Analisa konflik pengelolaan sumberdaya alam masyarakat desa sekitar hutan studi kasus masyarakat Desa Curugbitung, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat

(1)

ANALISA KONFLIK PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

MASYARAKAT DESA SEKITAR HUTAN

(Studi Kasus Masyarakat Desa Curugbitung, Kecamatan Nanggung,

Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat)

MOH. ILHAM A14201060

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2006


(2)

RINGKASAN

MOH. ILHAM. Analisa Konflik Pengelolaan Sumberdaya Alam Masyarakat Desa Sekitar Hutan (Studi Kasus Masyarakat Desa Curugbitung, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat). Skripsi. Dibimbing oleh Dra. WINATI WIGNA, MDS.

Konflik merupakan hal yang tidak terhindarkan dalam pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia. Alasannya sederhana, karena banyak pihak yang berkepentingan terhadap alam, sementara masing-masing pihak berbeda kebutuhan dan tujuannya. Kebutuhan akan sumberdaya alam mengalami peningkatan bersamaan dengan berbagai perkembangan yang terjadi seperti peningkatan standar hidup, turunnya angka kematian, dan perkembangan infrastuktur yang pesat hingga menimbulkan kesenjangan sosial dalam masyarakat, antara yang kaya dan miskin, kota dan desa, kawasan bagian Barat dan Timur, dan juga antara laki-laki dan perempuan.

Pada masa lalu, konflik sumberdaya alam, seringkali ditutup-tutupi karena berbagai alasan; dan apabila terjadi konflik, pihak yang kuat selalu mengalahkan yang lemah, dan pihak yang lemah tidak pernah berani melawan yang kuat. Namun, era reformasi telah merubah keadaan menjadi terbalik. Pihak yang lemah kini sudah berani melawan yang kuat dengan berbagai cara, mulai dari tuntutan biasa, protes, demonstrasi, sampai benturan fisik yang keras. Oleh karena itu, kita harus mulai mengakui bahwa konflik merupakan suatu persoalan penting yang harus segera ditanggulangi dalam pengelolaan sumberdaya alam.

Bagaimana PT. Hevindo dapat bertahan lama di wilayah Nanggung, padahal terjadi konflik dengan masyarakat dan elemen pemerintahan desa, dan bagaimana hubungan antara pihak-pihak yang berkonflik dan lembaga-lembaga yang terlibat konflik merupakan pertanyaan utama yang secara spesifik diungkap dengan mempertanyakan: bagaimana karakteristik pihak-pihak yang terlibat konflik pengelolaan sumberdaya alam, mengapa konflik pengelolaan sumberdaya alam terjadi di Desa Curugbitung dan bertahan lama, bagaimana karakteristik konflik yang terjadi, serta bagaimana upaya-upaya pengelolaan dan hasil akhir konflik yang telah dilakukan oleh pihak-pihak yang terlibat konflik.

Konflik adalah perjuangan yang dilakukan oleh berbagai pihak untuk memperoleh hal-hal yang langka seperti nilai, status, kekuasaan, otoritas, dan lain sebagainya dimana tujuan dari mereka bertikai itu tidak hanya untuk memperoleh keuntungan, tetapi juga untuk menundukkan saingannya dengan kekerasan atau ancaman (Ibrahim, 2002). Konflik merupakan salah satu proses sosial yang bersifat disosiatif, selain persaingan (competition) dan pertentangan. Sebenarnya proses sosial disosiatif tidaklah selalu bersifat negatif, ada kalanya jika diatur sedemikian rupa dapat menghasilkan hal-hal yang positif.

Penelitian ini dilakukan di Desa Curugbitung, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat, sejak bulan November 2005 hingga Maret 2006. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Dengan strategi studi kasus intrinsik, dimana peneliti ingin mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang kasus khusus.

Pihak-pihak yang terlibat dalam konflik pengelolaan sumberdaya alam di Desa Curugbitung, ada yang secara langsung maupun tidak langsung. Pihak yang teridentifikasi terlibat secara langsung, yaitu PT. Hevindo dan masyarakat Desa Curugbitung, selain itu adalah Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor, pemerintahan desa, pengusaha bangunan dan peternakan, LSM RMI, LSM HuMa,


(3)

KCP, KPN, mantan lurah, Polsek Nanggung, pemerintahan Kecamatan Nanggung, Badan Perencanaan Daerah, dan Dinas Tata Ruang Kabupaten Bogor.

Penyebab konflik pengelolaan sumberdaya alam yang terjadi di Desa Curugbitung lebih disebabkan oleh perbedaan kepentingan, pemahaman, pembatasan akses masyarakat lokal terhadap sumberdaya, keterpurukan ekonomi, juga karena perubahan iklim politik setelah reformasi dan krisis moneter. Kekuatan masing-masing pihak dan dukungan dari pihak lain, menjadikan konflik yang terjadi bertahan lama.

Karakteristik konflik pengelolaan sumberdaya alam yang terjadi di Desa Curugbitung dilihat dari wujud dan level konflik. Menurut wujudnya, konflik yang terjadi cenderung tertutup (laten) dalam jangka waktu yang cukup lama. Hal tersebut terjadi karena kecakapan para elit lokal (tokoh masyarakat) untuk meredam terjadi konflik hingga tidak dapat terbaca oleh pihak-pihak di luar wilayah tersebut, meskipun pernah mencuat dan terbuka. Menurut levelnya, konflik vertikal dialami antara masyarakat dengan PT. Hevindo, sedangkan konflik horizontal terjadi antara pihak PT. Hevindo dengan TNGH-S, dengan Perum Perhutani Unit III Jawa Barat, LSM, dan Pemerintah lokal.

Upaya-upaya yang dilakukan oleh masing-masing pihak belum mencapai hasil akhir yang baik. Setiap solusi yang dilakukan tidak menyelesaikan konflik sampai keakarnya dan terbukti hanya bisa bertahan selama beberapa waktu saja, karena konflik yang terjadi selalu berubah wujud dari laten menjadi mencuat, laten kembali, kemudian laten dan terbuka.

Pendekatan akomodasi adalah pendekatan yang paling memungkinkan sebagai pendekatan penyelesaian konflik dan konsultasi publik sebagai salah satu bentuk yang ditawarkan oleh APK (Alternatif Penyelesaian Konflik). Pendekatan politis, administrasi, dan hukum belum bisa dilakukan.

Jawaban atas pertanyaan utama penelitian ini tentang bagaimana PT. Hevindo dapat bertahan lama, padahal terjadi konflik dengan masyarakat dan elemen pemerintahan desa, serta Bagaimana hubungan antara pihak-pihak yang berkonflik dan lembaga-lembaga yang terlibat konflik, antara lain: (1) Keterlibatan banyak pihak yang memiliki kekuatan masing-masing, serta membagi dukungan mereka kepada pihak perusahaan, salah satu pihak utama konflik menjadikan perusahaan ini tetap ada; (2) Kekuatan terbesar yang ada di pihak perusahaan dipicu oleh kekuatan hukum yang dimiliki perusahaan, sebagai pemilik sah HGU di Desa tersebut; (3) Hubungan dekat dengan pihak-pihak yang berkuasa di masa lalu, dan menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap elit-elit lokal dan keberadaan organiasai lokal yang belum optimal menjadikan perusahaan belum mendapatkan perlawanan yang berat dari masyarakat, namun hal ini masih akan terus berkembang dengan menguatnya kekuatan sosial dalam masyarakat.


(4)

ANALISA KONFLIK PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

MASYARAKAT DESA SEKITAR HUTAN

(Studi Kasus Masyarakat Desa Curugbitung, Kecamatan Nanggung,

Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat)

MOH. ILHAM A14201060

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada

Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2006


(5)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL ANALISA KONFLIK PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM MASYARAKAT DESA SEKITAR HUTAN (STUDI KASUS MASYARAKAT DESA CURUGBITUNG, KECAMATAN NANGGUNG, KABUPATEN BOGOR, PROPINSI JAWA BARAT) INI ADALAH HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA TULIS PADA PERGURUAN TINGGI MANAPUN. SEMUA SUMBER DATA DAN INFORMASI YANG DIGUNAKAN TELAH DINYATAKAN SECARA JELAS DAN DAPAT DIPERIKSA KEBENARANNYA.

Bogor, 8 Juni 2006

MOH. ILHAM A14201060


(6)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS PERTANIAN

Dengan ini kami menyatakan bahwa Skripsi yang ditulis oleh: Nama : MOH.ILHAM

NRP : A14201060

Judul : ANALISA KONFLIK PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM MASYARAKAT DESA SEKITAR HUTAN (Studi Kasus Masyarakat Desa Curugbitung, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat)

Dapat diterima sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dra. WINATI WIGNA, MDS. NIP. 131 284 835

Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. SUPIANDI SABIHAM, M. Agr NIP. 130 422 698 .


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 10 Aprill 1983 di Sumenep, Jawa Timur. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara pasangan H. Moh. Sadik DM. dan Hj. R. Ermaningsih. Pendidikan yang ditempuh oleh penulis pertama kali adalah SDN Masalima IV, Kecamatan Masalembu, Kabupaten Sumenep, tahun 1987-1993. Dilanjutkan ke SDN Bangselok III, Kecamatan Kota Sumenep, Jawa Timur semenjak 1993-1995. Penulis melanjutkan ke SLTPN 4 Sumenep di kota yang sama pada tahun 1995-1998. Sekolah Menengah Umum ditempuh penulis di SMUN 1 Sumenep, pada tahun 1998-2001. Pada tahun 2001 pula, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri) pada Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Program Studi Komunikasi dan pengembangan Masyarakat (KPM) sebagai angkatan 38.

Selama bersekolah, penulis aktif dalam berbagai kegiatan ekstrakulikuler seperti PMR, OSIS dan Majelis Perwakilan Kelas (MPK). Penulis pernah menjabat sebagai Ketua organisasi pemuda kemasyarakatan pada tahun 1996 – 1999, dan menjadi Ketua Seksi Pengembangan Iman dan Takwa terhadap Tuhan YME, OSIS SMUN 1 Sumenep, periode 1999-2000. Begitu pula pada masa kuliah, penulis aktif dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan. Penulis pernah menjabat sebagai Ketua Komisi Keuangan DPM KM IPB periode 2001-2002, Ketua Humas UKM Komunitas Layar IPB (KLIP) periode 2002-2004, Dirjen Kebijakan Kabupaten Bogor-Departemen Kebijakan Daerah BEM KM IPB periode 2003-2004, Menteri Sekretaris Kabinet BEM KM IPB periode 2004-2005, Relawan LSM Rimbawan Muda Indonesia (RMI) sejak September 2004-2005, GASISMA (Ikatan Keluarga Mahasiswa Madura) Tarbiyah Club, Trainer lepas pada beberapa Training Center. Penulis aktif sebagai asisten dosen untuk MK. Pengantar Ilmu Kependudukan periode 2003-2004 selama satu semester, dan penulis juga aktif sebagai MC, moderator dan pembicara pada berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh beberapa organisasi di IPB dan luar kampus.

MOH. ILHAM A14201060


(8)

KATA PENGANTAR

ALHAMDULILLAHIROBBIL’ALAMIN. Puji syukur kehadirat Allah SWT penggenggam langit dan bumi, Maha pembolak-balik hati dan pemilik setiap jiwa. Penulisan skripsi ini tidak akan selesai tanpa izin dari-Nya. Penulisan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian (SP.) pada Fakultas Pertanian IPB. Penulis mengambil judul ”Analisa Konflik Pengelolaan Sumberdaya Alam Masyarakat Desa Sekitar Hutan (Studi Kasus Masyarakat Desa Curugbitung, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat)”.

Skripsi ini terdiri dari enam bab, yakni: pendahuluan, pendekatan teoritis, pendekatan lapang, profil wilayah penelitian, analisa konflik pengelolaan sumberdaya alam, serta bab kesimpulan dan saran. Skripsi ini terwujud atas bantuan dan do’a dari berbagai pihak. Terima kasih kepada Ibu Dra. Winati Wigna, MDS., selaku pembimbing akademik sekaligus pembimbing skripsi, yang selalu mendorong dan memberi semangat, masukan, bimbingan, dan perbaikan bagi kemajuan penulis selama studi dan pembuatan skripsi ini (Terima kasih bu, atas kesabaran Anda selama ini, terima kasih untuk semuanya...bu!). Bapak Ir. Fredian Tonny, MS., selaku dosen penguji utama dan Bapak Martua Sihaloho, SP, Msi. selaku dosen penguji wakil departemen. Terima kasih atas kesempatan, kesediaan dan masukan yang diberikan kepada penulis. PT. Hevea Indonesia, KPC, Pemerintah Desa dan Masyarakat Curugbitung yang telah banyak membantu penulis selama penelitian.

Kepada Keluargaku, Mama, Bapak, dan Mba Elly-ku—atas setiap do’a, dorongan, pengorbanan, cinta dan kasih yang selalu dicurahkan—tiada henti syukurku karena memiliki kalian....Para Pejuang Dakwah 1421 H (Jangan pernah berhenti berjuang hingga keadilan dan kebenaran ditegakkan di muka bumi, LLAHU AKBAR!!!), Saudara-saudariku di Perwira 6 (mantapkan niat ’tuk gapai ridho-Nya),

Seluruh keluargaku di KPM 38, Gus, Ri’, Nang, Gun, Her, Vid, Nu, Fan, dan para wanita yang merindukan lelaki sejati di dekatnya, terima kasih sobat, telah menjadi bagian terindah dalam hidupku..., BEM KM IPB Kabinet Perjuangan (JAKDA-qu), Kabinet Pengabdian BEM KM Pa De ”Doni”, Da I ”Irmon”, Abang ”Afif” Suqro, A Martin, Tedjo, Omen ”Bakti”, Darma, Bang Jali, Mas Naryo, Wiek, Tis Mpok Nite, Vien, Dece, Cha2, Jv, Desma, Ima, dll.) KLIP, DPM KM 01.02, RMI, dan kepada semua pihak yang telah membantu penulis


(9)

dalam menyusun dan menyelesaikan skripsi ini, yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu. Terima kasih atas segalanya. Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan kalian dan meridhoi apa-apa yang kita lakukan. Aaaamiiin.

Tiada yang sempurna, selain Sang Maha Pencipta, saya hanya manusia yang tak akan pernah sempurna, begitupun dengan karya ini. Segala macam kritik dan saran demi perbaikan karya ini, saya terima dengan senang hati, alamatkan langsung ke sayailham@plasa.com.

Bogor, 8 Juni 2006


(10)

DAFTAR ISI

RINGKASAN

KATA PENGANTAR ... DAFTAR ISI ... DAFTAR TABEL ... DAFTAR GAMBAR ... DAFTAR LAMPIRAN ...

i iii v v v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.2.1 Orde Baru, Krisis Ekonomi, dan Desentralisasi ... 6

1.2.2 Peningkatan Frekuensi Konflik ... 7

1.2.3 Penataan Kebijakan Pemerintah secara Terpusat ... 8

1.3 Tujuan Penelitian ... 9

1.4 Kegunaan Penelitian ... 10

BAB II PENDEKATAN TEORITIS ... 11

2.1 Tinjauan Pustaka ... 11

2.1.1 Konflik ... 11

2.1.2 Pengelolaan Konflik ... 18

2.1.3 Masyarakat Sekitar Hutan ... 22

2.2 Hipotesa Pengarah ... 24

2.3 Batasan Konsep ... 26

BAB III PENDEKATAN LAPANGAN ... 28

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 28

3.2 Metode Penelitian ... 29

3.3 Metode Pengumpulan Data ... 30

3.3.1 Karakteristik Data ... 30

3.3.2 Penentuan Kasus dan Pengambilan Subjek Penelitian 31 3.3.3 Teknik Pengumpulan Data ... 31

3.3 Teknik Analisa Data ... 35

3.3.1 Reduksi Data ... 35

3.3.2 Penyajian Data ... 36


(11)

BAB IV PROFIL WILAYAH PENELITIAN ... 37

4.1 Kondisi Umum dan Prasarana ... 37

4.2 Agraria ... 42

4.3 Pola Pembagian Kerja dan pasar Tenaga Kerja ... 43

4.4 Kelembagaan dan Organisasi ... 44

4.5 Profil PT. Hevea Indonesia ... 45

BAB V ANALISA KONFLIK PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM .. 48

5.1 Sejarah Konflik ... 48

5.2 Pihak-Pihak yang Terlibat dalam Konflik ... 59

5.2.1 PT. Hevea Indonesia ... 59

5.2.2 Masyarakat (Penggarap) ... 61

5.2.3 Pihak-Pihak Lain ... 62

5.3 Penyebab Konflik ... 66

5.4 Karakteristik Konflik ... 71

5.5 Pengelolaan dan Hasil Akhir Konflik ... 75

5.6 Peta Kekuatan Pihak-Pihak yang Berkonflik Langsung ... 83

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 86

6.1 Kesimpulan ... 86

6.2 Saran ... 89 DAFTAR PUSTAKA


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Distribusi Penduduk Menurut Golongan Umur Bulan Maret 2006 ... 39

2. Topografi Tanah Perkebunan Nanggung ... 46

DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kerangka Pemikiran Konflik Pengelolaan Sumberdaya Alam ... 25

2. Teknik Pengumpulan Data ... 32

3. Kondisi Fisik Persawahan Curugbitung ... 39

4. Kantor Desa Curugbitung ... 41

5. Lokasi Tempat Penggalian Teras Di Lahan PT. Hevindo ... 51

6. Salah Satu Lahan HGU yang Telah Digarap oleh Masyarakat ... 56

7. Kandang Ayam di Lahan HGU PT. Hevindo ... 56

8. Karakteristik Pihak-Pihak yang terlibat Konflik ... 65

9. Pola Hubungan Pihak-Pihak Terlibat Konflik ... 66

10. Wujud Konflik Antara Masyarakat Desa Curugbitung dan PT. Hevea Indonesia ………... 74

11. Proses Pengelolaan Konflik Antara PT. Hevindo dan Masyarakat Desa Curugbitung dengan Pendekatan Akomodasi ... 80

12. Upaya-Upaya Pengelolaan Konflik di Desa Curugbitung yang Berkaitan dengan Wujud Konflik ... 82

13. Kekuatan Pihak-Pihak Yang Terlibat Konflik Secara Langsung Antara Pt. Hevindo Dengan Masyarakat Desa Curugbitung ... 83

14. Potensi Kekuatan Pihak Berkonflik Menurut Level Konflik (Konflik Vertikal) ... 85

DAFTAR LAMPIRAN

1. Peta Wilayah Kecamatan Nanggung 2. Peta Desa Wilayah Desa Curugbitung

3. Contoh-1 Surat Aplikasi Penyelesaian Konflik dari Perusahaan HGU 4. Contoh-2 Surat Aplikasi Penyelesaian Konflik dari Perusahaan HGU 5. Pengalaman Selama Penelitian


(13)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Konflik merupakan hal yang tidak terhindarkan dalam pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia. Alasannya sederhana, karena banyak pihak yang berkepentingan terhadap alam, sementara masing-masing pihak berbeda kebutuhan dan tujuannya. Kebutuhan akan sumberdaya alam mengalami peningkatan bersamaan dengan berbagai perkembangan yang terjadi seperti peningkatan standar hidup, turunnya angka kematian, dan perkembangan infrastuktur yang pesat hingga menimbulkan kesenjangan sosial dalam masyarakat, antara yang kaya dan miskin, kota dan desa, kawasan bagian Barat dan Timur, dan juga antara laki-laki dan perempuan.

Kemerdekaan Indonesia mengalihkan kekuasaan kolonial atas tanah pada negara ternyata tetap tidak berpihak pada masyarakat, terutama petani. Data Badan Pertanahan Nasional (BPN) menyebutkan 71 persen luas daratan Indonesia dikategorikan sebagai kawasan kehutanan. Pada kenyataannya, kawasan yang dikategorikan hutan ini dapat saja terwujud pemukiman turun-temurun tanpa hak kepemilikan atau hutan tak berpohon. Perkebunan besar (milik negara dan swasta) tercatat seluas 3,55 juta hektar pada tahun 2002. Rata-rata luas lahan kebun dengan Hak Guna Usaha (HGU) pada perusahaan swasta besar sekitar 530 hektar, sedangkan perkebunan besar negara rata-rata seluas 2.800 hektar (Hidayati, 2003).

Lebih lanjut diungkapkan oleh Hidayati (2003) bahwa Departemen Pertanian mencatat rata-rata luas kepemilikan rakyat atas perkebunan swadaya pada tahun 2002 hanya sekitar 0,7 hektar. Di Pulau Jawa, luasan penguasaan lahan per keluarga pada tahun 1993 bahkan hanya 0,41 hektar. Diperkirakan rata-rata luas lahan milik keluarga semakin menyusut. Tak terhitung jumlah


(14)

petani yang hanya menjadi penggarap tanpa lahan. Tekanan ekonomi akibat ketidakadilan penguasaan lahan melukai harga diri dan merampas eksistensi sosial petani, dan menjadi pendorong kuat gerakan petani. Gerakan petani dilakukan untuk memulihkan kembali eksistensi mereka.

Pembangunan sosial-ekonomi di Indonesia dicirikan oleh perpaduan dari pertanian berorientasi pasar dan pemenuhan kebutuhan dalam negeri, industrialisasi dan urbanisasi, eksploitasi hutan berskala luas, migrasi, tekanan demografi yang semakin meningkat, perubahan-perubahan hubungan keluarga dan kerabat. Di masa Orde Baru, negara mempunyai peran utama dan menonjol dalam pembangunan ekonomi, yang dievaluasi kembali sejak awal reformasi. Intervensi pemerintah dalam manajemen sumberdaya alam semakin meningkat sehingga banyak sumberdaya yang pengelolaannya berpindah dari penduduk lokal kepada pemerintah.

Mitchell, et al. (2000) menegaskan bahwa setiap masyarakat selalu terdiri dari individu dan kelompok yang mempunyai nilai-nilai, kepentingan, keinginan, harapan, dan prioritas yang berbeda, atau bahkan terdapat ketidakcocokan diantara karakter-karakter tersebut, sehingga sangat penting menjadikan pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam sebagai suatu proses pengelolaan konflik. Hal ini berkaitan dengan pengelolaan hubungan antar manusia dengan lingkungan dan sumberdaya alam. Pada kondisi ekstrim, perbedaan kepentingan dan harapan tersebut dapat mendorong konflik bersenjata pada suatu bangsa atau antar bangsa.

Pada masa lalu, konflik sumberdaya alam, seringkali ditutup-tutupi karena berbagai alasan; dan apabila terjadi konflik, pihak yang kuat selalu mengalahkan yang lemah, dan pihak yang lemah tidak pernah berani melawan yang kuat. Namun, era Reformasi telah merubah keadaan menjadi terbalik. Pihak yang lemah kini sudah berani melawan yang kuat dengan berbagai cara, mulai dari tuntutan biasa, protes, demonstrasi, sampai benturan fisik yang keras. Oleh karena itu, kita harus mulai


(15)

mengakui bahwa konflik merupakan suatu persoalan penting yang harus segera ditanggulangi dalam pengelolaan sumberdaya alam.

Setelah tumbangnya Presiden Soeharto, orang mulai secara terbuka mengajukan tuntutan reformasi agraria melalui perubahan undang-undang pokok tentang tanah dan sumber daya alam. Adapun pokok persoalan yang mereka bahas adalah Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960 (UUPA 1960), sebuah perundang-undangan yang pada awalnya ditujukan untuk membatasi sistem pemilikan tanah, pembagian tanah dan penghapusan tanah absentee yang biasa dipraktekkan para tuan tanah. Undang-undang ini juga memberikan pengakuan terhadap sistem pemilikan komunal dan individual, serta mendorong pelaksanaan pendaftaran tanah. Namun pembagian tanah itu tidak dapat berjalan seluruhnya selama lima tahun sebelum rejim Presiden Soeharto berkuasa.

Ketika Presiden Soeharto berkuasa, landreform dianggap sesuatu praktek yang berbau kiri dan komunis. Oleh karena itu, pemerintah menghentikan praktek pendistribusian tanah dan sebagai gantinya, pemerintah mengeluarkan berbagai peraturan yang membuat UUPA semakin terbatas, termasuk undang-undang yang mengatur larangan pengambilalihan lahan secara paksa oleh negara. Pemerintah memang tidak menghapuskan sama sekali UUPA 1960. Namun sayangnya, praktek di lapangan menunjukkan kenyataan bahwa pembagian dan penguasaan tanah sekarang ini bukannya jatuh ke tangan petani kecil dan tak bertanah, tetapi malah semakin banyak dikuasai oleh para pengusaha besar dan elit politik. Suatu praktek yang jelas sangat bertentangan dengan gagasan dasar UUPA 1960. Lebih parah lagi, UU Pokok Kehutanan 1967 yang menempatkan persoalan tanah hutan di luar jangkauan hukum UUPA yang menjadi dasar pengalihan lahan hutan kepada para pengusaha perkayuan (Down To Earth, 1999).

Setelah rejim Presiden Soeharto tumbang, tuntutan pelaksanaan landreform kembali mencuat. Bersama-sama dengan organisasi-organisasi petani yang baru dibentuk, kalangan LSM yang peduli terhadap masalah hak-hak masyarakat desa


(16)

dan pengelolaan sumber daya alam mulai melancarkan desakan perubahan. Diantaranya adalah Konsorsium Pembaruan Agraria--KPA, sebuah konsorsium berbagai LSM dan organisasi petani di Indonesia yang berbasis di Bandung, Jawa Barat dan WALHI. Mereka menyerukan pemulihan hak-hak kepemilikan tanah rakyat, baik tanah pertanian bagi petani dan tanah ulayat bagi masyarakat adat. Memfokuskan perhatian dan kritik mereka terhadap kegiatan proyek pendaftaran tanah Bank Dunia. Menurut mereka, proyek itu sama sekali mengabaikan pengakuan terhadap hak adat dalam bentuk kepemilikan tanah. Selain itu, ia bersifat diskriminatif terhadap perempuan dan cenderung mempercepat komoditisasi tanah (Down To Earth, 1999).

Direktorat Jendral Perkebunan dalam Kompas (2003) menyebutkan bahwa penyebab/pemicu konflik perkebunan sampai Agustus 2003, lebih berkaitan dengan sengketa tanah, baik di sektor swasta (225 kasus), maupun negeri seperti PTPN (350 kasus). Di sektor swasta, secara berturut-turut di sebabkan oleh garapan dan okupasi1 (39 kasus), ganti rugi dan tuntutan masyarakat untuk pengembalian tanah (30 kasus), tanah masyarakat yang diambil perusahaan (18 kasus), tanah adat/ulayat (15 kasus), tuntutan masyarakat terhadap pergantian areal plasma (6 kasus), tumpang tindih alokasi lahan untuk perusahaan perkebunan (5 kasus), tumpang tindih antara perkebunan dan kawasan hutan, masyarakat berkeberatan atas perpanjangan/pemberian izin HGU, ingin ikut sebagai peserta plasma, dan kelambatan konversi plasma (3 kasus), HGU cacat hukum, tuntutan masyarakat terhadap tanah yang sedang dalam proses HGU, tanah yang diperjualbelikan, dan penggunaan lahan tanpa izin (2 kasus), serta keinginan untuk memiliki lahan (1 kasus). Selain itu ada sengketa lain, seperti tuntutan nilai kredit yang memberatkan, perusakan tanaman, dan penjarahan produksi sebanyak 22 kasus.

Sedangkan di sektor PTPN, penyebab konflik perkebunan hingga bulan Agustus 2003, antara lain: garapan (166 kasus), tuntutan masyarakat untuk

1


(17)

pengembalian tanah (55 kasus), tanah masyarakat yang diambil perusahaan (34 kasus), ganti rugi (25 kasus), tuntutan masyarakat terhadap tanah yang sedang dalam proses HGU (14 kasus), okupasi (10 kasus), keinginan untuk memiliki lahan (8 kasus), tuntutan masyarakat terhadap pergantian areal plasma dan masyarakat berkeberatan atas perpanjangan/pemberian izin HGU (6 kasus), adat/ulayat (5 kasus), okupasi oleh instansi pemerintah dan atau pemerintah daerah (3 kasus), penggunaan lahan tanpa izin, tumpang tindih alokasi lahan untuk perusahaan perkebunan, dan ingin ikut sebagai peserta plasma (2 kasus), tumpang tindih antara perkebunan dan kawasan hutan, HGU cacat hukum, dan tanah diperjualbelikan (1 kasus), serta terdapat sengketa lainnya sebanyak 9 kasus.

Pertentangan kepentingan biasanya terjadi antara perusahaan pemegang Hak Guna Usaha (HGU) yang dikeluarkan oleh pemerintah, seperti PT. Hevea Indonesia (Hevindo) yang berada di Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat dengan masyarakat sekitar. Hal yang sering dirasakan adalah masyarakat lokal terlantar, tersisih dan akses terhadap sumberdaya alam menjadi tidak ada terutama lahan. Masyarakat desa berjuang merebut/mengambil alih tanah-tanah kosong milik HGU yang sudah hampir puluhan tahun ini tidak termanfaatkan dengan melakukan aksi pendudukan lahan-lahan tersebut di berbagai lokasi HGU, meski sebagian besar cara yang digunakan belum berujung pada tindakan-tindakan radikal. Teridentifikasi pula benturan kepentingan antara perusahaan dengan pihak lain, dalam hal ini Perum Perhutani Unit III Jawa Barat yang menimbulkan persengketaan yang sampai saat ini masih belum ada penyelesaian (Stalemate), terutama tentang tata batas. Permasalahan ini juga melibatkan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGH-S) sebagai pihak yang menerima pelimpahan lahan dari Perhutani.


(18)

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Orde Baru, Krisis Ekonomi, dan Desentralisasi

Setelah jatuhnya rezim Orde Baru dan berlakunya desentralisasi, konflik yang sebelumnya laten mulai bermunculan ke permukaan dan juga memunculkan berbagai konflik baru. Hal ini terutama disebabkan nuansa reformasi yang membuka kesempatan untuk menyalurkan kehendak dan aspirasi masyarakat yang selama ini sengaja atau tidak, ditutupi oleh rezim Orde Baru. Eforia ini juga mendorong pihak yang lemah dan selalu dipinggirkan di masa lalu, untuk berani menuntut hak-hak mereka yang selama ini diserobot dan dilecehkan oleh pihak yang lebih kuat.

Krisis ekonomi sejak awal pertengahan tahun 1997 dan memuncak di awal tahun 1998, serta kebutuhan mendesak untuk menanam tanaman pangan, semakin memperuncing ketegangan antara masyarakat desa di satu pihak dengan para pemilik modal dan negara di lain pihak. Hal ini juga mendorong peningkatan konflik di berbagai sektor, termasuk sektor pengelolaan sumberdaya alam. Keterpurukan ekonomi menyebabkan masyarakat semakin terdorong untuk melakukan penjarahan/perambahan hutan serta penyerobotan lahan yang dianggap sebagai cara termudah untuk mendapatkan uang (Mitchell, et al., 2000). Tidaklah mengherankan kalau akhir-akhir ini kita sering melihat dan mendengar dari media massa berbagai kasus kekerasan dalam pengelolaan sumberdaya hutan.

Selain itu, tekanan kebutuhan akan pangan dan lahan di pedesaan juga meningkat akibat kembalinya para buruh yang terkena PHK ke pedesaan. Bersama dengan jutaan penduduk desa lainnya, mereka terpuruk dalam jurang kemiskinan yang dalam. Situasi ini diperparah dengan gagalnya target program Jaring Pengaman Sosial (JPS) dalam mengatasi jutaan orang Indonesia yang kelaparan. Malahan, bantuan itu sering tidak sampai pada orang yang benar-benar membutuhkannya. Untuk mengatasi kesulitan ini, penjarahan sepertinya menjadi jalan keluar. Di berbagai tempat, bahan makanan, produk perkebunan, kayu jati, atau gudang-gudang beras menjadi obyek jarahan--singkatnya adalah segala sesuatu


(19)

yang bisa dijual dan dimakan. Media pun banyak memberitakan pembajakan yang sering terjadi di rute-rute tertentu terhadap angkutan bahan makanan dan komoditi lainnya (Down To Earth, 1999).

1.2.2 Peningkatan Frekuensi Konflik

Berdasarkan hasil observasi terhadap artikel media massa nasional, 359 peristiwa konflik di sektor kehutanan telah terjadi dari Januari 1997 sampai dengan Juni 2003. Dari tahun 1997 sampai dengan tahun 1999 konflik di sektor kehutanan cenderung meningkat cukup tajam. Jumlah konflik meningkat hampir empat kali lipat pada tahun 1999 dibandingkan dengan tahun 1997. Pada tahun 2000 jumlah konflik melonjak drastis sampai 153 kejadian. Angka ini mengalami penurunan kembali pada tahun 2001 dan 2002. Namun berdasarkan data sampai dengan bulan Juni 2003, jumlah konflik cenderung meningkat kembali (Wulan, et al., 2004).

Lebih lanjut Wulan, et al. (2004) menemukan juga bahwa dari 359 kasus konffik yang berhasil dicatat, 39 persen diantaranva terjadi di areal HIT, 34 persen di KK (termasuk hutan lindung dan taman nasional), dan 27 persen di areal HPH. Diketahu pula bahwa frekuensi konflik meningkat drastis pada awal pelaksanaan desentralisasi tahun 2000. Pada masa Orde Baru dan masa Transisi, konflik di areal HTI lebih sering terjadi dibandingkan dengan konflik di HPH dan kawasan konservasi, sedangkan di masa Desentralisasi, konflik di kawasan konservasi dan areal HTI lebih banyak dibandingkan dengan konflik di areal HPH. Faktor penyebab konflik yang paling sering terjadi di berbagai kawasan (36 persen) adalah ketidakjelasan tata batas hutan bagi masyarakat di sekitarnya.

Pada tahun 2002, Forest Watch Indonesia (FWI) menerbitkan laporan "Potret Keadaan Hutan Indonesia" yang banyak mendapatkan perhatian dari berbagai kalangan (FWI dan GFW, 2001). Sebagaimana dipaparkan dalam laporan tersebut, konflik pengelolaan sumberdaya hutan telah berlangsung lama, sejalan dengan kebijakan HPH pada tahun 1970-an. Sejak itu, berbagai konflik antara perusahaan


(20)

HPH dan masyarakat sering bermunculan. Penyebabnya antara lain karena masyarakat lokal merasakan ketidakadilan yang terkait dengan sistem pengelolaan hutan skala besar yang menyebabkan akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan menjadi terbatas. Konflik semacam ini tidak hanya terjadi di areal HPH, tetapi juga sering ditemukan di kawasan HTI, perkebunan dan kawasan lindung seperti taman nasional. Pembatasan akses terhadap sumber daya tersebut menyebabkan berkurangnya jaminan sosial dalam masyarakat.

1.2.3 Penataan Kebijakan Pemerintah secara Terpusat

Rumusan kebijakan yang tumpang tindih dan penetapan rumusan kebijakan secara sepihak oleh pemerintah, terutama tentang pengelolaan sumberdaya alam, secara tidak langsung telah menuntut banyak masyarakat lokal untuk membatasi akses terhadap sumberdaya alam sekitarnya. Seiring dengan perubahan jaman, pengelolaan konflik perlu dijadikan wacana pembelajaran bagi semua pihak. Oleh sebab itu, perlu dilakukan penelitian lebih mendalam tentang kasus-kasus konflik pengelelolaan sumberdaya alam lain, misal di sektor pertanian dan perkebunan.

Penelitian ini membahas tentang kasus pengelolaan sumberdaya alam yang terjadi di Desa Curugbitung, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, terutama kasus konflik antara masyarakat dan pemegang HGU (Hak Guna Usaha) yang ada di desa tersebut sejak tahun 1980. Menurut hasil observasi yang dilakukan oleh RMI-The Indonesian Institute for Forest and Environment dan HuMa-Perhimpunan untuk Pembaharuan Hukum Agraria, bahwa di desa tersebut ditemukan konflik di beberapa sektor dengan perusahaan-perusahaan pemegang HPH dan HGU (Hak Guna Usaha), baik di sektor perkebunan, peternakan maupun kehutanan. PT. Hevea Indonesia (Hevindo) merupakan salah satu pemegang HGU yang salah satu wilayah afdelling mereka berada di Desa Curugbitung. Sejak hadir di wilayah Nanggung tahun 1980-an, perusahaan ini telah mengalami konflik dengan masyarakat dan elemen pemerintahan desa hingga saat ini. Daya tarik kasus ini


(21)

adalah adanya konflik yang bertahan lama di suatu tempat (Desa Curugbitung) yang sampai saat ini belum ditemukan jalan keluarnya, sehingga menarik untuk diteliti. Dibandingan dengan 2 wilayah afdeling PT. Hevindo yang lain, Desa Curugbitung memiliki organisasi lokal yang cukup kuat, yang dapat digunakan untuk memperjuangkan hak-hak petani, sehingga lebih memungkinkan untuk terjadinya konflik. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana PT. Hevindo dapat bertahan lama—sekitar 20 tahunan—padahal terjadi konflik dengan masyarakat dan elemen pemerintahan desa, serta Bagaimana hubungan antara pihak-pihak yang berkonflik dan lembaga-lembaga yang terlibat konflik?

Dari pertanyaan tersebut, dapat diuraikan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut ini:

1. Bagaimana karakteristik pihak-pihak yang terlibat konflik pengelolaan sumberdaya alam masyarakat Desa Curugbitung?

2. Mengapa konflik pengelolaan sumberdaya alam terjadi di Desa Curugbitung dan bertahan lama?

3. Bagaimana karakteristik konflik yang terjadi di Desa Curugbitung?

4. Bagaimana upaya-upaya pengelolaan dan hasil akhir konflik yang telah dilakukan oleh pihak-pihak yang terlibat konflik?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian di atas, adapun tujuan dari penelitian ini antara lain: 1. Untuk menggambarkan karakteristik pihak-pihak yang terlibat konflik

pengelolaan sumberdaya alam masyarakat Desa Curugbitung.

2. Untuk menjelasakan konflik pengelolaan sumberdaya alam yang terjadi di Desa Curugbitung dan bertahan lama.

3. Untuk memaparkan karakteristik konflik yang terjadi di Desa Curugbitung. 4. Untuk mengidentifikasi upaya-upaya pengelolaan dan hasil akhir konflik yang


(22)

1.4 Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memperkaya informasi mengenai konflik pengelolaan sumberdaya alam masyarakat desa sekitar hutan, terutama mengenai upaya-upaya pengelolaan konflik sumberdaya alam yang dilakukan oleh pihak-pihak yang terlibat konflik, serta hasil akhirnya. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan inspirasi kepada pembaca untuk melakukan kajian yang lebih mendalam terhadap konflik, serta dapat dijadikan bahan rujukan bagi perencanaan pengelolaan konflik, terutama konflik pengelolaan sumberdaya alam pada masyarakat desa hutan.


(23)

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS

2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Konflik

Konflik adalah perjuangan yang dilakukan oleh berbagai pihak untuk memperoleh hal-hal yang langka seperti nilai, status, kekuasaan, otoritas, dan lain sebagainya, dimana tujuan dari mereka bertikai itu tidak hanya untuk memperoleh keuntungan, tetapi juga untuk menundukkan saingannya dengan kekerasan atau ancaman (Ibrahim, 2002). Konflik merupakan salah satu proses sosial yang bersifat disosiatif, selain persaingan (competition) dan pertentangan. Sebenarnya proses sosial disosiatif tidaklah selalu bersifat negatif, ada kalanya jika diatur sedemikian rupa dapat menghasilkan hal-hal yang positif.

Menurut Fisher et al. (2000) konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau yang merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Konflik adalah suatu kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan sering bersifat kreatif. Konflik terjadi ketika tujuan masyarakat tidak sejalan. Konflik timbul karena ketidakseimbangan antara hubungan-hubungan sosial, seperti kesenjangan status sosial, kurang meratanya kemakmuran dan akses yang tidak seimbang yang kemudian menimbulkan masalah-masalah diskriminasi.

Menurut Mitchell, et al. (2000) dan Hendricks (2004) konflik merupakan sesuatu yang tak terelakkan, yang dapat bersifat positif dan negatif. Aspek positif muncul ketika konflik membantu mengidentifikasi proses pengelolaan sumberdaya dan lingkungan yang tidak berjalan secara efektif, mempertajam gagasan atau informasi yang tidak jelas, dan menjelaskan kesalapahaman.


(24)

Konflik juga bermanfaat, yaitu ketika mempertanyakan status quo. Sedangkan menurut Fuad dan Maskanah (2000) konflik adalah benturan yang terjadi antara dua pihak atau lebih yang disebabkan karena adanya perbedaan kondisi sosial budaya, nilai, status, dan kekuasaan, dimana masing-masing pihak memiliki kepentingan terhadap sumberdaya alam.

Menurut Penyebabnya, konflik dalam pengelolaan sumberdaya alam dapat disebabkan oleh keterbatasan sumberdaya alam dan kebutuhan yang selalu meningkat akan keberadaan, fungsi dan manfaat sumberdaya alam. Bertambahnya jumlah penduduk memunculkan berbagai kepentingan yang berbeda atas sumberdaya yang sama, yang berakibat pada munculnya konflik-konflik antar berbagai unsur masyarakat (Fuad dan Maskanah, 2000; Mitchell, et al., 2000). Selain itu, diungkapkan juga bahwa sumberdaya alam yang terbatas sangat rentan terhadap datangnya perubahan, sehingga inisiatif-inisiatif industrialisasi telah menimbulkan ancaman bagi keberlanjutan sumberdaya alam itu sendiri. Perubahan kondisi sosial, budaya, lingkungan hidup, ekonomi, hukum dan politik menciptakan kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan baru terhadap sumberdaya hutan. Pada akhirnya, apabila faktor-faktor tersebut mengalami ketidaksesuaian, maka akan ada suatu potensi konflik.

Selain itu Dorcey (1986) dalam Mitchell, et al. (2000) dan Wirajardjo, et al. (eds.) (2001) mengungkapkan bahwa penyebab dasar konflik dalam pengelolaan sumberdaya alam antara lain:

1. Perbedaan pengetahuan atau pemahaman, juga disebut konflik data. Terjadi ketika kelompok kekurangan informasi yang dibutuhkan untuk mengambil keputusan yang bijaksana, mendapat informasi yang salah, tidak sepakat mengenai apa saja data yang relevan, menterjemahkan informasi dengan cara yang berbeda, atau memakai tata cara pengkajian yang berbeda. Beberapa konflik data mungkin tidak perlu terjadi karena hal ini disebabkan


(25)

kurangnya komunikasi di antara orang-orang yang berkonflik. Konflik data lainnya bisa jadi karena memang disebabkan informasi dan atau tata cara yang dipakai oleh orang-orang untuk mengumpulkan datanya tidak sama. 2. Perbedaan nilai. Hal disebabkan oleh sistem-sistem kepercayaan yang tidak

bersesuaian, baik itu hanya dirasakan atau memang ada. Nilai adalah kepercayaan yang dipakai orang untuk memberi arti pada hidupnya. Nilai menjelaskan mana yang baik dan buruk, benar atau salah, adil atau tidak. Sebagai contoh, mungkin ada kesepakatan tentang bentuk suatu persoalan serta cara penyelesaiannya, akan tetapi terjadi perbedaan pokok pada titik akhir yang dituju.

3. Perbedaan kepentingan. Perbedaan ini dapat menimbulkan konflik walaupun berbagai pihak menerima fakta dan interpretasi yang sama serta mempunyai kesamaan nilai. Akan tetapi konflik dapat saja muncul bukan karena perbedaan pengetahuan atau karena perbedaan nilai tapi karena perbedaan tentang siapa yang diuntungkan atau siapa yang dirugikan. Juga dapat terjadi ketika satu pihak atau lebih meyakini bahwa untuk memuaskan kebutuhannya, pihak lain yang harus berkorban. Misalnya pada masalah yang mendasar (uang, sumber daya fisik, waktu, dll.), masalah tata cara (sikap dalam menangani masalahnya) atau masalah psikologis (persepsi atau rasa percaya, keadilan, rasa hormat, dll.).

4. Perbedaan latar belakang personal dan sejarah kelompok yang berkepentingan. Terjadi karena adanya emosi-emosi negatif yang kuat, salah persepsi atau stereotip, salah komunikasi, atau tingkah laku negatif yang berulang (repetitif). Masalah-masalah ini sering menghasilkan konflik-konflik yang tidak realistis atau tidak perlu, karena konflik-konflik ini bisa terjadi bahkan ketika kondisi obyektif untuk terjadinya konflik, seperti terbatasnya sumber daya atau tujuan-tujuan bersama yang eksklusif, tidak ada. MasaIah hubungan antar manusia seperti yang disebut di atas, sering kali


(26)

memicu pertikaian dan menjurus pada lingkaran spiral dari suatu konflik destruktif yang tidak perlu.

Lebih lanjut Wirajardjo, et al. (eds.) (2001) menyebutkan bahwa dari pengalaman empirik berbagai daerah di Indonesia, maka dapat dinyatakan bahwa penyebab pokok konflik atas sumberdaya alam adalah konflik yang bersifat struktural. Konflik yang terjadi ketika ada ketimpangan untuk melakukan akses dan kontrol terhadap sumberdaya. Pihak yang berkuasa dan memiliki wewenang formal untuk menetapkan kebijakan umum, biasanya lebih memiliki peluang untuk menguasai akses dan melakukan kontrol sepihak terhadap pihak lain. Di sisi lain persoalan geografis dan faktor sejarah/waktu seringkali dijadikan alasan untuk memusatkan kekuasaan serta pengambilan keputusan yang hanya menguntungkan pada satu pihak tertentu.

Koentjaraningrat dan Ajamiseba (1994) menyatakan bahwa konflik dapat terjadi karena perubahan sosial budaya yang begitu cepat terhadap pegangan dan pola kehidupan tradisional, menyebabkan masyarakat kehilangan jati dirinya dan merasa tercabut dari akar budayanya, yang selanjutnya menjadikan mereka apatis dan agresif. Dampak sosial budaya yang negatif tersebut dapat menciptakan suatu gerakan destruktif.

Anau, et al. (2002) menyebutkan pula bahwa benturan kepentingan antara perusahaan yang satu dengan perusahaan yang lain juga dapat menimbulkan persengketaan, yang kadang-kadang sampai berlarut-larut dan tidak terselesaikan dalam jangka waktu yang lama. Benturan-benturan kepentingan juga terjadi antara masyarakat atau kelompok masyarakat karena masalah batas desa atau wilayah adat yang tidak jelas atau karena perebutan sumberdaya tertentu.

Menurut Fuad dan Maskanah (2000), konflik dapat berwujud tertutup (laten), mencuat (emerging), dan terbuka (manifest). Konflik tertutup (latent) dicirikan dengan adanya tekanan-tekanan yang tidak tampak, tidak sepenuhnya berkembang, dan belum terangkat ke puncak kutub-kutub konflik. seringkali


(27)

salah satu atau kedua pihak belum menyadari adanya konflik, bahkan yang paling potensial sekalipun. Konflik mencuat (emerging) adalah perselisihan dimana pihak-pihak yang berselisih telah teridentifikasi, diakui adanya perselisihan, kebanyakan permasalahannya jelas, tetapi proses peyelesaian masalahnya sendiri belum berkembang. Konflik terbuka (manifest) merupakan konflik dimana pihak-pihak yang berselisih terlibat secara aktif dalam perselisihan yang terjadi, mungkin sudah memulai untuk bernegosiasi, mungkin pula telah mencapai jalan buntu. Ditambahkan oleh Hae, et al. (2001), bahwa konflik bisa berwujud meningkat (eskalasi). Konflik Eskalasi merupakan konflik yang mengalami peningkatan dari segi kuantitas maupun kualitas. Pada daerah konflik Ambon misalnya, eskalasi ditandai dengan penggunaan senjata rakitan maupun organik. Padahal, awalnya dua pihak yang bertikai hanya menggunakan senjata tumpul dan senjata tajam.

Seperti yang telah disebutkan oleh beberapa penulis di atas, bahwa sebagian besar konflik atas sumberdaya alam mempunyai sebab-sebab ganda, biasanya kombinasi dari masalah-masalah dalam hubungan antara pihak yang bertikai yang mengarah pada konflik terbuka. Karena sering kali menjadi rumit, sangat penting untuk mendefinisikan permasalahan pokok atau penyebab pertikaian dengan mengamati dan memahami pihak-pihak yang bertikai.

Menurut level permasalahanya, terdapat dua jenis konflik yakni: konflik vertikal dan konflik horisontal. Konflik vertikal terjadi apabila pihak yang di lawan oleh pihak lainnya berada pada level yang berbeda, sehingga kaitan makro-mikronya lebih cepat dapat diketahui. Sedangkan konflik horisontal, terjadi antara masyarakat dengan anggota masyarakat lainnya. Dalam hal ini, kaitan makro agak sulit digambarkan dengan jelas, bahkan seringkali sulit untuk menentukan siapakah lawan yang sebenarnya (Fuad dan Maskanah, 2000).

Bila diamati lebih jauh, terdapat beberapa karakteristik dari konflik seperti yang dijelaskan Hendricks (1996), yakni: (1) Dengan meningkatnya


(28)

konflik, perhatian pada konflik itu akan meningkat; (2) Keinginan untuk menang meningkat seiring dengan meningkatnya keinginan pribadi; (3) Orang yang menyenangkan dapat menjadi berbahaya bagi yang lain, seiring dengan meningkatnya konflik; (4) Strategi manajemen konflik yang berhasil pada tingkat konflik tertentu, sering tidak efektif pada tingkat konflik yang lebih tinggi; (5) Konflik dapat melampaui tahapan yang lazim; (6) Seseorang dapat menjadi individu yang berbeda selama berada dalam konflik.

Beberapa perilaku yang mungkin muncul dalam konflik (Hae, et al., 2000), antara lain:

1. Persepsi pengotak-ngotakan. Ketika konflik mulai mencuat, setiap kelompok cenderung membatasi diri pada kelompoknya. Satu wilayah yang sebelumnya tak terpisah akhirnya dibelah sesuai dengan identitas warganya. Akibat pertikaian yang berlangsung 20 tahun lebih di Belfast, pemisahan kelompok Nasionalis (yang kebanyakan Protestan) dan kelompok prokemerdekaan (yang kebanyakan Katolik) sudah sampai pembuatan tembok setinggi 5 meter. Demikian pula di Ambon, walaupun belum ada tembok pemisah, segregasi wilayah kelompok Muslim dan Kristen sudah terjadi. Senada dengan hal itu Soekanto (1990) menyebutnya dengan timbulnya solidaritas in-group. Ikatan yang semakin erat antar anggota kelompok, dan bahkan bersedia berkorban demi keutuhan kelompok. Atau sebaliknya, goyah dan retaknya persatuan kelompok. Hal ini terjadi apabila pertentangan antar golongan dalam satu kelompok tertentu.

2. Stereotip. Memberi label terhadap orang dari kelompok lain dihadirkan dalam tuturan turun temurun. Tujuannya biasanya negatif, untuk merendahkan pihak lawan.

3. Demonisasi (penjelek-jelekan). Setelah muncul stereotip, muncul pula aksi demonisasi pada lawan. Aksi yang lazimnya sangat sistematik ini


(29)

menghasilkan citra negatif yang sangat seram. Pernyataan yang muncul, misalnya: "Si A itu dari suku X, hati-hati...., orang yang bersuku X itu pembunuh berdarah dingin... Dia itu bangsa pemenggal kepala dan peminum darah manusia".

4. Ancaman. Akan muncul berbagai ancaman, fisik maupun lisan, pada kelompok lawan. Medium yang digunakan bisa secara lisan dari mulut ke mulut sampai penggunaan selebaran bahkan lewat media massa koran, radio, dan televisi.

5. Pemaksaan (koersi). Selalu ada pemaksaan terhadap anggota kelompok sendiri atau kelompok lain.

6. Mobilitas sumberdaya manusia. Selalu ada penggalangan massa yang cepat dan solid.

7. Citra cermin.Setiap pihak yang berkonflik selalu melihat dirinya sendiri. Ia akan selalu berkaca pada dirinya tanpa melihat sisi pandang orang lain atau lawannya.

8. Pengakuan citra diri, yang berhubungan dengan misalnya menyetujui bahwa saya adalah musuh orang/kelompok lain. Pernyataan yang biasa muncul "ya, saya memang musuhnya. Saya akan siap meladeni,....” dan seterusnya.

Selanjutnya Soekanto (1990) menambahkan akibat-akibat tersebut dengan:

9. Hancurnya harta benda dan jatuhnya korban manusia. Bentuk pertentangan terdahsyat yaitu peperangan yang telah menyebabkan penderitaan yang berat, baik bagi pemenang maupun bagi pihak yang kalah, dalam bidang kebendaan maupun bagi jiwa-raga manusia.

10. Akomodasi. Dominasi dan takluknya salah satu pihak apabila kekuatan pihakpihak yang bertentangan seimbang, maka mungkin akan timbul akomodasi.


(30)

Tumpang tindihnya kepentingan semua pihak pada suatu wilayah sumberdaya alam yang sama, menyebabkan konflik seolah-olah menjadi hal yang tidak dapat dihindarkan. Berbagai peraturan yang dibuat untuk untuk mengatur pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam ternyata sangat tidak membantu karena saling bertentangan dan tumpang tindih, yang berakibat semakin meningkatkan intensitas konflik atas sumberdaya alam.

Merujuk pada gambaran tersebut di atas maka tepatlah bahwa pada dasarnya konflik itu nyata, bisa destruktif bisa konstruktif, dan kadangkala tidak bisa diselesaikan. Tapi yang penting adalah bagaimana respon terhadap konflik tersebut, bagaimana nilai dan wawasan baru ditumbuhkan agar dapat menghadapi dan mengelola konflik.

2.1.2 Pengelolaan Konflik

Penyelesaian konflik bertujuan untuk memfasilitasi proses pembuatan keputusan oleh kelompok-kelompok yang bersengketa, sehingga sedapat mungkin menghindari penyelesaian masalah melalui meja hukum. Terdapat beberapa karakteristik teknik penyelesaian konflik, yaitu: (1) Lebih menekankan pada kesamaan kepentingan kelompok yang saling bersengketa daripada posisi tawar menawar; (2) Berpikir kreatif untuk mencari upaya penyelesaian; (3) Menuntut kesepakatan banyak pihak untuk suatu keputusan. Seorang mediator yang tidak memihak biasanya diperlukan dalam penyelesaian sengketa (Maguire dan Boiney, 1994 dalam Mitchell, et al., 2000).

Ketika sengketa muncul dan berkaitan dengan perbedaan kepentingan tentang alokasi sumberdaya dan lingkungan, ada empat pendekatan yang dapat dipakai, yaitu: politis, administratif, hukum, dan alternatif penyelesaian konflik (APK). APK terdiri dari konsultasi publik, negosiasi, mediasi, dan arbitrasi. APK muncul sebagai jawaban atas berbagai ketidakpuasan terhadap pendekatan hukum, juga sebagai jawaban atas tumbuhnya kesadaran akan pentingnya partisipasi masyarakat


(31)

lokal dalam pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam. APK juga dikembangkan untuk menghindari model pihak pemenang dan pihak yang kalah, yang dihasilkan oleh pendekatan hukum (Mitchell, et al., 2000).

Selain itu, terdapat pendekatan lain dalam melihat penyelesaian konflik, yaitu pendekatan akomodasi. Istilah akomodasi dipergunakan dalam dua arti, yaitu untuk menunjuk pada suatu keadaan dan untuk menunjuk pada suatu proses. Akomodasi yang menunjuk pada suatu keadaan, berarti kenyataan adanya suatu keseimbangan (equilibrium) dalam interaksi antara orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia dalam kaitannya dengan norma-norma sosial dan nilai-nilai sosial yang berlaku di dalam masyarakat. Sedangkan sebagai suatu proses akomodasi menunjuk pada usaha-usaha manusia untuk meredakan suatu pertentangan yaitu usaha-usaha untuk mencapai kestabilan dan merupakan suatu cara untuk menyelesaikan pertentangan tanpa menghancurkan pihak lawan, sehingga lawan tidak kehilangan kepribadiannya.

Adapun bentuk-bentuk akomodasi sebagai suatu proses menurut Young dan Mack (1959) dalam Soekanto (1990) dan Ibrahim (2002), adalah sebagai berikut:

1. Coercion adalah suau bentuk akomodasi yang prosesnya dilaksanakan oleh karena adanya paksaan. Coercion merupakan bentuk akomodasi dimana salah satu pihak berada dalam keadaan yang lemah bila dibandingkan dengan pihak lawan. Pelaksanaannya dapat dilakukan secara fisik (secara langsung), maupun secara psikologis (secara tidak langsung).

2. Compromise adalah bentuk akomodasi dimana pihak-pihak yang terlibat saling mengurangi tuntutannya, agar tercapai suatu penyelesaian terhadap perselisihan yang ada. Sikap dasar untuk dapat melaksanakan compromise adalah bahwa salah satu pihak bersedia untuk merasakan dan memahami keadaan pihak lainnya dan begitu pula sebaliknya.

3. Arbitration merupakan suatu cara untuk mencapai compromise apabila pihak-pihak yang berhadapan tidak sanggup mencapainya sendiri.


(32)

Pertentangan diselesaikan oleh pihak ketiga yang dipilih oleh kedua belah pihak atau oleh suatu badan yang berkedudukan lebih tinggi dari pihak-pihak yang bertentangan.

4. Mediation adalah suatu bentuk akomodasi yang hampir menyerupai arbitration. Pada mediation diundang pihak ketiga yang netral dalam soal perselisihan yang ada. Pihak ketiga tersebut tugas utamanya adalah mengusahakan suatu penyelesaian secara damai. Kedudukan pihak ketiga hanyalah sebagai penasehat belaka dan dia tidak mempunyai wewenang untuk memberi keputusan penyelesaian perselisihan tersebut. 5. Conciliation adalah suatu usaha untuk mempertemukan

keinginan-keinginan dari pihak-pihak yang berselisih demi tercapainya suatu persetujuan bersama.

6. Toleration juga sering dinamakan t o l e r a n t - p a r t i c i p a t i o n , ini merupakan suatu bentuk akomodasi tanpa persetujuan yang formal bentuknya. Kadang-kadang toleration timbul secara tidak sadar dan tanpa direncanakan, hal mana disebabkan karena adanya watak orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia untuk sedapat mungkin menghindarkan diri dari suatu perselisihan.

7. Stalemate merupakan suatu akomodasi, dimana pihak-pihak yang bertentangan berhenti pada suatu titik tertentu dalam melakukan pertentangannya karena mempunyai kekuatan yang seimbang. Hal ini disebabkan oleh karena bagi kedua belah pihak sudah tidak ada kemungkinan lagi untuk maju atau mundur.

8. Adjudication yaitu penyelesaian perkara atau sengketa di pengadilan. Membandingkan dari delapan bentuk akomodasi tersebut, bentuk mediation dan compromise dipandang lebih efektif daripada bentuk-bentuk akomodasi lainnya, karena sifatnya lebih lunak daripada coercion, dan membuka kesempatan bagi pihak-pihak yang bersangkutan untuk mengadakan asimilasi.


(33)

Oleh karena itu di dalam suatu masyarakat yang secara relatif berada dalam keadaan tenteram; cara-cara persuasive (proses pengendalian sosial tanpa kekerasan) mungkin akan lebih diterima daripada menggunakan cara-cara coercive (proses pengendalian sosial dengan cara kekerasan dan paksaan), karena biasanya kekerasan dan paksaan akan melahirkan reaksi negatif dan pihak-pihak tertentu akan selalu mencari-cari kesempatan dan menunggu saatnya dimana pihak lawan berada dalam keadaan lemah.

Meskipun penyelesaian konflik ada yang diselesaikan melalui jalur hukum pengadilan, Namun kebanyakan kasus konflik pada saat ini tidak diselesaikan di pengadilan, tetapi melalui negosiasi diantara perusahaan dan para warga yang menuntut dengan penengah pemerintah daerah. Oleh karena itu, peranan pemerintah daerah, serta konteks sosial dan politik dapat dikatakan mempengaruhi proses dan solusi sengketa tanah di Indonesia (Sakai, 2002).

Selanjutnya, berhubungan dengan pengelolaan konflik tersebut dijelaskan pula dalam UU no. 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hutan (LH). Dalam pasal 30 dinyatakan bahwa:

”(1) Penyelesaian sengketa LH dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa; (2) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap tindak pidana LH sebagaimana diatur UU ini; (3) Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa LH di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa.”

Dalam pasal 31 dinyatakan bahwa:

"Penyelesaian sengketa LH di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan atau mengenai tindakan tertentu guna menjamin tidak akan terladi atau terulangnya dampak negatif terhadap LH." Dalam pasal 32 dinyatakan bahwa:

"Dalam penyelesaian sengketa LH di luar pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 31 dapat digunakan jasa pihak ke tiga baik yang tidak memiliki kewenangan mengambil


(34)

keputusan rnaupun yang memiliki kewenangan mengambil keputusan untuk membantu menyelesaikan sengketa LH."

2.1.3 Masyarakat Sekitar Hutan

Kompas (2003) menuliskan bahwa ”Sebanyak 71 persen dari seluruh areal [perkebunan] di seluruh Indonesia berada dalam kawasan hutan.”, sebagian besar masyakarat hidup tanpa memiliki tanah tapi mereka hidup di pinggir enclave (daerah kantong) perkebunan besar atau di pinggir hutan perhutani. Tidak berbeda dengan keadaan yang terjadi di wilayah afdeling perusahaan Hevindo, yang salah satunya adalah Desa Curugbitung.

Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 691/Kpts-II/1991 yang dimaksud dengan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan adalah kelompok-kelompok masyarakat baik yang berada di dalam hutan maupun di pedesaan sekitar hutan. Hotte (2001) menyatakan bahwa hak yang dimiliki oleh masyarakat sekitar hutan memerlukan pengakuan oleh orang lain. Dalam merealisasikannya dapat menimbulkan benturan-benturan yang apabila terdapat rasa tidak adil dalam merealisasikan hak tersebut akan menjadi pemicu bagi timbulnya konflik.

Menurut Soekanto (1990), masyarakat lokal atau masyarakat setempat menunjuk pada bagian masyarakat yang bertempat tinggal pada suatu wilayah tertentu secara geografis dalam batas-batas tertentu, interaksi yang lebih intensif diantara angota-anggotanya dibandingkan dengan penduduk di luar batas wilayah tersebut. Di samping faktor tempat tinggal, dasar pokok masyarakat lokal dibentuk oleh community sentiment, yakni perasaan diantara para anggotanya bahwa mereka saling memerlukan dan bahwa tanah yang mereka tempati memberikan kehidupan kepada mereka semua.

Nasendi dan Mas’ud (1996) menyatakan bahwa keadaan sosial ekonomi masyarakat desa sekitar hutan relatif rendah. Hal ini antara lain disebabkan karena rendahnya tingkat pendapatan, tingkat pendidikan dan tingkat kesadaran


(35)

akan fungsi hutan. Kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan akan sangat menentukan keberhasilan pengusahaan hutan (pemanfaatan dan pelestarian hutan). Masalah deforestasi, degradasi hutan, kebakaran hutan, pencurian hasil hutan dan tekanan-tekanan terhadap hutan lainnya merupakan tantangan dan ancaman yang dapat timbul sebagai akibat dari permasalahan sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan yang seharusnya dikembangkan dan diakomodasikan dengan tepat serta terarah dalam kegiatan pengusahaan hutan.

Konflik dengan masyarakat sekitar hutan dapat terjadi karena selama ini pembangunan kehutanan belum memperhatikan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Ketertinggalan dari segi ekonomi menyebabkan timbulnya sikap resistensi dari masyarakat terhadap pihak luar yang mengelola hutan. Sikap inilah yang merupakan potensi laten terjadinya konflik dalam pengelolaan sumberdaya hutan (Nugraha, 1999). Oleh karena itu, Darusman (1993) menyatakan bahwa masyarakat di dalam dan sekitar hutan harus lebih diperhatikan dalam pembangunan sektor kehutanan (dalam pengelolaan/pengusahaanhutan), karena mereka adalah bagian atau unsur dari ekosistem hutan yang saling tergantung. Mereka memiliki kekuatan yang sangat besar, yang apabila tidak diperhatikan dapat menjadi kekuatan perusak yang sangat dahsyat, seperti yang terjadi akhir-akhir ini. Sebaliknya bila diperhatikan dapat menjadi kekuatan pendukung yang juga sangat dahsyat. Lebih lanjut, Darusman (1993) menyatakan bahwa dampak positif pembangunan kehutanan bagi masyarakat di daerah (masyarakat pedesaan sekitar hutan) masih sangat kecil karena belum menggunakan cara-cara yang tepat dimana kegiatan masyarakat belum terkait secara kuat atau terlibat langsung dengan kegiatan kehutanan itu sendiri.


(36)

2.2 Hipotesa Pengarah

1. Dalam pengelelolaan sumberdaya alam terdapat dua komponen penting yang diberikan hak oleh negara untuk mengelola SDA, yaitu masyarakat lokal dan lembaga yang diberikan wewenang oleh pemerintah dengan batas waktu tertentu. Lembaga yang diberi wewenang tersebut, salah satunya berupa Hak Guna Usaha dengan batas waktu tertentu.

2. Dalam pengelolaan sumberdaya alam bisa timbul permasalahan, yang sekaligus menjadi penyebab terjadinya konflik diantara pihak yang berkepentingan terhadap SDA. Pengelolaan sumberdaya alam yang dilakukan oleh pemegang HGU belum dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar, sehingga berkembang pola hubungan disosiatif. Hubungan inilah yang dapat berkembang menjadi sebuah konflik.

3. Permasalahan yang timbul diantaranya bisa karena tata batas, perbedaan kepentingan, masuknya pihak luar ke dalam kawasan, pembatasan akses, ketidakadilan pemeretaan hasil pengelolaan, keterpurukan ekonomi masyarakat, salah persepsi atau stereotif negatif, serta dapat juga disebabkan karena kerusakan lingkungan.

4. Adanya intervensi dari pihak lain terhadap konflik yang sedang terjadi dapat merupakan penyebab meningkatnya konflik.

5. Perbedaan latar belakang sosial budaya dan perbedaan dasar hukum yang digunakan merupakan penyebab sulitnya memperoleh penyelesaian dan penanggulangan konflik yang ideal.

6. Konflik dapat berakibat pada pembatasan akses masyarakat lokal, kerusakan lingkungan, penjarahan hutan, perambahan hutan, tindakan agresif dan apatis dari masyarakat, hilangnya jati diri masyarakat, juga dapat terjadi kerugian materi dan sosial.

7. Persoalan pengelolaan SDA ini tidak hanya disebabkan oleh satu faktor, tapi lebih memiliki multi-faktor penyebab/sumber terjadinya konflik. Penyebab


(37)

yang satu bisa menjadi penyebab bagi yang lainnya, atau akibat konflik yang satu bisa menjadi pemicu konflik yang lainnya.

8. Pengelolaan konflik bisa berakibat pada timbulnya perundingan dan kesepakatan bersama yang kemudian menuju pada distribusi manfaat dari SDA berjalan seimbang.

9. Bentuk pengelolaan bisa dengan cara coercion, compromise, arbitration, mediation, conciliation, toleration, stalemate, dan adjudication.

10. Pengelolaan konflik yang berhasil akan mengakibatkan pengelolaan sumberdaya yang seimbang, terutama mengenai distribusi manfaat. Sedangkan yang tidak berhasil akan kembali terus berkonflik, dan jika memungkin akan terjadi pengelolaan kembali terhdap konflik yang pernah dan masih terjadi. Lebih jelasnya dapat di lihat pada Gambar 1. di halaman berikutnya.

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Konflik Pengelolaan Sumberdaya Alam

Keterangan:

Lembaga Pemerintah (BUMN), Swasta, dan

Koperasi Pengelolaan SDA Tidak Menimbulkan Permasalahan Menimbulkan Permasalahan Konflik Pengelolaan SDA Masyarakat Lokal Penyebab Konflik

• Tata Batas

• Perbedaan

Kepentingan

• Masuknya Pihak Luar

• Pembatasan Akses

• Ketidakadilan

Pemeretaan Hasil

• Keterpurukan Ekonomi

• Salah Persepsi atau

Stereotif

• Kerusakan Lingkungan

Akibat Konflik

• Akses Masyarakat

Lokal Terbatas

• Kerusakan

Lingkungan

• Penjarahan Hutan

• Tindakan Agresif

dan Apatis

• Kerugian Materi

dan Sosial

• Kelangkaan SDA

Pengelolaan Konflik Pendekatan Administrasi Pendekatan Hukum Pendekatan APK Pendekatan Politis Pendekatan Akomodasi

Pengelolaan Tidak Berhasil Pengelolaan Konflik Berhasil

: Aksi (Diteliti) : Reaksi (Tidak Diteliti) : Tidak diteliti


(38)

2.3 Batasan Konsep

Batasan konsep ini digunakan sebagai proyeksi awal tentang kasus yang terjadi di lokasi penelitian, tidak digunakan sebagai alat ukur dalam kasus ini. Beberapa konsep yang dipakai sebagai acuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Pengelolaan sumberdaya alam adalah usaha yang dilakukan oleh seseorang/kelompok orang dan atau lembaga yang diberi wewenang oleh pemerintah seperti perusahan perkebunan, peternakan, dan kehutanan pemegang HGU dan atau HPH untuk mengelola, menjaga, dan memanfaatkan sumberdaya alam.

2. Konflik merupakan suatu "perwujudan perbedaan cara pandang" antara berbagai pihak terhadap obyek yang sama, yaitu sumberdaya alam. Bentuknya bisa berupa keluhan saja sampai pada tingkat kekerasan dan perang.

3. Penyebab konflik adalah segala sesuatu yang menjadi pemicu terjadinya konflik, seperti perbedaan kepentingan, perbedaan penafsiran mengenai kewenangan dalam pengelolaan SDA, batas-batas pengeloaan/kepemilikan lahan, degradasi manfaat suatu SDA dan kerusakan mutu lingkungan, dan perubahan status kawasan hutan.

4. Pihak-pihak yang terlibat adalah pihak yang mempunyai kepentingan dan/atau terkait dengan konflik, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Pihak yang terlibat langsung adalah mereka yang bersengketa karena masalah tata batas, akses dan sebagainya. Sedangkan pihak yang tidak terlibat langsung misalnya LSM (Ornop) yang mempunyai kepedulian terhadap konflik, atau organisasi lain seperti Dinas Kehutanan, perguruan tinggi, maupun lembaga penelitian.

5. Penyelesaian konflik merupakan suatu upaya atau inisiatif yang dilakukan untuk mengatasi dan mencari jalan keluar dari suatu peristiwa konflik.


(39)

Inisiatif ini bisa datang dari para pihak yang terlibat dalam konflik atau dari pihak ketiga yang tidak terlibat dalam konflik. Bentuk upaya yang ditempuh bisa bermacam-macam, mulai dari yang sangat sederhana sampai ke tingkat pengadilan dengan menempuh jalur hukum.


(40)

BAB III

PENDEKATAN LAPANGAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Curugbitung, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Penentuan lokasi ini berdasarkan informasi yang diperoleh dari hasil penelitian RMI-The Indonesian Institute for Forest and Environment dan HuMa-Perhimpunan Untuk Pembaharuan Hukum Agraria, bahwa masyarakat Desa Curugbitung memiliki konflik di beberapa sektor dengan perusahaan-perusahaan pemengang HGU (Hak Guna Usaha), baik di sektor perkebunan, peternakan dan kehutanan. Hingga saat penelitian ini berakhir, RMI dan HuMa masih melakukan pendampingan kepada masyarakat di kecamatan Nanggung, terutama desa yang sedang mengalami konflik. Selain hal itu peneliti mempertimbangkan kemudahan mengakses lokasi penelitian untuk kelengkapan data kebutuhan penelitian ini. Sebelumnya peneliti juga merupakan salah satu relawan dari RMI untuk program kerja sama inventarisasi data konflik kehutanan dan sumberdaya alam di Kawasan Ekosistem Halimun dan Jawa Barat. Jika dibandingkan dengan dua wilayah afdeling lainya, yaitu: Desa Cisarua dan Desa Nanggung, sebenarnya Desa Curugbitung paling memenuhi syarat untuk mengelola konflik dengan baik, karena terdapat organisasi lokal yang dibentuk khusus untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat Desa Curugbitung terhadap lahan, termasuk melakukan perlawanan terhadap tindakan yang dilakukan oleh perusahaan, bahkan yang terjadi konflik masih bertahan lama sampai saat ini, meski wujudnya laten.

Tahap awal penelitian ini sudah dimulai sejak bulan November 2005, guna mencari data awal untuk menentukan tema, masalah, tujuan dan unit analisis


(41)

yang akan diteliti. Adapun pelaksanaan penelitian ini efektif dilakukan selama bulan Desember 2005 hingga akhir bulan Maret 2006.

3.2 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, dimana peneliti mengumpulkan data tertulis dan kata-kata lisan dari subjek penelitian dan informan. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Bogdan dan Taylor (1975) dalam Moleong (2001) bahwa metode penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini diarahkan pada latar (setting) dan individu secara holistik. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang mengambil fakta berdasarkan pemahaman subjek penelitian (verstehen), mengetengahkan hasil pengamatan itu secara rinci (thick description), seraya menghindari komitmen terhadap model teoritik terdahulu (Agusta, 1998), sehingga hasil dari penelitian ini bisa berupa suatu verifikasi teori, penyanggahan teori, penambahan atau penguatan terhadap suatu teori.

Menurut Sitorus (1998), peneliti memberi penekanan pada sifat bentukan sosial realitas, hubungan akrab antara peneliti dan apa yang dikajinya, serta kendala situsional yang menyertai penelitian. Peneliti juga memberi penekanan pada sifat sarat nilai penelitian. Peneliti mencari jawaban atas pertanyaan bagaimana pengalaman sosial dibentuk dan diberi makna. Dalam kasus konflik pengelolaan sumberdaya alam ini, peneliti menekankan pada bentukan sosial realitas yang terjadi di Desa Curugbitung, hubungan akrab antara peneliti dan subjek peneliti, serta kendala-kendala situasional yang terjadi di lapangan. Sifat sarat nilai penelitian ini diperoleh dari hasil diskusi dan wawancara mendalam dengan informan yang mengalami sendiri proses sosial tersebut, sehingga mereka mampu memberi nilai-nilai secara subjektif yang tidak akan mampu diberikan oleh orang yang tidak mengalami sendiri proses sosial tersebut.


(42)

Strategi penelitian yang dipilih adalah studi kasus, yang mana peneliti memilih suatu kasus yaitu konflik pengelolaan sumberdaya alam untuk diteliti dengan menggunakan serumpun metode penelitian. Studi kasus sesuai digunakan dengan alasan: (1) Pertanyaan penelitian berkenaan dengan ”bagaimana” atau ”mengapa” konflik pengelolaan sumberdaya alam dapat terjadi pada masyarakat Desa Curugbitung, (2) Peluang peneliti sangat kecil untuk mengontrol peristiwa/gejala sosial yang terjadi, baik dikalangan masyarakat Curugbitung maupun pada perusahaan Hevindo, serta pihak lainnya; (3) Pumpunan (focus) penelitian adalah peristiwa/gejala sosial masa kini dalam konteks kehidupan nyata yaitu peristiwa konflik pengelolaan sumberdaya alam di Desa Curugbitung (Yin, 1996 dalam Sitorus, 1998)

3.3 Metode Pengumpulan Data 3.3.1 Karakteristik Data

Jenis data yang paling memadai untuk penelitian kualititatif (eksploratif-deskriptif) adalah data kualitatif. Menurut Taylor dan Bogdan (1984) dalam Sitorus (1998), data kualitatif adalah data deskriptif berupa kata-kata lisan atau tulisan dari manusia atau tentang perilaku manusia yang dapat diamati. Sedangkan, Patton (1990) dalam Sitorus (1998), mengemukakan bahwa data kualitatif dapat dipilah kedalam tiga kategori yaitu: (1) Hasil pengamatan, yaitu uraian (deskripsi) rinci mengenai situasi, kejadian/peristiwa, orang-orang, interaksi, dan perilaku yang diamati secara langsung di lapangan; (2) Hasil pembicaraan, yaitu kutipan langsung dari pernyataan orang-orang tentang pengalaman, sikap, keyakinan, dan pandangan/pemikiran mereka dalam kesempatan mendalam; dan (3) Bahan tertulis, yaitu petikan atau keseluruhan bagian dari dokumen, surat-menyurat, rekaman, dan kasus historis (sejarah).


(43)

3.2.2 Penentuan Kasus dan Pengambilan Subjek Penelitian 1

Studi kasus yang dipilih adalah studi kasus intrinsik, dimana peneliti ingin mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang kasus khusus. Alasan pemilihan atas kasus tersebut bukan karena ia mewakili kasus-kasus lain atau karena ia menggambarkan suatu sifat atau masalah khusus, melainkan karena dengan segala kekhususan dan kebersahajaannya sendiri (Stake, 1994 dalam Sitorus, 1998). Kasus konflik pengelolaan sumberdaya alam di Kawasan Ekosistem Halimun, Desa Curugbitung merupakan gejala sosial yang menarik untuk diteliti, karena berhubungan dengan kehidupan nyata masyarakat dalam mempertahankan hidup dengan bergantung pada pemanfaatan lahan kosong perusahaan Hevindo, walaupun tidak diijinkan oleh direksi, dan segala konsekuensi yang diterimanya.

3.2.3 Teknik Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini merupakan data primer dan data sekunder. Data sekunder diperoleh dari studi literatur, laporan-laporan penelitian sebelumnya dan studi dokumen yang ada pada pihak-pihak terkait, seperti RMI, Pemerintahan Desa, serta Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Bogor. Pengumpulan data primer diperoleh melalui observasi langsung di lapangan, wawancara mendalam dengan informan di lapangan. Informan diperoleh dengan teknik bola salju. Teknik ini dilakukan dengan menanyai beberapa informan kunci dan meminta mereka untuk merekomendasikan informan lain. Penjabaran teknik pengumpulan data dapat dilihat pada Gambar 2. di halaman berikutnya.

1


(44)

Gambar 2. Teknik Pengumpulan Data

Masalah Data yang Diperlukan Sumber Data

Profil Kawasan Penelitian

• Sejarah, administrasi, geografis dan topologi

desa

• Karekteristik penduduk

• Orientasi nilai dan sosial budaya masyarakat

• Kelembagaan masyarakat

• Potensi Agraria

• Data monografi

desa

• Observasi lapang

• Wawancara

mendalam

• Informan

Deskripsi konflik pengelolaan sumberdaya alam pada masyarakat desa sekitar hutan

• Sejarah konflik

• Bentuk konflik

• Deskripsi area sengketa/konflik

• Luas area konflik

• Riwayat area konflik

• Status hak area

• Dasar status hak

• Fungsi area konflik

• Pengklaim

• Observasi lapang

• Wawancara

mendalam

• Informan

• Studi literatur, Dokumen

• Diskusi Lembaga

Karakteristik Pihak-pihak yang terlibat dalam konflik pengelolaan sumberdaya alam pada masyarakat desa sekitar hutan

• Pihak-pihak yang bersengketa

• Pihak-pihak lain yang terlibat dalam konflik

• Intervensi pihak luar

• Yang hendak diperoleh oleh masing-masing

pihak

• Kekuatan, legitimasi, dan keinginan

masing-masing pihak

• Wujud dan level konflik yang terjadi

• Persepsi masing-masing pihak terhadap

konflik dan

• Persepsi masing-masing pihak terhadap pihak

lain yang terlibat konflik

• Observasi lapang

• Wawancara

mendalam

• Informan

• Studi Literatur,

Dokumen

• Diskusi Lembaga

Karakteristik konflik pengelolaan sumberdaya hutan pada masyarakat desa sekitar hutan

• Pokok persolaan konflik

• Penyebab terjadinya konflik

• Kebijakan pemerintah

• Pihak luar yang masuk kawasan

• Tata Batas area pengelolaan SDA

• Kepentingan masing-masing pihak

• Akses masyarakat terhadap SDA

• Pemeretaan hasil pengelolaan SDA

• Keterpurukan ekonomi masyarakat

• Kerusakan lingkungan

• Wawancara

mendalam

• Informan

• Studi Literatur,

Dokumen

• Diskusi Lembaga

Upaya-upaya yang pernah atau telah di tempuh, dalam pengelolaan konflik sumberdaya alam di Desa Curugbitung

• Pendekatan politis, administrasi, pendekatan

hukum, pendekatan akomodasi, pendekatan Alternatif Penyelesaian Konflik (APK)

• Upaya penanganan konflik oleh

masyarakat, perusahaan, dan pihak-pihak yang terlibat konflik

• Hasil akhir pengelolaan konflik

• Wawancara

mendalam

• Informan

• Studi Literatur,

Dokumen

• Diskusi Lembaga

Sebelum melakukan penelitian, peneliti melakukan diskusi dengan pihak RMI mengenai hal-hal yang sudah dilakukan dalam pendampingan termasuk penanganan konflik yang ada di Desa Curugbitung. Selain itu juga mengenai


(45)

berbagai strategi advokasi dan pembelajaran terhadap petani di desa tersebut. Setelah dari diskusi tersebut peneliti mendapatkan beberapa informasi tentang siapa-siapa saja pihak yang bisa dihubungi untuk dimintai keterangan mengenai kasus konflik tersebut, yang kemudian nama tersebut peneliti jadikan subjek penelitian, yang sebagian besar dijadikan informan2 dalam penelitian ini. Sesampai di lokasi bertemu dengan salah satu relawan RMI yang sudah akrab sejak sama-sama menjadi relawan RMI dalam program yang sama, kemudian peneliti diajak bertemu salah satu tokoh agama di desa, dan sehari setelahnya bertemu kepala desa di kantor desa.

Informan kunci dibagi dalam dua kategori, dengan maksud agar data yang didapatkan tidak tercampur dan memudahkan peneliti untuk menganalisa data dari masing-masing pihak. Kategori pertama, informan dari pihak masyarakat dan pemerintahan desa dan kategori kedua berasal dari pihak perusahaan dan pemerintahan kabupaten. Informan pertama berasal dari staf fasilitator RMI yang sedang konsen menangani kasus konflik kehutanan, kemudian diperoleh informan dari kategori satu, diantaranya ketua KPC, dan 5 anggota kelompok petani penggarap di areal perkebunan yang terkena aksi pencabutan dan pelarangan tanaman dari perusahaan, kepala desa, sekdes, 2 orang kepala dusun, dan 2 orang RW, selain itu juga ada 2 orang pekerja batu bata yang lokasi pembuatannya berada dalam kawasan konflik, dan 1 orang dari RMI. Karena selama ini menurut beberapa informan kategori pertama, menyebutkan kalau pihak perusahaan sangat tertutup, maka peneliti berinisiatif untuk meminta rekomendasi dari Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor agar peneliti dapat melakukan wawancara dengan pihak perusahaan. Setelah itu, peneliti menetapkan salah satu staf dinas tersebut untuk menjadi informan tentang perusahaan PT. Hevindo dan meminta data tentang perusahaan tersebut.

2

Pada waktu pelaksanaan penelitian di lapang, sebagian besar subjek penelitian ditanyai tentang kehidupan diri mereka sendiri, keluarga dan lingkungannya.


(46)

Walaupun menggunakan rekomendasi, pimpinan perusahaan tetap menolak untuk menunjukkan beberapa data-data yang dibutuhkan dalam penelitian, meski sebelumnya peneliti telah melakukan wawancara dengan manager kebun dan 2 orang kepala divisi perusahaan. Data-data yang dibutuhkan dalam penelitian ini akhirnya diperoleh dari Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor, dan beberapa data sekunder dari hasil penelitian sebelumnya tentang perusahaan tersebut.

Pada saat melakukan wawancara mendalam, peneliti berusaha untuk melakukan pendekatan informal lebih dahulu terhadap para informan dan juga masyarakat desa. Pendekatan informal dilakukan dengan lebih membaurkan diri dalam kegiatan masyarakat, seperti pengajian, kegiatan kursus, rapat-rapat kecil KPC, ombrolan santai sekaligus memperkenalkan diri dan maksud kedatangan kepada mereka, dan makan bersama keluarga salah satu RW. Setiap akhir wawancara peneliti selalu menekankan bahwa kedatangan peneliti kali ini ke Desa Curugbitung untuk melakukan penelitian, bukan sebagai relawan RMI, terutama pada informan KPC. Setelah hubungan informal terjalin, peneliti mulai mengarah pada hal serius tentang topik penelitian. Kadang kala peneliti menggunakan alat perekam sebagai dokumentasi penelitian untuk wawancara yang dilakukan dalam jumlah 4-6 orang sekaligus dan catatan saku dengan sebelumnya meminta izin kepada informan sebelum dimulai wawancara, karena dengan begitu mereka merasa dihargai.

Hasil wawancara dengan informan dan observasi, peneliti berusaha untuk langsung menuliskannya ke dalam catatan harian. Hal ini dilakukan sesegera mungkin begitu peneliti tiba dari wawancara dengan informan, sehingga memudahakan peneliti mengingat kembali data-data yang diperoleh selama wawancara. Sebelum pencatatan selesai, sedapat mungkin peneliti menghindari pembicaraan dengan orang lain. Hal ini dilakukan untuk menghindari kerancuan dalam mengingat data. Ketertutupan pihak perusahaan, ”ketakutan” pihak-pihak


(47)

yang berkonflik terutama bagi masyarakat sendiri, menjadi salah satu hambatan dalam pencarian informasi yang lebih dalam.

3.3 Teknik Analisa Data

Berdasarkan pada pendapat Miles dan Huberman (1992) dalam Sitorus (1998), bahwa analisis data kualitatif mencakup reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan, ketiga jalur analisis data tersebut menjadi acuan dalam tulisan ini. Penelitian ini dinyatakan selesai jika data dalam kondisi jenuh, yaitu saat peneliti menanyakan kepada informan yang diwawancarai tentang informan lain yang direkomendasikan, jawabannya tetap berkisar pada informan-informan sebelumnya yang sudah penulis wawancarai.

3.3.1 Reduksi Data

Sebelum kegiatan analisis data dilakukan, seluruh data beserta maknanya menurut informan telah dicatat dalam catatan lapang. Data selanjutnya disunting untuk menentukan kelengkapan dan keabsahan data. Data yang tidak sesuai dipisahkan, sehingga yang ada hanya data yang sesuai dengan pertanyaan penelitian. Kelengkapan data diperoleh apabila data tersebut sudah bisa menjawab masalah dan tujuan penelitian. Keabsahan data dicek ulang dengan cara membandingkan antar data, mencari manakah data yang paling sesuai dengan yang peneliti lihat di lapangan atau menemukan manakah yang paling banyak kesamaan datanya. Peneliti juga melakukan wawancara mendalam ulang dengan infoman kunci dan memperpanjang keikutsertaan dengan subjek penelitian untuk mewawancarainya secara mendalam dan mengamati kegiatannya kembali.


(48)

3.3.2 Penyajian Data

Hasil reduksi data kemudian disusun dan disajikan dalam bentuk teks naratif-deskriptif untuk memberikan kejelasan dan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Seperti yang diungkapkan Sitorus (1998) bahwa terdapat beberapa bentuk penyajian data, yaitu: (1) Teks naratif yang berupa cacatan lapang, sehingga tidak praktis. Ini mengandung kesulitan karena teks naratif biasanya sangat panjang sehingga melebihi kemampuan manusia memproses informasi dan menggerogoti kecenderungan mereka untuk menemukan pola-pola yang sederhana; (2) Matriks, grafik, jaringan, dan bagan. Bentuk-bentuk seperti ini menggabungkan informasi yang tersusun dalam bentuk yang padu dan mudah diraih, sehingga memudahkan melihat apa yang sedang terjadi, dan menentukan apakah menarik kesimpulan yang benar ataukah terus melangkah melakukan analisis.

3.3.3 Penarikan Kesimpulan

Penarikan kesimpulan dalam hal ini mencakup verifikasi atas kesimpulan selama penelitian berlangsung dengan cara: (1) Memikirkan ulang selama penulisan; (2) Meninjau ulang catatan-catatan lapang (harian); (3) Meninjau kembali dan bertukar pikiran dengan teman sejawat dan atau dosen pembimbing untuk mengembangkan kesepakatan intersubjektif. Selain itu penulis mengubungi kembali beberapa informan untuk mengkomfirmasi hasil temuan. Selanjutnya, (4) melakukan upaya-upaya yang luas untuk menempatkan salinan suatu temuan dalam seperangkat data yang lain.


(49)

BAB IV

PROFIL WILAYAH PENELITIAN

4.1 Kondisi Umum dan Prasarana

Curugbitung adalah sebuah desa yang secara administratif termasuk dalam wilayah Kecamatan Nanggung, Kabupaten Dati II Bogor, Propinsi Jawa Barat. Secara geografis desa ini berbatasan langsung dengan wilayah perkebunan PT. Hevindo, wilayah Perum Perhutani Unit III Jawa Barat, dan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGH-S). Desa ini berbatasan dengan Desa Nanggung (batas Utara), Desa Cisarua dan Bantar Karet (batas Timur), Desa Malasari (batas Selatan), Desa Kiarasari, Kecamatan Sukaraja (batas Barat). Desa ini berada pada 6° 37' 0 Lintang Selatan (LS) dan 106° 31' 60 Bujur Barat (BB). Luas wilayah Desa Curugbitung adalah 1397 hektar (ha). Berada pada ketinggian 700 m di atas permukaan laut.

Waktu tempuh yang diperlukan untuk mencapai wilayah desa kurang lebih satu jam dari Ibukota Kecamatan Nanggung yang berjarak kurang lebih ± 8 km. Jarak dari pusat administrasi Kabupaten Bogor ± 59 km membutuhkan waktu 4-5 jam dengan menggunakan angkutan umum (angkot), dan jarak ke Ibukota Propinsi Jawa Barat ± 145 km. Untuk mencapai desa ini dapat menggunakan angkutan kota 05 warna biru jurusan Jasinga (jika dari Terminal Bubulak) berhenti di pasar Leuwiliang, dan menggunkan mobil odong-odong jurusan Leuwiliang-Nanggung dengan ongkos Rp. 4000, atau jurusan Leuwiliang-Cibeber, dengan ongkos Rp. 6000. Dari Nanggung dapat menggunakan mobil atau ojek (sepeda motor) dengan ongkos Rp. 5000. Mobil jurusan Leuwiliang-Cibeber tidak banyak dan hanya ada antara pukul 06.00 WIB hingga 17.30 WIB. Alat transportasi antar kampung biasanya ditempuh dengan menggunakan sepeda motor (ojek) atau jalan kaki meski cukup jauh dengan kondisi jalan yang tidak semua beraspal dan menanjak.


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

Lampiran 5. Pengalaman Selama Penelitian

Selama penelitian ini berlangsung, berbagai pengalaman dan kejadian baru peneliti dapatkan, baik dalam hal pengumpulan data penelitian hingga cara berkomunikasi dan memahami karakteristik pihak-pihak yang berkonflik. Dari berbagai macam pengalaman tersebut, ada kesulitan yang peneliti hadapi mulai saat meminta ijin penelitian dan pengumpulan data penelitian.

Saat pertama kali melakukan penjajagan lapang ke Desa Curugbitung, peneliti menemui salah seorang relawan RMI yang kebetulan peneliti kenal sejak sama-sama menjadi relawan RMI, yang kemudian peneliti minta bantuannya untuk menceritakan kondisi sosial yang terjadi di Desa Curugbitung, sehingga memunculkan beberapa pertanyaan-pertanyaan yang nantinya ingin peneliti cari jawabannya, terutama tentang konflik. Selain itu dari pembicaraan ini mulai muncul nama-nama tokoh masyarakat dan yang pihak-pihak yang dapat dihubungi untuk dimintai keterangan tentang berbagai peristiwa di Desa Curugbitung dan sekitarnya. Tantangan yang harus dihadapi saat ingin meneliti tentang konflik ini, dimulai sejak mengurus surat ijin penelitian (turun lapang). Peneliti harus merubah judul penelitian dari proposal yang ada, dengan menghilangkan kata-kata konflik di dalamnya. Meskipun begitu, peneliti masih tetap tidak diijinkan untuk meminta data-data dari perusahaan, namun surat penolakan penelitian itu dikeluarkan setelah peneliti telah melakukan wawancara sebelumnya. Saat melakukan wawancara peneliti menggunakan alat perekam, dan nuansa saat wawancara dibuat sesantai mungkin dan tidak menggunakan bahasa-bahasa formal, sehingga pertanyaan apapun selama wawancara dapat didengar ulang kembali setelah dari wawancara. Data-data yang kurang peneliti dapatkan dari Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor.

Setelah 2 bulan waktu penelitian yang telah sebelumnya peneliti, harus bolak-balik menggunakan kendaraan setiap 1 pekan untuk mengamati tindakan lanjutan, sekaligus mengecek kembali data-data yang telah terkumpul sebelumnya hingga akhir Maret 2006. Sebagian besar dari kegiatan penelitian ini cukup menantang peneliti untuk tahu lebih banyak tentang Desa Curugbitung, meskipun kadang-kadang harus hujan-hujan dan kedinginan.

Menegaskan sejak awal tujuan kedatangan kita kepada pihak desa, dan masyarakat dengan tidak mengedepankan kata-kata konflik membantu kita untuk diterima oleh pihak yang akan kita wawancarai. Biasanya wawancara peneliti, awali dengan menanyakan kabar keluarga, dan diri subjek penelitian. Hal ini juga dilakukan pada saat bertemu dengan informan dalam penelitian ini, guna mendekatkan peneliti dengan pihak yang jadi subjek dan informan penelitian.


(6)

Lampiran 6. Pengalaman Selama Penelitian

Informan : Bp. PGA

Status : Mandor Perkebunan PT. Hevea Indonesia Hari/tanggal : Rabu, 15 Februari 2006

Pukul : 10.00 –12.00 WIB Tempat : Rumah PGA

Teknik : Wawancara mendalam Pewawancara : Moh. Ilham

Hasil :

Informan PGA (52 tahun) dipilih untuk menjelaskan berbagai tindakan yang dilakukan perusahaan kepada penggarap dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di lahan HGU. PGA bekerja sebagai mandor di wilayah perkebunan selama 26 tahun, bahkan sebelum PT. Hevindo ada. PGA mengetahui sejarah wilayah perkebunan ini secara pasti, bahkan dia bersedia menunjukkan kepada peneliti semua titik-titik area sengketa yang di garap oleh masyarakat, dengan syarat harus mendapatkan ijin dari atasannya.

Selama wawancara berlangsung, PGA hafal tanggal maupun tokoh-tokoh yang berperan penting dalam peristiwa-peristiwa di lahan HGU, namun ia mengatakan bahwa akhir-akhir ini perusahaannya sedang mengawasi para pegawainya, sehingga ia sangat hati-hati dalam berucap kepada peneliti, permohonan maafpun terucap dari lisan bertubuh kurus tinggi ini. Kemudian peneliti mengecek nama dan tahun-tahun penting itu dalam catatan lapang yang lain, dan terdapat kesamaan waktu, tempat maupun nama-nama penting. Lebih jauh lagi, PGA mampu mengemukakan alasan-alasan kejadian-kejadian penting, dan mengemukakan perasaannya pada waktu mengalami peristiwa-peristiwa penting.

Menurutnya, Hevindo masuk ke wilayah HGU sekitar tahun 1985/1986, meski sebelum itu telah dilakukanm proses peralihan dengan PT. Sanzibar. Sebelumnya masyarakat telah melakukan tumpangsari, dengan kata lain mereka numpang nanam di lahan HGU. Pergantian perusahaan mengakibatkan perusahaan PT. Sanzibar melakukan penarikan kembali surat perjanjian itu, namun ada masyarakat yang tidak mengembalikan surat tersebut, hingga pada tahun 1982/1983 pemerintah melakukan Prona (program sertifikasi tanah yang memberikan kesempatan kepada masyarakat yang tidak memiliki tanah, dan bertahun-tahun telah menggarap tanah tersebut). Lahan luas HGU dulu sekitar 1200 hektar yang terbagi di tiga wilayah desa, yaitu Curugbitung, Nangggung, dan Cisarua. Beberapa tahun kemudian ada tokoh masyarakat yang mendesak perusahaan meminta lahan HGU seluas 20 hektar untuk masing-masing desa sekitar tahun 1986. Sekarang masyarakat membuat SPPT untuk lahan yang digarap dilahan HGU, padahal perusahaan juga membayar pajak tersebut, terjadi pajak ganda.

Ketika di tanya tentang pajak konvensional yang diberlakukan di masa lalu, pihaknya mengaku bahwa “Selama saya bekerja di kawasan Curugbitung, saya belum pernah menerima dari masyarakat yang namanya pajak konvensional atau apalah namanya. Selama ini perusahaan hanya memberikan toleransi kepada masyarakat karena saat itu kondisi sedang krisis moneter, tanpa meminta imbalan apapun.”

Menurutnya, masyarakat hanya ingin lahan pertanian yang bisa memenuhi kebutuhan secara kontinu, sehingga mereka sering menggarap lahan milik HGU, meski kami sering melarangnya. Masa moneter tahun 1997, mengakibatkan keterpurukan ekonomi sehingga perusahaan memberikan toleransi kepada masyarakat untuk melakukan penggarapan dibeberapa lahan kosong dengan syarat-syarat tertentu.………. dan seterusnya.


Dokumen yang terkait

DAMPAK PROGRAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT(PHBM) TERHADAP EKONOMI MASYARAKAT DESA HUTAN (Studi Evaluasi Program Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat di Lembaga Masyarakat Desa Hutan Artha Wana Mulya Desa Sidomulyo Kabupaten

0 2 14

Peranserta Masyarakat dalam Pembangunan Desa (Studi Kasus di Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

0 3 87

Peranan Kepala Desa dalam Pembangunan Masyarakat Desa Studi Kasus di Dua Desa di Kabupaten DT II Bogor Propinsi Jawa-Barat

0 5 164

Deindustrialisasi Pedesaan (Studi Kasus Desa Curug Bintang, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat)

0 28 142

Kajian Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Hutan Mangrove (Studi Kasus di Desa Karangsong, Kecarnatan Indrarnayu, Kabupaten Indrarnayu, Propinsi Jawa Barat)

0 7 155

Peranan hutan dalam kehidupan rumah tangga masyarakat desa hutan (Studi kasus kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

0 15 98

Strategi nafkah rumahtangga desa sekitar hutan (studi kasus desa peserta phbm (pengelolaan hutan bersama masyarakat) di kabupaten kuningan, provinsi jawa barat)

1 29 446

Perilaku masyarakat dalam pengelolaan sampah (Kasus masyarakat Kelurahan Gunung Batu, Kecamatan bogor Barat, Kota Bogor dan Desa Petir, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat

0 12 117

Struktur Agraria Masyarakat Desa Hutan Dan Implikasinya Terhadap Pola Pemanfaatan Sumberdaya Agraria (Studi Kasus: Masyarakat Kampung Pel Cianten, Desa Purasari, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)

0 5 108

Persepsi, Motivasi dan Perilaku Masyarakat Sekitar Hutan dalam Pengelolaan Kawasan Hutan (Kasus Kawasan Hutan sekitar Desa Gunung Sari di Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor)

0 3 41