Toksisitas Ekstrak Etanol Temu Lawak (Curcuma xanthorriza Roxb) Berdasarkan Uji Letalitas Larva Udang dan Embrio Ikan Zebra

TOKSISITAS EKSTRAK TEMU LAWAK (Curcuma xanthorriza
Roxb) BERDASARKAN UJI LETALITAS LARVA UDANG
DAN EMBRIO IKAN ZEBRA

NURFADILAWATI

DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Toksisitas Ekstrak Temu
Lawak (Curcuma xanthorriza Roxb) Berdasarkan Uji Letalitas Larva Udang dan
Embrio Ikan Zebra adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2015
Nurfadilawati
NIM G44100064

ABSTRAK
NURFADILAWATI. Toksisitas Ekstrak Temu Lawak (Curcuma xanthorriza)
Berdasarkan Uji Letalitas Larva Udang dan Embrio Ikan Zebra. Dibimbing oleh
GUSTINI SYAHBIRIN dan KUSDIANTORO MOHAMAD.
Temu lawak (Curcuma xanthorriza) telah diketahui memiliki berbagai
aktivitas farmakologis dengan kurkuminoid adalah senyawa aktif yang dominan.
Penelitian ini bertujuan menentukan kadar kurkuminoid dan menguji toksisitas
ekstrak etanol dan fraksi etil asetat temu lawak. Kadar kurkuminoid ditentukan
menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi, sedangkan uji toksisitas
menggunakan larva udang (metode BSLT) dan embrio ikan zebra (metode ZFET).
Berdasarkan hasil penelitian, kadar kurkuminoid ekstrak etanol lebih tinggi
daripada fraksi etil asetat, yaitu 105 mg/g. Hasil uji toksisitas menunjukkan nilai
konsentrasi mematikan 50% (LC50) pada metode ZFET lebih kecil daripada

metode BSLT. Pada metode BSLT, nilai LC50 ekstrak etanol adalah 238 ppm dan
fraksi etil asetat 177 ppm, sedangkan pada metode ZFET, nilai LC50 96 jam
pascafertilisasi ekstrak etanol adalah 80 ppm dan fraksi etil asetat 94 ppm. Ekstrak
etanol menyebabkan malformasi mayor pada jantung, sedangkan pemberian fraksi
etil asetat menyebabkan malformasi mayor pada sumbu tubuh dan jantung embrio
ikan zebra.
Kata kunci: BSLT, LC50, temu lawak, toksisitas, ZFET

ABSTRACT
NURFADILAWATI. Toxicity of Temu Lawak (Curcuma xanthorriza) Based on
Brine Shrimp and Zebrafish Embryo Lethality Test. Supervised by GUSTINI
SYAHBIRIN and KUSDIANTORO MOHAMAD.
Temu lawak (Curcuma xanthorriza) has been known to have various
pharmacological activities with curcuminoids are the predominant active
compounds. This study aims to determine the curcuminoids content and toxicity
of the ethanol extract and ethyl acetate fraction of temu lawak. Curcuminoids
content was determined by using high performance liquid chromatography, while
the toxicity test used brine shrimp (BSLT method) and zebrafish embryo (ZFET
method). The results showed higher curcuminoid content of the ethanol extract as
compared with the ethyl acetate fraction, that is 105 mg/g. The toxicity test

showed that the 50% lethal concentration (LC50) values from ZFET method was
lower than that of BSLT method. In BSLT method, the LC50 value of ethanol
extract was 238 ppm and 177 ppm for ethyl acetate fraction, whereas the ZFET
method gave LC50 values of 96 hours after fertilization was 80 ppm for ethanol
extract and 94 ppm for ethyl acetate fraction. The ethanol extract caused major
malformation on heart, while the ethyl acetate fraction caused major malformation on
body axis and heart in zebra fish embryos.
Keywords: BSLT, LC50, temu lawak, toxicity, ZFET

TOKSISITAS EKSTRAK TEMU LAWAK (Curcuma xanthorriza
Roxb) BERDASARKAN UJI LETALITAS LARVA UDANG
DAN EMBRIO IKAN ZEBRA

NURFADILAWATI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Kimia


DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Judul Skripsi : Toksisitas Ekstrak Etanol Temu Lawak (Curcuma xanthorriza
Roxb) Berdasarkan Uji Letalitas Larva Udang dan Embrio Ikan
Zebra
Nama
: Nurfadilawati
NIM
: G44100064

Disetujui oleh

Dr Gustini Syahbirin, MS
Pembimbing I


drh Kusdiantoro Mohamad, MSi, PAVet
Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Drs Purwantiningsih Sugita, MS
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2014 ini ialah
Toksisitas Ekstrak Etanol Temu Lawak (Curcuma xanthorriza Roxb) berdasarkan
Uji Letalitas Larva Udang dan Ikan Zebra.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Gustini Syahbirin, MS dan drh
Kusdiantoro Mohamad, Msi, PAVet selaku pembimbing yang telah banyak
memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak
Sabur, Ibu Yeni, dan Ibu Nia yang memberikan saran selama penelitian di

Laboratorium Kimia Organik, Bapak Wahyu yang telah membantu selama penelitian
di Laboratorium Embriologi, dan Ibu Ella yang telah membantu dalam analisis
KCKT. Rasa terima kasih juga disampaikan untuk Kurnia Alysia sebagai teman
bimbingan yang selalu bersama selama penelitian ini, Herdiyanto, Lestari Pudjiastuti,
Ayustiyan Futu Wijaya, Nur Amallia, Ibna Anggi Meinar, Nurul Qomariah,
Gemilang Tanisan, dan Adani Fajrina, yang telah membantu, memberi saran,
semangat, dan menemani selama penelitian.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2015
Nurfadilawati

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
BAHAN DAN METODE
Alat dan Bahan
Metode Penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN

Kadar Air dan Ekstrak
Hasil Analisis Kurkuminoid dengan KCKT
Toksisitas Ekstrak Terhadap Larva Udang dan Embrio Ikan Zebra
Efek Teratogenik pada Embrio Ikan Zebra
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

vii
vii
vii
1
2
2
2
4
4

5
7
8
12
12
12
12
13
26

DAFTAR TABEL
1 Nilai LC50 ekstrak etanol dan fraksi etil asetat terhadap embrio ikan
zebra
2 Efek teratogenik pada embrio ikan zebra akibat paparan ekstrak etanol
dan fraksi etil asetat

7
9

DAFTAR GAMBAR

1
2
3
4

Struktur kimia kurkumin, demetoksikurkumin, dan
bisdemetoksikurkumin
Kromatogram KCKT standar kurkuminoid, ekstrak etanol, dan fraksi
etil asetat
Morfologi embrio ikan zebra normal pada kontrol dan beberapa
abnormalitas pada perlakuan ekstrak etanol
Morfologi embrio ikan zebra normal pada kontrol dan beberapa
abnormalitas pada perlakuan fraksi etil asetat

5
6
10
11

DAFTAR LAMPIRAN

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

Diagram alir penelitian
Sertifikat persetujuan etik hewan
Hasil determinasi tumbuhan
Kadar air temu lawak
Rendemen ekstrak etanol temu lawak dan fraksi etil asetat
Kromatogram KCKT
Hasil analisis KCKT ekstrak
Hasil uji toksisitas BSLT ekstrak etanol

Hasil uji toksisitas BSLT fraksi etil asetat
Hasil uji toksisitas ZFET ekstrak etanol
Hasil uji toksisitas ZFET fraksi etil asetat

15
16
17
18
18
19
21
22
23
24
25

PENDAHULUAN
Temu lawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) merupakan tanaman obat yang
banyak tumbuh di daerah tropis, tumbuh secara merumpun dan banyak ditanam di
kebun atau di sekitar pekarangan rumah. Hasil utama dari tanaman ini adalah
umbi atau rimpangnya yang beraroma khas dan berwarna kuning. Nama lain temu
lawak ialah koneng gede (Sunda) dan temu labak (Madura). Temu lawak telah
diketahui memiliki banyak khasiat terutama dalam bidang kesehatan. Secara
tradisional, masyarakat Indonesia menjadikan temu lawak sebagai bahan baku
jamu.
Temu lawak memiliki banyak jenis metabolit sekunder dengan berbagai
bioaktivitas. Senyawa aktif utama yang terkandung dalam temu lawak adalah
kurkuminoid dan xantorizol (Nurcholis et al. 2012c). Minyak atsiri temu lawak
dengan komponen utama xantorizol memiliki aktivitas sebagai antimikrob (Mary
et al. 2012). Sementara itu, kurkuminoid dalam ekstrak etil asetat (Ruslay et al.
2007) dan ekstrak etanol (Nurcholis et al. 2012a) terbukti sebagai antioksidan.
Itokawa et al. (2008) juga melaporkan bahwa ekstrak etanol temu lawak aktif
sebagai antiradang. Selain itu, penelitian Cheah et al. (2009) menunjukkan bahwa
kombinasi xantorizol dan kurkumin dari temu lawak dapat menghambat
perkembangan aktivitas sel kanker MDA-MB-231.
Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 761/MENKES/SK/IX/1992
menyatakan bahwa uji toksisitas merupakan prasyarat formal keamanan calon
obat untuk pemakaian pada manusia (Depkes RI 1992).Uji pendahuluan untuk
mengamati ketoksikan suatu bahan dapat dilakukan dengan uji letalitas larva
udang (BSLT, brine shrimp lethality test) dan embrio ikan zebra (ZFET, zebrafish
embryo acute toxicity). Nurcholis et al. (2012b) dan Devaraj et al. (2013)
menggunakan metode BSLT untuk menguji toksisitas ekstrak temu lawak. Uji
toksisitas menggunakan larva udang merupakan metode pendahuluan yang telah
terbukti memiliki korelasi dengan daya toksisitas. Larva udang sebagai
bioindikator sangat peka terhadap bahan toksik, sehingga toksisitas suatu bahan
terhadap larva udang dapat dijadikan indikasi awal dari efek farmakologis bahan
tersebut. Keunggulan metode ini ialah larva udang peka terhadap bahan uji,
mudah dibiakkan, memiliki siklus hidup yang cepat, waktu uji cepat, mudah
dilakukan, dan biaya relatif murah (Meyer et al. 1982). Akan tetapi, terdapat
kelemahan dari uji BSLT, yaitu hasil pengamatan tidak menunjukkan penyebab
kematian atau abnormalitas hewan uji, sehingga diperlukan uji lanjutan untuk
melihat efek senyawa aktif terhadap perkembangan hewan uji, yaitu dengan uji
ZFET.
Embrio ikan zebra telah berhasil dikembangkan sebagai hewan uji dalam
pengujian toksisitas akut dari senyawa bahan alam (Kari et al. 2007). Penelitian
dengan metode ZFET terbukti memiliki beberapa keuntungan seperti embrio ikan
yang transparan, sehingga memungkinkan pengamatan secara langsung terhadap
perkembangan organ-organ dalam. Selain itu, embrio ikan zebra dapat mewakili
kompleksitas fisiologis dan morfologis pada organisme dewasa, sehingga dapat
menggambarkan informasi organisme lengkap dalam uji toksisitas (Ma et al.
2007). Pengujian toksisitas terhadap embrio ikan zebra telah dilakukan oleh Wei
et al. (2010) dan Coelho et al. (2011). Penelitian mengenai toksisitas ekstrak temu

2
lawak dengan metode ZFET belum pernah dilakukan. Hal tersebut yang
mendasari dilakukannya penelitian ini untuk menguji toksisitas ekstrak temu
lawak dengan metode BSLT dan ZFET.

BAHAN DAN METODE
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan meliputi maserator lompok, corong pisah, penguap
putar, Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT), oven, kertas saring Millipore,
mikropipet, pelat 24 sumur, vial, aerator, dan mikroskop inverted yang dilengkapi
dengan kamera digital. Bahan-bahan yang digunakan adalah rimpang temu lawak,
etanol 80%, etil asetat, dimetil sulfoksida (DMSO), larva udang Artemia salina
Leach, air laut, dan embrio ikan zebra (Danio rerio).

Metode Penelitian
Metode penelitian mengikuti diagram alir pada Lampiran 1. Metode
penelitian terdiri atas determinasi tanaman, preparasi sampel temu lawak,
penentuan kadar air, maserasi dengan etanol, partisi ekstrak etanol, analisis kadar
kurkumin dengan KCKT, uji toksisitas ekstrak terhadap A. salina, dan uji
toksisitas ekstrak terhadap embrio ikan zebra. Uji toksisitas mengikuti prinsip
penggunaan dan asas kesejahteraan hewan dan telah mendapat persetujuan dari
Komisi Etik Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan, IPB (Lampiran 2).
Determinasi Tanaman
Temu lawak yang akan dijadikan bahan uji berasal dari Kebun Percobaan
Pusat Studi Biofarmaka, Bogor. Tanaman ini dipastikan autentitasnya di Balai
Penelitian dan Pengembangan Botani “Herbarium Bogoriense”, Pusat Penelitian
dan Pengembangan Biologi-LIPI Cibinong, Bogor, Jawa Barat.
Preparasi Sampel
Rimpang temu lawak segar dicuci bersih dengan air mengalir, ditiriskan,
dan dirajang hingga berukuran kecil. Rimpang kemudian dikeringkan dalam oven
pada suhu 40 ºC selama 24 jam. Setelah kering, rimpang temu lawak digiling
untuk mendapatkan serbuk temu lawak.
Penentuan Kadar Air (AOAC 2006)
Cawan porselen kosong dikeringkan di dalam oven bersuhu 105 °C selama
30 menit. Cawan didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang
untuk menentukan bobot kosongnya. Sebanyak 2 g sampel dimasukkan ke dalam
cawan tersebut dan dikeringkan di dalam oven pada suhu 105 °C sampai bobot
konstan. Setelah itu, cawan didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Kadar air
contoh dihitung dengan persamaan

3

Kadar air (%) =

A−B
A

Keterangan:
A = bobot bahan sebelum dikeringkan (g)
B = bobot bahan setelah dikeringkan (g)

× 100%

Ekstraksi Temu lawak (Srijanto dan Syahbirin 2007)
Ekstraksi temu lawak menggunakan metode maserasi dengan pelarut etanol
80%. Nisbah antara sampel temu lawak dan pelarut adalah 1:6. Sebanyak 100 g
serbuk temu lawak direndam dengan etanol 80% di dalam maserator dan
didiamkan selama 3 jam dengan suhu 40–45 ºC. Rendaman temu lawak
selanjutnya disaring dengan menggunakan kertas saring untuk memisahkan filtrat
dari maseratnya. Filtrat yang terkumpul kemudian diuapkan menggunakan
rotavapor (penguap vakum) hingga diperoleh ekstrak yang lebih pekat untuk
digunakan dalam tahapan selanjutnya. Rendemen ekstrak pekat dihitung dengan
persamaan
Rendemen ekstrak =
Keterangan:
a = bobot ekstrak (g)
b = bobot contoh awal (g)

a
(1- kadar air)b

×100%

Partisi Ekstrak Etanol Temu Lawak
Ekstrak etanol temu lawak dilarutkan dengan air sebanyak 100 mL dan
dimasukkan ke dalam corong pisah, lalu diekstraksi menggunakan etil asetat
dengan nisbah 1:3. Penambahan etil asetat dilakukan secara bertahap sampai fase
organik tidak berwarna. Fase organik dipisahkan dari fase air, kemudian
dipekatkan dengan penguap putar.
Penentuan Kadar Kurkuminoid dengan KCKT (Jayaprakasha et al. 2002)
Sebanyak 0.05 g ekstrak ditimbang dan dilarutkan dalam 50 mL metanol.
Larutan sampel diencerkan 50 kali dan disaring menggunakan kertas saring
Millipore 0.45 µm, kemudian dimasukkan ke dalam vial KCKT. Standar
kurkuminoid dibuat dengan konsentrasi 0.5 µg/mL. Kolom yang digunakan
adalah kolom fase terbalik C18 dengan detektor ultraviolet-tampak (UV-Vis) dan
volume injeksi 20 µL. Elusi dilakukan dengan kecepatan alir 1 mL/menit.
Digunakan campuran eluen metanol (A), asam asetat 2% (B), dan asetonitril (C).
Elusi gradien linear dilakukan dengan konsentrasi A dibuat konstan 5%,
sedangkan konsentrasi C dalam B dinaikkan dari 45% ke 65% untuk menit ke 0–
15 dan diturunkan menjadi 65% hingga 45% untuk menit ke 15–20. Kadar
kurkuminoid diukur pada panjang gelombang 425 nm.
Uji Toksisitas Ekstrak terhadap Larva A. Salina (Meyer et al. 1982)
Telur A. salina dimasukkan ke dalam wadah berisi air laut yang sudah
disaring dan diaerasi. Telur dibiarkan selama 48 jam di bawah pencahayaan lampu

4
agar menetas sempurna. Ekstrak etanol dan etil asetat dilarutkan dalam air laut
dan dibuat dalam konsentrasi 2000 ppm sebagai larutan induk, kemudian
diencerkan hingga diperoleh konsentrasi 100, 200, 300, 400, dan 500 ppm.
Apabila tidak larut, maka ke dalam larutan ditambahkan 100 µL DMSO. Ke
dalam setiap vial dimasukkan air laut, 10 ekor larva udang, dan ekstrak temu
lawak. Pengujian dilakukan sebanyak 3 kali ulangan. Vial lalu ditutup dengan
kertas aluminium dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu ruang. Nilai
konsentrasi letal 50% (LC50) ditentukan dengan menggunakan kurva hubungan
log konsentrasi ekstrak (sumbu x) dengan nilai probit (sumbu y).
Uji Toksisitas Ekstrak terhadap Embrio Ikan Zebra (OECD 2013)
Ekstrak etanol dan etil asetat temu lawak dilarutkan dalam air sumur yang
telah disaring dan dibuat larutan induk dengan konsentrasi 2000 ppm. Jika tidak
larut, maka dilarutkan dengan penambahan DMSO. Larutan induk ini kemudian
diencerkan hingga diperoleh konsentrasi 50, 100, 200, 400, dan 600 ppm. Uji
toksisitas dilakukan pada pelat 24-sumur, berisi 20 telur ikan zebra per
konsentrasi uji (satu embrio per sumur) dan 4 kontrol internal, serta 1 pelat
kontrol negatif, dan 1 pelat kontrol pelarut jika menggunakan DMSO sebagai
pelarut dengan 24 embrio masing-masing. Pelat yang berisi embrio ikan zebra
ditempatkan pada suhu kamar (±26 ºC), diamati setiap 24 jam sampai dengan 96
jam atau 4 hari menggunakan mikroskop inverted (Olympus) yang dilengkapi
dengan komputer dan kamera. Pengamatan berupa hidup atau mati, normal atau
abnormal, menetas atau tidak (khusus 48 jam), serta pengamatan detil
abnormalitas yang meliputi kelainan pada sumbu tubuh, kepala, ekor, sirkulasi
darah, mata, jantung, pigmentasi, somit, dan kantung kuning telur. Nilai LC50
ditentukan dengan menggunakan kurva hubungan antara log konsentrasi ekstrak
(sumbu x) dan nilai probit (sumbu y).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kadar Air dan Ekstrak
Rimpang yang digunakan terbukti rimpang temu lawak (Curcuma
xanthorriza Roxb) berdasarkan hasil determinasi (Lampiran 3). Kadar air temu
lawak yang diperoleh, yaitu 14.05% (Lampiran 4), tidak berbeda jauh dengan
yang dilaporkan oleh Srijanto et al. (2005), yaitu 15.32%. Kadar air tersebut
dihitung berdasarkan banyaknya air yang teruapkan dari sampel setelah
dipanaskan pada suhu 105 oC. Kadar air digunakan sebagai koreksi dalam
menghitung rendemen ekstrak dan untuk menduga ketahanan sampel selama
proses penyimpanan. Nilai kadar air sampel yang cukup tinggi, yaitu di atas 10%
menyebabkan waktu simpan sampel cukup singkat karena rentan ditumbuhi oleh
mikrob.
Sampel temu lawak diekstraksi dengan metode maserasi dalam penangas air
40–45 oC dengan penggoyangan automatis. Pelarut yang digunakan adalah etanol
80% karena struktur etanol memiliki sisi polar dan nonpolar, sehingga diharapkan
dapat mengekstraksi senyawa polar maupun nonpolar dari sampel. Selain itu, sifat

5
toksik etanol tergolong rendah sehingga aman untuk mengekstraksi bahan yang
akan dijadikan obat herbal.
Ekstrak etanol temu lawak berbentuk pasta dan berwarna cokelat
kekuningan. Rendemen ekstrak berdasarkan bobot kering sampel ialah 17.77%
(Lampiran 5). Hasil tersebut lebih tinggi daripada yang dilaporkan oleh
Mangunwardoyo et al. (2012) dengan metode refluks, yaitu 13.33%. Sebagian
ekstrak etanol kemudian dipartisi cair-cair menggunakan pelarut air-etil asetat.
Ekstrak etil asetat diperoleh dengan rendemen 45.74% berdasarkan bobot basah
ekstrak etanol. Partisi ini dilakukan untuk memisahkan senyawa polar dalam
ekstrak dengan senyawa semipolar. Senyawa polar akan terekstraksi pada fase air,
sedangkan senyawa semipolar akan terekstraksi pada fase organik (etil asetat).
Partisi dilakukan dengan penambahan etil asetat secara bertahap sampai fase
organik tidak berwarna, sehingga diduga semua senyawa telah terekstraksi ke
dalam fase organik.

Hasil Analisis Kurkuminoid dengan KCKT
Salah satu komponen metabolit sekunder dengan jumlah paling besar dalam
temu lawak adalah kurkuminoid (Ruslay et al. 2007). Kurkuminoid adalah
senyawa golongan fenilpropanoid yang terdiri atas kurkumin, demetoksikurkumin,
dan bisdemetoksikurkumin. Struktur kurkuminoid (Gambar 1) tersusun dari 2
cincin fenolik yang dihubungkan oleh rantai alifatik takjenuh dengan 2 gugus
karbonil pada karbon nomor 3 dan 5. Pada senyawa kurkuminoid, kedua cincin
fenolik tersubstitusi oleh gugus metoksi pada posisi orto, pada
demetoksikurkumin hanya 1 yang tersubstitusi metoksi, sedangkan pada
bisdemetoksikurkumin tidak ada yang tersubstitusi.

(A)

(B)

(C)
Gambar 1 Struktur kimia kurkumin (A), demetoksikurkumin (B), dan
bisdemetoksikurkumin (C).
Kadar kurkuminoid dalam ekstrak etanol dan fraksi etil asetat temu lawak
ditentukan menggunakan KCKT, dengan standar kurkuminoid yang digunakan
ialah bisdemetoksikurkumin, demetoksikurkumin, dan kurkumin. Kromatogram

6
KCKT menunjukkan puncak standar kurkuminoid pada waktu retensi 7.847
menit (bisdemetoksikurkumin), 8.463 menit (demetoksikurkumin), dan 9.110
menit (kurkumin). Pada ekstrak etanol dan fraksi etil asetat temu lawak terbentuk
puncak dengan waktu retensi yang sama dengan standar (Gambar 2). Berdasarkan
hasil KCKT untuk kedua ekstrak, kurkuminoid dengan persentase luas puncak
paling tinggi ialah kurkumin, yang mencapai 68.06% untuk ekstrak etanol dan
62.98% untuk ekstrak etil asetat. Persentase terbesar kedua berasal dari
demetoksikurkumin dengan persentase luas puncak ekstrak etanol dan etil asetat
masing-masing 24.60% dan 27.48%. Sementara bisdemetoksikurkumin memiliki
persentase luas puncak paling rendah, yaitu ekstrak etanol 1.41% dan ekstrak etil
asetat 1.91% (Lampiran 6). Berdasarkan persentase luas puncak tersebut
kandungan kurkuminoid yang dominan dalam ekstrak etanol maupun etil asetat
adalah demetoksikurkumin dan kurkumin. Hasil tersebut sesuai dengan
Mangunwardoyo et al. (2012) yang melaporkan bahwa senyawa golongan
kurkuminoid yang paling banyak dalam temu lawak adalah kurkumin dan
demetoksikurkumin.
Waktu retensi

Volt

A

Menit

Waktu retensi

Volt

B

Menit

Waktu retensi

Volt

C

Menit

Gambar 2 Kromatogram KCKT standar kurkuminoid (A), ekstrak etanol (B),
dan fraksi etil asetat (C).

7
Kadar kurkuminoid dalam sampel dihitung berdasarkan nisbah luas puncak
setiap senyawa kurkuminoid dalam sampel dengan luas puncak dalam standar
(Lampiran 7). Kadar total kurkuminoid dalam ekstrak etanol adalah 104.7 mg/g
dan dalam fraksi etil asetat adalah 90.9 mg/g. Kadar kurkuminoid yang lebih
tinggi dalam ekstrak etanol dapat disebabkan oleh sifat etanol yang lebih polar
daripada etil asetat. Perbedaan kadar kurkuminoid yang terekstraksi tersebut
diduga dapat memengaruhi toksisitas ekstrak.
Efek farmakologis temu lawak telah terbukti ditimbulkan oleh senyawa
golongan kurkuminoid (EMA 2013). Simon et al. (1998) melaporkan bahwa
demetoksikurkumin merupakan penghambat perkembangan sel kanker MCF-7
paling baik, diikuti oleh kurkumin dan bisdemetoksikurkumin. Sharma et al.
(2005) melaporkan bahwa selain sebagai antikanker, kurkumin berperan pula
sebagai antiradang. Penelitian lainnya menyebutkan bahwa peran
bisdemetoksikurkumin sebagai antioksidan sama efektifnya dengan kurkumin
(Kim et al. 2001). Hal ini disebabkan oleh peran gugus hidroksil pada cincin
aromatik dan ß-diketon dalam menangkap radikal bebas sehingga kurkuminoid
aktif sebagai antioksidan (Beevers dan Huang 2011).

Toksisitas Ekstrak Terhadap Larva Udang dan Embrio Ikan Zebra
BSLT dapat meramalkan toksisitas komponen aktif dengan hasil uji berupa
nilai LC50, yaitu konsentrasi yang dibutuhkan untuk mematikan 50% populasi.
Jika nilai LC50 kurang dari 1000 ppm, maka ekstrak yang diujikan bersifat toksik.
Sementara itu, pada ZFET ekstrak dikatakan toksik jika embrio ikan zebra
terhambat perkembangannya atau terjadi abnormalitas pada organ. Nilai LC50
diperoleh berdasarkan persamaan kurva hubungan antara log konsentrasi dan nilai
probit. Ekstrak etanol yang diujikan pada larva udang menghasilkan nilai LC50
238.23 ppm (Lampiran 8), sedangkan fraksi etil asetat menghasilkan nilai LC50
176.73 ppm (Lampiran 9). LC50 hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan
Nurcholis et al. (2012b) tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian, yaitu 210.30
ppm untuk ekstrak etanol.
Nilai LC50 ekstrak etanol dan fraksi etil asetat hasil ZFET ditunjukkan pada
Tabel 1. Dapat dilihat pada tabel tersebut bahwa nilai LC50 semakin rendah seiring
dengan bertambahnya waktu pengamatan. LC50 pada 96 jam pascafertilisasi (jpf)
lebih rendah daripada LC50 48 jpf (Lampiran 10 dan 11) yang berarti semakin
lama suatu bahan memapari hewan uji, semakin toksik pula bahan tersebut. Hal
ini disebabkan seiring lamanya waktu pemaparan, daya tahan tubuh ikan zebra
semakin menurun, sedangkan konsentrasi ekstrak tetap sama.
Tabel 1 Nilai LC50 ekstrak etanol dan ekstrak etil asetat terhadap embrio ikan zebra
Sampel
Waktu pengamatan (jpf)
LC 50 (ppm)
Etanol
48
180.52
96
79.55
Etil asetat
48
126.81
96
94.32

8
Secara keseluruhan, nilai LC50 hasil BSLT lebih besar daripada hasil ZFET.
Pada BSLT, ekstrak ditambahkan saat A. salina telah menjadi larva, sedangkan
penambahan ekstrak pada ZFET dilakukan saat ikan zebra masih dalam keadaan
embrio yang lebih peka. Selain itu, pengamatan embrio ikan zebra yang dilakukan
selama 96 jam memungkinkan ekstrak terakumulasi dalam embrio dibandingkan
dengan BSLT yang hanya dilakukan selama 24 jam pengamatan.
Kedua metode uji toksisitas menghasilkan nilai LC50 kurang dari 1000 ppm
yang menandakan bahwa kedua ekstrak tersebut toksik. Berdasarkan hasil
pengamatan ZFET 96 jpf, ekstrak etanol lebih toksik daripada fraksi etil asetat.
Hasil tersebut berkorelasi dengan hasil analisis KCKT yang menunjukkan kadar
senyawa kurkuminoid yang lebih tinggi dalam ekstrak etanol daripada dalam
fraksi etil asetat. Sebaliknya, ZFET 48 jpf dan BSLT menunjukkan nilai LC50
fraksi etil asetat lebih toksik daripada ekstrak etanol. Ketidaksesuaian ini dapat
disebabkan oleh daya tahan tubuh setiap individu hewan uji yang berbeda-beda
walaupun telah mendapatkan perlakuan yang sama sebelum pemberian ekstrak.

Efek Teratogenik pada Embrio Ikan Zebra
Embrio ikan zebra juga diamati secara mikroskopik untuk mengetahui
pengaruh ekstrak pada morfologi embrio. Efek penghambatan yang ditimbulkan
oleh ekstrak berupa kelainan perkembangan pada masa embrio dikenal dengan
istilah efek teratogenik. Tabel 2 menunjukkan efek teratogenik ekstrak etanol dan
fraksi etil asetat terhadap organ dan jaringan embrio ikan zebra. Malformasi
dikatakan mayor jika jumlahnya lebih dari 50%, sedangkan jika kurang dari 50%
disebut malformasi minor. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa ekstrak etanol
maupun fraksi etil asetat memberikan efek teratogenik pada perkembangan
embrio ikan zebra. Malformasi mayor pada embrio yang diberi ekstrak etanol
teridentifikasi pada jantung, sedangkan pada pemberian fraksi etil asetat
malformasi mayor teridentifikasi pada sumbu tubuh dan jantung. Malformasi
minor teridentifikasi pada sumbu tubuh, ekor, pigmentasi, somit, dan kantung
kuning telur untuk penambahan ekstrak etanol, sedangkan pemberian fraksi etil
asetat menyebabkan malformasi minor pada ekor dan kantung kuning telur.
Embriogenesis ikan zebra sangat mirip dengan vertebrata tingkat tinggi termasuk
manusia, sehingga ikan zebra sangat ideal sebagai model studi proses
perkembangan embrio (Chakraborty et al. 2009; Brannen et al. 2010).

9
Tabel 2 Efek teratogenik pada embrio ikan zebra akibat paparan ekstrak etanol
dan fraksi etil asetat
Etanol
Etil asetat
Bagian/Organ tubuh
a
b
Ʃ
[%]
Ʃ
[%]
Sumbu tubuh
7
35
19
76*
Otak
0
0
0
0
Ekor
5
25
4
16
Sirkulasi darah
0
0
0
0
Mata
0
0
0
0
Jantung
10
22
50*
88*
Rahang
0
0
0
0
Otolit
0
0
0
0
Pigmentasi
3
15
0
0
Somit
9
45
0
0
Kantung kuning telur
5
25
9
36
a

Jumlah embrio yang terkena efek teratogenik pada seluruh konsentrasi dan waktu perlakuan
Jumlah embrio yang terkena efek teratogenik/jumlah embrio abnormal pada seluruh konsentrasi
dan waktu perlakuan
*Malformasi mayor (≥ 50%)
Satu embrio dapat mengalami lebih dari satu malformasi.
b

Perlakuan dengan ekstrak etanol menghasilkan perbedaan morfologi embrio
yang signifikan (Gambar 3). Kontrol negatif pada 24 jpf telah menampakkan
perkembangan embrio dalam telur (A). Pada 48 jpf embrio telah berkembang
normal menjadi larva dengan organ yang jelas terbentuk sempurna dan sumbu
tubuh yang lurus (B). Larva ikan zebra dikatakan normal jika memiliki sumbu
tubuh yang lurus (Heiden et al. 2007). Pada 48 jpf embrio yang diberikan
perlakuan dengan konsentrasi 50 ppm hanya menetas sebanyak 50%. Hal tersebut
menunjukkan bahwa pada konsentrasi 50 ppm ekstrak telah memberikan efek
penghambatan terhadap perkembangan embrio. Malformasi yang dominan terlihat
pada perlakuan 50 ppm adalah kelainan pada ekor (C) dan pada organ jantung,
yaitu edema perikardial. Senyawa aktif dari ekstrak yang masuk ke dalam kantung
perikardial dapat mengiritasi sel sehingga jantung terlihat membengkak.
Pemaparan dengan ekstrak etanol 100 ppm menyebabkan 70% embrio tidak
menetas saat 48 jpf. Malformasi dominan yang terjadi adalah sumbu tubuh yang
bengkok (D, 72 jpf), edema perikardial (E, 96 jpf), dan edema kantung kuning
telur (F, 72 jpf) jika dibandingkan dengan larva kontrol. Kantung kuning telur
berfungsi menyediakan nutrisi bagi embrio. Edema kuning telur merupakan salah
satu indikasi penyerapan nutrisi yang tidak sempurna pada embrio. Kelainan
tersebut dapat disebabkan oleh malformasi pada organ lain yang membantu
penyebaran nutrisi, sehingga penyerapan nutrisi oleh embrio terhambat dan
embrio mengalami kekurangan nutrisi dengan efek lebih lanjut ialah kematian.
Perlakuan dengan ekstrak 200 ppm (G) menyebabkan embrio tidak menetas
menjadi larva meskipun telah terjadi perkembangan embrio di dalam telur.
Embrio yang tidak dapat keluar dari korion dapat disebabkan oleh tidak
berkembangnya somit. Somit merupakan jaringan yang nantinya akan
terdiferensiasi menjadi tulang belakang dan otot rangka, sehingga kelainan
perkembangan somit dapat menyebabkan kelainan sumbu tubuh dan terhambatnya

10
proses hatching (Eeden et al. 1996). Perlakuan 400 dan 600 ppm (H)
menyebabkan kematian embrio yang lebih dini di dalam korion.

A

B

C

D

E

F

G

H

Gambar 3

Morfologi embrio ikan zebra normal pada kontrol, dan beberapa
abnormalitas pada perlakuan dengan ekstrak etanol: Embrio normal
K˗ 24 jpf (A), K˗ 48 jpf (B), malformasi ekor (72 jpf, 50 ppm) (C),
malformasi sumbu tubuh (72 jpf, 100 ppm) (D), edema perikardial
(96 jpf, 100 ppm) (E), edema kantung kuning telur (72 jpf, 100 ppm)
(F), perlakuan 48 jpf, 200 ppm (G), perlakuan 24 jpf 400 dan 600
ppm (H). K-: kontrol negatif, jpf: jam pasca fertilisasi (bar 300 µm).

Tidak berbeda dengan ekstrak etanol, kontrol negatif pada pengujian fraksi
etil asetat menunjukkan perkembangan embrio dalam telur pada 24 jpf (Gambar
4A) dan telah berkembang menjadi larva pada 48 jpf (B). Selain kontrol negatif,
pada perlakuan dengan fraksi etil asetat diamati pula perkembangan embrio pada
kontrol pelarut (air + DMSO) untuk melihat pengaruh penambahan DMSO. Hasil
pengamatan menunjukkan bahwa 48 jpf embrio menetas menjadi larva (C) dan
selama 96 jpf tidak ditemukan adanya malformasi pada organ larva ikan zebra
(D). Berdasarkan hasil ini, 100 µL DMSO yang ditambahkan masih aman dan
tidak memengaruhi perkembangan embrio ikan zebra.
Perlakuan fraksi etil asetat 50 ppm menyebabkan sumbu tubuh bengkok (E)
dan pembengkakan jantung (F) pada embrio yang telah menetas. Jumlah larva
yang mengalami pembengkakan jantung maupun pembengkokan sumbu tubuh
semakin meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi perlakuan. Hal ini
mengindikasikan ekstrak etil asetat spesifik terhadap sumbu tubuh dan jantung.
Selain malformasi tersebut, pada perlakuan 100 ppm mulai ditemukan adanya
edema kantung kuning telur (G) dan malformasi ekor (H) pada larva ikan zebra.

11
Sama halnya dengan ekstrak etanol, perlakuan konsentrasi 200 ppm fraksi etil
asetat juga menyebabkan embrio tidak dapat menetas, tetapi telah terjadi
perkembangan di dalam korion (I). Perlakuan 400 ppm dan 600 ppm pada 24 jpf
telah menyebabkan koagulasi (kematian) pada embrio (J).
A

B

C

D

E

F

G

H

I

J

Gambar 4

Morfologi embrio ikan zebra normal pada kontrol, dan beberapa
abnormalitas pada perlakuan dengan fraksi etil asetat: embrio normal
K˗ 24 jpf (A), K˗ 48 jpf (B), KS 24 jpf (C), KS 48 jpf (D), edema
perikardial (96 jpf, 50 ppm) (E), malformasi sumbu tubuh (48 jpf, 50
ppm) (F), edema kantung kuning telur (72 jpf, 100 ppm) (G),
malformasi ekor (72 jpf, 100 ppm) (H), perlakuan 48 jpf 200 ppm
(I). perlakuan 24 jpf, 400 dan 600 ppm (J), K-: kontrol negatif, KS:
kontrol pelarut, jpf: jam pasca fertilisasi (bar 300 µm)

Wu et al. (2007) melaporkan bahwa efek teratogenik akibat pemberian
kurkumin pada embrio ikan zebra adalah pembengkokan ekor, pembengkokan
tulang belakang, edema perikardial, edema kantung kuning telur, dan ukuran
badan larva yang lebih pendek. Efek teratogenik pada embrio ikan zebra setelah
dipapari ekstrak etanol dan fraksi etil asetat tidak jauh berbeda dengan hasil
tersebut. Hal tersebut menunjukkan bahwa senyawa aktif dalam kedua ekstrak
adalah kurkumin. Hasil ini sesuai dengan hasil analisis KCKT yang menunjukkan
kadar kurkumin pada kedua ekstrak paling tinggi dibandingkan dengan 2 senyawa
golongan kurkuminoid lainnya. Jumlah embrio yang mengalami malformasi

12
dengan perlakuan fraksi etil asetat lebih banyak daripada perlakuan dengan
ekstrak etanol, tetapi jumlah embrio yang mati lebih banyak disebabkan oleh
perlakuan ekstrak etanol daripada fraksi etil asetat. Hasil tersebut sebanding
dengan nilai LC50 96 jpf yang diperoleh. Nilai LC50 ekstrak etanol lebih rendah
daripada fraksi etil asetat yang menunjukkan ekstrak etanol lebih toksik terhadap
embrio ikan zebra daripada fraksi etil asetat.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Ekstrak etanol maupun fraksi etil asetat bersifat toksik terhadap larva udang
dan embrio ikan zebra. Secara umum nilai LC50 hasil uji ZFET lebih rendah
daripada hasil uji BSLT, dengan ekstrak yang paling toksik adalah ekstrak etanol.
Malformasi mayor yang teramati pada perlakuan ekstrak etanol ialah kelainan
pada jantung, sedangkan pada perlakuan fraksi etil asetat ialah kelainan sumbu
tubuh dan jantung.

Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pada uji ZFET dengan menggunakan
deret konsentrasi yang lebih rendah agar proses perkembangan embrio dapat lebih
teramati dengan jelas. Selain itu, perkembangan embrio perlu dianalisis
menggunakan kurkumin murni sebagai kontrol positif.

DAFTAR PUSTAKA
[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 2006. Official Method of
Analysis of The Association of Official Analytical of Chemist. Arlington
(US): AOAC Int.
Beevers CS, Huang S. 2011. Pharmacological and clinical properties of curcumin.
Botanics: Targets and Therapy. 1:5-18.
Brannen KC, Panzica–Kelly JM, Danberry TL, Augustine-Rauch KA. 2010.
Development of a zebrafish embryo teratogenecity assay and quantitative
prediction model. Birth Defects Res Part B: Dev Reprod Toxicol. 89:66-77.
Chakraborty C, Hsu CH, Wen ZH, Lin CS, Agoramoorthy G. 2009. Zebrafish: a
complete animal model for in vivo drug discovery and development. Curr
Drug Metabolism. 10(2):116-124.
Cheah YH, Nordin FJ, Sarip R, Tee TT, Azimahtol HLP, Sirat HM, Rashid BAA,
Abdullah NR, Ismail Z. 2009. Combined xanthorrhizol-curcumin exhibits
synergistic growth inhibitory activity via apoptosis induction in human
breast cancer cells MDA-MB-231.Cancer Cell Int. 9(1):1-12.

13
Coelho S, Oliveira R, Pereira S, Musso C, Domingues I, Bhujel RC, Soares
AMVM, Nogueira AJA. 2011. Assessing lethal and sub-lethal effects of
trichlorfon on different trophic levels. Aqua Toxicol. 103:191-198.
[Depkes RI] Departemen Kesehatan RI. 1992. Pedoman Fitofarmaka. Jakarta
(ID): Departemen Kesehatan RI.
Devaraj S, Ismail S, Ramanathan S, Yam MF. 2013. In vivo toxicological
investigation of standardized ethanolic extract of Curcuma xanthorrhiza
Roxb. rhizome. J Nat Plant Resour. 3(1):67-73.
Eeden FJMV, Granato M, Schach U, Brand M, Seiki MF, Haffter P,
Hammerschmidt M, Heisenberg CP, Jiang YJ, Kane DA et al. 1996.
Mutation affecting somite formation and patterning in the zebrafish Danio
rerio. Development. 123:153-164.
[EMA]
European Medicines Agency. Assessment report on Curcuma
xanthorrhiza Roxb. (C. xanthorrhiza D. Dietrich)., rhizome. London (UK):
EMA.
Heiden TCK, Dengler E, Kao WJ, Heideman W, Peterson RE. 2007.
Developmental toxicity of low generation PAMAM dendrimers in zebrafish.
Toxicology Appl Pharmacol. 225:70-79
Itokawa H, Shi Q, Akiyama T, Morris-Natschke SL, Lee KH. 2008. Recent
advances in the investigation of curcuminoids. Chin Med. 3(11):1-13.
Jayaprakasha GK, Rao LJM, Sakariah KK. 2002. Improved HPLC method for the
determination of curcumin, demethoxycurcumin, and bisdemethoxy
curcumin. J Agric Food Chem. 50:3668-3672.
Kari G, Rodeck U, Dicker AP. 2007. Zebrafish: an emerging model system for
human disease and drug discovery. Clin Pharmacol Therapeutics. 82:70-80.
Kim DS, Park SY, Kim JY. 2001. Curcuminoids from Curcuma longa L.
(Zingiberaceae) that protect PC12 rat pheochromocytoma and normal
human umbilical vein endothelial cells from âA (1-42) insult. Neurosci Lett.
303:57-61.
Ma C, Pang C, Seng WL, Zhang C, Willet C, McGrath P. 2007. Zebrafish, an in
vivo model for drug screening. Drug Discovery. 6:38-45.
Mangunwardoyo W, Deasywaty, Usia T. 2012. Antimicrobial and identification
of active compound Curcuma xanthorrhiza Roxb. IJBAS-IJENS. 12(1): 6978.
Mary HPA, Susheela GK, Jayasree S, Nizzy AM, Rajagopal B, Jeeva S. 2012.
Phytochemical characterization and antimicrobial activity of Curcuma
xanthorrhiza Roxb. Asian Pacific J Trop Biomed. 60288:3-6.
doi:10.1016/S2221-1691(12)60288-3.
Meyer BN, Ferrigni NR, Putman JE, Jacobson LB, Nichol DE, McLaughlin JL. 1982.
Brine shrimps: a convenient general bioassay for active plant constituent.
Planta Med. 45:31-34.
Nurcholis W, Ambarsari L, Sari NL, Darusman LK. 2012a. Curcuminoid
contents, antioxidant and anti-inflammatory activities of Curcuma
xanthorrhiza Roxb. and Curcuma domestica Val. promising lines from
Sukabumi of Indonesia. Di dalam: Prosiding Seminar Nasional Kimia
Unesa 2012; 2012 Feb 25; Surabaya, Indonesia.

14
Nurcholis W, Priosoeryanto BP, Purwakusumah ED, Katayama T, Suzuki T.
2012b. Antioxidant, cytotoxic activities and total phenolic content of four
Indonesian medicinal plants. Valensi. 4(2):501-510.
Nurcholis W, Purwakusumah ED, Rahardjo M, Darusman LK. 2012c. Variasi
bahan bioaktif dan bioaktivitas tiga nomor harapan temu lawak pada lokasi
budidaya berbeda. J Agron Indonesia. 40(2):153-159.
[OECD] The Organization for Economic Co-operation and Development. 2013.
OECD Guidelines for The Testing of Chemicals No. 236. Fish Embryo
Acute Toxicity (FET) Test. Paris (FR): OECD.
Ruslay S, Abas F, Shaari K, Zainal Z, Maulidiani, Sirat H, Israf DA, Lajis NH.
2007. Characterization of the components present in the active fractions of
health gingers (Curcuma xanthorrhiza and Zingiber zerumbet) by HPLCDAD-ESIMS. Food Chem. 104:1183-1191.
Sharma RA, Gescher AJ, Steward WP. 2005. Curcumin: The story so far. Eur J
Cancer. 41:1955-1968.
Simon A, Allais DP, Duroux JL, Basly JP, Durand FS, Delage C. 1998. Inhibitory
effect of curcuminoidss on MCF-7 cell proliferation and structure-activity
relationship. Cancer Lett. 129:111-116.
Srijanto B, Rosidah I, Rismana E, Syahbirin G, Yusro AK, Aan. 2005. Perbandingan
ekstraksi kurkumin dari temu lawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) dengan
pelarut aseton dan etanol. Di dalam: Prosiding Seminar Nasional Penggalian
Potensi Sembilan Tanaman Obat Unggulan Indonesia 2005; 2005 Mei 6-7;
Purwokerto, Indonesia.
Srijanto B, Syahbirin G. 2007. Optimasi ekstraksi kurkumin dari temu lawak
(Curcuma xanthorriza Roxb.) secara batch. Di dalam: Prosiding Seminar
Nasional Teknik Kimia Universitas Parahyangan; 2007 Nov 22; Bandung,
Indonesia.
Wei X, Bugni TS, Harper MK, Sandoval IT, Manos EJ, Swift J, Wagoner RMV,
Jones DA, Ireland CM. 2010. Evaluation of pyridoacridine alkaloids in a
zebrafish phenotypic assay. Mar Drugs 8:1769-1778.
Wu JY, Lin CY, Lin TW, Ken CF, Wen YD. 2007. Curcumin affects
development of zebrafish embryo. Biol Pharm Bull. 30(7):1336-1339.

15
Lampiran 1 Diagram alir penelitian

Determinasi
tumbuhan

Temu lawak

Dikeringkan pada suhu 40 ºC, 24 jam

Temu lawak kering

Penentuan kadar air

Serbuk temu lawak
Maserasi

Partisi cair-cair

Ekstrak etanol

Fraksi etil asetat

KCKT

BSLT

ZFET

16
Lampiran 2 Sertifikat persetujuan etik hewan

17
Lampiran 3 Hasil determinasi tanaman

18
Lampiran 4 Kadar air temu lawak

Ulangan
1
2
3

Bobot (g)
Sampel
Sampel
awal
kering
2.0001
1.7205
2.0007
1.7197
2.0005
1.7229
Rerata

Kadar air (%)
14.01
14.04
14.10
14.05

Contoh perhitungan:
% Kadar air

=

Bobot sampel awal-Bobot sampel kering
Bobot sampel awal
2.0001 - 1.7205

×100%

=
2.0001
= 14.01%
Rerata kadar air =

× 100%

KA1 + KA2 + KA3
3
14.01+14.04+14.10 %

=
3
= 14.05%

Lampiran 5 Rendemen ekstrak etanol temu lawak dan fraksi etil asetat
Sampel
Ekstrak etanol
Fraksi etil asetat

Bobot contoh awal
(g)
100.6700
6.1690

Perhitungan:
Rendemen ekstrak etanol

=
=

Rendemen fraksi etil asetat =

a
(1 − kadar air)b
15.3793 g

Bobot ekstrak
(g)
15.3793
2.8219

Rendemen
(%)
17.77
45.74

×100%

1−0.1405 100.6700

×100% = 17.77 %( b⁄b )

2.8219
× 100% = 45.74 %( b⁄b )
6.1690

19
Lampiran 6 Kromatogram KCKT
Kromatogram standar kurkuminoid

Volt

Waktu retensi

Menit

Hasil UV-VIS
Waktu retensi
7.847
8.463
9.110
Totals

Luas
puncak
345871
305170
336042
987083

Luas
puncak (%)
35.04
30.92
34.04
100.00

Tinggi
puncak
27591
24923
23462
75976

Tinggi
puncak (%)
36.32
32.80
30.88
100.00

Kromatogram ekstrak etanol

Volt

Waktu retensi

Menit

Hasil UV-VIS
Waktu retensi
7.827
8.447
9.093

Luas
puncak
21774
380185
1051747

Luas
puncak (%)
1.41
24.60
68.06

Tinggi
puncak
2136
34404
80301

Tinggi
puncak (%)
1.71
27.56
64.32

20
lanjutan Lampiran 6
Kromatogram fraksi etil asetat

Volt

Waktu retensi

Menit

Hasil UV-VIS
Waktu retensi
7.837
8.457
9.100

Luas
puncak
26028
373557
856209

Luas
puncak (%)
1.91
27.48
62.98

Tinggi
puncak
2553
34596
68707

Tinggi
puncak (%)
2.21
29.95
59.47

21
Lampiran 7 Hasil analisis KCKT ekstrak
Sampel
Ekstrak
etanol
Fraksi
etil
asetat

Luas
area
standar
Bisdemetoksikurkumin 21774 345871
Demetoksikurkumin
380185 305170
Kurkumin
1051747 336042
Bisdemetoksikurkumin 26028 345871
Demetoksikurkumin
373557 305170
Kurkumin
856209 336042
Kurkuminoid

Luas area

Kadar
(mg/g)
1.4848
29.3824
73.8162
1.7782
28.9247
60.2061

Total
(mg/g)
104.6834

90.9090

Contoh perhitungan:
Bobot sampel ekstrak etanol = 0.053 g
Bobot sampel fraksi etil asetat = 0.0592 g

Kadar (mg/s)

=
=

Luas area sampel
Luas area standar

×Vol labu × [std] × FP

bobot sampel ×1000

21774
345871

×50 mL × 0.5 ppm × 50
0.053 g ×1000

=1.4848 mg/g

Kadar kurkuminoid total = 1.4848 + 29.3824 + 73.8162 = 104.6834 mg/g

22

Nilai probit

Lampiran 8 Hasil uji toksisitas BSLT ekstrak etanol
Jumlah
larva
Jumlah
Konsentrasi
Ulangan hidup
Rerata
larva
(ppm)
awal
mati
100
1
10
1
0.6667
2
10
1
3
10
0
200
1
10
2
2.6667
2
10
4
3
10
2
300
1
10
6
6.3333
2
10
6
3
10
7
400
1
10
8
8.6667
2
10
9
3
10
9
500
1
10
9
9.3333
2
10
10
3
10
9

7
6
5
4
3
2
1
0

%
kematian

Nilai
probit

6.67

3.52

26.67

4.39

63.33

5.33

86.67

6.13

93.33

6.48

y = 4,3819x - 5,4159
R² = 0,976

0

0,5

1

1,5

Log konsentrasi

Perhitungan LC50 :
y = 4.3819x – 5.4159
5 = 4.3819x – 5.4159
x = 2.3770
LC50 = 10 2.3770
= 238.2319 ppm

2

2,5

3

23
Lampiran 9 Hasil uji toksisitas BSLT fraksi etil asetat
Jumlah
Jumlah
Konsentrasi
larva
Ulangan larva hidup
Rerata
(ppm)
awal
mati
100
1
10
2
1.0000
2
10
1
3
10
0
200
1
10
6
5.3333
2
10
4
3
10
6
300
1
10
8
9.0000
2
10
9
3
10
10
400
1
10
10
9.6667
2
10
10
3
10
9
500
1
10
10
10.0000
2
10
10
3
10
10
10

y = 5,9945x - 8,4716
R² = 0,9719

Nilai probit

8
6
4
2
0
0

1

2

Log konsentrasi

Perhitungan LC50 :
y = 5.9945x – 8.4716
5 = 5.9945x – 8.4716
x = 2.2473
LC50 = 10 2.2473
= 176.7258 ppm

3

%
kematian

Nilai
probit

10.00

3.72

53.33

5.08

90.00

6.28

96.67

6.88

100.00

8.09

24
Lampiran 10 Hasil uji toksisitas ZFET ekstrak etanol
Konsentrasi
(ppm)
50
100
200
400
600
50
100
200
400
600

Jam

48

96

Jumlah total
embrio awal
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20

Jumlah embrio
mati
0
2
16
20
20
1
15
20
20
20

etanol 48 jpf
probit

y = 7,574x - 12,091
R² = 0,9512

0
0

1

Nilai
probit

5
75
100
100
100

0
3.72
5.84
8.09
8.09
3.36
5.67
8.09
8.09
8.09

Perhitungan LC50 :

10
5

%
Kematian
0
10
80
100
100

2

3

y = 7.574x – 12.091
5 = 7.574x – 12.091
x = 2.2565
LC50 = 10 2.2565
= 180.5240 ppm

log konsentrasi

probit

etanol 96 jpf
10
8
6
4
2
0

y = 4.4226x – 3.4059
5 = 4.4226x – 3.4059
x = 1.9007
LC50 = 10 1.9007
= 79.5553 ppm

y = 4,4226x - 3,4059
R² = 0,8346

0

1

2

log konsentrasi

3

25
Lampiran 11 Hasil uji toksisitas ZFET fraksi etil asetat
Konsentrasi
(ppm)
50
100
200
400
600
50
100
200
400
600

Jam

48

96

Jumlah total
embrio awal
20
20
20
20
20
20
20
20
20
20

Jumlah embrio
mati
1
4
14
20
20
1
7
20
20
20

EA 48 jpf
nilai probit

y = 4,8815x - 5,2666
R² = 0,9535

0
0

1

2

3

log konsentrasi

EA 96 jpf
Nilai probit

10
5
0

1

3.36
4.16
5.52
8.09
8.09
3.36
4.48
8.09
8.09
8.09

y = 4.8815x – 5.2666
5 = 4.8815x – 5.2666
x = 2.1032
LC50 = 10 2.1032
= 126.8134 ppm

y = 4.8034x – 4.4848
5 = 4.8034x – 4.4848
x = 1.9746
LC50 = 10 1.9746
= 94.3195 ppm

y = 4,8034x - 4,4848
R² = 0,844

0

5
35
100
100
100

Nilai
probit

Perhitungan LC50 :

10
5

%
Kematian
5
20
70
100
100

2

log konsentrasi

3

26

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Cianjur pada tanggal 17 Oktober 1992 dari ayah
Mumuh Muhaemin dan ibu Onoh Rodiah. Penulis adalah putri pertama dari 2
bersaudara. Penulis lulus dari SMA Negeri 1 Cilaku, Cianjur pada tahun 2010 dan
pada tahun yang sama pula penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor
(IPB) melalui jalur Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen
Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten praktikum Kimia B
TPB pada tahun ajaran 2013/2014 dan 2014/2015, Kimia Dasar 1 (2014/2015),
dan Kimia Dasar 2 (2013/2014). Penulis pernah aktif dalam Unit Kegiatan
Mahasiswa Lingkung Seni Sunda Gentra Kaheman pada tahun 2010–2013.
Penulis juga berkesempatan melaksanakan praktik lapangan di Balai Besar
Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BBPMSOH) Gunung Sindur,
Bogor.