4. Persentase pengeluaran untuk makanan dan non makanan di RTP Jawa – Luar Jawa, 2011 – 2013 (%) Makanan Non Makanan
Tabel 3.4. Persentase pengeluaran untuk makanan dan non makanan di RTP Jawa – Luar Jawa, 2011 – 2013 (%) Makanan Non Makanan
No Wilayah 2011 2012 2013 2011 2012 2013
1 Jawa 56.07 57.61 56.70 43.93 42.39 43.30
2 Luar Jawa 60.14 60.13 60.22 39.86 39.87 39.78
3 Indonesia 58.48 59.11 58.78 41.52 40.89 41.22 Sumber : Susenas , BPS
Persentase pengeluaran untuk makanan oleh RTP di Luar Jawa tahun 2013 adalah sebesar 60,22 persen. Persentase ini sedikit meningkat jika dibandingkan dari tahun 2011 – 2012. Sementara untuk Jawa adalah 56,70 persen di tahun 2013, sedikit menurun jika dibandingkan tahun sebelumnya yaitu 57,61 persen di tahun 2012 Pada Tabel 3.4. terlihat belum ada perubahan terhadap kesejahteraan petani dilihat dari proporsi makanan dan non makanan karena persentase yang relatif stagnan dari 2011 ke 2013.
Tabel 3.5. Rata-rata pengeluaran RTP per kapita untuk makanan dan non makanan dalam sebulan di Jawa – Luar Jawa, 2011 – 2013
Pertumbuhan Uraian
Makanan (Rp/kapita/bulan)
- Jawa 220,931 243,725 267,485 10.03 - Luar Jawa
286,219 306,396 331,733 7.66 - Indonesia
Non Makanan (Rp/kapita/bulan)
- Jawa 173,121 179,340 204,241 8.74 - Luar Jawa
189,718 203,151 219,101 7.47 - Indonesia
Total (Rp/kapita/bulan)
- Jawa 394,052 423,065 471,726 9.43 - Luar Jawa
475,937 509,547 550,834 7.58 - Indonesia
438,892 470,697 515,275 8.36 Sumber : Susenas, BPS
Jika dilihat secara nominal, rata-rata per kapita dalam sebulan pengeluaran RTP untuk makanan di Indonesia tahun 2013 adalah Rp.
302.853,- (Tabel 3.5). Secara umum rata-rata pengeluaran ini meningkat setiap tahunnya, walaupun jika dilihat secara persentase sedikit berfluktuasi pada periode tahun 2011 – 2013.
Rata-rata pengeluaran untuk makanan di Luar Jawa secara umum lebih tinggi dibandingkan di Jawa. Jika dibandingkan secara nasional, rata-rata pengeluaran di Luar Jawa bahkan berada di atas rata-rata pengeluaran secara nasional (Gambar 3.3). Tahun 2013 rata- rata pengeluaran untuk makanan di Luar Jawa adalah sekitar Rp. 331.733,- perkapita perbulan, sementara di Jawa Rp. 267.485,- per kapita perbulan. Rata-rata pengeluaran untuk makanan ini meningkat setiap tahunnya mengikuti wilayah . Tahun 2011 rata-rata pengeluaran untuk makanan di Luar Jawa sebesar Rp. 286.219,- meningkat menjadi Rp. 306.396,-. Sementara di Jawa tahun 2011 sebesar Rp. 220.931,- dan meningkat di tahun 2012 menjadi sekitar Rp. 243.725,-.
Non Makanan
Jawa
Luar Jawa
Indonesia
Gambar 3.3. Rata-rata pengeluaran nominal untuk makanan dan non
makanan per kapita selama sebulan, 2011 – 2013
Jika data pengeluaran yang bersumber dari Susenas merupakan proksi untuk pendapatan, total pendapatan nominal dan riil, secara umum terjadi peningkatan pendapatan pada periode 2011 –
2013. Apabila dilihat total pengeluaran untuk makanan dan non makanan secara nominal dan riil, terlihat laju peningkatan nilai secara nominal lebih tinggi dibandingkan secara riil. Hal ini mengindikasikan makin tingginya inflasi pada periode tersebut (Gambar 3.4).
Pengeluaran Nominal
Pengeluaran Riil
Gambar 3.4. Rata-rata pengeluaran nominal dan riil untuk makanan dan non makanan per kapita selama setahun, 2011 – 2013
Nilai Indeks Gini
Pendekatan lain yang dapat digunakan untuk mengukur ketimpangan atau kemerataan pendapatan adalah dengan Indeks Gini (G). Indeks Gini (juga dikenal sebagai Gini Ratio atau Koefisien Gini) adalah ukuran dispersi statistik untuk mewakili distribusi pendapatan suatu populasi. Ini adalah ukuran ketimpangan yang paling umum digunakan. Indeks Gini mengukur ketimpangan antara nilai-nilai dari suatu distribusi frekuensi (misalnya untuk tingkat pendapatan).
Nilai G berkisar antara 0 sampai 1 dimana dapat dikatakan terjadi ketimpangan yang rendah jika nilai G < 0,4; ketimpangan sedang jika 0,4 ≤ G ≤ 0,5 dan terjadi ketimpangan tinggi jika nilai G > 0,5.
Koefisien bervariasi antara 0 sampai 1. Nilai G = 0 mencerminkan kesetaraan lengkap di mana semua nilai sama (di mana setiap orang memiliki pendapatan yang sama); dan G = 1 menunjukkan ketimpangan lengkap, dimana satu orang memiliki semua pendapatan atau konsumsi dan semua orang lain tidak memilikinya.
Nilai Indeks Gini (G) yang dihitung berdasarkan hasil Susenas dalam analisis ini adalah menggunakan pendekatan pengeluaran. Secara umum interpretasinya tidak berbeda dengan nilai G yang dihitung menggunakan pendekatan pendapatan. Tahun 2011 – 2013 nilai G di wilayah Jawa, Luar Jawa dan Indonesia baik untuk RTP maupun non RTP dapat dilihat pada Tabel 3.6 berikut.
Tabel 3.6. Nilai Indeks Gini, tahun 2011 – 2013
Rumah Tangga Pertanian Rumah Tangga Non Pertanian Wilayah 2011
0.428 0.429 Luar Jawa
Sumber : Data Susenas 2011 - 2013
Secara umum nilai G di Indonesia sedikit berbeda untuk RTP dan rumah tangga non pertanian, dimana ketimpangan yang lebih tinggi terjadi antar rumah tangga non pertanian. Distribusi pendapatan di RTP relatif lebih merata dibandingkan pendapatan di rumah tangga non pertanian. Nilai G untuk rumah tangga non pertanian berkisar antara 0,416 di tahun 2011 – 2012 dan 0,419 di tahun 2013. Nilai G ini yang berada pa da kisaran 0,4 ≤ G ≤ 0,5 artinya termasuk dalam kategori ketimpangan sedang. Sementara nilai G untuk RTP sedikit lebih rendah yaitu 0,328 di tahun 2011 – 2012 dan 0,323 di tahun 2013, ini termasuk dalam kategori ketimpangan rendah.
Rumah Tangga Pertanian Rumah Tangga Non Pertanian
Jawa
Luar Jawa
Indonesia
Gambar 3.5. Nilai Indeks Gini/ketimpangan pengeluaran, 2011 – 2013 Pada Gambar 3.5 dapat dilihat nilai G untuk rumah tangga non
pertanian di Jawa cenderung sedikit lebih tinggi dibandingkan Luar Jawa maupun secara nasional. Sebaliknya jika dicermati ada fenomena yang menarik dimana nilai G untuk RTP di Jawa sebaliknya cenderung lebih rendah dari nilai G untuk RTP di Luar Jawa maupun secara nasional.
3.1.5. Kemiskinan dalam Rumah Tangga Pertanian
Tingkat kemiskinan pertanian yang dianalisis ini menggunakan data jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan pada Rumah Tangga Pertanian (RTP) hasil Susenas. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada tahun 2013 adalah sebesar 28,07 juta jiwa atau 11,28% dari total penduduk. Persentase ini pada periode 2011 – 2013 secara rata-rata menurun sebesar 4,64% setiap tahunnya. Dari total penduduk miskin yang ada pada tahun 2013, sekitar 59,36% atau 16,66 juta jiwa merupakan anggota RTP. Seperti halnya persentase terhadap total penduduk, persentase anggota RTP miskin terhadap jumlah penduduk miskin juga mengalami penurunan 0,5% setiap tahunnya.
Jika dilihat dalam sektor pertanian sendiri, jumlah penduduk atau anggota RTP miskin tahun 2013 adalah sebesar 16,66 juta jiwa. Secara persentase, banyaknya anggota RTP miskin terhadap jumlah anggota RTP secara keseluruhan adalah sekitar 23,46%. Pada periode 2011 – 2013, jumlah anggota RTP miskin mengalami penurunan rata- rata 4,06% (Tabel 3.7)
Tabel 3.7. Persentase Anggota Rumah Tangga Pertanian Miskin, 2011 - 2013
Penduduk Indonesia 241,991,000 245,425,000 248,818,000 1.40 Total Penduduk Miskin
30,020,000 29,130,000 28,066,550 -3.31 Total Anggota RTP
70,622,018 70,887,586 71,020,357 0.28 Total anggota RTP Miskin
18,003,468 17,606,414 16,660,386 -3.79 % Pddk miskin indonesia
12.41 11.87 11.28 -4.64 % Anggota RTP Miskin thd pddk miskin
59.97 60.44 59.36 -0.50 % Anggota RTP Miskin thd total anggota RTP
25.49 24.84 23.46 -4.06 Sumber : BPS, diolah Pusdatin
Penduduk tidak miskin
Penduduk tidak miskin Anggota RTP Miskin thd pddk miskin
Penduduk tidak miskin
Anggota RTP Miskin thd pddk miskin
Anggota RTP Miskin thd pddk miskin
Gambar 3.6. Persentase Anggota Rumah Tangga Pertanian Miskin, 2011 – 2013
Pada Gambar 3.7 menunjukkan bahwa sub sektor tanaman pangan merupakan sub sektor dengan jumlah penduduk miskin yang paling besar. Pada Tahun 2011 terdapat 12 juta jiwa penduduk miskin yang bekerja pada sub sektor tanaman pangan, namun pada tahun- tahun berikutnya jumlah penduduk miskin di sub sektor tanaman pangan mengalami penurunan menjadi 11,06 juta jiwa di tahun 2013.
Begitupula di sektor peternakan mengalami penurunan dari 1,96 juta jiwa di tahun 2011 menjadi 1,4 juta jiwa tahun 2013. Sementara pada sub sektor hortikultura, jumlah penduduk miskin mengalami peningkatan dari 962 ribu jiwa di tahun 2011 menjadi 1,03 juta jiwa di tahun 2013. Untuk sub sektor perkebunan, jumlah penduduk miskin juga mengalami peningkatan.
Tabel 3.8. Jumlah penduduk miskin di bawah garis kemiskinan menurut sub sektor, 2011 - 2013
Sub Sektor Pertumbuhan
Tahun (jiwa)
Tanaman Pangan 12,002,199 11,939,718 11,064,401 -3.93 Hortikultura
962,844 1,073,095 1,025,389 3.50 Perkebunan
3,077,338 3,170,577 3,163,195 1.40 Peternakan
1,961,086 1,423,025 1,407,401 -14.27 Total Pertanian
18,003,468 17,606,414 16,660,386 -3.79
Sumber: Susenas, BPS
Peternakan Pangan
Gambar 3.7. Jumlah penduduk miskin pada RTP per sub sektor pertanian, 2011 – 2013
Rata-rata pendapatan perkapita pada RTP berdasarkan PDB pertanian sempit dan pendapatan Susenas selama 2011-2013 bila dibandingkan dengan garis kemiskinan perbulan secara umum lebih tinggi sementara hasil survei pendapatan usaha pertanian – ST tahun 2013 menunjukkan hasil di bawah garis kemiskinan (Tabel 3.9).
Tabel 3.9. Rata-rata pendapatan perkapita pada rumah tangga pertanian dibandingkan garis kemiskinan, 2011 -2013
(Rp 000)
Tahun PDB Pert Sempit/kapita
Pendapatan per kapita
Pendapatan RTP Sensus Pertanian **) Garis Kemiskinan
(Susenas) *)
Total Perkapita/
Usaha
pertanian/RTP/ Perkapita/ Usaha/RTP/ Perkapita/ Perkapita/ tahun
Perkapita/ Perkapita/
Perkapita/
tahun bulan bulan 2011
258,62 26.561,08 553,36 271,63 Sumber : BPS diolah Pusdatin Keterangan : *) proksi pengeluaran, Susenas
**) asumsi 1 RTP beranggotakan 4 orang
PDB Pert
ln
800 b Sempit/kapita p / a Pendapatan per
600 kapita (Susenas) *)
0 0 Pendapatan RTP
400 Sensus Pertanian **) Garis Kemiskinan
Gambar 3.8. Rata-rata pendapatan perkapita pada rumah tangga pertanian dibandingkan garis kemiskinan, 2011 -2013
Pada gambar 3.8 menunjukkan bahwa orang yg bekerja di sektor pertanian memiliki potensi untuk tidak miskin, hal ini terlihat dari rata-rata pengeluaran rumah tangga pertanian lebih dari 2 kali lipat dari garis kemiskinan, meskipun di tahun 2013 masih terdapat sekitar 16,66 juta petani yang miskin atau pengeluaran di bawah garis kemiskinan.
Jika rata-rata total pengeluaran RTP baik untuk makanan dan non makanan per kapita dalam sebulan hasil Susenas diasumsikan setara dengan pendapatan, maka secara nasional jika dibandingkan
3.2. Nilai Tukar Petani
Diagram Timbang Dalam penghitungan NTP selama ini digunakan diagram timbang
yang merupakan bobot/nilai masing-masing jenis barang/jasa yang termasuk dalam paket komoditas dibandingkan dengan subkelompok/ kelompok/total seluruh barang/jasa. Diagram timbang tersebut disusun pada tahun dasar, yang dalam analisis ini digunakan tahun dasar 2007 dan 2012. Berdasarkan Survei Pengembangan Diagram Timbang (SPDT) tahun 2007 dan 2012 menunjukkan keragaan sebagai berikut:
Tabel 3.10. Persentase Konsumsi dan Biaya produksi dan Penambahan Barang Modal (BPPBM), SPDT 2007 dan 2012
No Persentase Pengeluaran
Subsektor/kelompok SPDT 2007
SPDT 2012
I Tanaman Pangan - Konsumsi
80.51 72.48 - Biaya Produksi dan Penambahan Barang Modal (BPPBM)
19.49 27.52 II Tanaman Hortikultura - Konsumsi
81.22 71.68 - Biaya Produksi dan Penambahan Barang Modal (BPPBM)
18.78 28.32 III
Tanaman Perkebunan Rakyat - Konsumsi
77.56 79.57 - Biaya Produksi dan Penambahan Barang Modal (BPPBM)
22.44 20.43 IV Peternakan - Konsumsi
65.24 42.22 - Biaya Produksi dan Penambahan Barang Modal (BPPBM)
Sumber : Survei Penyempurnaan Diagram Timbang (SPDT), BPS
Dari tabel 3.10 diatas, menunjukkan komponen pengeluaran rumah tangga tani atau yang disebut indeks yang dibayar oleh petani umumnya pengeluaran untuk konsumsi rumah tangga lebih besar dibandingkan pengeluaran untuk biaya usahatani (biaya produksi dan penambahan barang modal). Besarnya persentase pengeluran konsumsi rumah tangga tani antara 42,22% (sub sektor peternakan, SPDT 2012) sampai 81,22% (sub sektor hortikultura, SPDT 2007), sementara persentase untuk biaya produksi dan penambahan barang modal dari 18,78% (sub sektor hortikultura, SPDT 2007) sampai 57,78% (sub sektor peternakan, SPDT 2012). Hal ini menunjukkan apabila terjadi kenaikan harga kebutuhan untuk konsumsi rumah tangga yang cukup besar akan cepat mempengaruhi indeks yang dibayar petani, terutama pada sub sektor tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan.
Selanjutnya bila dilihat lebih rinci pada komponen konsumsi yang dikeluarkan rumah tangga tani, pengeluaran terbesar adalah untuk konsumsi makanan sekitar 60-66%, sementara pengeluaran non makanan sekitar 34-40% dengan komponen terbesarnya untuk perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar sekitar 12-14% dan transportasi dan komunikasi tahun 2012 terlihat meningkat cukup besar (Tabel 3.11).
Tabel 3.11. Persentase Komponen Konsumsi Makanan dan Non Makanan per Sub Sektor Pertanian, 2007 dan 2012
Tanaman Perkebunan Peternakan Kelompok Konsumsi
Tanaman Pangan
Hortikultura
Rakyat 2007
2012 2007 2012 Umum/Total
Bahan Makanan 47.54 40.03 47.46 41.52 48.73 42.72 46.12 39.49 Makanan Jadi
Non Makanan 33.63 37.94 33.76 37.45 34.01 37.34 36.17 40.02
Perumahan, Air, Listrik, Gas dan Bahan Bakar
12.77 11.73 12.84 11.47 12.63 11.88 13.93 12.02 Sandang
6.06 4.51 6.13 4.84 6.03 4.85 6.35 4.77 Kesehatan
4.1 5.46 4.03 4.91 3.72 4.63 4.06 5.22 Pendidikan, Rekreasi, dan Olahraga
4.06 4.63 4.12 4.34 4.76 4.25 4.86 5.03 Transportasi dan Komunikasi
6.64 11.61 6.63 11.89 6.86 11.73 6.97 12.99 Sumber : Survei Penyempurnaan Diagram Timbang (SPDT), BPS
Sementara bila dilihat komponen biaya usahatani yang terdiri dari biaya produksi dan penambahan barang modal terlihat, persentase pengeluaran terbesar pada usahatani sub sektor tanaman pangan dan perkebunan digunakan untuk upah buruh tani sekitar 30,37% sampai 44,85% disusul persentase pengeluaran untuk pupuk dan obat-obatan sebesar 24,65% - 29,03%. Sedangkan pada usahatani sub sektor hortikultura dan peternakan, persentase pengeluaran terbesar untuk pupuk, obat-obatan dan pakan sebesar 29,98% (sub sektor hortikultura) sampai 46,02%(sub sektor peternakan), disusul pengeluaran barang modal dan bibit untuk sub sektor peternakan dan pengeluaran upah buruh tani pada sub sektor hortikukltura. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 3.12.
Tabel 3.12. Persentase Komponen Biaya produksi dan Penambahan Barang Modal (BPPBM) per Sub Sektor Pertanian , 2007 dan 2012
Tanaman Perkebunan Peternakan Kelompok BPPBM
Tanaman Pangan
1. Bibit 6.61 8.96 8.63 12.55 3.7 2.54 15.13 18.27 2. Pupuk, obat-obatan dan
24.65 25.25 29.98 30.6 27.2 29.03 31.63 46.02 pakan 3. sewa lahan, pajak dan
7.52 13.03 7.54 14.14 7.3 9.31 10.89 8.15 pengeluaran lain
4. Transportasi 4.54 4.88 17.84 9.84 13.35 13.41 7.63 3.63 5. Barang Modal
11.83 8.22 11.94 10.79 18.08 10.56 24.71 16.98 6. Upah Buruh
44.85 39.66 24.07 22.08 30.37 35.15 10.01 7.31 Sumber : Survei Penyempurnaan Diagram Timbang (SPDT), BPS
NTP Nasional
NTP merupakan perbandingan antara Indeks harga yg diterima petani (IT) dengan Indeks harga yg dibayar petani (IB) untuk konsumsi rumah tangganya dan keperluan dalam memproduksi produk pertanian. NTP dapat digunakan sebagai salah satu proxy untuk melihat tingkat kesejahteraan petani secara cepat dan near real time, dengan asumsi kesamaan kuantitas produksi antar waktu.
Pada tahun 2011, nilai IT pertanian luas secara nasional sebesar 138,90 yang menunjukkan adanya peningkatan rata-rata tingkat harga produk pertanian sebesar 38,90% dibandingkan dengan rata-rata tingkat harga produk yang sama pada tahun dasar 2007. Kenaikan rata-rata tingkat harga produk pertanian ini terus terjadi hingga tahun 2013 dengan rata-rata peningkatan sebesar 5,54% per tahun. Pada tahun 2013, nilai IT nasional menjadi sebesar 154,69 atau terjadi kenaikan rata-rata tingkat harga produk pertanian sebesar 54,69% dibandingkan tahun dasar 2007.
Demikian pula, nilai IB pada periode tahun 2011 - 2013 mengalami peningkatan dengan rata-rata sebesar 5,36%. Pada tahun 2011, nilai IB mencapai 132,81 yang artinya rata-rata tingkat harga kebutuhan petani tahun 2011 naik sebesar 32,81% dibanding tingkat harga kebutuhan petani tahun 2007. Pada tahun 2013, nilai IB menjadi sebesar 147,40 atau naik 47,40 dibandingkan tingkat harga kebutuhan petani pada tahun 2007.
Laju peningkatan nilai IT yang lebih besar dari nilai IB menyebabkan NTP nasional pada periode tahun 2011 - 2013 hanya naik dengan rata-rata sebesar 0,19% per tahun. NTP nasional pada
tahun 2011 sebesar 104,58 yang menunjukkan bahwa daya beli riil petani pada tahun 2011 lebih tinggi 4,58% dibanding daya beli riil tahun 2007. Pada tahun 2013, NTP nasional gabungan naik menjadi sebesar 104,95 yang menunjukkan bahwa daya beli riil petani pada tahun 2013 lebih tinggi 4,95% dibanding daya beli riil tahun 2007.
Angka NTP nasional gabungan selama periode tahun 2011 – 2013 selalu berada diatas nilai 100, menunjukkan bahwa pendapatan petani naik lebih besar dibandingkan dengan pengeluarannya. Dengan asumsi volume produksi petani sama, maka dapat dikatakan bahwa kesejahteraan petani pada periode tersebut meningkat dibandingkan dengan kondisi tahun 2007. Keragaan IT, IB dan NTP nasional tahun 2011 – 2013 tersaji pada Tabel 3.13.
Tabel 3.13. Perkembangan IT, IB, NTP dan NTUP Nasional (Tahun dasar 2007=100), 2011 – 2013
Pertumbuhan (%) No.
1 IT 138.90 145.75 154.69 5.54 2 IB 132.81 138.49 147.40 5.36
3 NTP 104.58 105.24 104.95 0.18
Nasional Pertanian Sempit
1 IT 139.15 146.33 155.43 5.69 2 IB 133.27 139.06 148.15 5.44
3 NTP 104.41 105.23 104.92 0.24
Nasional Usaha Pertanian
1 IT 138.90 145.75 154.69 5.54 2 IB (BPPBM)
124.47 128.00 132.39 3.13 3 NTUP
Sumber : BPS Keterangan: Tahun dasar 2007=100
Perhitungan nilai IT, IB dan NTP nasional sektor pertanian sempit hanya mencakup sub sektor tanaman pangan, hortikultura, tanaman perkebunan rakyat dan peternakan, tanpa memperhitungkan sub sektor perikanan. Nilai IT nasional pertanian sempit pada periode tahun 2011 – 2013 mengalami peningkatan dengan rata-rata sebesar 5,69%, sementara nilai IB mengalami peningkatan sebesar 5,44%. Laju peningkatan nilai IT yang lebih besar dari nilai IB menyebabkan NTP nasional pertanian sempit hanya mengalami peningkatan sebesar 0,24% pada periode tersebut. NTP nasional pertanian sempit tahun 2013 sebesar 104,92 menunjukkan bahwa daya beli riil petani sektor pertanian sempit lebih tinggi 4,92% dibanding daya beli riil tahun 2007 (Tabel 3.13).
Nilai Tukar Usaha Pertanian adalah nilai tukar yang mempertimbangkan pengeluaran hanya dari usaha taninya yakni biaya produksi dan penambahan barang modal (BPPBM), tanpa
Perkembangan NTP dan NTUP nasional pertanian luas secara bulanan selama periode 2008 – 2013 menunjukkan pola berfluktuatif namun cenderung meningkat dengan rata-rata masing-masing sebesar 0,06% dan 0,21%. Laju peningkatan NTUP yang lebih besar dari laju peningkatan NTP menyebabkan makin besarnya perbedaan nilai NTP dan NTUP dari bulan ke bulan. Hal ini menunjukkan terjadinya laju peningkatan yang lebih besar untuk pengeluaran konsumsi rumah tangga dibandingkan laju peningkatan pengeluaran untuk biaya produksi dan penambahan barang modal (BPPBM) pada periode tersebut. Dengan asumsi bahwa volume kebutuhan rumah tangga adalah tetap, maka menggambarkan laju peningkatan harga barang konsumsi rumah tangga lebih cepat dibandingkan dengan laju peningkatan harga barang produksi untuk keperluan usaha taninya. Perkembangan NTP dan NTUP bulanan selama periode 2008 – 2013 seperti yang tersaji pada Gambar 3.9 menunjukkan bahwa setelah periode Agustus 2008 terjadi peningkatan kesejahteraan petani yang cukup signifkan dibandingkan kondisi tahun 2007.
Gambar 3.9. Perkembangan NTP dan NTUP bulanan, 2008 – 2013 (Tahun dasar 2007 = 100)
NTP dan NTUP Menurut Sub Sektor
Selama periode tahun 2011 – 2013, nilai IT pada sub sektor tanaman pangan mengalami peningkatan sebesar 6,67%, yang ditunjukkan oleh kenaikan rata-rata tingkat harga padi dan palawija selama periode tahun 2011 - 2013 masing-masing sebesar 6,48% dan 7,23%. Pada tahun 2013, nilai IT mencapai 157,44, yang menunjukkan rata-rata tingkat harga produk pertanian pada tahun 2013 naik sebesar 57,44% dibandingkan rata-rata tingkat harga produk yang sama pada tahun 2007. Pada periode yang sama, nilai IB sub sektor tanaman pangan menunjukkan peningkatan dengan rata-rata sebesar 5,75%, yang ditunjukkan oleh kenaikan tingkat harga barang konsumsi rumah tangga dan harga biaya produksi dan penambahan barang modal (BPPBM) masing-nasing sebesar 6,12% dan 4,07%. Pada tahun 2013, nilai IB sub sektor tanaman pangan mencapai 150,45 yang berarti tingkat harga kebutuhan petani pada tahun 2013 naik 50,45% dibanding tingkat harga kebutuhan petani tahun 2007. Kenaikan IT
69
yang lebih besar dibandingkan kenaikan IB pada periode tahun 2011 – 2013 menyebabkan NTP sub sektor tanaman pangan pada periode tersebut hanya naik dengan rata-rata sebesar 0,88% per tahun. NTP sub sektor tanaman pangan pada tahun 2013 mencapai 104,65. Dengan asumsi volume produksi petani pada sub sektor tanaman pangan adalah sama, maka dapat dikatakan bahwa kesejahteraan petani tanaman pangan pada tahun 2013 meningkat 4,65% dibandingkan dengan kondisi tahun 2007. Demikian pula nilai NTUP sub sektor tanaman pangan terus mengalami peningkatan selama periode 2011- 2013 sebesar 2,49%. NTUP sub sektor tanaman pangan pada tahun 2013 mencapai 113,55 yang menunjukkan bahwa kesejahteraan petani dari usaha pertanian tanaman pangan tanpa memperhitungkan pengeluaran untuk konsumsi rumah tangga mengalami peningkatan sebesar 13,55% dibandingkan kondisi tahun 2007 (Tabel 3.14).
Tabel 3.14. Perkembangan IT, IB, NTP dan NTUP Sub Sektor Tanaman Pangan (Tahun dasar 2007=100), 2011 – 2013
Pertumbuhan No
Tahun
Sub Sektor
1 IT 138.37 147.41 157.44 6.67 - Padi
134.58 144.00 152.59 6.48 - Palawija
146.23 155.15 168.11 7.23 2 IB
134.56 140.78 150.45 5.75 - Konsumsi Rumah Tangga
136.20 142.72 153.36 6.12 - Biaya Produksi dan Penambahan Barang Modal 127.99 133.01 138.64
4.07 3 NTP
102.83 104.71 104.65 0.88 4 Nilai Tukar Usaha Pertanian
108.09 110.82 113.55 2.49 Sumber : BPS
Keterangan: Tahun dasar 2007=100
Pada sub sektor hortikultura, laju peningkatan IT yang lebih kecil dibandingkan peningkatan nilai IB pada periode tahun 2011 – 2013
70
menyebabkan nilai NTP pada periode tersebut mengalami penurunan sebesar 0,61%, yang menunjukkan adanya penurunan kesejahteraan petani hortikultura pada periode tersebut. Peningkatan nilai IT merupakan kontribusi dari naiknya indeks harga jual komoditas sayur- sayuran dan buah-buahan masing-masing sebesar 4,48% dan 5,27%. Apabila dibandingkan dengan kondisi tahun 2007, terjadi peningkatan kesejahteraan petani yang ditunjukkan oleh pencapaian NTP tahun 2013 sebesar 108,29. Pada periode tahun 2011 – 2013, NTUP hortikultura mengalami peningkatan sebesar 2,32% dan lebih tinggi dibandingkan laju peningkatan NTP. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan tingkat harga biaya produksi dan penambahan barang modal (BPPBM) relatif lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan tingkat harga barang-barang konsumsi rumah tangga demikian pula bobot hasil SPDT. NTUP hortikultura pada tahun 2013 mencapai 122,93 yang menunjukkan adanya peningkatan tingkat kesejahteraan petani hortikultura pada tahun 2013 sebesar 22,93% dibanding tingkat kesejahtaraan pada tahun 2007 (Tabel 3.15).
Tabel 3.15 Perkembangan IT, IB, NTP dan NTUP Sub Sektor Hortikultura (Tahun dasar 2007=100), 2011 – 2013
Tahun
No Sub Sektor Pertumbuhan
1 IT 145.11 151.46 160.21 5.08 - Sayur-sayuran
147.43 154.35 160.95 4.48 - Buah-buahan
143.67 149.44 159.19 5.27 2 IB 133.20 138.92 147.95
5.40 - Konsumsi Rumah Tangga
135.38 141.72 151.98 5.96 - Biaya Produksi dan Penambahan Barang Modal 123.59 126.58 130.31
2.68 3 NTP
108.95 109.03 107.62 -0.61 4 Nilai Tukar Usaha Pertanian
117.41 119.65 122.93 2.32
Sumber : BPS Keterangan: Tahun dasar 2007=100
71
Hal sama terjadi pada sub sektor perkebunan rakyat, dimana laju peningkatan nilai IT yang lebih kecil dibandingkan laju peningkatan nilai IB pada periode 2011 – 2013 menyebabkan NTP sub sektor perkebunan rakyat mengalami penurunan sebesar 1,45%. Selama periode tersebut, rata-rata tingkat harga produk perkebunan atau nilai IT hanya naik 3,53%, sementara rata-rata tingkat harga kebutuhan petani kebun atau nilai IB naik 5,07%. Kenaikan nilai IB pada periode ini adalah kontribusi dari naiknya indeks konsumsi rumah tangga pekebun sebesar 5,81% serta naiknya indeks BPPBM sebesar 2,14%. NTP perkebunan rakyat pada tahun 2013 masih berada di atas nilai 100, yakni sebesar 104,21 yang menunjukkan terjadinya peningkatan kesejahteraan petani perkebunan rakyat pada tahun 2013 sebesar 4,21% dibandingkan kondisi tahun 2007. Sebaliknya, pada NTUP perkebunan periode 2011 - 2013 mengalami peningkatan sebesar 1,36%, yang menunjukkan bahwa peningkatan rata-rata tingkat harga BPPBM petani kebun masih lebih rendah dari peningkatan rata-rata tingkat harga produk perkebunan. NTUP perkebunan rakyat pada tahun 2013 mencapai 119,60 yang berarti bahwa tanpa memperhatikan pengeluaran konsumsi rumah tangga, petani perkebunan rakyat mengalami peningkatan kesejahteraan sebesar 19,60% dibandingkan kondisi tahun 2007 (Tabel 3.16). Tabel 3.16. Perkembangan IT, IB, NTP dan NTUP Sub Sektor
Perkebunan Rakyat (Tahun dasar 2007=100), 2011 – 2013
Tahun
No Sub Sektor Pertumbuhan
1 IT 141.46 145.20 151.62 3.53 - Tanaman Perkebunan Rakyat
141.46 145.20 151.62 3.53 2 IB 131.85 137.11 145.53
5.07 - Konsumsi Rumah Tangga
134.95 141.10 151.05 5.81 - Biaya Produksi dan Penambahan Barang Modal
121.51 123.68 126.77 2.14 3 NTP
107.29 105.90 104.21 -1.45 4 Nilai Tukar Usaha Pertanian
116.42 117.40 119.60 1.36 Sumber : BPS
Keterangan: Tahun dasar 2007=100
Selama periode tahun 2011 - 2013 terjadi kenaikan harga jual produk peternakan sebesar 5,22%, yakni karena naiknya harga jual ternak besar, ternak kecil, unggas dan hasil ternak. Sementara kenaikan harga barang konsumsi dan biaya produksi dan penambahan barang modal sub sektor peternakan hanya naik 4,74%. Karena kondisi tersebut, maka tejadi kenaikan NTP sub sektor peternakan atau kenaikan kesejahteraan peternak (dengan asumsi volume produksi pada periode tersebut sama) sebesar 0,45%. NTP sub sektor peternakan pada tahun 2013 mencapai 102,13 yang menunjukkan peningkatan kesejahteraan peternak sebesar 2,13% dibandingkan tahun 2007. NTUP sub sektor peternakan tahun 2013 mencapai 115,81 menunjukkan bila tanpa memperhatikan pengeluaran peternak untuk konsumsi rumah tangga maka terjadi kenaikan kesejahteraan peternak sebesar 15,81% dibandingkan tahun 2007 (Tabel 3.17).
Tabel 3.17. Perkembangan IT, IB, NTP dan NTUP Sub Sektor Peternakan (Tahun dasar 2007=100), 2011 – 2013
Tahun No
Sub Sektor Pertumbuhan
1 IT 131.60 136.65 145.68 5.22 - Ternak Besar
124.33 129.62 139.78 6.04 - Ternak Kecil
143.04 149.25 157.95 5.08 - Unggas
135.45 139.63 147.63 4.41 - Hasil Ternak
140.03 145.37 153.12 4.57 2 IB 130.02 134.85 142.62
4.74 - Konsumsi Rumah Tangga
134.58 141.15 151.41 6.08 - Biaya Produksi dan Penambahan Barang Modal
121.29 122.77 125.77 1.83 3 NTP
101.22 101.33 102.13 0.45 4 Nilai Tukar Usaha Pertanian
108.50 111.30 115.81 3.32 Sumber : BPS
Keterangan: Tahun dasar 2007=100
Gambar 3.10. Perkembangan NTP Menurut Sub Sektor,
2011 – 2013 (Tahun dasar 2007 = 100)
Selama periode tahun 2011-2013, NTP hortikultura dan perkebunan mengalami penurunan, sementara NTP tanaman pangan dan peternakan mengalami peningkatan. Selama periode tersebut, NTP tertinggi adalah pada sub sektor hortikultura, sementara yang terendah adalah NTP sub sektor peternakan (Gambar 3.10).
Gambar 3.11. Perkembangan NTUP Menurut Sub Sektor, 2011 – 2013
(Tahun dasar 2007 = 100)
Selama periode tahun 2011-2013, NTUP semua sub sektor mengalami peningkatan. Selama periode tersebut, NTUP tertinggi adalah pada sub sektor hortikultura, sementara yang terendah adalah NTUP sub sektor tanaman pangan (Gambar 3.11).
IT, IB, NTP dan NTUP Menurut Provinsi
Perkembangan rata-rata tingkat harga jual produk pertanian atau IT selama periode 2011 – 2013 menunjukkan peningkatan di semua provinsi. Peningkatan tertinggi dari harga jual produk pertanian atau IT pada periode tersebut adalah di Provinsi Jawa Barat yang mencapai 7,84%, sedangkan terrendah adalah di Provinsi Jambi sebesar 1,45%. Apabila dibandingkan dengan tingkat harga jual produk pertanian pada tahun 2007, maka peningkatan tertinggi dari harga jual produk pertanian yang terjadi pada tahun 2013 adalah di Provinsi Lampung yang mencapai 75,03% dan terendah di Provinsi Jambi sebesar 27,78% (Tabel 3.18).
Tabel 3.18. Perkembangan IT Menurut Provinsi (Tahun dasar 2007=100), 2011 – 2013
Pertumbuhan No.
1 Nanggroe Aceh Darussalam
141.46 3.01 2 Sumatera Utara
147.54 3.38 3 Sumatera Barat
127.78 1.45 6 Sumatera Selatan
175.03 6.38 9 Bangka Belitung
129.05 4.81 10 Kep. Riau
136.23 3.86 11 Jawa Barat
167.53 7.84 12 Jawa Tengah
156.06 6.83 13 DI Yogyakarta
163.53 5.92 14 Jawa Timur
152.33 5.09 17 Nusa Tenggara Barat
136.56 3.13 18 Nusa Tenggara Timur
150.03 3.96 19 Kalimantan Barat
140.86 2.79 20 Kalimantan Tengah
142.10 3.08 21 Kalimantan Selatan
148.96 2.63 22 Kalimantan Timur
133.13 3.06 23 Sulawesi Utara
142.74 3.28 24 Sulawesi Tengah
142.39 3.66 25 Sulawesi Selatan
156.31 4.81 26 Sulawesi Tenggara
137.57 2.76 28 Sulawesi Barat
154.24 4.80 30 Maluku Utara
141.91 3.65 31 Papua Barat
138.99 3.42 Sumber : BPS
Keterangan: Tahun dasar 2007=100
Selama periode tahun 2011 – 2013, terjadi peningkatan rata-rata tingkat harga kebutuhan petani di semua provinsi, dengan peningkatan tertinggi terjadi di Provinsi Jawa Timur yang mencapai 6,48%, sedangkan peningkatan terendah di Provinsi Kepulauan Riau sebesar 2,93%. Apabila dibandingkan dengan rata-rata tingkat harga kebutuhan
Tabel 3.19. Perkembangan IB Menurut Provinsi (Tahun dasar 2007=100), 2011 – 2013
Pertumbuhan No.
1 Nanggroe Aceh Darussalam
137.13 3.56 2 Sumatera Utara
148.18 5.31 3 Sumatera Barat
143.66 5.48 6 Sumatera Selatan
140.29 4.96 9 Bangka Belitung
128.41 4.08 10 Kep. Riau
129.82 2.93 11 Jawa Barat
152.92 5.49 12 Jawa Tengah
147.27 6.20 13 DI Yogyakarta
140.02 5.07 14 Jawa Timur
142.04 4.71 17 Nusa Tenggara Barat
145.02 4.21 18 Nusa Tenggara Timur
151.39 5.53 19 Kalimantan Barat
143.74 5.18 20 Kalimantan Tengah
144.92 4.65 21 Kalimantan Selatan
141.21 4.02 22 Kalimantan Timur
140.11 5.07 23 Sulawesi Utara
142.06 4.64 24 Sulawesi Tengah
146.84 4.64 25 Sulawesi Selatan
145.40 4.56 26 Sulawesi Tenggara
136.61 4.44 28 Sulawesi Barat
146.03 4.30 30 Maluku Utara
141.34 3.96 31 Papua Barat
138.03 3.74 Sumber : BPS
Keterangan: Tahun dasar 2007=100
Selama periode tahun 2011 – 2013, hampir semua provinsi mengalami penurunan daya beli riil petani terhadap harga produk
Apabila dibandingkan dengan kondisi tahun 2007, maka pada tahun 2013 terjadi penurunan kesejahteraan petani di Provinsi Sumatera Utara, Jambi, Bengkulu, NTT. NTB, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, dan Papua Barat. Sementara, peningkatan kesejahteraan petani tertinggi terjadi di Provinsi Lampung yang meningkat sebesar 24,76%, dan terendah di Provinsi Maluku Utara yang hanya naik sebesar 0,43% dibandingkan tahun 2007. Pencapaian peningkatan kesejahteraan petani di Provinsi Lampung yang cukup besar dikarenakan laju peningkatan harga jual produk petani yang relatif lebih cepat (Tabel 3.20).
Tabel 3.20. Perkembangan NTP Menurut Provinsi (Tahun dasar 2007=100), 2011 – 2013
Pertumbuhan No.
1 Nanggroe Aceh Darussalam
103.16 -1.77 2 Sumatera Utara
99.58 -3.33 3 Sumatera Barat
104.21 -2.12 4 Riau
101.50 -2.26 5 Jambi
88.98 -5.67 6 Sumatera Selatan
110.03 -0.10 7 Bengkulu
105.24 108.52 99.64 -2.53 8 Lampung
121.03 127.18 124.76 1.59 9 Bangka Belitung
100.56 103.61 100.49 0.01 10 Kep. Riau
104.94 107.89 104.93 0.03 11 Jawa Barat
105.76 111.21 109.55 1.83 12 Jawa Tengah
106.21 109.99 105.95 -0.05 13 DI Yogyakarta
114.63 117.84 116.79 0.95 14 Jawa Timur
103.80 108.00 102.91 -0.33 15 Banten
106.44 112.33 110.17 1.80 16 Bali
107.39 110.15 107.25 -0.03 17 Nusa Tenggara Barat
98.60 104.16 94.18 -1.97 18 Nusa Tenggara Timur
103.38 107.38 99.12 -1.91 19 Kalimantan Barat
103.90 104.28 98.01 -2.83 20 Kalimantan Tengah
104.91 107.25 98.05 -3.17 21 Kalimantan Selatan
109.54 112.16 105.50 -1.77 22 Kalimantan Timur
102.47 105.87 95.04 -3.46 23 Sulawesi Utara
104.50 108.06 100.50 -1.79 24 Sulawesi Tengah
100.21 105.70 96.99 -1.38 25 Sulawesi Selatan
106.97 112.21 107.52 0.36 26 Sulawesi Tenggara
107.21 109.37 106.10 -0.49 27 Gorontalo
105.26 106.18 100.72 -2.13 28 Sulawesi Barat
106.18 108.72 104.27 -0.85 29 Maluku
102.74 108.49 105.62 1.48 30 Maluku Utara
105.57 105.91 100.43 -2.42 31 Papua Barat
102.78 104.69 99.63 -1.49 32 Papua
102.70 107.18 100.71 -0.83 Sumber : BPS
Keterangan: Tahun dasar 2007=100
Apabila pengeluaran petani hanya mempertimbangkan rata-rata tingkat harga biaya produksi dan penambahan barang modal (BPPBM) atau tanpa mempertimbangkan tingkat harga biaya konsumsi rumah tangga, maka selama periode 2011- 2013 terjadi peningkatan kesejahteraan petani di semua provinsi, kecuali di Provinsi Sumatera Utara dan Jambi. Peningkatan kesejahteraan tertinggi di Provinsi
Lampung sebesar 3,77%, dan terrendah di Provinsi Kalimantan Barat sebesar 0,307%. Apabila dibandingkan dengan kondisi tahun 2007, maka pada tahun 2013 terjadi peningkatan kesejahteraan petani di semua provinsi, kecuali Provinsi Jambi yang turun sebesar 4,44%. Peningkatan kesejahteraan petani tertinggi di Provinsi Sulawesi Tenggara yang naik sebesar 27%, dan terendah di Povinsi Sumatera Utara yang naik sebesar 5,65% (Tabel 3.21).
Tabel 3.21. Perkembangan NTUP Menurut Provinsi (Tahun dasar 2007=100), 2011 – 2013
Pertumbuhan No.
1 Nanggroe Aceh Darussalam
110.41 1.07 2 Sumatera Utara
105.65 -0.09 3 Sumatera Barat
95.56 -1.68 6 Sumatera Selatan
121.61 127.11 130.94 3.77 9 Bangka Belitung
103.88 106.24 109.38 2.61 10 Kep. Riau
112.17 116.05 117.84 2.50 11 Jawa Barat
112.88 117.94 120.80 3.45 12 Jawa Tengah
109.36 111.11 114.00 2.10 13 DI Yogyakarta
117.91 120.83 125.06 2.99 14 Jawa Timur
108.83 110.97 114.73 2.68 15 Banten
106.53 111.05 114.44 3.65 16 Bali
112.46 115.81 117.56 2.25 17 Nusa Tenggara Barat
108.77 109.28 109.93 0.53 18 Nusa Tenggara Timur
113.33 115.89 116.56 1.42 19 Kalimantan Barat
113.42 114.67 114.10 0.30 20 Kalimantan Tengah
112.57 112.75 114.37 0.80 21 Kalimantan Selatan