Kajian Ekobiologi Ikan Pepija (Harpadon Nehereus, Ham 1822) Sebagai Dasar Pengelolaan Berkelanjutan di Perairan Pulau Tarakan

KAJIAN EKOBIOLOGI IKAN PEPIJA (Harpadon nehereus,
Hamilton 1822) SEBAGAI DASAR PENGELOLAAN
BERKELANJUTAN DI PERAIRAN PULAU TARAKAN

ASBAR

LAGA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI
DAN SUMBER INFORMASI
Saya yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa disertasi yang
berjudul “ Kajian Ekobiologi Ikan Nomei (Harpadon nehereus. Ham. 1822) sebagai
Dasar Pengelolaan Berkelanjutan di Perairan Pulau Tarakan” adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah

disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Asbar Laga
NRP C261100031

RINGKASAN
ASBAR LAGA.2015. Kajian Ekobiologi Ikan Pepija (Harpadon Nehereus, Ham
1822) sebagai Dasar Pengelolaan Berkelanjutan di Perairan Pulau Tarakan.
Dibimbing oleh RIDWAN AFFANDI, ISMUDI MUCHSIN, dan MOHAMMAD
MUKHLIS KAMAL.
Ikan pepija (H. nehereus, Ham 1822) merupakan anggota dari famili
Synodontidae, dikenal dengan nama bombay duck. Ikan pepija sebagai salah satu ikan
yang bernilai ekonomis penting dan produk unggulan dan oleh-oleh khas Kota Tarakan.
Hal ini mendorong penangkapan menjadi sangat intensif yang menyebabkan tekanan
terhadap populasi yang ada semakin meningkat. Tekanan terhadap populasi ikan pepija,
diperparah dengan adanya degradasi lingkungan. Melihat tren penangkapan yang terus
meningkat, ukuran ikan yang tertangkap cenderung menjadi lebih kecil, maka

pengelolaan terhadap ikan pepija mutlak harus dilakukan. Kebijakan pengelolaan ini
tentunya harus didukung oleh landasan ilmiah berupa data-data akurat tentang ekologi
(habitat, lingkungan dan distribusi) dan biologi (makanan, pertumbuhan, ukuran
pertama kali matang gonad dan reproduksinya). Tujuan penelitian ini adalah mengkaji
distribusi secara spasial dan temporal, makanan alami, pertumbuhan dan laju
eksploitasi, serta aspek reproduksi ikan pepija. Penelitian dilakukan di perairan pantai
Pulau Tarakan dari bulan Februari 2013 sampai Februari 2014. Lokasi penelitian
terletak pada 117.30’– 117.40’ BT dan 3.25’–3.28’ LU di 3 stasiun pengamatan,
denganpertimbangan adanya sebaran ikan berdasarkan waktu dan daerah penangkapan
ikan pepijaserta letak geografis Pulau Tarakan. Stasiun (St) 1: adalah Tanjung (Tj.)
Simaya (perairan pantai timur laut Pulau Tarakan, yang berhadapan langsung dengan
perairan terbuka yakni Laut Sulawesi St 2: adalah Tj. Selayu (Perairan pantai utara,
berada di selat antara Pulau Tarakan dan Pulau Tibi, yang banyak mendapat suplai air
tawar dari Sungai Sesayap dan St 3: adalah Tj Juata (Perairan pantai barat daya, berada
di selat dan berdekatan dengan ekosistem mangrove). Penangkapan ikan dilakukan
dengan menggunakan pukat hela (trawl) dengan ukuran panjang dan lebar sayap, badan
dan kantong masing-masing 700.0 : 100.0, 500.0 : 130.0 dan 200.0 : 50.0 cm dengan
besar mata jaring pada sayap, badan dan kantong masing-masing berukuran 5.0, 5.0
dan 2.5 cm. Mulut jaring bagian atas 500 cm, mulut jaring bagian bawah 400 cm dan
ukuran papan pembuka untuk panjang dan lebar, 100 : 75 cm. Pengoperasian pukat hela

pada masing-masing stasiun bibagi menjadi 2 sub st. Sub st 1 yakni di perairan dekat
pantai Pulau Tarakan sedangkan sub st 2 di sisi luar masing-masing st sejajar dengan
garis pantai. Penangkapan ikan dilakukan secara “zig-zag” dengan kecepatan 4 km/jam
dengan waktu penarikan pukat hela (towing) selama 30 menit per sub st. Arah
penangkapan ikan dilakukan mengikuti arus dan pada saat yang lain menentang arus.
Penangkapan ikan dilakukan antara jam 9.00 – 15.00 pada saat pasang perbani.
Penangkapan ikan di ke-3 stasiun pengamatan dilakukan pada hari dan bulan yang sama
tetapi waktu penarikannya yang berbeda. Hasil tangkapan ikan pepija dipisahkan dari
ikan jenis lain dan
dikumpulkan serta ditimbang seluruhnya menurut waktu
penangkapan dan lokasi stasiun.Ikan yang tertangkap diambil sebanyak 50 ekor pada
setiap sub stasiun dari berbagai ukuran, yang mewakili hasil tangkapan, dan jika kurang
dari 50 maka semua ikan yang tertangkap diambil. Sampel ikan kemudian diawetkan
dalam larutan formalin 5 - 10% untuk kemudian dianalisis di Laboratorium. Ikan

contoh yang telah diawetkan diukur panjang bakunya (mm), dan ditimbang beratnya
(gram). Ikan dibedah rongga perutnya, untuk mengambil saluran pencernaan (lambung)
dan gonad kemudian diawetkan dalam larutan formalin 4%. Langkah berikut adalah
memeriksa gonad dan isi lambung dengan cara mengeluarkannya, diidentifikasi dan
diukur beratnya untuk gonad dan dihitung jumlah dan frekuensi kehadiran serta diukur

beratnya dari masing- masing jenis makanan pada semua ikan sampel.
Hasil penelitian menunjukan bahwa parameter fisika dan kimia perairan yang
berfluktuasi secara nyata adalah: suhu, kecepatan arus, dan salinitas dengan fluktuasi
paling besar adalah pasang surut dan kecepatan arus. Distribusi ikan pepija di perairan
P. Tarakan berkaitan dengan pasang surut, ikan ini hanya ditemukan pada saat pasang
perbani pada tanggal 7, 8, 9 dan 10 bulan Qomariah. Ikan pepija bergerak dari perairan
Tj Simaya (st 1 pada tanggal 7) ke Tj Selayu (st 2 pada tanggal 8), ke perairan antara Tj
Selayu dan Tj Juata pada tanggal 9 dan tanggal 10 di perairan Tj Juata. Distribusi ikan
pepija dengan laju tangkap tertinggi pada bulan Desember dan Januari dengan laju
tangkap sebesar 75.56 - 77.37 kg/jam dan rendah pada bulan April hanya 7.41 kg/jam.
Persentase ikan dengan lambung berisi makanan relatif tinggi antara 60.49 % –
90.31 %, tertinggi saat curah hujan rendah dan rendah saat curah hujan tinggi. Variasi
makanan tidak banyak berubah sepanjang tahun tetapi komposisinya yang berfluktuasi.
Ikan pepija bersifat karnivora dengan kelompok udang sebagai makanan utama dan
kelompok ikan sebagai makanan tambahan. Ikan sebagai makanan utama di stasiun
satu (Tj. Simaya), udang sebagai makanan utama di stasiun dua (Tj. Selayu) dan tiga
(Tj. Juata).
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan ikan pepija
bersifat allometrik negatif. Nilai L∞ ikan jantan dan betina sama yakni 278.78 mm dan
t0 pertahun masing-masing sebesar -0,17 dan -0,23. Nilai koefisien pertumbuhan untuk

jantan dan betina sebesar 0.38 dan 0.51. Hasil pengukuran pada ikan pepija didapatkan
ukuran ikan terkecil yang berhasil ditangkap pada selang kelas 128 – 139 mm.
Berdasarkan bulan pengamatan, fluktuasi nilai faktor kondisi untuk ikan betina berkisar
antara 0.84 – 1.10 dan 0.81 – 1.06 untuk jantan, sedangkan apabila dilihat berdasarkan
stasiun pengamatan didapatkan faktor kondisi juga bervariasi antara 0.93 – 0.99 pada
jantan dan 0.94 – 0.98 pada betina. Tingkat eksploitasi di ketiga stasiun pengamatan
sudah mengalami tangkap lebih dengan eksploitasi tertinggi di stasiun tiga yakni 0.81,
dengan demikian tingkat eksploitasi ikan pepija di perairan Pulau Tarakan sudah
mengalami tangkap lebih.
Secara umum rasio antara jantan betina adalah 1 : 0.93Ukuran pertama
kaliPemijahan ikan terjadi dua kali dalam setahun, yakni bulan Juni – Agustus dan
Desesember - Januari dengan puncak pemijahan terjadi pada bulan Desember sampai
Januari di perairan antara Tj. Simaya sampai dengan Tj. Juata. Tipe pemijahan ikan
pepija bersifat total spawning dengan nilai fekunditas berkisar antara 3.659 – 72.847
butir.
Untuk dapat mempertahankan dan kemudian memulihkan stok sumberdaya ikan
pepija di perairan Pulau Tarakan yang sudah mengalami tangkap lebih maka harus ada
upaya pengelolaan. Upaya pengelolaan meliputi pengaturan musim dan daerah
penangkapan ikan, pengaturan selektivitas alat tangkap, pelarangan penggunaan alat
tangkap yang destruktif dan kuota penangkapan.

Kata kunci :Ikan Pepija, karnivora, pertumbuhan, pemijahan, tangkap lebih.

SUMMARY
ASBAR LAGA. 2015. A Study on the Ecobiology of bombay-duck (Harpadon
nehereus, Hamilton 1822) as the Sustainable Management Basics in the Tarakan
Island Waters. Supervised by RIDWAN AFFANDI, ISMUDI MUCHSIN, and
MOHAMMAD MUKHLIS KAMAL.
Bombay-duck (Harpadon nehereus, Hamilton 1822) is a member of the
Synodontidae family, which local name was known as the nomei fish. This fish is
one of the important economically valuable, became an excellent product and special
gift of the Tarakan city. This matter might pushed the intensive catching of this fish
so affected the increasing of population pressure. This condition became acute
because is the same time the environmental degradation was happened. Based on the
trend of capture is increased progressively and fish size to be smaller, hence the
management to the fish must be carried. This management policies must be
supported by scientific judgment in the form of accurate data about the nature
biology, habitat, reproductive ecology, distribution and environmental factors.
The objectives of this study were to assess the distribution of the bombay
duck spatially and temporally, natural foods, the fish growth and exploitation rate,
and reproductive aspects of Bombay-duck fish. The study was conducted in coastal

waters of Tarakan Island from February 2013 to February 2014. The research was
located at 117.40 117.30'- 'BT and 3.25'-3:28' LU and groupped in three observation
stations, with consideration of the fish distribution based on time and fishing grounds
as well as the geographical location. The stastions described as follow. Station 1:
Tanjung Simaya (northeast coast of Tarakan Island, directly opposite with the open
waters of the Sulawesi Sea, Station 2: Tanjung Selayu (north coast, is the strait
between the Tarakan island and Tibi island, that a lot of fresh water supply from
Sesayap River, and station 3: Tanjung Juata (southwest coast Bodies, the strait and
near from mangrove ecosystem). Fish catching was conducted using trawl fishing
gear with length and width of wings, width of body and each basket 700.0 : 100.0 :
500.0 : 130.0 and 200.0 : 50.0 cm, respectively. And then, mesh size of wings, body,
and basket were 5.0, 5.0, and 2.5 cm, respectively. Length of float net was 500 cm,
bottom net was 400 cm, and length and width of otter board were 100 : 75 cm. Trawl
operated in each station in two sub-stations. Sub Station one was located near the
coastline, while the substation 2 was in the outer side of sub station one, parallel to
the coastline. Fish catching was done in a "zig zag" form with 4 km/h speed of boat
and towing time was 30 minutes per substation. Fishing operation was directed to
follow and against the current flow. Catching time was done between 9:00 to 15:00
during the neap tide. As for fishing operation in the third station was has a different
in hauling time to other stations. Fish bombay duck caught was separated from other

specieses, and then collected and weighed according to the time and location of
station. The sample of fish were 50 individu from every sub-station in various sizes,
represented the catching, and if fish caught less than 50 so all of fish were taken.
Samples of fish was preserved in formaldehyde 5-10% and then analyzed in the
laboratory. The preserved fish was measured fork length (mm) and weighted (gram).

Furthermore belly cavity was dissected to take the digestive tract (stomach) and
gonads, then preserved in formaldehyde 4%. The following steps were identified the
gonads and stomach contents, and weighed, counted the number and frequency of
gonads attendance and weighed each type of food to arround samples.
The results showed that physical and chemical of water parameters fluctuate
significantly were temperature, current velocity, and salinity. According to water
quality parameters, current velocity has the greatest difference between high and low
tide. Fish distribution in the Tarakan island waters was associated with the tides
where found only in the neap tide on 7, 8, 9 and 10 of Qomariah dates. Bombayduck fish migrated from the Tanjung Simaya (station 1) on the 7th towards Tanjung
Selayu waters (station 2) on the 8th, leaded between Tanjung Selayu and Juata
waters on the 9th and 10th in the Tanjung Juata waters. The highest catch rate was
occurred in December and January was accounted 75.56 - 77.37 kg/h, meanwhile the
lowest and low in April was 7.41 kg/h only.
The percentage of of fish that its gastric contained food was high relatively

between 60.49% - 90.31%. The highest occurred in lower rainfall, meanwhile the
lowest in the higher rainfall. Food variety did not change much throughout the year
but the composition fluctuates. Bombay-duck fish was carnivorous with shrimp as
the main food and fish groups as additives food. Fish as a main food was found in
station 1 (Tj. Simaya), 2 (Tj. Selayu) and 3 (Tj. Juata).
Based on the results of this study, it can be concluded that Bombay-duck fish
growth was allometric negative. L∞ of male and female were similar, 278.78 mm
and y t0 were -0.17 and -0.23 per year, respectively. Growth coefficient of males and
females were 0.38 and 0.51, respectively. The smallest of fish catch was about 128139. Based on observation time, the fluctuation of factor condition to female ranged
between 0.84 - 1.10, while to male was 0.81 - 1:06. Whereas on observation station,
0.93-0.99 to male and 0.94 - 0.98 to female. The exploitation rate in the three
observation stations was overexploitation where the highest exploitation was 0.81 so
it can be concluded that the exploitation of bombay-duck fish in the Tarakan Island
waters was overexploitation status.
Generally, the ratio between male and female was 1: 0.93. Spawning season
occured twice in a year, i.e. June to August and December to January with peak
season in December and January that happened between Tj. Simaya towards Tj.
Juata. Spawning type was total spawning where fecundity values ranged between
3659-72847 grains.
To be able to maintain and then restore the fish stock in the Tarakan Island

waters that has reached overexploitation status, so it should be a management efforts.
Management efforts included the closure of the fishing season, the closure of fishing
areas, the selectivity of fishing gear, the banning of fishing gear, fishing quotas, and
control of fishing effort.
Keywords: Bombay-duck fish, carnivorous, growth, spawning, over exploitation.

© Hak Cipta IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu
masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

KAJIAN EKOBIOLOGI IKAN PEPIJA, Harpadon nehereus
(Hamilton 1822) SEBAGAI DASAR PENGELOLAAN
BERKELANJUTAN DI PERAIRAN PULAU TARAKAN


ASBAR

LAGA

Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
Doktor pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir Bambang Widigdo
Dr. Ir. Isdradjat Setyobudiandi, MSc
Penguji pada Ujian Terbuka : Dr. Ir Bambang Widigdo
Dr. Ir Abd. Jabarsyah, MSc

PRAKATA
Puji syukur Penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang atas segala
karunia-Nya, sehingga penyusunan disertasi yang berjudul “Kajian Ekobiologi Ikan
Pepija,Harpadon nehereus(Ham. 1822) sebagai Dasar Pengelolaan Berkelanjutan di Perairan
Pulau Tarakan” dapat diselesaikan. Disertasi ini disusun sebagai salah satu syarat memperoleh
gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan (SDP), Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Dalam proses penyusunan disertasi ini, penulis dihadapkan pada berbagai permasalahan,
namun berkat usaha dan dukungan serta arahan dari pembimbing maka draf disertasi ini dapat
diselesaikan. Oleh karena itu penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada:
1.
Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kesempatan studi kepada Penulis.
2.
BPPS DIKTI yang telah memberikan beasiswa pendidikan selama perkuliahan.
3.
PEMDA KALTIM DAN PEMKOT TARAKAN yang telah memberikan bantuan
penelitian.
4.
Prof. Dr Ir Ridwan Affandi, DEA, Prof. Dr Ismudi Muchsin, dan Dr Ir Mohammad
Mukhlis Kamal, selaku dosen pembimbing dan Dr. Ir Bambang Widigdo, Dr. Ir. Isdradjat
Setyobudiandi, MSc serta Dr. Ir Abd Jabarsyah. MSc selaku dosen Penguji yang telah
memberikan arahan, nasehat dan saran untuk penulis dalam penulisan karya ilmiah ini.
Disamping itu penulis ingin menyampaikan penghargaan kepada rekan-rekan di Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan UBT atas fasilitasi dan bantuannya selama penelitian.
5.
Keluarga penulis, Bapak H. Laga Sikki (Alm), Ibu Hj. Lammani (Alm), Istri Nuru, Anak
Alya Rihadatul Aisya dan Afifah Qirani Azzahrah, dan seluruh kakak Penulis yang telah
memberikan banyak motivasi, doa, dan dukungan kepada Penulis baik moril maupun
materil.
6.
Teman seangkatan di Prodi SDP (Indra G Yudha, Haryono, Lukman, Meria T Gundo dan
Eva Girsang) atas kerjasama dan motivasi
7.
Adik-adik mahasiswa MSP IPB angkatan 2010 atas bantuan selama penulis menempuh
pendidikan.
Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih jauh dari kesempurnaan sehingga
diharapkan kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan untuk perbaikan di masa depan.
Demikian disertasi ini disusun, semoga bermanfaat.

Bogor, Agustus 2015

Asbar Laga

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI
i
DAFTAR TABEL
iii
DAFTAR GAMBAR
iv
1. PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
Kebaharuan Penelitian
2
2. TINJAUAN PUSTAKA
4
Ikan pepija
4
Makanan
5
Pertumbuhan
6
Reproduksi
7
Ekobiologi
8
Pengelolaan
10
3. DISTRIBUSI SPASIAL DAN TEMPORAL IKAN PEPIJA (Harpadon
nehereus Hamilton, 1822) DI PERAIRAN PULAU TARAKAN
12
Pendahuluan
12
Bahan dan Metode
12
Waktu dan Tempat Penelitian
12
Prosedur Penelitian
13
Analisa Data
14
Hasil
14
Kualitas Perairan
14
Hasil Tangkapan
18
Pembahasan
19
Kualitas Perairan
19
Hasil Tangkapan
22
Kesimpulan
23
4. MAKAN ALAMI IKAN PEPIJA (Harpadon nehereus Hamilton, 1822) DI 24
PERAIRAN PULAU TARAKAN
Pendahuluan
24
Bahan dan Metode
24
Waktu dan Tempat Penelitian
24
Prosedur Penelitian
25
Analisa Data
25
Hasil
26
Aktivitas Makan
26
Tingkat Konsumsi Makanan
27
Pembahasan
30
Tingkat Konsumsi Makanan
30
Kesimpulan
32
5. PERTUMBUHAN DAN LAJU EKSPLOITASI IKAN PEPIJA (Harpadon
nehereus Hamilton, 1822) DI PERAIRAN PULAU TARAKAN
33

Pendahuluan
Bahan dan Metode
Waktu dan Tempat Penelitian .
Prosedur Penelitian
Analisa Data
Penentuan Kelompok Ukuran Panjang
Hasil
Hubungan Panjang dan Berat
Faktor Kondisi
Pertumbuhan Populasi
Pertumbuhan Asimtot
Laju Eksploitasi
Pembahasan
Pola Pertumbuhan dan Faktor Kondisi
Koefisien Pertumbuhan dan Laju Eksploitasi
Kesimpulan
6. REPRODUKSI IKAN PEPIJA (Harpadon nehereus Hamilton, 1982) DI
PERAIRAN PULAU TARAKAN
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Waktu dan Tempat Penelitian
Prosedur Penelitian
Analisa Data
Penentuan Kelompok Ukuran Panjang
Hasil
Tingkat Kematangan Gonad
Indeks Kematangan Gonad
Nisbah Kelamin
Ukuran Ikan Pertama Kali Matang Gonad
Sebaran Diameter Telur
Fekunditas
Pembahasan
Nisbah Kelamin
Ukuran Ikan Pertama Kali Matang Gonad
Musim Pemijahan
Tempat Pemijahan
Tipe Pemijahan
Potensi Reproduksi
Kesimpulan
7. PEMBAHASAN UMUM
Pengaturan Musim Penangkapan
Penutupan Daerah Penangkapan
Selektifitas Alat Tangkap
8. KESIMPULAN
Kesimpulan
Saran

33
33
33
34
34
35
36
36
38
39
41
41
42
42
43
45
46
46
46
46
46
47
48
49
49
54
56
57
57
58
59
59
59
60
60
61
61
62
63
65
65
65
67
67
67

DAFTAR TABEL
No
1

Halaman

4

Data parameter fisika, kimia dan curah hujan di perairan Pulau
Tarakan
Laju tangkap (kg/jam) ikan nomei berdasarkan waktu dan tempat
penangkapan di Perairan Pulau Tarakan
Persentase ikan dengan lambung berisidan tingkat konsumsi makanan
relatif ikan pepija (H. nehereus) di perairan Pulau Tarakan,
Kalimantan Utara
Persentase IRP makanan ikan pepija berdasarkan waktu pengamatan

5
6
7
8
9
10
11

Persentase IRP makanan ikan pepija berdasarkan stasiun pengamatan
Hubungan panjang berat ikan nomei berdasarkan stasiun pengamatan
Parameter pertumbuhan K, L∞ dan to ikan nomei
Parameter pertumbuhan dan laju eksploitasiikan pepija
Nisbah kelamin berdasarkan waktu pengamatan
Nisbah kelamin berdasarkan stasiun pengamatan
Fekunditas ikan nomei berdasarkan stasiun

2
3

15
18

27
27
28
37
41
42
56
57
59

DAFTAR GAMBAR
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21

Halaman
Harpadon nehereus
Stasiun pengambilan contoh ikan di perairan pulau Tarakan: Stasiun 1: Tj
Simaya, Stasiun 2: Tj Selayu dan Stasiun 3: Tj Juata
Fluktuasi suhu bulanan di setiap stasiun di perairan Tarakan
Fluktuasi Kecepatan arus bulanan disetiap stasiun di perairan Tarakan
Fluktuasi salinitas bulanan disetiap stasiun di perairan Tarakan
Rata-rata laju tangkap ikan pepija berdasarkan stasiun dan waktu
penangkapan
Daerah penyebaran ikan pepija berdasarkan waktu penangkapan
Diagram komposisi IRP makanan berdasarkan waktu pengamatan
Diagram komposisi IRP makanan berdasarkan stasiun pengamatan
Perbandingan ukuran ikan pepija yang tertangkap di ketiga stasiun
pengamatan
Faktor kondisi jantan dan betina berdasarkan waktu pengamatan
Frekuensi ukuran ikan pepija berdasarkan selang kelas di perairan Pulau
Tarakan
Pola pertumbuhan ikan pepija di perairan pulau Tarakan
Tahap perkembangan ovarium ikan pepija
Tahap perkembangan testis ikan pepija
Histogram TKG ikan pepija berdasarkan waktu pengamatan
Histogram TKG ikan pepija berdasarkan tempat
Grafik IKG jantan dan betina pada ikan pepija di Perairan Tarakan
Grafik diameter telur ikan pepija di perairan Pulau Tarakan
Grafik hubungan antara panjang dan berat dengan fekunditas telur ikan
pepija di perairan Pulau Tarakan
Keterkaitan parameter lingkungan dan aktifitas manusia sebagai dasar
pengelolaan ikan pepija

4
13
16
17
18
19
20
29
30
38
39
40
41
50
52
53
54
55
57
58

63

1

1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ikan pepija (Harpadon nehereus, Ham. 1822) merupakan anggota dari
family Synodontidae, dikenal dengan nama bombay duck.
Ikan pepija
merupakan ikan demersal yang ditemukan di perairan pantai yang dangkal dan
muara dengan penyebaran di Laut India, Birma, Malaya, Sumatra, Jawa,
Kalimantan, Thailand, Indo-Cina, Cina Zanzibar dan Afrika Timur, (Haneda,
1950). Daerah penyebaran ikan pepija di Indonesia meliputi perairan Laut Jawa,
Sumatera, sepanjang Kalimantan, Sulawesi Selatan, Laut Arafuru dan sepanjang
pantai Laut Cina Selatan (Direktorat Sumberdaya Ikan, Ditjen Perikanan
Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan RI 2014).
Ikan pepija merupakan salah satu ikan yang bernilai ekonomis penting
telah menjadi produk unggulan dan oleh-oleh khas Kota Tarakan. Hal ini
mendorong intensitas kegiatan penangkapan yang menyebabkan meningkatnya
tekanan terhadap populasi ikan tersebut. Peningkatan produksi terus dilakukan
dari tahun ke tahun. Di tahun 2001 jumlah produksi masih 58,80 ton terus
meningkat dan menjadi 73,50 ton pada tahun 2007, kemudian meningkat lagi
menjadi 84,9 ton pada tahun 2010 (Statistik Perikanan Kota Tarakan, 2011). Hal
ini dikhawatirkan menyebabkan tekanan terhadap populasi sehingga lamakelamaan dapat mengakibatkan kepunahan.
Informasi yang didapat dari
nelayan, bahwa ukuran ikan yang tertangkap cenderung mengecil dan semakin
sulit didapatkan pada 3 – 4 tahun terakhir ini. Hal ini mengindikasikan bahwa
ikan pepija telah mengalami tekanan yang hebat akibat penangkapan.
Tekanan terhadap populasi ikan pepija, diperparah dengan degradasi
lingkungan. Ekosistem mangrove sebagai tempat feeding ground sudah banyak
yang dikonversi menjadi tambak dan pemukiman. Kerusakan lingkungan
diperparah dengan penggunaan pestisida oleh petambak dalam membasmi hama.
Menurut Dit. Bina Rehabilitasi Hutan dan Lahan, Ditjen RLPS (2007) luas lahan
mangrove di Kaltim sebesar 883.379,000 Ha berkurang menjadi 364.254,989 Ha
di tahun 2009 berdasarkan Pusat Survey Sumber daya Alam Laut (PSSDAL)
BAKOSURTANAL.
Kondisi yang sama juga terjadi pada luasan hutan
mangrove di Kota Tarakan, berdasarkan laporan dari Bappeda (Anonim, 2003)
mencapai ± 850 ha, namun seperti juga di tempat-tempat lain, hutan mangrove di
Kota Tarakan dari tahun ke tahun luasannya terus mengalami penurunan. Bahkan
data terakhir yang diperoleh berdasarkan laporan dari hasil identifikasi kawasan
hutan mangrove Kota Tarakan (Anonim, 2005) luas kawasan hutan mangrove
adalah ± 766 Ha (Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kota Tarakan, 2006).
Melihat tren penangkapan yang terus meningkat(Statistik Perikanan Kota
Tarakan, 2011), ukuran ikan yang cenderung menjadi lebih kecil, maka
pengelolaan penangkapan terhadap ikan pepija mutlak dilakukan. Untuk
merekomendasikan bentuk pengelolaan yang tepat maka harus didukung dengan
landasan ilmiah berupa data-data akurat tentang sifat biologi, habitat, ekologi
masa reproduksinya, distribusi dan faktor-faktor lingkungan.
Ikan pepija mempunyai karakteristik yang khas, yaitu hanya ditangkap
pada saat pasang perbani dengan menggunakan pukat hela selama 3-4 hari per
periode air surut atau 6 – 8 hari yakni pada tanggal 7 – 10 dan 21 – 24
penanggalan Qomariah di perairan pantai utara Pulau Tarakan dari Tanjung

2

Simaya di timur sampai Tanjung Juata di barat. Selain waktu tersebut ikan pepija
melakukan migrasi kemana belum diketahui keberadaannya, merupakan suatu
siklus bulanan. Daerah penangkapan ikan pepija ini di hari pertama sekitar
Tanjung Simaya, hari kedua sekitar Tanjung Selayu, hari ketiga dan keempat
antara Tanjung Selayu dan Tanjung Juata. Pola migrasi ikan ini belum diketahui
dengan pasti.
Informasi mengenai ikan pepija yang telah diketahui khususnya di
Indonesia masih sangat terbatas sehingga sebagai pembanding dan rujukan
digunakan ikan pepija dari perairan India yang meliputi distribusi genus
Harpadon (Haneda, 1949 dan Pillay, 1953), gambaran hasil penangkapan ikan
pepija di India (Nair and Balakrisknan, 1973) dan, kandungan protein (Kakatkar
et al. 2003), umur dan pertumbuhan (Amin, 2001), dinamika populasi Harpadon
nehereus di Perairan Mumbai (Balli et al. 2011), penilaian terhadap studi tentang
maturation dan pemijahan ikan laut dari perairan India (Qasim, 1972).
Mengingat terbatasnya informasi tentang ikan pepija yang berasal dari perairan
Indonesia maka penelitian ini sangat perlu dilakukan.
Tujuan Penelitian
1.
2.
3.
4.

Memetakan pola penyebaran spasial dan temporal ikan pepija.
Menentukan dan menghitung komposisi makan alami ikan pepija
Menentukan pola pertumbuhan dan menghitung laju eksploitasi ikan pepija
Menentukan aspek reproduksi ikan pepija (nisbah kelamin, ukuran ikan
pertama kali matang gonad, musim dan tempat pemijahan, tipe pemijahan dan
potensi reproduksi).
5. Merekomendasikan bentuk pengelolaan ikan pepija di perairan Pulau Tarakan
Manfaat penelitian
Penelitian ini akan berguna dalam memperkaya khasanah ilmu pengetahuan
dan sebagai landasan ilmiah dalam pengelolaan ikan pepija yang berkelanjutan.
Kebaharuan Penelitian
Kajian mengenai ekobiologi ikan pepija (Harpadon nehereus) dibeberapa
negara sudah banyak dilakukan, terutama di perairan India dan Banglades tetapi
penelitian masih bersifat parsial. Untuk perairan Indonesia masih terbatas atau
belum terpublikasi sehingga perkembangan informasi mengenai aspek ekobiologi
masih jarang ditemukan. Untuk mengisi kekosongan informasi tersebut maka
dilakukanlah kajian terhadap aspek ekobiologi ikan pepija di perairan Pulau
Tarakan. Dari hasil kajian yang dilakukan, maka diharapkan informasi yang ada
dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dan dapat menjadi informasi
ilmiah dalam pengelolaan ikan pepija secara berkelanjutan. Kebaharuan yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah:
1.
Informasi tentang adanya pola ruaya ikan pepija secara spasial dan
temporal serta distribusi spasial dan temporal.

3

2.

Informasi yang utuh tentang tentang ekobiologi ikan pepija yang
mencakup ukuran pertama kali matang gonad, musim dan tempat
pemijahan ikan pepija di perairan Pulau Tarakan.
Informasi tentang
ekobiologi ikan pepija yang ada masih bersifat parsial.

4

2. TINJAUAN PUSTAKA
Ikan Pepija (Harpadon nehereus)
Klasifikasi ikan pepija menurut Whitehead (1984) adalah sebagai berikut:
Kingdom
: Animalia
Phylum
: Chordata
Class
: Actinopterygii
Ordo
: Aulopiformes
Family
: Synodontidae
Genus
: Harpadon
Species
: Harpadon nehereus
Klasifikasi ikan pepija ini kemudian disempurnakan oleh Baily (2010) sebagai
berikut:
Kingdom
: Animalia
Phylum
: Chordata
Superclass
: Gnathostomata
Superclass
: Pisces
Class
: Actinopterygii
Order
: Aulopiformes
Family
: Synodontidae
Subfamily
: Harpadontinae
Genus
: Harpadon
Species
: Harpadon nehereus
Nama Lokal (Tarakan) : Ikan tipis, ikan lembek

Gambar 1. Harpadon nehereus
Ikan pepija dikenal secara umum dengan bombay duck dan beberapa nama
lokal yaitu: Burma: Barega, Malaysia/Indonesian: Luli, Luli-luli, Lumek, Lumilumi, Uli-uli,di Jepang: Tenagamizutengu,Vietnam: Cá khoai. Secara morfologi
ikan pepija mempunyai bentuk badan memanjang dan tipis, bulat panjang, bentuk
kepala sedikit bulat, moncong pendek, mata kecil, mulut lebar. Warna tubuh abuabu dan putih perak pada bagian perut, punggung, ekor dan sirip dada hitam,
(FAO, 2012).
Haneda (1950) menyatakan bahwa genus Harpadon dari family ikan
Synodontidaeditemukan di laut India, Birma, Malaya, Sumatra, Jawa, Kalimantan,
Thailand, Indo-Cina, dan Cina. Harpadon juga ditemukan dari Zanzibar dan
Afrika Timur, dan Jepang. Ada empat spesies Harpadon yang telah diketahui:

5

yaitu H. nehereus, H. squamosus, H. macrochir, dan H. mortenseni. Spesies H.
nehereus (Ham. Buch.), merupakan yang paling umum dan ditemukan pada
perairan pantai yang dangkal dan muara, terutama di India, Myanmar, Malaysia,
Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Spesies kedua, H. squamosus, di perairan
dalam di Teluk Benggala, di kedalaman bervariasi 4 - 10 m. Spesies ketiga, H.
macrochir, Spesies keempat, H. mortenseni (Hardenberg, 1933), tertangkap pada
kedalaman 100 m. Bailly (2010) menambahkan dua spesies baru yaitu: Harpadon
translucens dan Harpadon erythraeus.
Makanan
Besarnya populasi ikan dalam suatu perairan antara lain ditentukan oleh
makanan yang tersedia, makanan adalah segala sesuatu yang dapat dimakan dan
diserap oleh ikan sehingga dapat digunakan untuk proses metabolisme tubuhnya.
Kebiasaan makanan (food habit) ikan penting untuk diketahui, karena
pengetahuan ini memberikan petunjuk tentang pakan dan selera organisme
terhadap makanan. Effendie (1997) mendefinisikan kebiasaan makanan sebagai
kuantitas dan kualitas makanan yang dimakan oleh ikan. Kebiasaan makan ikan
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain ukuran ikan dalam memanfaatkan
makanan yang tersedia, habitat hidupnya, kesukaan terhadap jenis makanan
tertentu, musim, ukuran dan umur ikan, periode harian mencari makanan dan jenis
kompetitor (Hickley 1993 dalam Satria dan Kartamihardja 2002).
Umumnya ikan memperlihatkan tingkat kesukaan terhadap jenis makanan
tertentu dan hal ini terlihat dari jenis makanan dominan yang ada dalam
lambungnya (Weatherley dan Gill 1987 dalam Effendie 1997). Natarajan dan
Jhingran dalam Effendie (1997) menyatakan bahwa untuk menentukan jenis
organisme makanan yang dimanfaatkan oleh ikan digunakan indeks bagian
terbesar (Index of Preponderance), yang merupakan gabungan dari metode
frekuensi kejadian dan metode volumetrik. Nikolsky (1963) mengkategorikan
makanan kedalam 4 kelompok, yaitu: (1) makanan utama, makanan yang paling
banyak ditemukan dalam saluran pencernaan; (2) makanan pelengkap, makanan
yang sering ditemukan dalam saluran pencernaan dengan jumlah yang sedikit; (3)
makanan tambahan, makanan yang jarang ditemukan dalam saluran pencernaan
dan jumlahnya sangat sedikit; dan (4) makanan pengganti, makanan yang hanya
dikonsumsi apabila makanan utama tidak tersedia.
Kurian (2000) mendapatkan spektrum makanan yang luas pada H. nehereus
dengan lebih dari sepuluh spesies mangsa yang menjadi makanan. Spektrum
makanan yang lebih luas didapatkan oleh Khan et al. (1992) dengan 15 jenis ikan,
8 jenis udang, kepiting, squilla dan bentuk larva, dan cumi muda. Makanan dasar
H. nehereus mudaterdiri dari Acetes spp, dan Nematopalaemon tenuipes.
bombay duck muda dengan ukuran 35-120 mm makan utamanya adalah Acetes
spp. Aktivitas makan, menunjukkan bahwa laju makan tinggi, ditemukan pada
saat pasca-hujan dan laju makan menjadi rendah selama musim hujan. Perbedaan
laju makan akibat perbedaan musim hampir sama dengan yang didapatkan
Simanjuntak et al. (2009) pada ikan baji-baji dimana pada musim yang berbeda
terjadi perubahan jenis makanan yang dikonsumsi baik komposisi maupun
jumlahnya. Pada musim hujan variasi makanan (ketersedian dan keanekaragaman
makanan) lebih beragam dibandingkan musim kemarau dan musim peralihan

6

dengan makanan utama crustacean, makanan tambahan pisces dan pelengkap
tidak teridentifikasi. Selanjutnya keragaman makanan lebih meningkat pada
musim peralihan (hujan ke kemarau) dengan makanan utamanya adalah udang
dan ikan, makanan tambahan berupa makanan yang sudah hancur sehingga tidak
teridentifikasi. Lebih lanjut pada musim kemarau komposisi makanan menurun
tetapi makanan utama fluktuatif antara crustacean, pisces dan tidak teridentifikasi
sedangkan makanan tambahan dan pelengkap juga bervariasi antara ketiga
kelompok makanan tersebut.
Prashant et al. (2006) mendapatkan variasi komposisi makanan pada ikan
Otolithes cuvieri di alam pada bulan yang berbeda. Jumlah makanan ikan tertinggi
dalam usus tercatat selama Januari (81,07%) diikuti dengan Desember (61,59%)
dan Februari (51,70%). Persentase terendah tercatat pada bulan November
(6,25%). Acetes spp yang terbanyak di antara semua krustasea dan mendominasi
sepanjang tahun. Tertinggi pada bulan November (88.14%) dan terendah selama
bulan Desember (11,40%). Udang adalah makanan dominan kedua di antara
krustasea dan ditemukan pada bulan April (28.02%), diikuti dengan Oktober
(27.15%), dan terendah di bulan Januari (0,19%). cumi-cumi muda (Loligo
duvauceli) dicatat dalam Desember saja (1,04%).
Pertumbuhan
Pertumbuhan ikan secara individu adalah pertambahan panjang dan berat
dalam suatu waktu tertentu. Pertumbuhan merupakan proses biologis yang sangat
kompleks karena dipengaruhi oleh banyak faktor baik faktor dalam maupun faktor
luar. Faktor dalam umumnya sulit dikontrol seperti keturunan, jenis kelamin,
umur, ketahanan terhadap penyakit dan parasit; sedangkan faktor luar diantaranya
makanan dan suhu perairan. Faktor eksternal yang mempengaruhi pertumbuhan
ikan yaitu jumlah dan ukuran makanan yang tersedia, jumlah ikan yang
menggunakan sumber makanan yang tersedia, suhu, oksigen terlarut, kadar
amonia di perairan dan salinitas (Moyle and Cech 2004). Hal tersebut juga
ditegaskan oleh Moyle dan Cech (1988) yang menyatakan bahwa faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan adalah suhu (variabel paling umum), oksigen
terlarut, amoniak, kompetisi, kemampuan makan, umur dan kedewasaan. Untuk
mengetahui pola pertumbuhan ikan diperlukan sebuah pendekatan yang terukur.
Lagler (1977) menyatakan bahwa pola pertumbuhan ikan dapat didekati antara
lain dengan menghitung panjang–berat ikan tersebut.
Pola pertumbuhan
allometrik negatif merupakan pola pertumbuhan yang mengindikasikan bahwa
pertambahan panjang cenderung lebih cepat daripada pertambahan beratnya
sedangkan allometrik positif bersifat sebaliknya dengan pertambahan beratnya
cenderung lebih cepat daripada pertambahan panjangnya.
Faktor kondisi adalah suatu angka yang menunjukkan kegemukan ikan.
Faktor kondisi secara tidak langsung menunjukkan kondisi fisiologis ikan yang
menerima pengaruh dari faktor intrinsik (perkembangan gonad dan cadangan
lemak) dan faktor ekstrinsik (ketersedian sumberdaya makanan dan tekanan
lingkungan) (Nikolsky, 1969) yang diacu dalam (Rahardjo et al. 2008). Effendi
(1979), variasi nilai faktor kondisi bergantung pada kepadatan populasi, tingkat
kematangan gonad, makanan, jenis kelamin dan umur ikan. Husein et al. (2006)
diacu dalam Rahardjo et al. (2008) menambahkan bahwa selain menunjukkan

7

kondisi ikan, faktor kondisi memberikan informasi kapan ikan memijah. Secara
singkat dapat dikatakan bahwa faktor kondisi memperlihatkan sebagai suatu
instrumen yang efisien dan menunjukkan perubahan kondisi ikan sepanjang tahun.
Rahardjo et al. (2008) membuktikan bahwa nilai faktor kondisi ikan jantan dan
betina ikan tetet meningkat menjelang puncak musim pemijahan dan menurun
setelah masa pemijahan, nilai faktor kondisi menurun seiring dengan
meningkatnya kematangan gonad sampai pada TKG III, kemudian meningkat
pada TKG IV dan menurun kembali setelah ikan memijah. Menurut Prianto et al.
(2009), nilai rata-rata faktor kondisi ikan lidah betina lebih besar dibandingkan
dengan ikan lidah jantan terjadi karena gonad ikan betina lebih berkembang
dibandingkan dengan gonad ikan jantan, sehingga dapat menambah bobot dari
ikan tersebut.
Reproduksi
Reproduksi ikan merupakan aspek yang perlu dipelajari karena sangat
terkait dengan proses regenerasi. Ukuran ikan pada saat pertama kali matang
gonad pada ikan yang sama jenisnya tidak selalu sama (Effendie, 1979). Menurut
Blay dan Egeson (1980) yang diacu dalam Makmur et al. (2006), perbedaan
ukuran ini terjadi akibat perbedaan kondisi ekologis perairan.
Nikolsky (1969) yang dikutip dalam Sulistiono et al. (2001) menyatakan
bahwa nisbah kelamin di dalam populasi ikan yang sedang memijah dan
berdasarkan pada kelompok-kelompok umur dan ukuran ikan, bervariasi menurut
jenis ikannya yang mencerminkan hubungan antara jenis ikan tersebut dengan
lingkungannya.
Floyd, (1993) dalam (Fahmi 2001) menyatakan bahwa ada beberapa strategi
reproduksi dan cara reproduksi pada berbagai famili ikan laut tropis. Macammacam strategi reproduksi meliputi: pelagic spawners, live bearer dan demersal
Spawner, egg scatterers dan benthic broadcaser. Untuk famili Synodontidae
strategi reproduksi adalah pelagic spawners, memijah secara berpasangan di
kolom perairan, telur berbentuk bulat besar dan bersifat planktonik sampai ukuran
30-35 mm lalu hidup menetap.
Tingkat kematangan gonad ialah tahap tertentu dalam perkembangan
gonad sebelum dan sesudah ikan itu berpijah (Effendie, 1979). Beberapa tanda
yang dapat dipakai sebagai pembeda kelompok dalam penentuan tingkat
kematangan gonad diantaranya: pada ikan betina adalah bentuk ovarium, besar
kecilnya ovarium, pengisian ovarium dalam rongga tubuh, warna ovarium, halus
tidaknya ovarium, ukuran telur dalam ovarium secara umum, kejelasan bentuk
dan warna telur dengan bagian-bagiannya, diameter telur; sedangkan untuk ikan
jantan adalah bentuk testis, besar kecilnya testis, pengisian testis dalam rongga
tubuh, warna testes, keluar tidaknya cairan dari testis pada ikan dalam keadaan
segar. Pengamatan terhadap Tingkat Kematangan Gonad pada ikan jantan
maupun betina dapat ditentukan secara kualitatif yaitu berdasarkan bentuk
morfologi secara visual (Effendie, 1979).Nikolsky (1969 dalam Effendie, 2002)
menggunakan tanda utama untuk membedakan kematangan gonad berdasarkan
berat gonad. Secara alamiah hal ini berhubungan dengan berat
tubuh,perbandingan berat gonad dengan berat tubuh yang dinamakan koefisien
kematangan gonad dan dinyatakan dalam persen. Perbandingan tersebut dikenal

8

pula dengan sebutan Index of Maturity. Hal-hal yang berkaitan dengan reproduksi
untuk menentukan siklus perkembangan gonad ikan dapat dilakukan dengan cara
mengamati perubahan berat gonad yang dinyatakan dengan Indeks Kematangan
Gonad (IKG).
Induk yang matang gonad adalah induk yang telah melakukan fase
pembentukan kuning telur (phase vitellogenesis) dan masuk ke fase dorman. Fase
pembentukan kuning telur dimulai sejak terjadinya penumpukan bahan-bahan
kuning telur (yolk) dalam sel telur dan berakhir setelah sel telur mencapai ukuran
tertentu atau nukleolus tertarik ke tengah nukleus. Setelah fase pembentukan
kuning telur berakhir, sel telur tidak mengalami perubahan bentuk selama
beberapa saat, tahap ini disebut fase istirahat (dorman). Menurut Woynarovich
dan Horvath (1980), bila rangsangan diberikan pada saat ini akan menyebabkan
terjadinya migrasi inti ke perifer, inti pecah atau lebur, se!anjutnya terjadi ovulasi
(pecahnya folikel) dan oviposisi. Bila kondisi lingkungan tidak cocok dan
rangsangan tidak diberikan, telur yang dorman tersebut akan mengalami degradasi
atau gagal diovulasikan lalu diserap kembali oleh sel-sel ovarium, telur yang
demikian dikenal dengan oosit atresia.
Pemantauan terhadap Indeks Kematangan Gonad dari waktu ke waktu
untuk mengetahui ukuran ikan pertama kali memijah. Ukuran ikan pertama kali
matang gonad/memijah berhubungan dengan pertumbuhan ikan dan pengaruh
lingkungan terhadap pertumbuhan, serta strategi reproduksinya (Nasution, 2008).
Sejalan dengan pertumbuhan gonad, yaitu gonad akan semakin bertambah berat
sampai batas maksimum sesaat sebelum terjadi pemijahan.
Menurut Welcomme (2001) ikan yang memiliki tipe multiple spawners
menghasilkan jumlah telur yang relatif lebih sedikit dibandingkan ikan yang
memiliki tipe total spawners. Ikan tersebut sebagian besar memijah sepanjang
tahun dan umumnya bersifat parental care. Ikan yang memiliki tipe multiple
spawners merupakan adaptasi dan respons terhadap fluktuasi permukaan air yang
diakibatkan oleh perbedaan musim.
Pengertian fekunditas menurut Welcomme, (2001) adalah sejumlah
vitellogenic oocytes (telur) yang matang dalam ovarium ikan betina yang siap
dikeluarkan pada saat pemijahan. Fekunditas berbeda diantara spesies dan hal ini
merefleksikan stategi reproduksi, bahkan variasi tersebut merupakan hasil dari
perbedaan adaptasi terhadap lingkungannya (Siby et al. 2009).
Ekobiologi
Odum (1993) menyatakan bahwa pada dasarnya kualitas lingkungan akan
mempengaruhi kehidupan komunitas biota yang hidup dalam ekosistem tersebut.
Jika salah satu faktor lingkungan melewati batas toleransi suatu biota air, maka
parameter tersebut akan menjadi faktor pembatas terhadap pertumbuhan biota
tersebut. Di dalam hukum toleransi Shelford dikatakan bahwa besar populasi dan
penyebaran suatu jenis makhluk hidup dapat dikendalikan dengan faktor
pembatas. Faktor pembatas yang melampaui batas toleransi maksimum atau
minimum dan mendekati batas toleransi maka populasi atau makhluk hidup itu
akan berada dalam keadaan tertekan (stress). Kisaran apabila melampaui batas
itu yaitu lebih rendah dari batas toleransi minimum atau lebih tinggi dari batas
toleransi maksimum, maka makhluk hidup itu akan mati dan populasinya akan

9

punah dari sistem tersebut.Berkaitan dengan faktor lingkungan sebagai faktor
pembatas maka Karleskint et al. (2010) menyatakan beberapa faktor lingkungan
yang berpengaruh terhadap biota laut meliputi temperatur, salinitas, pH dan sinar
matahari.
Faktor lingkungan yang lain adalah arus, gelombang dan tipe serta ukuran
sedimen. Hal ini hampir sama dengan pernyataan Johannes (1978) dalam Fahmi
(2001) bahwa arus dan angin merupakan faktor lingkungan yang berperan penting
dalam reproduksi ikan-ikan di laut tropis. Selanjutnya Floyd (1993) dalam Fahmi
(2001) menyatakan bahwa aktifitas pemijahan terbaik pada ikan terjadi ketika
angin tidak bertiup kencang dan kondisi arus yang tenang. Laevastu et al. (1981)
menyatakan bahwa arus mempengaruhi aspek distribusi ikan berikut:
1.
Arus membawa telur pelagis dan anak-anak ikan dari spawning area ke
nursery ground dan dari nursery ground ke feeding ground.
2.
Migrasi ikan dewasa dapat dipengaruhi oleh (besar kecilnya) kecepatan arus
sebagai sarana orientasi, dan sebagai modifikator rute migrasi
3.
Perilaku diurnal mungkin dipengaruhi oleh arus (terutama oleh arus pasang
surut)
4.
Pertemuan dan arah arus, mungkin mempengaruhi distribusi ikan dewasa,
baik secara langsung, melalui efeknya pada mereka atau secara tidak
langsung, melalui agregasi makanan ikan, atau dengan membawa tentang
batas-batas lingkungan lain bagi mereka (batas suhu misalnya).
5.
Arus dapat mempengaruhi sifat-sifat lingkungan alam dan dengan demikian
menentukan secara tidak langsung kelimpahan setiap spesies tertentu dan
bahkan batas distribusi geografis
Laevastu et al. (1981) menyatakan bahwa setiap spesies memiliki
karakteristik aklimatisasi (optimal) kisaran suhu dan batas toleransi terhadap suhu
yang mungkin mengubah stok musiman dan dapat sedikit berbeda dari satu stok
ke stok yang lain untuk spesies yang sama. Suhu mempengaruhi laju proses
metabolisme dengan demikian dapat mengubah aktivitas ikan. Akibatnya
pertumbuhan dan tingkat pemberian pakan juga dipengaruhi oleh suhu
lingkungan.
Faktor lingkungan lain yang berpengaruh terhadap biota laut adalah
salinitas. Konsentrasi salinitas lingkungan mempengaruhi distribusi, migrasi dan
keberhasilan reproduksi organisma. Osmoregulasi membutuhkan pengeluaran
energi oleh organisme, yang besarnya tergantung pada perbedaan konsentrasi
garam yang ada antara cairan tubuh internal dan eksternal lingkungan. Toleransi
terhadap salinitas dan preferensi organisme laut bervariasi pada berbagai tahap
siklus kehidupan mereka, yaitu telur, larva, juvenil, juwana dan dewasa. Salinitas
muncul sebagai faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan reproduksi
dalam spesies yang sama dalam distribusi dan pada berbagai tahap siklus
kehidupan. Pengaruh langsung salinitas terhadap spesies ikan yang dapat
dianggap paling kecil hanya pada keanekaragaman di laut terbuka dengan kisaran
hanya antara 30-36 ‰. Kecilnya fluktuasi salinitas pada laut terbuka ini,
disebabkan oleh kurangnya masukan air tawar dari daratan. Hal ini tentunya
berbeda dengan daerah muara dan perairan pantai yang selalu mendapatkan
masukan dari air tawar sehingga pengenceran konsentrasi salinitas menjadi
fluktuatif. Batas-batas kisaran salinitas optimal, tanpa masa adaptasi dengan

10

kondisi luar biasa, untuk setiap spesies ikan jauh lebih sempit daripada kisaran
maksimal toleransi, (Laevastu et al. 1981).
Nakabo (2002) menyatakan bahwa H. nehereus ditemukan di substrat dasar
berpasir-berlumpur pada perairan dangkal sampai kedalaman 50 m. Menghuni
lepas pantai perairan dalam hampir sepanjang tahun, tetapi juga mengumpul
dalam kawanan besar di delta sungai untuk mencari makan selama musim hujan.
H. nehereus merupakan sebuah predator agresif.
Bapat (1970) dalam Nair et al. (1974)menyatakan faktor yang
bertanggung jawab pada distribusi ikan ini, seperti ditunjukkan oleh berbagai
penulis, adalah: (i) distribusi dan gerakan dari organisme makanan favorit (ii)
variasi salinitas di sepanjang pantai dan (iii) fluktuasi suhu permukaan air laut.
Pengelolaan (Pengendalian Tingkat Eksploitasi)
Undang-undang Perikanan Republik Indonesia No. 45 tahun 2009
mendefenisikan pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang
terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi,
pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta
penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang
dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai
kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah
disepakati. Lebih lanjut dalam undang-undang perikanan tersebut dinyatakan
bahwa tujuan pengelolaan berdasarkan pada asas manfaat dan kelestarian yang
berkelanjutan.
Desniarti et al. (2006) menyatakan bahwa dalam usaha perikanan tangkap,
permasalahan yang sering terjadi adalah tingkat penangkapan ikan melebihi
potensi lestarinya (maksimum sustainable yield/MSY) sehingga terjadi fenomena
tangkap lebih yang berakibat pada penurunan hasil tangkapan persatuan upaya
yang pada gilirannya mengakibatkan penurunan pendapatan nelayan. Selanjutnya
FAO (1998) yang diacu dalam Desniarti et al. (2006) menyatakan bahwa
kapasitas perikanan merupakan jumlah maksimum biomassa ikan yang dapat
ditangkap pada periode waktu tertentu (musim dan tahun) dengan armada
perikanan.
FAO (1996) dalam Susilo (2009) menyatakan bahwa pemanfaatan
sumberdaya alam yang berkelanjutan harus memenuhi persyaratan. Dari aspek
ekologi pemanfaatan mensyaratkan terjaminnya kelestarian sumberdaya ikan.
Lebih lanjut dinyatakan bahwa walaupun sumberdaya ikan laut bersifat dapat
pulih tetapi sumberdaya ikan bukan tidak terbatas. Oleh karena itu, untuk
menjamin kelestarian sumberdaya maka pemanfaatannya tidak boleh melebihi
produksi populasi tersebut. Pada prinsipnya kelestarian sumberdaya akan
terjamin jika jumlah (volume) ikan yang ditangkap sama dengan jumlah ikan
akibat pertumbuhan populasi.
Pengelolaan sumberdaya ikan dapat berbeda antara spesies yang satu
dengan lainnya atau antara habitat yang berbeda. Pada pengelolaan ikan merah
(Lutjanus spp) di Kepulauan Spermonde, Yusuf et al. (2007) menyatakan
kebijakan yang bisa diterapkan adalah didasarkan pada: (1)
Tipologi
sumberdayanya, (2) Pembatasan jumlah upaya penangkapan (diversifikasi-

11

relokasi) dengan tingkat upaya optimal dan (3) Model kepemilikan dapat
dilakukan pemerintah maupun swasta atau co-management.
Boer (2007) menyatakan bahwa pemanfaatan ikan tidak merata di seluruh
perairan. Degradasi dapat diduga dari gejala yang ditemukan antara lain semakin
kecilnya ukuran ikan yang tertangkap, jumlah hasil tangkapan yang semakin
berkurang, wilayah penangkapan yang semakin jauh serta menghilangnya
beberapa spesies ikan. Penurunan potensi sumberdaya ikan tersebut dapat dihindari
melalui pengaturan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya ikan yang ada.

12

3. DISTRIBUSI SPASIAL DAN TEMPORAL IKAN PEPIJA,
Harpadon nehereus (Hamilton, 1822) DI PERAIRAN
PULAU TARAKAN
Pendahuluan
Ikan pepija (Harpadon nehereus, Hamilton 1822) merupakan salah satu
sumberdaya ikan yang bernilai ekonomis penting yang menjadi produk unggulan
Kota Tarakan, Kalimantan Utara. ikan pepija merupakan ikan demersal dengan
penyebaran di perairan estuaria dan laut dangkal. Daerah penyebaran ikan pepija
meliputi Indo Pac