Proses Islamisasi di Indonesia

1. Proses Islamisasi di Indonesia

Proses persebaran Islam di Indonesia berlangsung lancar relatif damai. Kelancaran ini dikarenakan syarat-syarat untuk memeluk Islam tidaklah sukar. Seseorang dianggap telah menjadi muslim bila ia mengucapkan dua kalimat syahadat, yaitu pengakuan bahwa “tidak ada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah ”. Upacara-upacara dalam Islam juga cenderung lebih sederhana daripada upacara dalam agama Hindu atau Buddha.

Salah satu bukti Islam mudah diterima adalah ketika raja Ternate yang nonmuslim tidak keberatan ketika sejumlah rakyatnya memeluk Islam. Bukti lainnya dalah adanya makam bangsawan Majapahit yang beragama Islam. Menurut catatan Tome Pires, kaum bangsawan Hindu-Buddha di Jawa masuk Islam dengan sukarela tanpa paksaan. Penyebaran Islam disampaikan sesuai dengan adat dan tradisi pribumi Indonesia. Islam juga tidak

Sejarah SMA/MA Program IPS Jilid 2 Kelas XI Sejarah SMA/MA Program IPS Jilid 2 Kelas XI

Akan tetapi, tidak selamanya proses persebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa, berlangsung damai. Menurut Tome Pires, para pedagang asing yang muslim menetap dan membuka pemukiman tersendiri di sejumlah pelabuhan; selanjutnya pemukiman tersebut dijadikan kubu pertahanan mereka dalam menjalankan roda perdagangannya. Setelah kekuatan mereka dirasakan kuat, mereka kemudian menyerang bandar-bandar bersangkutan untuk dikuasai. Cara-cara kekerasan seperti ini terjadi, misalnya, di bandar-bandar Demak dan Jepara. Sedangkan, proses pengislaman secara damai dilakukan di pantai utara Jawa Timur, seperti di Tuban dan Gresik.

Gambar 3.7

Masjid di Jepara menurut pelukis Belanda yang berada dekat pelabuhan; sebagai pelabuhan tempat tersebut penuh dengan aktifitas dagang

Sumber: Indonesian Heritage 3

INFO SEJARAH

Ketika itu pedagang muslim mancanegara atau pribumi yang telah muslim, dianggap sebagai kalangan terpandang. Mereka, yang sebelumnya golongan menengah, serta-merta menjadi golongan terpandang. Sebagai orang penting dalam masyarakat, mereka dihadiahi hak memiliki tanah oleh penguasa setempat. Tome Pires, menyebut mereka sebagai “cavaleiro” atau ksatria.

Kedudukan kaum pedagang ini menarik sejumlah penguasa Indonesia untuk menikahkan anak gadisnya dengan mereka. Sebelum menikah, si gadis menjadi muslim dahulu. Perkawinan ini lalu membentuk keluarga muslim yang berkembang menjadi masyarakat muslim. Beberapa tokoh penting (raja dan para ulama atau wali Islam) melakukan perkawinan jenis ini. Raden Rahmat

Bab 3 Perkembangan Pengaruh Agama dan Kebudayaan Islam di Indonesia

(Sunan Ampel) menikah dengan Nyai Manila, Sunan Gunung Jati dengan Puteri Kawunganten, Raja Majapahit Brawijaya V menikahi seorang puteri Campa yang muslim yang kelak menurunkan Raden Patah, raja Demak pertama.

Bahkan di antara para wali ada yang pernah berdagang pada masa mudanya. Menurut Babad Gresik, Sunan Giri pada masa mudanya adalah anak angkat Nyai Gede Pinatih, seorang pedagang wanita Cina yang kaya di Gresik. Giri muda pernah pergi ke Kalimantan Selatan untuk urusan bisnis. Sunan Bayat atau Ki Gede Pandang Arang pernah pula bekerja pada wanita penjual beras. Sunan Kalijaga pernah pula berjualan alang-alang.

Selain melalui perkawinan, jalur kesenian digunakan oleh para wali dalam proses islamisasi. Pertunjukan wayang merupakan salah satu sarana kesenian yang digunakan. Tokoh Wali Sanga yang mahir mementaskan wayang adalah Sunan Kalijaga. Kisah yang dipentaskan dikutip dari kakawin Mahabharata atau Ramayana peninggalan masa Hindu-Buddha yang kemudian disisipi nilai-nilai Islam. Selesai pertunjukan, sang dalang tidak meminta upah melainkan mengajak penonton untuk mengucapkan kalimat syahadat.

Tidak ketinggalan, jalur pendidikan pun ditempuh dalam islamisasi ini. Para ulama mendirikan pondok-pondok pesantren (pesantrian) yang terbuka bagi siapa pun untuk belajar menjadi santri. Setelah selesai belajar di pesantren, mereka kembali ke daerah asal dan berdakwah mengajarkan Islam atau disuruh guru mereka menyiarkan Islam di daerah lain. Tak jarang, orang-orang jebolan pesantren ini tinggal di rumah-rumah para pedagang. Bahkan, seringkali dari mereka yang menjadi pengurus harta (bendahara) kaum pedagang sekaligus memimpin usaha dagang tuan rumah mereka. Kaum ulama yang mendirikan pesantren antara lain: Raden Rahmat di Ampel, dekat Surabaya dan Raden Paku di Giri. Beberapa lulusan Sunan Giri diundang ke Maluku untuk mengajarkan Islam di sana.