Kandungan Kolesterol, Lemak, Vitamin A dan E dalam Daging, Hati, dan Telur, serta Performa Puyuh dengan Pemberian Ekstrak dan Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus L. Merr) dalam Ransum

(1)

KANDUNGAN KOLESTEROL, LEMAK, VITAMIN A DAN E

DALAM DAGING, HATI, DAN TELUR, SERTA PERFORMA

PUYUH DENGAN PEMBERIAN EKSTRAK DAN TEPUNG

DAUN KATUK (

Sauropus androgynus L. Merr

)

DALAM RANSUM

SKRIPSI SITI MAWADDAH

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(2)

ii RINGKASAN

Siti Mawaddah D24062085. 2011. Kandungan Kolesterol, Lemak, Vitamin A dan E dalam Daging, Hati, dan Telur, serta Performa Puyuh dengan Pemberian Ekstrak dan Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus L. Merr) dalam Ransum. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Ir. Widya Hermana, M.Si.

Pembimbing Anggota : Prof. Dr. Ir. Wiranda G Piliang, M.Sc.

Daun katuk (Sauropus androgynus L. Merr) merupakan tanaman obat yang sudah banyak diteliti karena banyak manfaatnya. Beberapa manfaat daun katuk yaitu sebagai tanaman obat keluarga, bahan makanan yang bergizi tinggi, zat pewarna makanan, dan dapat memperlancar air susu ibu. Daun katuk memiliki kandungan serat kasar yang paling tinggi pada beberapa tanaman hijau bahan pakan (23,65%). Penggunaan daun katuk dalam pakan ternak dapat dibuat dengan beberapa metode yaitu dalam bentuk tepung dan ekstrak. Masing-masing metode memiliki keunggulan, bentuk tepung mudah dalam pembuatan tetapi serat kasar yang terkandung masih tinggi dan menjadi hambatan dalam pencernaan khususnya unggas. Bentuk ekstrak yang memiliki kemudahan dalam penyimpanan, dan dalam proses pembuatan ekstrak bertujuan untuk mengambil sebagian atau seluruh zat yang ada di dalam tanaman.

Penelitian ini bertujuan untuk mengamati pengaruh perbedaan pemberian ekstrak tepung daun katuk (ETDK) yang dibandingkan dengan tepung daun katuk (TDK) melalui penilaian kandungan kolesterol, lemak, vitamin A dan E pada daging, hati dan telur, serta performa puyuh. Ransum perlakuan yang diberikan terdiri dari empat macam ransum, yaitu ransum basal (R0) sebagai ransum kontrol, R0 + 0,15% ETDK (R1), R0 + 0,30% ETDK (R2), R0 + 10% TDK (R3). Puyuh terbagi atas 4 perlakuan dan 4 ulangan dengan 13 ekor setiap ulangan. Data performa puyuh yang diperoleh dianalisis dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dan diuji lanjut dengan uji jarak Duncan jika hasilnya berbeda nyata sedangkan data kandungan kolesterol, lemak, vitamin A dan E dianalisis secara deskriptif.

Hasil penelitian menunjukkan analisis performa puyuh yang terdiri dari konsumsi ransum, Hen day, massa telur, bobot telur, konversi ransum tidak berbeda nyata sedangkan untuk warna kuning telur berbeda sangat nyata (P<0,01). Kandungan kolesterol dan lemak terendah pada daging, hati dan telur diperoleh dengan pemberian 10% tepung daun daun katuk dalam ransum, serta kadungan vitamin A dan E tertinggi juga diperoleh pada pemberian 10% tepung daun katuk. Berdasarkan hasil yang diperoleh bahwa pemberian ekstrak dengan kadar 0,15% dan 0,30% tidak memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan pemberian tepung daun katuk 10% dalam ransum.

Kata-kata kunci: Sauropus androgynus L Merr, kolesterol, vitamin A, vitamin E, puyuh


(3)

iii ABSTRACT

The Content of Cholesterol, Fat, Vitamin A and E in Meat, Liver, and Eggs, and Performance of Quail by Giving Extract and Katuk Leaves Meal (Sauropus

androgynus L. Merr) in The Diet S. Mawaddah, W. Hermana, W.G. Piliang

Katuk leaves (Sauropus androgynus L. Merr) is a medicinal plant that has been much studied because it has many benefits. The use of katuk leaves in animal feed can be made by several methods, i.e. in the form of meal and extract. Each method has positive and negative values. Positive value in the form of meal is easy in the making, but the crude fiber that was contained in katuk leaves become a barrier in the digestion. While a positive value for the extract is easier in the regulation of dosage, easy storage, for a longer period of time is practical in preparing and maintaining durability of materials, as well as goal of extract is to take part or all of certain substances that contained in plant material. Treatment rations were given consisted of four different diets, basal diet (R0) as a control diet, R0 + 0.15% ETDK (R1), R0 + 0.30% ETDK (R2), R0 + 10% TDK (R3). The quails divided into 4 treatments and 4 replicates with 13 quils each replication. The data of quail performances were analyzed by completely randomized design and further test with Duncan's test if the results are significantly different, while the data content of cholesterol, fat, vitamin A and E were analyzed descriptively. The results showed quail performances of feed consumption, Hen day, egg mass, egg weight, feed conversion ratio were not significantly diffferent, but for egg yolk color was very significantly different (P<0.01). The lowest content of cholesterol and fat in the liver, meat, and eggs obtained by giving 10% katuk leaves meal, as well as the highest content of vitamin A and E results were also obtained by giving 10% katuk leaves meal. Based on the results that the extract katuk leaves meal with concentration 0.15% and 0.30% did not give better results than 10% katuk leaves meal in ration.


(4)

iv Judul : Kandungan Kolesterol, Lemak, Vitamin A dan E dalam Daging, Hati, dan Telur, serta Performa Puyuh dengan Pemberian Ekstrak dan Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus L. Merr) dalam Ransum

Nama : Siti Mawaddah NIM : D24062085

Menyetujui, Pembimbing Utama,

(Ir. Widya Hermana M.Si) NIP. 19680110 199203 2 001

Pembimbing Anggota,

(Prof. Dr.Ir. Wiranda G Piliang M.Sc) NIP. 19450803 197304 2 001

Mengetahui: Ketua Departemen

Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan

(Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Sc.Agr) NIP. 19670506 199103 1 001


(5)

v RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 17 November 1988 di Bogor, Jawa Barat. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Kahfi Ali Jatmoko dan Ibu Sri Widayati.

Penulis mengawali pendidikan pada tahun 1992 di Taman Kanak-kanak Cendrawasih dan dilanjutkan dengan pendidikan dasar pada tahun 1994 di Sekolah Dasar Islam Al-Azhar 06 Jakapermai sampai tahun 2000. Pendidikan lanjutan tingkat pertama dimulai pada tahun 2000 dan diselesaikan pada tahun 2003 di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 3 Bekasi. Penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Bekasi dan diselesaikan pada tahun 2006.

Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2006 melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan diterima di Departemen INTP, Fakultas Peternakan pada tahun 2007. Selama mengikuti pendidikan penulis aktif dalam organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa periode 2007-2008 sebagai staf Sosial Lingkungan Masyarakat (SOSLINGMAS), periode 2008-2009 sebagai Kepala Departemen (SOSLINGMAS) pada periode yang sama 2008-2010 sebagai staf kesekretariatan dan administrasi ISMAPETI, periode 2009-2010 sebagai staf kebijakan kampus BEM KM. Penulis juga pernah menjadi asisten untuk mata kuliah Pendidikan Agama Islam periode 2010-2011 dan magang di bagian administrasi Departemen INTP periode 2010-sekarang.


(6)

vi KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT, atas nikmat yang tidak terhitung, kasih sayang dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan

judul ”Kandungan Kolesterol, Lemak, Vitamin A dan E dalam Daging, Hati, dan

Telur, serta Performa Puyuh dengan Pemberian Ekstrak dan Tepung Daun Katuk (Sauropus androgynus L. Merr) dalam ransum. Skripsi ini disusun berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan pada bulan Juni sampai September 2009.

Skripsi ini memuat informasi tentang penggunaan daun katuk dalam dua bentuk yang berbeda. Perbedaan bentuk dan kandungan nutrien dalam katuk yang diberikan terhadap puyuh memberikan hasil yang berbeda terhadap status kolesterol pada daging, hati, dan telur puyuh.

Melalui skripsi ini penulis mengharapkan masukan-masukan yang bersifat membangun yang dapat menjadi pelajaran yang bermanfaat bagi penyusunan skripsi ini dimasa yang akan datang dengan mengembangkan konsep yang lebih lengkap. Demikian pengantar ini penulis sampaikan, mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, 7 September 2011


(7)

viii DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN …….. ... ii

ABSTRACT ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

LEMBAR PENGESAHAN ... v

RIWAYAT HIDUP ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 2

TINJAUAN PUSTAKA ... 3

Daun Katuk ... 3

Taksonomi, Morfologi, dan Jenis ... 3

Daerah Asal dan Penyebaran ... 4

Sejarah Perkembangan Penelitian Tanaman Katuk ... 5

Anti Nutrisi pada Tanaman Katuk ... 6

Peranan Daun Katuk dalam Menurunkan Kolesterol dan Lemak ... 7

Ekstraksi Daun Katuk... 9

Burung Puyuh ... 9

Penyebaran dan Klasifikasi ... 8

Konversi Ransum ... 10

Konsumsi Ransum ... 11

Warna Kuning Telur... 11

Kolesterol ... 12

Lemak ... 13

Vitamin A ... 14

Vitamin E ... 15

MATERI DAN METODE ... 13

Waktu dan Tempat ... 17

Materi ... 17

Ternak dan Bahan ... 17


(8)

ix

Metode ... 18

Pembuatan Tepung Daun Katuk ... 18

Pembuatan Ekstrak Tepung Daun Katuk ... 18

Pencampuran Ransum ... 19

Perlakuan ... 20

Pemeliharaan ... 20

Prosedur Analisis Kandungan Kolesterol Daging, Hati dan Telur Puyuh ... 21

Prosedur Analisis Kandungan Lemak Daging, Hati dan Telur Puyuh ... 22

Prosedur Analisis Kandungan Vitamin A Daging, Hati dan Telur Puyuh ... 22

Prosedur Analisis Kandungan Vitamin E Daging, Hati dan Telur Puyuh ... 24

Peubah yang Diamati ... 24

Kandungan Kolesterol dalam Daging, Hati dan Telur Puyuh. . 24

Kandungan Lemak dalam Daging, Hati dan Telur Puyuh ... 24

Kandungan Vitamin A dan E dalam Daging, Hati dan Telur Puyuh ... 24

Konsumsi Ransum... 25

Produksi Telur Hen Day ... 25

Massa Telur ... 25

Bobot Telur ... 25

Konversi Ransum ... 25

Warna Kuning Telur ... 25

Rancangan Percobaan ... 25

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 26

Kandungan Kolesterol pada Daging, Hati dan Telur Puyuh ... 26

Kandungan Lemak pada Daging, Hati dan Telur Puyuh ... 28

Kandungan Vitamin A dan E pada Daging, Hati dan Telur Puyuh ... 29

Konsumsi Ransum ... 32

Produksi Telur Hen day ... 33

Bobot Telur ... 34

Massa Telur ... 35

Konversi Ransum ... 36

Warna Kuning Telur ... 37

KESIMPULAN DAN SARAN ... 38

Kesimpulan ... 38

Saran ... 38

UCAPAN TERIMA KASIH ... 39

DAFTAR PUSTAKA ... 40

LAMPIRAN ... 44


(9)

x DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Perbandingan Kandungan Serat Kasar pada Beberapa Tanaman Hijauan Bahan Pakan...

8

2. Kandungan Nutrien dari Ransum Kontrol, TDK dan ETDK... 19

3. Kandungan Nutrien Setiap Ransum Berdasarkan Perhitungan... 20

4. Kandungan Fitokimia ETDK dan TDK Hasil Uji Kualitatif... 20

5. Kandungan Kolesterol Daging, Hati, dan Telur Puyuh... 26

6. Kandungan Lemak Daging, Hati, dan Telur Puyuh... 28 7. Kandungan Vitamin A dan E pada Daging, Hati, dan Telur

Puyuh... 30 8. Konsumsi Ransum,Produksi Telur Hen Day, Bobot Telur, Massa Telur,

Konversi Ransum, Skor Warna Kuning Telur Puyuh... Telur...


(10)

xi DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Daun Katuk …….. ... 4

2. Japanese Quail…….. ... 10

3. Struktur Kimia Kolesterol ……... 12

4. Struktur Kimia Vitamin A …….. ... 15

5. Struktur Kimia Vitamin E …….. ... 16

6. Skema Pembuatan Tepung Daun Katuk (TDK) ... 18

7. Skema Pembuatan Ekstrak Tepung Daun Katuk (ETDK) ... 18

8. Grafik Kandungan Kolesterol pada Daging, Hati dan Telur Puyuh ... 27

9. Grafik Kandungan Lemak pada Daging, Hati dan Telur Puyuh ... 29

10. Grafik Kandungan Vitamin A pada Daging, Hati dan Telur Puyuh ... 30

11. Grafik Kandungan Vitamin E pada Daging, Hati dan Telur Puyuh ... 31

12. Grafik Rataan Konsumsi Ransum Puyuh Selama Penelitian ... 33

13. Grafik Produksi Telur Hen Day Selama Penelitian…….. ... 34

14. Grafik Rataan Bobot Telur Puyuh Selama Penelitian ... 35

15. Grafik Rataan Massa Telur Puyuh Selama Penelitian ... 35

16. Grafik Rataan Konversi Ransum Puyuh Selama Penelitian ... 36


(11)

xii DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. ANOVA Pengaruh Perlakuan terhadap Konsumsi Ransum Puyuh Selama Penelitian...

45 2. ANOVA Pengaruh Perlakuan terhadap Produksi Telur Hen Day

Selama Penelitian...

45 3 ANOVA Pengaruh Perlakuan terhadap Massa Telur Puyuh

Selama Penelitian...

45 4. ANOVA Pengaruh Perlakuan terhadap Bobot Telur Puyuh

Selama Penelitian...

46 5. ANOVA Pengaruh Perlakuan terhadap Konversi Ransum Puyuh

Selama Penelitian...

46


(12)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kolesterol sudah sering didengar oleh sebagian besar masyarakat. Senyawa lemak komplek ini memiliki beberapa fungsi penting seperti membuat hormon seks dan adrenalin serta membentuk membran sel. Kolestrol secara terus menerus dibentuk atau disintesa di dalam hati untuk kebutuhan tubuh. Kolesterol secara terus-menerus dibentuk atau disintesis di dalam hati karena dibutuhkan oleh tubuh, bahkan 70% kolesterol dalam darah merupakan hasil sintesis dalam hati, sedangkan sisanya 30% merupakan sumbangan asupan makanan. Selama jumlah kolesterol baik hasil sintesis maupun yang bersumber dari makanan masih seimbang dengan tingkat kebutuhan, maka tubuh akan tetap sehat. Seiring dengan perkembangan pola hidup masyarakat yang cenderung banyak mengonsumsi makanan berlemak, maka tingkat asupan kolesterol menjadi lebih tinggi dari tingkat kebutuhannya. Asupan makanan dengan kandungan kolesterol tinggi yang berlangsung secara terus-menerus berakibat pada peningkatan kadar kolesterol dalam darah. Kelebihan kolesterol (hiperkolesterolemia) inilah yang menyebabkan dampak buruk terhadap kesehatan.

Pencegahan peningkatan kadar kolesterol dalam tubuh diantaranya dengan mengonsumsi produk pangan hewani yang rendah lemak dan kolesterol. Produk pangan hewan yang rendah lemak dan kolesterol dihasilkan dari pakan yang mengandung serat kasar cukup tinggi karena kecenderungan serat dapat mengikat kolesterol dan diduga bahwa dengan keberadaan serat akan menghambat emulsifikasi lemak dan kolesterol oleh garam empedu, sehingga kolesterol akan terikat oleh serat yang kemudian akan dikeluarkan melalui ekskreta.

Tanaman katuk (Sauropus androgynus L. Merr) merupakan alternatif tanaman yang mampu menurunkan kadar kolesterol kuning telur dan karkas ayam petelur (Ibrahim, 2004). Menurut Subekti (2007) daun katuk memiliki kandungan fitosterol yaitu 2,43 g/100 g kering dan 466 mg/100 g segar yang mampu menurunkan kolesterol serum, telur, karkas, dan hati pada puyuh. Fitosterol mencakup sterol tanaman dan stanol tanaman adalah lemak yang terdapat pada tanaman.

Penggunaan tanaman katuk pada ransum unggas memiliki banyak manfaat, selain menurunkan kolesterol, tanaman katuk mengandung vitamin A dan E. Kandungan vitamin A yang cukup tinggi sebesar 4337,34 µg/g pada tanaman katuk


(13)

2 dapat memberikan warna kuning telur yang lebih baik. Peranan vitamin E yang terkandung di dalam tanaman katuk befungsi pada reproduksi unggas, meningkatkan performa, memperkuat status imunoglobin, serta meningkatkan kandungan vitamin E pada produk pangan asal hewan sehingga asupan vitamin E pada konsumen meningkat.

Unggas memiliki keterbatasan dalam mencerna serat dengan maksimal pemberian 5% dalam ransum, sedangkan tepung daun katuk mengandung serat kasar yang cukup tinggi (15,89%) sehingga bersifat bulky dan menyebabkan keterbatasan pemberian dalam ransum dibandingkan serat kasar ekstrak tepung daun katuk (0,21%). Diketahui juga bahwa daun katuk mengandung tanin dan saponin yang merupakan antinutrisi (uji kualitatif) yang dapat mengganggu proses pencernaan sehingga menurunkan pertumbuhan (Rahayu, 2005). Penggunaan dalam bentuk ekstrak tepung daun katuk, Subekti (2007) melaporkan terdapat senyawa aktif yang berperan menurunkan kolesterol dalam kuning telur, hati dan karkas perlakuan kemungkinan disebabkan oleh adanya fitosterol terutama stigmasterol yang cukup tinggi.

Berdasarkan alasan tersebut maka, metode pemberian ekstrak tepung daun katuk yang mengandung serat kasar sangat kecil karena diduga terekstraknya komponen zat-zat yang menjadi kendala dalam pencernaan unggas dapat terurai, serta pemanfaatan senyawa aktif yang terdapat dalam bentuk ekstrak menjadi solusi dari keterbatasan pemberian serat kasar pada ternak unggas. Pemberian dalam bentuk ekstrak tepung daun katuk dipertahankan untuk meningkatkan warna kuning telur serta kandungan vitamin A dan E di dalam hati, daging dan telur.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbedaan pemberian ekstrak tepung daun katuk dan tepung daun katuk terhadap kandungan kolesterol, lemak, vitamin A dan E dalam daging, hati, dan telur serta performa puyuh.


(14)

3 TINJAUAN PUSTAKA

Daun Katuk Taksonomi, Morfologi, dan Jenis

Katuk dengan nama latin Sauropus androgynus (L.) Merr, merupakan tanaman yang dapat tumbuh tinggi hingga mencapai 2 m - 3 m, termasuk famili

Euphorbiceae dengan bentuk daun lonjong hingga bulat (Gambar 1), (Puspaningtyas

et al., 1997). Tanaman katuk tumbuh menahun (perennial), berbentuk semak perdu. Susunan morfologi tanaman katuk terdiri atas akar, batang, daun, buah, dan biji. Sistem perakaran tanaman katuk menyebar ke segala arah dan dapat mencapai kedalaman antara 30 cm - 50 cm. Batang tanaman tumbuh tegak dan berkayu. Pada stadium muda batang berwarna hijau dan setelah tua berubah menjadi kelabu keputih-putihan (Rukmana dan Harahap, 2011).

Sampai saat ini plasma nutfah tanaman katuk yang tumbuh di alam belum di karakterisasi menurut jenis dan varietas. Namun di lapangan dikenal dua jenis katuk, yaitu katuk merah dan katuk hijau. Perbedaan diantara katuk hijau dan katuk merah yaitu katuk hijau produktif menghasilkan daun sehingga dibudidayakan oleh masyarakat sedangkan katuk merah kurang produktif menghasilkan daun, tumbuh secara liar dan ditanam sebagai tanaman hias (Rukmana dan Harahap, 2011).

Menurut Prajogo dan Santa (1997), dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan kedudukan tanaman katuk dapat diklasifikasikan sebagai berikut.

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Euphorbiales

Suku : Euphorbiaceae

Marga : Saoropus

Jenis : Sauropus androgynus (L.) Merr.

Suku Euphorbiaceae tersebut termasuk ke dalam salah satu tanaman yang memiliki kandungan klorofil tinggi (Rahayu dan Leenawaty, 2005). Selain itu daun katuk banyak dikenal sebagai sumber vitamin A, karena kandungan beta karoten yang tinggi. Tanaman tersebut diakui sebagai sayuran tradisional yang memiliki nilai nutrisi dan mengandung fitokimia yang berfungsi sebagai antioksidan (Benjapak et al., 2008).


(15)

4 Daerah Asal dan Penyebaran

Tanaman katuk ada hampir di seluruh Asia Tenggara khususnya Thailand dikenal dengan nama Pak Wanban. Tanaman ini tumbuh tersebar di beberapa daerah yang beriklim tropis dan subtropis, terutama yang mempunyai curah hujan yang tinggi. Tumbuhan ini umumnya ditanam sebagai tumbuhan pagar di sepanjang jalan atau tumbuh liar, walaupun kadang-kadang ada yang ditanam di sela-sela tanaman lain dan tumbuh baik pada daerah dengan ketinggian 1.300 m di atas permukaan laut, (Wijono, 2004). Di Indonesia, menurut Azis dan Muktiningsih (2006) tanaman katuk tumbuh di tanah ketinggian 0 - 2.100 m di atas permukaan laut.

Beberapa literatur menyatakan bahwa plasma nutfah tanaman katuk berasal dari India. Dalam perkembangan selanjutnya, tanaman katuk menyebar luas di kawasan Malaysia dan daerah sekitarnya yang beriklim tropis. Sejarah masuknya tanaman katuk ke Indonesia belum diketahui secara pasti. Namun, sejak abad 16 tanaman katuk telah banyak ditanam di berbagai daerah di wilayah nusantara, terutama dijadikan pagar hidup disepanjang jalan desa, batas-batas pekarangan, hutan jati, dan kebun-kebun atau tegalan (Rukmana dan Harahap, 2011). Penyebaran katuk di Indonesia dijumpai di Jawa, Sumatra, Kalimantan, Kepulauan Sunda, Maluku, Ternate dan Ambon (Setyowati, 1997). Sauropus androgynus (L.) Merr memiliki berbagai nama di Indonesia diantaranya yang terkenal dengan nama katuk (Sunda),

babing, katu, katukan (Jawa), semani (Minang), cekop manis, memata, atau karakur

(Madura).

Gambar 1. Daun Katuk


(16)

5 Beberapa Penelitian Tanaman Katuk pada Ternak

Keistimewaan yang dimiliki tanaman katuk telah menarik minat para peneliti untuk mengeksplorasi manfaat dan pengaruhnya pada ternak. Penelitian tentang daun katuk sudah diujicobakan pada berbagai ternak dengan metode dan taraf yang berbeda-beda. Pada hewan monogastrik seperti babi, itik, puyuh, ayam broiler, ayam petelur, sedangkan pada hewan ruminan seperti sapi, kambing, dan domba.

Penelitian tanaman katuk difokuskan pada ternak unggas telah banyak dilakukan. Penggunaan pada taraf 5%, 10%, dan 15% tepung daun katuk dalam ransum untuk kualitas karkas terbaik ditunjukan pada ayam broiler yang diberi 15% tepung daun katuk, karena mengandung vitamin A tertinggi, kolesterol dan lemak abdomen terendah (Nasution, 2005). Hal tersebut sejalan dengan penelitian Saragih (2005) pada ayam petelur, bahwa penambahan 15% daun katuk dalam ransum memperlihatkan efek positif bagi kualitas karkas, peningkatan bobot kuning telur, vitamin A, dan penurunan kolesterol kuning telur hingga 16,82%, serta meningkatnya hormon estradiol.

Pemberian tepung daun katuk pada unggas dengan taraf yang sama (5%, 10%, dan 15%) dalam berbagai penelitian tidak selalu memberikan hasil yang sama. Pemberian 5% tepung daun katuk pada itik lebih efisien meningkatkan kualitas telur dan performa itik (Septyana dan Suryaningsih, 2008). Penelitian Wiradimadja (2007) menunjukan bahwa pada taraf 15% tepung daun katuk dalam ransum puyuh menyebabkan penurunan kadar estradiol sehingga menghambat umur dewasa kelamin puyuh. Pemberian daun katuk dengan taraf 0%, 1,5%, 3%, 4,5%, dan 6% dalam ransum ayam broiler memberikan pengaruh yang sama terhadap konsumsi dan konversi ransum, serta menurunkan pertambahan bobot badan ayam broiler umur 1 – 6 minggu (Saleh et al., 2005).

Penelitian lain terhadap puyuh yang dilakukan oleh Subekti et al. (2007) membandingkan tepung daun katuk dan tepung ekstrak katuk masing-masing 9% dalam ransum menunjukan penggunaan tepung daun katuk lebih berperan dalam meningkatkan fertilitas dan daya tetas puyuh. Penggunaan daun katuk dengan metode ekstrak telah dilakukan sebelumnya oleh Santoso et al. (2005) bahwa suplementasi ekstrak tepung daun katuk dengan air panas atau etanol dapat


(17)

6 meningkatkan produksi telur, konversi, dan efisiensi pakan serta menurunkan kolesterol telur pada ayam petelur.

Anti Nutrisi pada Tanaman Katuk

Kelemahan tanaman katuk adalah adanya zat anti nutrisi tanin dan saponin yang cukup besar. Kehadiran anti nutrisi pada tanaman umumnya terjadi karena faktor dalam (intrinsic factor) yaitu suatu keadaan ketika tanaman tersebut mempunyai atau mampu memproduksi anti nutrisi tersebut dalam organ tubuhnya. Faktor lain adalah faktor luar (enviroment factor), yaitu keadaan dimana secara genetik tidak mengandung unsur anti nutrisi tersebut, tetapi karena pengaruh luar yang berlebihan, zat yang tidak diinginkan masuk ke dalam organ tubuhnya. Contohnya adalah unsur radioaktif yang masuk dalam rantai metabolik unsur yang kemudian terdeposit sebagai unsur yang berbahaya (Wardiny, 2006).

Tanin adalah senyawa phenolic yang larut dalam air dan dapat mengendapkan protein dari larutan. Secara kimia tanin sangat komplek dan biasanya dibagi kedalam dua grup, yaitu hydrolizable tannin dan condensed tannin.

Hydrolizable tannin mudah dihidrolisa secara kimia atau oleh enzim. Peranan tannin pada tanaman yaitu untuk melindungi biji dari predator burung, melindungi perkecambahan setelah panen, dan melindungi dari jamur dan cuaca. Pemberian pakan yang mengandung tannin dalam jumlah besar pada unggas khususnya ayam dapat menekan pertumbuhan, karena tannin menekan retensi nitrogen dan menurunkan daya cerna asam-asam amino yang seharusnya dapat diserap oleh villi-villi usus dan dimanfaatkan untuk pertumbuhan dan perkembangan jaringan-jaringan tubuh. Gejala yang diperlihatkan akibat adanya tannin adalah pertumbuhan yang lambat, nafsu makan berkurang karena rasa pahit pada tannin, kaki yang tidak normal dan kemampuan memproduksi telur berkurang (Widodo, 2002).

Sebagian besar saponin ditemukan pada biji-bijian dan tanaman makanan ternak seperti alfalfa, bunga matahari, kedelai dan kacang tanah. Saponin mempunyai rasa pahit menyebabkan iritasi pada selaput lendir. Sifatnya yang lain dapat membentuk busa dalam air, mempunyai sifat detergen yang baik seperti sabun, memiliki efek biologis pada manusia dan hewan, dengan pengaruh positif dan negatifnya. Pengaruh saponin dapat menurunkan kadar kolesterol pada manusia dan memperkecil resiko aterosklerosis. Aspek positif lainya adalah digunakan dalam


(18)

7 pembuatan shampo, pembentukan busa pada alat pemadam kebakaran, soft drink dan sabun. Sisi negatifnya dapat menghambat penampilan produksi dari ternak unggas (Wardiny, 2006).

Peranan Daun Katuk dalam Menurunkan Kolesterol dan Lemak

Kolesterol dalam tubuh berupa kolesterol eksogen dan endogen dimana kolesterol eksogen berasal dari makanan (25%) dan sebaliknya kolesterol endogen dibentuk oleh sel-sel tubuh (75%), terutama di dalam hati (Piliang dan Djojosoebagio, 2006). Sebagian kolesterol akan diubah menjadi asam empedu, masuk ke dalam usus dan berubah menjadi ekskreta. Hal inilah yang menyebabkan penurunan kadar kolesterol di dalam darah. Salah satu cara menurunkan kadar kolesterol dengan serat pangan.

Peranan serat pangan adalah meningkatkan produksi asam empedu dan mengeliminasi ke dalam usus untuk diekskresikan sebagai ekskreta. Menurut Wolever et al. (1997) ada mekanisme penurunan kolesterol oleh serat, yaitu pengikatan asam empedu di dalam usus halus yang menyebabkan meningkatnya ekskresi asam empedu fekal, penurunan absorpsi lemak dan kolesterol, penurunan laju absorspsi karbohidrat yang menyebakan penurunan kadar insulin serum sehingga menurunkan ransangan sintesis kolesterol dan lipropotein, dan penghambatan sintesis kolesterol oleh asam lemak rantai pendek yang dihasilkan dari fermentasi serat larut di dalam kolon. Linder (1992) menyatakan bahwa peningkatan ekskresi asam empedu dalam ekskreta dapat menyebabkan penurunan kadar kolesterol plasma sekitar 10% - 25%.

Pada daun katuk yang berperan dalam menurunkan kolesterol selain serat terdapat fitosterol. Fitosterol merupakan sterol yang terdapat dalam tumbuh-tumbuhan. Ekstrak daun suji, tanaman yang secara umum digunakan sebagai pangan, kosmetika dan pengobatan mampu mengikat kolesterol karena peran fitosterol yang terkandung di dalamnya (Sari, 2005). Penelitian lain juga membuktikan peran fitosterol dalam menurunkan kolesterol, Silalahi (2000) melaporkan isoflavon yang terkandung dalam kedelai merupakan sterol yang berasal dari tumbuhan (fitosterol) yang jika dikonsumsi dapat menghambat absorpsi dari kolesterol baik berasal dari diet maupun kolesterol yang diproduksi dari hati. Hambatan ini terjadi karena fitosterol berkompetisi dan meggantikan posisi kolesterol dalam micelle. Adanya


(19)

8 mekanisme tersebut, maka kolesterol yang terserap oleh usus juga sedikit sehingga pembentukan kilomikron dan VLDL juga terhambat sehingga kadar LDL turun dan peningkatan pada kadar HDL, bila dihitung rasio kolesterol LDL/ HDL akan turun.

Piliang et al. (2001) telah membuktikan bahwa pemberian tepung daun katuk dalam ransum ayam petelur lokal sebanyak 9% mampu menurunkan kandungan kolesterol dalam kuning telur sebesar 62,34% dibandingkan dengan kandungan kolesterol dalam kuning telur ayam yang diberi ransum tanpa tepung daun katuk. Kandungan fitosterol dalam daun katuk juga berpengaruh pada penurunan kolesterol serum, kuning telur, karkas, dan hati puyuh. Dinyatakan oleh Piliang et al. (2001) bahwa penurunan kadar kolesterol sangat erat hubunganya dengan kandungan serat kasar dalam ransum dan sekresi cairan empedu. Pada Tabel 1 disajikan kadar serat kasar daun katuk dan beberapa tanaman hijauan yang dapat dijadikan sebagai bahan pencampur ransum unggas.

Tabel 1. Perbandingan Kandungan Serat Kasar pada Beberapa Tanaman Hijauan Bahan Pakan

Nama tanaman Kandungan serat kasar (%)

Tepung daun katuk1) 23,65

Tepung daun antanan2) 18,67

Tepung daun mengkudu3) 11,75

Tepung daun lamtoro4) 18,00

Daun singkong (segar) 22,90

Daun pisang 23,10

Tepung daun turi

17,80

Keterangan:

1) Wiradimadja (2007) 2) Kusnadi (2004) 3) Wardiny (2006) 4) Utomo (1997)


(20)

9 Data pada Tabel 1 menunjukan bahwa tepung daun katuk mempunyai kandungan serat kasar yang tinggi dibandingkan dengan beberapa tanaman hijau lainnya. Keadaan ini membuktikan besar kemungkinan bahwa serat kasar tepung daun katuk besar peranannya dalam menghambat sintesis kolesterol.

Ekstraksi Daun Katuk

Ekstraksi adalah suatu cara untuk memisahkan campuran beberapa zat menjadi komponen-komponen yang terpisah. Pengertian lain ekstrak atau ekstraksi adalah suatu proses untuk mengubah bentuk dari suatu bahan padat menjadi pasta atau dalam bentuk tepung (Yuliani dan Marwati, 1997). Menurut Sidauruk (2008), ekstraksi adalah proses pemisahan suatu zat berdasarkan kelarutanya terhadap dua cairan berbeda yang tidak saling larut, biasanya air dan yang lainya pelarut organik. ASIMAS (2007) menyatakan beberapa tujuan ekstraksi pada umumnya adalah untuk mengambil sebagian atau seluruh zat tertentu yang ada dalam bahan tanaman untuk memudahkan dalam pengaturan bentuk sediaan, dosis, atau takaran yang tepat, mudah penyimpanan, praktis dalam penyajian dan menjaga keawetan bahan tersebut untuk jangka waktu yang lebih lama dibandingkan dengan disimpan dalam bentuk bahan mentah.

Proses ekstraksi daun katuk dilakukan dengan mencampur daun katuk dalam larutan ethanol 70% dengan perbandingan 1 : 4. Campuran ini dipanaskan selama enam jam pada suhu 60°C, kemudian disaring dengan kertas saring sebanyak dua kali. Filtrat yang dihasilkan diuapkan dengan menggunakan hot plate selama sembilan jam pada suhu 50°C. Ekstrak yang didapat berupa pasta sebesar 31% dari bobot total campuran (Yuliani dan Marwati, 1997). Suprayogi (2000) menemukan bahwa ekstrak tanaman katuk dengan etanol mengandung cumarin, tannin, gula, alkaloid, antrasenoid, steroid glikosida/ triterpenoid, flavonoid, anthocyanin, dan isoquinoline alkaloid.

Puyuh Penyebaran dan Klasifikasi

Puyuh pertama kali didomestifikasi di Amerika pada sekitar tahun 1870 untuk diambil produksi telur dan dagingnya. Di Indonesia peternakan puyuh secara komersial baru dilakukan pada tahun 1979 dengan bibit impor dari luar negeri.


(21)

10 penyebaran puyuh teramasuk paling luas. Unggas kecil ini bisa dijumpai dari daratan Nusantara, Jepang, sampai ke Amerika. Puyuh adalah burung yang tidak dapat terbang jauh, ukuran tubuh relatif kecil, dan berkaki pendek (Gambar 2). Puyuh dalam bahasa Jawa disebut gemak dan dalam bahasa asing quail.

Puyuh termasuk ternak dengan produktivitas relatif tinggi. Singkatnya siklus hidup puyuh menyebabkan unggas ini cepat berproduksi, yaitu saat berumur 35 - 42 hari sudah mulai bertelur. Puyuh termasuk petelur yang andal. Dalam setahun mampu bertelur sampai 300 butir (Agromedia, 2002). Secara ilmiah puyuh dikelompokan dalam kelas dan susunan taksonomi berikut ini:

Kelas : Aves (bangsa burung)

Ordo : Galiformes

Sub Ordo : Phasionaidae

Family : Phasianidae

Sub Family : Phasianidae

Genus : Coturnix

Spesies : Coturnix-coturnix japonica

Konversi Ransum

Konversi ransum adalah jumlah ransum yang dibutuhkan untuk menghasilkan telur dalam ukuran yang sama. Konversi ransum tergantung pada jumlah pakan yang dikonsumsi, jumlah dan bobot telur yang dihasilkan. Konversi ransum merupakan cara untuk mengukur efisiensi penggunaan ransum yaitu perbandingan antara jumlah ransum yang dikonsumsi pada waktu tertentu dengan produksi yang dihasilkan (pertambahan bobot badan atau jumlah bobot telur) dalam kurun waktu yang sama. Konversi ransum dapat digunakan sebagai gambaran untuk mengetahui tingkat efisiensi produksi. Angka konversi ransum menunjukan tingkat efisiensi pakan, artinya jika angka konversi ransum semakin tinggi maka penggunan ransum kurang ekonomis dan sebaliknya. Angka konversi ransum akan membaik bila hubungan antara energi dan protein dalam ransum telah disesuaikan. Faktor-faktor yang berpengaruh pada konversi pakan adalah produksi telur, kandungan energi dalam ransum, bobot badan, kandungan nutrisi dalam pakan dan temperatur udara (Septyana, 2008).

Gambar 2. Japanese quail


(22)

11 Konsumsi Ransum

Pertumbuhan ternak tergantung dari jumlah konsumsi ransum yang dimakan. Tingkat energi di dalam ransum menentukan banyaknya pakan yang dikonsumsi. Banyaknya pakan yang dikonsumsi tergantung pada jenis hewan yang bersangkutan, besarnya, keaktifanya, temperatur lingkungan dan pakan untuk pertumbuhan atau untuk mempertahankan produksis telur. Menurut NRC (1994) faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi ransum adalah besarnya tubuh ternak, aktivitas ternak, suhu lingkungan, kualitas dan kuantitas ransum. Amrullah (2004) menyatakan bahwa terdapat dua faktor utama yang berpengaruh terhadap konsumsi harian ransum yaitu kandungan kalori ransum dan suhu lingkungan.

Konsumsi erat hubungnya dengan pertumbuhan ternak, menurut Daghir (1998) diperkirakan 63% dari penurunan pertumbuhan disebabkan menurunnya konsumsi ransum dari ayam. Pertumbuhan juga menurun karena konsumsi ransusmnya menurun, hal ini karena temperatur tinggi dan ayam dalam keadaan stres (Leeson dan Summer, 1997).

Warna Kuning Telur

Bahan pewarna kuning telur adalah xanthophyll, suatu pigmen karotenoid yang terdapat dalam jagung kuning, tanaman alfalfa dan corn gluten meal. Zat warna

xanthophyll dalam pakan merupakan senyawa yang paling berpengaruh terhadap warna kuning telur. Warna kuning telur menurut Scanes et al. (2004) tergantung dari pigmen dalam pakan yang dikonsumsi. Tanaman merupakan sumber pigmen karotenoid yang dapat memberikan warna pada kuning telur dari warna kuning sampai dengan merah. Karotenoid merupakan suatu pigmen yang terdapat di dunia tumbuh-tumbuhan (Anggorodi, 1995).

Stadelman dan Cotterill (1984) mengatakan bahwa pada umumnya karotenoid dalam kuning telur adalah berupa kumpulan hydroxy yang disebut

xanthophyll. Selanjutnya dikatakan juga bahwa jenis dan kadar karotenoid dalam kuning telur sangat ditentukan oleh pakan. Warna kuning dari telur ini sangat erat kaitannya dengan tingginya kandungan vitamin A (Piliang et al., 2001). Hal ini membuktikan bahwa suplementasi daun katuk sangat nyata mempengaruhi kandungan vitamin A di dalam telur ayam.


(23)

12 Kolesterol

Kolesterol adalah metabolit yang mengandung lemak sterol yang ditemukan pada membran sel dan disirkulasikan dalam plasma darah. Merupakan sejenis lipid yang merupakan molekul lemak atau yang menyerupainya. Kolesterol ialah jenis khusus lipid yang disebut steroid. Steroids ialah lipid yang memiliki struktur kimia khusus (Wikipedia, 2011). Struktur ini terdiri atas 4 cincin atom karbon. Struktur kolesterol dapat dilihat pada Gambar 3.

Kolesterol banyak ditemukan di dalam struktur tubuh manusia dan hewan yang merupakan substansi lemak hasil metabolisme. Pada produk hewani kolesterol banyak terdapat pada daging, hati, otak, dan kuning telur (Wiradimadja, 2007). Kolesterol adalah bagian terpenting di dalam struktur membran sel yang berfungsi sebagai perkursor hormon steroid dalam kelenjar adrenal, dan sebagai perkursor asam empedu di hati (Marinetti, 1990). Menurut Muchtadi (1993) jika jumlah kolesterol yang berasal dari makanan sedikit maka sintesis kolesterol dalam hati dan usus meningkat untuk memenuhi kebutuhan jaringan dan organ lain, sebaliknya jika jumlah kolesterol dalam makanan meningkat maka sintesis kolesterol di hati dan usus menurun.

Kolesterol memiliki sejumlah fungsi penting untuk kelangsungan hidup sel dan biologis steroid, dan sebagai komponen lemak kuning telur, mewakili sumber nutrien utama untuk embrio anak ayam (Speake et al., 1998). Kuning telur juga kaya akan sumber kolesterol pada pangan manusia. Namun, tingginya konsumsi kuning telur dapat meningkatkan resiko penyakit jantung koroner (Weggmass et al., 2001). Daging dan produk daging merupakan sumber kolesterol yang sesungguhnya pada pangan manusia (Valsta et al., 2005).

Sumber: Hames dan Hooper (2000)


(24)

13 Kolesterol diklasifikasikan ke dalam golongan lipid (lemak), berkomponen alkohol steroid, sebagian besar berfungsi sebagai sumber kalori serta memberikan nilai tambah terhadap citra makanan (Sitepoe, 1993). Kolesterol diperlukan oleh tubuh antara lain untuk sistesis asam/garam empedu yang diperlukan untuk proses pencernaan lemak atau minyak, sintesis vitamin D dan sebagai komponen membran sel (Muchtadi, 1992). Selanjutnya disampaikan bahwa kolesterol juga sebagai perkursor dari pengeluaran asam empedu yang disintesa di hati dan berfungsi untuk menyerap trigliserida dan vitamin larut lemak dari makanan, serta sebagai perkursor dari hormon steroid, estrogen, dan testosteron.

Kolesterol yang bersumber dari makanan berasal dari bahan pangan hewani. Pada kondisi normal, kolesterol disintesa dalam tubuh sejumlah dua kali dari kadar kolesterol di dalam makanan yang dimakan. Kolesterol yang disintesa diubah menjadi jaringan, hormon dan vitamin yang kemudian beredar ke dalam tubuh melalui darah. Namun, kolesterol ada yang kembali ke hati untuk diubah menjadi asam empedu dan garam. Pada keadaan normal bila terjadi ganguan konsumsi kolesterol, maka akan terjadi mekanisme untuk mempertahankan keseimbangan kolesterol dengan semua faktor sebagai mekanisme pertahanan.

Lemak

Lemak adalah sebuah grup zat yang ditemukan pada jaringan tanaman dan hewan. Lemak tidak dapat larut dalam air tetapi larut dalam pelarut organik seperti benzena, eter, dan klorofom. Lemak bereaksi sebagai pembawa elektron, pembawa substrat dalam reaksi enzim, sebagai komponen dari membran biologi, sumber dan tempat penyimpanan energi (McDonald et al., 2002).

Sifat lemak murni tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak berasa. Lemak tumbuh-tumbuhan yang berwarna dapat disebabkan oleh adanya pigmen asalnya, misalnya karoten, xantofil, tokoferol atau klorofil. Karoten dan xantofil dapat memberikan warna kuning, tokoferol yang telah mengalami oksidasi dapat menimbulkan warna coklat, sedangkan kolrofil dapat menyebabkan warna kehijau-hijauan. Beberapa pigmen juga memberikan warna pada lemak hewan dan lemak yang terdapat pada telur (Sumardjo, 2006).


(25)

14 Pada unggas lemak merupakan bahan penting yang harus terkandung dalam bahan pakan, selain menyumbangkan energi, lemak dapat berfungsi dalam memperbaiki konsistensi fisik dari pakan dan dispersi dari campuran bahan-bahan mikro seperti vitamin dalam pakan. Pentingnya karakterisasi kualitas lemak dapat mempengaruhi nilai dan keamanan nutrisi pakan. Karakteristik atau sifat dari lemak digunakan untuk menaksir nilai nutrisi mencakup kelembapan, ketidakmurnian, asam lemak terbang, total asam lemak, dan komposisi asam lemak. Lemak dalam pakan unggas harus stabil dalam melawan oksidasi (NRP, 1984)

Vitamin A

Vitamin A merupakan zat yang sangat larut dalam pelarut organik, namun tidak larut dalam cairan-cairan yang mengandung molekul air. Provitamin utama ialah karotenoid dan beta-karoten yang mempunyai daya larut yang sama seperti vitamin A (Piliang, 2008). Pada tanaman karotenoid mempunyai warna kuning, orange, atau merah tetapi umumnya tertutup oleh warna hijau dari klorofil. Karotenoid tebagi dalam 2 macam yaitu karoten dan xantofil (MCDonald et al., 2002). Karoten yang paling banyak diketahui adalah alpha-, betha-, dan gamma- karoten. Karoten yang paling penting untuk hewan dan manusia adalah betha karoten, mempunyai aktivitas provitamin terbesar (Yuliani dan Marwati, 1997).

Beberapa bahan makanan yang umumnya dipakai sebagai sumber vitamin A antara lain produk sapi perah seperti keju, dan susu sapi, organ bagian dalam seperti ginjal dan jantung, juga beberapa jenis ikan seperti ikan tuna. Sumber yang paling kaya dengan vitamin A yang berasal dari hewan yaitu minyak hati ikan laut sedangkan dari tumbuhan yaitu minyak kelapa sawit, yang mengandung sekitar 0,5 mg/ml campuran alpha dan beta-karoten. Biji-bijian serealia umumnya mengandung sedikit vitamin A, terutama jika digiling.

Stabilitas vitamin A dan ketersediaan dalam ransum unggas paling baik dibuat dalam bentuk butiran sebagai premix. Dengan meningkatkan jumlah protein dalam ransum hingga mencapai 20% akan dapat membantu pembentukan enzim betha-karoten oxygenase pada mukosa usus, yaitu enzim yang diperlukan untuk mengkorversi karotenoid menjadi vitamin A. Lemak juga merupakan bahan penting


(26)

15 yang berfungsi sebagai alat untuk mentransport vitamin A dan karotenoid ke dalam usus halus, juga sebagai zat yang merangsang aliran empedu.

Absorspsi vitamin A dalam ransum secara keseluruhan berkisar antara 80-90%. Kebutuhan vitamin A dalam ransum hewan tergantung pada umur, jenis kelamin, kecepatan pertumbuhan, adanya komponen lain dalam ransum , aktivitas fisik, konsumsi kalori dan stress. Unggas sangat cepat terpengaruh akibat defisiensi vitamin A, tanda-tandanya timbul pada anak ayam yang sedang tumbuh dalam waktu 3 - 4 minggu berupa hilangnya nafsu makan dan menurunya pertumbuhan. Pada unggas fase produksi dapat menurunkan produksi telur dan daya tetas telur.

Kandungan lemak dalam makanan sangat merangsang absorpsi karotenoid dan vitamin A, yakni melalui peningkatan kontraksi kantung empedu dan melalui penyediaan lemak yang membantu transpor serta absorpsi vitamin A. Piliang (2008) melaporkan bahwa usus halus merupakan organ pertama yang berperan dalam mengkonversi provitamin A menjadi vitamin A. Kandungan vitamin A dalam serum darah tidak mencerminkan jumlah simpanan vitamin A dalam hati, kecuali pada kondisi dimana simpanan vitamin A di dalam hati sudah tidak ada sama sekali. Dalam kondisi ini kadar vitamin A di serum akan turun secara cepat. Rendahnya kandungan vitamin A dalam serum menunjukan defisiensi vitamin A. Struktur kimia vitamin A dapat dilihat pada Gambar 4.

Vitamin E

Vitamin E fungsi yang paling utama adalah sebagai antioksidan dan anti radikal bebas. Bila defisiensi vitamin E terjadi pada hewan dan manusia, maka akan terjadi proses oksidasi lemak terutama peroksidasi antara lain asam-asam lemak tidak jenuh dan kolesterol dalam membran sel dan di tempat lain dimana ada akumulasi lemak (Linder, 1992). Groff dan Sareen (2005) menambahkan bahwa fungsi vitamin

Sumber: (MCDonald et al., 2002)


(27)

16 Gambar 5. Struktur Kimia Vitamin E

E memelihara integritas sel tubuh, mencegah peroksidasi asam-asam lemak tak jenuh yang berada pada phospolipid membran seluler, membran mitokondria dan endoplasmik retikulum.

Sumber – sumber vitamin E tidak disimpan di dalam tubuh hewan dalam jumlah yang banyak dan dalam jangka waktu yang panjang, tatapi vitamin E terdistribusi secara luas dalam makanan. Makanan ternak yang berwarna hijau

merupakan sumber α tochoperol yang baik, rumput muda menjadi sumber vitamin E

yang lebih baik dibandingkan dengan rumput yang sudah dewasa. Daun mengandung vitamin E 20-30 kali sama besarnya dengan kandungan vitamin E yang ada di batang. Secara umum produk hewan sedikit mengandung vitamin E, dan persentase

kandungan tergantung dari level vitamin E yang terdapat di dalam pakan. Sintesis α

tochoperol dan asetat tersedia sebagai persediaan komersial (MCDonald et al., 2002) Metabolisme absorbsi vitamin E berhubungan dengan pencernaan lemak, dipermudah dengan adanya empedu dan lipase pankreas. Usus halus merupakan tempat utama absorbsi vitamin E dalam bentuk alkohol bebas maupun ester, sebagian besar vitamin E diabsorpsi sebagai alkohol kemudian memasuki usus dan ditranspor ke seluruh sirkulasi darah melalui kelenjar getah bening. Aktivitas terbesar vitamin E

pada plasma dan jaringan hewan dalam bentuk α-tochoperol. Tocopherol termasuk ke dalam sistem sirkulasi, menyebar ke seluruh jaringan tubuh, terutama disimpan ke dalam jaringan adiposa, hati dan otot, penyimpanan terbesar berada pada hati. Sejumlah kecil vitamin E akan tersimpan di dalam tubuh dalam waktu yang lama. Jalur ekskresi utama dari absorbsi vitamin E adalah empedu. Biasaya kurang dari 1% konsumsi vitamin E akan diekskresikan melalui urine (Piliang, 2008). Struktur kimia vitamin E dapat dilihat pada Gambar 5.


(28)

17 MATERI DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai September 2009. Pemeliharaan puyuh dilaksanakan di Laboratorium Lapang Nutrisi Ternak Unggas. Puyuh dan ransum selama penelitian diperoleh dari peternakan puyuh di daerah Cemplang, Cibatok, Bogor, Jawa Barat.

Analisis ransum konntrol serta tepung daun katuk dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Analisis kolesterol, lemak, vitamin A dan E serta uji fitokimia tepung daun katuk dilakukan di Laboratorium Biokimia, Fakultas MIPA. Pembuatan ekstrak tepung daun katuk dilakukan di Laboratorium Balitro (Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik) serta uji fitokimia ekstrak tepung daun katuk dilakukan di Laboratorium Nutrisi Ikan Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor.

Materi

Ternak dan Bahan

Penelitian ini menggunakan ternak puyuh (Coturnix coturnix japonica) betina berumur 8 minggu sebanyak 208 ekor, ditempatkan dalam kandang baterei dan dibagi menjadi 4 perlakuan dengan 4 ulangan yang masing-masing ulangan terdiri dari 13 ekor puyuh, dan bahan perlakuan yaitu ekstrak tepung daun katuk (ETDK ) dan tepung daun katuk (TDK).

Peralatan dan Perlengkapan

Peralatan yang digunakan adalah tempat pakan yang terbuat dari bambu, tempat air minum yang dicuci setiap hari, alat pembersih kandang, label, timbangan digital untuk menimbang pakan dan telur yang dihasilkan, plastik untuk menampung telur yang telah dipecah dan membungkus pakan per ulangan, yolk colour fan, cawan petri, dan oven untuk mengeringkan tepung daun katuk, penggiling daging, pisau, serta lampu digunakan sebagai penerangan. Persiapan kandang dilakukan dengan mencuci lantai dengan detergen. Melakukan pengapuran dan penyemprotan kandang dengan disinfektan 2 hari sebelum puyuh datang.


(29)

18 Metode

Pembuatan Tepung Daun Katuk (TDK)

Pembuatan tepung daun katuk menurut Suprayogi (1995) yaitu dengan cara melayukan daun katuk segar di udara terbuka selama 1-2 hari kemudian dioven pada suhu 60oC selama 2 jam. Selanjutnya katuk dikeluarkan dari oven dan digiling sampai berbentuk tepung halus. Pembuatan tepung daun katuk dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Skema Pembuatan Tepung Daun Katuk (TDK) Pembuatan Ekstrak Tepung Daun Katuk (ETDK)

Pembuatan ekstrak tepung daun katuk dengan menggunakan pelarut etanol 70%. Simplisia merupakan bahan alamiah yaitu tepung daun katuk yang belum mengalami pengolahan apapun kecuali telah dikeringkan. Pembuatan ekstrak tepung daun katuk dapat dilihat pada Gambar 7.

Digiling

Dilayukan selama 24 jam

Daun katuk dioven

Daun katuk kering

Suhu 60o C selama 24 jam

Tepung daun katuk (TDK) Daun katuk

Gambar 7. Skema Pembuatan Ekstrak Tepung Daun Katuk (ETDK) ETDK

kental Diuapkan dengan

evaporator Filtrat (1+2)

Ampas Simplisia

dijadikan serbuk

Diaduk dengan

stirer ± 3 jam

Didiamkan/ diendapkan selama 24 jam

Filtrat (1) Serbuk

silmplisia + pelarut

Ditambah pelarut Ampas

Filtrat (2)

Aduk ± 1 jam Disaring dengan kertas


(30)

19 Pencampuran Ransum

Ransum basal yang diperoleh dari peternakan puyuh dicampurkan dengan 0,15% ETDK, 0,30% ETDK, dan 10% TDK. Pencampuran ransum basal dengan ETDK diawali dengan penimbangan ekstrak sesuai dengan kebutuhan perlakuan R1 dan R2, kemudian ekstrak dicampurkan sedikit demi sedikit dengan ransum secara manual menggunakan tangan.

Pencampuran ransum basal dengan TDK diawali dengan penimbangan tepung daun katuk sebanyak 10% dari berat ransum, kemudian berat ransum dikurangi sebanyak berat tepung daun katuk. Setelah diperoleh berat masing-masing (tepung daun katuk dan ransum) dicampurkan sedikit demi sedikit secara manual hingga homogen. Pembuatan ransum dilakukan setiap 1 minggu sekali. Kandungan nutrien ransum kontrol, tepung daun katuk dan ekstrak tepung daun katuk disajikan pada Tabel 2, kandungan nutrien ransum perlakuan berdasarkan perhitungan dapat dilihat pada Tabel 3, serta kandungan fitokimia ekstrak tepung daun katuk dan tepung daun katuk berdasarkan uji kualitatif ditunjukan pada Tabel 4.

Tabel 2. Kandungan Nutrien dari Ransum Kontrol, TDK dan ETDK (As fed)

Keterangan: * Berdasarkan hasil analisis Laboratorium INTP, FAPET, IPB 2010 ** Berdasarkan hasil analisis Laboratorium INTP, FAPET, IPB 2010 *** Berdasarkan hasil analisis Laboratorium Nutrisi Ikan, FPIK, IPB 2011

Nutrien (%) Bahan Penelitian

Ransum kontrol* TDK** ETDK***

Bahan Kering (%) 87,59 83,96 70,35

Abu (%) 10,45 8,36 5.65

Protein Kasar (%) 18,21 30,68 19

Serat Kasar (%) 9.58 15,89 0,21

Lemak Kasar (%) 5,61 4,58 2,40

Beta-N (%) 43,74 24,45 43,21

Ca (%) 3,58 1,03 0,05

P (%) 1,25 0,8 0,03


(31)

20 Tabel 3. Kandungan Nutrien Setiap Ransum Berdasarkan Perhitungan

Nutrien Ransum

Ransum kontrol 0,15% ETDK 0,30% ETDK 10% TDK Bahan Kering (%) 87,59 87,56 87,54 87,23

Abu (%) 10,45 10,44 10,44 10,24

Protein Kasar (%) 18,21 18,21 18,21 19,46 Serat Kasar (%) 9,58 9,57 9,55 10,21 Lemak Kasar (%) 5,61 5,61 5,60 5,51

Beta-N (%) 43,74 43,74 43,74 41,81

Ca (%) 3,58 3,57 3,57 3,33

P (%) 1,25 1,25 1,25 1,21

Energi Bruto (Kal/g) 3980 3978 3977 3963,2

Perlakuan

Penelitian ini menggunakan 4 ransum perlakuan yang dibedakan berdasarkan level dan bentuk pemberian daun katuk, yakni:

R0 : Ransum kontrol tanpa pemberian ekstrak dan tepung daun katuk R1 : Ransum mengandung ekstrak tepung daun katuk 0,15%

R2 : Ransum mengandung ekstrak tepung daun katuk 0,30% R3 : Ransum mengandung tepung daun katuk 10%

Pemberian ransum R3 (10% TDK) setara kandungan fitosterol dengan R1 (0,15% ETDK) dalam ransum.

Jenis Fitokimia Hasil

ETDK* TDK**

Alkaloid (+) (-)

Flavonoid (++) (+)

Fenol (-) (+)

Glikosida Steroid (+++) (+++)

Sterol Triterpenoid (+++) (+)

Tanin (+) (+++)

Saponin (-) (+++)

Tabel 4. Kandungan Fitokimia ETDK dan TDK Hasil Uji Kualitatif

Keterangan : * Berdasarkan hasil analisis Laboratorium Nutrisi Ikan, FPIK, 2011 ** Berdasarkan hasil analisis Laboratorium Biokimia, Fakultas MIPA 2011


(32)

21 Pemeliharaan

Penelitian dilakukan selama 6 minggu. Kegiatan selama pemeliharaan yaitu setiap hari dilakukan pembersihan kandang, tempat pakan, tempat air minum, serta lingkungan sekitar kandang pemeliharaan. Penimbangan bobot badan puyuh dilakukan sebelum diberikan perlakuan dan di akhir penelitian. Untuk mengurangi cekaman stress dan panas diberi larutan Vita Stres sebelum dan sesudah penimbangan. Pakan diberikan sesuai kebutuhan puyuh yaitu 25 g/ekor/hari, diberikan dua kali pada jam 06.00 dan 15.00. Bentuk fisik pakan yang diberikan yaitu mash sesuai dengan perlakuan masing-masing serta air minum diberikan ad libitum.

Prosedur Analisis Kandungan Kolesterol Daging, Hati dan Telur Puyuh

Kadar kolesterol daging, hati dan telur diukur pada akhir penelitian dan dianalisis di Laboratorium Biokimia, Fakultas MIPA, IPB. Pengukuran kadar kolesterol dilakukan berdasarkan Metode Liebermann-Burchad (Kleiner dan Dotti, 1962). Sampel yang dianalisis merupakan sampel yang dari 4 ulangan dalam 1 perlakuan. Adapun caranya adalah sebagai berikut: sampel ditimbang sebanyak ± 0,2 g dimasukan ke dalam tabung sentrifuse berskala 15 ml, kemudian ditambahkan campuran alkohol eter 3:1 sebanyak 12 ml dan diaduk hingga bercampur dengan baik. Larutan didiamkan sambil dikocok sekali dua kali salama 30 menit. Pengaduk dibilas dengan alkohol eter 3:1 dan volume disetarakan menjadi 15 ml, lalu di sentrifuse dengan kecepatan 3000 rpm selama 15 menit.

Supernatan yang terbentuk dimasukan ke dalam gelas piala 50 ml dan dipanaskan pada penangas air sampai kering. Ekstrak residu dilarutkan dengan 2,5 khloroform sedikit demi sedikit atau dicuci sebanyak 2 kali atau dimasukan ke dalam tabung reaksi 10 ml untuk disetarakan volumenya menjadi 5 ml. Lima ml kolesterol standar (0,4 mg kolesterol dan 5 ml khoroform) dimasukan ke dalam tabung reaksi yang lain. Keduanya ditambahkan 2 ml asetat anhidrida dan 100 µl H2SO4 pekat, kemudian dikocok sampai timbul warna hijau dan disimpan selama 15 menit di ruang gelap, selanjutnya pembacaan dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 420 nm. Nilai kolesterol diperoleh dari perhitungan dengan rumus sebagai berikut :

Kolesterol (mg/%) = absorbans sampel x 0,4 (konsentrasi standar) x 100 absorbans standar berat sampel


(33)

22 Prosedur Analisis Kandungan Lemak Daging, Hati dan Telur Puyuh

Kadar lemak daging, hati dan telur diukur pada akhir penelitian dan dianalisis di Laboratorium Biokimia, Fakultas MIPA, IPB. Pengukuran kadar kolesterol dilakukan berdasarkan Metode Sochlet. Metoda analisis ini adalah sebuah labu lemak dengan beberapa butir batu didih di dalamnya, dalam oven dikeringkan dengan suhu 105-110 oC selama 1 jam, dalam eksikator didinginkan selama selama 1 jam dan ditimbang dengan berat a g. Contoh ditimbang kira-kira 1 g dengan catatan jumlah contoh juga tergantung dengan kadar lemak bahan. Contoh tersebut dimasukan ke dalam selongsong yang terbuat dari kertas saring dan ditutup dengan kapas yang bebas lemak. Selongsong dimasukan ke dalam alat fatex-s dan ditambahkan larutan petroleum ether sebagai larutan pengekstrak. Suhu diatur pada alat fatex-s pada suhu 60oC dan waktu selama 25 menit. Proses ekstraksi dilakukan sampai alat berbunyi, kemudian diturunkan larutan petroleum ether bersama lemak yang telah larut. Proses evaporasi dilakukan dengan merubah suhu pada 105oC sampai alat fatex-s berbunyi. Proses ini dilakukan sebanyak 2 kali proses ekstraksi dan evaporasi. Selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam alat pengering oven dengan suhu 10oC selama kira-kira 1 jam, setelah itu didinginkan di dalam eksikator selama 1 jam dan ditimbang kembali dengan berat b g.

Perhitungan lemak kasar adalah sebagai berikut:

Kadar lemak kasar = x 100% Keterangan:

b : berat labu lemak kosong

a : berat labu lemak setelah dari oven x : berat sampel

Prosedur Analisis Kandungan Vitamin A Daging, Hati dan Telur Puyuh

Analisis vitamin A dilakukan secara komposit di Laboratorium Biokimia, Fakultas MIPA, IPB. Analisis dilakukan berdasarkan Metode HPLC (High Performance Liquid Chromatography). Ekstraksi sampel dan standar eksternal untuk dianalisis vitamin A adalah: 0,5 g sampel atau standar eksternal ditambah 400 µl sodium askorbat dan divortex selama 10 detik, kemudian ditambah dengan 20 ml


(34)

23 KOH, divortex selama 10 detik. Selanjutnya dilanjutkan saponifikasi dengan

menyimpan pada “waterbath” dengan suhu 80o

C selama 30 menit, lalu disimpan

pada” ice bath” selama 2 menit. Selanjutnya ke dalam campuran dimasukan 3 ml

“heksan” dan dikocok selama 10 detik, kemudian ditambahkan 3 ml aquades dan

dikocok selama 10 detik.

Campuran tersebut disimpan dalam lemari es sampai lapisan organik dan air

terpisah. Selanjutnya diambil 2,6 ml lapisan “heksan” (supernatan) dan dipisah

dalam tabung lain (A). Kemudian sisanya ditambahkan lagi sebanyak 2 ml heksan dan dikocok selama 10 detik dan disimpan dalam lemari es sampai lapisan organik dan air terpisah dan dimasukan dalam tabung (A) tadi. Selanjutnya supernatan (tabung A) dicuci dengan 4,6 ml asam asetat 5%, dan lapisan organik dipindahkan sebanyak yang bisa diambil, lalu dikeringkan dengan aliran nitrogen, lalu terakhir dilarutkan dalam 3 ml fase mobil sebelum diinjeksikan 50 µl dalam instrument

HPLC.

Pembuatan standar eksternal retinyl palmitat adalah sebagai berikut:

1. Stock Standar Solution: 10 mg/ml retinyl palmitat dalam heksan. 1 g retinyl palmitat (USP Reference Standar) dilarutkan dalam 100 ml heksan, dikocok sampai terlarut sempurna.

2. Intermediate Standar Solution: 2 ml stock standar solution dipipet dan dimasukan dalam 250 ml volumetric flask lalu diencerkan dengan 250 ml heksan.

3. Working Standar Solution: sekitar 1,6 µl/ml retinyl palmitat. 2 ml

Intermediate Standar Solution, dipipet dan dimasukan dalam 100 ml

volumetric flask dan diencerkan dengan heksan.

Untuk mengukur konsentrasi dari Working Standar Solution diambil 2 ml

Intermediate Standar Solution dan diencerkan dengan heksan dalam 50 ml

volumetric flask. Kemudian diukur absorbansinya dengan spektrofotometri. Cst = {A325/(2x∑xb)} x 104

Cstd : Konsentrasi standar

A325 : Absorbansi Working Standar Solution pada 325 nm

∑ : 996, Koefisien extinction dari retinyl palmitat dalam heksan pada 325 nm B : 1 cm, panjang cell


(35)

24 Perhitungan kadungan vitamin A dan beta karoten yang menggunakan standar eksternal adalah seebagai berikut:

[Retinol] : L1 x S x V L2 B Keterangan

[Retinol] : Konsentrasi Retinol (µg/g)

L1 : Luas peak sampel yang memiliki waktu retensi yang sama dengan waktu retensi standar eksternal retinol dilihat dari kromatogram HPLC

L2 : Luas peak standar terinol

S : Konsentrasi standar retinol (µg/µl atau µg/ml) V : Volume akhir yang siap disuntikan pada HPLC B : Berat sampel yang diekstrak

Prosedur Analisis Kandungan Vitamin E Daging, Hati dan Telur Puyuh

Sampel disiapkan dengan menimbang 0,5 g sampel dan dimasukan ke dalam labu ukur 20 ml dan ditambahkan enzim makatase 40 mg dan 2 ml amonia 0,02%. Campuran tersebut dimasukan ke dalam ultrasonik selama 20 menit pada suhu 65oC. Lalu campuran tersebut didinginkan pada suhu ruang dan ditambahkan etanol 10 ml dan dimasukan kembali dalam ultrasonik selama 10 menit. Kemudian larutan ditambahkan etanol hingga volumenya mejadi 20 ml, dan dikocok kembali. Selanjutnya larutan disentrifus dan 5 ml supernatan diambil dan dimasukan ke dalam labu ukur 5 ml. Larutan siap diinjeksikan ke HPLC. Kondisi alat HPLC adalah kolom C-18, fase gerak metanol 98%, laju fase gerak 1,2 ml/menit, dan detektor UV dengan panjang gelombang 254 nm.

Perhitungan:

Kadar vitamin E: Luas area sampel x 25 ppm x 10 Luas area standar 0,5 Keterangan

25 ppm : Konsentrasi standar 10 : Volume akhir (ml)


(36)

25 Peubah yang Diamati

1. Kandungan kolesterol dalam daging, hati dan telur 2. Kandungan lemak dalam daging, hati dan telur

3. Kandungan vitamin A dan E dalam daging, hati dan telur

4. Konsumsi ransum (g/ekor/hari). Konsumsi ransum dihitung dari selisih ransum yang diberikan dengan sisa ransum yang dikumpulkan setiap minggu.

5. Produksi Telur Hen day (%). Produksi Telur Hen Day dihitung dari jumlah telur yang diproduksi selama satu minggu dibagi dengan jumlah puyuh yang ada pada minggu tersebut.

6. Massa telur (g). Produksi massa telur puyuh dihitung dengan cara mengalikan produksi telur selama penelitian dengan rataan bobot telur harian.

7. Bobot telur (g/butir). Bobot telur dihitung dari produksi telur puyuh/ hari.

Konversi ransum. Konversi ransum dihitung dari jumlah ransum yang dikonsumsi dibagi dengan massa telur.

8. Warna kuning telur. Warna kuning telur diukur dengan menggunakan alat Yolk colour fan.

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan. Model matematik dari rancangan yang digunakan adalah :

Yij= µ + τi+ εij

Keterangan:

Yij = Nilai pengamatan pada ulangan ke-j dan perlakuan ke-i µ = Nilai rataan umum

τi = Pengaruh perlakuan ke-i (suplementasi)

εij = Error perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

Data performa puyuh (konsumsi rasum, Hen day, massa telur, bobot telur, konversi ransum, dan warna kuning telur) yang diperoleh dianalisis menggunakan Analisa Ragam (analysis of variance, ANOVA) (Steel dan Torrie, 1993), kemudian jika berbeda nyata diuji lanjut dengan duncan, sedangkan pada kandungan kolesterol, lemak, vitamin A dan E dalam daging, hati, dan telur puyuh secara deskriptif.


(37)

26 HASIL DAN PEMBAHASAN

Kandungan Kolesterol Daging, Hati dan Telur Puyuh

Analisis terhadap kandungan kolesterol daging, hati dan telur dilakukan saat puyuh berumur 14 minggu, diperlihatkan pada Tabel 5 dan Gambar 8 kandungan kolesterol daging, hati dan telur puyuh setelah 6 minggu diberi ETDK dan TDK dalam ransum.

Tabel 5. Kandungan Kolesterol Daging, Hati dan Telur Puyuh

Keterangan : R0 = Ransum kontrol

R1 = Ransum kontrol+0,15% ETDK R2 = Ransum kontrol+0,30% ETDK R3 = Ransum kontrol+10% TDK

Berdasarkan hasil analisis Laboratorium Biokimia, Fakultas MIPA, IPB 2010

Kandungan kolesterol daging, hati dan telur terendah pada Tabel 5 diperlihatkan pada kelompok puyuh yang diberi ransum mengandung 10% TDK. Kandungan kolesterol pada hati dan telur menurun dengan meningkatnya level pemberian ETDK. Pada hati pemberian 0,15% ETDK dalam ransum dapat menurunkan 2,92% kolesterol terhadap kontrol, sedangkan peningkatan taraf 0,30% ETDK dalam ransum dapat menurukan kolesterol lebih rendah sebesar 22,81% terhadap kontrol.

Penurunan kandungan kolesterol pada telur dengan pemberian ETDK 0,15% dalam ransum sebesar 13,86% terhadap kontrol, dengan peningkatan taraf pemberian ETDK 0,30% kandungan kolesterol menurun dibawah R1 (0,15% ETDK) sebesar 19,86% terhadap kontrol. Kelompok puyuh yang diberikan ransum 10% TDK dalam ransum menyebabkan penurunan kandugan kolesterol lebih besar dibandingkan dengan kelompok puyuh yang diberikan ETDK dalam ransum yaitu sebesar 35,8% terhadap kontrol.

Grafik kandungan kolesterol pada daging, hati dan telur (Gambar 8) menunjukan penurunan maksimal dicapai dengan pemberian 10% TDK dalam

Kolesterol (mg/%)

Perlakuan

R0 R1 R2 R3

Daging 1,2 1,16 1,35 1,1

Hati 3,77 3,66 2,91 2,92


(38)

27 ransum. Persentase nilai penurunan kandungan kolesterol pada daging, hati dan telur masing 8,3%, 22,55%, 35,58% terhadap puyuh yang tidak diberi perlakuan ETDK dan TDK (R0). Penurunan kandungan kolesterol dengan pemberian ETDK dipengaruhi adanya senyawa aktif (fitosterol) yang terkandung di dalam daun katuk. Faktor senyawa aktif dalam menurunkan kolesterol juga didukung peran serat pada kelompok puyuh yang diberi 10% TDK.

Gambar 8. Grafik Kandungan Kolesterol pada Daging, Hati dan Telur Puyuh Penurunan kandungan kolesterol karena peran serat sudah dibuktikan oleh beberapa penelitian. Nasution (2005) melaporkan bahwa pemberian 15% TDK lebih besar menurunkan kandungan kolesterol dibandingkan dengan 5% dan 10% TDK pada daging dan hati ayam broiler. Hal yang sama juga ditemukan pada pemberian 15% TDK dalam ransum dapat menurunkan kolesterol kuning telur, karkas dan hati ayam petelur (Saragih, 2005). Serat mempunyai kemampuan untuk mengikat asam empedu. Asam empedu merupakan hasil akhir dari metabolisme kolesterol. Semakin banyak serat yang berikatan dengan kolesterol, maka semakin banyak kolesterol yang dimetabolis, sehingga akhirnya menurun. Sedangkan peran fitosterol terutama stigmasterol dapat menurunkan kolesterol dalam kuning telur, hati, dan karkas puyuh perlakuan (Subekti, 2007). Kadar kolesterol hati terlihat jauh lebih tinggi dibandingkan dengan daging dan telur, hal ini karena hati merupakan tempat sintesis kolesterol utama selain usus, kulit, testis, dan aorta. Selain itu merupakan organ yang paling tinggi perananya dalam sistesis kolesterol.

1,2 1,16 1,35 1,1

3,77 3,66

2,91 2,92

2,67 2,3 2,14 1,72 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 K a nd un g a n K o leste ro l 1 0 0 % Perlakuan Ro R1 R2 R3


(39)

28 Kandungan Lemak Daging, Hati dan Telur Puyuh

Pada penelitian ini lemak yang dianalisis adalah lemak dada dan lemak paha. Tabel 6 memperlihatkan kadar lemak daging, hati dan telur setelah puyuh berumur 14 minggu.

Tabel 6. Kandungan Lemak Daging, Hati dan Telur Puyuh

Keterangan : R0 = Ransum kontrol

R1 = Ransum kontrol+0,15% ETDK R2 = Ransum kontrol+0,30% ETDK R3 = Ransum kontrol+10% TDK

Berdasarkan hasil analisis Laboratorium Biokimia, Fakultas MIPA, IPB 2010

Trend yang sama penurunan kolesterol di hati dan telur juga terjadi pada lemak. Kandungan lemak di hati dengan pemberian 0,15% ETDK dalam ransum mengalami penurunan 3,21% terhadap kontrol, dan dengan pemberian 0,30% ETDK dapat menurunkan 9,62% lemak terhadap kontrol. Pemberian 10% TDK dalam ransum menurunkan lemak cenderung lebih tinggi 11,06% dibandingkan ETDK. Hal ini juga terjadi pada telur yang mengalami penurunan 3,21% dan 9,62% terhadap kontrol dengan pemberian ETDK masing-masing 0,15% dan 0,30% dalam ransum.

Penurunan kandungan lemak di hati, daging, dan telur seiring dengan penurunan kolesterol, karena kolesterol merupakan sejenis lipid yang memiliki bentuk molekul lemak atau yang menyerupainya, atau kolesterol termasuk jenis khusus lipid yang disebut steroid. Pemberian daun katuk dalam bentuk ekstrak dan tepung dapat meberikan efek penghambatan terhadap sintesis cairan empedu, sehingga sekresi cairan empedu menururun.

Lipid (%) Perlakuan

R0 R1 R2 R3

Daging 3,85 3,25 3,93 2,96

Hati 6,24 6,04 5,64 5,55


(40)

29 3,85 3,25 3,93 2,96 6,24 6,04

5,64 5,55

4,62 4,3 3,88 3,24 0 1 2 3 4 5 6 7 K a nd un g a n L em a k % Perlakuan Ro R1 R2 R3

Gambar 9. Grafik Kandungan Lemak pada Daging, Hati dan Telur Puyuh Faktor yang mempengaruhi penurunan lemak kemungkinan besar didominasi peran serat, pendugaan ini berdasarkan dari hasil persentase penurunan lemak dengan pemberian 10% TDK mampu menurunkan lemak lebih besar 23,12%, 11,06%, 11,06%, masing-masing di hati, daging dan telur terhadap ransum kontrol (R0). Mekanisme penurunan lemak dengan menggunakan bahan pakan beserat kasar diduga terjadi karena sifat makanan berserat adalah amba (bulky), sehingga ada kecenderungan transit time sangat singkat dan berdampak pada penurunan penyerapan nutrien (Wiradimadja, 2007).

Kandungan Vitamin A dan E pada Daging, Hati dan Telur Puyuh Hasil analisis kandungan vitamin A dan E pada ransum menunjukan bahwa penambahan 10% TDK dalam ransum meningkatkan kandungan vitamin A dan E pada daging, hati dan telur. Sedangkan dengan penambahan 0,15% dan 0,30% ETDK dalam ransum pada hati dan telur cenderung lebih rendah dibandingkan kelompok puyuh tanpa pemberian ETDK dan TDK (R0), hal tersebut diduga karena senyawa aktif yang terdapat di dalam ekstrak tepung daun katuk tidak terekstrak secara sempurna. Kandungan vitamin A dan E di dalam daging pada puyuh yang diberi TDK 10% dalam ransum, lebih tinggi dibandingkan puyuh tanpa perlakuan (R0) dan puyuh yang diberi ETDK (R1 dan R2), hal ini kemungkinan disebabkan komponen zat aktif dan nutrien yang terdapat di dalam tepung daun katuk termanfaatkan secara baik dalam tubuh puyuh.


(41)

30

188,6 193,2

218,4 224

296,7 285,2 279,8

296,5 332,9

325,9 334 340,3

0 50 100 150 200 250 300 350 400 K a nd un g a n v it a m in A m g /1 0 0 g Perlakuan Ro R1 R2 R3

Tabel 7. Kandungan Vitamin A dan E pada Hati, Daging, dan Telur Puyuh

Keterangan : R0 = Ransum kontrol

R1 = Ransum kontrol+0,15% ETDK R2 = Ransum kontrol+0,30% ETDK R3 = Ransum kontrol+10% TDK

Persentase peningkatan kandungan vitamin A pada daging (Gambar 10) dengan pemberian 0,15% dan 0,30% ETDK dalam ransum sebesar 2,44% dan 16,81%, terjadinya peningkatan dengan pemberian ETDK 2 kali lebih besar disebabkan karena kandungan ETDK pada ransum R2 lebih besar dibandingkan R1 sehingga kandungan vitamin A yang terdeposisi pada daging lebih besar. Gambar 10 memperlihatkan bahwa kandungan vitamin A yang terdeposisi tertinggi di telur, hal tersebut dimungkinkan karena pada hewan-hewan yang menghasilkan produk ternak, jika diberikan perlakuan maka pengaruh terbesar diperlihatkan pada produk yang dihasilkan.

Gambar 10. Grafik Kandungan Vitamin A pada Hati, Daging, dan Telur Puyuh

Peubah Perlakuan

R0 R1 R2 R3

Vitamin A (µg/100g)

Hati 296,7 285,2 279,8 296,5

Daging 188,6 193,2 218,4 224

Telur 332,9 325,9 334 340,3

Vitamin E (mg/100g)

Hati 0,36 0,35 0,34 0,37

Daging 0,26 0,27 0,32 0,3

Telur 0,32 0,3 0,44 0,43


(42)

31

0,26 0,27 0,32

0,3

0,36 0,35 0,34 0,37

0,32 0,3 0,44 0,43 0 0,05 0,1 0,15 0,2 0,25 0,3 0,35 0,4 0,45 0,5 K a nd un g a n Vit a m in E m g /1 0 0 g Perlakuan Ro R1 R2 R3

Gambar 11. Grafik Kandungan Vitamin E pada Hati, Daging, dan Telur Puyuh Trend yang sama diperlihatkan pada peningkatan kandungan vitamin E tertinggi terjadi di telur dan pengaruh pemberian 10% TDK dalam ransum cenderung lebih mampu meningkatkan kandungan vitamin E terhadap kelompok puyuh yang tidak diberi perlakuan ETDK dan TDK (R0). Kandungan vitamin E di hati dengan pemberian 0,15% dan 0,30% ETDK cenderung lebih rendah dibandingkan kelompok puyuh yang tidak mendapat perlakuan ransum (R0) terjadi juga pada penelitian Subekti (2003). Pada penelitian tersebut kandungan vitamin A dalam kuning telur cenderung turun dengan penambahan 3% dan 6% TDK dalam ransum.

Performa Puyuh

Performa puyuh yang diteliti meliputi konsumsi ransum, Hen day, bobot telur, massa telur, konversi ransum, dan warna kuning telur. Pengaruh perlakuan berbeda sangat nyata diperoleh pada skor warna kuning telur, sedangkan peubah lainya tidak berbeda nyata. Performa puyuh secara keseluruhan pada penelitian ini disajikan pada Tabel 8.

Nilai performa puyuh yang diperoleh menunjukan hasil yang beragam, hal ini dikarenakan beberapa faktor salah satunya adalah perbedaan kandungan nutrien tepung daun katuk dengan ekstrak tepung daun katuk (Tabel 2) dan kandungan fitokimia yang ada di dalamnya (Tabel 4). Kandungan fitokimia pada daun katuk dengan metode pembuatan tepung dan ekstrak memberikan nilai yang cukup signifikan berbeda. Contoh, pada daun katuk mengandung anti nutrisi yaitu saponin


(43)

32 dan tannin, bentuk ekstrak memiliki nilai saponin (-) dan tannin (+) sedangkan pada bentuk tepung saponin yang terkandung bernilai (+++) begitu juga tannin (+++).

Secara umum saponin dan tannin dalam pakan unggas dapat menekan pertumbuhan, karena dapat menekan retensi nitrogen dan menurunkan daya cerna asam-asam amino yang seharusnya dapat diserap oleh villi-villi usus dan dimanfaatkan untuk pertumbuhan dan perkembangan jaringan-jaringan tubuh sehingga mampu menghambat penampilan produksi dari ternak unggas (Wardiny, 2006). Pembahasan setiap bagian dari performa puyuh disajikan pada lembaran berikutnya.

Tabel 8. Konsumsi Ransum, Produksi Telur Hen Day, Bobot Telur, Massa Telur, Konversi Ransum, Skor Warna Kuning Telur Puyuh

Keterangan : R0 = Ransum kontrol

R1 = Ransum kontrol+0,15% ETDK R2 = Ransum kontrol+0,30% ETDK R3 = Ransum kontrol+10% TDK

Huruf superskrip yang berbeda pada baris menunjukan hasil yang berbeda sangat nyata (P<0,01)

Konsumsi Puyuh

Konsumsi ransum dipengaruhi oleh palatabilitas puyuh terhadap ransum yang diberikan. Salah satu faktor yang mempengaruhi palatabilitas adalah adanya anti nutrisi yang terkandung dalam ransum. Menurut Juana (2009), daun katuk

Peubah Perlakuan

R0 R1 R2 R3

Konsumsi Ransum

(g/ekor/hari) 18,26 ± 0,95 18,24 ± 0,16 18,38 ± 0,24 17,53 ± 0,30

Produksi Telur

Hen Day (%) 33,63 ± 12,18 34,74 ± 7,00 33,75 ± 15,72 18,90 ± 4,71

Bobot Telur (g/butir) 9,82 ± 0,16 9,95 ± 0,23 9,85 ± 0,52 9,98 ± 0,16

Massa Telur (g) 4741,16 ± 480,86

4885,34 ± 333,49

3909,27 ± 532,83

1856,91 ± 130,42

Konversi Ransum 6,7 ± 4,67 5,6 ± 1,13 10,4 ± 9,92 15,2 ± 3,93

Skor Warna

Kuning Telur 3,13± 0,46

a


(1)

41 Muchtadi, D. 1992. Fisiologi Pasca Panen Sayuran dan Buah-Buahan. PAU Pangan

dan Gizi IPB. Bogor.

Muchtadi, D, Sri Palupi, N, & Astawan, M. 1993. Metabolisme zat gizi, sumber,fungsi dan kebutuhan bagi tubuh manusia. Jilid II. Jakarta: Pustaka Sinar harapan. Jakarta.

National Research Council. 1994. Nutrient Requirements of Poultry. 9th Revised Edition. National Academy Press, Washington. D. C.

Nasution, W. R. 2005. Kandungan vitamin A, kolesterol, lemak, dan profil asam lemak, karkas broiler yang diberi tepung daun katuk (Sauropus androgynus L. Merr) dalam ransum. Tesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor

Nutrient Requirments of Poultry. 1984. 8th Revised Edition. National Academy Press, Washington. D. C.

Piliang, W. G., et al. 2001. Efek pemberian daun katuk (Sauropus androgynus) dalam ransum terhadap kandungan kolesterol karkas dan telur ayam lokal. Lembaga Penelitian IPB Bekerjasama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Proyek ARMP II.

Piliang, W. G. 2008. Nutrisi Vitamin Volume 1. Edisi ke-5. IPB Press. Bogor.

Prajogo, B. W. E., Santa IGP. 1997. Studi taksonomi Sauropus androgynus (L) Merr. Warta tumbuhan obat Indonesia. J Medic Plants. ISSN: 0853-6929

Puspaningtyas, D. M., Sutrisno, dan S. B. Susetyo. 1997. Usaha tani katuk di Desa Cilebut Barat Kabupaten Bogor. The Journal Indonesian Medicine Plants. 3 (3) : 9-10.

Rahayu, P, Leenawaty L. 2005. Studi lapangan kandungan klorofil in vivo beberapa spesies tumbuhan hijau di Salatiga dan sekitarnya. Seminar Nasional MIPA. FMIPA-Universitas Indonesia Depok.

Agromedia. 2002.

Rukmana, H. R. & I. M. Harahap. 2011. Katuk Potensi dan Manfaatnya. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. [18 Mei 2011]

Saleh, E., & J. Dwi. 2005. Pengaruh pemberian tepung daun katuk terhadap performans ayam broiler. Jurnal Agribisnis Peternakan. Vol.1. No.1

Santoso, U. 2005. Effect of Sauropus androgynus (Katuk) extract on egg production and lipid metabolism in layers. Asian-Aust. J. Animal Science. No. 3: 364-369


(2)

42 Saragih, D. T. R. 2005. Daun katuk dalam ransum ayam petelur dan pengaruhnya terhadap kandungan vitamin A, kolesterol, pada telur dan karkas, serta estradiol darah. Tesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sari, W. K. 2005. Studi kemampuan pengikatan kolesterol oleh ekstrak daun suji

(Pleomele angustifolia N. E. Brown) dalam simulasi sistem pencernaan in vitro. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Scanes, C. G., G. Brant, & M. E. Esminger. 2004. Poultry Science. 4th Ed. Pearson Education, INC, New Jersey.

Septyana, M. 2008. Performa itik petelur lokal dengan pemberian tepung daun katuk (Sauropus androgynus L. Merr) dalam ransumnya. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Setyowati, F. M. 1997. Arti katuk bagi masyarakat Dayak Kenyah, Kalimantan Timur. The Journal Indonesian Medicine. 3(3):54-55.

Sidauruk, B. D. 2008. Produksi air susu induk babi dengan penambahan ekstrak daun katuk (Sauropus androgynus L. Merr) dalam ransum pada taraf dan waktu pemberian yang berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Silalahi, J. 2000. Fats, oils and fat subtitutes in human nutrition. Indonesian food and nutrition process. 7(2):55-56.

Sitepoe, M. 1993. Kolesterol FOBIA: Keterkaitan dengan Penyakit Jantung. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Speake, B. K., Murrray, A. M. B., and Noble, R. C., 1998. Transport and transformation of yolk lipids during the development of the avian embryo. Prog. Lipid Res. 37:1-32.

Stadelman, W. J., Cotterill, O. J. 1984. Egg Science and Technology. 4th Ed. USA: Food Product Press An Imprint of The Haworth Press, Inc.

Steel R. G. D., & Torrie J. H. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika . Edisi ke-3. Terjemahan. PT Gramedia, Jakarta.

Subekti, S. 2003. Kualitas telur dan karkas ayam lokal yang diberi tepung daun katuk dalam ransum. Tesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Subekti, S., S. S. Sumarti., T. B. Murdiarti. 2008. Pengaruh daun katuk (Sauropus

androgynus L. Merr) dalam ransum terhadap fungsi reproduksi puyuh. JITV Vol 13 No. 3.

Subekti, S. 2007. Komponen sterol dalam ekstrak daun katuk (Sauropus androgynus

L. Merr) dan hubungnya dengan sistem reproduksi puyuh. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.


(3)

43 Sumardjo, D. 2006. Buku Panduan Kuliah Mahasiswa Kedokteran dan Program

Strata 1 Fakultas Bioeksakta. EGC. Jakarta.

Suprayogi, A. 2000. Studies on the biological effect of sauropus androgynus (L.) Merr. Effect on milk production and the possibility of induced pulmonary disorder in lactating sheep. Cuviller Verlag Gotingen.

Suryaningsih, L. 2008. Pengaruh Pemberian Tepung Daun katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr) dalam ransum terhadap kualitas telur itik lokal. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Utomo, R. 1997. Kemungkinan penggunaan daun kaliandra sebagai pengganti daun lamtoro untuk pakan kambing. Buletin Peternakan 21 (1): 56-62.

Valsta, L. M., Tapanainen, H., & Mannist, S. 2005. Meat fats in nutrition. Meat Sci. 70:525-530.

Wardiny, T. M. 2006. Kandungan vitamin A, C dan kolesterol telur ayam yang diberi mengkudu (Morindra citrifolia) dalam ransum

Weggemans, R. M., Zock, P. L., & Katan, M. B. 2001. Dietary cholesterol from eggs increase of total cholesterol to high-density lipoprotein cholesterol in humans: a meta-analysis. Am J. Clin.Nutr. 73: 885-891

Widodo, W. 2002. Nutrisi dan Pakan Unggas Kontekstual. Malang. Fakultas Peternakan-Perikanan Universitas Muhamadiyah.

Wijono, S. H. 2004. Isolasi dan identifikasi asam fenolat pada daun katuk (Sauropus androgyus L.Merr). Makara Kesehatan1(8): 32-36

Wiradimadja, R. 2007. Dinamika status kolesterol pada puyuh jepang (Coturnix coturnix japonica) yang diberi daun katuk (Sauropus androgynus L. Merr) dalam ransum. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Wolever et al. 1997. Long-term effect of soluble fiber foods on postprandial fat metabolism in dysiplidemic with E3 and E4 genotypes. Am J Nutr 66:584-590.

Yuliani, S. & T. Marwati. 1997. Tinjauan katuk sebagai bahan makanan tambahan yang bergizi. Warta Tumbuhan Obat Indonesia. The Journal on Medical Plant 3(3): 55-56.


(4)

(5)

45 Lampiran 1. ANOVA Pengaruh Perlakuan terhadap Konsumsi Ransum Puyuh

Selama Penelitian

SK db JK KT Fhit F 0.05 F 0.01

Perlakuan 3 1,78 0,60 2,22 tn 3,50 5,95

Error 12 3,21 0,27

Total 15 4,99

Keterangan: db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah

Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05)

F0,01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01)

tn = tidak nyata

Lampiran 2. ANOVA Pengaruh Perlakuan terhadap Produksi Telur Hen Day Selama Penelitian

SK db JK KT Fhit F 0.05 F 0.01

Perlakuan 3 690,5 230,2 1,97 tn 3,49 5,953

Error 12 1401 116,7

Total 15 2091

Keterangan: db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah

Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05)

F0,01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01)

tn = tidak nyata

Lampiran 3. ANOVA Pengaruh Perlakuan terhadap Massa Telur Puyuh Selama Penelitian

SK db JK KT Fhit F 0.05 F 0.01

Perlakuan 3 1451819,9 483940 3,01 3,49 5,95

Error 12 1930043,1 160837

Total 15 3381862,9

Keterangan: db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah

Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05)

F0,01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01)


(6)

46 Lampiran 4. ANOVA Pengaruh Perlakuan terhadap Bobot Telur Puyuh Selama

Penelitian

SK db JK KT Fhit F 0.05 F 0.01

Perlakuan 3 0,0771 0,026 0,277 tn 3,490 5,953

Error 12 1,1156 0,093

Total 15 1,1927

Keterangan: db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah

Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05)

F0,01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01)

tn = tidak nyata

Lampiran 5. ANOVA Pengaruh Perlakuan terhadap Konversi Ransum Puyuh Selama Penelitian

SK db JK KT Fhit F 0.05 F 0.01

Perlakuan 3 225,02 75,01 2,19 tn 3,49 5,95

Error 12 411,13 34,26

Total 15 636,15

Keterangan: db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah

Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05)

F0,01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01)

tn = tidak nyata

Lampiran 6. ANOVA Pengaruh Perlakuan terhadap Skor Warna Kuning Telur Puyuh Selama Penelitian

SK db JK KT Fhit F 0.05 F 0.01

Perlakuan 3 43,10 14,37 83,10 3,49 5,95

Error 12 2,07 0,17

Total 15 45,17

Keterangan: db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah

Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data F0,05 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05)

F0,01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01)