Keterasahan Batin Lewat Puasa Ramadlan

BINA AKIDAH

Keterasahan Batin Lewat Puasa Ramadlan
MOHAMMAD DAMAMI

litm
erg
er.
co
m)

Rasa-rasanya apa yang
disebut “kesadaran diri”
seperti jarang dapat
ditemukan dan seolaholah makin lama makin
hilang.

w.

pd


fsp

H

Vi
sit

htt
p:/
/w
w

dan pelatihan-pelatihan saja umat manusia
masih banyak yang berbuat melampaui
batas, apalagi kalau sampai tidak ada
semuanya itu.
Salah satu bentuk pelatihan yang mau
tidak mau dikerjakan oleh manusia adalah
shiyaam, atau dalam alihan kata lain adalah
puasa, yaitu puasa Ramadlan. Puasa

Ramadlan ini menjadi salah satu unsur
dalam Rukun Islam yang 5 (lima) banyaknya: syahadat, shalat, zakat, puasa Ramadlan, dan haji. Pertanyaannya sekarang
adalah sampai di mana nilai tinggi dari pelatihan yang termuat dalam ibadah puasa
Ramadlan yang akan berpengaruh besar
terhadap “kesadaran diri” dalam batin manusia? Marilah kita telusuri hal ini lebih lanjut.
Dalam Al-Qur’an Allah SwT berfirman
(Q.s. Al-Qur’an [2]: 183-184): Yaa ayyuha’l-ladziina aamanuu kutiba ‘alaikumu‘shshiyaamu kamaa kutiba ‘ala-’l-ladziina
min qablikum la’allakum tattaquuna
ayyaaman ma’duudatan = Hai orangorang yang beriman, diwajibkan atas kamu
(mengerjakan) puasa sebagaimana telah
diwajibkan (pula) atas orang-orang
sebelum kamu agar kamu bertakwa,
(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu.

De
mo
(

al ini dapat dibuktikan berdasarkan
kenyataan bahwa makin langka

orang cepat menyatakan legowo
(rela dengan penuh keikhlasan) mengakui
kesalahan yang memang benar diperbuat
sekalipun harus terasa pahit dalam hati,
atau cepat menyatakan legowo mengakui
kekalahan dalam sebuah perjuangan yang
melibatkan banyak orang seperti dalam
proses pemilihan (dalam pemilihan umum
dan pemilihan kepala daerah misalnya),
atau dalam permainan olah raga (sepak bola
misalnya). Karena itu apa yang disebut
“kesadaran diri” tersebut menjadi nampak
begitu mahal kelihatannya.
Agama Islam, lewat firman-firman Allah
SwT dalam Al-Qur’an, memang banyak
memfokuskan diri untuk menggarap tentang
“kesadaran diri” dari umat manusia ini. Hal
ini merupakan konsekuensi logis dari
penghargaan Allah SwT terhadap makhluk
manusia yang diangkat oleh-Nya menjadi

“khalifah”-Nya, menjadi “wakil”-Nya, di
planet bumi agar mereka aktif
memakmurkan kehidupan di planet bumi
secara benar menurut garis-garis ketentuan
dari Allah SwT. Sebab, kalau manusia yang
sudah mendapat mandat begitu tinggi lalu
dibiarkan, diberi kebebasan tak terbatas,
tanpa rambu-rambu, tanpa peringatanperingatan, tanpa pelatihan-pelatihan untuk
mendisiplin diri, dan sebagainya, maka tidak
akan dapat dibayangkan betapa kerusakan
akan terjadi di planet bumi ini. Sementara
Al-Qur’an telah begitu penuh dengan segala
rambu-rambu, peringatan-peringatan dan
pelajaran-pelajaran (yang diwujudkan
dalam bentuk kisah dan perumpamaan),

40

20 SYAKBAN - 5 RAMADLAN 1431 H


Dalam ayat tersebut terdapat kata “kutiba
‘alaa” yang menurut DR. Muhammad AtTonji dalam kitabnya yang berjudul AlMu’jam al-Mufashshal fii Tafsiiri Ghariibi
al-Qur’aani al-Kariimi (2003: 415) berarti:
furidla = difardlukan, diwajibkan. Kata
“fardlu” (wajib) inilah yang kemudian
dipopulerkan dan dibakukan dalam kitabkitab fikih ketika membicarakan bab puasa
Ramadlan, dengan pengertian wajib
menurut “hukum”, yaitu: perintah yang
mesti harus dikerjakan, dengan ketentuan
jika perintah tersebut dipatuhi atau
dikerjakan, maka yang mengerjakannya
mendapat pahala; dan jika tidak dipatuhi
atau tidak dikerjakannya, maka dia akan
mendapat dosa ( H Sulaiman Rasjid, Fiqh
Islam, 1990: 17). Dalam tatanan ajaran
Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan
As-Sunnah yang sahih dan makbul,
datangnya perintah memang dari atas, dari
bunyi teks, dan bersifat normatif. Sungguh
pun begitu dalam menanggapi terhadap

“kewajiban” tersebut bisa dari 2 (dua) arah.
Arah pertama, orang Mukmin menanggapinya dengan melatih diri untuk patuh,
walaupun pada mulanya merasa begitu
berat dan pahit dalam proses menger-

BINA AKIDAH
hami secara lebih mendalam apa hakikat di
balik ibadah puasa Ramadlan tersebut.
Seperti telah disebut di atas, apa yang disebut
puasa Ramadlan ini adalah mengandung
arti “shiyaam”. Menurut TM Hasbi AshShiddieqy dalam bukunya Pedoman Puasa
(1987: 53), kata “shiyaam” sederivasi
kata “shaum” yang berarti menahan diri (Q.s.
Maryam [19]: 26). Masih menurut TM
Hasbi Ash-Shiddieqy, para ulama syara’
memaknai “shiyaam” adalah sepadan dengan kata “imsaak” yang kalau diterjemahkan juga sebagai: menahan diri, mengekang diri (1987: 53-54). Menurut istilah
penulis, gabungan kata “shaum” dan
“imsaak” ini dapat diartikan: membuat jarak
sementara (terhadap sesuatu). Pembuatan
jarak tersebut ada batas-batas waktunya dan

ada cara-caranya yang sesuai dengan kemampuan dan daya tahan manusia normal.
Apa saja yang perlu “dibuat jarak
sementara” selama shiyaam? Pertama,
adalah keinginan perut. Dari segi fisik,
perut adalah tempat untuk mencerna makanan dan minuman yang masuk ke
dalamnya. Hasil cernaan tersebut untuk
keperluan kesehatan tubuh dan untuk
mengganti bagian-bagian tubuh yang
mengalami keausan (sel-selnya mati dan
perlu tergantikan). Kerja perut perlu
seimbang. Dalam arti, perut tidak boleh
kelaparan, namun juga tidak sepantasnya
kekenyangan, apalagi berlebih-lebihan.
(BERSAMBUNG)

Vi
sit

htt
p:/

/w
w

w.

pd

fsp

litm
erg
er.
co
m)

“diperintah”; maunya “menerima yang
menyenangkan” bukan “dibebani yang
merasa tidak menyenangkan”, dan
sebagainya. Pelatihan yang bernuansa
paksaan tersebut pada hakikatnya untuk

mengalahkan “aku” yang disadari pada
setiap diri manusia, siapa pun dia. Jika sang
“aku” telah mampu dikalahkan, maka
kepatuhan yang bersifat membiasa akan
muncul pelan-pelan dan menguat. Itulah
yang disebut “kesadaran diri”.
Cukupkah kepatuhan membiasa atau
kesadaran diri seperti itu ketika seseorang
Mukmin menghadapi kewajiban mengerjakan puasa Ramadlan? Rasa-rasanya belum cukup. Sebab, kalau dianggap cukup,
maka tidak kecil kemungkinan kesadaran
diri dalam mengerjakan ibadah puasa, hanya bermuara pada kesadaran mekanisformalistik. Ya, asal telah menjalankan kewajiban. Titik. Kalau sudah menjalankan
berarti merasa sudah “bebas dari tanggungan kewajiban”. Kepatuhan dan kesadaran semacam ini a.kan cenderung pasif
dampaknya. Seseorang pelaku puasa
Ramadlan tidak akan dapat menangkap
spirit (semangat), tenaga, manfaat langsung
(hikmah), dan dorongan positif selaku
seorang yang ahli ibadah. Masih perlu cara
tanggap terhadap “kewajiban” puasa
Ramadlan tersebut seperti diuraikan di
bawah ini.

Arah kedua, orang menanggapi kewajiban puasa Ramadlan dengan mema-

De
mo
(

jakannya, terhadap kewajiban puasa
Ramadlan tersebut. Lama-lama, karena
secara berturut-turut, hari ke hari, apalagi
sampai lunas 29 atau 30 hari puasa
Ramadlan, maka kepatuhan tersebut
menjadi terasa ringan dan mungkin telah
hilang rasa pahitnya.
Dengan kata lain, puasa Ramadlan
telah menjadi hal yang telah “membiasa”,
dalam arti: daya menolak dalam batin untuk
tidak mengerjakan menjadi menipis, rasa
lapar dan rasa haus berkurang bahkan
mungkin sudah tidak terasa lagi, dan telah
terjadi adaptasi tubuh ketika pada siang hari

tidak makan dan tidak minum. “Kepatuhan
yang bersifat membiasa” inilah yang disebut
kemudian dengan istilah “kesadaran diri”.
Munculnya adalah dengan cara dipaksa lebih dahulu, senang atau tidak
senang, pahit terasa. atau tidak, batin ingin
memberontak/melawan atau tidak. Lamalama terlatih dan akhirnya luluhlah daya
berontak/daya tolak batin, hilang rasa tak
senang, dan hilang pula rasa pahit yang
semula dirasakan dalam batin. Memang,
salah satu sifat manusia itu adalah sering
kali perlu dipaksa dahulu untuk awal
pengerjaan sesuatu, apalagi pengerjaan
sesuatu yang benar, baik, dan luhur serta
indah. Mengapa harus dipaksa? Sebab
manusia itu memiliki kesadaran “aku”
(ego). “Aku” ini mesti harus nomor “satu”.
Karena itu maunya “diikuti ” , bukan
“mengikuti”; maunya “memerintah” bukan

SUARA MUHAMMADIYAH 15 / 95 | 1 - 15 AGUSTUS 2010

41