Pembangunan Ekonomi dan Partisipasi Politik: Belajar dari Rezim Politik

26 b. Keputusan decision dan kebijakan policy politik yang bersifat penting dan mendesak. c. Keputusan decision dan kebijakan policy politik yang bersifat permanen dan rutin.

2. Isunya, yang dapat dibedakan ke dalam dua kategori, yaitu:

a Keputusan decision dan kebijakan policy dengan isu tunggal b Keputusan decision dan kebijakan policy dengan multi isu. Pada kenyataanya, setiap keputusan atau kebijakan politik memiliki beragammulti isu: bersifat “hybrid”, seperti terorisme yang multi isu politik, agama, ekonomi dan pendidikan 3 Posisi strategisnya, yang dapat dibedakan ke dalam tiga kategori, yaitu: a Keputusan decision dan kebijakan policy politik menurut nilai strategis ekonominya suatu daerah, kawasan, wilayah geografis tertentu, seperti Daerah Otoritas Batam dan Kawasan Pembangunan Ekonomi Terpadu Kapet Flores; b Keputusan decision dan kebijakan policy politik menurut nilai strategis politiknya di suatu daerah, kawasan, wilayah geografis tertentu, seperti daerah perbatasan Kabupaten Entikong dan kabupaten Timor Tengat Utara, c Keputusan decision dan kebijakan policy politik menurut nilai strategis sosialnya suatu daerah, kawasan, wilayah geografis tertentu, seperti Daerah Tertinggal Kawasan Timur Indonesia, KIT.

2.6. Pembangunan Ekonomi dan Partisipasi Politik: Belajar dari Rezim Politik

Soeharto Keputusan decision dan kebijakan policy politik nasional Indonesia dipengaruhi oleh setiap rezim politiknya. Hal itu disebabkan karena politik dalam tataran praktek dilihat sebagai formula dari kepentingan umum yang diidentifikasikan. Setiap rezim politik berasumsi bahwa pembuatan, pelaksanaan dan pengawasan suatu keputusan decision dan kebijakan policy politik merupakan terjemahan terhadap dinamika lingkungan politik lokal, nasional, demestik dan 27 internasional yang diformulasikan ke dalam perencanaan nasional pada periode tertentu, seperti GBHN di era Orde Baru dan RPJPN di era Pasca Reformasi. Dalam kasus rezim politik Orde Baru, Soeharto memulai pembangunan ekonominya dengan menganut model pembangunan teknokratis. Secara teori model pembangunan ini dapat diramalkan berhasil di bidang ekonomi, namun akan gagal dalam bidang politik. Sebab, meskipun tujuannya untuk menggairahkan ekonomi yang nantinya dipercaya akan menyeimbangkan ketimpangan ekonomi, namun akibat syaratnya yang harus menekan partisipasi politik untuk waktu yang tidak ditentukan justru akan memproduksi ketidakpuasan politik. Pada model ini Soeharto diakui berhasil menjaga stabilitas politik, namun itu hanya bersifat sementara tidak permanen dalam pengertian teoritisnya. Sebab, model pembangunan ini hanya mengakomodasi kondisi-kondisi ekonomi dan politik yang mendukung, seperti pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dengan peningkatan upaya penanaman modal asing. Namun pilihannya yang mengabaikan pembangunan ekonomi yang berdeterminisme politik sehingga mengabaikan partisipasi politik justru menghangcurkan semua capainnya kelak. Kran partisipasi politik tidak dibuka karena diasumsikan akan mengganggu pembangunan ekonomi. Sebagai akibatnya, partisipasi politik yang rendah justru menjadi bumerang karena dalam jangka waktu panjang akan terjadi ledakan partisipasi politik yang menyebabkan pemerintahannya menuai ketidakpuasan. Dalam jangka panjang, model pembangunan teknokratis yang dianut Orde Baru ternyat bukan jalan keluar bagi stabilitas politik, karena hasilnya adalah kegagalan ganda. Ketidakjelasan waktu pembatasan partisipasi politik membuat ledakan partisipasi politik yang justru merusak seluruh tatanan ekonomi dan politik yang berhasil dibangun sebelumnya. Kegagalan pertama berupa ketidakberhasilan pembangunan ekonomi pertumbuhan menyeimbangkan ketimpangan ekonomi pemerataan, lalu disusul kegagalan kedua berupa ledakan partisipasi politik, seperti kasus Gerakan Mei 1998 —yang mungkin tidak pernah diramalkan oleh rezim politiknya. 28 Mengikuti nasehat pola pembangunan terencana Repelita seperti yang dipopulerkan oleh W.W. Rostow, Soeharto beralih ke model pembangunan populis pada periode pertengahan hingga menjelang berakhirnya rezim politiknya. Namun secara politik model ini hampir dipastikan gagal karena dua hal, yaitu: 1 terlambat dianut. Keterlambatan pemerataan —ekonomi yang relatif timpang meski diikuti pertumbuhan ekonomi— telah memicu ketidakpuasan diberbagai bidang, sehingga memberi ruang munculnya militer sebagai kekuatan politik baru —kuat dan stabil yang mengontol politik dan menekan partisipasi politik warga negara. Model ini gagal karena segera memperlihatkan ciri-ciri intrinsiknya berupa partisipasi politik yang tinggi. Peran besar ABRI TNI dan Polri dalam mengontrol kehidupan politik melalui penggunaan berbagai kekerasan politik, seperti teror dan intimidasi politik membuat rakyat bertambah marah. Secara teori, model pembangunan populis ini bertujuan untuk melakukan pemerataan ekonomi melalui pertumbuhan ekonomi. Namun partisipasi politik yang tinggi jika tidak dikelola dengan baik juga menjadi ancaman laten bagi stabilitas politik, karena akan menimbulkan ketegangan-ketegangan dan instabilitas politik. Soeharto lupa bahwa bartisipasi politik sangat penting dan mendesak dalam setiap tahapan pembangunan politik sosial, budaya, ekonomi, agama, pertahanan dan keamanan. Penting karena pengertiannya mencakup keterlibatan warga negara dalam seluruh proses politik: perumusanpembuatan, pelaksanaan dan pengawasan penghakiman keputusankebijakan politik. Keterlibatan dalam proses politik dapat dilakukan oleh warga negara baik secara perorangan ataupun kelompok, spontan atau manifest, sadar otonomus ataupun tidak sadar mobilize. Tergantung jenis budaya politik participant, parochial, subject yang dinut oleh setiap warga negara.

2.7. Orientasi Politik Nasional