimbang dan fleksibel. Kedewasaan dan kematangan
akan dialami ketika diri kita maju. Sebaliknya, segala sesuatu yang terlalu rigid, baik dalam
soal berpikir, berkeyakinan maupun berelasi, menghambat kemajuan diri sendiri dan orang
lain serta hubungan itu sendiri. Bayangkan saja hubungan yang penuh dengan ketakutan,
peraturan, larangan, batasan, kecurigaan, pengekangan, penindasan, tidak akan
menumbuhkan sesuatu yang baik; yang muncul adalah hal negatif, seperti ketakutan,
kemarahan, kepahitan, kebosanan, ketidakpuasan, kesepian dan kekosongan yang
melanda jiwa. Tidak akan ada kebahagiaan dalam relasi yang rigid, namun sama halnya
dengan relasi yang tidak berakar dan berkomitmen, karena keduanya tidak berdasarkan

cinta, namun ketakutan.
Kembali pada persoalan cinta yang berakhir duka nestapa, apalagi tragedi, dapat
disimpulkan kondisi itu disebabkan ketidakmatangan pribadi yang menganggap bahwa
memiliki, mengupahi, meladeni, membayari, menafkahi, adalah cinta dan bukti cinta itu
sendiri. Padahal, silogisme-nya tidak demikian. Untuk lebih jelasnya, mari kita simak
ungkapan cinta dari Ibu Theresa
It is not how much we do,
but how muchlovewe put in the doing.
It is not how much we give,
but how muchlovewe put in the giving
Jadi mari bertanya pada diri sendiri, apakah saya melakukan ini semua karena cinta?
Apakah yang kita lakukan selama ini sudah memerdekakan & menumbuhkan diri kita dan
orang yang kita cintai ?