Mencerahkan Batin Lewat Membaca Al-Qur’an (1)

BINA AKIDAH

Mencerahkan Batin
Lewat Membaca Al-Qur’an (1)
MOHAMMAD DAMAMI

D

40

22 RAMADLAN - 6 SYAWAL 1431 H

antara lain huruf (aksara), maka di sini
manusia berusaha menghimpunnya dengan cara “membaca huruf/aksara”
sebagaimana pengertian membaca pada
umumnya. Al-Qur’an juga tertulis berupa
huruf (aksara) ini. Karena itu, dalam
membaca Al-Qur’an perlu tahu huruf
(aksara) Al-Qur’an yang kebetulan berupa
huruf (aksara) Arab. Simbol lain adalah
angka dan perlengkapannya (seperti

tambah, kurang, kali, bagi, akar, pangkat).
Di sini manusia mencoba untuk menghimpun sesuatu dengan cara “membaca
angka” dengan segala perlengkapannya;
dalam pengertian sehari-hari disebut
menghitung. Simbol lainnya lagi adalah
bentuk-bentuk (seperti bulat, bundar,
lonjong, bersegi, panjang/tinggi/panjang/
lebar/tebal/pendek/rendah/ sempit/tipis,

Vi
sit

htt
p:/
/w
w

w.

pd


fsp

litm
erg
er.
co
m)

alam Al-Qur’an sendiri disuratkan
dan disiratkan bagaimana cara
“membaca Al-Qur’an” itu. Kalau kita
skemakan, ada 2 (dua) cara besar dalam
membaca Al-Qur’ an itu, yaitu: qiraa’ah dan
tilaawah. Marilah kita perdalam satu persatu
dan sekaligus urutan ini.
Pertama, istilah “qiraa’ah”. Kata ini
terambil dari kata kerja qara’a yang semula
artinya adalah “menghimpun’’. Dari derivasi makna kata ini sudah menunjukkan,
bahwa dalam kata “qara’a” tersebut ada

kemestian untuk memperhatikan apa saja
yang sedang dihadapi. Pada dasarnya
yang dihadapi manusia itu kalau dipilah
secara makro (besar) ada dua, yaitu segala
sesuatu yang berupa simbol-simbol yang
dipahami manusia dan wujud nyata alam
semesta ini. Simbol-simbol yang dimaksud

De
mo
(

Salah satu kegiatan yang
utama selama bulan
Suci Ramadlan adalah
membaca Al-Qur’an.
Pada bulan Ramadlan
tersebut, di samping
umat Islam menyucikan
batinnya lewat

melakukan shiyaam,
juga masih ditambah
kegiatan mencerahkan
batin. Yaitu dengan cara
membaca Al-Qur’an.
Bahwa batin yang
sedang disucikan perlu
segera diisi dengan
pesan-pesan dan ajaranajaran yang suci pula
dan sekaligus
mencerahkan.
Apakah benar
demikian? Marilah kita
ikuti uraian berikut ini.

Foto: DIDIK SUJARWO

BINA AKIDAH

Foto: MUSTOFA WH


Qur’an itu. Jadi, dalam tartil ini yang
dipentingkan adalah kejelasan dalam
membaca huruf/aksara. Sebab, beda
pengucapan (pelafalan) dan beda panjangpendek pembacaan akan berakibat beda
arti pesan yang dikandungnya. Karena itu,
pembacaan huruf/aksaranya harus tepat.
Dahulu, ketika ayat perintah untuk membaca secara tartil ini turun, masyarakat
Arab masih sering mengukur kehebatan
pesan itu lewat kekuatan sastra. Dengan
pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an secara
tartil, maka pihak-pihak yang belum mempercayai Rasulullah saw menjadi kalah
mutu dan kalah mendalam dengan isi
pesan yang termuat dalam kata-kata (kosa
kata), kalimat, dan gaya bahasa Al-Qur’an.
Mereka menjadi terdiam karenanya. Hal
ini, jelas termaktub dalam Al-Qur’an (Q.s.
Al-Muzammil [73]: 4): wa rattili-’l’qur’aana
tartiilan = dan bacalah Al-Qur’an dengan
pelan-pelan. Di sini terdapat pembelajaran,

bahwa membaca Al-Qur’an itu perlu
dengan jelas, pelan-pelan, agar orang lain
yang mendengarkannya dapat ikut
memahami atau menikmatinya.l BERSAMBUNG

pada tahun 833 H. dalam bukunya yang
berjudul: “An-Nasyr fi al-Qira’at al-’Asyri”.
Tiga qira’at yang ditambahkan ialah
qira’at dari imam:
1. Yazid ibn al-Qa’qa’, di Madinah
2. Ya’qub al-Hadramy, di Basrah
3. Khalaf al-Bazzar, di Kufah

pembuatan qira’at yang syaz
(menyimpang dari aturan), yang dipelopori
oleh Ibnu Syambuz (328 H). dan Abu Bakar
al-’Attar an-Nahwiy (354 H). (al-Ibyariy,
1965: 126).
Sebenarnya qira’at yang syaz itu
bukanlah Al-Qur’an, sebab Al-Qur’an itu

diterima secara mutawatir, sedang qira’at
yang syaz tidak diterima secara mutawatir.l

Vi
sit

htt
p:/
/w
w

w.

pd

fsp

litm
erg
er.

co
m)

tempatnya sekedar disempitkan artinya
dengan “membaca huruf/aksara” Al-Qur’an
(berupa huruf/aksara, Arab) saja, melainkan
perlu diperluas dengan makna kata “qara’a”
seperti terurai di atas. Memang, membaca
dalam arti sempit, yaitu membaca huruf/
aksara Al-Qur’an telah dijanjikan pahalanya,
namun untuk menangkap “pencerahan”
yang dikandung dalam Al-Qur’an barangkali
tidak cukup hanya dengan cara seperti itu.
Oleh karena itu, mengingat muatan kata
“qiraa’ah” yang berasal dari derivasi “qara’a”
di atas, maka mudah dimengerti kalau AlQur’an memberikan istilah-istilah lain untuk
mengutuhkan pemahaman istilah “qiraa’ah”
itu, yaitu: tartil, tadabbur, tadzkir, dan dirasat.
Satu persatu akan diuraikan berikut ini.
Tartil (pelafalan aslinya “tartiil”) berasal

dari kata “ratala” yang aslinya berarti serasi
dan indah. Di sini yang dimaksud adalah
“membaca huruf/aksara”. Untuk itu perlu
serasi dan indah. Artinya, perlu dibaca
pelan-pelan, agar jelas pelafalan huruf/
aksaranya (makhraj), jelas kata-kata
(kosa kata) dipakai, jelas susunan
kalimatnya, dan jelas pokok-pokok pesan
yang dimuat dalam susunan ayat-ayat Al-

De
mo
(

tumpul, lancip) dan warna-warni (hitam,
putih, merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila,
ungu). Di situlah manusia mencoba
melakukan penghimpunan sesuatu lewat
“membaca arti/makna” yang berada di
balik segala bentuk dan warna tersebut.

Dengan percakapan sehari-hari disebut
dengan menafsirkan. Tiga macam simbol
inilah yang paling banyak dan paling
disadari manusia ketika mereka mencoba
untuk “menghimpun” (qara’a).
Selanjutnya, manusia juga sanggup
“menghimpun” (qara’a) terhadap kenyataan alam semesta, yaitu segala hal yang
ada di luar diri manusia ini entah berupa
dunia benda beku (jamadat), benda
tumbuh-tumbuhan (nabatat), benda hidup
(hayawanat), ruang angkasa yang berisi
planet dan bintang. Benda beku (jamadat)
dapat berupa benda padat, cair, dan udara
(termasuk eter). Alam semesta ini bak
“buku terbuka” seluas-luasnya dan
sebebas-bebasnya tanpa batas. Terserah
apa maunya manusia untuk “membacanya”. Dalam bahasa sehari-hari dipakai
istilah membaca tanda-tanda alam. Apa
saja yang ada dalam alam ini boleh
“dihimpun” (qara’a) menjadi kekayaan

pengertian, pemahaman pengetahuan, dan
ilmu. Dengan begitu luasnya cakupan
pengertian “qara’a” yang berarti asli
“menghimpun”, maka barangkali itulah
sebabnya ayat-ayat Al-Qur’an yang turun
pertama kali kepada Nabi Muhammad saw
dimulai dengan kata “iqra’” (bacalah!) dan
selanjutnya himpunan ayat-ayat yang
berupa firman dan kalam Allah SwT disebut
“Al-Qur’aan” yang di dalamnya dianjurkan
untuk membaca simbol-simbol dan kitab
terbuka berupa alam semesta di atas.
Berdasar uraian di atas, maka
“qiraa’ah” terhadap Al-Qur’an tidak pada

DARI HAL.25
QIRA’AT...
bukanlah “al-Qira’at as-Sab’u” (tujuh
qira’at).
Kemudian para imam qira’at terus
mengembangkan qira’at tersebut menjadi
sepuluh macam, sebagaimana dilakukan
oleh Imam ibn al-Jazary Abu al-Khair
Muhammad ibnu Muhammad, yang wafat

Menurut Ibrahim al-Ibyariy, sepuluh
qari’ itulah yang tidak terlibat dalam

SUARA MUHAMMADIYAH 17 / 95 | 1 - 15 SEPTEMBER 2010

41