Keterasahan Batin Lewat Puasa Ramadlan (2)

BINA AKIDAH

Keterasahan Batin Lewat Puasa Ramadlan (2)
MOHAMMAD DAMAMI

M

akan-minum yang tepat adalah
makan-minum yang seukur
dengan kebutuhan kesehatan
dan kebutuhan penggantian sel-sel yang
aus. Namun ukuran normal ini sangat sering dikacaukan oleh “keinginan” atau nafsu
berlebih, karena terpancing oleh nikmatnya
rasa di lidah. Dalam hidup keseharian, setiap manusia berjuang untuk menyeimbangkan antara ukuran kebutuhan nyata
tubuh dan tarikan keinginan/nafsu berlebih
yang didorong oleh nikmatnya rasa pada
lidah. Di sinilah “shiyaam” yang berarti
“membuat jarak sementara” antara seseorang dengan makan-minum yang sedang
dihadapi sangat membantu untuk memecahkannya. Jika prinsip shiyaam tercapai,
maka kerja pencernaan menjadi normal
dan kebutuhan kesehatan dan penggantian sel-sel tubuh berjalan sebagaimana

mestinya. Karena itu, ada pepatah yang
disinggung TM Hasbi Ash-Shiddieqy
(1987: 330), “al-bathnu ashlu-‘d-daa’i wa‘l-himyatu ashlu-’d-dawaa’i” = perut itu
pangkal penyakit dan pantang merupakan
pangkal penawar penyakit. Karena itu pula
Nabi Muhammad saw membiasakan
mengisi perutnya dengan 1/3 (sepertiga)
untuk makanan, 1/3 untuk minuman, dan
1/3 untuk pernafasan. Masih tentang urusan perut, dari segi makna simbolik, maka
perut merupakan simbol kesadaran “milik”.
Kesadaran milik ini sangat melekat dalam
batin, sama begitu melekatnya, bahkan menyatu, antara perut dengan batang tubuh
seseorang. Kesadaran “milik” ini menumbuhkan keinginan memiliki segala hal
hampir tanpa batas. Seperti ingin memiliki
ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya,
pangkat dan jabatan setinggi-tingginya, kekayaan harta-benda sebanyak-banyaknya, kesehatan tubuh seprima-primanya,
kenikmatan sepuas-puasnya, popularitas
seluas-luasnya, kehormatan seluhur-luhurnya, kepercayaan orang selonggarlonggarnya, kekuasaan sepenuh-penuhnya, umur selama-lamanya (kalau mung40

6 - 21 RAMADLAN 1431 H


Foto: DIDIK SUJARWO

kin), dan sebagainya. Keinginan memiliki
tanpa batas seperti inilah yang tidak normal.
Ketika ingin memiliki sesuatu, orang harus
tahu dan menyadari akan berbagai kemungkinan, yaitu gagal, berhasil, atau malahan kehilangan. Tiga kemungkinan ini
perlu disadari. Untuk itulah prinsip shiyaam
(membuat jarak sementara) terhadap hal
yang akan dimiliki menjadi sangat bermanfaat, agar kalau berhasil tidak menjadi tamak, jika gagal tidak terlalu kecewa, dan
jika malahan kehilangan tidak terlalu bersedih hati. Karena itu, orang akan menjadi
manusia yang tegar, kuat mental, dalam
menghadapi kemungkinan-kemungkinan
terburuk ketika akan berusaha memiliki sesuatu. Bahwa segala hal yang sepertinya
telah berhasil dimiliki, suatu saat akan terputus pula, misalnya karena kehilangan
atau kematian. Prinsip shiyaam merupakan
pelatih untuk kuat menghadapi gagal,
kehilangan atau berpisah (dengan istri,
anak, anggota keluarga, teman, kolega dan
sebagainya). Dengan prinsip shiyaam terhadap urusan perut dengan pemaknaan

simbolik semacam itu akan menumbuhkan kesadaran diri bahkan dalam menghadapi segala sesuatu maka belum tentu

akan berhasil memilikinya, atau tidak memaksakan harus berhasil memilikinya
walaupun dengan cara-cara yang tidak benar dan tidak prosedural sesuai dengan
aturan norma atau hukum yang berlaku.
Seseorang dipaksa menyadari bahwa
suatu saat orang kadang-kadang harus
mengalami gagal atau bahkan kehilangan.
Dalam sebuah pencapaian dengan cara
bersaing, maka orang harus menyadari
perlu sportivitas, kalau kalah harus legowo
mengakui kekalahannya dan kekalahan itu
menjadi batu pelajaran untuk usaha-usaha,
berikutnya.
Kedua, yang perlu “dibuat jarak sementara” selama shiyaam adalah keinginan seksual (alat reproduksi). Dari segi fisik, alat
reproduksi adalah tempat untuk proses
kelahiran anak manusia ke alam dunia yang
fana ini. Dengan alat itulah manusia bertumbuh dan akhirnya lahir ke alam dunia.
Manusia laki-laki dan manusia wanita memiliki alat reproduksi sendiri-sendiri. Kalau
sel laki-laki berhasil bertemu dengan sel

wanita (ovum atau sel telur), maka akan
terjadi kehamilan yang seterusnya menghasilkan kelahiran anak manusia. Dalam
hal keinginan seksual yang berwujud hu-

BINA AKIDAH
bungan biologis antara laki-laki dan wanita
ini pun juga perlu keseimbangan. Dalam
dunia hewan, keinginan biologis tersebut
muncul kalau memang melewati masamasa tertentu yang disebut masa kawin.
Jadi, dalam dunia hewan tidak akan terjadi
hubungan biologis berdasar asal ingin,
melainkan diatur regulasinya oleh hukum
alam. Sedangkan dalam dunia manusia,
sekalipun manusia diberi kebebasan terhadap sega-la keinginannya, namun tetap
harus menjaga keseimbangan antara daya
tahan tubuhnya (agar tidak cepat tua dan
rusak) dan frekuensi keinginan melakukan
hubungan biologisnya. Di sinilah perlunya
menerapkan prinsip shiyaam dalam menghadapi menggebu-gebunya keinginan seksualitas. Cara pengendalian nafsu seksualitas yang berkeseimbangan inilah yang
antara lain dimaksudkan Al-Qur’an (Q.s. AlBaqarah [2]: 223): fa’tuu hartsakum annaa

syi’tum wa qaddimuu li anfusikum wa-‘ttaquu-‘l-laaha = Maka datangilah tanah
tempat bercocok tanam kamu (istri pasanganmu) itu kapan dan bagaimana saja
kamu kehendaki; dan kedepankanlah untuk
diri kamu serta jagalah takwamu kepada
Allah (ketika sedang mendatangi istri pasanganmu seperti itu). Kesadaran diri untuk
mengendalikan keinginan biologis seperti
inilah yang perlu tumbuh. Selanjutnya, dari
segi makna simbolik, maka alat reproduksi
merupakan simbol puncak “nikmat”.
Seluruh peralatan syaraf pancaindra adalah
untuk mendukung pengalaman nikmat ini.
Pada akhirnya kesadaran nikmat menjadi

melekat dalam batin setiap orang. Setiap
orang sangat mudah sekali tertarik dan
terjerat pada kenikmatan ini, apalagi terhadap
segala hal yang dirasakan telah berhasil
“dimiliki”. Jadi, antara “ingin menikmati”
(simbol dari seksualitas) dan “ingin memiliki”
(simbol dari perut) terdapat hubungan yang

sangat begitu erat. Kenikmatan ini suka diulang dan diulang sampai tidak ada batasnya.
Begitulah keinginan nafsu. Namun semakin
ingin digapai, ternyata kepuasan kenikmatan
itu tidak pernah berujung. Bisa saja terjadi
manusia digulung habis untuk permainan
sang kenikmatan itu (budak nafsu). Justru
seharusnya manusia mampu menjadi
pengendali kebebasan nafsu. Di sinilah
perlunya prinsip shiyaam (membuat jarak
sementara) dengan keinginan nikmat biologis itu. Regulasinya perlu diatur menurut
ritme yang normal.
Dengan mengikuti alur uraian panjanglebar di atas dapat dinyatakan bahwa puasa
Ramadlan, baik dari arah pertama maupun
dari arah kedua, adalah untuk menumbuhkan kesadaran diri untuk pengendalian diri
sendiri pada diri setiap orang. Ini sungguh
penting untuk pegangan selama menjalani
kehidupan yaitu agar hubungan dengan Allah
SwT, Sang Khaliq yang mengangkat derajat
“khalifah” bagi manusia, tetap terjaga dan
hubungan antara manusia dengan proses

menjalankan fungsi kekhalifahannya juga
terjaga, tidak merusak keseimbangan dan
tetap dalam keadaan sehat. Shiyaam jika
dihayati benar-benar makna yang terkandung
di dalamnya akan mampu menumbuhkan

kesadaran diri untuk mengukur diri sendiri
sesuai dengan batas-batas kemampuan
sendiri seperti itu. Barangkali itulah antara lain
maksud kata-kata “la’alla-kum tattaquuna”
(= agar kamu bertakwa) seperti tertulis dalam
ayat 183 Surat Al-Baqarah di atas.
Yang selanjutnya, kata-kata “ayyaaman
ma’duudatan” (= Dalam beberapa hari
yang tertentu) dalam pengertian sejumlah
hari selama bulan Ramadlan yang dihitung
berdasar perhitungan peredaran bulan mengelilingi planet bumi yang dibarengi planet
bumi mengelilingi matahari dan karena itu
bisa berjumlah 30 hari, bisa juga 29 hari.
Sementara itu untuk setiap harinya saat

puasanya ditentukan sejak terbit fajar pagi
sampai dengan saat Maghrib tiba. Ini semua mengandung arti, pertama, pelatihan
untuk “membuat jarak sementara” dengan
urusan perut dan seksualitas perlu dilakukan secara terus-menerus, berurutan
waktu, selama 30 hari atau 29 hari tanpa
jeda dan tanpa henti agar menjadi terbiasa
dan teradaptasi bagian tubuh dan batin seseorang. Kedua, pelatihan untuk “membuat
jarak sementara” tersebut untuk setiap harinya juga memang benar-benar sementara, yaitu antara terbit fajar pagi sampai
saat Maghrib tiba. Jadi, tidak ada konsep
“pantang selamanya”. Alangkah indah
tujuan puasa Ramadlan itu dan alangkah
praklis pelaksanaannya! Insya Allah keterasahan batin lewat puasa Ramadlan akan
terjadi kalau benar-benar seseorang menghayati tujuan dan praktiknya tersebut. Wallahu a’lam bishshawab.l Habis

SUARA MUHAMMADIYAH 16 / 95 | 16 - 31 AGUSTUS 2010

41