Bioavailabilitas Besi Konsumsi Pangan pada Remaja Putri Anemia dan Non Anemia

ABSTRACT
DINA MARDIYAH Assessment of iron bioavailability on anemic and non anemic high
school student of SMAN 1 Cibungbulang. Under direction of DODIK BRIAWAN and
CESILIA METI DWIRIANI
The objective of this research was to assess bioavailability of iron intake
among anemic and non anemic adolescent girls. The subjects were 80 high school
student of SMAN 1 Cibungbulang Bogor. The dietary assessment was applied
among 30 anemic and 50 non anemic student. The heme iron source student are 5.9
± 7.7 mg and from non heme iron source are 8.6 ± 9.5 mg. Iron bioavailability are 1.4
± 0.8 mg on anemic student and 1.2 ± 0.9 mg on non anemic student. The result of
Pearson test showed that there is no significant corelation (p>0,05) between iron
absorbed with adolescent anemic status.
Keywords: iron bioavailability, adolescent girls, anemia.

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Visi pembangunan bidang kesehatan yaitu mewujudkan Indonesia Sehat
diharapkan akan menjadikan masyarakat Indonesia hidup dalam lingkungan
sehat dan berperilaku hidup sehat. Indonesia Sehat dimaksudkan juga untuk

mendorong agar masyarakat dapat menjangkau pelayanan kesehatan yang
bermutu, adil dan merata guna mencapai derajat kesehatan yang optimal.
Manusia yang sehat tidak hanya sehat jasmani, tetapi juga sehat rohani,
sehingga tubuh sehat dan ideal dari segi kesehatan meliputi aspek fisik, mental
dan sosial dan tidak hanya bebas dari penyakit. Semua aspek tersebut akan
mempengaruhi penampilan setiap individu, dalam melakukan aktivitas sehari hari
seperti bekerja, berkarya, berkreasi dan melakukan hal-hal yang produktif serta
bermanfaat (Depkes 2001).
Kesehatan, pendidikan dan pendapatan setiap individu merupakan tiga
faktor utama yang sangat mempengaruhi kualitas sumber daya manusia. Oleh
karena itu setiap individu berhak dan harus selalu menjaga kesehatan, yang
merupakan modal utama agar dapat hidup produktif, bahagia dan sejahtera. Di
dalam era globalisasi sekarang dimana terjadi perubahan gaya hidup dan pola
makan, Indonesia menghadapi masalah gizi ganda, yaitu masalah gizi Kurang
Energi Protein (KEP), Kurang Vitamin A (KVA), Gangguan Akibat Kekurangan
Iodium (GAKI), Anemia Gizi Besi (AGB) dan masalah Gizi Lebih (kelebihan berat
badan & obesitas). Anemia pada umumnya dijumpai pada golongan rawan gizi
yaitu ibu hamil, ibu menyusui, anak balita, anak sekolah, anak pekerja atau buruh
yang berpenghasilan rendah (Depkes 2005).
Anemia defisiensi besi merupakan jenis anemia yang paling sering

dijumpai baik diklinik maupun dimasyarakat. Anemia ini banyak dialami oleh
masyarakat di negara berkembang. Wanita secara kodrati harus kehilangan
darah setiap bulan akibat menstruasi, karenanya wanita lebih tinggi risikonya
terkena anemia gizi besi dibandingkan pria. Anak-anak dan remaja merupakan
usia rawan anemia gizi besi karena kebutuhan zat besi cukup tinggi diperlukan
semasa pertumbuhan. Jika asupan zat besi kurang maka risiko anemia gizi besi
menjadi sangat besar (Depkes 2001).
Soemantri (1985) menyatakan bahwa penyebab utama anemia gizi di
Indonesia adalah rendahnya asupan zat besi (Fe), hal ini dikarenakan sebagian

2

besar penduduk indonesia kurang mengetahui tentang pendidikan gizi dan
kurang perduli terhadap kesehatan sehingga pada saat mengkonsumsi pangan,
konsumsi dilakukan secara bersamaan antara pangan yang kaya akan Fe
dengan pangan yang dapat menghambat penyerapan Fe sehingga Fe yang
dapat diserap tidak optimal. Kualitas pangan yang dikonsumsi rendah karena
makanan yang dikonsumsi biasanya tidak diperhatikan berdasarkan kualitasnya
melainkan kuantitasnya, serta penyakit infeksi yang dapat berdampak pada
penurunan antibodi, penurunan kemampuan fisik, penurunan produktivitas kerja

dan kemampuan berfikir. Dari aspek kesehatan dan gizi, remaja sebagai
generasi penerus merupakan kelompok yang perlu mendapat perhatian. Jumlah
remaja putri pada umumnya relatif lebih banyak dari jumlah remaja putra dan
remaja putri juga lebih rawan untuk kekurangan gizi dibandingkan dengan remaja
putra.
Anemia gizi merupakan salah satu masalah gizi di Indonesia dan masih
menjadi masalah kesehatan masyarakat. Data dari beberapa penelitian
menunjukkan bahwa sekitar sepertiga remaja putri di Indonesia menderita
anemia. Depkes (2005) menyatakan bahwa, prevalensi anemia wanita di
Indonesia masih cukup tinggi yaitu 26.50%. Hasil analisis Permaesih dan
Herman (2005) prevalensi anemia remaja (10-19 tahun) sebesar 25.5% dengan
perincian laki-laki 21% dan 30% pada perempuan. Laporan Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) prevalensi anemia wanita dewasa (>15 tahun) sebesar 19.7%
(Depkes 2008).
Berdasarkan data prevalensi tersebut, dapat dilihat bahwa kejadian
anemia lebih sering dan banyak terjadi pada perempuan sehingga perlu adanya
pengkajian lebih lanjut terhadap status anemia perempuan khususnya bagi para
remaja. Berdasarkan data tersebut peneliti tertarik untuk melakukan kajian lebih
lanjut mengenai anemia pada remaja putri yang berjudul "Bioavailabilitas Besi
Konsumsi Pangan pada Remaja Putri Anemia dan Non Anemia".

Tujuan
Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menghitung bioavailabilitas
besi konsumsi pangan pada remaja putri anemia dan non anemia.

3

Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah :
1. Mengkaji karakteristik contoh (usia,kelas, uang saku, usia menarche)
2. Mengkaji status gizi contoh
3. Mengkaji pendorong penyerapan zat besi pangan
4. Mengkaji penghambat penyerapan zat besi pangan
5. Mengkaji bioavailabilitas pangan sumber besi
6. Menganalisis hubungan bioavailabilitas besi konsumsi pangan pada
remaja putri dengan kejadian anemia
Hipotesis
H0 : Tidak terdapat hubungan antara bioavailabilitas besi konsumsi pangan
dengan kejadian anemia pada remaja putri.
H1 : Terdapat hubungan antara bioavailabilitas besi konsumsi pangan dengan

kejadian anemia pada remaja putri.
Kegunaan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang
berkaitan dengan anemia khususnya pada remaja putri. Selain itu, dapat
memberikan wawasan terhadap pembaca mengenai bioavailabilitas besi
konsumsi pangan dalam kaitannya dengan anemia pada remaja, sehingga hasil
penelitian ini dapat menjadi masukan bagi perencana pangan gizi pada remaja
agar nantinya dapat tercipta sumber daya manusia yang berkualitas bagi
kemajuan bangsa Indonesia.

4

TINJAUAN PUSTAKA
Remaja
Remaja merupakan masa peralihan antara masa anak dan masa dewasa.
Menurut Desmita (2005) masa remaja adalah masa terjadinya krisis identitas
atau pencarian identitas diri. Karakteristik remaja yang sedang berproses untuk
mencari identitas diri sering menimbulkan masalah pada diri remaja. Remaja
dalam bahasa inggris disebut "teenager" yakni manusia usia 13-19 tahun,
merupakan usia perkembangan untuk menjadi dewasa. Masa remaja merupakan

saat terjadinya perubahan-perubahan cepat dalam proses pertumbuhan fisik,
kognitif dan psikososial. Pada masa ini terjadi kematangan seksual dan
tercapainya bentuk dewasa karena pematangan fungsi endokrin. Pada saat
proses pematangan fisik, juga terjadi perubahan komposisi tubuh.
Pardede (2002) mendefinisikan remaja dengan batasan usia yaitu 10-24
tahun dan belum menikah, dengan pertimbangan karena usia 10 tahun
merupakan usia dimana remaja putri mengalami perubahan dalam tubuhnya,
tetapi perubahan yang terjadi bisa berbeda-beda pada setiap remaja putri.
Soetjiningsih (2007) menyatakan bahwa dalam tumbuh kembangnya menuju
dewasa, berdasarkan kematangan psikososial dan seksual semua remaja akan
melewati tahapan, yaitu masa remaja awal (early adolescence) umur 11-13
tahun, masa remaja pertengahan (middle adolescence) umur 14-16 tahun , dan
masa remaja lanjut (late adolescence) umur 17-20 tahun.
Remaja putri adalah kelompok populasi yang rawan terhadap defisiensi
gizi khususnya defisiensi zat besi. Pada saat remaja putri sedang dalam masa
pertumbuhan puncak (peak growth) dibutuhkan zat besi yang lebih tinggi yaitu
untuk kebutuhan basal tubuh dan pertumbuhan itu sendiri. Satu tahun setelah
peak growth, remaja putri biasanya akan mengalami haid pertama (menarche).
Kebutuhan zat besi yang lebih tinggi pada saat peak growth akan menetap
karena selanjutnya diperlukan untuk menggantikan zat besi yang hilang pada

saat menstruasi atau haid (Briawan 2008).
Wiknjosastro (1999) mengatakan bahwa remaja putri akan mengalami
perubahan fisik dengan pesat yang merupakan pertanda biologis dari
kematangan seksualitas. Perubahan ini terjadi pada satu masa yang disebut
masa pubertas yaitu masa transisi antara kanak-kanak menuju masa reproduksi.
Asupan zat gizi mempengaruhi kematangan seksual pada remaja. Remaja yang
mendapat menstruasi pertama lebih dini, cenderung lebih berat dan lebih tinggi

5

dibandingkan dengan remaja yang belum mendapat menstruasi pada usia yang
sama. Sebaliknya pada remaja yang menstruasi terlambat, beratnya lebih ringan
daripada yang sudah menstruasi pada usia yang sama, walaupun tinggi badan
(TB) nya sama.
Remaja putri rentan mengalami kurang gizi pada periode puncak tumbuh
kembang, kurangnya asupan zat gizi karena pola makan yang salah, pengaruh
dari lingkungan pergaulan (ingin langsing). Remaja putri yang kurang gizi tidak
dapat mencapai status gizi yang optimal (kurus, pendek dan pertumbuhan tulang
tidak proporsional), kurang zat besi dan gizi lain yang penting untuk tumbuh
kembang seperti zinc, sering sakit-sakitan. Dari beberapa masalah gizi remaja

putri tersebut diperlukan upaya peningkatan status gizinya karena remaja putri
membutuhkan zat gizi untuk tumbuh kembang yang optimal dan remaja putri
perlu suplementasi gizi guna meningkatkan status gizi dan kesehatannya
(Pardede 2002 ).
Pada masa remaja kebutuhan kalori semakin meningkat karena
pertumbuhan anak remaja sangat pesat serta perubahan menjadi pubertas dan
aktivitas. Pada masa ini terjadi pertumbuhan yang cepat baik tinggi maupun berat
badan sehingga kebutuhan gizi pun meningkat. Oleh karena itu, bila konsumsi
makanan tidak seimbang dengan kebutuhan kalori untuk pertumbuhan dan
kegiatannya, maka akan terjadi defisiensi yang akhirnya dapat menghambat
pertumbuhannya. Pada remaja, juga terjadi menarche (awal menstruasi) yang
berarti mulai terjadi pembuangan Fe (Khumaidi 1997).
Anemia pada remaja akan berdampak pada produktivitas dan konsentrasi
belajar menurun. Bila remaja perempuan tersebut kemudian memasuki
perkawinan, remaja akan hamil dengan status gizi yang rendah karena
membutuhkan peningkatan asupan energi dan zat gizi untuk pertumbuhan
dirinya sendiri dan bayi yang dikandung. Perkembangan kepribadian pada masa
remaja tidak saja dipengaruhi oleh orangtua dan lingkungan keluarga, tetapi juga
lingkungan sekolah dan teman -teman pergaulan di luar sekolah. Di samping itu,
pengaruh lain bisa berasal dari pesatnya kemajuan teknologi informasi, baik

media cetak maupun media elektronik (Supariasa 2001).

6

Anemia
Anemia adalah suatu keadaan dimana komponen

hemoglobin (Hb)

dalam darah jumlahnya kurang dari kadar normal. Anemia gizi disebabkan
karena kekurangan zat gizi yang diperlukan untuk pembentukan Hb tersebut. Di
Indonesia sebagian besar anemia ini dikarenakan kekurangan zat besi (Fe)
hingga disebut Anemia Kekurangan Zat Besi atau Anemia Gizi Besi. Menurut
Yatim (2003), anemia dikarenakan adanya kelainan dalam pembentukan sel,
perdarahan atau gabungan keduanya sehingga tubuh akan mengalami hipoksia
sebagai akibat kemampuan kapasitas pengangkutan oksigen dari darah
berkurang. Menurut Rasmaliah (2004), kadar hemoglobin (Hb) yang lebih rendah
daripada normal merupakan akibat ketidakmampuan jaringan pembentukan sel
darah merah dalam produksinya guna mempertahankan kadar hemoglobin pada
tingkat normal. Anemia merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius,

berdampak pada perkembangan fisik dan psikis, perilaku dan kerja. Anemia gizi
terbagi menjadi dua macam, yaitu sebagai berikut :
a. Anemia hipokromik mikrositis, yaitu anemia yang disebabkan oleh kekurangan
zat besi .
b. Anemia megaloblastik, yaitu anemia yang disebabkan oleh kekurangan asam
folat dan vitamin B12.
Jenis anemia yang paling sering ditemui adalah kekurangan zat besi yang
terjadi bila tubuh kehilangan banyak darah (baik karena perdarahan luka maupun
menstruasi) ataupun karena makanan yang kita konsumsi kurang mengandung
zat besi (Moehji 2001).
Sebelum terjadi anemia biasanya terjadi kekurangan zat besi secara
perlahan-lahan. Pada tahap awal, simpanan besi yang berbentuk feritin dan
hemosiderin menurun dan absorbsi besi meningkat. Daya ikat besi (iron binding
capacity) meningkat seiring dengan menurunnya simpanan zat besi dalam
sumsum tulang dan hati. Ini menandakan berkuangnya zat besi dalam plasma.
Selanjutnya zat besi yang tersedia untuk pembentukan sel-sel darah merah
(eritropoesis) di dalam susmsum tulang berkurang dan terjadi penurunan jumlah
sel darah merah dalam jaringan. Pada tahap akhir, hemoglobin menurun
(hypocromic) dan eritrosit mengecil (mycrocytic) dan terjadi anemia gizi besi
(Wirakusumah 1998).

Proses kekurangan zat besi menjadi anemia melalui beberapa tahap
seperti dikemukakan Sutaryo (2004), pertama terjadi penurunan simpanan

7

cadangan zat besi karena berbagai hal. Cadangan besi rendah tapi belum terjadi
disfungsi, kadar besi dalam serum masih baik dan hematokrit masih normal.
Pada tahap kedua cadangan zat besi sudah kosong dan semakin parah, besi
dalam serum turun, total iron-binding capacity (TIBC) meningkat, hematokrit
masih baik. Tahap ketiga ditunjukkan dengan serum feritin menurun, besi serum
menurun, TIBC meningkat, hemoglobin dan hematokrit menurun, juga disertai
gejala klinis anemia.
Kegagalan gizi yang merupakan salah satu penyebab terjadinya anemia
akan berdampak pada kegagalan pertumbuhan fisik dan perkembangan
kecerdasan, menurunkan produktivitas kerja dan menurunkan daya tahan tubuh
yang berakibat meningkatkan angka kesakitan dan angka kematian (Arisman
2004).
Kecukupan zat gizi terutama Fe (besi) pada setiap individu berbeda-beda,
kecukupan zat besi dikelompokkan berdasarkan umur, sesuai dengan Tabel 1
sebagai berikut :
Tabel 1 Kecukupan Zat Besi Untuk Indonesia
Kelompok Umur

Kecukupan Zat Besi (mg/hari)

Bayi (0-6 bulan)
0.5
Anak (1-3 tahun)
8.0
Anak (4-6 tahun)
9.0
Remaja (7-9 tahun)
10.0
Remaja laki-laki (10-12 tahun)
13.0
Remaja perempuan (10-12 tahun)
20.0
Remaja laki-laki (13-15 tahun)
19.0
Remaja perempuan (13-15 tahun)
26.0
Remaja laki-laki (16-18 tahun)
15.0
Remaja perempuan (16-18 tahun)
26.0
Dewasa laki-laki (19 tahun ke atas)
13.0
Dewasa perempuan (19 tahun ke atas)
26.0
Ibu hamil trimester 1
+0
Ibu hamil trimester 2
+9.0
Ibu hamil trimester 3
+13.0
Ibu menyusui
+6.0
Sumber: Djoko Kartono dan Moesjianti Soekatri dalam Soekirman et al ( 2004).

Hemoglobin (Hb)
Hemoglobin adalah protein yang kaya akan zat besi. Hemoglobin
berfungsi sebagai pembawa oksigen. Hemoglobin memiliki afinitas (daya
gabung)

kuat

dengan

O2

dan

dengan

oksigen

tersebut

membentuk

oxihemoglobin di dalam sel darah merah, maka oksigen bisa dibawa dari paruparu ke jaringan tubuh (Roosita, Uripi dan Nasoetion 2006). Ganong (2001)

8

mengatakan bahwa hemoglobin adalah molekul globuler yang dibentuk dari
empat subunit. Tiap-tiap subunit mengandung hem yang bergabung dengan
polipeptida. Hem adalah suatu derivat porfirin yang mengandung besi.
Polipeptida secara keseluruhan dinyatakan sebagai bagian globin dari molekul
hemoglobin.

Terdapat

dua

pasang

polipeptida

pada

tiap-tiap

molekul

hemoglobin, 2 subunit mengandung satu jenis polipeptida pada tiap-tiap molekul
hemoglobin, 2 subunit mengandung satu jenis polipetida dan 2 mengandung
polipetida lain. Menurut (Brody 1994), hemoglobin memiliki berat molekul 64500
dan tersusun atas empat sub unit. Dua sub unit disebut α-globin, dan dua lainnya
disebut β-globin. Masing-masing sub unit mengandung sebuah grup heme yang
dapat mengikat sebuah molekul oksigen. Atom besi yang terdapat dalam
kelompok heme tersebut harus dalam bentuk fero untuk mengikat oksigen. Kadar
hemoglobin (Hb) ± 15 g % (gram per dl darah).
Hemoglobin merupakan molekul protein di dalam sel darah merah yang
bergabung dengan oksigen dan karbon dioksida untuk diangkut melalui sistem
peredaran darah kedalam jaringan dalam tubuh. ion besi dalam bentuk Fe+2
dalam hemoglobin memberikan warna merah pada darah. Dalam keadaan
normal 100 ml darah mengandung 15 gram hemoglobin yang mampu
mengangkut 0.03 gram oksigen. Kadar hemoglobin normal dalam darah untuk
wanita usia subur adalah 12 g%. Cara penentuan kadar kadar hemoglobin yang
dianggap cukup teliti dan dianjurkan oleh International Communite for
Standarrization in Hematology (ICSH) adalah Cyanmethemoglobin (Sediaoetama
2000). Adapun batas normal kadar hemoglobin menurut WHO (2001) adalah
sebagai berikut :
Tabel 2 Batas Normal Kadar Hemoglobin (Hb)
Kelompok
Anak balita
Anak usia sekolah
Wanita dewasa
Laki-laki dewasa
Ibu hamil
Ibu menyusui
Sumber : WHO (2001)

Kadar Hb ( g% )
11 g%
12 g%
12 g%
13 g%
11 g%
12 g%

Gejala Anemia
Penderita anemia biasanya ditandai dengan penurunan nafsu makan,
sering mengeluh pusing, mata berkunang – kunang, kelopak mata pucat, bibir,
lidah, kulit dan telapak tangan pucat, mengalami lesu, lemah, letih, lelah, lalai,
memiliki sifat apatis, nafas pendek dan kuku mudah pecah. Namun terkadang

9

tidak ada tanda bila pasien mengalami anemia ringan. Gejala ini disebabkan
karena otak dan jantung mengalami kekurangan distribusi oksigen dari dalam
darah. Denyut jantung penderita anemia biasanya lebih cepat karena berusaha
mengkompensasi kekurangan oksigen dengan memompa darah lebih cepat.
Akibatnya kemampuan kerja dan kebugaran tubuh menurun. Jika kondisi ini
berlangsung lama, kerja jantung menjadi berat dan bisa menyebabkan gagal
jantung kongestif. Anemia zat besi juga bisa menyebabkan menurunya daya
tahan tubuh sehingga tubuh mudah terinfeksi (Arisman 2004).
Yatim (2003) mengatakan bahwa gejala umum anemia yang disebut juga
sebagai sindrom anemia dijumpai pada anemia defisiensi besi apabila kadar
hemoglobin turun dibawah 7-8 g/dl. Anemia bisa menyebabkan kelelahan,
kelemahan, kurang tenaga dan kepala terasa melayang. Jika anemia bertambah
berat, bisa menyebabkan stroke atau serangan jantung.
Faktor Risiko Anemia
Banyak faktor yang ikut mempengaruhi kejadian anemia, antara lain
pengetahuan tentang gizi yang kurang, konsumsi zat gizi yang kurang dari
kebutuhan, dan penyakit infeksi. Data dari beberapa penelitian menunjukkan
bahwa sepertiga dari remaja putri di Indonesia menderita anemia. Remaja putri
secara normal akan mengalami kehilangan darah melalui menstruasi setiap
bulan. Bersamaan dengan menstruasi akan dikeluarkan sejumlah zat besi yang
diperlukan untuk pembentukan hemoglobin. Oleh karena itu kebutuhan zat besi
untuk remaja wanita lebih banyak dibandingkan pria. Dilain pihak remaja putri
cenderung untuk membatasi asupan makanan karena mereka ingin memiliki
tubuh ideal. Hal ini merupakan salah satu penyebab prevalensi anemia cukup
tinggi pada remaja wanita. Keadaan seperti ini sebaiknya tidak terjadi, karena
masa remaja merupakan masa pertumbuhan yang membutuhkan zat-zat gizi
yang lebih tinggi (Depkes 1998).
Menurut Sediaoetama (2000), faktor risiko terjadinya anemia lebih besar
terjadi pada wanita dibandingkan dengan pria. Cadangan besi dalam tubuh
wanita lebih sedikit daripada pria, sedangkan kebutuhan dalam seharinya lebih
tinggi. Setiap harinya seorang wanita akan kehilangan sekitar 1-2 mg zat besi
melalui ekskresi secara normal. Pada saat menstruasi, kehilangan zat besi bisa
bertambah hingga 1 mg. Penyebab anemia bermacam – macam, Affandi (1990)
menyatakan bahwa menstruasi merupakan salah satu penyebab anemia.

10

Menstruasi merupakan suatu proses fisiologis yang dipengaruhi oleh banyak
faktor antara lain lingkungan, musim, dan tingginya tempat tinggal dari
permukaan laut. Faktor yang penting lainnya adalah faktor sosial misalnya status
perkawinan dan lamanya menstruasi ibu.
Anemia juga disebabkan karena perdarahan hebat, akut (mendadak),
kecelakaan, pembedahan, persalinan, pecah pembuluh darah, kronik (menahun),
perdarahan hidung, wasir (hemoroid), ulkus peptikum, kanker atau polip di
saluran pencernaan, tumor ginjal atau kandung kemih dan perdarahan
menstruasi yang sangat banyak (Depkes RI 2001). Kekurangan asupan bahan
makanan yang mengandung zat besi menyebabkan anemia gizi besi, gangguan
sumsum tulang mengakibatkan anemia aplastik. Pembentukan hemoglobin yang
tidak normal sehingga pada thalasemia mengakibatkan masa hidup sel darah
merah pendek hingga menyebabkan anemia.
Menurut Depkes (2003), penyebab anemia umumnya terjadi karena
perdarahan kronik. Gizi yang buruk atau gangguan penyerapan zat gizi oleh usus
juga dapat menyebabkan seseorang mengalami kekurangan darah. Adapun tiga
kemungkinan dasar penyebab anemia adalah penghancuran sel darah merah
yang berlebihan, kehilangan darah dan produksi sel darah merah yang tidak
optimal.
Zat Besi (Fe)
Zat besi (Fe) merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat di
dalam tubuh manusia dan hewan, yaitu sebanyak 3-5 gram di dalam tubuh
manusia dewasa. Pengelolaan besi dalam tubuh sangat efisien, kurang lebih
90% di daur ulang dan digunakan kembali setiap harinya. Sisanya dieksresi,
terutama lewat empedu. Konsumsi besi dalam makanan digunakan untuk
mempertahankan keseimbangan besi dalam tubuh. Masukan zat besi setiap hari
diperlukan untuk mengganti zat besi yang hilang melalui tinja, air kencing dan
kulit. Kehilangan basal ini kira-kira 14µg per kilogram berat badan per hari atau
hampir sama dengan 0,9 mg zat besi pada laki-laki dewasa dan 0,8 mg bagi
wanita dewasa, wanita usia subur, dan kehilangan zat besi melalui darah haid
(Anderson 2000).
Absorbsi zat besi banyak terjadi di usus halus dengan bantuan transferin.
Transferin mukosa yang dikeluarkan ke dalam empedu berperan sebagai alat
angkut protein yang bolak-balik membawa besi ke permukaan sel usus halus
untuk diikat oleh transferin reseptor dan kembali ke rongga saluran cerna untuk

11

mengangkut besi lain. Sebagian besar transferin darah membawa besi ke
sumsum tulang untuk digunakan membuat Hb, sebagai bagian sel darah merah.
Sisanya dibawa ke jaringan tubuh yang membutuhkan (Almastier 2004).
Bakta et al (2009) mengatakan bahwa, tubuh mendapatkan masukan besi
yang berasal dari makanan. Untuk memasukkan besi dari usus kedalam tubuh
diperlukan absorbsi besi. Absorbsi besi paling banyak terjadi pada bagian
proksimal duodenum disebabkan oleh pH dari asam lambung dan kepadatan
protein tertentu yang diperlukan dalam absorbsi besi pada epitel usus. Proses
absorbsi besi dibagi kedalam tiga fase :
Fase luminal : besi dalam makanan diolah dalam lambung kemudian siap
diserap di duodenum
Fase mucosal : proses penyerapan dalam mukosa usus yang merupakan
suatu proses aktif
Fase corporeal : meliputi proses transportasi besi dalam sirkulasi, utilisasi besi
oleh sel-sel yang memerlukan dan penyimpanan besi (storage) oleh tubuh.
Sumber utama dari besi adalah hati, sumber yang lain diantaranya tiram,
seafood, ginjal, jantung, daging, ayam dan ikan. Kacang-kacangan dan sayuran
merupakan sumber zat besi dari pangan nabati. Makanan lain yang mengandung
zat besi adalah kuning telur, buah-buahan kering, tepung dan sereal. Susu dan
hasil olahnya sama sekali tidak mengandung zat besi dan kandungan besi dalam
jagung juga sangat sedikit (Anderson 2000).
Palupi et al (2010) menyatakan bahwa kebutuhan zat besi remaja putri
dengan kisaran usia 15-25 tahun, menurut Angka Kecukupan Gizi orang
Indonesia (AKG 2005) adalah 26 mg. Untuk memelihara keseimbangan
hemoglobin dalam darah terdapat feritin dan hemosiderin sebagai tempat
penyimpanan zat besi. Apabila konsumsi zat besi dari bahan pangan tidak
cukup, maka zat besi dari feritin dan hemosiderin dimobilisasi untuk
mempertahankan hemoglobin dalam keadaan normal. Feritin dan hemosiderin
banyak ditemukan dalam organ hati, limfa dan sumsum tulang belakang.
Winarno (2002) mengatakan bahwa besi dalam makanan terdapat dalam
2 bentuk yaitu : besi heme, terdapat dalam daging dan ikan, tingkat absorbsinya
tinggi,

tidak

dihambat

oleh

bahan

penghambat

sehingga

mempunyai

bioavailabilitas tinggi. Bentuk kedua yaitu besi non-heme, berasal dari tumbuhtumbuhan, tingkat absorbsinya rendah, dipengaruhi oleh bahan pemacu atau
penghambat sehingga bioavailabilitasnya rendah. Fungsi zat besi bagi tubuh

12

antara lain : untuk metabolisme energi, kemampuan belajar, system kekebalan
serta pelarut obat-obatan. Adapun kandungan zat besi yang terkandung di dalam
beberapa bahan makanan antara lain dapat dilihat pada Tabel berikut :
Tabel 3 Kandungan zat besi dalam bahan makanan
Bahan Makanan
Hati
Daging sapi
Telur ayam
Kacang-kacangan
Tepung gandum
Ikan
Beras
Umbi-umbian
Buah-buahan
Susu sapi
Sumber : Winarno (2002)

Zat besi (mg/100g)
6.0 – 14.0
2.0 – 4.3
2.0 – 3.0
1.9 – 14.0
1.5 – 7.0
0.5 – 1.0
0.5 – 0.8
0.3 – 2.0
0.2 – 4.0
0.1 – 0.4

WHO tahun 2000 menganjurkan bahwa jumlah besi yang harus
dikonsumsi sebaiknya berdasarkan kehilangan besi dari dalam tubuh serta
jumlah bahan makanan hewani yang terdapat dalam menu kita. Jumlah besi
yang dikeluarkan tubuh sekitar 1,0 mg perhari. Untuk wanita masih ditambah 1,5
mg hilang karena menstruasi (Winarno 2002).
Remaja membutuhkan zat besi untuk menambah massa sel darah merah
dan pertumbuhan jaringan tubuh. Remaja mempunyai resiko untuk mengalami
defisiensi zat besi. Faktor yang sama penting dengan kandungan total zat besi di
dalam makanan adalah persediaan zat besi yang dimakan, yaitu daya serapnya.
Berapa banyak zat besi yang secara efektif diserap oleh tubuh sangat bervariasi,
tergantung banyak faktor diantaranya dipengaruhi oleh jumlah dan bentuk
kimianya, penyantapan bersama dengan faktor yang mempertinggi atau
menghambat penyerapannya dan status zat besi individu (DeMaeyer 1995).
Menurut Siswono (2001), zat besi dapat dibagi menjadi dua jenis, jika
ditinjau berdasarkan mekanisme penyerapannya. Dua jenis zat besi tersebut,
yaitu :
1. Heme Iron :
Heme iron merupakan zat besi yang terdapat di dalam hemoglobin dan
myoglobin. Sumber dari Heme Iron adalah daging-dagingan. Heme Iron diserap
sebagai iron phorpyrin complex yang dipecah oleh enzim heme oxygenase di
dalam sel mukosa usus. Senyawa ini akan meninggalkan sel mukosa dalam
bentuk kimia yang sama dengan non heme iron. Kandungan heme di dalam
heme iron dapat terdenaturasi oleh proses pemanasan pada suhu tinggi dan

13

waktu yang lama sehingga berpengaruh terhadap bioavailabilitas heme iron.
Bioavailabilitas heme iron tidak dipengaruhi oleh komposisi bahan makanan.
2. Non Heme Iron :
Senyawa ini secara alami terdapat di dalam daging, serealia, sayur dan buahbuahan. Bioavailabilitas non heme iron dipengaruhi oleh keberadaan senyawa
inhibitor (phythate, tannin, dll). Penyerapan non heme iron akan semakin
meningkat ketika kebutuhan tubuh akan zat besi juga semakin meningkat. Jika
suplai zat besi dari makanan telah habis terserap maka proses penyerapan zat
besi akan berhenti .
Kehilangan besi dalam tubuh dapat melalui berbagai cara, lewat
pendarahan, melalui feses, keringat serta pengelupasan kulit dan rambut. Besi
yang keluar lewat feses adalah besi yang tidak dapat diserap dari asupan
makanan dan hampir tiadak ada besi yang terbuang lewat urin. Rata-rata
kehilangan besi tiap harinya adalah sekitar 1% pada laki-laki dewasa atau kurang
1% pada wanita yang sudah tidak menstruasi. Sedang rata-rata kehilangan besi
pada wanita yang menstruasi sekitar 0.5 mg per hari (Anderson 2000).
Besi mempunyai beberapa fungsi esensial di dalam tubuh : sebagai alat
angkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh, sebagai alat angkut elektron di
dalam sel, dan sebagai bagian terpadu berbagai reaksi enzim di dalam jaringan
tubuh. Walaupun terdapat banyak didalam makanan, banyak penduduk dunia
mengalami kekurangan zat besi, termasuk di Indonesia. Kekurangan zat besi
berpengaruh terhadap produktivitas kerja, penampilan kognitif dan system
kekebalan (Almatsier 2004).
Depkes (2003) mengatakan bahwa fungsi zat besi adalah

sebagai

pigmen pengangkut oksigen dalam darah. Sementara oksigen diperlukan untuk
fungsi normal seluruh sel tubuh. Apabila darah kekurangan oksigen maka fungsi
sel-sel di seluruh tubuh bisa terganggu.
Selain itu, zat besi menurut Almatsier (2004) mempunyai fungsi diantaranya
adalah :
1. Metabolisme energi. Didalam tiap sel, besi bekerja sama dengan rantai
protein-pengangkut elektron, yang berperan dalam langkah – langkah akhir
metabolisme energi. Protein ini memindahkan hidrogen dan elektron yang
berasal dari zat gizi penghasil energi ke oksgen, sehingga membentuk air.
Dalam proses tersebut dihasilkan ATP. Sebagian besar besi berada di dalam
hemoglobin, yaitu molekul protein mengandung besi dari sel darah merah dan

14

mioglobin dalam otot. Hemoglobin di dalam darah membawa oksigen dari
paru – paru ke seluruh jaringan tubuh dan membawa kembali karbondioksida
dari seluruh sel ke paru – paru untuk dikeluarkan dari tubuh. Menurunnya
produktivitas kerja pada kekurangan besi disebabkan oleh dua hal yaitu
berkurangnya enzim – enzim mengandung besi dan besi sebagai kofaktor
enzim – enzim yang terlibat dalam metabolisme energi, kedua menurunnya
hemoglobin darah. Akibatnya, metabolisme energi di dalam otot terganggu
dan terjadi penumpukan asam laktat yang menyebabkan rasa lelah.
2. Kemampuan belajar. Penelitian – penelitian di Indonesia oleh Soemantri
(1985) dan Almatsier (1989) menunjukan peningkatan prestasi belajar pada
anak – anak sekolah dasar bila diberikan suplemen besi. Beberapa bagian
otak mempunyai kadar besi tinggi yang diperoleh dari transpor besi yang
dipengaruhi oleh reseptor transferin. Kadar besi dalam darah meningkat
selama pertumbuhan hingga remaja. Kadar besi otak yang kurang pada masa
pertumbuhan tidak dapat diganti setelah dewasa. Defisiensi besi berpengaruh
negatif terhadap fungsi otak, terutama terhadap fungsi sistem neurotransmitter
(pengantar saraf). Akibatnya, kepekaan reseptor saraf dopamin berkurang
yang dapat berakhir dengan hilangnya reseptor tersebut. Daya konsentrasi,
daya ingat, dan kemampuan belajar terganggu, ambang batas rasa sakit
meningkat, fungsi kelenjar tiroid dan kemampuan mengatur suhu tubuh
terganggu.
3. Sistem kekebalan. Besi memegang peranan dalam sistem kekebalan tubuh.
Respon kekebalan sel oleh limfosit-T terganggu karena berkurangnya
pembentukan sel – sel tersebut, yang kemungkinan disebabkan oleh
berkurangnya sintesis DNA. Berkurangnya sintesis DNA ini disebabkan oleh
gangguan enzim reduktase ribonokleotida yang membutuhkan besi untuk
dapat berfungsi.
4. Pelarut obat – obatan. Obat – obatan tidak larut air oleh enzim mengandung
besi dapat dilarutkan hingga dapat dikeluarkan oleh tubuh (Almatsier 2004).
Konsumsi Pangan
Konsumsi pangan adalah jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang
atau sekelompok orang dengan tujuan tertentu. Tujuan mengkonsumsi pangan
dalam aspek gizi adalah untuk memperoleh sejumlah zat gizi yang diperlukan
tubuh. Konsumsi pangan meliputi informasi mengenai jenis pangan dan jumlah

15

pangan yang dimakan seseorang atau sekelompok orang pada waktu tertentu
(Hardinsyah & Martianto 1988)
Menurut Suandi (2004), untuk pertumbuhan normal, tubuh memerlukan
gizi yang memadai, kecukupan energi, protein, lemak dan suplai semua nutrient
esensial yang menjadi basis pertumbuhan. Kebiasaan makan yang diperoleh
semasa remaja akan berdampak pada kesehatan dalam fase kehidupan
selanjutnya, setelah dewasa dan berusia lanjut. Path (2004) mengatakan bahwa,
agar menarche tidak menimbulkan keluhan-keluhan, sebaiknya remaja wanita
mengkonsumsi makanan dengan gizi seimbang, sehingga status gizinya baik.
Status gizi dikatakan baik apabila nutrisi yang diperlukan baik protein, lemak,
karbohidrat, mineral dan vitamin maupun air digunakan oleh tubuh sesuai
kebutuhan.
Tekanan fisik dan psikososial mempengaruhi kebiasaan makan remaja.
Remaja putra memiliki kebiasaan makan yang lebih baik daripada remaja putri.
Remaja putra cenderung memiliki nafsu makan besar dan kemampuan untuk
mengkonsumsi pangan dalam jumlah besar sehingga kebutuhan akan zat gizi
dapat terpenuhi. Kebiasaan makan yang buruk pada remaja putri dapat
disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor fisiologis dan tekanan sosial. Timbunan
lemak pada bagian tubuh tertentu dan aktivitas yang sedikit disebut sebagai
faktor fisiologis dan tekanan sosial. Kedua faktor tersebut memicu remaja putri
untuk melakukan diet yang buruk sehingga remaja putri sering mengalami kurang
gizi (Arisman 2004).
Menurut survey yang dilakukan oleh Hurlock (1997), remaja suka sekali
dengan jajanan snack. Jenis makanan ringan yang dikonsumsi adalah kue-kue
yang rasanya manis, pastry, serta permen. Sedangkan golongan sayuran dan
buah-buahan yang mengandung banyak vitamin C tidak popular atau jarang
dikonsumsi, sehingga dalam diet mereka rendah akan zat besi, vitamin C dan zat
gizi lainnya. Selain itu, hasil survei menunjukan bahwa remaja menyukai
minuman ringan, teh dan kopi yang frekuensinya lebih sering dibandingkan
minum susu.
Jelliffe and Jelliffe (1989) menyatakan bahwa paling tidak ada tiga faktor
yang mempengaruhi penggunaan makanan dalam tubuh, termasuk pencernaan
dan absorpsi (bioavailabilitas). Pertama, campuran makanan dalam usus yang
mungkin meningkatkan atau menghambat absorpsi. Kedua, dapat juga
berhubungan dengan tahap kehidupan secara fisiologis. Sebagai contoh, ketika

16

hamil, berbagai zat gzi, diabsorpsi lebih baik. Ketiga, genetik mempengaruhi
penggunaan makanan dan zat gzi secara individual. Beberapa faktor genetik
dimana batas penggunaan makanan oleh tubuh telah diketahui, seperti laktose
intolerance pada masa kanak-kanak biasanya nampak pengurangan produksi
laktase pada usus secara genetik.
Pangan yang dikonsumsi sangat mempengaruhi absorpsi zat besi di
dalam tubuh. Faktor yang berpengaruh pada absorbsi besi, yaitu faktor yang
mendorong dan menghambat penyerapan zat besi. Bila tubuh kekurangan besi
atau kebutuhannya meningkat pada masa pertumbuhan, absorbsi besi nonheme
dapat meningkat sampai sepuluh kali, sedangkan besi heme dua kali (Almastier
2004).
Konsumsi pangan hewani ataupun nabati sangat berpengaruh terhadap
kecukupan zat besi bagi tubuh. Pangan yang mengandung zat besi tinggi akan
sangat membantu terpenuhinya zat besi sehingga bila pangan tersebut
dikonsumsi bersamaan dengan pangan yang dapat membantu penyerapannya,
kebutuhan tubuh akan zat besi dapat terpenuhi secara optimal, sedangkan jika
pangan sumber zat besi dikonsumsi bersamaan dengan pangan yang dapat
menghambat penyerapan zat besi, maka kebutuhan tubuh akan zat besi tidak
akan terpenuhi secara optimal yang pada akhirnya dapat mengakibatkan
anemia. Pangan yang dapat membantu penyerapan zat besi yaitu : vitamin C,
makanan hasil fermentasi dan pangan hewani itu sendiri, sedangkan pangan
yang dapat menghambat penyerapan zat besi antara lain : makanan yang
mengandung tanin, fitat dan kalsium (Monsen et al 1978).
Konsumsi pangan dapat juga menjadi faktor penyebab terjadinya anemia.
Pangan yang dikonsumsi bila termasuk golongan protein hewani kaya akan zat
besi dan mampu memberikan kontribusi terhadap kebutuhan tubuh akan zat
besi. Bila pangan hewani dikonsumsi bersamaan dengan pangan yang mampu
membantu penyerapan zat besi secara optimal didalam tubuh maka tubuh tidak
akan mengalami kekurangan zat besi yang berdampak pada kejadian anemia.
Ketersediaan zat besi dalam suatu pangan (bioavailabilitas) berperan dalam
pemenuhan kebutuhan zat besi, Monsen et al (1978) mengatakan bahwa
penyerapan zat besi pada suatu pangan akan optimal bila dikonsumsi
bersamaan dengan pangan yang menjadi faktor pendorong penyerapan Fe.
Estimasi zat besi bagi perempuan di indonesia yang tersedia sekitar 3% jika

17

vitamin C yang dikonsumsi sebesar < 25 mg, 5% jika vitamin C yang dikonsumsi
sebesar 25-75 mg dan 8% jika vitamin C yang dikonsumsi sebesar >75 mg.
Anemia gizi dapat disebabkan oleh konsumsi zat besi yang tidak cukup
dan absorbsi zat besi yang rendah dan pola makan yang sebagian besar terdiri
dari nasi dan menu yang kurang beraneka ragam. Selain itu infestasi cacing
tambang memperberat keadaan anemia yang diderita pada daerah–daerah
tertentu terutama daerah pedesaan. Anemia gizi juga dipengaruhi oleh faktor–
faktor lain seperti sosial ekonomi, pendidikan, status gizi dan pola makan,
fasilitas kesehatan, pertumbuhan, daya tahan tubuh dan infeksi. Faktor- faktor
tersebut saling berkaitan (Husaini 1989).
Yatim (2003) mengatakan bahwa sebagian besar anemia disebabkan
karena kurangnya zat gizi yang dibutuhkan untuk sintesis eritrosit, terutama besi,
vitamin B12 dan asam folat. Sebab yang lain adalah karena adanya pendarahan,
kelainan genetik, penyakit kronis atau keracunan obat. Anemia karena tidak
terpenuhinya asupan dari besi, protein dan beberapa vitamin (B12, asam folat,
piridoksin dan asam askorbat), tembaga dan mineral yang lain disebut nutritional
anemias. Defisiensi besi, atau kekurangan zat besi, dapat menjadi salah satu
penyebab paling sering terjadi anemia.
Bioavailabilitas Besi
Kualitas zat besi dalam makanan atau dinamakan juga ketersediaan
biologi zat besi (bioavailabilitas) harus diperhatikan. Menurut FAO/WHO (2001),
bioavailabilitas zat besi dalam makanan sangat dipengaruhi oleh faktor
pendorong dan penghambat. Absorpsi zat besi bervariasi dapat berkisar antara
1-40 persen tergantung pada faktor pendorong dan penghambat dalam
makanan. Latunde & Nale (1986) mengatakan bahwa Bioavailabilitas zat besi
didefinisikan sebagai jumlah zat besi dari bahan pangan yang ditransfer dari
lumen usus ke dalam darah. Bioavailabilitas zat besi sangat terkait dengan
proses absorpsi zat besi dalam usus halus sehingga istilah bioavailibilitas zat
besi dapat disamakan dengan absorpsi dalam usus.
Menurut Muchtadi et al (1992), zat besi dalam bahan pangan
diklasifikasikan dalam dua kelompok yaitu heme dan non heme. Kecepatan
penyerapan zat besi heme oleh tubuh lebih tinggi dibandingkan zat besi non
heme. Namun demikian sebagian besar bahan pangan mengandung zat besi
non heme, oleh karena itu bentuk non heme menyumbang kebutuhan zat besi
tubuh dalam jumlah yang relatif lebih banyak.

18

Absorbsi besi sangat tergantung pada jumlah dalam bahan makanan
yang menghambat dan meningkatkan absorbsi, sehingga absorbsi besi dari
makanan

yang

dikonsumsi sehari-hari bervariasi antara

5-10%.

Untuk

masyarakat yang banyak mengkonsumsi bahan makanan yang berasal dari
hewani seperti di negara Eropa, Amerika serikat dan negara maju lainnya
absorbsi zat besi dari makanan yang di konsumsinya dapat berkisar antara 1020% sedangkan di negara-negara berkembang hanya berkisar antara 5-10% (
Almatsier 2004 ). Beberapa jenis bahan makanan memiliki persentase
penyerapan zat besi yang berbeda. Winarno (2002) menyatakan bahwa beras
memiliki persen penyerapan sebesar 1%, kedelai 6%, jagung 3%, ikan 11%, dan
hati 13%.
Monsen et al (1978) mengatakan bahwa, estimasi zat besi yang tersedia
dibagi menjadi tiga kategori yaitu dikatakan availabilitas rendah (low availability)
jika vitamin C yang dikonsumsi sebesar < 25 mg maka availability zat besinya
sebesar 3%, dikatakan availabilitas sedang (medium availability) jika vitamin C
yang dikonsumsi sebesar 25-75 mg maka availability zat besinya sebesar 5%
sedangkan dikatakan availabilitas tinggi (high availability) bila vitamin C yang
dikonsumsi > 75 mg maka availability zat besinya sebesar 8%.
Terdapat beberapa faktor pendorong dan penghambat penyerapan zat
besi di dalam tubuh yang berhubungan dengan ketersediaan zat besi secara
biologis (Palupi et al

2010). Menurut Latunde & Neale (1986), faktor yang

mempengaruhi ketersediaan biologis zat besi dapat dibagi ke dalam dua bagian,
yaitu faktor endogen (kondisi tubuh) dan faktor eksogen (zat makanan). Faktor
endogen yaitu : kebutuhan tubuh, dan sekresi saluran cerna. Faktor eksogen
meliputi berbagai komponen bahan pangan yang berinteraksi dalam pelepasan
zat besi, yaitu : kandungan zat besi bahan pangan, bentuk zat besi dalam bahan
pangan, faktor pendorong dan faktor penghambat absorpsi besi yang berasal
dari bahan makanan.
Almatsier (2004) mengatakan bahwa, banyak faktor yang berpengaruh
pada absorbsi besi, yaitu faktor yang mendorong dan menghambat penyerapan
zat besi. Faktor yang mendorong penyerapan zat besi antara lain asam askorbat,
konsumsi makanan sumber heme dan asam organik. Konsumsi pangan sumber
besi heme dan nonheme secara bersamaan akan membantu penyerapan besi
nonheme. Daging, ayam dan ikan sebagai sumber besi heme dapat membantu
penyerapan besi. Sedangkan asam fitat, asam oksalat dan tannin dapat

19

mengikat besi sehingga mempersulit penyerapannya. Kebutuhan tubuh akan
besi berpengaruh besar terhadap absorbsi besi. Bila tubuh kekurangan besi atau
kebutuhannya meningkat pada masa pertumbuhan, absorbsi besi nonheme
dapat meningkat sampai sepuluh kali, sedangkan besi heme dua kali.
Pendorong Penyerapan Fe
Pangan yang dikonsumsi oleh setiap individu memiliki kandungan gizi
yang berbeda, begitupun dengan vitamin dan mineral yang terdapat dalam
pangan tersebut. Dalam proses absorpsinya, zat besi dipengaruhi oleh faktor
pendorong penyerapan zat besi, faktor-faktor pendorong penyerapan zat besi
adalah asam askorbat dan suatu senyawa yang belum teridentifikasi namun
terdapat di dalam daging, ikan dan unggas. Selain itu asam-asam organik juga
dapat meningkatkan penyerapan zat besi, diantaranya adalah: asam malat,
sitrat, suksinat, laktat dan tartarat. Sebagai bahan pereduksi, asam askorbat
akan melindungi zat besi dari pembentukan feri-hidroksida yang bersifat tidak
larut. Selain itu juga dapat membentuk kelat Fe-askorbat yang bersifat tetap larut
meskipun terjadi peningkatan pH dalam sistem pencernaan usus halus (Palupi et
al 2010).
Pengaruh asam askorbat dalam memperkuat penyerapan zat besi hanya
terjadi apabila dikonsumsi bersama-sama dalam bahan pangan. Pemberian
asam askorbat 4-6 jam setelah mengonsumsi bahan pangan tidak akan
berpengaruh terhadap penyerapan zat besi. Sebaliknya, asam askorbat yang
dikonsumsi

bersama-sama

dalam

bahan

pangan

akan

meningkatkan

penyerapan sebesar 3-6 kali. Asam askorbat yang telah teroksidasi hampir tidak
berpengaruh dalam memperkuat penyerapan zat besi. Selain itu, terdapat faktor
dalam daging, ikan dan unggas (meat fish poultry (MFP) factor) yang dapat
meningkatkan penyerapan zat besi (Palupi et al 2010). Meat faktor berperan
dalam meningkatkan penyerapan zat besi bentuk heme maupun non heme
(Muchtadi et al 1992). Hal tersebut diduga karena faktor MFP akan bereaksi
dengan senyawa-senyawa yang dapat menghambat penyerapan zat besi, seperti
fitat dan ion-ion hidroksil (Palupi et al 2010).
Faktor yang berpengaruh terhadap bioavailabilitas zat besi :
1. Daging, ayam, ikan, dan makanan laut.
Daging-dagingan merupakan salah satu sumber zat besi (jenis heme iron dan
non heme iron). Disamping itu, daging-dagingan juga dapat meningkatkan
penyerapan zat besi di dalam tubuh ketika dikonsumsi bersamaan dengan

20

makanan yang mengandung senyawa inhibitor bagi zat besi. Mekanisme dari
peningkatan penyerapan zat besi karena daging-dagingan ini belum dapat
diketahui secara pasti.
2. Asam askorbat (sayur dan buah)
Asam askorbat dapat mereduksi ferri (Fe 3+) menjadi zat besi dalam bentuk
ferro (Fe2+) sehingga dapat lebih mudah melewati dinding mukosa usus.
Selain itu asam askorbat dapat mencegah terjadinya pengendapan senyawa
ferri compleks (misal : ferri hidroksida) di dalam usus, 25-75 mg asam
askorbat yang pertama kali dikonsumsi akan sangat berpengaruh terhadap
penyerapan zat besi (non heme iron).
3. Makanan terfermentasi
Makanan terfermentasi dapat meningkatkan penyerapan zat besi di dalam
tubuh, tetapi mekanismenya belum dapat diketahui secara pasti.
Faktor lain yang mendorong penyerapan zat besi antara lain asam
organik, tingkat keasaman lambung dan bentuk besi yang dikonsumsi. Makan
besi heme dan nonheme secara bersamaan akan membantu penyerapan besi
nonheme. Daging, ayam dan ikan sebagai sumber besi heme dapat membantu
penyerapan besi. WHO (2001) mengatakan bahwa faktor yang menjadi
pendorong penyerapan zat besi antara lain :
- Besi heme, terdapat dalam daging, unggas, ikan dan sea food
- Asam askorbat atau vitamin C, terdapat dalam buah-buahan
- Makanan fermentasi seperti asinan dan kecap
Sumber zat besi yang baik adalah makanan hewani seperti : daging,
ayam, ikan dan sumber lainnya seperti : telur, serealia tumbuk, kacangkacangan, sayuran hijau dan buah-buahan yang kaya akan vitamin C (Almatsier
2004).
Penghambat Penyerapan Fe
Senyawa-senyawa yang termasuk sebagai inhibitor penyerapan zat besi
antara lain: tanin, fitat, polifenol, oksalat dan serat pangan. Tanin yang banyak
terdapat di dalam teh merupakan inhibitor potensial karena dapat mengikat zat
besi secara kuat membentuk Fe-tanat yang bersifat tidak larut. Fitat pada kulit
serealia diketahui dapat menghambat penyerapan zat besi. Penghilangan fitat
dalam bahan pangan dapat meningkatkan penyerapan zat besi hingga 3 kali
(Palupi et al 2010).

21

Selain itu, serat pangan juga dapat menghalangi penyerapan zat besi
dengan beberapa mineral lainnya. Menurut Yuanita (2008) bahwa diet tinggi
serat pangan memberi efek fisilogis yang positif, namun juga menyebabkan
ketidaktersediaan mineral Fe terutama disebabkan karena kemampuan serat
pangan mengikat Fe. Afinitas pengikatan Fe dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain komponen bahan pangan, proses pengolahan dan pH medium.
Pengikatan mineral oleh serat pangan dapat terjadi melalui beberapa pola
interaksi yaitu adsorpsi permukaan, pertukaran kation dan pembentukan
senyawa kompleks. Meskipun demikian, efek serat pangan terhadap penyerapan
zat besi masih relatif kecil dibandingkan tanin dan fitat (Palupi et al 2010).
Menurut WHO (2001) faktor penghambat penyerapan zat besi antara lain :
- Fitat, terdapat dalam sekam dan butir serealia, tepung, kacang-kacangan
- Makanan dengan kandungan inositol tinggi
- Makanan yang mengandung tannin seperti ; teh, kopi, dan coklat.
- Kalsium, terutama dari susu dan produk susu.
Asam fitat, asam oksalat dan tannin dapat mengikat besi sehingga
mempersulit penyerapannya. Kebutuhan tubuh akan besi berpengaruh besar
terhadap absorbsi besi (Almatsier 2004). Siswono (2001) mengatakan bahwa
faktor lain yang menghambat penyerapan zat besi antara lain :
1. Phythate (inositol-hexa-phosphate)
Phythate secara alami terdapat dalam lapisan aleuron serealia, kacangkacangan, beans, dan legum. Senyawa ini merupakan inhibitor bagi
penyerapan zat besi. Phythate akan mengikat zat besi (non heme iron)
dengan perbandingan 0.6 : 2.17 (Fe : Phythate)
2. Senyawa phenol
Senyawa phenol biasa terdapat di dalam tanaman (teh, kopi, coklat, sayuran)
sebagai sistem pertahanan diri tanaman. Phenol yang memiliki tiga gugus
hidroksil akan mengikat besi bervalensi tiga membentuk chelat, sehingga
dapat mengurangi bioavailabilitas zat besi. Asam chlorogenat (kopi) dan asam
gallat merupakan contoh senyawa phenol yang dapat mengikat zat besi.
Oregano (rempah-rempah), yang digunakan dalam pembuatan pizza, dapat
menurunkan penyerapan zat besi sebanyak dua kali lipat.

22

Status Gizi
Menurut Supariasa (2001) Status gizi merupakan suatu ekspresi dari
keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu, atau perwujudan dari
nutriture dalam bentuk variabel tertentu. Status gizi seseorang dinilai melalui
proses pemeriksaan keadaan gizi seseorang dengan cara mengumpulkan data
individu. Data tersebut bersifat obyektif dan subyektif, untuk kemudian
dibandingkan dengan baku yang telah tersedia. Data obyektif dapat diperoleh
dari data pemeriksaan laboratorium perorangan serta sumber lain yang dapat
diukur oleh anggota tim penilai. Penilaian status gizi dilakukan sebagai indikator
untuk menentukan status gizi seseorang. Ada dua metode yang data dilakukan
yaitu secara langsung dan tidak langsung. Metoda secara lagsung diantaranya
dengan pengukuran antropometri, biokimia, biofisik dan klinik. Sedangkan tidak
langsung diantaranya adalah mengukur konsumsi makan, ekologi, berdasar
pada lingkungan, sosial ekonomi dan budaya, dan vital statistik.
Berat badan menggambarkan jumlah protein, lemak, air dan mineral pada
tulang. Pada remaja lemak tubuh cenderung meningkat dan protein otot
menurun. Berat badan menjadi pilihan utama karena :
mudah memperlihatkan perubahan dalam waktu singkat karena perubahanperubahan konsumsi makanan dan kesehatan.
memberikan gambaran status gizi sekarang dan jika dilakukan secara periodic
memberikan gambaran yang berkaitan dengan pertumbuhan.
merupakan pengukuran antropometri yang sering digunakan.
ketelitian pengukuran tidak banyak dipengaruhi oleh keterampilan pengukur.
Tinggi badan merupakan parameter yang penting bagi keadaan yang
telah lalu dan keadaan sekarang jika umur tidak diketahui dengan tepat. Tinggi
badan merupakan ukuran antropometri kedua yang terpenting (Supariasa 2001).
Pengukuran IMT merupakan salah satu metoda pengukuran antropometri yang
dapat dipakai dalam menentukan status gizi. IMT direkomendasikan sebagai
indikator yang baik untuk memantau status gizi, baik yang kekurangan berat
badan maupun yang kelebihan berat badan.
Menurut WHO (2007) pengukuran status gizi pada anak usia 5 hingga 19
tahun sudah tidak menggunakan indikator BB/TB akan tetapi menggunakan
indeks masa tubuh berdasarkan umur (IMT/U). Kategori status gizi berdasarkan
IMT/U dapat dilihat pada Tabel berikut ini.

23

Tabel 4 Kategori status gizi berdasarkan IMT/U
Variabel
-3 ≤ z ≤ -2
-2 ≤ z ≤ +1
+1 ≤ z ≤ +2
z > +2
Sumber : WHO (2007)

Kategori
Kurus
Normal
Gemuk
Obese

24

KERANGKA PEMIKIRAN
Karakteristik contoh yang meliputi usia, BB, TB, dan besar uang saku
akan sangat mempengaruhi konsumsi pangan atau kebiasaan makan. Semakin
besar uang saku yang didapatkan maka akan semakin bervariasi makanan yang
dikonsumsi. Kebiasaan makan yang terbentuk dengan baik akan mempengaruhi
konsumsi pangan dan jenis asupan zat gizi yang dikonsumsi terutama bagi
pemenuhan zat gizi besi. Pangan yang dikonsumsi memiliki beraneka ragam
karakteristik antara lain pan

Dokumen yang terkait

Pengetahuan dan Sikap Remaja Puteri tentang Anemia Defisiensi Besi di SMA Negeri 15 Medan

8 114 101

Pengetahuan,Dan Sikap Remaja Putri Tentang Anemia Defisiensi Besi dan Dampaknya Terhadap Kesehatan Reproduksi di MAL IAIN SU Medan Tahun 2010

3 40 63

Hubungan antara Bioavailabilitas Intake Zat Besi dengan Status Anemia Remaja di Yogyakarta dan Padang.

0 4 37

HUBUNGAN TINGKAT KONSUMSI ZAT BESI DAN POLA MENSTRUASI DENGAN KEJADIAN ANEMIA PADA REMAJA PUTRI Hubungan Tingkat Konsumsi Zat Besi Dan Pola Menstruasi Dengan Kejadian Anemia Pada Remaja Putri Di Smp Kristen 1 Surakarta.

0 2 16

HUBUNGAN TINGKAT KONSUMSI ZAT BESI DAN POLA MENSTRUASI DENGAN KEJADIAN ANEMIA PADA REMAJA PUTRI Hubungan Tingkat Konsumsi Zat Besi Dan Pola Menstruasi Dengan Kejadian Anemia Pada Remaja Putri Di Smp Kristen 1 Surakarta.

0 2 17

PERBEDAAN TINGKAT KONSUMSI PROTEIN, VITAMIN C, BESI DAN SENG PADA REMAJA PUTRI DENGAN ANEMIA DAN TIDAK ANEMIA DI ASRAMA Perbedaan Tingkat Konsumsi Protein,Vitamin C, Besi, dan Seng Pada Remaja Putri yang Anemia dan Tidak Anemia di Asrama SMA MTA Surakar

0 1 13

PENDAHULUAN Perbedaan Tingkat Konsumsi Protein,Vitamin C, Besi, dan Seng Pada Remaja Putri yang Anemia dan Tidak Anemia di Asrama SMA MTA Surakarta.

0 1 6

PERBEDAAPADA REM Perbedaan Tingkat Konsumsi Protein,Vitamin C, Besi, dan Seng Pada Remaja Putri yang Anemia dan Tidak Anemia di Asrama SMA MTA Surakarta.

0 2 14

Hubungan Anemia Defisiensi Besi dengan Insomnia pada Remaja Putri.

0 1 12

ANALISIS POLA MAKAN DAN ANEMIA GIZI BESI PADA REMAJA PUTRI KOTA BENGKULU

0 0 8