Analisis Kesejahteraan Rumah Tangga Peta (1)
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga publikasi “Analisis Data Kesejahteraan Petani Tahun 2014” telah diselesaikan. Publikasi ini merupakan salah satu output dari Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian dalam mengemban visi dan misinya dalam mempublikasikan baik data sektor pertanian maupun hasil analisis datanya.
Publikasi Analisis Data Kesejahteraan Petani Tahun 2014 memuat informasi tentang tingkat kesejahteraan petani berdasarkan data dan informasi yang tersedia diantaranya data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dan NTP yang
bersumber dari BPS.
Dengan diterbitkannya publikasi ini diharapkan para pembaca dapat memperoleh gambaran tentang kesejahteraan petani di Indonesia. Kepada semua pihak yang telah terlibat dalam penyusunan publikasi ini, kami ucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya. Kritik dan saran dari segenap pembaca sangat diharapkan guna dijadikan dasar penyempurnaan dan perbaikan untuk penerbitan publikasi berikutnya.
Jakarta, Desember 2014 Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian,
Ir. M. Tassim Billah, M.Sc. NIP. 19570725.198203.1.002
vi Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian
3.2. Nilai Tukar Petani ......................................................................... 62 Diagram Timbang ......................................................................... 62 Nilai Tukar Petani Nasional ............................................................. 65 Nilai Tukar Petani dan Nilai Tukar Usaha Pertanian menurut Sub sektor .................................................................................... 69 IT, IB, NTP dan NTUP menurut provinsi .......................................... 75
KESIMPULAN .......................................................................................... 82
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 85
viii Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian
Tabel 3.21. Perkembangan NTUP Menurut Provinsi (Tahun dasar 2007=100), 2011 – 2013 ............................................................ 81
xii Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 2.1.
Persentase Rumah Tangga Pertanian Menurut Status Penguasaan Bangunan Tempat Tinggal, 2011 - 2013 ............ 44
Lampiran 2.2. Persentase Rumah Tangga Pertanian menurut Jenis Atap Terluas, 2011 – 2013 ........................................................... 45
Lampiran 2.3. Persentase Rumah Tangga Pertanian menurut Jenis Lantai Terluas, 2011 - 2013 ............................................................ 46
Lampiran 2.4. Persentase Rumah Tangga Pertanian menurut Sumber Penerangan, 2011 – 2013..................................................... 47
Lampiran 2.5. Persentase Rumah Tangga Pertanian Yang Menggunakan Bahan bakar/energi utama untuk memasak, 2011 - 2013 ........ 48
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Peningkatan kesejahteraan petani merupakan salah satu dari empat sukses pembangunan pertanian, namun selama ini kesejahteraan petani baru diukur dari besaran Nilai Tukar Petani (NTP). Konsep Nilai Tukar Petani (NTP) merupakan rasio antara indeks yang diterima petani (It) dengan indeks yang dibayar petani (Ib), serta Nilai Tukar Usaha Pertanian (NTUP) yang merupakan ukuran kemampuan rumah tangga pertanian dalam memenuhi kebutuhan usaha pertaniannya, karena keterbatasan dari penghiutungan dengan asumsi produksi tetap yang berubah hanya harga, maka dianggap kurang dapat mencerminkan kesejahteraan petani.
Selain NTP, banyak indikator yang dapat digunakan untuk mengukur kesejahteraan petani, diantaranya adalah data konsumsi dan pengeluaran rumah tangga pertanian yang diolah dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), yaitu melalui proporsi pengeluaran untuk makanan dan non makanan pada rumah tangga dengan sumber utama pendapatannya dari pertanian. Ernest Engel (1857) dalam Susenas, 2012 bahwa apabila tidak terdapat perbedaan selera, maka persentase pengeluaran untuk
makanan menurun dengan meningkatnya pendapatan. Oleh karena itu komposisi pengeluaran rumah tangga pertanian dapat dijadikan ukuran untuk menilai tingkat kesejahteraan petani, dimana semakin rendah persentase pengeluaran untuk makanan terhadap total pengeluaran, maka semakin baik tingkat perekonomian/kesejahteraan petani.
Pada kondisi pendapatan yang terbatas akan lebih mendahulukan untuk kebutuhan konsumsi makanan, sehingga dapat dilihat pada kelompok masyarakat dengan pendapatan rendah, sebagian besar pendapatan digunakan untuk memenuhi kebutuhan makanan. Namun demikian seiring dengan pergeseran peningkatan pendapatan, proporsi pola pengeluaran untuk makanan akan menurun dan pengeluaran non makanan meningkat. Kondisi tersebut digunakan sebagai salah satu ukuran dalam analisis kesejahteraan petani. Selain indikator diatas, analisis juga dilakukan terhadap pendapatan yang didekati dengan besarnya pengeluaran pada RTP hasil Susenas, PDB pertanian sempit per kapita, pendapatan hasil Sensus Pertanian 2013 yang kesemuanya dibandingkan dengan garis kemiskinan .
Untuk itu, Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian sebagai instansi penyedia data dan informasi di lingkup Kemeterian Pertanian, pada tahun 2014 telah melakukan kajian analisis kesejahteraan petani menggunakan berbagai indikator tersebut.
1.2. Tujuan dan Sasaran
Tujuan dari analisis ini adalah melakukan kompilasi serta analisis kesejahteraan petani berdasarkan data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) dan Nilai Tukar Petani (NTP).
Sasaran kegiatan ini adalah tersedianya data dan informasi serta hasil analisis kesejahteraan petani berdasarkan data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) , Nilai Tukar Petani (NTP) dan data pendukung lainnya.
1.3. Ruang Lingkup
Data yang digunakan dalam analisis kesejahteraan petani ini adalah data series tiga tahun yaitu 2011 – 2013 yang bersumber dari: Data yang digunakan dalam analisis kesejahteraan petani ini adalah data series tiga tahun yaitu 2011 – 2013 yang bersumber dari:
b. Pendapatan RTP-Survei Pendapatan Usaha Pertanian-Sensus Pertanian, 2013 yang bersumber dari BPS
c. Survei Sosial Ekomomi Nasional (Susenas) triwulan I yang diselenggarakan pada bulan Maret dengan tingkat penyajian sampai dengan provinsi.
d. Nilai Tukar Petani (NTP) yang bersumber dari BPS. NTP merupakan rasio antara indeks yang diterima petani (It) dengan indeks yang dibayar petani (Ib), serta Nilai Tukar Usaha Pertanian (NTUP) yang merupakan ukuran kemampuan rumah tangga pertanian dalam memenuhi kebutuhan usaha pertaniannya.
e. Cakupan rumah tangga dalam analisis ini adalah rumah tangga pertanian, meliputi sub sektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan.
1.4. Metode analisis
Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif untuk beberapa indikator, yaitu:
a. Karakteristik Rumah Tangga Pertanian (RTP), meliputi RTP berdasarkan sub sektor, jumlah anggota rumah tangga, kelompok umur, gender, pendidikan, kesehatan, perumahan dan perlindungan sosial.
b. Kesejahteraan rumah tangga pertanian, meliputi pendapatan perkapita pada rumah tangga pertanian, pengeluaran RTP, gini ratio, anggota rumah tangga pertanian dibawah garis kemiskinan, serta Nilai Tukar Petani (NTP).
Pendapatan perkapita pada rumah tangga pertanian dihitung berdasarkan data PDB pertanian sempit dibagi dengan jumlah anggota RTP hasil Susenas (PDB yang digunakan PDB atas harga berlaku dan harga konstan 2000).
Rata-rata pendapatan rumah tangga pertanian hasil Survei
Pendapatan Usaha Pertanian- Sensus Pertanian, 2013. Rata-rata pengeluaran perkapita RTP bersumber dari Susenas
merupakan proksi pendapatan perkapita RTP serta melihat proporsi pengeluaran makanan dan non makanan pada rumah tangga pertanian, dimana melalui pola pengeluaran rumah tangga pertanian tersebut digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan. Menurut hukum Engel, bila persentase pengeluaran makanan terhadap total pengeluaran lebih dari 80%, maka tingkat kesejahteraan rumah tangga tersebut sangat rendah.
Gini ratio adalah besaran untuk melihat ketimpangan pengeluaran sebagai proksi pendapatan pada rumah tangga pertanian, dengan formula sebagai berikut :
i 1 10 . 000
P i : Persentase rumah tangga petani pada kelas ke-i Q i : Persentase kumulatif total pengeluaran sampai kelas ke-i
Nilai gini ratio berkisar antara 0 dan 1, jika:
G < 0,4 → ketimpangan rendah
0,4 ≤ G ≤ 0,5 → ketimpangan sedang
G > 0,5 → ketimpangan tinggi
Tingkat kemiskinan di sektor pertanian atau tingkat kesejahteraan petani, dianalisis melalui :
Perkembangan persentase rumah tangga pertanian yang berada di bawah garis kemiskinan (Susenas).
Membandingkan garis kemiskinan dengan hasil analisis PDB pertanian sempit per kapita, Rata-rata pendapatan
petani (Sensus Pertanian 2013) dan rata-rata pengeluaran sebagai proksi pendapatan RTP (Susenas).
NTP merupakan salah satu proksi untuk melihat tingkat kesejahteraan petani.
Penghitungan Nilai Tukar Petani (NTP) =
NTP
x 100
NTP = Nilai Tukar Petani
I t = Indeks harga yang diterima petani
I b = Indeks harga yang dibayar petani - NTP > 100, berarti petani mengalami surplus. Harga produksinya naik lebih besar dari kenaikan harga konsumsinya. Pendapatan petani naik lebih besar dari pengeluarannya; dengan demikian tingkat kesejahteraan petani lebih baik dibanding tingkat kesejahteraan petani sebelumnya.
- NTP = 100, berarti petani mengalami impas/break even. Kenaikan/penurunan harga produksinya sama dengan persentase kenaikan/penurunan harga barang konsumsinya. Tingkat kesejahteraan petani tidak mengalami perubahan.
- NTP < 100, berarti petani mengalami defisit. Kenaikan harga barang produksinya relatif lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan harga barang konsumsinya. Tingkat kesejahteraan petani pada suatu periode mengalami penurunan dibanding tingkat kesejahtaraan petani pada periode sebelumnya.
II. KARAKTERISTIK RUMAH TANGGA
2.1. Gambaran Umum Rumah Tangga
Rumah tangga secara umum dibedakan dalam dua jenis, yaitu rumah tangga pertanian dan rumah tangga non pertanian. Rumah tangga pertanian adalah rumah tangga dimana satu atau lebih anggota rumah tangga tersebut melakukan kegiatan yang menghasilkan produk pertanian dengan tujuan sebagian atau seluruh hasilnya
untuk memperoleh pendapatan/keuntungan atas resiko sendiri. Kegiatan dimaksud meliputi usaha tanaman padi dan palawija, tanaman hortikultura, tanaman perkebunan dan peternakan. Sementara rumah tangga non pertanian adalah rumah tangga buruh tani dan rumah tangga lainnya yang meliputi rumah tangga perikanan, kehutanan dan pertanian lainnya, pertambangan dan penggalian, industri pengolahan, perdagangan, jasa pendidikan, jasa kesehatan dan lain-lain.
untuk
dijual/ditukar
Tabel 2.1. Persentase rumah tangga pertanian dan rumah tangga non pertanian di Indonesia, 2011 – 2013
Rumah Tangga Pertanian Rumah Tangga Non Pertanian Wilayah 2011
78.77 78.95 79.08 0.20 Luar Jawa
Sumber : Susenas - BPS
Hasil survei sosial ekonomi nasional (SUSENAS) – BPS tahun 2011 sampai dengan 2013 menunjukkan rumah tangga pertanian mengalami penurunan sebesar 0,82%, sementara rumah tangga non pertanian meningkat sebesar 0,32%. Rata-rata persentase rumah tangga pertanian sebesar 28% dan rumah tangga non pertanian Hasil survei sosial ekonomi nasional (SUSENAS) – BPS tahun 2011 sampai dengan 2013 menunjukkan rumah tangga pertanian mengalami penurunan sebesar 0,82%, sementara rumah tangga non pertanian meningkat sebesar 0,32%. Rata-rata persentase rumah tangga pertanian sebesar 28% dan rumah tangga non pertanian
Jika dilihat menurut provinsi, persentase rumah tangga pertanian tahun 2013 tiga terbesar terdapat di Provinsi NTT (64,66%), Papua (60,27%) dan Kalbar (50,52%). Sedangkan persentase rumah tangga pertanian terkecil terdapat di Provinsi DKI (0,21%), Kepri (7,03%), Banten (13,40%) dan Jawa Barat (14,16%). Secara rinci disajikan pada Lampiran 2.1.
2.2. Karakteristik Kepala dan Anggota Rumah Tangga Pertanian
Karakteristik yang akan dianalisis meliputi kepala dan anggota rumah tangga pertanian berdasarkan sub sektor, umur, pendidikan, gender dan kesehatan.
Berdasarkan Sub Sektor Apabila dirinci per sub sektor pada tahun 2011 - 2013, persentase
rumah tangga pertanian didominasi oleh rumah tangga pertanian sub sektor tanaman pangan mencapai 60%, disusul rumah tangga sub sektor perkebunan sebesar 25-27%, sub sektor peternakan sebesar 8- 10% dan sub sektor hortikultura sekitar 6% (Gambar 2.1). Dari Tabel
2.2. menunjukkan di Pulau Jawa didominasi oleh rumah tangga tanaman pangan dan peternakan, sementara di luar Jawa adalah rumah tangga tanaman pangan dan perkebunan yang relatif seimbang. Persentase RTP di Jawa untuk sub sektor tanaman pangan tahun 2011 – 2013 berkisar antara 73,53 persen sampai 77,52 persen. Sementara di luar Jawa pada tahun 2011 sebesar 47,06 persen dan mengalami penurunan sampai dengan tahun 2013 menjadi sebesar 45,89 persen. Untuk sub sektor perkebunan, persentase RTP di wilayah luar Jawa pada tahun 2011 sebesar 42,71 persen dan meningkat menjadi 45,35 2.2. menunjukkan di Pulau Jawa didominasi oleh rumah tangga tanaman pangan dan peternakan, sementara di luar Jawa adalah rumah tangga tanaman pangan dan perkebunan yang relatif seimbang. Persentase RTP di Jawa untuk sub sektor tanaman pangan tahun 2011 – 2013 berkisar antara 73,53 persen sampai 77,52 persen. Sementara di luar Jawa pada tahun 2011 sebesar 47,06 persen dan mengalami penurunan sampai dengan tahun 2013 menjadi sebesar 45,89 persen. Untuk sub sektor perkebunan, persentase RTP di wilayah luar Jawa pada tahun 2011 sebesar 42,71 persen dan meningkat menjadi 45,35
Gambar 2.1. Persentase RTP Indonesia menurut sub sektor,
2011 - 2013
Tabel 2.2. Persentase rumah tangga pertanian berdasarkan sub sektor, 2011 - 2013
Pertanian Tanaman
Perkebunan Peternakan Wilayah
Hortikultura
Padi & Palawija 2011 2012 2013 2011 2012 2013 2011 2012 2013 2011 2012 2013
Jawa 74,45 77,52 73,53 6,73 6,33 8,04 3,28 4,19 3,97 15,54 11,96 14,46 Luar Jawa 47,06 45,21 45,89 4,99 5,10 5,96 42,71 45,35 43,81 5,24 4,35 4,34 Indonesia 59,45 59,72 58,32 5,78 5,65 6,90 24,87 26,86 25,90 9,90 7,77 8,89 Sumber : Susenas - BPS
Tiga provinsi terbesar persentase rumah tangga pertanian untuk sub sektor tanaman pangan,hortikultura dan peternakan tahun 2011 – 2013 adalah Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat. Pada sub sektor tanaman pangan, terlihat di Jawa Timur memiliki persentase
tertinggi dengan rata-rata pada periode tersebut sebesar 22,10%. Sementara untuk sub sektor hortikultura, wilayah dengan persentase tertinggi dengan rata-rata pada periode tersebut sebesar 22,10%. Sementara untuk sub sektor hortikultura, wilayah dengan persentase
Pada RTP Perkebunan terlhat pada tabel 2.4, empat provinsi dengan persentase terbesar berasal dari luar Jawa yaitu provinsi Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung dan Kalimantan Barat dengan masing-masing sebesar 13,02 persen, 13,09 persen, 8,15 persen, dan 8,22 persen pada tahun 2011. Terlihat pada tahun 2012 dan 2013 persentase RTP sub sektor perkebunan di keempat provinsi tersebut tidak jauh berbeda.
Tabel 2.3. Persentase rumah tangga pertanian sub sektor tanaman pangan, hortikultura dan peternakan di 3 provinsi terbesar, 2011 - 2013
Peternakan Wilayah
Tanaman Pangan
Jawa Timur 21.61 23.93 20.75 18.41 14.77 15.18 40.31 37.21 43.14 Jawa Tengah
18.61 18.95 17.17 23.97 25.11 23.98 18.47 17.34 14.73 Jawa Barat
Sumber : Susenas, BPS
Tabel 2.4. Persentase rumah tangga pertanian sub sektor perkebunan di 4 provinsi terbesar, 2011 - 2013
Sumatera Utara 13.02 12.49 13.42 Sumatera Selatan
13.09 13.34 12.47 Lampung
8.15 7.89 8.19 Kalimantan Barat
Sumber : Susenas, BPS
Berdasarkan Jumlah Anggota Rumah Tangga (ART) Rata-rata jumlah anggota rumah tangga menunjukkan bahwa
jumlah ART baik di rumah tangga pertanian, rumah tangga buruh tani dan rumah tangga lainnya adalah berjumlah 4 orang (Tabel 2.5). Jumlah ini umumnya merupakan keluarga inti yaitu terdiri dari ayah, ibu dan 2 orang anak. Namun bila dibandingkan antara Jawa dan Luar Jawa, rata-rata jumlah anggota rumah tangga pertanian di Luar Jawa lebih banyak dibandingkan di Jawa.
Tabel 2.5. Rata-rata Jumlah Anggota Rumah Tangga (ART) Pertanian, ART Buruh Tani dan ART rumah tangga lainnya di Indonesia, 2011 - 2013
Anggota Rumah Tangga Anggota Rumah Tangga Buruh Anggota Rumah Tangga Wilayah
3,68 3,74 3,73 Luar Jawa
Sumber : Susenas - BPS
Selanjutnya, dilihat dari banyaknya anak yang lahir hidup tahun 2011 – 2013 di pulau Jawa menunjukkan bahwa banyaknya anak yang lahir hidup dari anggota RTP perempuan berumur 10 tahun ke atas adalah rata-rata 3 orang. Sedangkan untuk di Luar Jawa, rata-ratanya lebih tinggi. Hal ini mengindikasikan adanya penurunan jumlah
penduduk di Luar Jawa menurun lebih kecil. Umumnya banyaknya anak yang lahir hidup dari tahun 2011 sampai dengan tahun 2013 tidak jauh berbeda, secara rinci dapat dilihat pada tabel 2.6
Tabel 2.6. Rata-rata banyaknya anak yang lahir hidup dari anggota RTP perempuan berumur 10 tahun ke atas di Indonesia, 2011 -2013
(orang)
Rata-rata banyaknya anak lahir hidup Provinsi
Luar Jawa
Sumber : Susenas , BPS
Berdasarkan Umur Usia produktif (15 – 64 tahun) mendominasi pada rumah tangga
pertanian yaitu berkisar 64% - 68%, dan sisanya merupakan usia non produktif (umur 0 – 14 tahun dan >=65 tahun). Kondisi tersebut juga terjadi di pulau Jawa dan Luar Jawa maupun menurut sub sektor dengan kecenderungan lebih besar persentase usia produktif di pulau Jawa ( Gambar 2.2.).
Produktif Non
Produktif
Produktif Non
Produktif
Produktif Non
Produktif Produktif Non
Tanaman Pangan
Luar Jawa
Indonesia
Gambar 2.2. Persentase anggota rumah tangga petani menurut kelompok umur per sub sektor, 2013
Rasio ketergantungan (Dependency ratio) adalah angka yang menunjukkan beban ketergantungan penduduk usia produktif pada suatu wilayah. Dari Tabel 2.7 terlihat dependecy ratio pada rumah
menggambarkan kesejahteraan petani karena belum memperhatikan partisipasi angkatan kerja dan besarnya pendapatan untuk menanggung yang tidak produktif.
Bonus demografi
tersebut
belum
Tabel 2.7. Persentase Anggota Rumah Tangga Pertanian menurut Kelompok Umur dan Dependency Ratio Per Subsektor, 2011-2013
Perkebunan Peternakan Struktur Umur 2011 2012 2013 2011 2012 2013 2011 2012 2013 2011 2012 2013
Tanaman Pangan
0 - 14 th 26.50 26.16 26.86 26.61 27.84 27.63 30.23 30.09 30.15 24.60 25.70 25.23 15 - 64 th
66.62 67.09 66.70 67.00 66.16 67.36 65.47 65.68 65.71 66.50 64.62 66.20 >=65 th
Dependency Ratio (DR)
Sumber: Susenas, BPS
Rata-rata umur kepala rumah tangga pada semua jenis rumah tangga berada pada usia produktif, yaitu usia 30 – 50 tahun, di mana di pulau Jawa untuk rumah tangga pertanian sedikit lebih tua dibandingkan di luar Jawa, yakni pada kisaran 52 tahun, sedangkan di luar Jawa kisaran 46 tahun (Tabel 2.8).
Tabel 2.8. Rata- rata umur kepala rumah tangga menurut jenis rumah tangga, 2011 – 2013
(tahun)
Rumah Tangga Lainnya No.
Rumah Tangga Pertanian
Rumah Tangga Buruh Tani
1 Jawa 56 52 52 40 43 45 45 40 42 2 Luar Jawa
45 42 52 30 30 38 35 42 37 3 Indonesia
45 52 52 40 43 45 35 40 38 Sumber: Susenas, BPS
Berdasarkan Pendidikan Tingkat pendidikan kepala rumah tangga pertanian masih
sangat rendah, selama tahun 2011 – 2013 sekitar 33 – 42% hanya tamat SD dan 38% tidak sekolah/tidak tamat SD. Persentase kepala rumah tangga yang memiliki pendidikan tinggi (Akademi/perguruan tinggi) sangat kecil hanya sekitar 1,3%. Bila dibandingakan antara pulau Jawa dan Luar Jawa menunjukkan persentase kepala rumah tangga yang mempunyai pendidikan menengah keatas lebih besar di luar Jawa di banding di Jawa (Gambar 2.3).
Jawa Luar Jawa
Jawa Luar Jawa Tdk sekolah
Jawa
Luar Jawa
Jawa
Luar Jawa
SD
SMP
SMA Keatas
Gambar 2.3. Persentase kepala rumah tangga pertanian menurut tingkat pendidikan, 2011 - 2013
Persentase anak usia wajib belajar (berumur 7-15 tahun) tahun 2013 pada rumah tangga pertanian umumnya cukup tinggi yakni berkisar 91% - 98% dengan status masih bersekolah, gambaran tersebut terjadi baik di Jawa maupun di Luar Jawa, yang berarti kesadaran terhadap wajib belajar tinggi (Tabel 2.9).
Tabel 2.9. Persentase anak berumur 7-15 tahun menurut partisipasi bersekolah, 2013
(%) Tanaman Pangan
Peternakan Uraian
Hortikultura
Perkebunan
Tidak/belum Masih Tidak
Tidak Tidak/belum pernah
Tidak/belum
Masih
Tidak
Tidak/belum
bersekolah
pernah
bersekolah pernah
Masih
bersekolah pernah Masih Tidak
bersekolah bersekolah bersekolah
lagi
bersekolah bersekolah
lagi
bersekolah bersekolah
lagi bersekolah bersekolah lagi
Jawa 1.06 95.47 3.47 0.64 92.09 7.27 0.00 97.60 2.40 1.08 95.13 3.79 Luar Jawa
3.82 91.72 4.46 2.20 93.99 3.81 1.34 94.20 4.46 1.29 93.83 4.88 Indonesia
Sumber: Susenas BPS
Bila dilihat pendidikan tertinggi yang ditamatkan oleh anggota rumah tangga pertanian berumur 5 tahun ke atas selama tahun 2011- 2013 hampir sama dengan pendidikan kepala rumah tangga, yaitu menunjukkan persentase terbesar adalah tidak sekolah/tidak tamat SD, disusul tamatan SD dan selanjutnya tamat SMP dan tamat SMA keatas. Bila dibandingakan antara pulau Jawa dan Luar Jawa menunjukkan persentase anggota rumah tangga yang mempunyai pendidikan menengah keatas lebih besar di luar Jawa di banding di Jawa, seperti tersaji pada Gambar 2.4.
Jawa Luar Jawa
Jawa Luar Jawa Tdk sekolah
Jawa
Luar Jawa
Jawa
Luar Jawa
SD
SMP
SMA Keatas
Gambar 2.4. Persentase anggota RTP berumur 5 tahun ke atas menurut tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan, 2011- 2013
Berdasarkan Gender Sebagian besar kepala rumah tangga pertanian adalah laki-laki, baik di Jawa maupun di Luar Jawa, dengan persentase laki-laki sebesar 90% dan perempuan sebesar 10% (Gambar 2.5.).
Luar Jawa
Gambar 2.5. Persentase kepala rumah tangga pertanian berdasarkan
gender, 2011 - 2013
Berdasarkan Kesehatan Pada umumnya pengobatan yang dilakukan oleh anggota RTP
pada tahun 2011 – 2013 melakukan pengobatan secara modern, disamping melakukan pengobatan secara tradisional. Di Jawa, pengobatan yang digunakan secara tradisional berkisar 24 – 27% dan untuk pengobatan secara modern cukup tinggi berkisar antara 90 – 92%. Begitu pula di luar Jawa, cara pengobatan dengan tradisional berkisar antara 31 – 34% dan pengobatan dengan cara modern berkisar antara 86-88% (Tabel 2.10).
Bila dilihat di empat provinsi yang menggunakan pengobatan secara modern lebih dari 85% terdapat di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jabar dan Sumatera Utara. Untuk provinsi di luar Jawa yaitu Bali dan Papua, pengobatan secara tradisional masih cukup diminati, di Provinsi
Bali pengobatan secara tradisional cukup tinggi mencapai 54-56%, demikian pula di Papua, pengobatan secara tradisional lebih dari 60%, bahkan pada tahun 2012 mencapai 74,05% (Tabel 2.11).
Tabel 2.10. Persentase anggota RTP berdasarkan cara pengobatan yang digunakan, 2011 – 2013 (%)
Cara pengobatan sendiri yang digunakan (%)
Wilayah Tradisional
Luar Jawa
Sumber: SUSENAS, BPS
Tabel 2.11. Persentase anggota RTP berdasarkan cara pengobatan modern dan tradisional di provinsi terbesar, 2011 – 2013
Tahun
Provinsi Pertumbuhan
Cara Pengobatan Modern
Jawa Timur 87.00 89.30 87.84 0.50 Jawa Tengah
92.38 90.58 91.13 -0.67 Jawa Barat
95.87 94.15 94.29 -0.82 Sumatera Utara
92.55 91.06 89.14 -1.86
Cara Pengobatan Tradisional
Bali 55.28 55.81 54.12 -1.04 Papua
Sumber: Susenas, BPS
Hampir 60% perempuan yang berumur 15-49 tahun berstatus kawin pada RTP tahun 2011 – 2013 sedang menggunakan alat kontrasepsi dalam program Keluarga Berencana (KB). Bila dilihat antara wilayah Jawa dan Luar Jawa menunjukkan bahwa di Jawa cenderung lebih banyak yang sedang menggunakan alat kontrasepsi. Untuk perempuan yang tidak pernah menggunakan alat kontrasepsi
Jika dilihat berdasarkan beberapa provinsi di Indonesia yaitu provinsi Gorontalo, Bengkulu, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan, pada tahun 2011 – 2013 menunjukkan bahwa persentase perempuan yang berumur 15 – 49 th berstatus kahwin dan sedang menggunakan alat kontrasepsi di atas 70%. Sementara di Provinsi Papua Barat dan Papua hanya berkisar 18 – 27% (Gambar 2.6).
Tabel 2.12. Persentase perempuan berumur 15-49 th berstatus kawin menurut partisipasi Keluarga Berencana pada RTP, 2011 – 2013
Penggunaan alat kontrasepsi
Wilayah sedang menggunakan
tidak pernah 2011
tidak menggunakan lagi
Luar Jawa
Indonesia
58.08 59.29 59.51 18.47 19.41 19.20 23.45 21.29 21.29 Sumber: Susenas, BPS
Gambar 2.6. Persentase perempuan berumur 15-49 th berstatus kawin
yang sedang menggunakan alat kontrasepsi di beberapa provinsi, 2011 – 2013
2.3. Karakteristik Perumahan
Tingkat kesejahteraan rumahtangga pertanian dapat dilihat dari berbagai sisi, antara lain dari kondisi perumahan dan pemukiman rumah tangga tersebut. Dalam Analisis Kesejahteraan Petani tahun 2014 diperoleh informasi tentang kondisi perumahan berdasarkan status penguasaan bangunan, jenis atap, dinding, jenis lantai, sumber penerangan dan bahan bakar untuk memasak pada rumah tangga pertanian.
Berdasarkan Status Penguasaan Bangunan Penguasaan bangunan tempat tinggal pada RTP dengan status
milik sendiri tahun 2011 – 2013 sekitar 93%. Sementara status penguasaan bangunan tempat tinggal bukan milik sendiri yang terdiri dari kontrak, sewa, bebas sewa milik orang lain, bebas sewa milik orang tua/sanak saudara, dinas dan lainnya sekitar 7%.
Status penguasaan bagunan tempat tinggal milik sendiri wilayah Jawa sekitar 96% begitu juga status penguasaan bagunan tempat tinggal milik sendiri wilayah luar Jawa sekitar 90%. Secara rinci status penguasaan bangunan tempat tinggal dapat dilihat Tabel 2.13.
Tabel 2.13. Persentase status penguasaan bangunan tempat tinggal di Jawa dan Luar Jawa pada RTP, 2011 – 2013
Status Penguasaan Bangunan Tempat Tinggal Wilayah
Bukan Milik Milik Bukan Milik Sendiri
Bukan Milik
Milik
Sendiri Sendiri Jawa
Luar Jawa
Sumber : Susenas, BPS
Bila dilihat dari rata-rata penguasaan bangunan tempat tinggal dengan status milik sendiri terdapat 7 provinsi yang memiliki persentase terbesar lebih dari 95,00% yaitu provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, DI. Yogyakarta, Kepulauan Bangka Belitung, Banten, Sulawesi Tenggara dan Papua.
Sementara provinsi yang penguasaan bangunan tempat tinggal milik sendiri kurang dari 85,00% terjadi di provinsi Sumatera Barat pada tahun 2013 mencapai 84,70% dan Sumatera Utara sebesar 80,47% pada tahun 2013, secara rinci dapat di lihat pada Lampiran 2.1.
Berdasarkan Jenis Atap Terluas
Jenis atap terluas di Indonesia baik di Jawa maupun Luar Jawa didominasi oleh genteng dan seng, namun beberapa ada juga asbes dan ijuk/rumbia. Jenis atap yang digunakan biasanya dipengaruhi oleh kebiasaan masyarakat setempat.
Pada wilayah Jawa genteng merupakan jenis atap yang biasa digunakan oleh masyarakat Jawa mencapai 93%. Sementara wilayah luar Jawa jenis atap terluas menggunakan seng mencapai 61,77% pada tahun 2013. Jenis atap lainnya meliputi atap beton untuk wilayah Jawa mencapai 2,06% pada tahun 2013, untuk jenis atap sirap di dominasi wilayah luar Jawa sebesar 2,68%, untuk jenis atap asbes di dominasi wilayah luar Jawa mencapai 4,02% pada tahun 2013, untuk jenis atap ijuk/rumbia di dominasi wilayah luar Jawa mencapai 7,17% pada tahun 2013 dan jenia atap lainnya masih di dominasi wilayah luar Jawa mencapai 5,40% (Tabel 2.14).
Tabel 2.14. Persentase jenis atap terluas pada rumah tangga pertanian di Jawa dan luar Jawa, 2011 - 2013
Jenis Atap
Lainnya *) 2011 2012 2013 2011 2012 2013 2011 2012 2013 2011 2012 2013 Jawa
Wilayah Beton
Genteng
Seng
1.68 0.91 2.06 93.77 93.26 92.67 3.16 3.65 3.41 1.39 2.17 1.86 Luar Jawa 1.35 0.67 1.26 22.34 21.68 20.54 58.58 60.60 61.77 17.74 17.06 16.43
Indonesia
Keterangan : *) Jenis Atap Sirap, Asbes, Ijuk/rumbai dan lainnya Sumber : Susenas, BPS
Adapun provinsi yang menggunakan jenis atap genteng terbesar terjadi di Provinsi DI. Yogyakarta pada tahun 2013 mencapai 99,86% dan terkecil terjadi di Provinsi Papua sebesar 0,40% pada tahun 2013. Sementara jenis atap seng terbesar terjadi di Provinsi Sumatera Barat sebesar 92,35% pada tahun 2013 dan terkecil terjadi di Provinsi Jawa Barat sebesar 0,09%, secara rinci dapat di lihat pada Lampiran. 2.2.
Berdasarkan Jenis Dinding Terluas
Jenis dinding yang digunakan di wilayah Jawa pada umumnya adalah tembok mencapai 67,61% pada tahun 2013, disusul jenis kayu dan bambu. Sedangkan jenis dinding yang dominan digunakan di wilayah luar Jawa adalah kayu mencapai 48,67%, disusul tembok sebesar 40,82% dan bambu 6,96%, lainnya sebesar 3,55%.
Jenis dinding tembok terbesar terdapat di provinsi Bali mencapai 96,31% pada tahun 2013 dan terkecil terdapat di provinsi Kalimantan Tengah sebesar 7,79%. Sementara jenis dinding kayu terbesar terdapat di provinsi Kalimantan Tengah mencapai 94,78% dan terkecil terdapat di provinsi Bali mencapai 0,41%, secara rinci dapat dilihat pada Tabel 2.15.
Tabel 2.15. Persentase jenis dinding terluas pada rumah tangga di Jawa dan Luar Jawa, 2011 - 2013
Jenis Dinding
Wilayah Tembok
Luar Jawa
Sumber : Susenas, BPS
Berdasarkan Jenis Lantai Terluas Jenis lantai yang dominan digunakan di RTP di Jawa umumnya
marmer/keramik/granit sebesar 36,55%, diikuti oleh jenis lantai semen (26,64%). Sementara di wilayah Luar Jawa penggunaan jenis lantai dominan menggunakan semen sebesar 43,85% diikuti jenis kayu sebesar 29,86% pada tahun 2013 (Tabel 2.16).
menggunakan jenis lantai marmer/kerami/granit pada tahun 2013 terjadi di provinsi Bali sebesar 56,53%, sedangkan provinsi terkecil yang menggunakan jenis lantai marmer/kerami/granit terjadi di provinsi Papua sebesar 1,24% pada tahun 2013.
Provinsi terbesar
yang
Jenis lantai semen terbesar terjadi di Provinsi Gorontalo pada tahun 2013 mencapai 73,29% pada tahun 2012, sedangkan provinsi terkecil yang menggunakan semen sebagai jenis lantainya terjadi di provinsi Kalimatan Tengah sebesar 4,25% pada tahun 2011.
Jenis lantai yang menggunakan kayu terbesar terjadi di provinsi Kalimantan Tengah sebesar 91,91% pada tahun 2012, sedangkan jenis lantai terkecil yang menggunakan kayu terjadi di provinsi Bali sebesar 0,28% pada tahun 2012.
Sementara jenis lantai tanah dominan terdapat di provinsi Nusa Tenggara Timur sebesar 43,47% pada tahun 2012, jenis lantai tanah
Tabel 2.16. Persentase jenis lantai terluas pada rumah tangga pertanian di wilayah Jawa dan Luar Jawa, 2011 - 2013
Indonesia Jenis Lantai
Jawa
Luar Jawa
2013 2011 2012 2013 Marmer/ keramik /granit
Tegel/teraso
Sumber : Susenas, BPS
Berdasarkan Sumber Penerangan
Sumber penerangan di wilayah Jawa, Luar Jawa pada umumnya bersumber dari listrik PLN. Untuk wilayah Jawa pada tahun 2011 yang menggunakan sumber PLN mencapai 97,86 meningkat sebesar 98,28% pada tahun 2013, sedangkan di wilayah Luar Jawa yang menggunakan sumber penerangan PLN sebesar 65,58% pada tahun 2011 meningkat menjadi 71,48% pada tahun 2013 (Tabel 2.17). Provinsi terbesar yang menggunakan penerangan listrik PLN terdapat pada provinsi Jawa Tengah 99,70% pada tahun 2013, sementara provinsi terkecil yang menggunakan listrik PLN terdapat di provinsi Papua sebesar 13,11% pada tahun 2013, namun dominan menggunakan listrik lainnya mencapai 86,89%. Secara rinci dapat di lihat pada Lampiran 2.4.
Tabel 2.17. Persentase sumber penerangan di RTP Jawa dan Luar Jawa, 2011 – 2013
Sumber Penerangan Wilayah
Lainnya *) 2011
Listrik PLN
Luar Jawa
80.19 80.98 83.52 19.81 19.02 16.48 Sumber : Susenas, BPS Keterangan : *) Listrik non PLN, Petromak/aladin, pelita/sentir/obor, lainnya
Indonesia
Berdasarkan Penggunaan Bahan Bakar/Energi Jenis bahan bakar/energi utama untuk memasak yang digunakan
pada RTP di Jawa pada umumnya masih menggunakan kayu dengan persentase 69,40% pada tahun 2011 cenderung menurun pada tahun 2013 menjadi 60,96%, demikian pula di luar Jawa juga masih
menggunakan kayu sebesar 76,02% tahun 2011 menurun pada tahun 2013 menjadi 67,12% (Tabel 2.18.). Penurunan penggunaan bahan bakar kayu, minyak tanah dan lainnya untuk keperluan memasak pada RTP umumnya beralih ke penggunaan bahan bakar listrik dan gas kota serta gas elpiji.
Provinsi terbesar yang menggunakan jenis bahan bakar gas elpiji untuk memasak pada tahun 2013 terdapat pada provinsi Jawa Barat mencapai 52,53%, sementara provinsi terbesar yang masih menggunakan jenis bahan bakar minyak tanah untuk memasak terdapat di provinsi Kepulauan Riau mencapai 43,03% pada tahun 2013, begitu juga untuk jenis bahan bakar kayu masih digunakan untuk memasak terbesar terdapat pada provinsi Nusa Tenggara Timur sebesar 97,28% pada tahun 2013, secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 2.5.
Tabel 2.18. Persentase Bahan bakar/energi utama untuk memasak di RTP Jawa dan Luar Jawa, 2011 – 2013
Bahan bakar/energi utama untuk memasak
Wilayah Listrik + Gas Kota
Kayu Lainnya *) 2011 2012 2013 2011 2012 2013 2011 2012 2013 2011 2012 2013 2011 2012 2013
Gas/Elpiji
Minyak tanah
Jawa
29.55 31.76 38.30 28.90 30.88 37.74 0.62 0.29 0.06 69.40 67.56 60.96 0.42 0.35 0.63 Luar Jawa 12.77 20.22 26.37 12.24 19.79 25.83 9.48 5.76 5.30 76.02 72.31 67.12 1.72 1.67 1.11 Indonesia 20.36 25.40 31.73 19.78 24.77 31.18 5.47 3.30 2.95 73.03 70.17 64.35 1.13 1.08 0.89
Sumber : Susenas, BPS Keterangan : *) bahan bakar Arang, briket, tidak pernah memasak dan lainnya
2.4. Perlindungan Sosial
Salah satu cara dalam mensejahterakan rumah tangga adalah dengan melakukan perlindungan sosial melalui beberapa kebijakan seperti penyediaan raskin, jaminan kesehatan, beasiswa dan kemudahan kredit usaha. Seberapa besar perlindungan sosial dimanfaatkan oleh rumah tangga pertanian akan tampak dalam pembahasan di bawah ini.
2.4.1. Pembelian Raskin
Berdasarkan data Susenas 2011-2013, persentase pembelian raskin oleh rumah tangga pertanian cukup tinggi rata- rata selama 3 tahun sebesar 64,29%, artinya rumah tangga pertanian masih banyak yang membeli raskin dibanding yang tidak, sementara beras raskin memiliki kualitas yang rendah tetapi harga sangat terjangkau (Tabel 2.19).
Tabel 2.19. Persentase rumah tangga pertanian pembeli raskin, 2011-2013
Rumah tangga pertanian Wilayah
75.97 78.73 76.29 Luar Jawa
52.23 53.81 55.59 Indonesia
Sumber: Susenas - BPS
Lebih jauh berdasarkan wilayah Jawa dan Luar Jawa, persentase rumah tangga pertanian yang membeli raskin di wilayah Jawa menunjukkan lebih tinggi (77%) dibandingkan rumah tangga pertanian yang ada di luar Jawa (53%).
Hal ini tampaknya dikarenakan jumlah penduduk yang padat di wilayah Jawa (Gambar 2.7).
Gambar 2.7. Perkembangan Persentase Rumah Tangga Pertanian Pembeli Raskin di Jawa dan
Luar Jawa, 2011-2013
Dari sisi wilayah provinsi, proporsi pembelian raskin oleh rumah tangga pertanian yang lebih besar dari 70%, terdapat di 6 provinsi seperti tabel 3.9. berikut ini :
Tabel 2.20. Persentase rumah tangga pertanian pembeli raskin > 70% menurut provinsi, 2011-2013
Rumah tangga pertanian Provinsi
2012 2013 Nusa Tenggara Barat
92.56 91.54 89.43 Aceh
88.65 86.48 80.03 Jawa Tengah
81.92 84.30 84.67 Banten
83.52 82.61 76.21 Jawa Timur
76.46 77.75 73.52 Sulawesi Tenggara
Sumber: Sesenas, BPS
Dari Tabel 2.20 menunjukkan bahwa Nusa Tenggara Barat merupakan provinsi dengan persentase terbanyak rumah tangga pertaniannya yang membeli raskin, diikuti kemudian provinsi Aceh di urutan ke-2 dan Jawa Tengah di urutan ke-3. Bila dikaitkan dengan indeks kedalaman kemisikinan memang tiga provinsi tersebut pada tahun 2012 memiliki indeks kedalaman kemiskinan cukup tinggi yaitu sekitar 2,3 – 3,20.
2.4.2. Jaminan Kesehatan
Jaminan kesehatan belum dimanfaatkan optimal oleh rumah tangga pertanian yang diperlihatkan dari persentase tidak memiliki jaminan kesehatan lebih tinggi dibanding yang memiliki jaminan kesehatan pada tahun 2013 (Gambar 2.8).
Rumah tangga pertanian yang tidak memilki jaminan kesehatan di Indonesia tahun 2013 lebih dari 50 persen, tepatnya 53,96%. Bila dilihat antara wilayah Jawa dan Luar Jawa menunjukkan bahwa wilayah luar Jawa lebih banyak yang memanfaatkannya yaitu sebesar 47,83% dan di Jawa hanya 43,83%. Besarnya kepemilikan jaminan kesehatan oleh rumah
Gambar 2.8. Persentase Anggota RTP Yang Memiliki Jaminan Kesehatan Menurut Wilayah, 2013
Tabel 2.21. Persentase Anggota Rumah Tangga Pertanian Yang Memiliki Jaminan Kesehatan (Jamkes), 2013
Tidak Wilayah
Memiliki
Memiliki
Jawa 43.89 56.11 Luar Jawa
47.83 52.17 Indonesia
Sumber: Susenas, BPS
Dilihat kepemilikan jaminan kesehatan oleh rumah tangga pertanian antar sub sektor pertanian dan wilayah menunjukkan persentase yang bervariasi. Pada sub sektor tanaman pangan kepemilikan jaminan kesehatan oleh rumah tangga pertanian lebih besar di Jawa, sementara sub sektor perkebunan
Tabel 2.22. Persentase anggota rumah tangga pertanian yang memiliki jamkes menurut sub sektor pertanian, 2013
Perkebunan Peternakan
Jawa 33.06 3.22 1.11 6.49 L. Jawa
24.09 3.16 17.50 3.07 Indonesia
Sumber: Susenas, BPS
Cukup beragam jenis jaminan kesehatan yang tersedia, berdasarkan data susenas tahun 2013 ada 6 jenis jaminan kesehatan yaitu Jamkesmas, Jamkesda, jampersal, JPK PNS/Veteran/Pensiunan, JPK Jamsostek dan Jamkes lainnya. Dari beragam jenis jaminan kesehatan tersebut yang banyak dimiliki rumah tangga pertanian adalah jenis Jamkesmas diikuti Jamkesda dan terendah adalah Jampersal (Gambar 2.9.)
Gambar 2.9. Persentase Anggota RTP Yang Memiliki Jaminan Kesehatan Menurut Jenis Jaminan Kesehatan, 2013
Besarnya persentase kepemilikan jaminan kesehatan jenis Jamkesmas yang terbanyak dimiliki oleh rumah tangga pertanian di Indonesia adalah 71,15%, urutan berikutnya adalah Jamkesda sebesar 17,88%. Besarnya persentase jenis lainnya disajikan pada Tabel 2.23.
Tabel 2.23. Persentase anggota rumah tangga pertanian yang memiliki jamkes menurut jenis jaminan kesehatan dan wilayah, 2013
Jenis Jaminan
Luar Jawa Indonesia
Jamkesmas 81.34 63.51 71.15 Jamkesda
6.06 26.74 17.88 Jampersal
2.72 2.05 2.34 JPK PNS/Vet./Pens.
5.06 5.78 5.47 JPK Jamsostek
4.89 1.97 3.22 Jamkes lainnya
Sumber: Susenas, BPS
Dari kedua jenis jaminan kesehatan yang cukup tinggi dimiliki rumah tangga pertanian (Jamkesmas dan Jamkesda), bila dilihat berdasarkan wilayah maka menunjukkan berkebalikan dimana Jamkesmas lebih diminati di wilayah Jawa sementara Jamkesda di wilayah luar Jawa (Gambar 2.10.).
Luar Jawa Jamkesmas
Jawa
Jamkesda
JPK Jamsostek
Gambar 2.10. Persentase Anggota RTP Yang Memiliki Jaminan Kesehatan Menurut Jenis Jaminan Kesehatan
dan Wilayah, 2013
Melihat lebih jauh kepemilikan jaminan kesehatan oleh rumah tangga pertanian menurut jenis jaminan kesehatan dan sub sektor pertanian menunjukkan bahwa jamkesmas terbanyak dimiliki oleh rumah tangga pertanian sub sektor tanaman pangan diikuti rumah tangga pertanian di sub sektor hortikukltura, peternakan dan terendah di sub sektor perkebunan.
Sementara pada jenis jaminan kesehatan jamkesda yang merupakan urutan kedua dilimilki rumah tangga pertanian berdasarkan sub sektor pertanian menunjukkan lebih diminati oleh rumah tangga pertanian sub sektor perkebunan dibandingkan sub sektor lainnya yaitu sebesar 30,03%, dan ini tertinggi pada jenis jaminan kesehatan.
Persentase anggota rumah tangga pertanian yang memiliki jaminan kesehatan menurut jenis jaminan kesehatan dan sub sektor pertanian disajikan pada Tabel 2.24. dan Gambar 2.11.
Tabel 2.24. Persentase anggota rumah tangga pertanian yang memiliki jamkes menurut jenis jaminan kesehatan dan sub sektor pertanian, 2013
Subsektor Janis Jaminan
Kesehatan
Tan.
Hortikultura Perkebunan Peternakan
Pangan
Jamkesmas 76.20 73.17 56.56 70.98 Jamkesda
13.50 16.73 30.06 18.63 Jampersal
2.30 1.27 2.66 2.58 JPK PNS/Vet./Pens.
4.80 5.34 6.68 7.01 JPK Jamsostek
3.31 2.73 2.69 4.15 Jamkes lainnya
Sumber: Susenas, BPS
Gambar 2.11. Persentase Anggota RTP Yang Memiliki Jaminan Kesehatan Menurut Jenis Jaminan Kesehatan dan
Sub Sektor Pertanian, 2013
2.4.3. Jaminan Beasiswa
Jaminan beasiswa disini adalah jaminan beasiswa miskin hingga beasiswa dari perorangan dan sekolah yang diterima anggota rumah tangga pertanian. Persentase yang menerima beasiswa ini masih sangat kecil yaitu masih dibawah 10% terhadap seluruh rumah tangga pertanian (Gambar 2.12.).
Gambar 2.12. Persentase Rumah Tangga Pertanian Penerima Jaminan Beasiswa, 2013
Anggota rumah tangga pertanian yang menerima jaminan beasiswa berdasarkan wilayah Jawa dan luar Jawa menunjukkan bahwa persentase yang menerima beasiswa lebih besar di luar Jawa dibanding Jawa (Tabel 2.25)
Tabel 2.25. Persentase anggota rumah tangga pertanian yang
menerima jaminan beasiswa, 2013
Tidak Wilayah
Menerima
Menerima
Jawa 6.17 93.83 Luar Jawa
9.01 90.99 Indonesia
Sumber: Susenas, BPS
Anggota rumah tangga pertanian yang menerina beasiswa menurut sub sektor pertanian dan wilayah bervariasi. Pada sub sektor tanaman pangan menunjukkan persentase teringgi dibanding sub sektor pertanian lainnya, diikuti berikutnya sub sektor perkebunan, sub sektor peternakan dan sub sektor hortikultura (Gambar 2.13.).
Gambar 2.13. Persentase RTP Penerima Jaminan Beasiswa Menurut Sub Sektor Pertanian, 2013
Lebih jauh dilihat menurut wilayah, anggota rumah tangga pertanian yang menerima beasiswa di sub sektor tanaman pangan dan sub sektor perkebunan persentasenya lebih besar di wilayah luar Jawa sementara di sub sektor peternakan dan sub sektor hortikultura kebalikannya lebih banyak di wilayah Jawa (Tabel 2.26).
Telah disebutkan di atas bahwa di Indonesia rata-rata persentase rumah tangga pertanian yang menerima jaminan beasiswa kurang dari 5%, namun ada beberapa provinsi yang anggota rumah tangga pertaniannya menerima jaminan beasiswa lebih dari 5% yaitu sebanyak 10 provinsi, yaitu Povinsi Kepulauan Riau sebesar 19,64% diikuti Nusa Tenggara Barat sebesar 17,89%, Nusa Tenggara Timur sebesar 16,55%, Gorontalo
Tabel 2.26. Persentase anggota rumah tangga pertanian yang menerima jaminan beasiswa menurut sub sektor pertanian dan wilayah, 2013
Hortikultura Perkebunan Peternakan
Pangan
Jawa 4.16 0.64 0.19 1.18 L. Jawa
4.85 0.58 3.11 0.48 Indonesia
Sumber: Susenas, BPS
Tabel 2.27. Persentase anggota rumah tangga pertanian yang menerima jaminan beasiswa > 10% menurut provinsi, 2013
Tidak Provinsi
Menerima
Menerima
Kepulauan Riau 19.64 80.36 Nusa Tenggara Barat
17.89 82.11 Nusa Tenggara Timur
16.55 83.45 Gorontalo
15.87 84.13 Sulawesi Tenggara
15.38 84.62 Papua Barat
14.25 85.75 Maluku
13.25 86.75 Sumatera Barat
11.30 88.70 Aceh
10.83 89.17 Sulawesi Barat
Sumber: Susenas, BPS
Dua jenis beasiswa yang cukup tinggi diterima anggota rumah tangga pertanian yaitu Bea Siswa Miskin SD dan Bea Siswa Miskin SMP, berdasarkan wilayah menunjukkan pada Bea Siswa SD lebih banyak yang menerima di wilayah luar Jawa dan untuk Bea Siswa Miskin SMP lebih banyak di wilayah Jawa (Gambar 2.14.).
Luar Jawa BSM-SD
Jawa
BSM-SMA Sekolah
BSM-SMP
Pem selain BSM
Gambar 2.14. Persentase ART Pertanian Yang Menerima
Jaminan Bea Siswa
Menurut Jenis Bea Siswa dan Wilayah, 2013
Jenis jaminan bea siswa yang banyak diterima oleh anggota rumah tangga pertanian telah disebutkan di atas adalah Bea Siswa Miskin SD. Bila dilihat berdasarkan sub sektor pertanian maka dari jenis Bea Siswa Miskin SD tersebut terbanyak diterima di sub sektor hortikultura, diikuti sub sektor perkebunan, sub sektor tanaman pangan dan sub sektor peternakan. Sementara dari jenis Bea Siswa Miskin SMP yang merupakan urutan kedua terbanyak diterima anggota rumah tangga pertanian, di sub sektor peternakan.yang terbanyak menerima bea siswa jenis ini dan terendah di sub sektor perkebunan.
Besarnya persentase anggota rumah tangga pertanian yang menerima bea siswa menurut jenis jaminan bea siswa miskin SD
Tabel 2.28. Persentase anggota rumah tangga pertanian yang menerima bea siswa menurut jenis bea siswa dan sub sektor pertanian, 2013
Sub sektor Janis Beasiswa
Tan. Pangan Hortikultura Perkebunan Peternakan
BSM-SD 41.32 48.05 44.23 36.08 BSM-SMP
23.18 21.81 20.19 30.43 BSM-SMA
10.25 10.75 15.05 16.61 BSM-PT
0.59 0.86 1.72 0.00 Pemerintah Selain BSM
12.50 10.82 17.51 12.79 Lembaga Non Pemerintah
2.02 3.29 1.53 1.98 Luar Negeri
Sumber: Susenas, BPS
Gambar 2.15. Persentase ART Pertanian Yang Menerima Bea Siswa Menurut Jenis Bea Siswa dan Sub Sektor Pertanian, 2013
Bea Siswa Miskin SD yang terbanyak diterima anggota rumah tangga pertanian, beberapa provinsi yang anggota rumah tangga pertaniannya menerima bea siswa miskin SD > 50% adalah provinsi Kalimantan Barat, Riau, Maluku, Papua Barat dan
Nusa Tenggara Timur. Besarnya persentase tersaji pada Tabel
Tabel 2.29. Persentase anggota rumah tangga pertanian yang menerima jaminan bea siswa miskin SD > 50% , 2013
Tidak Provinsi
Menerima
Menerima Kalimantan Barat
59.97 40.03 Riau
57.86 42.14 Maluku
54.46 45.54 Papua Barat
54.25 45.75 Nusa Tenggara Timur
Sumber: Susenas, BPS
2.4.4. Kredit Usaha
Berdasarkan data Susenas 2011-2013, kredit usaha yang diterima oleh anggota rumah tangga pertanian masih sangat kecil yaitu kurang dari 5%, artinya rumah tangga pertanian masih banyak yang tidak menerima atau dapat memanfaatkan kredit usaha yang ada. Jenis kredit usaha yang dimaksud meliputi PNPM Mandiri, Program Pemerintah Lainnya, KUR, Program Bank selain KUR, Program Koperasi, Perorangan dan Lainnya. Dari jenis-jenis usaha kredit yang terbanyak diterima anggota rumah tangga pertanian adalah PNPM Mandiri, rata-rata tahun 2011-2013 sebesar 3,36% dan terendah diterima adalah jenis kredit usaha program pemerintah lainnya sebesar 0,73% (Gambar 2.17.).
PNPM Mandiri
Program Pem.Lainnya
KUR
Program Bank selain KUR
Program Koperasi
Perorangan
Lainnya
Gambar 2.16. Persentase ARTangga Pertanian Yang Menerima Kredit Usaha Menurut Jenis Kredit Usaha, 2011-2013
Dari sisi pertumbuhan jenis kredit usaha yang diterima, jenis kredit usaha lainnya yang memberikan pertumbuhan tertinggi selama tahun 2011-2013 yaitu 100,40% per tahun, diikuti kemudian pada urutan kedua adalah jenis KUR yang tumbuh meningkat sebesar 26,92% per tahun, jenis PNPM Mandiri pada urutan ketiga yang tumbuh sebesar 3,34% per tahun. Sementara selain tiga jenis kredit usaha tersebut pertumbuhannya menurun dengan kisaran 12-34% per tahun (Tabel 2.30).
Selama tahun 2011-2013, jenis kredit usaha yang diterima anggota rumah tangga pertanian denga rata-rata penerimaan tertinggi adalah jenis PNPM Mandiri yaitu sebesar 3,34%. Perkembangan penerimaan kredit usaha jenis PNPM Mandiri oleh anggota rumah tangga pertanian pada tahun 2011 lebih banyak diterima rumah tangga pertanian di luar Jawa, pada tahun 2012 relatif seimbang dan pada tahun 2013 lebih tinggi diterima oleh anggota rumah tangga pertanian di wilayah Jawa dibanding luar Jawa (Gambar 2.17.).
Tabel 2.30. Persentase anggota rumah tangga pertanian yang menerima kredit usaha menurut jenis kredit usaha, 2011-2013
Rumah Tangga Pertanian Janis Kredit Usaha
2013 Rerata % Pertb.
PNPM Mandiri
3,63 3,36 3,34 Program Pemerintah Lainnya
0,64 0,73 -14,66 KUR
1,32 1,05 26,92 Program Bank selain KUR
1,81 2,00 -12,88 Program Koperasi
1,81 2,00 -12,88 Perorangan