Tinjauan Umum tentang Janda Dalam Hukum Waris

49

5. Tinjauan Umum tentang Janda Dalam Hukum Waris

a. Pengertian Janda Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan pengertian Janda adalah orang yang tidak bersuami, baik karena perceraian hidup maupun mati, biasanya hanya bagi wanita Suharso dan Ana Retnoningsih, 2005:199. Namun demikian menurut hemat penulis Janda dapat digunakan untuk pria dan wanita, karena Janda adalah orang yang tidak mempunyai pasangan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini yang dimaksud Janda tidak hanya Janda wanita, tetapi juga termasuk Janda pria. Dari pengertian Janda tersebut dapat diketahui bahwa adanya perceraian hidup maupun mati, pasti didahului dengan perkawinan. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 2 menyebutkan syarat perkawinan sah sebagai berikut : ”Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing- masing agamanya dan kepercayaannya itu” Ketentuan diatas berarti bahwa suatu perkawinan dapat dikatakan sah apabila dilakukan sesuai dengan ketentuan atau peraturan dalam Hukum Agama masing-masing. Misalnya, perkawinan orang-orang yang beragama Islam. Menurut Khudhariy Bey sebagaimana dikutip oleh Amir Syarifuddin, menyatakan : “Perkawinan orang-orang yang beragama Islam adalah sah bila menurut Hukum Islam perkawinan tersebut adalah sah. Pengertian sah menurut istilah Hukum Islam ialah sesuatu yang dilakukan sesuai dengan rukun dan syaratnya dan telah terhindar dari segala penghalangnya.” 50 Dengan demikian nikah yang sah adalah nikah yang dilaksanakan telah memenuhi rukun syarat pernikahan dan terlepas dari segala halangan pernikahan itu Amir Syarifuddin, 2005:189. Ketentuan dalam Pasal 2 ayat 2 UUP juga menyatakan : “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku” Dari ketentuan dalam pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa perkawinan yang sah menurut negara adalah harus dicatatkan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mengenai pencatatan perkawinan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dalam Pasal 2 ayat 2 disebutkan : “Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan” Perkawinan yang sah menurut negara harus dicatatkan di Kantor Catatan Sipil kecuali bagi beragama Islam harus dicatatkan di Kantor Urusan Agama. Hal tersebut harus dilakukan untuk memperoleh perlindungan hukum. Dalam perkawinan sah dapat terputus karena berbagai alasan. Putusnya perkawinan tersebut tidak selalu dengan perceraian, tetapi perkawinan pasti juga akan putus karena kematian. Dalam Pasal 38 UUP disebutkan : “Perkawinan dapat putus karena : a. Kematian; b. Perceraian; dan c. Atas keputusan Pengadilan.” 51 Dengan putusnya perkawinan tersebut mengakibatkan pasangan suami istri menjadi Janda. Putusnya perkawinan akan membawa akibat hukum yang berbeda tergantung dari alasan putusnya perkawinan tersebut. Dalam hal ini termasuk juga didalamnya harta benda dalam perkawinan. Berkenaan dengan harta benda dalam perkawinan menurut Pasal 35 UUP, bahwa : 1 Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama; 2 Harta benda dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Apabila perkawinan putus, maka harta bersama tersebut diatur menurut hukumnya masing-masing. Mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak, sedangkan harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya Pasal 36 UUP. Apabila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing C.S.T. Kansil, 1989:236. b. Pengertian Janda dalam Hukum Waris Dalam Hukum Waris suami atau istri yang hidup terlama dalam ikatan perkawinan disebut dengan Janda. Suami atau istri yang hidup terlama ini menjadi Janda ketika antara suami atau istri dalam suatu ikatan perkawinan putus karena kematian salah satu pihak suami atau istri. Menurut Abdulkadir Muhammad putusnya perkawinan karena kematian sering disebut oleh masyarakat dengan istilah cerai mati Abdulkadir Muhammad, 2000:108. Menurut penulis yang dimaksudkan Janda dalam hukum waris adalah sebagai suami atau istri yang hidup terlama dalam hubungan perkawinan yang putus akibat peristiwa kematian atau cerai mati. 52 Dalam Pasal 832 KUHPerdata menyatakan : “Menurut undang-undang yang berhak untuk menjadi ahli waris ialah, para keluarga sedarah, baik sah, maupun luar kawin dan si suami atau istri yang hidup terlama….” Dalam Al-Qur’an Surat An-nisa’ 4:12 disebutkan : “Dan bagimu suami-suami seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri- istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau dan sesudah dibayar utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau dan sesudah dibayar utang- utangmu….” Ditegaskan lagi dalam Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam Pasal 174 mengatur tentang orang-orang yang berhak menjadi ahli waris dan menyatakan kelompok- kelompok ahli waris. Mengenai Janda diatur dalam Pasal 174 huruf b KHI yang menyatakan bahwa salah satu ahli waris adalah menurut hubungan perkawinan yaitu Janda. Berdasarkan KUHPerdata Pasal 832 dan Al-Qur’an Surat An-nisa’ 4:12 yang ditegaskan dalam Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam Pasal 174 huruf b dapat disimpulkan bahwa Janda karena putus perkawinan akibat kematian atau cerai mati adalah sebagai salah satu ahli waris dalam Hukum Waris. Apabila ternyata suami atau istri melakukan perceraian, maka perceraian menghilangkan haknya untuk mewaris. Hal ini karena dengan terjadinya perceraian, maka tidak dapat dikatakan sebagai suami atau istri yang berhak atas warisan. Suami atau istri yang telah bercerai, satu sama lain bukan ahli waris Surini Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah, 2005:56. 53

2. Kerangka Pemikiran