Deindustrialisasi Pedesaan (Studi Kasus Desa Curug Bintang, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat)

RINGKASAN

HERU PURWANDARI. Deindustrialisasi Pedesaan (Studi Kasus Desa Curug
Bitung, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat). Dibawah
bimbingan IVANOVICH AGUSTA.
Penelitian ini mempergunakan konsep deindustrialisasi yang diartikan oleh
peneliti sebagai kebalikan dari proses industrialisasi. Pada proses industrialisasi akan
terjadi transformasi dari rnasyarakat pertanian ke masyarakat industrial dan juga
adanya peralihan modal dari kota ke desa. Transformasi yang dimaksud adalah
transformasi ekonomi (mata pencaharian utama) terkait dengan pemikiran bahwa
sisem ekonomi rnerupakan cultural fokus suatu masyarakat. Pada proses tersebut
masyarakat pertanian yang memiliki mata pencaharian utama bertani akan
terpengaruh keberadaan industri sehingga mata pencaharian utama penduduk adalah
di bidang industri. Sedangkan proses deindustrialisasi berarti proses yang terjadi
akibat pengaruh keberadaan industri dimana transformasi justru dari masyarakat
industrial ke masyarakat pertanian. Proses tersebut dapat dilihat dari perubahan mata
pencaharian utama penduduk yanng semula di bidang industri berubah menjadi
bidang pertanian.
Deindustrialisasi pedesaan sela~naini hanya diartikan sebagai berpindahnya
modal besar dari desa kembali ke kota (Berg dalam White,1990). Desa kemudian
kehilangan daya tariknya, atau menurut Schneider (1993) menjadi kota mati dimana

mata pencaharian baru harus dicari.
Untuk kasus penelitian ini proses
deindustrialisasi berjalan dalam tahapan dan dengan faktor pendorong yang khas atau
berbeda.
Permasalahannya adalah apakah faktor-faktor pendorong transformasi
~nasyarakatindustrial ke masyarakat pertanian, bagaimana proses deindustrialisasi
dilakukan masyarakat desa. Dari permasalahan tersebut peneliti ingin mengetahui
faktor-faktor pendorong transformasi dari masyarakat industrial ke masyarakat
pertanian dalam ha1 pergeseran mata pencaharian utama, sekaligus tahapan-tahapan
yang dilakukan masyarakat desa dalam proses tersebut.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan
menggunakan strategi studi kasus. Jenis data meliputi data primer dan data sekunder.
Data primer diperoleh dari subjek penelitian yang terdiri dari dua kategori yaitu
warga yang mengalami transformasi masyarakat pertanian ke masyarakat industrial
dan warga yang mengalami transformasi dari masyarakat industrial ke masyarakat
pertanian yang ditandai dengan berubahnya mata pencaharian utarna penduduk serta
informan yang terdiri dari informan yang mer~getahuienclave intiustry, informan
sebagai kaum migran, informail yang dapat menceritakan kondisi desa, dan informan
yang tahu kondisi pada masing-masing tahapan deindustrialisasi. Data sekunder
diperoleh dari buku potensi desa, kantor Kecamatan Nanggung, PT Hevindo, dan PT

Aneka Tambang. Fakta yang diperoleh dihimpun kemudian dipisah menurnt konsep-

konsep penting yang dijadikan dasar untuk membangun hipotesis yang dijadikan
kesimpulan dalam penelitian ini.
Dalam penelitian ini desa penelitian (Desa Curug Bitung) dilihat dari tiga
tahapan masyarakat yaitu desa pertanian sawah dengan ciri bidang pekerjaan utama
mayoritas penduduk di sawah, desa industri dengan ciri bidang pekerjaan utama
mayoritas penduduk menambang emas, dan desa pertanian sawah dalam
deindustrialisasi dengan ciri alternatif penambangan menurun setelah kontrol pabrik
meningkat, sekaligus terdapat peluang bekerja di sawah dan perkebunan.
Pada masa desa pertanian sawah (1976-1994) lahan pertanian dominan
(86,6%) dengan sistem persawahan berbentuk terasering yang didukung oleh banyak
sungai yang melintasi desa dan mengairi persawahan. Kelak sungai-sungai tersebut
beralih fungsi menjadi salah satu sarana produksi pengolahan emas bagi warga desa
terlebih pada masa pengetatan pengamanan oleh pihak perusahaan Aneka Tarnbang
(Antam) yang menggunakan sebagian lahan Taman Nasional Gunung Halimun
(TNGH) untuk lokasi penambangan.
Di bidang pertambangan beberapa bidang yang ditekuni meliputi penggalian
pasir, bat11 belah, batu kapur, pembuatan teras, genteng, batako dan batu bata merah.
Kesemua bidang tersebut memerlukan tenaga kerja kasar. Kelak pengalaman dalam

pekerjaan tersebut berguna untuk melakukan pertambangan emas. Demikian juga
kemampuan berdagang yang dimiliki masyarakat kelak berguna untuk beradaptasi
dengan keadaan desa di masa industrialisasi.
Peluang bekerja dan berusaha penduduk pada masa ini lebih ditekankan pada
pekerjaan bertani dengan menggunakan pembagian kerja secara seksual atas dasar
nilai pria lebih kuat dan wanita lebih lemah. Nilai kuat dan lemah tersebut
menentukan banyaknya upah yang diterima antara pria dan wanita dimana pria
mendapat upah lebih tinggi dibanding wanita. Terkait dengan adanya penggalian
bentonit, maka petani memililci nafkah kerja ganda. Ada saat dimana terdapat waktu
senggang yang digunakan petani untuk menambah pendapatan. Sebelum masuk ke
ke desa industri masyarakat mengalami mass transisi dari pertanian ke industri (19901994). Pada masa ini masyarakat lokal b e l ~ ~banyak
m
yang ke gunung karena masih
mempertimbangkan kehalalan atau keharaman penambangan emas. Ketertarikan
masyarakat terhadap pertambangan emas muncul setelah perekonomian desa turut
mengalami krisis ekonomi nasional sejak 1997.
Tahapan masyarakat selanjutnya adalah desa industri (1994-1998). Pada
masa ini terjadi peningkatan jumlah rumah permanen (57,3%), rumah semi permanen
(25,3%) dan rumah temporer (17,4%) (Kantor Kecamatan Nanggung, 1999).
Manfaat lain yang dirasakan oleh masyarakat dari PT Aneka Tambang terlihat pada

peningkatan kesempatan kerja di luar pertanian. Pada desa industri terjadi beberapa
perubahan dalam mata pencaharian penduduk, diantaranya di bidang pertanian,
pertambangan emas, jasa dan perdagangan. Anggapan bahwa bertani adalah dasar
dari kehidupan masyarakat desa masih dipegang teguh, sehingga pertanian tidak
ditinggalkan oleh sebagian masyarakat pada saat kejayaan penggalian emas. Masih
dikerjakannya lahan pertanian juga terkait dengan pembagian kerja secara seksual
dimana kerika suami ke gunung, pengawasan pengelolaan sawah diserahkan kepada
istri. Pada mas3 ini kegiatan di bidang pertambangan emas dilakukan hampir

sebagian penduduk. Melalui hubungannya dengan migran, masyarakat lokal
mengenal seluk beluk pertambangan, yaitu proses pengolahan, teknologi sistem
perentalan, dan penggunaan gulundung. Pada tahun 1998 terjadi masa transisi dari
industri ke pertanian. Pada masa transisi tejadi pengurangan penambang ilegal atau
gurandil. Hal ini berkaitan dengan; pertama, pengamanan lokasi Antam diperketat
terkait dengan kerusuhan Cihiris pada tahun 1998. Setelah kerusuhan tersebut PT
Aneka Tambang menggunakan tenaga Brimob sebagai tenaga keamanan
menggantikan Pam-swakarsa. Kedua, semakin banyak jawara yang berkuasa di
sekitar lokasi terkait dengan semakin inginnyajawara tersebut memperoleh emas dari
lokasi penambangan. Ketiga, lokasi Ciurug dibuldoser oleh PT Antam sehingga
masyarakat semakin memiliki waktu yang sempit untuk menggali lokasi.

Tahapan terakhir dalam masyarakat Curug Bitung adalah desa pertanian
sawah dalam deindustrialisasi (1998-2000). Masa ini ditandai dengan semakin
berkurangnya jumlah penduduk yang beraktivitas sebagai gurandil. Lahan milik PT
Hevindo yang semula dipersiapkan untuk penanaman albasia mulai dimanfaatkan
penduduk melalui perjanjian. Isi perjanjian tersebut yaitu masyarakat sementara
boleh menanami lahan dengan mematuhi beberapa persyaratan. Mereka tidak boleh
mengganggu tanaman yang ada dan tidak boleh memberi batasan lahan lebih dari 500
m2, dan yang mengelola harus petani murni.
Alternatif usaha setelah tidak bisa mengolah gunung adalah kembali ke
pertanian, meskipun pertania~masih menjadi bagian hidup masyarakat. Pada masa
ini, sawah dan kebun kembali digarap oleh para pemiliknya setelah sebelumnya
menggunakan tenaga kuli. Ladang yang tadinya ditelantarkan digarap kembali,
bahkan ~nasyarakatmulai mengelola lahan perkebunan milik PT Hevindo.
Ridang pertanbangan emas tidak seluruhnya ditinggalkan. Masyarakat
n~asih terikat dengan hal-ha1 yang berhubungan dengan emas. Gurandil yang
memiliki modal besar masih rnenggali emas ke gunung meski persentasenya kecil
(5%). Sedangkan gurandil yang tidak memiliki modal besar mengolah lumpur emas
yang dihasilkan dari pengolahan pertama, meskipun kadar emasnya sudah rnenurun.
Apabila barnng mengandung kadar emas 70% maka clalam lumptrr hanya diperoleh
emas dengan kadar 60%. Demikian seterusnya lumpzrr selalu diolah bahkan sampai

pada kadar yang hanya mencapai 8%.
Apabila ditinjau dari penjelasan tersebut maka faktor pendorong
transformasi dari masyarakat pertanian ke masyarakat industrial terdiri dari faktor
fisik dan faktor ekonomi dan sosial yang masing-masing dipisahkan menjadi faktor
ekstern dan intern. Faktor pendorong fisik ekstern mencakup migran yang masuk ke
Desa Curug Bitung dan penetrasi pabrik PT Aneka Tambang. Sedangkan faktor
pendorong fisik intern adalah sungai yang terdapat di Desa Curug Bitung yang bisa
digunakan untuk mengolah emas. Faktor pendorong dari bidang ekonomi dan sosial
yang ekstern meliputi krisis nasional yang terjadi dan peluang bekerja dan berusaha
di pbrik yang meningkat. Sedangkan faktor intern adalah pen~bagiankerja secara
seksual di sawah sehingga laki-laki bisa bekerja di pertambangan, pengalaman
bekerja di industri bentonit, dan pengalaman berdagang untuk merespons peningkatan
kebduhan barang dagangan.

Faktor pendorong transformasi dari masyarakat industrial ke masyarakat
pertanian terdiri dari faktor fisik dan faktor ekonomi dan sosial yang masing-masing
dipisahkan menjadi faktor ekstern dan intern. Faktor pendorong fisik intern terlihat
pada pembuldoseran lokasi penggalian gurandil. Sementara itu sawah, kebun dan
ladang masih terpelihara dan bisa ditanami kembali. Faktor pendorong dari bidang
ekonomi dan sosial yang intern meliputi kontrol dari pabrik yang semakin ketat

dengan mendatangkan aparat Brimob. Selain itu dibuat perjanjian pengolahan lahan
perkebtu~anuntuk warga desa. Sedangkan faktor pendorong ekonomi sosial ekstern
meliputi konflik yang meningkat dengan penduduk Banten. Faktor lain adalah nilai
dan pembagian kerja secara seksual di sawah yang terpelihara untuk
membudidayakan pertanian.
Dalam konteks bidang pertambangan, industrialisasi muncul ketika peluang
penambangan meningkat. Sebaliknya deindustrialisasi muncul ketika peluang
penambangan menurun. Dalam kasus ini deindustrialisasi dialami sebagian besar
masyarakat desa ketika peluang menambang bagi mereka semakin kecil, meskipun
industri pertambangan modern di tempat yang sama semakin berkembang. Saat itu
terjadi pembuldoseran lokasi gurandil dan lokasi pabrik semakin luas. Hal itu
menunjukan bahwa sifat enclave semakin kuat.
Dengan demikian deindustrialisasi pedesaan bisa terjadi tanpa modal
kembali ke kota (Berg dalam White,1990). Sebaliknya, modal tetap mengalir kedesa
namun hanya pada industri modern dan enclave. Deindustrialisasi juga tidak selalu
~nenghasilkankota mati (Schneider,l993) ketika sebagian besar masyarakat yang
tersingkir dari industri pertambangan masih memiliki alternatif bekerja lain, misalnya
bidang pertanian. Sedangkan industri pertambangan yang bersifat enclave masih bisa
memperoleh bahan tambang untuk waktu yang lama.
Dalam konteks bidang pertambangan masyarakat harus diikutsertakan dalam

industrialisasi dengan cara memberi mereka kesempatan bekerja atau peluang lahan
penambangan diluar lokasi pabrik. Hal ini dilakukan sambil memperhatikan ekologi,
mengingat dimensi ekologi sangat penting terutama ketika bahan tambang sudah
benar-benar habis.