Perkembangan Embrio Ikan Zebra (Danio Rerio) Setelah Paparan Ekstrak Etanol Temu Lawak (Curcuma Xanthorrhiza) Dan Temu Putih (Curcuma Zedoaria).

PERKEMBANGAN EMBRIO IKAN ZEBRA (Danio rerio)
SETELAH PAPARAN EKSTRAK ETANOL TEMU LAWAK
(Curcuma xanthorrhiza) DAN TEMU PUTIH (Curcuma zedoaria)

NURSELA SOFYANTI MIRZA ARYANI

FAKULTAS KEDOKTERAN
PERNYATAAN
MENGENAIHEWAN
SKRIPSI DAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK
BOGOR
CIPTA
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perkembangan
Embrio Ikan Zebra (Danio rerio) setelah Paparan Ekstrak Etanol Temu
Lawak (Curcuma xanthorrhiza) dan Temu Putih (Curcuma zedoaria) adalah

benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, September 2015
Nursela Sofyanti Mirza Aryani
NIM B04110167

ABSTRAK
NURSELA SOFYANTI MIRZA ARYANI. Perkembangan Embrio Ikan
Zebra (Danio rerio) setelah Paparan Ekstrak Etanol Temu Lawak
(Curcuma xanthorrhiza) dan Temu Putih (Curcuma zedoaria). Dibimbing
oleh KUSDIANTORO MOHAMAD dan GUSTINI SYAHBIRIN.
Temu lawak dan temu putih merupakan obat tradisional yang telah
digunakan secara turun-temurun. Kedua tanaman ini telah dilaporkan
bersifat toksik pada embrio ikan zebra. Penelitian ini bertujuan untuk
mempelajari perkembangan embrio ikan zebra setelah paparan ekstrak

temu lawak, temu putih, dan campurannya. Nilai LC50 ekstrak etanol temu
lawak, temu putih, dan campurannya berturut-turut adalah 16.9, 112.1, dan
82.9 ppm. Ekstrak temu lawak menyebabkan penghambatan proses
menetas pada embrio ikan zebra, sebaliknya ekstrak temu putih tidak
menunjukkan efek penghambatan tersebut. Malformasi mayor yang terjadi
pada embrio ikan zebra akibat paparan ekstrak temu lawak adalah edema
perikardium, koagulasi darah, notokorda, dan edema kantong kuning telur;
akibat paparan temu putih adalah edema perikardium dan koagulasi darah;
serta akibat paparan campuran keduanya adalah edema perikardium,
koagulasi darah, dan sirkulasi darah. Ekstrak temu putih memiliki sifat
antagonis terhadap ekstrak temu lawak, yaitu mampu menghilangkan efek
penghambatan proses menetas serta menurunkan kelainan pada notokorda
dan kantong kuning telur.
Kata kunci: abnormalitas, embrio ikan zebra, LC50, temu lawak, temu putih

ABSTRACT
NURSELA SOFYANTI MIRZA ARYANI. The Development of Zebrafish
(Danio rerio) Embryo after Exposure of Ethanol Extract of Temu Lawak
(Curcuma xanthorrhiza) and Temu Putih (Curcuma zedoaria). Supervised
by KUSDIANTORO MOHAMAD and GUSTINI SYAHBIRIN.

Curcuma xanthorrhiza and Curcuma zedoaria have been
traditionally used as herb medicine since long time ago. The herb has been
reported proviously having toxic effect to zebrafish embryo. The purpose
of this research was to examine the development of zebrafish embryo after
exposure to ethanol extract of C. xanthorrhiza, C. zedoaria, and their
mixture. The values of LC50 for the ethanol extract of C. xanthorrhiza, C.
zedoaria, and their mixture were 16.9, 112.1, 82.9 ppm, respectively. The
extract of C. xanthorrhiza could block the hatching of zebrafish embryos,
but the extract of C. zedoaria couldn’t. Mayor malformation on zebrafish
embryo caused by extract of C. xanthorrhiza were pericardial oedema,
blood coagulation, notochord, and yolk sac oedema; that caused by extract
of C. zedoaria were pericardial oedema and blood coagulation; and that

caused by their mixture were pericardial oedema, blood coagulation, and
circulation. The extract of C. zedoaria had antagonist effect to C.
xanthorrhiza, i.e eliminating the effect of hatching block and decreasing
malformation of notochord and yolk sac oedema.
Key words: abnormality, Curcuma xanthorrhiza, Curcuma zedoaria, LC50,
zebrafish embryo


PERKEMBANGAN EMBRIO IKAN ZEBRA (Danio rerio)
SETELAH PAPARAN EKSTRAK ETANOL TEMU LAWAK
(Curcuma xanthorrhiza) DAN TEMU PUTIH (Curcuma zedoaria)

NURSELA SOFYANTI MIRZA ARYANI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas
berkah dan limpahan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul Perkembangan Embrio Ikan Zebra (Danio rerio) setelah Paparan
Ekstrak Etanol Temu Lawak (Curcuma xanthorrhiza) dan Temu Putih
(Curcuma zedoaria). Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Embriologi,
Bagian Anatomi Histologi dan Embriologi, Departemen Anatomi Fisiologi
dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan IPB dan Laboratorium
Kimia Organik, Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam IPB pada bulan Januari hingga Agustus 2015.
Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada
Bapak Drh Kusdiantoro Mohamad, MSi, PAVet dan Dr Gustini Syahbirin,
MS sebagai dosen pembimbing yang telah membantu, memberikan arahan
dan nasihat dalam penelitian; kedua orang tua dan keluarga yang selalu
memberikan dukungan dan doa; serta Drh Wahono Esthi Prasetyaningtyas,
MSi sebagai dosen pembimbing akademik yang turut memberikan
dukungan. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Pak Wahyu, Pak
Sobur, Kak Kur, Kak Yugo, Kak Nuy dan Tri yang telah banyak
membantu penelitian ini. Ucapan terima kasih juga untuk Tengku Richo
Saputra Rahardiansyah dan Tengku Risca Novi Itzyanti yang selalu
memberikan semangat, dukungan dan doanya; serta teman-teman Dian,
Purnama, Jeti, Yuni, Sari, Zahra, Cindi dan Hasna yang selalu memberikan
dukungan dan semangat.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2015
Nursela Sofyanti Mirza Aryani

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI

xi

DAFTAR TABEL

xii

DAFTAR GAMBAR

xii

DAFTAR LAMPIRAN


xii

PENDAHULUAN
Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

2

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2

Waktu dan Tempat Penelitian


3

MATERI dan METODE
Alat dan Bahan

3

Preparasi Ekstrak

3

Preparasi Embrio Ikan Zebra

4

Waktu Pengamatan dan Analisis Data

5


HASIL DAN PEMBAHASAN
Toksisitas Temu Lawak, Temu Putih, dan Campurannya

6

Abnormalitas Embrio Ikan Zebra setelah Paparan Ekstrak Temu Lawak, Temu
Putih, dan Campurannya
9
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan

13

Saran

14

DAFTAR PUSTAKA

14


LAMPIRAN

17

RIWAYAT HIDUP

21

DAFTAR TABEL
1 Konsentrasi ekstrak temu lawak, temu putih, dan campurannya
2 Jenis abnormalitas embrio ikan zebra yang diamati
3 Nilai LC50 ekstrak temu lawak, temu putih, dan campurannya
4 Jenis abnormalitas embrio ikan zebra setelah paparan ekstrak temu lawak,
temu putih, dan campurannya

3
5
6
11


DAFTAR GAMBAR
1 Cawan petri 24 sumur yang digunakan pada penelitian
2 Diagram alir seleksi embrio
3 Hubungan jumlah kematian embrio ikan zebra dengan konsentrasi dan waktu
paparan ekstrak
4 Perbandingan embrio ikan zebra yang hidup dan menetas setelah paparan
ekstrak
5 Tingkat abnormalitas embrio ikan zebra setelah paparan ekstrak
6 Jenis abnormalitas pada embrio ikan zebra yang disebabkan oleh ekstrak
temu lawak, temu putih, dan campurannya.

4
5
7
9
10
12

DAFTAR LAMPIRAN
1 Data persentase hidup, mati, dan menetas embrio ikan zebra setelah paparan
ekstrak temu lawak, temu putih, dan campurannya.
17
2 Perhitungan LC50 ekstrak temu lawak, temu putih, dan campurannya
18
3 Data persentase abnormalitas embrio ikan zebra setelah paparan ekstrak
temu lawak, temu putih, dan campurannya
20

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Temu lawak dan temu putih termasuk jenis temu-temuan yang sering
digunakan sebagai obat tradisional dan digunakan secara turun-temurun oleh
masyarakat. Obat tradisional menjadi pilihan masyarakat karena harganya yang
lebih murah, mudah didapat, dan dianggap memiliki efek samping yang lebih
kecil dibandingkan dengan obat modern. Menurut BPOM (2005) temu lawak
memiliki tujuh khasiat, yaitu memperbaiki nafsu makan, memperbaiki fungsi
pencernaan, memelihara fungsi hati, mengurangi nyeri sendi, dan tulang,
menurunkan lemak darah, sebagai antioksidan, dan membantu menghambat
penggumpalan darah. Temu lawak mengandung kurkuminoid seperti kurkumin,
demetoksikurkumin, dan bisdemetoksikurkumin (Mangunwardoyo et al. 2012).
Handayani (2008) melaporkan bahwa pemberian temu lawak pada kultur sel
tumor hati dapat mempercepat proses apoptosis pada sel tumor.
Temu putih digunakan sebagai ramuan obat tradisional baik dalam bentuk
campuran maupun dalam bentuk tunggal. Tanaman ini digunakan sebagai obat
gangguan perut seperti mual, sakit perut, dan diare. Kandungan kimia yang
terdapat dalam rimpang dan daun temu putih adalah kurkumin, zedoarin, gum,
resin, pati, saponin, flavanoid, polifenol, serta minyak atsiri seperti cineol,
camphene, zingiberene, borneol, dan camphor. Temu putih dapat juga digunakan
sebagai antikanker, antibakteri, antitrombin, antifungal, antioksidan, dan
hepatoprotektif (Siswanti et al. 2003). Menurut penelitian Murwanti et al. (2004)
pemberian ekstrak etanol temu putih mampu menekan pertumbuhan sel tumor
paru-paru.
Kurkumin yang dimiliki oleh temu lawak dan temu putih berfungsi
sebagai antikanker. Menurut Nurrochmad (2004) terdapat beberapa mekanisme
kurkumin sebagai antikanker, yaitu kurkumin sebagai antioksidan dan penangkal
radikal bebas sehingga menghambat proses karsinogen, serta kurkumin mampu
mempercepat proses apoptosis (kematian sel yang terprogram), dan menghambat
pembelahan sel (antiproliferasi). Antiproliferasi sel akan berpengaruh pada sel
kanker yang selalu memperbanyak diri atau mengalami pembelahan sel secara
tidak terkontrol.
Penelitian mengenai campuran ekstrak temu lawak dan temu putih sudah
dilakukan oleh peneliti sebelumnya meskipun tidak dilakukan pada embrio ikan
zebra. Golla et al. (2014) melaporkan bahwa campuran temu lawak dan temu
putih pada ransum ayam broiler tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata
terhadap persentase karkas, lemak abdomen, dan hati. Kaselung et al. (2014)
melaporkan bahwa penambahan rimpang kunyit, temu lawak, dan temu putih pada
ransum burung puyuh belum bisa meningkatkan konsumsi ransum, produksi telur,
dan menekan konversi ransum.
Ikan zebra merupakan salah satu hewan yang sering digunakan sebagai
model dalam penelitian biomedis. Ikan zebra memiliki beberapa keuntungan
sebagai hewan coba, yaitu memiliki telur 200-300 butir/minggu, embrio
berkembang di luar tubuh sehingga lebih mudah diamati, embrio bersifat
transparan sehingga bisa dilihat organ yang terbentuk dengan jelas, perkembangan

2

embrio tidak membutuhkan waktu yang lama sehingga menghemat waktu dalam
penelitian, serta mudah dipelihara sehingga membutuhkan biaya yang lebih
murah. Meskipun demikian ikan zebra memiliki beberapa kekurangan jika
digunakan sebagai model untuk hewan mamalia, diantaranya tidak memiliki
beberapa organ yang dimiliki oleh hewan mamalia seperti paru-paru dan kelenjar
ambing (Santoriello dan Zon 2012).
Nurfadilawati (2015) melaporkan bahwa embrio ikan zebra yang dipaparkan
dengan ekstrak etanol temu lawak akan memperlihatkan efek teratogenik berupa
malformasi pada jantung, sumbu tubuh, ekor, pigmentasi, somit, dan kantong
kuning telur serta menghambat proses menetas (hatching). Aditianingrum (2015)
melaporkan bahwa paparan ekstrak etanol temu putih pada embrio ikan zebra
dengan dosis rendah memiliki efek stimulan yaitu mempercepat proses menetas,
tetapi ekstrak temu putih juga memiliki efek toksik dimana pada dosis tinggi
menyebabkan malformasi pada otak, mata, sumbu tubuh, ekor, sirkulasi,
gelembung pendengaran, jantung, rahang, dan kantong kuning telur. Melanjutkan
penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Nurfadilawati (2015) dan
Aditianingrum (2015) maka diperlukan pengujian lebih lanjut untuk mengetahui
pengaruh campuran dari kedua ekstrak terhadap perkembangan embrio ikan zebra.
Campuran kedua ekstrak diduga dapat memberikan efek sinergis atau antagonis
terhadap perkembangan embrio ikan zebra. Hal inilah yang menjadi latar belakang
penelitian ini untuk melihat pengaruh paparan ekstrak temu lawak yang
menghambat proses menetas dan temu putih yang mempercepat proses menetas
pada embrio ikan zebra serta pengaruh campuran kedua ekstrak terhadap
perkembangan embrio ikan zebra.
Perumusan Masalah
Temu lawak dan temu putih memiliki bahan aktif kurkumin yang telah
diteliti sebagai obat antikanker. Kurkumin sebagai antikanker memiliki beberapa
mekanisme yaitu sebagai antioksidan, mempercepat proses apoptosis, dan
menghambat pembelahan sel. Embrio adalah sel yang aktif membelah. Jika
embrio dipaparkan dengan ekstrak temu lawak dan temu putih, maka diduga akan
terjadi gangguan terhadap perkembangan embrio ikan zebra.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari perkembangan embrio ikan zebra
setelah paparan ekstrak temu lawak, temu putih, dan campurannya; serta
mengetahui organ target dan kelainan utama yang disebabkan oleh paparan
ekstrak tersebut.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan pengetahuan tambahan
mengenai khasiat temu lawak dan temu putih yang biasa digunakan sebagai obat
tradisional, serta kemungkinan potensinya sebagai kandidat obat antikanker.

3

Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan dari bulan Januari sampai Agustus 2015 di
Laboratorium Embriologi, Bagian Anatomi Histologi dan Embriologi,
Departemen Anatomi Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan
IPB dan Laboratorium Kimia Organik, Departemen Kimia, Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam IPB.

MATERI DAN METODE
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada penelitian ini meliputi cawan petri 24 sumur,
spoit 10 mL, aquades, mikroskop stereo, cawan petri 30 mm, pipet mikro 100 µL
dan 1000 µL, aerator, filter berpori 0.45 µm, sonikator, timbangan analitik, batang
pengaduk, gelas ukur, sudip, kaca arloji, kertas saring, oven, dan labu ukur 50 mL.
Bahan-bahan yang digunakan adalah telur ikan zebra yang telah difertilisasi
(embrio) yang dibeli dari petani ikan di Cibinong, air yang sudah diaerasi, DMSO
(dimetil sulfoksida), ekstrak etanol (80%) dari rimpang temu lawak dan rimpang
temu putih yang didapat dari penelitian sebelumnya (Nurfadilawati 2015,
Aditianingrum 2015).
Preparasi Ekstrak
Ekstrak etanol temu lawak dan temu putih diperoleh dari penelitian
sebelumnya (Nurfadilawati 2015, Aditianingrum 2015). Ekstrak etanol dilarutkan
dengan air (air sumur: milliQ= 3:1) yang telah difilter, diaerasi dan ditambahkan
DMSO sebanyak 20µL/100mL pada larutan ekstrak untuk mempermudah proses
pelarutan. Larutan ekstrak disonikasi (20 menit pada suhu 40 oC) sampai semua
bahan larut. Larutan temu lawak, temu putih, dan campurannya dibuat dengan
konsentrasi seperti pada Tabel 1. Konsentrasi larutan campuran dari kedua bahan
tersebut dibuat dengan perbandingan 1:6 yang diperoleh berdasarkan
perbandingan LC50 dari masing-masing ekstrak tunggal.
Tabel 1 Konsentrasi ekstrak temu lawak, temu putih, dan campurannya.
Temu lawak (X)
Temu putih (Z)
Campuran (M)
Kode Konsentrasi
Kode Konsentrasi
Kode Konsentrasi
X1
10 ppm
Z1
40 ppm
M1
2.5 ppm X + 15 ppm Z
X2
20 ppm
Z2
80 ppm
M2
5 ppm X + 30 ppm Z
X3
30 ppm
Z3
120 ppm
M3
10 ppm X + 60 ppm Z
X4
40 ppm
Z4
160 ppm
M4
15 ppm X + 90 ppm Z
X5
50 ppm
Z5
200 ppm
M5
20 ppm X + 120 ppm Z

4

Ekstrak dilarutkan dengan konsentrasi tertentu, difilter dan dimasukkan ke
dalam cawan petri 24 sumur. Setiap cawan petri 24 sumur terdapat 4 sumur
kontrol internal yang berisi air yang telah difilter, dan 20 sumur yang berisi
larutan ektrak dengan konsentrasi tertentu, masing-masing sebanyak 2 mL
(Gambar 1). Secara keseluruhan penelitian menggunakan 17 cawan petri 24
sumur, terdiri dari 5 cawan petri untuk ekstrak temu lawak, 5 cawan petri untuk
ekstrak temu putih, 5 cawan petri untuk ekstrak campuran, serta ditambah satu
cawan petri untuk kontrol negatif, dan satu cawan petri sebagai kontrol pelarut
(DMSO).

Gambar 1 Cawan petri 24 sumur, 1: larutan dengan konsentrasi yang diuji, iC:
kontrol internal yang digunakan pada penelitian
Preparasi Embrio Ikan Zebra
Embrio ikan zebra dibeli dari petani ikan di Cibinong Bogor. Embrio ikan
dimasukkan ke dalam gelas piala yang berisi air yang telah diaerasi selama 12 jam
dan difilter. Embrio yang fertil dikumpulkan dalam cawan petri untuk
pemeriksaan fertilitas. Fertilitas embrio dilihat dengan menggunakan mikroskop,
yaitu embrio yang fertil memiliki warna transparan, kantong amnion utuh, dan
perkembangan embrio yang normal. Jumlah embrio yang dikoleksi untuk
keperluan seleksi adalah dua kali lipat dari jumlah embrio yang akan digunakan.
Total embrio yang digunakan sebanyak 17 cawan petri x 24 sumur x 1 embrio =
408 embrio.
Embrio hasil seleksi dicuci dengan cara memindahkan embrio dari satu
cawan petri ke cawan petri yang lain, masing-masing sebanyak tiga kali. Embrio
yang telah diseleksi selanjutnya diambil dengan menggunakan pipet mikro dan
ditempatkan satu embrio untuk setiap sumur. Embrio diinkubasi pada suhu
ruangan ± 26 oC. Keseluruhan prosedur seleksi embrio untuk penelitian dilakukan
seperti pada Gambar 2.

5

Gambar 2 Diagram alir seleksi embrio (modifikasi dari OECD 2013)
Waktu Pengamatan dan Analisis Data
Pengamatan dilakukan pada 24 jam, 48 jam, 72 jam, dan 96 jam setelah
pemaparan. Pengamatan dilakukan terhadap kematian dan abnormalitas yang
terjadi pada embrio. Data kematian dianalisis dengan menggunakan probit untuk
memperoleh nilai LC50 (lethal concentration 50). Data abnormalitas dianalisis
secara deskriptif dengan jenis data abnormalitas yang diamati seperti pada Tabel
2. Abnormalitas mayor ditentukan oleh persentase abnormalitas yang sama
dengan atau lebih besar dari 50%.
Tabel 2 Jenis abnormalitas embrio ikan zebra yang diamati.
Bagian/Organ tubuh
Jenis Abnormalitas
Sumbu tubuh
Bengkok, skoliosis, lordosis
Ekor
Kelainan pada ujung ekor, bengkok
Pigmentasi
Kekurangan, berlebihan
Otak
kelainan bentuk, nekrosa
Rahang
Tidak terbentuk, kelainan bentuk
Mata
Lebih besar, lebih kecil
Gelembung pendengaran
Kelainan bentuk, tidak terbentuk
Jantung
Edema pericardial
Darah
Koagulasi
Sirkulasi darah
Tidak ada aliran darah
Somit
Tidak terbentuk, kelainan bentuk
Notokorda
Kelainan bentuk
Kantung kuning telur
Edema, membesar, bentuk

6

HASIL DAN PEMBAHASAN
Toksisitas Temu Lawak, Temu Putih dan Campurannya
Nilai LC50 adalah konsentrasi suatu bahan yang menyebabkan kematian
minimal 50% pada hewan coba. Perhitungan LC50 menggunakan probit dari data
kematian 96 jam setelah fertilisasi. Nilai LC50 temu lawak pada penelitian ini
sebesar 16.91 ppm dan temu putih 112.1 ppm (Tabel 3). Hasil LC50 temu lawak
dan temu putih menggunakan embrio ikan zebra tidak berbeda dengan penelitian
sebelumnya yang menggunakan larva udang atau uji BSLT (brine shrimp lethality
test). Prasetyorini et al. (2011) menyatakan bahwa LC50 temu lawak dengan
menggunakan uji BSLT adalah 14.87 ppm, sedangkan LC50 temu putih
berdasarkan penelitian Akter et al. (2012) dengan menggunakan BSLT adalah
145.87 ppm.
Nilai LC50 temu lawak dan temu putih penelitian berbeda dengan yang
dilaporkan sebelumnya oleh Nurfadilawati (2015) dan Aditianingrum (2015)
meskipun bahan ekstrak dan jenis uji yang digunakan sama. Nurfadilawati (2015)
dan Aditianingrum (2015) melaporkan nilai LC50 ekstrak etanol temu lawak dan
temu putih pada waktu 96 jam setelah fertilisasi masing-masing adalah 94.32 ppm
dan 215.21 ppm. Nilai LC50 yang didapatkan disini lebih rendah yang berarti lebih
toksik. Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh perbedaan cara melarutkan
ekstrak. Penelitian ini menggunakan sonikator untuk melarutkan ekstrak. Menurut
Delmifiana dan Astuti (2013) penggunaan sonikasi dalam melarutkan bahan
mampu memperkecil ukuran partikel dan mencegah penggumpalan. Semakin
kecilnya ukuran partikel akan membuat kelarutan ekstrak semakin tinggi.
Nilai LC50 yang didapatkan dari campuran kedua ekstrak tersebut adalah
82.91 ppm. Nilai LC50 dari larutan campuran berada di antara nilai LC50 dari
ektstrak temu lawak dan temu putih secara sendiri-sendiri (Tabel 3). Nilai LC50
tersebut berasal dari campuran ekstrak pada konsentrasi M4 yaitu campuran temu
lawak 15 ppm dan temu putih 90 ppm. Konsentrasi ini lebih rendah dari
konsentrasi LC50 tunggal dari masing-masing bahan tersebut. Rendahnya
konsentrasi campuran mengindikasikan bahwa kedua ekstrak tersebut memiliki
efek sinergis, dimana jika digabungkan toksisitasnya akan meningkat atau dengan
kata lain nilai LC50 akan menurun. Nilai LC50 yang kurang dari 1000 ppm
menunjukkan bahwa kedua ekstrak dan campurannnya bersifat toksik
(Prasetyorini et al. 2011) dan berpotensi sebagai antikanker (Sukmarianti et al.
2013). Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang melaporkan bahwa temu
lawak dan temu putih memiliki potensi sebagai obat antikanker (Itokawa et al.
2008, Lakshmi et al. 2010).
Tabel 3 Nilai LC50 ekstrak temu lawak, temu putih dan campurannya
LC50
Selang kepercayaan (R2)
Ekstrak
16.9
0.98
Temu lawak
112.1
0.91
Temu putih
82.9
0.94
Campuran (1:6)

7

Semakin toksik suatu bahan maka semakin kecil konsentrasi yang
diperlukan untuk mematikan hewan coba. Temu lawak, temu putih, dan
campurannya telah menyebabkan kematian embrio. Berdasarkan hasil penelitian
yang ditunjukkan pada Gambar 3 diperlihatkan bahwa konsentrasi, waktu
paparan, dan kematian embrio berbanding lurus. Peningkatan konsentrasi
menyebabkan peningkatan kematian embrio; begitu juga dengan waktu paparan,
dimana semakin lama waktu paparan semakin banyak embrio yang mati. Lama
paparan ekstrak terhadap embrio menyebabkan embrio menyerap ekstrak lebih
banyak dan menyebabkan toksik bagi tubuh dan akhirnya menyebabkan kematian.
Berdasarkan hasil penelitian yang ditunjukkan pada Gambar 3
diperlihatkan bahwa pada waktu paparan 24 jam pada ekstrak temu lawak
(Gambar 3A) tidak menyebabkan kematian embrio kecuali pada konsentrasi
tertinggi yaitu X5 (50 ppm). Kematian embrio ≥ 50% terjadi pada konsentrasi X2
(20 ppm) pada waktu 96 jam dan konsentrasi X3 (30 ppm) pada waktu 72 jam,
sedangkan untuk konsentrasi X4 (40 ppm) dan X5 (50 ppm) embrio telah
mengalami kematian ≥ 50% sejak waktu paparan 48 jam. Ekstrak temu putih
(Gambar 3B) menyebabkan kematian embrio ≥ 50% pada konsentrasi Z4 (160
ppm) dan Z5 (200 ppm) pada waktu 48 jam. Kematian embrio ≥ 50% pada larutan
campuran (Gambar 3C) terjadi pada konsentrasi M4 yaitu 15 ppm temu lawak dan
90 ppm temu putih pada waktu 96 jam, sedangkan pada konsentrasi M5 (20 ppm
temu lawak dan 120 ppm temu putih) kematian embrio ≥ 50% dimulai sejak
waktu paparan 48 jam.

A

B

C
Gambar 3 Hubungan jumlah kematian embrio ikan zebra dengan konsentrasi dan
waktu paparan ekstrak A. Temu lawak, B. Temu putih, dan C.
Campurannya.

8

Ekstrak temu lawak mampu menghambat proses menetas pada embrio
ikan zebra. Proses menetas pada embrio ikan zebra terjadi pada 48 jam setelah
fertilisasi. Berdasarkan hasil penelitian yang ditunjukkan pada Gambar 4 dapat
dilihat bahwa pada ekstrak temu lawak (Gambar 4A) hanya pada konsentrasi X1
(10 ppm) embrio mengalami proses menetas lebih dari 50% dari embrio yang
hidup sedangkan pada konsentrasi lebih tinggi embrio tidak mengalami menetas
sama sekali. Pada ekstrak temu putih (Gambar 4B) sebagian besar embrio yang
hidup mengalami proses menetas sekalipun pada konsentrasi tinggi. Campuran
ekstrak temu lawak dan temu putih (Gambar 4C) membuat embrio mengalami
proses menetas. Ekstrak temu lawak yang awalnya menghambat proses menetas
jika digabungkan dengan temu putih menyebabkan embrio menjadi menetas. Hal
ini menunjukkan bahwa kerja ekstrak temu lawak sebagai penghambat proses
menetas dihambat oleh temu putih sehingga campuran kedua ekstrak tersebut
menyebabkan proses menetas. Hasil ini mendukung pernyataan Aditianingrum
(2015) yang menyatakan bahwa temu putih mampu mempercepat proses menetas,
meskipun pada penelitian ini efek mempercepat proses menetas tersebut tidak
terlihat.
Chen et al. (2010) menjelaskan bahwa embrio tikus yang diinduksi
kurkumin secara invitro pada masa blastosis mampu menginduksi apoptosis inner
cell mass (ICM) yang kemudian menyebabkan terhambatnya perkembangan
embrio. Proses menetas dihambat oleh bahan aktif kurkumin. Jantan et al. (2012)
melaporkan bahwa temu lawak mengandung kurkuminoid yaitu kurkumin,
demetoksikurkumin, dan bisdemetoksikurkumin, sedangkan menurut Makabe et
al. (2006) terdapat 15 senyawa pada temu putih yaitu kurkumin, furanodien,
furanodienon, zedoron, kurzerenon, kurzeon, germakron, 13-hidroksi germakron,
dihidrokurdion,
kurkumenon,
zedoaronediol,
kurkumanol,
zedoarol,
kurkumanolida-A,
dan kurkumanolida-B. Ekstrak yang digunakan pada
penelitian ini menggunakan ekstrak penelitian sebelumnya dengan kadar
kurkumin pada ekstrak temu lawak sebesar 68.06% (Nurfadilawati 2015),
sedangkan pada temu putih memiliki kadar kurkumin yang sangat sedikit yaitu
sebesar 0.002% (Aditianingrum 2015). Perbedaan jumlah kadar kurkumin pada
kedua ekstrak tersebut menyebabkan perbedaan kerja penghambatan proses
menetas pada kedua ekstrak tersebut. Semakin tinggi kadar kurkumin yang
dimiliki ekstrak, maka semakin kuat kerja ekstrak tersebut untuk menghambat
proses menetas pada embrio (Gambar 4). Hal ini dibuktikan dengan ekstrak temu
lawak yang memiliki kadar kurkumin lebih banyak dibandingkan temu putih
menyebabkan embrio yang tidak menetas lebih banyak pada temu lawak.
Campuran kedua ekstrak seharusnya menurunkan jumlah embrio yang menetas
akibat peningkatan kadar kurkumin namun, campuran kedua ekstrak tersebut
justru meningkatkan persentase embrio yang menetas. Ini membuktikan bahwa
terdapat bahan aktif lain pada temu putih yang bukan kurkumin, dimana bahan
tersebut bekerja secara antagonis dan mampu menghambat kerja kurkumin dari
temu lawak dalam menghambat proses penetasan embrio ikan zebra. Menurut
Aditianingrum (2015) beberapa senyawa yang terdapat dalam temu putih ini ialah
6,8-dimetoksi-2-metil-1,4-naftokuinon, benzofuran, epikurzerenon, kurzerenon,
dan (2E, 4E, 6E, 8E)-10-sikloheksilidenadeka-2,4,6,8-tetraenal.

9

A

B

C
Gambar 4 Perbandingan embrio ikan zebra yang hidup dan menetas setelah
paparan ekstrak A. Temu lawak, B. Temu putih, dan C. Campurannya.

Abnormalitas Embrio Ikan Zebra setelah Paparan Ekstrak Temu Lawak,
Temu Putih, dan Campurannya
Kematian embrio disebabkan oleh abnormalitas yang terjadi akibat
paparan ekstrak yang bersifat toksik. Tingginya abnormalitas dipengaruhi oleh
konsentrasi dan waktu paparan ekstrak. Berdasarkan Gambar 5 dapat dilihat
bahwa peningkatan konsentrasi akan meningkatkan abnormalitas, begitu juga
dengan lamanya waktu paparan. Semakin tinggi konsentrasi yang digunakan maka
semakin singkat waktu paparan yang menyebabkan embrio abnormal. Hal ini
dibuktikan pada ekstrak temu lawak (Gambar 5A) dengan konsentrasi X1 (10
ppm) waktu yang dibutuhkan untuk menyebabkan abnormalitas embrio ≥ 50%
adalah 72 jam, sedangkan pada konsentrasi lebih besar dan sama dengan X2 (20
ppm) dibutuhkan waktu paparan 48 jam. Pada ekstrak temu putih (Gambar 5B)
abnormalitas embrio ≥ 50% terjadi pada konsentrasi Z2 (80 ppm) pada waktu
paparan 72 jam, konsentrasi Z3 (120 ppm) pada waktu paparan 48 jam,
konsentrasi Z4 (160 ppm) pada waktu paparan 24 jam dan konsentrasi Z5 (200
ppm) pada waktu paparan 48 jam. Pada ekstrak campuran (Gambar 5C) juga
menunjukkan pola yang sama yaitu, embrio mengalami abnormalitas ≥ 50% pada
konsentrasi M2 (5 ppm X + 30 ppm Z) pada waktu paparan 96 jam, konsentrasi
M3 (10 ppm X + 60 ppm Z) pada waktu paparan 72 jam, konsentrasi M4 (15 ppm
X + 90 ppm Z) dan M5 (20 ppm X + 120 ppm Z) pada waktu paparan 48 jam.

10

A

B

C
Gambar 5 Tingkat abnormalitas embrio ikan zebra setelah paparan ekstrak A.
Temu lawak, B. Temu putih, dan C. Campurannya.
Malformasi yang terjadi pada embrio dapat memberikan gambaran kerja
obat atau organ target dari ekstrak tersebut. Setiap ekstrak memiliki organ target
yang berbeda. Pada Tabel 4 dan Gambar 6 dapat dilihat jenis abnormalitas yang
terjadi akibat paparan ekstrak temu lawak, temu putih, dan campuran dari kedua
ekstrak tersebut.
Malformasi mayor pada ekstrak temu lawak adalah kelainan pada jantung
berupa edema perikardium, koagulasi darah, kelainan pada notokorda, dan
kelainan pada kantong kuning telur, dengan malformasi minor berupa kelainan
pada sumbu tubuh dan ekor. Malformasi mayor pada ekstrak temu putih adalah
edema perikardium dan koagulasi darah, sedangkan malformasi minornya adalah
kelainan pada sumbu tubuh, ekor, sirkulasi darah, notokorda, dan edema kantong
kuning telur. Malformasi mayor akibat campuran kedua ekstrak tersebut adalah
edema perikardium, koagulasi darah, dan sirkulasi, dengan malformasi minornya
adalah kelainan pada sumbu tubuh, ekor (caudal fin), notokorda, dan edema
kantong kuning telur.
Kelainan pada sumbu tubuh (Tabel 4, Gambar 6F) dan ekor (Tabel 4,
Gambar 6E) merupakan kelainan minor pada kedua ekstrak dan campurannya.
Kelainan sumbu tubuh pada kedua ekstrak dan campuran ekstrak terlihat memiliki
persentase yang hampir sama yaitu temu lawak (5%), temu putih (6.98%), dan
campurannya (5.55%). Abnormalitas pada ekor mengalami peningkatan dari
19.15% pada ekstrak temu lawak dan 15.85% pada ekstrak temu putih meningkat
menjadi 30.56% pada campurannya. Ini membuktikan bahwa kedua ekstrak
tersebut memiliki target organ yang sama pada ekor, dimana jika digabungkan
maka efek yang ditimbulkan akan meningkat. Peningkatan persentase
abnormalitas pada ekor menunjukkan ekstrak temu lawak dan temu putih

11

memiliki kerja sinergis pada ekor sehingga mampu meningkatkan abnormalitas
pada organ target tersebut.
Tabel 4 Jenis abnormalitas embrio ikan zebra setelah paparan ekstrak temu
lawak, temu putih, dan campurannya.
Temu lawak
Temu putih
Campuran
Bagian/Organ tubuh
a
b
a
b
Σ
[%]
Σ
[%]
Σa [%]b
Sumbu tubuh
Ekor
Pigmentasi
Otak
Rahang
Mata
Gelembung
pendengaran
Jantung
Koagulasi darah
Sirkulasi darah
Somit
Notokorda
Kantung kuning telur
a

3
9
0
0
0
0
0
47
35
0
0
49
40

5
11.67
0
0
0
0
0
78.33
58.33
0
0
81.67
66.67

3
4
0
0
0
0

6.98
9.30
0
0
0
0

3
19
0
0
0
0

5.56
35.19
0
0
0
0

0

0

0

0

39
28
20
0
2
11

90.70
65.12
46.51
0
4.65
25.58

49
39
34
0
19
17

90.74
72.42
62.96
0
35.19
37.04

jumlah abnormalitas, bjumlah abnormalitas dibagi dengan jumlah total embrio abnormal

Kelainan pada jantung berupa edema perikardium (Tabel 4, Gambar 6G)
dan koagulasi darah (Tabel 4, Gambar 6I) merupakan malformasi mayor pada
semua ekstrak dan campurannya. Chen (2013) menjelaskan edema perikardium
bisa terjadi karena banyak faktor. Semua faktor yang membuat embrio ikan zebra
stress melalui cara apapun akan memberikan efek yang sama yaitu terjadinya
gangguan fungsi jantung (edema perikardium) dan gangguan sirkulasi.
Ekstrak temu lawak tidak menyebabkan kelainan pada sirkulasi (Tabel 4)
sedangkan ekstrak temu putih menyebabkan kelainan pada sirkulasi sebesar
46.51%. Campuran kedua ekstrak menyebabkan peningkatan kelainan sirkulasi
menjadi 62.96% (malformasi mayor). Meskipun temu lawak tidak menyebabkan
kelainan pada sirkulasi, tetapi keberadaan ekstrak temu lawak berefek sinergis dan
mampu meningkatkan kelainan pada sirkulasi.
Kelainan notokorda (Tabel 4, Gambar 6H) dan edema kantong kuning
telur (Tabel 4, Gambar 6I) merupakan malformasi mayor pada ekstrak temu
lawak, namun tidak pada temu putih. Gray et al. (2014) melaporkan bahwa
kelainan notokorda pada masa embrio dapat menyebabkan kelainan pada
collumna vertebralis pada saat dewasa, ukuran tubuh ikan lebih pendek, juga
dapat menyebabkan kelainan pada organ lain misalnya ukuran mata yang kecil,
edema perikardium, gangguan perkembangan rahang serta bisa menyebabkan
kematian. Haendel et al. (2004) menjelaskan bahwa kelainan pada notokorda
secara tidak langsung menyebabkan kematian embrio. Embrio tetap tumbuh
namun proses menetas menjadi terhambat, serta terjadi paralisis pada embrio
sehingga embrio tidak bisa berenang atau mencari makanan. Pada penelitian ini

12

ekstrak temu lawak menunjukkan malformasi mayor berupa kelainan pada
notokorda dan sejalan dengan itu juga menyebabkan penghambatan proses
menetas pada embrio. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Mandrell et al. (2012) bahwa kelainan pada notokorda, sumbu tubuh, dan somit
mampu menghambat proses menetas pada embrio ikan zebra.

Gambar 6 Jenis abnormalitas pada embrio ikan zebra yang disebabkan oleh
ekstrak temu lawak, temu putih, dan campurannya. A. Kontrol 24 jpf,
B. Kontrol 48 jpf, C. Kontrol 72 jpf, D. Kontrol 96 jpf, E. Temu lawak
X2 48 jpf, F. Campuran M1 96 jpf, G. Campuran M3 72 jpf, H. Temu
putih Z3 48 jpf, I. Temu putih Z1 48 jpf, J. Campuran M3 72 jpf. Jpf:
jam pascafertilisasi, ax: kelainan sumbu tubuh, cf: kelainan ekor, ey:
edema kantong kuning telur, ep: edema perikardium, kd: koagulasi
darah, no: kelainan notokorda. Bar: 300µm.

13

Kelainan pada kantong kuning telur embrio juga merupakan malformasi
mayor pada ekstrak temu lawak (Tabel 4). Kelainan kantong kuning telur dapat
berupa edema, pembesaran atau perubahan bentuk kantong kuning telur. Kantong
kuning telur merupakan sumber makanan bagi embrio. Jika terjadi kelainan
kantong kuning telur pada embrio maka akan mengganggu proses penyerapan
makanan. Malformasi pada kantong kuning telur, ekor, dan edema perikardium
disebabkan oleh kandungan kurkumin telah dilaporkan oleh penelitian
sebelumnya (Wu et al.2007).
Persentase kelainan notokorda dan kantong kuning telur (Tabel 4) pada
campuran kedua ekstrak berada diantara persentase kelainan dari masing-masing
ekstrak tersebut. Kelainan notokorda pada ekstrak temu lawak sebesar 81.67%,
temu putih sebesar 4.65%, dan campurannya sebesar 35.19%; serta kelainan
kantong kuning telur pada temu lawak sebesar 66.67%, temu putih 25,58%, dan
campurannya sebesar 37.04%. Hasil ini menunjukkan ekstrak temu putih bersifat
antagonis dan mampu menghambat kerja temu lawak untuk kelainan notokorda
dan kantong kuning telur.
Ekstrak temu lawak menyebabkan penghambatan proses menetas dan
kelainan pada notokorda. Penghambatan proses menetas membuktikan bahwa
embrio tidak mengalami perkembangan, dalam hal ini embrio tidak mengalami
pembelahan sel untuk berkembang ke tahap selanjutnya. Menurut Ahmad dan
Patong (2006) senyawa yang dapat menghambat pembelahan sel (antiproliferasi)
berpotensi sebagai obat antikanker. Ekstrak temu putih menyebabkan kelainan
pada sirkulasi berupa tidak adanya aliran darah. Suplai darah adalah salah satu
faktor penting bagi sel kanker, karena merupakan sumber nutrisi dan oksigen bagi
sel kanker untuk berkembang (Nasution et al. 2009). Jika aliran darah dapat
dihambat maka sel kanker akan mati, sehingga temu putih juga memiliki potensi
sebagai anti kanker.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Nilai LC50 ekstrak temu lawak, temu putih, dan campurannya berturutturut adalah 16.9, 112.1, dan 82.9 ppm. Kematian dan abnormalitas embrio ikan
zebra meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi dan waktu paparan.
Paparan ekstrak temu lawak menyebabkan penghambatan proses menetas,
sedangkan pada ekstrak temu putih tidak menunjukkan efek tersebut. Malformasi
mayor pada ekstrak temu lawak adalah edema perikardium, koagulasi darah,
notokorda, dan edema kantong kuning telur; pada temu putih adalah edema
perikardium dan koagulasi darah; serta pada campurannya adalah edema
perikardium jantung, koagulasi darah, dan sirkulasi darah. Keberadaan ekstrak
temu putih bersifat antagonis terhadap temu lawak yaitu mampu menghilangkan
penghambatan proses menetas serta menurunkan kelainan pada notokorda dan
edema kantong kuning telur. Berdasarkan malformasi yang disebabkan oleh
ekstrak temu lawak berupa penghambatan proses menetas dan ekstrak temu putih
berupa tidak adanya sirkulasi darah mengindikasikan bahwa kedua ekstrak

14

tersebut memiliki potensi sebagai antiproliferatif dan antiangiogenesis untuk obat
antikanker.
Saran
Penelitian lebih lanjut sebaiknya dilakukan untuk mengetahui senyawa aktif
yang terdapat pada temu putih yang mampu menghambat kerja ekstrak temu
lawak dan kemudian diujikan kembali dengan embrio ikan zebra.

DAFTAR PUSTAKA
Aditianingrum KA. 2015. Uji Toksisitas Ekstrak Etanol Rimpang Temu Putih
Terhadap Larva Udang dan Embrio Ikan Zebra [Skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Ahmad A dan Patong R. 2006. Aktivitas antikanker senyawa bahan alam
kurkumin dan analognya pada tingkat molekuler. Jurnal Kedokteran Yarsi.
14(2):158-163.
Akter R, Satter MA, Khan MS, Rahman MS, Ahmad NU. 2012. Cytotoxic effect
of five medicinal plants extract using brine shrimp (Artemia salina) test.
Bangladesh Journal of Scientific and Industrial Research. 47(1):133-136.
[BPOM] Badan Pengawasan Obat dan Makanan. 2005. Gerakan Nasional Minum
Temu lawak. InfoPOM. 6(6):1-4.
Chen CC, Hsieh MS, Hsuuw YD, Huang FJ, Chan WH. 2010. Hazardous effect
on curcumin on mouse embryonic development through a mithocondriadependent apoptothic signaling pathway. Intenational Journal of Moleculer
Science. 11:2839-28955.
Chen J. 2013. Impaired cardiovascular function caused by different stressors
elicits a common pathological and transcriptional response in zebrafish
embryo. Zebrafish. 10(3):389-400.
Delmifiana B dan Astuti. 2013. Pengaruh sonikasi terhadap struktur dan
morfologi nanopertikel magnetik yang disintesis dengan metode
kopresipitasi. Jurnal Fisika Unand. 2(3): 186-189.
Golla Y, Montong MER, Laihad JT, Rembet GDG. 2014. Penambahan tepung
rimpang temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb) dan tepung rimpang temu
putih (Curcuma zedoaria Rosc) dalam ransum komersial terhadap persentase
karkas, lemak abdomen, dan persentase hati pada ayam pedaging. Jurnal
Zootek. 34:115-123.
Gray RS, Wilm TP, Smith J, Bagnat M, Dale RM, Topczewskki J, Johnson SL,
Solnica-Krezel L. 2014. Loss of col8a1a function during zebrafish
embryogenesis results in congenital vertebral malformations. Development
Biology. 386(1):72-85.
Haendel MA, Tilton F, Bailey GS, Tanguay RL. 2004. Development toxicity of
the dithiocarbamate pesticide sodium metam in zebrafish. Toxicological
Sciences. 81(2): 390-400.
Handayani T. 2008. Pengaruh xantorizol terhadap sel hepatoma HepG2. Jurnal
Kesehatan Maranatha. 8(1):29-35.

15

Itokawa H, Shi Q, Akiyama T, Morris-Natschke SL, Lee KH. 2008. Review
recent advances in the investigation of curcuminoids. Chinese Medicine.
3(11):1-13.
Jantan I, Saputri FC, Qaisar MN, Buang F. 2012. Correlation between chemical
composition of Curcuma domestica and Curcuma xanthorrhiza and their
antioxidant effect on human low-density lipoprotein oxidation. EvidenceBased Complementary and Alternative Medicine. 2012:1-10.
Kaselung PS, Montong MEK, Sarayar CLK, Saerang JLP. 2014. Penambahan
rimpang kunyit (Curcuma domestica Val), rimpang temu lawak (Curcuma
xanthorrizha Roxb) dan rimpang temu putih (Curcuma zedoaria Rosc)
dalam ransum komersial terhadap performans burung puyuh (Coturnixcoturnix japonica). Jurnal Zootek. 35(1):114-123.
Lakshmi S, Padmaja G, Remani P. 2010. Antitumour effects of isocurcumenol
isolated from Curcuma zedoaria rhizomes on human and murine cancer
cells. International Journal of Medicinal Chemistry. 2011:1-13.
Makabe H, Maru N, Kuwabara A, Kamo T, Hirota M. 2006. Anti inflammatory
sesquiterpenes from Curcuma zedoaria. Natural Product Research.
20:680–686.
Mandrell D, Truong L, Jephson C, Sarker MR, Moore A, Lang C, Simonich MT,
Tanguay RL. 2012. Automated zebrafish chorion removel and single
embryo placement: optimizing throughput of zebrafish development
toxicity screens. Journal of Laboratory Automation. 17(1):66-74.
Mangunwardoyo W, Deaswaty, Usia T. 2012. Antimicrobial and identification of
active compound Curcuma xanthorrhiza Roxb. International Journal of
Basic and Applied Science. 12(1):69-78.
Murwanti R, Meiyanto E, Nurrochmad A, Kristina SA. 2004. Efek ekstrak etanol
rimpang temu putih (Curcuma zedoaria Rosc.) terhadappertumbuhan
tumor paru fase post inisiasipada mencit betina diinduksi Benzo[a]piren.
Indonesian Journal Pharmacy. 15(1):7-12.
Nasution AI, Joenoes H, Leepel LA. 2009. Antiangiogenesis angiostatin pada
terapi gen kanker. Majalah Ilmiah Kedokteran Gigi. 24(4):184-191.
Nurfadilawati. 2015. Toksisitas Ekstrak Temu Lawak (Curcuma xanthorriza
Roxb) Berdasarkan Uji Letalitas Larva Udang dan Embrio Ikan Zebra
[Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Nurrochmad A. 2004. Review: Pandangan baru kurkumin dan aktivitasnya
sebagai antikanker. Biofarmasi. 2(2):75-80.
[OECD] The Organization for Economic Co-operation and Development. 2013.
OECD Guidelines for the Testing of Chemicals No. 236. Fish Embryo Acute
Toxicity (FET) Test. Paris (FR): OECD.
Prasetyorini, Wiendarlina IY, Peron AB. 2011. Toksisitas beberapa ekstrak
rimpang cabang temu lawak (Curcuma xanthorrizha Roxb) pada larva
udang (Artemia salina Leach). Fitofarmaka. 1(2):14-21.
Santoriello C, Zon LI. 2012. Hooked! Modeling human disease in zebrafish. The
Journal of Clinical Investigation. 122(7):2337–2343.
Siswanti T, Astirin OP, Widiyani T. 2003. Pengaruh ekstrak temu putih (Curcuma
zedoaria Rosc.) terhadap spermatogenesis dan kualitas spermatozoa
mencit (Mus musculus L.). BioSmart. 5(1):38-42.

16

Sukmarianti NWS, Suaniti NM, Swantara IMD. 2013. Identifikasi dan uji
aktivitas antikanker ekstrak spons Ianthella basta terhadap larva Artemia
salina L. Cakra Kimia Indonesia. 1(1):14-19.
Wu JY, Lin CY, Lin TW, Ken CF, Wen YD. 2007. Curcumin affects development
of zebrafish embryo. Biological Pharmaceutical Bulletin. 30(7):13361339.

17

LAMPIRAN
Lampiran 1 Data persentase hidup, mati, dan menetas embrio ikan zebra setelah paparan ekstrak temu lawak, temu putih, dan
campurannya.

Hidup

Pasca
Fertilisasi
(jam)
24
48
72
96
24
48

Mati

72

0

5

5

15

15

95

96

0

5

5

70

95

100

24
48
72
96

0
100
100
100

0
95
95
95

0
75
80
80

20
20
20
20

0
0
0
0

0
0
0
0

Parameter

Menetas
Keterangan

Percobaan
K

KP

X1

X2

X3

X4

X5

Z1

Z2

Z3

Z4

Z5

M1

M2

M3

M4

M5

100
100
100
100
0
0

100
95
95
95
0
5

100
100
95
95
0
0

100
100
85
30
0
0

100
100
85
5
0
0

100
30
5
0
0
70

95
5
0
0
5
95
10
0
10
0
0
0
0
0

100
100
100
100
0
0

100
100
100
90
0
0

95
85
55
55
5
15

70
35
25
5
70
70

70
35
25
5
30
65

100
100
100
100
0
0

100
100
100
95
0
0

100
95
90
65
0
5

95
80
75
45
5
20

65
40
40
5
35
60

0

0

45

80

75

0

0

10

27

60

0

10

45

95

0

5

35

55

95

0
100
100
100

0
90
90
90

0
65
65
65

0
35
35
35

100
100
100
100

0
95
100
100

0
80
90
90

0
75
75
75

0
40
40
40

10
0
0
25
25
25

:K: Kontrol; KP: kontrol pelarut; X: temu lawak; X1: temu lawak 10 ppm; X2: temu lawak 20 ppm; X3: temu lawak 30 ppm; X4: temu lawak
40 ppm; X5: temu lawak 50 ppm; Z: temu putih; Z1: Temu putih 40 ppm; Z2: Temu putih 80 ppm; Z3: Temu putih 120 ppm; Z4: Temu putih
160 ppm; Z5: Temu putih 200 ppm. M1: Campuran 2.5 ppm X+15 ppm Z; M2: 5 ppm X+30 ppm Z; M3: 10 ppm X+60 ppm Z; M4: 15 ppm
X+90 ppm Z; M5: 20 ppm X+120 ppm Z.

18

Lampiran 2 Perhitungan LC50 ekstrak temu lawak, temu putih, dan
campurannya.
a. Temu lawak
konsentrasi
log konsentrasi
10
1
20
1.301029996
30
1.477121255
40
1.602059991
50
1.698970004

jumlah awal
20
20
20
20
20

jumlah mati
1
14
19
20
20

%
5
70
95
100
100

probit
3.36
5.52
6.64
8.09
8.09

Temu lawak
10

y = 7,1319x - 3,7576
R² = 0,9829

Probit

8
6

probit

4

Linear (probit)

2
0
0

0,5

1

1,5

2

Log Konsentrasi

Y= 7.131x-3.757
5= 7.131x-3.757
X= (-3.757-5)/-7.131 = 1.2280818511
LC50= 10^1.2280818511 = 16.90759558 ppm
b. Temu putih
konsentrasi log konsentrasi
40
1.602059991
80
1.903089987
120
2.079181246
160
2.204119983
200
2.301029996

jumlah awal
20
20
20
20
20

jumlah mati
0
2
10
20
19

%
0
10
45
100
95

probit
0
3.72
4.87
8.09
6.64

19

Temu putih
10
y = 10,692x - 16,912
R² = 0,9088

8
Probit

6
4

probit

2

Linear (probit)

0
0

0,5

1

1,5

2

2,5

Log Konsentrasi

Y= 10.69x-16.91
5= 10.71x-16.93
X= (-16.91-5)/10.71=2.049579046
LC50= 10^2.049579046 = 112.0931428
c. Campuran
konsentrasi
log konsentrasi
17.5
1.243038049
35
1.544068044
70
1.84509804
105
2.021189299
140
2.146128036

jumlah awal
20
20
20
20
20

jumlah mati
0
1
7
11
19

%
0
5
35
55
95

Campuran
7
y = 6,6349x - 7,7288
R² = 0,9476

6
Probit

5
4
3

probit

2

Linear (probit)

1
0
0

0,5

1

1,5

2

Log konsentrasi

Y= 6.634x-7.728
5= 6.634x-7.728
X= (-7.728-5)/6.634= 1.91860114561351
LC50= 10^1.91860114561351= 82.90

2,5

probit
0
3.36
4.61
5.13
6.64

20

Lampiran 3 Data persentase abnormalitas embrio setelah paparan ekstrak
temu lawak, temu putih, dan campurannya
a. Temu lawak
Konsentrasi ekstrak temu lawak (ppm)
Waktu
10
20
30
40
50
24 jam
0
0
0
0
5
48 jam
40
100
100
100
95
72 jam
60
100
100
100
100
96 jam
65
100
100
100
100
b. Temu putih
Waktu
24 jam
48 jam
72 jam
96 jam

40
0
10
10
80

Konsentrasi ekstrak temu putih (ppm)
80
120
160
200
0
5
70
35
15
80
90
90
60
90
100
90
70
90
100
100

c. Campuran
Waktu
24 jam
48 jam
72 jam
96 jam

M1
0
10
15
20

Konsentrasi Ekstrak campuran (ppm)
M2
M3
M4
0
0
5
15
40
55
30
95
100
80
100
100

M5
35
100
100
100

21

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Mengkikip, Kecamatan Tebing Tinggi Barat,
Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau pada tanggal 01 Januari 1993
dari ayah Rifa’I dan Ibu Samsidar. Penulis adalah putri terakhir dari dua
belas bersaudara. Tahun 2011 penulis lulus SMA N 1 Sungai Apit,
kecamatan Sungai Apit, Kabupaten Siak, Provinsi Riau dan pada tahun yang
sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui
jalur BUD (Beasiswa Utusan Daerah) dan diterima di Fakultas Kedokteran
Hewan.
Selama perkuliahan penulis merupakan anggota Himpunan
Mahasiswa Profesi Ornithologi dan Unggas (HIMPRO ORNITH). Selain
itu, penulis juga Penulis aktif dalam Organisasi Mahasiswa Daerah IKPMR
(Riau) dan Istana Mas (Ikatan Silaturrahmi Anak Negeri Agung Mahasiswa
Siak).