Ekstrak Daun Katuk (Sauropus Androgynus Merr.) Sebagai Obat Luka Insisi Kronis Dalam Sediaan Salep Dan Krim
EKSTRAK DAUN KATUK (Sauropus androgynus Merr.)
SEBAGAI OBAT LUKA INSISI KRONIS
DALAM SEDIAAN SALEP DAN KRIM
SKRIPSI
Diajukan untuk Melengkapi Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara
OLEH:
SINTHA FEBRIA
NIM 071501070
PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(2)
EKSTRAK DAUN KATUK (Sauropus androgynus Merr.)
SEBAGAI OBAT LUKA INSISI KRONIS
DALAM SEDIAAN SALEP DAN KRIM
SKRIPSI
Diajukan untuk Melengkapi Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara
OLEH:
SINTHA FEBRIA
NIM 071501070
PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(3)
PENGESAHAN SKRIPSI
EKSTRAK DAUN KATUK (Sauropus androgynus Merr.)
SEBAGAI OBAT LUKA INSISI KRONIS
DALAM SEDIAAN SALEP DAN KRIM
OLEH:
SINTHA FEBRIA
NIM 071501070
Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara Pada Tanggal: 3 Maret 2012
Pembimbing I, Panitia Penguji,
Prof. Dr. M. T. Simanjuntak, M.Sc., Apt. Prof. Dr. Karsono, Apt.
NIP 195212041980021001 NIP 195409091982011001
Pembimbing II, Prof. Dr. M. T. Simanjuntak, M.Sc., Apt. NIP 195212041980021001
Dr. Edy Suwarso, SU., Apt. Dra. Saodah, M.Sc., Apt. NIP 130935857 NIP 194901131976032001
Dr. Marline Nainggolan, M.S., Apt. NIP 195709091985112001
Medan, April 2012 Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara Dekan,
Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt. NIP 195311281983031002
(4)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah yang Maha Kuasa yang telah
melimpahkan rahmat, karunia, dan Ridho Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini dengan baik. Salah satu
tumbuhan yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memperbanyak air
susu ibu adalah daun tumbuhan katuk (Sauropus androgynus Merr.) famili
Euphorbiaceae. Selain itu daun katuk juga berkhasiat sebagai obat demam, darah
kotor, obat bisul, dan obat borok (kronis). Penelitian ini bertujuan untuk
memanfaatkan ekstrak etanol daun katuk yang dibuat dalam bentuk sediaan salep
dan krim sebagai obat penyembuh luka insisi kronis.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada
Bapak Prof. Dr. M. T. Simanjuntak, M.Sc., Apt., dan Bapak Dr. Edy Suwarso,
S.U., Apt., yang telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran, tulus dan
ikhlas selama penelitian hingga selesainya penulisan skripsi ini. Ucapan
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. Sumadio
Hadisahputra, Apt., sebagai Dekan Fakultas Farmasi yang telah memberikan
bantuan dan izin fasilitas sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan.
Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Karsono, Apt., Ibu
Dra.Saodah, M.Sc., Apt., dan Ibu Dr. Marline Nainggolan, M.S., Apt., sebagai
dosen penguji yang telah memberikan saran dan kritikan kepada penulis hingga
selesainya penulisan skripsi ini. Bapak Drs. Agusmal Dalimunthe, M.S., Apt.,
sebagai dosen wali yang telah membimbing penulis selama masa pendidikan.
Bapak Prof. Dr. M. T. Simanjuntak, M.Sc., Apt., selaku Kepala Laboratorium
(5)
selama penelitian. Seluruh Staf Pengajar, Pegawai Tata Usaha, Kakak-kakak,
Abang-abang dan Teman-teman di Farmasi Klinis dan Komunitas 2007 yang telah
membantu selama penelitian hingga selesainya penulisan skripsi ini.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus tiada terhingga kepada
Ayahanda H. Nurjasri dan Ibunda Hj. Elly Suharty tercinta, kakak-kakak saya
Devy Molandha dan Lysa Ogestha serta adik saya Angga Rizky Permana atas
dorongan dan semangat baik moril maupun materil kepada penulis selama masa
perkuliahan hingga selesainya penyusunan skripsi ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini masih memiliki
banyak kekurangan, oleh karena itu sangat diharapkan kritikan dan saran yang
dapat menyempurnakan skripsi ini.
Medan, April 2012 Penulis,
SINTHA FEBRIA NIM 071501070
(6)
Ekstrak Daun Katuk (Sauropus androgynus Merr.)
sebagai Obat Luka Insisi Kronis dalam Sediaan Salep dan Krim Abstrak
Tumbuhan katuk (Sauropus androgynus Merr.) adalah salah satu tumbuhan yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai sayuran.
Tumbuhan katuk terutama bagian daunnya memiliki beberapa kandungan kimia, salah satunya flavonoid. Flavonoid yang terdapat dalam daun katuk dapat bekerja sebagai antimikroba. Penelitian ini bertujuan untuk memformulasikan ekstrak daun katuk dalam bentuk sediaan salep dan krim serta mengevaluasi efeknya sebagai obat luka insisi kronis pada mencit.
Pada penelitian ini daun katuk diekstraksi secara perkolasi dengan pelarut etanol 70%, selanjutnya ekstrak dipekatkan menggunakan alatpenguap berputar dan dikeringkan menggunakan freeze dryer sehingga diperoleh ekstrak kental. Ekstrak daun katuk diformulasi menjadi sediaan salep berbasis vaselin dan krim berbasis air dengan variasi konsentrasi 1, 1,5, 2, 2,5, 3, 5, 7, dan 9%. Basis salep dan krim digunakan sebagai kontrol negatif sedangkan salep dan krim
kloramfenikol sebagai kontrol positif. Pemeriksaan stabilitas sediaan selama 3 bulan dilakukan dengan mengamati perubahan pH, organoleptis seperti bentuk, warna dan bau serta homogenitas dengan mengamati sejumlah sediaan pada sekeping kaca. Luka insisi diinfeksikan dengan menempelkan kotoran mencit dan setelah 3 hari diperoleh luka insisi kronis. Efek sediaan salep dan krim terhadap penyembuhan luka insisi kronis dilakukan pada mencit yang diklasifikasi dalam 20 kelompok masing-masing terdiri dari 3 ekor mencit.
Hasil pemeriksaan sediaan menunjukkan bahwa semua sediaan salep dan krim dari ekstrak daun katuk tetap stabil selama 3 bulan penyimpanan. Nilai pH sediaan memenuhi persyaratan pH sediaan yang aman untuk kulit sesuai dengan pH kulit, yaitu pH 4,5 hingga 6,5. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok yang diberi sediaan salep 9% memberikan kesembuhan paling cepat yaitu hari ke-5, sedangkan kelompok yang diberi sediaan krim 9% memberikan kesembuhan pada hari ke-6. Hasil analisis data menggunakan uji One Way Anova dengan Metode Tukey HSDa menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang
signifikan terhadap kecepatan penyembuhan luka insisi kronis pada sediaan salep dan krim dengan konsentrasi 9% dibandingkan dengan kontrol positif (p>0,05).
Kesimpulan dari hasil penelitian ini bahwa ekstrak daun katuk dapat diformulasikan dalam bentuk sediaan salep dan krim yang dapat mempercepat penyembuhan luka insisi kronis. Salep memiliki kemampuan lebih untuk menyembuhkan luka insisi kronis dibandingkan krim. Sediaan salep 9% memberikan efek penyembuhan paling cepat yaitu setelah 5 hari pemberian, sedangkan pada sediaan krim 9% setelah 6 hari pemberian.
(7)
Katuk Leaf Extract (Sauropus androgynus Merr.)
as a Chronic Wounds Incision Drug in Ointment and Cream Preparations ABSTRACT
Katuk (Sauropus androgynus Merr.) is one of many plants used by the community as a vegetable. Katuk, especially the leaves have some chemical content, one of them flavonoid. Flavonoids are found in katuk leaf can work as an antimicrobial. This research aims to formulate katuk leaf extract in the dosage form of ointments and creams as well as evaluating the effect of chronic incisional wounds drug in mice.
In this research leaves katuk percolation extracted with 70% ethanol solvent, then the extract was concentrated using a rotating evaporator and dried using a freezedryer to obtain viscous extract. Katuk leaf extract formulated into preparations petroleum jelly-based ointment and water-based cream with
variations in concentration of 1, 1.5, 2, 2.5, 3, 5, 7, and 9%. Ointment and creams bases are used as negative controls while chloramphenicol ointment and cream as a positive control. Examination of the stability of preparations was done by observing the change in pH for 3 months, organoleptis such as shape, color and odor as well as the homogeneity of the observed number of preparations on a piece of glass. Incision wounds was infecting by placing feces of mice and obtained incision of chronic wounds after 3 days. Ointment and cream
preparations effects of chronic wound incision healing performed on mice which were classified into 20 groups each consisting of three mices.
The results of showed that all preparations preparations ointments and creams from katuk leaf extracts remained stable for 3 months of storage. PH value preparations meets the pH requirements of safe preparations for skin according toskin pH, ie pH 4.5 to 6.5. The results showed that group given 9% ointment preparations provide the most rapid healing the day-to-5, while the group given 9%cream preparations provide healing on day-6. The analysis of test data using OneWay Anova with Tukey method HSDa shows that there is no significant differenc to the speed of the incision chronic wound healing in ointments and cream preparations with a concentration of 9% compared with positive controls (p> 0.05).
The conclusion from this research that katuk leaf extract can be formulated in the form of ointment and cream preparations which can accelerate the healing ofchronic wounds incision. Ointments have more ability to heal chronic wounds than cream incision. 9% ointment preparations provide the most rapid healing effects after being given for 5 days, while the cream preparations of 9% after 6 days.
(8)
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL ... i
LEMBAR PENGESAHAN ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
ABSTRAK ... vi
ABSTRACT ... vii
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 3
1.3 Hipotesis ... 3
1.4 Tujuan Penelitian ... 3
1.5 Manfaat Penelitian ... 4
1.6 Kerangka Penelitian ... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5
2.1 Uraian Tumbuhan ... 5
2.1.1 Sistematika tumbuhan ... 5
2.1.2 Sinonim tumbuhan ... 5
2.1.3 Nama daerah ... 6
2.1.4 Habitat tumbuhan ... 6
(9)
2.1.6 Kandungan kimia ... 7
2.1.7 Kegunaan ... 7
2.2 Ekstraksi ... 8
2.3 Salep ... 9
2.4 Krim ... 11
2.5 Kulit ... 12
2.6 Luka ... 14
2.6.1 Jenis-jenis luka ... 15
2.6.2 Mekanisme terjadinya luka ... 16
2.6.3 Penyembuhan luka ... 17
2.7 Kloramfenikol ... 21
BAB III METODE PENELITIAN ... 22
3.1 Alat-alat ... 22
3.2 Bahan-bahan ... 22
3.3 Hewan percobaan ... 22
3.4 Penyiapan bahan tumbuhan ... 23
3.4.1 Pengambilan bahan tumbuhan ... 23
3.4.2 Identifikasi tumbuhan ... 23
3.4.3 Pembuatan simplisia daun katuk ... 23
3.4.4 Pembuatan ekstrak etanol daun katuk ... 23
3.5 Pembuatan Sediaan ... 24
3.5.1 Pembuatan salep ... 24
3.5.2 Pembuatan krim ... 25
3.6 Evaluasi Sediaan ... 26
(10)
3.6.2 Uji homogenitas ... 26
3.6.3 Pemeriksaan pH ... 26
3.7 Pengujian Sediaan Salep dan Krim Terhadap Penyembuhan Luka Insisi Kronis ... 27
3.8 Perhitungan Luas Rata-rata Luka Insisi Kronis ... 27
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 28
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 39
5.1 Kesimpulan ... 39
5.2 Saran ... 39
DAFTAR PUSTAKA ... 40
LAMPIRAN ... 43
DAFTAR TABEL
(11)
4.1 Hasil pemeriksaan organoleptis sediaan salep dari ekstrak
daun katuk selama 3 bulan pada suhu kamar ... 28
4.2 Hasil pemeriksaan organoleptis sediaan krim dari ekstrak
daun katuk selama 3 bulan pada suhu kamar ... 29
4.3 Hasil pemeriksaan homogenitas sediaan salep dan krim dari
ekstrak daun katuk selama 3 bulan pada suhu kamar ... 30
4.4 Hasil pemeriksaan pH dari sediaan salep dan krim dari
ekstrak daun katuk selama 3 bulan pada suhu kamar ... 31
4.5 Hasil penentuan waktu sembuh dari sediaan salep dari
ekstrak daun katuk dan salep kloramfenikol ... 32
4.6 Data analisis hasil Uji Anova penentuan waktu sembuh dari
sediaan salep ekstrak daun katuk ... 33
4.7 Data analisis hasil Uji Tukey penentuan waktu sembuh dari
sediaan salep ekstrak daun katuk ... 34
4.8 Data analisis hasil Uji Anova AUC sediaan salep dari
ekstrak daun katuk ... 34
4.9 Data analisis hasil Uji Tukey AUC sediaan salep dari
ekstrak daun katuk ... 35
4.10 Hasil penentuanwaktu sembuh dari sediaan krim dari
ekstrak daun katuk dan krim kloramfenikol ... 35
4.11 Data analisis hasil Uji Anova penentuan waktu sembuh dari
sediaan krim ekstrak daun katuk ... 36
4.12 Data analisis hasil Uji Tukey penentuan waktu sembuh dari
sediaan krim ekstrak daun katuk ... 37
4.13 Data analisis hasil Uji Anova AUC sediaan krim dari
ekstrak daun katuk ... 37
4.14 Data analisis hasil Uji Tukey AUC sediaan krim dari
(12)
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1.1 Kerangka pikir penelitian ... 4
2.1 Struktur kulit ... 14
2.2 Fase inflamasi ... 19
2.3 Fase proliferasi ... 19
2.4 Fase remodelling ... 20
3.1 Cara mengukur luas luka insisi kronis ... 27
4.1 Histogram waktu sembuh dari sediaan salep ekstrak daun katuk dan salep kloramfenikol ... 33
4.2 Histogram waktu sembuh dari sediaan krim ekstrak daun katuk dan krim kloramfenikol ... 36
(13)
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Hasil identifikasi tumbuhan daun katuk (Sauropus
androgynus Merr.) ... 43
2. Gambar tumbuhan katuk (Sauropus androgynus Merr.), daun
katuk, simplisia, dan serbuk simplisia daun katuk ... 44
3. Flowsheet alur penelitian ... 46
4. Flowsheet pembuatan sediaan salep ekstrakdaun katuk
(Sauropusandrogynus Merr.) ... 47
5. Flowsheet pembuatan sediaan krim ekstrakdaun katuk
(Sauropus androgynus Merr.) ... 48
6. Gambar sediaan salep ekstrak daun katuk (Sauropus
androgynus Merr.) ... 49
7. Gambar sediaan krim daun katuk (Sauropus androgynus
Merr.) ... 50
8. Gambar alat-alat yang digunakan ... 51
9. Perubahan luas luka insisi kronis yang diobati dengan salep
ekstrak daun katuk ... 52
10. Perubahan luas luka insisi kronis yang diobati dengan krim
ekstrak daun katuk ... 53
11. Perubahan luas luka insisi kronis yang diobati dengan sediaan
salep kloramfenikol ... 54
12. Perubahan luas luka insisi kronis yang diobati dengan sediaan
krimkloramfenikol ... 55
13. Contoh perhitungan luas luka insisi kronis ... 56
14. Data luas luka insisi kronis dengan interval pengukuran
setiap hari dari sediaan salep ekstrak daun katuk ... 57
15. Grafik luas luka insisi kronis terhadap waktu (hari) dari
sediaan salep ekstrak daun katuk ... 66
16. Data penentuan nilai AUC krim dari data luas luka insisi
(14)
17. Data luas luka insisi kronis dengan interval pengukuran
setiap hari dari sediaan krim ekstrak daun katuk ... 69
18. Grafik luas luka insisi kronis terhadap waktu (hari) dari
sediaan krim ekstrak daun katuk... 78
19. Data penentuan nilai AUC krim dari data luas luka insisi
kronis sapai kesembuhannya ... 79
20. Data luas luka insisi kronis dengan interval pengukuran
setiap hari dari sediaan salep kloramfenikol ... 81
21. Data luas luka insisi kronis dengan interval pengukuran
(15)
Ekstrak Daun Katuk (Sauropus androgynus Merr.)
sebagai Obat Luka Insisi Kronis dalam Sediaan Salep dan Krim Abstrak
Tumbuhan katuk (Sauropus androgynus Merr.) adalah salah satu tumbuhan yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai sayuran.
Tumbuhan katuk terutama bagian daunnya memiliki beberapa kandungan kimia, salah satunya flavonoid. Flavonoid yang terdapat dalam daun katuk dapat bekerja sebagai antimikroba. Penelitian ini bertujuan untuk memformulasikan ekstrak daun katuk dalam bentuk sediaan salep dan krim serta mengevaluasi efeknya sebagai obat luka insisi kronis pada mencit.
Pada penelitian ini daun katuk diekstraksi secara perkolasi dengan pelarut etanol 70%, selanjutnya ekstrak dipekatkan menggunakan alatpenguap berputar dan dikeringkan menggunakan freeze dryer sehingga diperoleh ekstrak kental. Ekstrak daun katuk diformulasi menjadi sediaan salep berbasis vaselin dan krim berbasis air dengan variasi konsentrasi 1, 1,5, 2, 2,5, 3, 5, 7, dan 9%. Basis salep dan krim digunakan sebagai kontrol negatif sedangkan salep dan krim
kloramfenikol sebagai kontrol positif. Pemeriksaan stabilitas sediaan selama 3 bulan dilakukan dengan mengamati perubahan pH, organoleptis seperti bentuk, warna dan bau serta homogenitas dengan mengamati sejumlah sediaan pada sekeping kaca. Luka insisi diinfeksikan dengan menempelkan kotoran mencit dan setelah 3 hari diperoleh luka insisi kronis. Efek sediaan salep dan krim terhadap penyembuhan luka insisi kronis dilakukan pada mencit yang diklasifikasi dalam 20 kelompok masing-masing terdiri dari 3 ekor mencit.
Hasil pemeriksaan sediaan menunjukkan bahwa semua sediaan salep dan krim dari ekstrak daun katuk tetap stabil selama 3 bulan penyimpanan. Nilai pH sediaan memenuhi persyaratan pH sediaan yang aman untuk kulit sesuai dengan pH kulit, yaitu pH 4,5 hingga 6,5. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok yang diberi sediaan salep 9% memberikan kesembuhan paling cepat yaitu hari ke-5, sedangkan kelompok yang diberi sediaan krim 9% memberikan kesembuhan pada hari ke-6. Hasil analisis data menggunakan uji One Way Anova dengan Metode Tukey HSDa menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang
signifikan terhadap kecepatan penyembuhan luka insisi kronis pada sediaan salep dan krim dengan konsentrasi 9% dibandingkan dengan kontrol positif (p>0,05).
Kesimpulan dari hasil penelitian ini bahwa ekstrak daun katuk dapat diformulasikan dalam bentuk sediaan salep dan krim yang dapat mempercepat penyembuhan luka insisi kronis. Salep memiliki kemampuan lebih untuk menyembuhkan luka insisi kronis dibandingkan krim. Sediaan salep 9% memberikan efek penyembuhan paling cepat yaitu setelah 5 hari pemberian, sedangkan pada sediaan krim 9% setelah 6 hari pemberian.
(16)
Katuk Leaf Extract (Sauropus androgynus Merr.)
as a Chronic Wounds Incision Drug in Ointment and Cream Preparations ABSTRACT
Katuk (Sauropus androgynus Merr.) is one of many plants used by the community as a vegetable. Katuk, especially the leaves have some chemical content, one of them flavonoid. Flavonoids are found in katuk leaf can work as an antimicrobial. This research aims to formulate katuk leaf extract in the dosage form of ointments and creams as well as evaluating the effect of chronic incisional wounds drug in mice.
In this research leaves katuk percolation extracted with 70% ethanol solvent, then the extract was concentrated using a rotating evaporator and dried using a freezedryer to obtain viscous extract. Katuk leaf extract formulated into preparations petroleum jelly-based ointment and water-based cream with
variations in concentration of 1, 1.5, 2, 2.5, 3, 5, 7, and 9%. Ointment and creams bases are used as negative controls while chloramphenicol ointment and cream as a positive control. Examination of the stability of preparations was done by observing the change in pH for 3 months, organoleptis such as shape, color and odor as well as the homogeneity of the observed number of preparations on a piece of glass. Incision wounds was infecting by placing feces of mice and obtained incision of chronic wounds after 3 days. Ointment and cream
preparations effects of chronic wound incision healing performed on mice which were classified into 20 groups each consisting of three mices.
The results of showed that all preparations preparations ointments and creams from katuk leaf extracts remained stable for 3 months of storage. PH value preparations meets the pH requirements of safe preparations for skin according toskin pH, ie pH 4.5 to 6.5. The results showed that group given 9% ointment preparations provide the most rapid healing the day-to-5, while the group given 9%cream preparations provide healing on day-6. The analysis of test data using OneWay Anova with Tukey method HSDa shows that there is no significant differenc to the speed of the incision chronic wound healing in ointments and cream preparations with a concentration of 9% compared with positive controls (p> 0.05).
The conclusion from this research that katuk leaf extract can be formulated in the form of ointment and cream preparations which can accelerate the healing ofchronic wounds incision. Ointments have more ability to heal chronic wounds than cream incision. 9% ointment preparations provide the most rapid healing effects after being given for 5 days, while the cream preparations of 9% after 6 days.
(17)
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia adalah salah satu negara yang mempunyai tingkat
keanekaragaman hayati yang tinggi, potensi sumber daya tumbuhan yang ada
merupakan suatu aset dengan nilai keunggulan komparatif. Ini dapat dijadikan
sebagai modal dasar dalam upaya pemanfaatan dan pengembangannya untuk
menjadi komoditi yang kompetitif (Menkes, 2007).
Tanaman katuk atau Sauropus androgynus Merr. mengandung beberapa
senyawa kimia antara lain alkaloid, flavonoid, tanin, dan steroid. Salah satu
khasiat tanaman katuk yang telah diketahui masyarakat adalah untuk melancarkan
air susu ibu (ASI), yaitu dengan cara mengkonsumsi daun katuk sebagai sayuran
(Rukmana dan Harahap, 2003).
Pada penelitian sebelumnya (Simbolon, 2011), telah melakukan
karakterisasi simplisia dan skrining fitokimia serta uji aktivitas antioksidan
ekstrak etanol daun tumbuhan katuk (Sauropus androgynus Merr.). Hasil skrining
diperoleh senyawa alkaloida, flovonoida, tanin, glikosida, dan steroida.
Disamping itu, daun katuk mempunyai aktivitas sebagai antimikroba terhadap
bakteri Stapylococcus aureus yang merupakan salah satu penyebab terjadinya luka
borok/kronis. Senyawa flavonoida berfungsi sebagai antibakteri, dan
antiinflamasi, sedangkan tanin berfungsi sebagai adstringen yang dapat
menciutkan pori-pori kulit membentuk jaringan baru dan juga sebagai antibakteri
(18)
Luka merupakan rusaknya sebahagian dari jaringan tubuh dan sering
sekali terjadi dalam aktivitas sehari-hari. Luka insisi adalah luka yang terjadi
karena teriris oleh instrumen yang tajam, misalnya yang terjadi akibat
pembedahan (Ismail, 2005; Prabakti, 2005).
Pada saat ini, pabrik farmasi sering memasarkan preparat topikal dalam
bentuk salep yang merupakan sediaan setengah padat yang mudah dioleskan dan
digunakan sebelum dan digunakan sebagai obat luar, yang mana bahan obat larut
atau terdispersi homogen dalam dasar salep yang cocok (Ditjen POM, 1979). Pada
umumnya sediaan salep banyak digunakan dalam pengobatan luka dengan kondisi
tertentu, seperti: infeksi kulit, luka bakar, mata ikan, gatal-gatal, sengatan
serangga, penyakit kulit kronis, dan lain-lain (Ansel, 1989).
Bentuk sediaan setengah padat lain selain salep adalah krim yang
didefinisikan sebagai “cairan kental atau emulsi setengah padat baik bertipe air
dalam minyak atau minyak dalam air”. Banyak dokter dan pasien lebih suka pada
krim daripada salep, karena umumnya mudah menyebar rata dan krim jenis
minyak dalam air lebih mudah dibersihkan daripada kebanyakan salep (Syamsuni,
2006).
Pada produk farmasi, tingkat kestabilan suatu sediaan sangat penting
karena kestabilan formulasi obat dapat dideteksi dengan adanya perubahan dalam
penampilan fisik seperti warna, bau, rasa, dan tekstur dari formulasi tersebut
(Ansel, 1989). Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kestabilan suatu
sediaan adalah penggunaan antioksidan seperti senyawa butilhidroksitoluen
(BHT). Senyawa ini sering digunakan sebagai antioksidan dalam kosmetik,
(19)
oksidatif lemak dan mencegah hilangnya aktivitas vitamin yang larut dalam
lemak (Rowe, 2009).
Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti ingin melakukan uji ekstrak daun
katuk dalam sediaan salep dan krim terhadap luka insisi kronis terhadap mencit
yang dibuat infeksi dengan kotoran mencit.
1.2Perumusan Masalah
1. Apakah ekstrak daun katuk dapat diformulasikan dalam bentuk sediaan
salep dan krim?
2. Apakah ekstrak daun katuk dapat dipakai sebagai obat luka insisi kronis
dalam bentuk sediaan salep dan krim?
1.3Hipotesis
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka hipotesis pada penelitian
ini adalah:
1. Ekstrak daun katuk dapat diformulasikan dalam bentuk sediaan salep dan
krim.
2. Ekstrak daun katuk dapat dipakai sebagai obat luka insisi kronis dalam
bentuk sediaan salep dan krim.
1.4Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui ekstrak daun katuk dapat diformulasikan dalam bentuk
sediaan salep dan krim.
2. Untuk mengetahui ekstrak daun katuk dapat dipakai sebagai obat luka
(20)
1.5Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Dapat diperoleh sediaan salep dan krim dari ekstrak daun katuk yang dapat
digunakan masyarakat sebagai obat luka insisi kronis.
2. Dapat diperoleh sediaan salep dan krim yang stabil dari ekstrak daun katuk
yang stabil.
3. Sebagai sumber informasi bagi masyarakat dalam upaya mengoptimalkan
penggunaan tumbuhan tradisional.
1.6Kerangka Penelitian
Adapun kerangka pikir penelitian ini adalah :
Variabel bebas Variabel Terikat
Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian Ekstrak etanol
daun katuk
Sediaan salep
Sediaan krim
Gunting bedah
Mencit
Salep kloramfenikol
Krim kloramfenikol
pH
Organoleptis
Homogenitas partikel
Mencit luka insisi kronis
(p , Ɩ)
Penyembuhan luka insisi kronis (cm2)
(21)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Tumbuhan
Uraian tumbuhan meliputi sistematika tumbuhan, sinonim tumbuhan,
nama daerah, nama asing, daerah tumbuh, morfologi tumbuhan, kandungan kimia
dan kegunaan dari tumbuhan.
2.1.1 Sistematika tumbuhan
Dalam taksonomi tumbuhan, katuk diklasifikasikan sebagai berikut
(Tjiptrosoepomo, 2007):
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Ordo : Euphorbiales
Family : Euphorbiaceae
Genus : Sauropus
Spesies : Sauropus androgynus Merr.
2.1.2 Sinonim tumbuhan
Sinonim: Sauropus albicus BI.
Sauropus indicus Wight.
Sauropus sumatranus Meq. (Balitbangkes, 2001)
(22)
Simani (Minangkabau), Cekop Manis atau Memata (Melayu), Katuk
(Sunda), Karekur (Madura), Kebing atau katukan (Jawa), Kayu manis (Bali)
(Rukmana dan Harahap, 2003; Ferdianto, 2011).
2.1.4 Habitat tumbuhan
Tumbuhan katuk mempunyai daya adaptasi yang luas terhadap lingkungan
didaerah tropis, dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik di daerah dataran
rendah sampai dataran tinggi yang memiliki ketinggian antara 5–1.300 m di atas
permukaan laut. Tumbuhan katuk masih dapat tumbuh di daerah yang memiliki
ketinggian lebih dari 1.300 m di atas permukaan laut, tetapi dengan pertumbuhan
yang agak lambat dan ukuran daun kecil-kecil sehingga produksi tanaman
cenderung rendah. Lingkungan yang paling ideal untuk membudidayakan
tanaman katuk adalah daerah yang mempunyai suhu udara berkisar antara 21–
320C dan curah hujan antara 750–2.500 mm/tahun (Rukmana dan Harahap, 2003).
2.1.5 Morfologi tumbuhan
Katuk merupakan tanaman perdu dengan ketinggian antara 2,5–5 m.
Tumbuhan katuk berakar tunggang yang berwarna putih kotor, menyebar ke
segala arah dan dapat mencapai kedalaman antara 30-50 cm. Batang tumbuhan
katuk tumbuh tegak, berkayu, bulat berwarna hijau ketika muda dan setelah tua
berwarna kelabu keputih-putihan atau cokelat kehijauan (Balitbangkes, 2001;
Rukmana dan Harahap, 2003).
Daun tumbuhan katuk merupakan daun tunggal, bertangkai dengan
panjang tangkai daun 3-5 mm. Helaian daun berbentuk bundar memanjang atau
bundar telur sampai lonjong dengan panjang helaian 2-4 cm dan lebar 1,5-2,5 cm.
Ujung dan pangkal daun meruncing dengan tepi daun yang rata. Permukaan atas
(23)
berambut. Tulang daun jelas menonjol pada permukaan bawah daun (Depkes RI,
1989).
Bunga tumbuhan katuk merupakan bunga majemuk, berbentuk payung dan
tumbuh di ketiak daun, berukuran kecil berwarna merah gelap sampai
kekuning-kuningan. Mahkota bunga berbentuk bulat telur dengan warna merah muda hingga
ungu. Putik bunga berkepala tiga dan jumlah benang sari satu atau lebih dengan
panjang tangkai sari 5–10 mm. Bakal buah menumpang dengan warna ungu.
Kelopak bunga yang keras dan berwarna putih kemerah-merahan. Buah tumbuhan
berbentuk bulat, beruang tiga dengan diameter ± 1,5 mm, berwarna hijau
keputih-putihan. Bentuk biji bulat, keras dan berwarna putih (Balitbangkes, 2001;
Rukmana dan Harahap, 2003).
2.1.6 Kandungan kimia
Daun katuk mengandung flavonoida, alkaloida, glikosida, tanin dan
steroida. Kandungan nutrisi katuk antara lain: protein, lemak, vitamin (vitamin K,
vitamin A, vitamin B, dan vitamin C) dan mineral (kalsium) (Simbolon, 2011;
Anonim, 2010).
2.1.7 Kegunaan
Daun katuk dimanfaatkan untuk memperbanyak air susu ibu (ASI), obat
jerawat, juga berkhasiat sebagai obat demam, darah kotor obat bisul, dan obat
borok (Rukmana dan Harahap, 2003; Ferdianto, 2011).
2.2 Ekstraksi
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut
(24)
aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam
golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid dan lain-lain (Ditjen POM, 2000).
Beberapa metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut, yaitu (Ditjen
POM, 2000):
a. Cara dingin
1. Maserasi
Maserasi adalah proses penyarian simplisia dengan cara perendaman
menggunakan pelarut dengan sesekali pengadukan pada temperatur kamar.
Maserasi yang dilakukan pengadukan secara terus-menerus disebut maserasi
kinetik sedangkan yang dilakukan pengulangan panambahan pelarut setelah
dilakukan penyaringan terhadap maserat pertama dan seterusnya disebut
remaserasi.
2. Perkolasi
Perkolasi adalah proses penyarian simplisia dengan pelarut yang selalu
baru sampai terjadi penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada
temperatur kamar. Proses perkolasi terdiri dari tahap pelembaman bahan, tahap
perendaman antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak)
terus-menerus sampai diperoleh perkolat yang jumlahnya 1-5 kali bahan.
b. Cara panas
(25)
Refluks adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan alat pada
temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang
relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
2. Digesti
Digesti adalah proses penyarian dengan pengadukan kontinu pada
temperatur 40-50°C.
3. Sokletasi
Sokletasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut yang
selalu baru, dilakukan dengan menggunakan alat soklet sehingga menjadi
ekstraksi kontinu dengan pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
4. Infundasi
Infundasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada
temperatur 90°C selama 15 menit.
5. Dekoktasi
Dekoktasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada
temperatur 90°C selama 30 menit.
2.3 Salep
Salep adalah sediaan setengah padat yang mudah dioleskan dan digunakan
sebagai obat luar. Bahan obatnya larut atau terdispersi homogen dalam dasar salep
yang cocok (Ditjen POM, 1979).
Fungsi salep adalah:
a. Pembawa (“vehicle”) substansi obat untuk pengobatan kulit.
(26)
c. Pelindung (“protective”) untuk mencegah kontak permukaan kulit dengan
larutan berair dan rangsang terhadap kulit. (Anief, 1986).
Salep dapat mengandung obat atau tidak mengandung obat, yang
disebutkan terakhir biasanya dikatakan sebagai “dasar salep” dan digunakan
sebagai pembawa dalam penyiapan salep yang mengandung obat (Ansel, 1989).
Dasar salep digolongkan ke dalam 4 kelompok besar: dasar salep
hidrokarbon, dasar salep absorpsi, dasar salep yang dapat dicuci dengan air, dan
dasar salep yang larut dalam air (Ansel, 1989).
1. Dasar salep hidrokarbon: bersifat lemak dan sukar dicuci dengan air. Misalnya
adalah parafin, vaselin, minyak nabati.
2. Dasar salep serap (absorpsi)
Dasar salep dapat menyerap air dalam jumlah terbatas.
Misalnya adalah: Adeps lanae, lanolin, lilin (cera).
3. Dasar salep yang dapat dicuci dengan air
Dasar salep yang merupakan emulsi minyak dalam air, misalnya salep
hidrofilik, vanishing cream.
4. Dasar salep yang dapat larut dalam air, yaitu dasar salep yang mengandung
komponen larut dalam air. Misalnya adalah: polietilenglikol (Jas, 2007; Ditjen
POM, 1979).
Kualitas dasar salep adalah:
a. stabil, selama masih dipakai mengobati. Maka salep harus bebas dari
inkompatibilitas, stabil pada suhu kamar dan kelembaban yang ada
(27)
b. Lunak, yaitu semua zat dalam keadaan halus dan seluruh produk
menjadi lunak dan homogen, sebab salep digunakan untuk kulit yang
teriritasi dan inflamasi.
c. Mudah dipakai, umumnya salep tipe emulsi adalah yang paling mudah
dipakai dan dihilangkan dari kulit.
d. Dasar salep yang cocok, yaitu dasar salep yang kompatibel secara
fisika dan kimia dengan obat yang dikandungnya. Dasar salep tidak
boleh merusak atau menghambat aksi terapi dari obat yang mampu
melepas obatnya pada daerah yang diobati.
e. Terdistribusi merata, obat harus terdistribusi merata melalui dasar
salep padat atau cair pada pengobatan (Anief, 2007).
Faktor-faktor yang mempengaruhi efek absorpsi obat dalam salep oleh
kulit adalah:
1. Segi fisiologi: keadaan kulit, luas daerah pemakaian, banyaknya
pemakaian, letak pemakaian dan lama pemakaian.
2. Keadaan hidrasi pada stratum corneum.
3. Temperatur kulit.
4. Adanya pelarut yang dapat campur atau melarut dalam stratum corneum.
5. Konsentrasi obat (Anief, 1986).
2.4 Krim
Krim didefinisikan sebagai “cairan kental atau emulsi setengah padat baik
bertipe air dalam minyak atau minyak dalam air” yang mengandung satu atau
(28)
mengandung air tidak kurang dari 60%. Krim biasanya digunakan sebagai
emolien atau pemakaian obat pada kulit (Syamsuni, 2006).
Istilah krim secara luas digunakan dalam farmasi dan industri kosmetik,
dan banyak produk dalam perdagangan disebut krim tetapi tidak sesuai dengan
definisi. Kebanyakan hasil produksi yang nampaknya seperti krim tetapi tidak
mempunyai dasar dengan jenis emulsi, biasanya disebut krim.
Banyak dokter dan pasien lebih suka pada krim daripada salep, untuk satu
hal, umunya mudah menyebar rata dan dalam hal krim dari emulsi jenis minyak
dalam air lebih mudah dibersihkan daripada kebanyakan salep (Ansel, 1989).
Sediaan krim memiliki konsistensi relatif cair yang diformulasikan sebagai
emulsi air dalam minyak (A/M) atau minyak dalam air (M/A). Tipe A/M mudah
kering dan rusak. Zat pengemulsi sama dengan emulgator.
Krim dapat dipergunakan sebagai vehikulum (bahan pengisi) zat
berkhasiat, antara lain antibiotika, antiseptika, kemoterapetika, analgetika,
laksatif, vitamin, dan lain-lain (Jas, 2007).
2.5 Kulit
Kulit merupakan suatu organ besar yang berlapis-lapis, dimana pada orang
dewasa beratnya kira-kira delapan pon, tidak termasuk lemak. Kulit menutupi
permukaan lebih dari 20.000 cm2 dan mempunyai bermacam–macam fungsi dan
kegunaan. Kulit berfungsi sebagai pembatas terhadap serangan fisika dan kimia
(Lachman, dkk., 1994).
Kulit dibentuk dari tumpukan tiga lapisan berbeda yang berturutan dari
luar ke dalam yaitu lapisan epidermis, lapisan dermis yang tersusun atas
(29)
jaringan dibawah kulit yang berlemak atau yang disebut hipodermis. Kulit
mempunyai aneksa, kelenjar keringat, dan kelenjar sebum (glandula sebaceous)
yang berasal dari lapisan hipodermis atau dermis (Aiache, dkk., 1993).
Epidermis merupakan lapisan epitel, tebal rata-rata 200 μm, dengan sel-sel yang berdiferensiasi bertahap dari bagian yang lebih dalam menuju ke permukaan
dengan proses keratinisasi. Epidermis dibedakan atas 2 bagian: lapisan malfigi
yang hidup, menempel pada dermis, dan lapisan tanduk yang tersusun atas
sekumpulan sel-sel mati yang mengalami keratinisasi (Aiache, dkk., 1993). Sel-sel
epidermis ini disebut keratinosit. Ketebalan epidermis berbeda-beda pada berbagai
bagian tubuh, yang paling tebal 1 milimeter, misalnya pada telapak kaki dan
telapak tangan, dan lapisan yang tipis berukuran 0,1 milimeter terdapat pada
kelopak mata, pipi, dahi, dan perut (Tranggono dan Latifah, 2007).
Stratum corneum merupakan sawar kulit pokok terhadap kehilangan air.
Lapisan sel mati berkeratin sangat hidrofil dan mengembang bila tercelup air, hal
ini menjaga permukaan kulit tetap halus dan lentur. Hilangnya stratum corneum
akan menyebabkan penguapan, kekurangan komponen sel, dan penetrasi substansi
asing (Anief, 1997).
Dermis merupakan jaringan penyangga berserat dengan ketebalan rata-rata
3-5 mm, peranan utamanya adalah sebagai pemberi nutrisi pada epidermis.
Berdasarkan tinjauan kualitatif dan susunan ruang serabut kolagen dan elastin,
dermis terdiri atas dua lapisan anatomik yaitu lapisan papiler jaringan kendor yang
terletak tepat di bawah epidermis, dan lapisan retikuler pada bagian dalam yang
merupakan jaringan penyangga yang padat. Anyaman pembuluh darah dan
(30)
μm. Hipodermis dan jaringan penyangga kendor, mengandung sejumlah kelenjar lemak juga mengandung glomelurus kelenjar keringat (Aiache, dkk., 1993).
Gambar 2.1 Struktur kulit (Tortora, 1986)
2.6 Luka
Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh yang dapat
disebabkan oleh trauma benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat kimia,
ledakan, sengatan listrik, atau gigitan hewan. Ketika luka timbul, akan muncul
beberapa efek, yaitu: hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ, perdarahan
dan pembekuan darah, kontaminasi bakteri, kematian sel (Sinaga, 2009).
(31)
Luka sering digambarkan berdasarkan bagaimana terjadinya luka dan
menunjukkan derajat luka.
1. Berdasarkan tingkat kontaminasi
a. Clean Wounds (Luka bersih), yaitu luka bedah tak terinfeksi, tidak terjadi
proses peradangan (inflamasi). Luka bersih biasanya menghasilkan luka
yang tertutup. Kemungkinan terjadinya infeksi luka sekitar 1% - 5%.
b. Clean-contamined Wounds (Luka bersih terkontaminasi), merupakan luka
pembedahan dimana saluran respirasi, pencernaan, genital atau perkemihan
dalamkondisi terkontrol, kontaminasi tidak selalu terjadi, kemungkinan
timbulnya infeksiluka adalah 3% - 11%.
c. Contamined Wounds (Luka terkontaminasi), termasuk luka terbuka, fresh,
luka akibat kecelakaan dan operasi dengan kerusakan besar dengan teknik
aseptik atau kontaminasi dari saluran cerna; pada kategori ini juga termasuk
insisi akut, inflamasi nonpurulen. Kemungkinan infeksi luka 10% - 17%.
d. Dirty or Infected Wounds (Luka kotor atau infeksi), yaitu terdapatnya
mikroorganisme pada luka.
2. Berdasarkan kedalaman dan luasnya luka
a. Stadium I : Luka “Superfisial” (Non-Blanching Erithema) : yaitu luka yang
terjadi pada lapisan epidermis kulit.
b. Stadium II : Luka “Partial Thickness” : yaitu hilangnya lapisan kulit pada
lapisan epidermis dan bagian atas dari dermis, adanya tanda klinis seperti
lubang yang dangkal.
c. Stadium III : Luka “Full Thickness” : yaitu hilangnya kulit keseluruhan
meliputi kerusakan atau nekrosis jaringan subkutan yang dapat meluas
(32)
sampai pada lapisan epidermis, dermis dan fasia tetapi tidak mengenai otot.
Luka timbul secara klinis sebagai suatu lubang yang dalam dengan atau
tanpa merusak jaringan sekitarnya.
d. Stadium IV : Luka “Full Thickness” yang telah mencapai lapisan otot,
tendon dan tulang dengan adanya kerusakan yang luas.
3. Berdasarkan waktu penyembuhan luka
a. Luka akut: luka dengan masa penyembuhan sesuai dengan konsep
penyembuhan yang telah disepakati. Kriteria luka akut adalah luka baru,
mendadak dan penyembuhannya sesuai dengan waktu yang diperkirakan,
contoh: luka sayat, luka bakar, luka tusuk.
b. Luka kronis: luka yang mengalami kegagalan dalam penyembuhan, dapat
terjadi karena faktor endogen dan eksogen. Pada luka kronik gagal sembuh
pada waktu yang diperkirakan, tidak berespon baik terhadap terapi dan
punya tendensi timbul kembali, contoh: ulkus dekubitus, ulkus diabetik,
ulkus venous dan lain-lain (Prabakti, 2005).
2.6.2 Mekanisme terjadinya luka:
1. Luka insisi (Incised wounds), terjadi karena teriris oleh instrumen yang
tajam. Misalnya yang terjadi akibat pembedahan. Luka bersih (aseptik)
biasanya tertutup oleh sutura setelah seluruh pembuluh darah yang luka
diikat.
2. Luka memar (Contusion Wound), terjadi akibat benturan oleh suatu
tekanan dan dikarakteristikkan oleh cedera pada jaringan lunak,
perdarahan dan bengkak.
3. Luka lecet (Abraded Wound), terjadi akibat kulit bergesekan dengan
(33)
4. Luka tusuk (Punctured Wound), terjadi akibat adanya benda, seperti peluru
atau pisau yang masuk kedalam kulit dengan diameter yang kecil.
5. Luka gores (Lacerated Wound), terjadi akibat benda yang tajam seperti
oleh kaca atau oleh kawat.
6. Luka tembus (Penetrating Wound), yaitu luka yang menembus organ
tubuh biasanya pada bagian awal luka masuk diameternya kecil tetapi pada
bagian ujung biasanya luka akan melebar.
7. Luka Bakar (Combustio).
8. Luka gigitan hewan, disebabkan karena adanya gigitan dari hewan liar atau
hewan piaraan. Hewan liar yang biasanya mengigit adalah hewan yang
ganas dan pemakan daging, yaitu dalam usaha untuk membela diri.
Luka gigitan dapat hanya berupa luka tusuk kecil atau luka compang
camping luas yang berat (Jasmi, 2011).
2.6.3 Penyembuhan luka
Penyembuhan luka dipengaruhi oleh berbagai faktor, dan infeksi adalah
sebab yang paling penting dari penghambatan penyembuhan luka, karena infeksi
mengakibatkan inflamasi dan dapat menyebabkan cidera jaringan. Rangsangan
eksogen dan endogen dapat menimbulkan kerusakan sel selanjutnya memicu
reaksi vaskuler kompleks pada jaringan ikat yang ada pembuluh darahnya.
Reaksi inflamasi berguna sebagai proteksi terhadap jaringan yang
mengalami kerusakan untuk tidak mengalami infeksi meluas tak terkendali.
Proses inflamasi sangat berhubungan erat dengan penyembuhan luka dan tanpa
adanya inflamasi tidak akan terjadi proses penyembuhan luka, luka akan tetap
menjadi sumber nyeri sehingga proses inflamasi dan penyembuhan luka akan
(34)
1. Prinsip Penyembuhan Luka
Ada beberapa prinsip dalam penyembuhan luka yaitu: (1) Kemampuan
tubuh untuk menangani trauma jaringan dipengaruhi oleh luasnya kerusakan dan
keadaan umum kesehatan tiap orang, (2) Respon tubuh pada luka lebih efektif jika
nutrisi yang tepat tetap dijaga, (3) Respon tubuh secara sistemik pada trauma,(4)
Aliran darah ke dan dari jaringan yang luka, (5) Keutuhan kulit dan mukosa
membran disiapkan sebagai garis pertama untuk mempertahankan diri dari
mikroorganisme, dan (6) Penyembuhan normal ditingkatkan ketika luka bebas
dari benda asing tubuh termasuk bakteri (Ismail, 2005).
2. Fase Penyembuhan Luka
Fase yang terjadi pada saat terjadinya luka dibagi tiga:
a. Fase inflamasi
Fase ini berlangsung sejak terjadinya luka sampai hari kelima. Pembuluh
darah yang terputus pada luka akan menyebabkan perdarahan dan tubuh akan
menghentikannya dengan vasokonstriksi, pengerutan ujung pembuluh darah yang
terputus, dan reaksi hemostasis (Syamsuhidayat dan Jong, 1997).
Gambar 2.2 Fase inflamasi b. Fase proliferasi
(35)
Fase proliferasi disebut fase fibroplasia karena yang terjadi adalah proses
proliferasi fibroblast. Fase ini berlangsung sampai minggu ketiga. Pada fase
proliferasi luka dipenuhi sel radang, fibroplasia dan kolagen membentuk jaringan
berwarna kemerahan dengan permukaan berbenjol halus yang disebut granulasi.
Epitel tepi luka yang terdiri dari sel basal terlepas dari dasar dan mengisi
permukaan luka, tempatnya diisi sel baru dari proses mitosis, proses migrasi
terjadi kearah yang lebih rendah atau datar. Proses fibroplasia akan berhenti dan
mulailah proses pematangan (Syamsuhidayat dan jong, 1997).
Gambar 2.3 Fase proliferasi c. Fase Penyudahan (Remodelling)
Fase penyudahan disebut fase maturasi. Pada fase ini terjadi proses
pematangan yang terdiri dari penyerapan kembali jaringan yang berlebih,
pengerutan karena gaya gravitasi, dan berakhir dengan terbentuk jaringan yang
baru. Fase ini berakhir bila semua tanda radang sudah hilang. Selama proses ini
dihasilkan jaringan parut yang pucat, tipis, dan mudah digerakkan dari dasar,
udem dan sel radang diserap, sel muda menjadi matang, kapiler baru menutup dan
(36)
fase, luka kulit mampu menahan regangan 80% dari kulit normal. Fase ini
berlangsung 3–6 bulan (Syamsuhidayat dan jong, 1997).
Gambar 2.4 Fase remodelling
Penyembuhan luka merupakan suatu proses pergantian jaringan yang mati
atau rusak dengan jaringan baru oleh tubuh dengan jalan regenerasi. Luka
dikatakan sembuh apabila permukaannya dapat bersatu kembali dan didaptkan
kekuatan jaringan yang mencapai normal. Setiap kejadian luka, mekanisme tubuh
akan berupaya mengembalikan komponen-komponen jaringan yang rusak tersebut
dengan membentuk struktur baru,dan fungsional sama dengan sebelumnya. Proses
penyembuhan tidak terbatas pada proses regenerasi yang bersifat lokal tetapi
sangat dipengaruhi oleh faktor endogen seperti umur, nutrisi, imunologi, dan
kondisi metabolik.
2.7 Kloramfenikol
Kloramfenikol diisolasi pertama kali pada tahun 1947 dari Streptomyces
venezuelae karena ternyata kloramfenikol mempunyai daya antimikroba yang
kuat, maka penggunaannya meluas dengan cepat. Kloramfenikol bekerja dengan
(37)
tranferase yang berperan sebagai katalisator membentuk ikatan-ikatan peptida
pada proses sintesis protein sel (Anonim, 2006).
Dipasaran terdapat sekitar 13 merek dagang sediaan kloramfenikol dalam
bentuk salep. Sediaan tersebut memiliki indikasi untuk pengobatan infeksi kulit
yang disebabkan oleh bakteri dan pada pengobatan dermatitis eksudatif akut dan
(38)
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian ini adalah metode eksperimental meliputi pembuatan
salep dan krim serta pengujian efek salep dan krim terhadap luka insisi kronis.
3.1 Alat-alat
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah alat-alat gelas
Laboratorium, neraca analitis (Boeco), pH meter (HANNA instrument), gunting
bedah, pisau cukur, pinset, plester, jangka sorong, gunting, mortir dan stamfer,
sudip, spatula, dan pot plastik.
3.2 Bahan-bahan
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah esktrak daun
katuk (Sauropus androgynus Merr.), air suling, dietil eter, adeps lanae, setil
alkohol, metil paraben, propil paraben, vaselin, asam stearat, gliserin,
trietanolamin (TEA), Butil Hidroksitoluen (BHT) dan larutan dapar pH 4 dan pH
7.
3.3 Hewan Percobaan
Hewan yang digunakan pada penelitian ini adalah mencit dengan berat
badan 20-30 g. Hewan dibagi dalam 20 kelompok, setiap kelompok terdiri dari 3
ekor mencit.
(39)
Penyiapan bahan tumbuhan meliputi pengambilan bahan tumbuhan,
identifikasi tumbuhan, dan pembuatan simplisia daun katuk.
3.4.1 Pengambilan bahan tumbuhan
Pengambilan bahan tumbuhan dilakukan secara purposif yaitu tanpa
membandingkan dengan daerah lain. Bahan tumbuhan yang digunakan adalah
daun katuk yang diambil dari kebun katuk, jalan Setia Budi ujung, Kecamatan
Medan Tuntungan, Kota Medan , Provinsi Sumatera Utara.
3.4.2 Identifikasi tumbuhan
Identifikasi tumbuhan dilakukan di Herbarium Bogoriense, Bidang
Botani Pusat Penelitian Biologi-LIPI Bogor.
3.4.3 Pembuatan simplisia daun katuk
Daun katuk dipisahkan dari batangnya, dikumpulkan, dicuci, lalu
ditiriskan. Kemudian daun ditimbang sebagai berat basah. Bahan ini kemudian
dikeringkan di lemari pengering hingga kering, yaitu ketika simplisia tersebut
diremas akan hancur, kemudian ditimbang sebagai berat kering. Simplisia
kemudian disimpan pada wadah yang terlindung dari sinar matahari.
3.4.4 Pembuatan ekstrak etanol daun katuk
Pembuatan ekstrak etanol daun katuk dilakukan dengan cara perkolasi.
Prosedur pembuatan ekstrak: sebanyak 200 g baik simplisia daun katuk maupun
daun katuk segar dibasahi dengan etanol 70 % dan dibiarkan selama 3 jam.
Dimasukkan ke dalam alat perkolator, lalu dituang cairan penyari etanol sampai
semua sampel terendam dan terdapat selapis cairan penyari diatasnya, mulut
tabung perkolator ditutup dengan alumunium foil dan dibiarkan selama 24 jam,
(40)
perkolat diatur 1 ml/menit, perkolat ditampung. Perkolasi dihentikan jika beberapa
tetes perkolat ditambahkan serbuk Mg dan asam klorida pekat kemudian
ditambahkan amil alkohol dan tidak terbentuk warna pada lapisan amil alkohol.
Perkolat kemudian dipekatkan dengan alat penguap vakum putar setelah itu
dikeringkan dengan freeze dryer hingga diperoleh ekstrak kental (Depkes, 1979).
3.5 Pembuatan Sediaan 3.5.1 Pembuatan salep
Formulasi salep dibuat dengan komposisi (Suratman, dkk., 1996) yang
berdasarkan hasil orientasi sebelumnya:
R/ Adeps lanae 1
Setil Alkohol 0,4
BHT 0,5
Metil paraben 0,01
Propil paraben 0,005
Vaselin ad 10
Variasi konsentrasi ekstrak daun katuk (Simbolon, 2011) pada sediaan adalah:
1%, 1,5%, 2%, 2,5%, 3%, 5%, 7%, dan 9%.
Cara Pembuatan Salep
Massa I: Ditimbang semua bahan yang diperlukan. Metil paraben dan propil
paraben dilarutkan dalam air panas, dimasukkan kedalam lumpang.
Lalu diserap dengan adeps lanae. Setil alkohol, BHT dan vaselin
dilebur, diaduk sampai dingin.
Massa II: Di dalam lumpang ekstrak daun katuk dilarutkan dengan beberapa
(41)
Massa I ditambahkan sedikit demi sedikit ke dalam massa II sambil digerus
hingga terbentuk massa yang homogen. Salep dimasukkan dalam wadah yang
tertutup rapat dan disimpan di tempat yang sejuk dan terlindung dari cahaya.
3.5.2 Pembuatan krim
Formulasi krim dibuat dengan komposisi (Suratman, dkk., 1996) yang
berdasarkan hasil orientasi sebelumnya:
R/. Asam stearat 1,5
Gliserin 1
Trietanolamin 0,15
BHT 0,5
Metil paraben 0,01
Propil paraben 0,005
Air ad 10
Variasi konsentrasi ekstrak daun katuk pada sediaan adalah: 1%, 1,5%, 2%, 2,5%,
3%, 5%, 7%, dan 9%.
Cara Pembuatan Krim
Massa I: Ditimbang semua bahan yang diperlukan. Metil paraben, propil
paraben dan TEA dilarutkan dalam air panas. Asam stearat, BHT
dan gliserin dilebur. Lalu masukkan kedalam lumpang panas.
Massa II: Di dalam lumpang ekstrak daun katuk dilarutkan dengan beberapa
tetes etanol 70%, gerus sampai homogen.
Massa I ditambahkan sedikit demi sedikit ke dalam massa II dalam lumpang
panas, digerus cepat dan searah hingga terbentuk massa yang homogen. Krim
dimasukkan dalam wadah yang tertutup rapat dan disimpan di tempat yang sejuk
(42)
3.6 Evaluasi Sediaan
Evaluasi sediaan meliputi pemeriksaan organoleptik, homogenitas, dan
pemeriksaan pH selama 3 bulan yaitu pada minggu I, minggu IV, minggu VIII,
minggu XII.
3.6.1 Pemeriksaan organoleptis
Pemeriksaan organoleptis meliputi bentuk, warna, dan bau yang diamati secara visual (Suardi, dkk., 2008).
3.6.2 Uji homogenitas
Uji homogenitas dilakukan dengan menggunakan objek gelas. Caranya sejumlah tertentu sediaan jika diletakkan pada sekeping kaca atau bahan
transparan lain yang cocok, sediaan harus menunjukkan susunan yang homogen
dan tidak terlihat adanya butiran kasar (Ditjen POM, 1979).
3.6.3 Pemeriksaan pH
Alat pH meter dikalibrasi menggunakan larutan dapar pH 4 dan pH 7. Satu gram sediaan yang akan diperiksa diencerkan dengan 10 ml air suling. Elektroda
pH meter dicelupkan ke dalam larutan yang diperiksa, dibiarkan beberapa saat.
Catat angka yang muncul pada monitor.
3.7 Pengujian Sediaan Salep dan Krim Terhadap Penyembuhan Luka Insisi Kronis
Mencit dicukur pada bagian punggungnya, luka insisi pada mencit
dilakukan dengan memotong kulit punggung berukuran ± 1 x 0,5 cm
menggunakan pinset dan gunting bedah. Kulit punggung yang telah terpotong
(43)
luka akan menimbulkan nanah serta bau. Luka dibersihkan kemudian dioleskan
sediaan secara merata pada permukaan luka. Pengamatan dilakukan secara visual
dengan memperhatikan perubahan panjang dan lebar luka. Luka dinyatakan
sembuh jika luas luka sudah mendekati nol. Hewan dibagi dalam 20 kelompok,
setiap kelompok terdiri dari 3 ekor mencit.
3.8 Perhitungan Luas Rata-rata Luka Insisi Kronis
Cara mengukur luas rata-rata luka insisi kronis dapat dilihat pada Gambar
3.1 berikut ini: l
p
Gambar 3.1 Cara mengukur luas luka insisi kronis
Luas luka insisi kronis dihitung dengan rumus:
Keterangan: L = luas luka insisi pada hari ke x p = panjang luka insisi
l = luas luka insisi
Hasil pengukuran luas rata-rata luka insisi kronis (cm2) masing-masing
hewan percobaan (mencit) dengan interval pengukuran setiap hari.
(44)
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil identifikasi tumbuhan yang dilakukan di Herbarium Bogoriense,
Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi - LIPI Bogor menunjukkan bahwa sampel
termasuk suku Euphorbiaceae, spesies Sauropus androgynus Merr. Hasil
identifikasi dapat dilihat pada lampiran 1 halaman 44.
Hasil evaluasi sediaan secara organoleptis selama waktu penyimpanan
selama 3 bulan pada suhu kamar dari sediaan salep dan krim ekstrak daun katuk
menunjukkan bahwa tidak terjadinya perubahan bentuk, warna, dan bau seperti
yang terlihat pada Tabel 4.1 dan 4.2.
Tabel 4.1 Hasil pemeriksaan organoleptis sediaan salep dari ekstrak daun katuk selama 3 bulan pada suhu kamar
Minggu Bentuk
a b c d e f g h i I - - - - IV - - - - VIII - - - - XII - - - -
Minggu Warna
a b c d e f g h i I - - - - IV - - - - VIII - - - - XII - - - -
Minggu Bau
a b c d e f g h i I - - - - IV - - - - VIII - - - - XII - - - - Keterangan: + = terjadi perubahan, - = tidak terjadi perubahan
a = dasar salep, b = salep konsentrasi 1,0%
c = salep konsentrasi 1,5%, d = salep konsentrasi 2,0% e = salep konsentrasi 2,5%, f = salep konsentrasi 3,0% g = salep konsentrasi 5,0%, h = salep konsentrasi 7,0% i = salep konsentrasi 9,0%
(45)
Tabel 4.2 Hasil pemeriksaan organoleptis sediaan krim dari ekstrak daun katuk selama 3 bulan pada suhu kamar
Minggu Bentuk
a b c d e f g h i I - - - - IV - - - - VIII - - - - XII - - - -
Minggu Warna
a b c d e f g h i I - - - - IV - - - - VIII - - - - XII - - - -
Minggu Bau
a b c d e f g h i I - - - - IV - - - - VIII - - - - XII - - - - Keterangan: + = terjadi perubahan, - = tidak terjadi perubahan
a = dasar krim, b = krim konsentrasi 1,0%
c = krim konsentrasi 1,5%, d = krim konsentrasi 2,0% e = krim konsentrasi 2,5%, f = krim konsentrasi 3,0% g = krim konsentrasi 5,0%, h = krim konsentrasi 7,0% i = krim konsentrasi 9,0%
Waktu penyimpanan selama 3 bulan pada suhu kamar, sediaan salep dan
krim ekstrak daun katuk tetap konsistensi bentuk fisiknya tanpa ada pemisahan
ataupun ketidakseragaman dalam bentuknya. Hasil pemeriksaan warna pada
sediaan salep dan krim ekstrak daun katuk menunjukkan tidak adanya perubahan
warna selama waktu penyimpanan selama 3 bulan pada suhu kamar, yakni sediaan
salep menunjukkan warna hijau kehitaman, sedangkan sediaan krim menunjukkan
warna hijau.
Hasil pemeriksaan bau pada sediaan salep dan krim ekstrak daun katuk
selama waktu penyimpanan selama 3 bulan pada suhu kamar menunjukkan bahwa
tidak terjadinya perubahan bau, yakni bau yang teramati pada sediaan salep adalah
(46)
Berdasarkan pemeriksaan homogenitas selama waktu penyimpanan selama
3 bulan pada suhu kamar dari sediaan salep dan krim ekstrak daun katuk
menunjukkan bahwa sediaan tetap homogen selama waktu penyimpanan, ini dapat
dilihat pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3 Hasil pemeriksaan homogenitas sediaan salep dan krim dari ekstrak daun katuk selama 3 bulan pada suhu kamar
Homogenitas Minggu I Minggu IV Minggu VIII Minggu XII
Dasar salep - - - -
Salep 1% - - - -
Salep 1,5% - - - -
Salep 2% - - - -
Salep 2,5% - - - -
Salep 3% - - - -
Salep 5% - - - -
Salep 7% - - - -
Salep 9% - - - -
Dasar krim - - - -
Krim 1% - - - -
Krim1,5% - - - -
Krim2% - - - -
Krim 2,5% - - - -
Krim 3% - - - -
Krim 5% - - - -
Krim 7% - - - -
Krim 9% - - - -
Keterangan: + = terjadi perubahan, - = tidak terjadi perubahan
Hasil pemeriksaan pH pada sediaan salep dan krim ekstrak daun katuk
selama 3 bulan menunjukkan bahwa pH dari sediaan salep krim tetap stabil
(47)
aman untuk kulit, yaitu pH 4,5 hingga 6,5 (Tranggono dan Latifah, 2007). Ini
dapat dilihat pada Tabel 4.4.
Tabel 4.4 Hasil pemeriksaan pH dari sediaan salep dan krim dari ekstrak daun katuk selama 3 bulan pada suhu kamar
Pengamatan Minggu I Minggu IV Minggu VIII Minggu XII Dasar salep 6,48 6,48 6,48 6,48
Salep 1% 6,46 6,46 6,46 6,46 Salep 1,5% 6,46 6,46 6,46 6,46
Salep 2% 6,39 6,39 6,39 6,39
Salep 2,5% 6,34 6,34 6,34 6,34
Salep 3% 6,41 6,41 6,41 6,41
Salep 5% 6,29 6,29 6,29 6,29
Salep 7% 6,27 6,27 6,27 6,27
Salep 9% 6,21 6,21 6,21 6,21
Dasar krim 6,31 6,31 6,31 6,31
Krim 1% 6,26 6,26 6,26 6,26
Krim1,5% 6,26 6,26 6,26 6,26
Krim2% 5,84 5,84 5,84 5,84
Krim 2,5% 5,83 5,83 5,83 5,83
Krim 3% 5,83 5,83 5,83 5,83
Krim 5% 5,82 5,82 5,82 5,82
Krim 7% 5,83 5,83 5,83 5,83
Krim 9% 5,81 5,81 5,81 5,81
Data proses penyembuhan dari sediaan salep menunjukkan hasil yang
bervariasi, ini dapat dilihat pada Tabel 4.5.
Tabel 4.5 Hasil penentuan waktu sembuh dari sediaan salep ekstrak daun katuk dan salep kloramfenikol
(48)
Sediaan Hewan
a b c d e f g h i j
Mencit I 11 10 11 10 10 7 9 7 6 6
Mencit II 11 11 10 11 10 9 8 6 6 6
Mencit III 12 10 11 9 10 8 6 7 5 5
Total hari 34 31 31 30 30 24 23 20 17 17
Rata-rata
Hari 11,3 10,3 10,3 10 10 8,0 7,7 6,7 5,7 5,7
Standar
Deviasi 0,577 0,577 0,577 1 0 1 1,527 0,577 0,577 0,577
Keterangan: a = dasar salep, b = salep konsentrasi 1,0%
c = salep konsentrasi 1,5%, d = salep konsentrasi 2,0% e = salep konsentrasi 2,5%, f = salep konsentrasi 3,0% g = salep konsentrasi 5,0%, h = salep konsentrasi 7,0% i = salep konsentrasi 9,0%, j = salep kloramfenikol
Berdasarkan hasil yang diperoleh, sediaan salep 9% memberikan efek
penyembuhan luka yang paling cepat yaitu pada hari ke-5. Hal ini berkaitan
dengan semakin besar dosis sediaan maka semakin efektif sediaan tersebut
(49)
Gambar 4.1 Histogram waktu sembuh dari sediaan salep ekstrak daun katuk dan salep kloramfenikol
Berdasarkan hasil analisis statistik diperoleh bahwa sediaan salep 9%
memberikan efek (lama penyembuhan) yang tidak berbeda signifikan dengan
kontrol positif (salep kloramfenikol). Dengan demikian, salep 9% dapat
digunakan sebagai obat luka insisi kronis.
Tabel 4.6 Data analisis hasil Uji Anova penentuan waktu sembuh dari sediaan salep ekstrak daun katuk
ANOVA
Hari
Sum of
Squares df Mean Square F Sig. Between
Groups
122.533 9 13.615 21.497 .000
Within Groups 12.667 20 .633 Total 135.200 29
0 2 4 6 8 10 12 14
H
a
ri
(50)
Tabel 4.7 Data analisis hasil Uji Tukey penentuan waktu sembuh dari sediaan salep ekstrak daun katuk
Hari
Tukey HSDa Sediaan
N
Subset for alpha = 0.05
1 2 3 4
Salep 9% 3 5.67
Salep kloramfenikol 3 5.67
Salep 7% 3 6.67 6.67 Salep 5% 3 7.67 7.67
Salep 3% 3 8.00 8.00
Salep 2% 3 10.00 10.00
Salep 2,5% 3 10.00 10.00
Salep 1% 3 10.33
Salep 1,5% 3 10.67
Blanko 3 11.33
Sig. .123 .577 .123 .577
Berdasarkan hasil analisis statistik diperoleh bahwa sediaan salep 9%
memberikan aktivitas penyembuhan yang mendekati kontrol positif (salep
kloramfenikol).
Tabel 4.8 Data analisis hasil Uji Anova AUC sediaan salep dari ekstrak daun katuk
ANOVA
AUC
Sum of
Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 11.806 9 1.312 6.704 .000
Within Groups 3.913 20 .196
Total 15.719 29
(51)
AUC
Tukey HSDa sediaan
N
Subset for alpha = 0.05
1 2 3 4
Salep
kloramfenikol
3 1.414600
Salep 9% 3 1.494767 1.494767
Salep 7% 3 1.653000 1.653000 1.653000
Salep 3% 3 2.080233 2.080233 2.080233 2.080233 Salep 5% 3 2.254500 2.254500 2.254500 2.254500 Salep 2,5% 3 2.678400 2.678400 2.678400 2.678400 Salep 2% 3 2.737633 2.737633 2.737633
Salep 1% 3 2.777100 2.777100
Blanko 3 2.941633
Salep 1,5% 3 3.336100
Sig. .054 .061 .115 .057
Data proses penyembuhan pada sediaan krim juga menunjukkan hasil yang
bervariasi. Pemberian sediaan krim 9%, memberikan efek penyembuhan luka
paling cepat yaitu setelah 6 hari pemberian (Tabel 4.10).
Tabel 4.10 Hasil penentuan waktu sembuh dari sediaan krim ekstrak daun katuk dan krim kloramfenikol
Sediaan
Hewan a b c d e f g h i j
Mencit I 12 12 11 10 10 10 8 6 7 6
Mencit II 12 11 12 11 10 9 9 8 6 5
Mencit III 13 12 12 10 11 10 8 7 6 6
Total hari 37 35 35 31 31 29 25 21 19 17
Rata-rata
hari 12,3 11,7 11,7 10,3 10,3 9,7 8,3 7,0 6,3 5,7
Standar
Deviasi 0,577 0,577 0,577 0,577 0,577 0,577 0,577 1 0,577 0,577
Keterangan: a = dasar krim, b = krim konsentrasi 1,0%
c = krim konsentrasi 1,5%, d = krim konsentrasi 2,0% e = krim konsentrasi 2,5%, f = krim konsentrasi 3,0% g = krim konsentrasi 5,0%, h = krim konsentrasi 7,0% i = krim konsentrasi 9,0%, j = krim kloramfenikol
(52)
Gambar 4.2 Histogram waktu sembuh dari sediaan krim ekstrak daun katuk dan krim kloramfenikol
Berdasarkan hasil analisis statistik diperoleh bahwa sediaan krim 9%
memberikan efek (lama penyembuhan) yang tidak berbeda signifikan dengan
kontrol positif (krim kloramfenikol). Dengan demikian, krim 9% dapat digunakan
sebagai obat luka insisi kronis.
Tabel 4.11 Data analisis hasil Uji Anova penentuan waktu sembuh dari sediaan krim ekstrak daun katuk
ANOVA
Hari
Sum of
Squares df Mean Square F Sig. Between
Groups
152.667 9 16.963 42.407 .000
Within Groups 8.000 20 .400 Total 160.667 29
0 2 4 6 8 10 12 14
H
a
ri
(53)
Tabel 4.12 Data analisis hasil Uji Tukey penentuan waktu sembuh dari sediaan krim ekstrak daun katuk
Hari
Tukey HSDa Sediaan
N
Subset for alpha = 0.05
1 2 3 4 5 6
Krim
kloramfenikol
3 5.67
Krim 9% 3 6.33
Krim 7% 3 7.00 7.00
Krim 5% 3 8.33 8.33
Krim 3% 3 9.67 9.67
Krim 2% 3 10.33 10.33
Krim 2,5% 3 10.33 10.33
Krim 1% 3 11.67 11.67
Krim 1,5% 3 11.67 11.67
Blanko 3 12.33
Sig. .287 .287 .287 .945 .287 .945
Berdasarkan hasil analisis statistik diperoleh bahwa sediaan krim 9% juga
memberikan aktivitas kesembuhan yang mendekati kontrol positif (krim
kloramfenikol).
Tabel 4.13 Data analisis hasil Uji Anova AUC sediaan krim dari ekstrak daun katuk
ANOVA
AUC
Sum of
Squares df Mean Square F Sig. Between
Groups
19.403 9 2.156 5.412 .001
Within Groups 7.968 20 .398
(54)
Tabel 4.14 Data analisis hasil Uji Tukey AUC sediaan krim dari ekstrak daun katuk
AUC
Tukey HSDa Sediaan
N
Subset for alpha = 0.05
1 2
Krim kloramfenikol 3 1.470033
Krim 9% 3 1.626833
Krim 7% 3 1.953733
Krim 5% 3 2.457333 2.457333
Krim 2,5% 3 2.791867 2.791867
Krim 3% 3 2.941433 2.941433
Krim 2% 3 2.945500 2.945500
Krim 1% 3 3.066600 3.066600
Krim 1,5% 3 3.855833
Blanko 3 3.961167
(55)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka kesimpulan dari
penelitian ini, adalah:
1. Ekstrak daun katuk dapat diformulasikan dalam bentuk sediaan salep
dan krim.
2. Sediaan salep dan krim dari ekstrak daun katuk dapat mempercepat
penyembuhan luka insisi kronis. Dari data yang diperoleh dapat dilihat
bahwa sediaan salep memiliki kemampuan yang lebih baik untuk
menyembuhkan luka insisi kronis dibandingkan sediaan krim. Pada
sediaan salep efek penyembuhan yang paling cepat dengan konsentrasi
9% yaitu setelah 5 hari pemberian. Sedangkan pada pemakaian sediaan
krim efek penyembuhan yang paling cepat juga terjadi pada
konsentrasi 9% yaitu setelah 6 hari pemberian.
4.2 Saran
1. Disarankan kepada peneliti selanjutnya untuk membuat sediaan lain
dari ekstrak daun katuk.
2. Disarankan kepada peneliti selanjutnya untuk menggunakan
antioksidan lain dalam sediaan ekstrak daun katuk.
3. Disarankan kepada peneliti selanjutnya menggunakan ekstrak daun
(56)
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. (2006). Kloramfenikol. Tanggal akses: 10 Januari 2012.
Anonim. (2010). Katuk. Tanggal akses: 11 Oktober 2011.
Aiache, J.M., Devissaguet, J., dan Guyot, A.M. (1993). Farmasetika 2
Biofarmasi. Edisi Kedua. Surabaya: Airlangga University Press. Hal. 444,
445, 448.
Anief, M. (1986). Ilmu Farmasi. Jakarta: Ghalia Indonesia. Hal. 74, 76-77.
Anief, M. (1997). Formulasi Obat Topikal Dengan Dasar Penyakit Kulit. Yogyakarta: UGM Press. Hal. 17, 43, 63.
Anief, M. (2007). Farmasetika. Yogyakarta: UGM Press. Hal.50, 111.
Ansel, H.C. (1989). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi Keempat. Jakarta: Penerbit UI Press. Hal. 493, 494, 513, 515.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. (2001). Inventaris Tanaman
Obat Indonesia. Jilid II. Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial
RI. Hal. 300-301.
Departemen Kesehatan. (2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Cetakan Pertama. Jakarta: Depkes. Hal.10-11.
Ditjen POM. (1979). Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Hal. 33.
Ferdianto, A. (2011) Manfaat Daun Katuk. Tanggal akses: 18 Januari 2012. http://grabag-grubug.blogspot.com//2011/06/manfaat-daun-katuk.html.
Harbone, J.B. (1987). Metode Fitokimia, Penuntun Cara Modern Menganalisa
Tumbuhan. Terjemahan Kosasih Padmawinata. Edisi II. Bandung: ITB
Press. Hal. 147.
IAI. (2011). Informasi Spesialite Obat Indoniesia. Vol. 46 Jakarta: PT. ISFI Penerbitan. Hal. 356-364.
Ismail. (2005). Merawat Luka. Tanggal akses: 20 November 2011. http://images.mailmkes.multiply.multiplycontent.com/Merawatluka.pdf.
Jas, A. (2007). Perihal Obat Dengan Berbagai Bentuk Sediaannya. Medan: USU Press. Hal. 62.
(57)
Jasmi, A. (2011). Luka. Tanggal akses: 9 Oktober 2011.
Lachman, L., Lieberman, H.A., dan Kanig, J.L. (1994). Teori Dan Praktek
Farmasi Industri II. Edisi Ketiga. Jakarta: Penerbit UI Press. Hal. 1092.
Menkes. (2007). Kebijakan Obat Tradisional Nasional. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Hal. 2-4.
Prabakti, Y. (2005). Perbedaan Jumlah Fibroblas Di Sekitar Luka Insisi Pada Tikus Yang Diberi Infiltrasi Nyeri Levobupivakain dan Yang Tidak Diberi
Levobupivakain. Semarang: UNDIP. Hal. 25.
Rowe, R. (2009). Handbook of Pharmaceutical Excipients. Edisi Keenam. Washington: Pharmaceutical Press. Hal. 75.
Rukmana, H.R., dan Harahap, I.M. (2003). Katuk, Potensi dan Manfaatnya. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 19-20.
Simon, K., dan Kerry, B. (2000). Principles and Practice of Phytotheraphy.
Modern Herbal Medicine. New York: Churchill livingstone. Hal. 32, 69.
Sjamsuhidajat, R., dan Wim, D. J. (1997). Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal. 72-73.
Simbolon, N. (2011). Karakterisasi Simplisia dan Skrining Fitokimia serta Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol Daun Tumbuhan Katuk (Sauropus
androgynus Merr.). Skripsi. Fakultas Farmasi. USU. Medan.
Sinaga, Y. (2009). Penyembuhan Luka. Tanggal akses: 12 Oktober 2011.
Suardi, M., Armenia, dan Maryawati, A. (2008). Formulasi dan Uji Klinik Gel
Anti Jerawat Benzoil Peroksida-HPMC. Tanggal akses: 7 November 2011.
http://digili.unsri.ac.id/.../JSTF%20Acne%2008%20_muslim_090814.pdf.
Suratman, Sumiwi, A.S., dan Gozali, D. (1996). Pengaruh Ekstrak Antanan dalam Bentuk Salep, Krim dan Jelly terhadap Penyembuhan Luka Bakar. Jakarta:
Cermin Dunia Kedokteran. 10(108): 32.
Syamsuni, H. (2006). Farmasetika Dasar dan Hitungan Farmasi. Jakarta: EGC. Hal. 102.
Tjitrosoepomo, G. (2002). Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta). Cetakan Ketujuh. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal. 155.
(58)
Tortora, G. J. (!986). Principle of Human Anatomy. Nwe York: Harper & Raw Publisher. Hal. 81.
Tranggono, R.I., Latifah. (2007). Buku Pegangan Ilmu Pengetahuan Kosmetik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hal. 11, 19-20.
(59)
Lampiran 1. Hasil identifikasi tumbuhan daun katuk (Sauropus androgynus
(60)
Lampiran 2. Gambar tumbuhan katuk (Sauropus androgynus Merr.), daun katuk, simplisia dan serbuk simplisia daun katuk
Gambar tumbuhan katuk (Sauropus androgynus Merr.)
(61)
Lampiran 2. (Lanjutan)
Gambar simplisia daun katuk
(62)
Lampiran 3. Flowsheet alur penelitian
Ekstrak daun katuk
Pembuatan sediaan salep dan krim
Evaluasi sediaan
Pemeriksaan
Organoleptis Uji Homogenitas Pemeriksaan pH
1. Bentuk 2. Warna 3. Bau
Pengujian sediaan terhadap luka insisi
kronis
Kesembuhan (Hari)
(63)
Lampiran 4. Flowsheet pembuatan sediaan salep ekstrak daun katuk (Sauropus
androgynus Merr.)
ditimbang
dimasukkan setil alkohol, BHT dan vaselin yang telah dilebur
digerus sampai homogen
digerus sampai homogen Bahan-bahan salep
Lumpang I Lumpang II
Metil paraben dan propil paraben dilarutkan dan diserap dengan adeps lanae
Massa I
Ekstrak daun katuk digerus dengan beberapa tetes etanol
70%
Massa II
Massa I ditambahkan ke dalam massa II sedikit demi sedikit
(64)
Lampiran 5. Flowsheet pembuatan sediaan krim ekstrak daun katuk (Sauropus
androgynus Merr.)
ditimbang
dimasukkan metil paraben,
propil paraben dan TEA yang telah dilarutkan dalam air panas
digerus cepat dan searah sampai diperoleh dasar krim yang homogen dalam lumpang panas
digerus sampai homogen Bahan-bahan krim
Lumpang I Lumpang II
Asam stearat, BHT dan gliserin dilebur
Massa I
Ekstrak daun katuk digerus dengan beberapa tetes etanol 70%
Massa II
Massa I ditambahkan ke
dalam massa II sedikit demi sedikit
(65)
Lampiran 6. Gambar sediaan salep ekstrak daun katuk (Sauropus androgynus
Merr.)
Keterangan: a = dasar salep, b = salep konsentrasi 1,0%
c = salep konsentrasi 1,5%, d = salep konsentrasi 2,0% e = salep konsentrasi 2,5%, f = salep konsentrasi 3,0% g = salep konsentrasi 5,0%, h = salep konsentrasi 7,0% i = salep konsentrasi 9,0%
a b c d e f
i h
(66)
Lampiran 7. Gambar sediaan krim ekstrak daun katuk (Sauropus androgynus
Merr.)
Keterangan: a = dasar krim, b = krim konsentrasi 1,0%
c = krim konsentrasi 1,5%, d = krim konsentrasi 2,0% e = krim konsentrasi 2,5%, f = krim konsentrasi 3,0% g = krim konsentrasi 5,0%, h = krim krim konsentrasi 7,0% i = krim konsentrasi 9,0%
a b c d e f
i h
(67)
Lampiran 8. Alat-alat yang digunakan
pH meter (HANNA Instrument) Gunting bedah
(68)
Lampiran 9. Perubahan luas luka insisi kronis yang diobati dengan salep ekstrak daun katuk 9% (Sauropus androgynus Merr.)
Hari 0 Hari 1
Hari 2 Hari 3
Hari 4 Hari 5
Keterangan:
Hari 0 : diberi kotoran hewan, setelah 3 hari dibersihkan, maka timbul luka yang bernanah.
Hari 1 : nanah pada luka mulai berkurang.
Hari 2 : sudah mulai terjadi penyempitan luka, tapi masih terdapat sedikit nanah pada luka.
Hari 3 : luka mulai menyempit dan nanah mulai mengering.
Hari 4 dan 5 : luka makin menyempit dan sudah mulai nampak proses penyembuhan.
(69)
Lampiran 10. Perubahan luas luka insisi yang diobati dengan krim ekstrak daun katuk 9% (Sauropus androgynus Merr.)
Hari 0 Hari 1
Hari 2 Hari 3
Hari 4 Hari 5
Hari 6
Keterangan:
Hari 0 : diberi kotoran hewan, setelah 3 hari dibersihkan, maka timbul luka yang
bernanah.
Hari 1 : nanah pada luka mulai berkurang.
Hari 2 dan 3 : sudah mulai terjadi penyempitan luka, tapi masih terdapat sedikit nanah pada luka.
Hari 4 : luka mulai menyempit dan nanah mulai mengering.
(70)
Lampiran 11. Perubahan luas luka insisi yang diobati dengan salep kloramfenikol
Hari 0 Hari 1
Hari 2 Hari 3
Hari 4 Hari 5
Hari 6
Keterangan:
Hari 0 : diberi kotoran hewan, setelah 3 hari dibersihkan, maka timbul luka yang
bernanah.
Hari 1 : nanah pada luka mulai berkurang.
Hari 2 dan 3 : sudah mulai terjadi penyempitan luka, tapi masih terdapat sedikit nanah pada luka.
Hari 4 : luka mulai menyempit dan nanah mulai mengering.
(71)
Lampiran 12. Perubahan luas luka insisi kronis yang diobati dengan krim kloramfenikol
Hari 0 Hari 1
Hari 2 Hari 3
Hari 4 Hari 5
Hari 6
Keterangan:
Hari 0 : diberi kotoran hewan, setelah 3 hari dibersihkan, maka timbul luka yang
bernanah.
Hari 1 : nanah pada luka mulai berkurang.
Hari 2 dan 3 : sudah mulai terjadi penyempitan luka, tapi masih terdapat sedikit nanah pada luka.
Hari 4 : luka mulai menyempit dan nanah mulai mengering.
(1)
i. Krim ekstrak daun katuk 9%
5 5 5
l 0,5 0,5 0,4 5
0,3 5
0,3 0,2 5
0,1 0,05 0 0 0 0 0 0 L = pxl 0,5 5 0,5 25 0,4 05 0,2 62 0,1 5 0,0 87 0,01 5 0,00 25
0 0 0 0 0 0 Men
cit 3
Hari
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1
0 1 1 1 2 1 3 p 1,0 0,9
5
0,8 0,6 5
0,4 0,2 5
0,1 0 0 0 0 0 0 0 l 0,6 0,6 0,5 0,4 0,3
5 0,1
5
0,05 0 0 0 0 0 0 0 L =
pxl
0,6 0,5 7
0,4 0,2 6 0,1 4 0,0 37 0,00 5
0 0 0 0 0 0 0 Rata -rata luas 0,6 23 0,5 57 0,4 11 0,2 56 0,1 34 0,0 45 0,00 67 0,000 8
0 0 0 0 0 0
Men cit 1
Hari
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1
0 1 1 1 2 1 3 p 1,1 1,0 0,9 0,7 0,55 0,35 0,2 0 0 0 0 0 0 0 l 0,6 0,55 0,5 0,4 0,3 0,15 0,05 0 0 0 0 0 0 0 L =
pxl
0,66 0,55 0,45 0,28 0,16 5
0,05 2
0,01 0 0 0 0 0 0 0 Men
cit 2
Hari
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1
0 1 1 1 2 1 3 p 1,2 1,1 0,85 0,65 0,4 0,25 0 0 0 0 0 0 0 0 l 0,6 0,5 0,45 0,3 0,2 0,1 0 0 0 0 0 0 0 0 L =
pxl
0,72 0,55 0,38 2
0,19 5
0,08 0,02 5
0 0 0 0 0 0 0 0 Men
cit 3
Hari
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1
0 1 1 1 2 1 3 P 1,1 0,95 0,7 0,55 0,3 0,15 0 0 0 0 0 0 0 0
(2)
Keterangan: L = luas luka insisi kronis hari ke x (cm2) p = panjang luka insisi kronis (cm) l = lebar luka insisi kronis (cm) Rata-rata luas = Lmencit-1 +Lmencit-2 + Lmencit-3
3
Lampiran 18. Grafik luas luka insisi kronis terhadap waktu (hari) dari sediaan krim ekstrak daun katuk
Lampiran 19. Data penentuan nilai AUC krim dari data luas luka insisi kronis sampai kesembuhannya
0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
lu
as
l
u
k
a
(c
m
2)
hari
dasar krim krim 1% krim 1.5% krim 2% krim 2.5% krim 3% krim 5% krim 7% krim 9%
krim kloramfenikol l 0,5 0,4 0,35 0,25 0,15 0,05 0 0 0 0 0 0 0 0
L = pxl
0,55 0,38 0,24 5
0,13 7
0,04 5
0,00 75
0 0 0 0 0 0 0 0
Rata-rata luas
0,64 3
0,49 3
0,35 9
0,20 4
0,09 7
0,02 82
0,00 33
(3)
Perlaku an Hewan
a b c d e f g h i j
Mencit I
3,487 5
3,267 0
2,661 5
2,789 0
2,769 6
3,090 8
2,064 0
2,043 5
2,081 0
1,776 0 Mencit
II
3,629 0
2,591 5
4,392 5
3,826 0
2,281 5
2,317 0
3,375 0
2,123 7
1,604 5
1,118 3 Mencit
III
4,767 0
3,341 3
4,513 5
2,221 5
3,324 5
3,416 5
1,933 0
1,694 0
1,195 0
1,515 8
Contoh perhitungan nilai AUC krim dari data luas luka insisi kronis sampai kesembuhannya:
Dasar Krim
Mencit I
}
0,66 + 0,58 + 0,5 + 0,4525 + 0,3825 + 0,32 + 0,245 + 0,18 + 0,11 + 0,045 + 0,0125
= 3,4875
Mencit II(4)
}
0,6 + 0,575 + 0,511 + 0,4725 + 0,416 + 0,34 + 0,265 + 0,18 + 0,135 + 0,09 + 0,045
= 3,629
Mencit III
}
0,84 + 0,7935 + 0,7035 + 0,63 + 0,5475 + 0,4475 + 0,32 + 0,195 + 0,135 + 0,09 + 0,045 + 0,02
= 4,747
Lampiran 20. Data luas luka insisi dengan interval pengukuran setiap hari dari sediaan salep kloramfenikol
Menc it 1
Hari
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1
0 1 1
1 2
1 3 p 1,0 1,0 0,85 0,6 0,35 0,15 0 0 0 0 0 0 0 0 l 0,5 0,5 0,45 0,3 0,2 0,1 0 0 0 0 0 0 0 0 L =
pxl
0,5 0,5 0,38 2
(5)
Lampiran 21. Data luas luka insisi kronis dengan interval pengukuran setiap hari dari sediaan krim kloramfenikol
it 2 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1
0 1 1
1 2
1 3 p 1,1 1,1 0,9 0,75 0,45 0,15 0 0 0 0 0 0 0 0 l 0,5 0,5 0,4 0,35 0,25 0,05 0 0 0 0 0 0 0 0 L =
pxl
0,55 0,55 0,36 0,26 2
0,11 2
0,007 5
0 0 0 0 0 0 0 0 Menc
it 3
Hari
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1
0 1 1
1 2
1 3 p 1,1 1,1 0,8 0,55 0,25 0 0 0 0 0 0 0 0 0 l 0,5 0,5 0,4 0,25 0,1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 L =
pxl
0,55 0,55 0,32 0,13 7
0,02 5
0 0 0 0 0 0 0 0 0
Rata-rata luas
0,53 3
0,53 3
0,35 4
0,19 3
0,06 9
0,007 5
0 0 0 0 0 0 0 0
Menc it 1
Hari
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1
0 1 1
1 2
1 3 p 1,1 1,1 0,85 0,6 0,45 0,2 0 0 0 0 0 0 0 0 l 0,6 0,6 0,5 0,4 0,25 0,1 0 0 0 0 0 0 0 0 L =
pxl
0,66 0,66 0,42 5
0,24 0,112 0,02 0 0 0 0 0 0 0 0 Menc
it 2
Hari
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1
0 1 1
1 2
1 3 p 1,0 1,0 0,75 0,5 0,25 0 0 0 0 0 0 0 0 0 l 0,5 0,5 0,35 0,2 0,05 0 0 0 0 0 0 0 0 0 L =
pxl
0,5 0,5 0,26 2
0,1 0,012 5
0 0 0 0 0 0 0 0 0 Menc
it 3
Hari
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1
0 1 1
1 2
1 3
(6)
Keterangan: L = luas luka insisi kronis hari ke x (cm2) p = panjang luka insisi kronis (cm)
l = lebar luka insisi kronis (cm)
p 1,1 1,1 0,9 0,75 0,5 0,25 0 0 0 0 0 0 0 0 l 0,5 0,5 0,4 0,35 0,25 0,15 0 0 0 0 0 0 0 0 L =
pxl
0,5 0,5 0,36 0,26 2
0,125 0,037 5
0 0 0 0 0 0 0 0
Rata-rata luas
0,55 3
0,55 3
0,34 9
0,20 1