Perkembangan dalam Bidang Industri

2. Perkembangan dalam Bidang Industri

Pada awal abad ke-17, Jawa memiliki industri galangan kapal yang luar biasa, bahkan jung besar pun dibuat di sini. Industri pembuatan kapal tetap penting meski akhirnya sebagian diatur oleh Belanda. Untuk industri ini, demikian juga bangunan rumah, diperlukan kayu jati dalam jumlah besar. Demak, Jepara, dan terutama Rembang menjadi industri penggergajian yang besar, yang melibatkan orang Kalang sebagai pekerja. Setelah ditebang, gelondong ditarik oleh kerbau ke sungai terdekat dan dibiarkan hanyut ke pantai. VOC langsung mengangkut kayu gelondong ini ke Batavia dengan kapal. Di Juwana, Jepara, dan Semarang, orang Cina dan Jawa mendirikan pengolahan kayu dalam sejumlah penggergajian. Dari sini, papan, tong, perabot rumah tangga, dan dayung dikirim ke Batavia dan tempat lain di Indonesia.

Pembuatan kain batik terpusat di keraton Jawa dan kota

Sumber: Indonesian Heritage 3

terdekat seperti Banten, Semarang, dan Kudus. Di keraton, kain

Gambar 10.8

dibuat dan dicelup di tempat pembatikan besar milik beberapa

Seorang wanita Indonesia

istri pejabat dan perempuan lain. Di dalam dan sekitar kota Pantai

sedang membatik

Bab 10 Revolusi Industri serta Pengaruhnya Terhadap Perubahan Sosial, Ekonomi dan ....

Utara, batik dibuat oleh perempuan petani di rumah mereka, bekerjasama dengan pedagang Cina. Batik Jawa bermutu tinggi dengan harga yang tidak mahal, dibutuhkan dalam jumlah besar oleh penduduk pulau lain di Nusantara.

Pada abad ke-17 dan ke-18 berbagai tanaman baru untuk ekspor diperkenalkan di Jawa dengan berhasil. Tanaman utama adalah kopi, tembakau, nila, dan tebu. Dengan pergeseran dari tanaman rempah ke tanaman baru ini, titik perekonomian ekspor daerah lebih meningkat di pulau Jawa. Sekitar tahun 1650 pusat penghasil gula tradisional seperti Cina Selatan dan Taiwan dilanda perang sipil. Cina-Jawa mengisi celah yang timbul sebagai hasil pembangunan pabrik gula di daerah sekitar Batavia dan Jepara. Pada awal abad ke-18 Jawa memiliki lebih kurang 140 pabrik, menjadikannya penghasil gula tebu terbesar di Asia, yang dijual ke Jepang, Persia, India, dan Belanda. Ribuan laki-laki Jawa dari Jawa Tengah pindah ke daerah sekitar Batavia untuk bekerja di kebun tebu dan pabrik gula. Adapun, daerah lain di Jawa mengkhususkan diri dalam pembiakan kerbau yang diperlukan untuk menggerakkan pabrik.

Pada masa modern awal, Jawa dikenal sebagai penghasil padi dalam jumlah besar, sekitar tahun 1800-an diekspor ke pulau lain di Indonesia dan beberapa negara Asia Tenggara. Sekitar tahun 1800-an, kedudukan padi sebagai barang ekspor digantikan kopi yang bernilai, dan secara cepat diganti dengan gabungan tanaman kopi, nila, dan gula. Tanaman perdu yang menghasilkan kopi diperkenalkan Belanda pada akhir abad ke-

17. Pertengahan tahun 1700-an, tanaman ini disebar ke Jawa, Sumatera, termasuk pulau lainnya. Sebetulnya tanaman ini pertama kali ditanam oleh VOC dan perantara mereka, dengan pandangan untuk memperoleh keuntungan bagi perdagangan ke Eropa.

Gambar 10.9

Pengeringan kopi pada abad ke-19

Sumber: Indonesian Heritage 3

Sejarah SMA/MA Program IPS Jilid 2 Kelas XI

Pertengahan abad ke-19 kopi ditanam besar-besaran sebagai tanaman menguntungkan bagi pemerintah di bawah bantuan “tanam paksa”. Sistem ini yang dibuat tahun 1830-an, memungkinkan pemerintahan jajahan Belanda abad ke-19 mendapat cadangan hasil ekspor melalui kerja paksa rakyat Jawa. Setelah penghapusan sistem ini dilakukan secara “bertahap” (tahun 1860-an dan akhirnya dihapus secara keseluruhan pada permulaan abad ke-20) kopi tetap ditanam oleh sebagian pemegang saham kecil Indonesia dan para pemilik lahan dikelola oleh penjajah Eropa, mempertahankan tempat penting di antara barang ekspor hingga berakhirnya masa penjajahan.

INFO SEJARAH

Nila merupakan bahan pewarna (yang dihasilkan dari proses merendam bahan tanaman dalam air dan mengolah hasil rendaman tersebut menjadi bentuk lekat atau dikeringkan sampai keras seperti sabun) ini mempunyai sejarah yang berbeda. Pada abad ke-18, nila ditanam untuk pemakaian daerah setempat di Indonesia. Bahan ini digunakan masyarakat setempat untuk mewarnai bahan dan batik. Tetapi, pada tahun 1870-an terjadi suatu jeda yang berlangsung lebih dari seratus tahun lamanya. Namun, setelah itu terdapat usaha mengembangkan nila menjadi barang dagangan berukuran besar, yang diusahakan untuk memperluas pasarannya di pasar dunia. Seragam biru tua pelaut Inggris abad ke-19, misalnya, warna biru khasnya diperoleh dari celupan nila.

Perluasan hasil nila Indonesia untuk pasar dunia mencapai puncaknya di Jawa di bawah Sistem Tanam Paksa pada pertengahan abad ke-19. Menjelang akhir abad ke-19, perdagangan internasional untuk barang ini disaingi oleh pewarna dari bahan kimia dari bahan kimia buatan Jerman dan negara lain. Sesungguhnya, hasil nila mencapai titik nadir. Pewarna alami ini kembali lagi sebagai pewarna barang kerajinan seperti semula dan keberadaannya terus-menerus di bawah bayangan penyesuaian hasil ekspor.

Industri gula tebu di Indonesia pada awal periode modern sangat terbatas hanya di Pulau Jawa yang terdapat tanah vulkanik subur dan buruh siap pakai. Paduan ini, bersama persekutuan simpatik dengan pemerintah jajahan Belanda, membawa industri gula Indonesia ke baris depan dalam ekonomi gula dunia menjelang abad ke-19. Hanya Kuba yang memproduksi dan mengekspor gula tebu lebih dari Jawa. Sejak tahun 1830-an ke atas, (kemudian di sekitar kota Jakarta, tanaman lain yang telah digarap sejak abad ke-17 diganti tanaman tebu) seluruh tanah subur dan daerah padat penduduk di Jawa Tengah atau Jawa Timur diselimuti oleh jaringan besar dan industri pabrik gula yang meluas. Menjelang tahun 1850-an jumlah pabrik gula sudah mencapai ratusan, dan pada akhir abad ini jumlahnya hampir dua kali lipat.

Bab 10 Revolusi Industri serta Pengaruhnya Terhadap Perubahan Sosial, Ekonomi dan ....

Perkembangan tersebut, bagaimanapun, mahal harganya. Pabrik dan terutama pemilik Belanda serta pengelola, menguasai desa di sekitar pabrik dan membentuk sistem perkebunan menurut kehendak mereka dan bukan menurut alam Indonesia. Mungkin gula membawa kesempatan kerja bagi bagi masyarakat pedesaan Indonesia, jumlah pencari kerja bertambah dan lapangan kerja langka di pedesaan. Di pihak lain, bagi pemilik tanah kecil, gula menjadi kesempatan sekaligus ancaman. Dengan dihapusnya Sistem Tanam Paksa, pemilik tanah tidak dipaksa pemerintah menanam tebu untuk pabrik gula. Sebaliknya, pengelola pabrik bergerak dalam perniagaan dengan menyewa tanah petani miskin untuk menanam tebu (di samping mereka juga mengambil alih pengerahan tenaga kerja untuk menanam, memanen, dan mengangkut tebu). Gagasan “kemerdekaan” bagi keberadaan petani pemilik tanah masuk ke dalam susunan pabrik gula, segera terkikis karena memuncaknya hutang di pedesaan Jawa abad ke-

19 dan apapun kewenangan “tradisional” tetap dijalankan oleh kepala desa (dan orang lain, seperti pemilik tanah luas di pedesaan) yang sering bekerjasama dengan industri gula.

Di bawah keadaan seperti ini, terjadi penyimpangan dalam prioritas perkembangan, karena pemusatan yang ditujukan pada jatah ekspor yang mudah, seperti yang terjadi tahun 1880-an dan terulang tahun 1930-an, menurun dalam pasar dunia. Keadaan “boom dan krisis” (bersekutu dengan kepemilikan internasional Belanda sebelumnya) pertanda buruk bagi dunia modal pertanian Indonesia jangka panjang seperti yang terjadi di Asia, terutama Jepang.

INFO SEJARAH

Dari ketiga tanaman baru untuk pasar dunia tersebut, tebu merupakan tanaman paling penting dan menjadi perdebatan. Pada permulaan masa awal modern dan sampai memasuki abad ke-19, pemanis paling terkenal di Indonesia dibuat dari air sadapan pohon aren. Sejak tebu diperkenalkan, gula tebu merupakan industri yang tumbuh menyambut kebutuhan pasar luar negeri (rakyat Indonesia sendiri baru mulai memakai gula putih atau gula tebu menjelang pertengahan abad ke-

20 dan akhirnya Indonesia menjadi pasar utama barang ini). Pada abad ke-17 dan ke-18, pemasaran gula tebu ditujukan ke negara Asia, pada abad ke-19 pasar beralih ke Eropa dan Amerika Utara (tetapi awal abad ke-20, industri mencapai kembali pasar Asia).