Mencerahkan Batin Lewat Membaca Al-Qur’an (2)

BINA AKIDAH

Mencerahkan Batin
Lewat Membaca Al-Qur’an (2)
MOHAMMAD DAMAMI

endalaman pemahaman ini juga
melibatkan hati (qalbun), bukan
sekadar hanya dengan nalar (pikiran
logis) saja. Jadi, antara hati dan nalar perlu
disiapakan dalam proses pendalaman
tersebut. Dalam dunia hati yang dicari adalah
keharusan dan kelayakan sesuatu
sehingga dianggap proporsional oleh
kebanyakan orang. Sedangkan dalam nalar
yang dicari adalah ketepatan dan keajegan
keadaan yang dianggap proporsional pula
oleh kebanyakan orang. Allah SwT
berfirman (Q.s. Muhammad [47]: 24):
afalaa yatadabbaruuna-’1-qur’aana
am qu-luubun aqfaaluhaa = Maka apakah

mereka mendalami Al-Qur’an ataukah hati
mereka terkunci? Dengan demikian, orang
membaca Al-Qur’an itu tidak sekadar
“membaca” dalam arti biasa membaca

40

7 - 21 SYAWAL 1431 H

ayat-ayat Al-Qur’an tidak akan gampang
melupakan pesan-pesan mulia yang
terkandung di dalamnya, bahkan akan
terasa rindu untuk selalu kembali
mempelajari pesan-pesan mulia tersebut.
Di samping itu, dengan dirasat tersebut
seseorang menjadi merasa luas
pandangan dan wawasan, tidak merasa
tertelikung di ruang yang sempit dan pengap
yang menyesakkan dada, melainkan
merasa lapang tempat, berudara segar,

dan longgar menarik nafas. Dengan
dirasat seseorang yang membaca AlQur’an merasa mendapat pemecahan
kalau ada permasalahan, mendapat
ketenangan kalau ada kebingungan atau
ancaman, mendapat nur (cahaya) kalau
ada kegelapan, dan mendapat keteduhan
kalau ada kegundahan. Barangkali inilah
maksud firman Allah SwT (Q.s. Al-An’am
[6]: 156): an taquuluu innama unzila-’lkitaa-bu ’alaa thaaifataini min qablinaa wa
in kunnaa ’an diraasatihim laghaafiliin =
(dengan diturunkan-Nya Al-Qur’an itu) agar
kamu tidak mengatakannya: “Bahwasanya
kitab itu hanya diturunkan kepada dua
golongan saja (yaitu Yahudi dan Nasrani)
sebelum kami, dan sesungguhnya kami
tidak memperhatikan apa yang mereka
pelajari. Ayat Al-Qur’an ini menjelaskan
bahwa kalangan pemuka Yahudi dan
Nasrani pada masa Rasulullah saw dikenal
sebagai orang-orang yang tekun dalam

mempelajari Kitab-Kitab Suci mereka.
Bahwa dengan diturunkannya Al-Qur’an,
maka umat Islam tidak pada tempatnya
kalau kalah tekun dalam mempelajari Kitab
Suci Al-Qur’an yang penuh mengandung
pesan-pesan yang mulia pula.
Jadi, istilah “qiraa’ah” atau membaca
Al-Qur’an perlu dilengkapi dan diutuhkan
dengan unsur tartil (membaca huruf/
aksaranya secara jelas), tadabbur

litm
erg
er.
co
m)

fsp

pd


w.

htt
p:/
/w
w

Vi
sit

P

huruf/aksara, melainkan perlu dibarengi
dengan mendalami isi ayat Al-Qur’an
dengan hati dan nalarnya.
Untuk selanjutnya, perlu juga tadzkir
(pelafalan aslinya “tadzkiir”) yang berasal
dari kata “dzakara” yang berarti mengingat.
Yang dimaksud di sini adalah bahwa ketika

seseorang membaca ayat-ayat Al-Qur’an,
maka apa saja yang dipahami dan dikuasai
secara mendalam perlu disimpan dalam
alam memori (ingatan). Tidak begitu
memahami dan menguasai lalu hilang tidak
berbekas. Seharusnyalah apa saja yaug
telah dipahami dan dikuasai dengan baik
dan mendalam tersebut mampu memberi
juru penerang dalam setiap langkah
kehidupan seseorang atau mampu menjadi
pengingat manakala terjadi kemelencengan
hidup. Ayat-ayat Al-Qur’an yang telah dibaca
mampu memperkokoh keyakinan hati
bahwa Allah SwT senantiasa mengawasi
seluruh perilaku dalam kehidupan seharihari. Menurut Al-Qur’an, jika seseorang
benar-benar ingin menjadikan Al-Qur’an
sebagai pihak pengingatnya, maka Allah
SwT telah mempermudahnya terhadap hal
yang demikian itu (Q.s. Al-Qomar [54]: 32):
wa laqad yassarna-’l-qur’aana li-’dz-dzikri

fa hal min muddakir = Dan sungguh telah
Kami mudahkan Al-Qur’an sebagai
pengingat (pelajaran), maka adakah yang
mau mengambil pelajaran?
Unsur terakhir dalam bangunan istilah
“qiraa’ah” adalah dirasat (pelafalan aslinya
“diraasat”) berasal dari kata, “darasa” yang
berarti mempelajari. Dirasat di sini
dimaksudkan adalah mengulang-ngulangi
dalam membaca sehingga menjadi hafal.
Arti lainnya adalah membaca secara
berulang untuk memperluas pandangan
atau wawasan. Dua pengertian ini pada
hakikatnya saling menguatkan. Dengan
dirasat tersebut seseorang yang membaca

De
mo
(


Selanjutnya, tadabbur
terambil dari kata
“dabara” yang artinya
belakang. Pengertiannya
ialah bahwa dalam
membaca Al-Qur’an itu
diperlukan pendalaman
dalam memahami ayatayat yang dibaca.
Dengan demikian,
seseorang pembaca AlQur’an akan menguasai
benar apa yang menjadi
pesan yang termuat
dalam ayat-ayat AlQur’an yang sedang
dibaca.

Foto: WWW. GOOGLE.COM

BINA AKIDAH

MENGAJI. Membaca al-Qur’an, dapat merasakan keindahan, sehingga jiwa

tercerahkan

Vi
sit

htt
p:/
/w
w

w.

pd

fsp

litm
erg
er.
co

m)

arti: bacaan yang menyebabkan pendengarnya menjadi mengikuti atau terhanyut
di dalamnya. Tegasnya, tilaawah adalah
bacaan yang sangat mempengaruhi alam
jiwa (ruhani) seseorang. Tilaawah adalah
“bacaan yang sangat begitu menyentuh
hati”. Kata tilaawah hanya dipakai untuk pengertian membaca sesuatu yang agung
dan suci, dalam hal ini hanya terbatas pada
ayat-ayat Kitab Suci atau wahyu. Sementara itu, kata qiraa’ah obyek atau sasarannya lebih luas dan lebih umum, yang meliputi ayat suci atau wahyu dan juga di luar itu
(simbol apa saja dan kitab terbuka alam
semesta).
Dalam kegiatan tilaawah lebih ditujukan
untuk kepentingan, pertama, untuk memperkokoh keimanan yang sudah mapan
tertanam dalam hati. Hal ini bisa untuk
ditujukan kepada diri si pembaca Al-Qur’an
sendiri, bisa juga bagi para pendengar
bacaan Al-Qur’an sendiri. Inilah yang disitir
Al-Qur’an (Q.s. Al-Anfal [8]: 2): innama-‘lmu’minuuna-‘l-ladziina idza dzukira-‘llaahu wajilat quluubuhum wa idzaa tuliyat
aayaatuhu zaadathum iimaanan wa‘alaa

rabbihim yatawakkaluuna = Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah
mereka yang apabila disebut nama Allah
(maka serentak) gemetarlah hati mereka
dan apabila dibacakan ayat-ayat firmanNya (maka serentak) bertambah-tambahlah iman mereka serta, (hanya) kepada
Tuhan merekalah mereka bertawakal. Dengan tilaawah Al-Qur’an, maka mudah tersentuhlah perasaan keimanan seseorang,
baik karena mendengar bacaan ayat-ayat
Al-Qur’an yang dibacanya sendiri atau ka-

De
mo
(

(mendalami isi ayat yang dibaca), tadzkir
(mengingat selalu isi pelajaran dari ayat
yang dibaca), dan dirasat (mempelajari isi
ayat agar memperoleh keluasan pandangan dan wawasan). Kalau seseorang sungguh-sungguh telah membaca Al-Qur’an
menurut prinsip-prinsip “qiraa’ah” di atas,
maka berlakulah rahmat Allah SwT bagi
para pendengar bacaannya (Q.s. Al-A’raf
[7]: 204): wa idzaa quri’a-’l-qur’aanu fa’s-tami’uu lahu wa anshituu la’allakum turhamuun = Dan apabila dibacakan AlQur’an, maka dengarkan bacaan itu (baikbaik), dan perhatikan dengan tenang (tidak

berbicara) agar kamu mendapat rahmat.
Janji mendapat rahmat ini diwujudkan
dalam bentuk: (1) akan menda-pat curahan
hidayah atau petunjuk yang tidak akan pernah salah (inna haadzaa-’l-qur’aana yahdii
lillatii hiya aqwamu = Sesungguhnya AlQur’an ini memberikan petunjuk ke (jalan)
yang lebih lurus; Q.s. Al-Isra’ [7]: 9); dan
(2) akan mendapat obat atau penawar dan
rahmat bagi orang yang beriman sungguhsungguh. Qiraa’ah seperti inilah yang sesungguhnya dikehendaki Al-Qur’an. Sekalipun harus juga diakui, bahwa jika telah
melakukan salah satu dari pilar qiraa’ah,
yaitu tartil, tadabbur, tadzkir, dan dirasat,
telah menghasilkan pahala di sisi Allah
SwT.
Kedua, adalah istilah “tilaawah”. Setengah ahli tafsir mengartikan asal kata tilaawah adalah mengikuti. Artinya, kalau dalam
konteks membaca huruf/aksara, maka arti
tilaawah adalah mengikuti apa bunyi huruf/
aksara beserta tanda-tanda bacanya.
Dalam arti yang lebih luas, tilaawah memiliki

rena mendengar bacaan ayat-ayat Al-Qur’an yang dibaca orang lain. Kedua, untuk
menarik pendengarnya dan merasa tersentuh untuk beriman dengan kesadaran
penuh dari dirinya sendiri. Dengan perkataan lain, berkat mendengar tilaawah ayatayat Al-Qur’an seseorang termotivasi kuat
muncul rasa keimanannya. Ini barangkali
yang dimaksud firman Allah SwT. (Q.s. AnNaml [27]: 92): wa an atluwaa-’l-qur’aana
fa mani-‘h-tadaa fa innamaa yahtadii lii
nafsihi = Dan supaya aku (Muhammad)
membacakan Al-Qur’an (tertuju kepada
seluruh manusia); maka barangsiapa yang
mendapat petunjuk, sesungguhnya dia
adalah mendapat petunjuk untuk (kebaikan)
dirinya (sendiri). Tugas para Rasul antara
lain adalah membacakan (tilaawah) ayatayat firman-Nya dan wahyu-Nya secara
menarik untuk membersihkan keimanan
mereka, mengajarkan isi kitab dan hikmah
agar pendengarnya terentaskan dari kesesatan jalan dalam hidupnya (Q.s. Ali Imran
[3]: 164).
Berdasar uraian di atas, maka dalam
tilaawah perlu dicapai sifat bacaan yang
bersifat menarik, menyentuh perasaan,
memberikan motivasi yang tumbuh dari dalam diri sendiri, dan memberikan motivasi
orang untuk berubah, terutama dalam hal
keimanannya. Sifat tilaawah yang demikian
inilah yang dilakukan para Rasul.
Uraian di atas menunjukkan secara begitu jelas bahwa qiraa’ah dan tilaawah merupakan dua hal yang sungguh-sungguh pokok tatkala seorang Mukmin menghadapi
Al-Qur’an. Dengan qiraa’ah dan tilawaah
seperti terurai di atas diharapkan akan menimbulkan kecerahan batin umat Mukmin,
apalagi bertepatan waktu dengan ibadah shiyaam di bulan suci Ramadlan. Orang Mukmin yang sedang membaca Al-Qur’an tidak
sekadar membaca begitu saja, tetapi perlu
mengikuti apa saja yang seharusnya terjadi
dan dilakukan pada saat melakukan qiraa’ah dan tilaawah. Dengan demikian bobot
dan kualitas pembacaan Al-Qur’an, minimal
selama bulan suci Ramadlan, akan lebih
meningkat tajam. Insya Allah, di situlah akan
terjadi pencerahan batin dalam arti yang
sesungguh-sungguhnya. Mari kita niatkan
dan kita mulai mencoba melakukannya.
Wallaahu a’lam bishshawaab.l

SUARA MUHAMMADIYAH 18 / 95 | 16 - 30 SEPTEMBER 2010

41