Menghapuskan Berbagai Praktik Impunitas

Ratifikasi Statuta Roma Sekarang 10 Koalisi Masyarakat Sipil untuk Mahkamah Pidana Internasional hukum dalam bidang kekerasan seksual dan jender. Unit khusus saksi dan korban yang berada dibawah panitera he Registry Mahkamah juga harus memiliki staf yang berpengalaman dalam menangani kasus-kasus kejahatan seksual. Pemilihan hakim Mahkamah pun dilakukan dengan pertimbangan representasi yang adil antara jumlah hakim perempuan dan laki-laki. e. Partisipasi korban dalam proses Mahkamah. Statuta roma dan prosedurnya memfasilitasi keterlibatan langsung korban dalam proses peradilan. Korban dapat menyamaikan pendapatnya sesuai dengan aturan yang ada dimana mereka diberi kesempatan untuk menceritakan pengalamannya meskipun jika mereka tidak dihadapkan sebagai saksi. Mekanisme ini akan membuka kesempatan bagi setiap individu perempuan untuk bicara yang sering tidak terekam dalam proses peradilan internasional. Dengan berbagai pengaturan dan mekanisme yang disediakan oleh Mahkamah Pidana Internasional ini berarti Mahkamah tidak saja memberikan kepastian bagi para pencari keadilan namun juga menjamin kehormatan saksi dan korban perempuan.

II. Pentingnya Ratiikasi Statuta Roma

Keharusan ratiikasi Statuta Roma pada tahun 2008 tidak hanya karena alasan normatif bahwa hal tersebut sudah disebutkan dalam ANHAM 2004 – 2009. Ratiikasi Statuta Roma pada tahun ini juga akan memberikan kontribusi yang sangat positif penegakan dan perlindungan HAM di Indonesia dan perdamaian kawasan dan dunia. Selain itu, ratiikasi Statuta Roma juga akan menjadikan Indonesia dipandang sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia yang sudah lebih dulu mengikatkan dirinya pada tatanan keadilan internasional. Secara terperinci, arti penting dan keuntungan-keuntungan ratiikasi Statuta Roma pada tahun ini dijelaskan sebagai berikut:

a. Menghapuskan Berbagai Praktik Impunitas

Peratiikasian Statuta Roma sangat diperlukan oleh Indonesia, apalagi ketika kita melihat contoh-contoh penanganan kasus pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di Indonesia yang berakhir dengan kegagalan Pengadilan untuk menemukan dan menghukum “the most responsible persons”. Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional bertujuan untuk menghentikan dan mencegah praktik impunitas terhadap pelaku kejahatan internasional yang serius yang diatur oleh Statuta Roma serta membuat perubahan signiikan atas perilaku aktor negara-bangsa. Para pelaku kejahatan demikian tidak dapat bebas dari penuntutan sekalipun mereka adalah representasi dari kedaulatan negaranya. Ratifikasi Statuta Roma Sekarang 11 Koalisi Masyarakat Sipil untuk Mahkamah Pidana Internasional Dengan kata lain terdapat tiga hal penting karena keberadaan Mahkamah Pidana Internasional sebagai pencegah terjadinya kejahatan serius internasional sebagaimana diatur dalam Statuta Roma. Pertama, para penguasa tidak dapat lagi melakukan praktik dengan alasan apapun termasuk melakukan impunitas dengan maksud melindungi menggunakan mekanisme hukum nasional baik dengan jalan menggelar pengadilan yang bertujuan melindungi pelaku yang ataupun pengampunan amnesty. Para penguasa itu harus berpikir panjang untuk membuat kebijakan politiknya yang berakibat pada munculnya kejahatan serius karena Mahkamah Pidana Internasional memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penuntutan terhadap kejahatan yang serius yang terjadi serta menentukan peradilan nasional yang digelar telah memenuhi persyaratan independen dan imparsial. Kedua, sehubungan dengan jangkauan Mahkamah Pidana Internasional yang sangat luas dalam menerapkan yurisdiksinya sekalipun kehadirannya bersifat komplementer. Para pelaku selain tidak dapat berlindung melalui mekanisme perundangan nasional negaranya juga tidak dapat berlindung pada negara lain sekalipun negara itu bukan menjadi pihak dari statuta. Dalam praktiknya, negara-negara yang telah menjadi pihak telah melakukan transformasi terhadap Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional sehingga ketentuan-ketentuan statuta menjadi bagian dari hukum nasional secara penuh. Ketiga, khusus bagi negara-negara yang mengirimkan pasukan perdamaian, Mahkamah Pidana Internasional justeru melindungi personil pasukan penjaga perdamaian dari kemungkinan tindakan-tindakan yang dikategorikan sebagai kejahatan serius internasional dan bukan sebaliknya mengancam eksistensi pasukan penjaga perdamaian yang melakukan operasinya di daerah konlik. Dengan kata lain, Mahkamah Pidana Internasional memberikan perlindungan hukum bagi personel pasukan penjaga perdamaian. Workshop Koalisi Masyarakat Sipil untuk Mahkamah Pidana Internasional Ratifikasi Statuta Roma Sekarang 12 Koalisi Masyarakat Sipil untuk Mahkamah Pidana Internasional Mahkamah Pidana Internasional dan Pasukan Perdamaian PBB Indonesia sejak lama berperan serta dalam mengirimkan pasukan perdamaian dalam kerangka PBB. Hal ini merupakan bentuk nyata dari ikrar Indonesia sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu ikut serta dalam menjaga ketertiban dunia. Terakhir, Indonesia mengirimkan pasukan TNI untuk bergabung dalam Pasukan Perdamaian PBB di Libanon. Lalu apa hubungannya antara keterlibatan Pasukan Perdamaian PBB asal Indonesia dengan Mahkamah Pidana Internasional? Statuta Roma memberikan jaminan kepada setiap personil angkatan bersenjata dari berbagai negara yang bertugas sebagai Pasukan Perdamaian PBB. Jaminan itu berupa peringatan, pencegahan dan perlindungan dari segala bentuk tindakan kejahatan yang menjadi yurisdiksi mahkamah selama bertugas di daerah konlik dan bukan sebaliknya menjadi penghalang dari kerja-kerja mereka dalam operasi perdamaian. Statuta Roma menyediakan panduan yang lebih lengkap tentang aturan pelibatan rules of engagement pasukan perdamaian, sehingga anggota pasukan dapat memahami dengan lebih jelas apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama menjalankan tugasnya. Lebih lanjut, dengan deinisi dan parameter element of crimes yang lebih jelas, Statuta roma justru mereduksi kemungkinan politisasi sebuah kasus yang melibatkan pasukan perdamaian. Indonesia bukanlah negara pihak dalam Statuta Roma namun tidak berarti para personilnya bebas dari yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional. Mekanisme Statuta Roma memungkinkan adanya rujukan referral dari Dewan Keamanan PBB sebagaimana dalam Kasus Darfur di Sudan. Akan tetapi patut dicatat bahwa Mahkamah Pidana Internasional tidak serta merta langsung menerapkan yurisdiksinya terhadap personil pasukan perdamaian tersebut. Asas Komplementer yang menjadi prinsip utama Mahkamah Pidana Internasional tetap berlaku yaitu mendahulukan mekanisme hukum nasional untuk mengadili para pelaku kejahatan tersebut sebagai bentuk penghormatan terhadap kedaulatan negara. Bagaimana posisi Indonesia jika menjadi negara pihak dalam Statuta Roma? Asas Komplementer tetap berlaku namun permasalahannya Indonesia tidak memiliki mekanisme hukum nasional untuk mengadili para pelaku khususnya berkait dengan kejahatan perang. UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM tidak mengatur kejahatan perang dalam yurisdiksinya. Sehingga dapat dimungkinkan kemungkinan dikategorikan tidak mampu unable untuk mengadili para pelaku kejahatan. Sungguhpun demikian, jalan keluar dari persoalan ini adalah Indonesia secepatnya meratiikasi Statuta Roma. Ratiikasi Statuta Roma justeru menjadi pemicu dari upaya Indonesia untuk perbaikan serta penguatan atas mekanisme hukum nasionalnya. Dalam memenuhi upaya itu perlu diperhatikan bahwa kejahatan perang tidak dapat diletakan dalam yurisdiksi peradilan militer. Hal ini penting mengingat dalam praktik internasional yang telah menjadi kebiasaan internasional bahwa pelaku kejahatan perang tidak selalu berasal dari kalangan militer tetapi termasuk orang- orang sipil. Dengan demikian jalan yang terbaik memasukan kejahatan perang dalam Amandemen UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM sekaligus sebagai bentuk implementasi Statuta Roma dalam hukum nasional Indonesia. Ratifikasi Statuta Roma Sekarang 13 Koalisi Masyarakat Sipil untuk Mahkamah Pidana Internasional Berangkat dari hal itu, dengan meratiikasi Statuta Roma berarti Indonesia terikat dengan komitmen yang kuat untuk memberikan perlindungan HAM bagi warganegaranya, dan terikat untuk melaksanakan kewajiban untuk menghukum pelaku kejahatan serius internasional secara benar agar tidak dinilai sebagai Negara yang “unwilling”.

b. Mengatasi Kelemahan Sistem Hukum Indonesia