Perilaku Antisosial Pada Remaja Di SMA Swasta Raksana Medan Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku antisosial pada remaja di SMA Swasta Raksana Medan

2. Pembahasan

Dari hasil penelitian yang telah diperoleh, pembahasan dilakukan untuk menjawab pertanyaan penelitian yaitu untuk mengidentifikasi perilaku antisosial pada remaja SMA Swasta Raksana Medan, mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku antisosial pada remaja di SMA Swasta Raksana Medan dan mengetahui faktor yang paling dominan yang mempengaruhi perilaku antisosial pada remaja di SMA Swasta Raksana Medan.

2.1 Perilaku Antisosial Pada Remaja Di SMA Swasta Raksana Medan

Dari hasil penelitian diperoleh bahwa remaja di SMA Swasta Raksana Medan dari 112 responden, yang berperilaku antisosial 22 orang 19,6 dan yang tidak berperilaku antisosial 90 orang 80,4 . Dalam penelitian Baskoro 2010 yang berjudul Hubungan antara depresi dengan perilaku antisosial pada remaja di sekolah, bahwa dari jumlah total 37 responden, diperoleh sebanyak 23 responden mengalami perilaku antisosial. SMA Swasta Raksana Medan adalah sekolah yang bagus kualitasnya baik akademik, non akademik serta kegiatan keagamaan dengan akreditasi B. Namun tetap ditemukan siswa yang berperilaku antisosial. Masih ditemukan siswa yang suka bolos, absen, suka berkelahi, tidak mengerjakan tugas dan lain-lan. Penyebab yang mendasari hal ini adalah bisa karena kurangnya disiplin dari orang tua yang terlalu permisif dan sulit untuk mengatakan tidak pada anak, pemberian disiplin yang terlalu keras, selalu menuntut untuk sempurna yang cenderung memaksa, orangtua yang memberi disiplin yang tidak konsisten juga bisa menjadi Universitas Sumatera Utara penyebab, kadang melarang kadang membiarkan. Kedua orang tua berada dalam kondisi stress dan konflik. Hubungan orang-tua yang harmonis akan menumbuhkan kehidupan emosional yang optimal terhadap perkembangan kepribadian anak sebaliknya, orang tua yang sering bertengkar akan menghambat komunikasi dalam keluarga, dan anak akan “ melarikan diri “ dari keluarga dan berubah menjadi brutal, kasar, nakal. Keluarga dengan keadaan ekonomi yang kurang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rand Connger Sigelman dan Shaffer, 1975 orangtua yang mengalami tekanan ekonomi atau perasaan tidak mampu mengatasi masalah finansialnya, cenderung menjadi depresi dan mengalami konflik keluarga akhirnya mempengaruhi masalah remaja yaitu kenakalan remaja dan tindakan kriminalitas..

2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku antisosial pada remaja di SMA Swasta Raksana Medan

Dari hasil penelitian diperoleh jumlah laki-laki yang berperilaku antisosial ada 15 orang 68,2 dan perempuan 7 orang 31,8 . Pada penelitian Baskoro 2010 diperoleh hasil jumlah laki-laki yang berperilaku antisosial ada 15 orang sedangkan perempuan 9 orang. Dapat dilihat bahwa jumlah jenis kelamin laki- laki lebih banyak daripada perempuan. Remaja laki-laki lebih banyak melakukan tingkah laku anti sosial daripada perempuan. Menurut catatan kepolisian Kartono 2003 pada umumnya jumlah remaja laki-laki yang melakukan kejahatan dalam kelompok gang diperkirakan 50 kali lipat daripada gang remaja perempuan. Universitas Sumatera Utara Usia siswa SMA Swasta Raksana Medan yang berperilaku antisosial rata-rata berada pada usia 16-17 tahun. Laporan penelitian Balai penelitian pemasyarakatan 2009 mengungkapkan bahwa sebelum para remaja nakal melanjutkan perbuatannya ke tindak pidana, mayoritas adalah remaja putus sekolah dan mereka pada umumnya masih berusia 16 dan 17 tahun. Remaja pada usia 16 tahun lebih mudah untuk diajak kerjasama, berpikir secara independen dan membuat keputusan sendiri dengan menolak campur tangan orangtua, remaja mulai bereksperimen dengan pengalaman baru merokok, alkohol, NAPZA. Sedangkan remaja pada usia 17 tahun cenderung menggeluti masalah sosialpolitik, lebih senang pergi dengan teman daripada berlibur dengan keluarganya , c enderung merasa pengalamannya berbeda dengan orang-tuanya, dan ingin meninggalkan rumah serta hidup sendiri. Hal inilah yang mencetuskan timbulnya perilaku antisosial di usia 16-17 tahun. Faktor identitas dapat dilihat dari pernyataan nomor 1 dan 2. Untuk nomor 1 45,5 responden menyatakan bahwa dirumah mereka tidak tahu perannya sebagai apa, makanya bertindak semaunya. Untuk nomor 2 diperoleh bahwa sebanyak 50 responden menyatakan bahwa menurut mereka melanggar peraturan sekolah itu adalah hal yang wajar, karena mereka masih remaja Perubahan biologis dan sosiologis pada diri remaja memungkinkan terjadinya dua bentuk integrasi. Pertama, terbentuknya perasaan akan konsistensi dalam kehidupannya. Kedua, tercapainya identitas peran. Kenakalan remaja terjadi karena remaja gagal mencapai masa integrasi kedua. Erikson dalam Santrock, 1996. Pada masa remaja terjadi perubahan yang sangat penting pada identitas diri Harter, 1990. Universitas Sumatera Utara Masa remaja adalah masa yang ragu akan identitas dirinya dan tidak hanya ragu akan personal sense dirinya tapi juga untuk pengakuan dari orang lain dan dari lingkungan bahwa dirinya merupakan individu yang unik dan khusus. Dari faktor kontrol diri, rata-rata 60 responden memiliki kontrol diri yang rendah. Dapat dilihat dari hasil penelitian pernyataan nomor 3 diperoleh 63,6, pernyataan nomor 4, 5, 6 diperoleh masing-masing 59,1. Menurut penelitian tentang kontrol diri yang dilakukan oleh Ajzen dkk tahun 1982 dalam Jawahar, 2001 menyebutkan bahwa orang dengan kontrol diri yang tinggi bisa memecahkan masalah-masalah dalam lingkungan sosialnya dan juga pandai dalam menyelaraskan tingkah lakunya agar sesuai dengan konteks sosialnya. Sebaliknya, perilaku dengan kontrol diri yang rendah merefleksikan perasaan dan sikap mereka tanpa menghargai situasi atau konsekuensi interpersonal akibat perilakunya tersebut, yang kemudian menjadi perilaku antisosisal. Goldfield dan Merbaum Lazarus, 1976 yang mendefinisikan kemampuan mengontrol diri sebagai suatu kemampuan untuk menyusun, membimbing, mengatur dan mengarahkan bentuk perilaku yang membawa individu ke arah konsekuensi positif. Hurlock 1973 menyatakan bahwa kontrol diri berkaitan dengan bagaimana individu mengendalikan emosi serta dorongan dari dalam dirinya. Mengatasi emosi berarti mendeteksi suatu situasi dengan menggunakan sikap yang rasional untuk merespon situasi tersebut dan mencegah munculnya reaksi yang berlebihan. Calhoun Acocela 1976 mengartikan kontrol diri sebagai pengaturan proses-proses fisik, psikologis dan perilaku seseorang. Dengan kata lain merupakan serangkaian proses yang membentuk diri sendiri. Kontrol diri Universitas Sumatera Utara dianggap sebagai lawan dari kontrol eksternal. Kontrol diri mengandung pengertian individu menentukan standar perilaku, kontrol diri akan memberi ganjaran bila memenuhi standar tersebut. Pada kontrol eksternal, orang lain menentukan standar dan memberi atau menahan ganjaran. Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa kontrol diri adalah kemampuan individu untuk menyusun, membimbing, mengatur dan mengarahkan bentuk perilaku yang membawa individu ke arah konsekuensi positif sehingga tingkah lakunya sesuai dengan aturan atau norma sosial. Kontrol diri berkaitan dengan bagaimana individu mengendalikan emosi serta dorongan dari dalam dirinya dengan menggunakan sikap yang rasional sehingga mampu membuat keputusan dan mengambil tindakan yang efektif. Dari hasil penelitian diperoleh juga bahwa yang mempengaruhi perilaku antisosial dari faktor lingkungan tempat tinggal yang paling banyak adalah pernyataan nomor 20 yakni di lingkungan tempat saya tinggal, saya sering melihat pencurian rumah warga. Menurut Desvi 2005 dalam penelitiannya yang berjudul Keterampilan Sosial Pada Anak Menengah Akhir Yang Mengalami Gangguan Perilaku menyatakan bahwa lingkungan tempat tinggal, jaringan sosial, serta kejahatan politik juga turut berperan bagi perkembangan moral dan perilaku anak. Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang tinggal di daerah konflik atau daerah yang mengalami peperangan menunjukkan pemahaman moral yang rendah, terlibat dalam kenakalan remaja, menunjukkan perilaku antisosial dan bolos dari sekolah. Penelitian Hamaria Irmawati 2006 yang berjudul Dinamika faktor-faktor psikososial pada residivis remaja pria menyatakan bahwa Universitas Sumatera Utara pengaruh lingkungan berperan penting terhadap perilaku antisosial. Pengaruh dari faktor-faktor resiko spesifik yang diperantarai lingkungan ini dibedakan menjadi pengaruh bersama shared effect dan pengaruh tidak bersama nonshared effect . Pengaruh bersama adalah pengaruh yang dirasakan oleh semua anak dalam saatu keluarga, sedangkan pengaruh tidak bersama adalah pengaruh yang dialami oleh seorang anak yang memiliki pengalaman berbeda. Perilaku sosial berkembang melalui interaksi dengan lingkungan. Lingkungan akan turut membentuk perilaku seseorang. Lewin mengemukakan formulasi mengenai perilaku dengan bentuk B=F E - O dengan pengertian B = behavior, F = function, E = environment, dan O = organism, formulasi tersebut mengandung pengertian bahwa perilaku behavior merupakan fungsi atau bergantung kepada lingkungan environment dan individu organism yang saling berinteraksi. Apabila lingkungan memfasilitasi atau memberikan peluang terhadap perkembangan anak secara positif, maka anak akan dapat mencapai perkembangan sosial secara matang. Namun sebaliknya apabila lingkungan sosial itu kurang kondusif, seperti perlakuan yang kasar dari orang tua, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat yang tidak baik, maka perilaku sosial anak cenderung menampilkan perilaku yang menyimpang. Perilaku remaja sangat rentan terhadap pengaruh lingkungan. Salah satu bagian perkembangan masa remaja yang tersulit adalah penyesuaian terhadap lingkungan sosial. Universitas Sumatera Utara

2.3 Faktor Dominan Yang Mempengaruhi Perilaku Antisosial Pada Remaja Di SMA Swasta Raksana Medan