Analisis Kecernaan Pakan Dengan Sumber Energi Berbeda Pada Domba Lokal Jantan Lepas Sapih
ABSTRACT
Analysis Digestibility of Feed With Different Carbohydrates In The Post
Weaning Local Male Sheep
Ardya, A. A., K. G. Wiryawan, and R. Mutia
The aim of this study was to assess digestibility of feed with different carbohydrates
(corn and cassava meal) in the post weaning local male sheep. The research was
conducted in stable B, PAU laboratory, Department of Nutrition and Feed
Technology, Faculty of Animal Science, Bogor Agricultural University. The
experiment was conducted from November 2010 until February 2011, and the
digestability analysis was carried out in March 2011. The animals used were nine
post weaning male local sheep aged ±2 months, with initial body weight of
9.11±3.03 kg. The experiment design used in this study was block design with three
treatments and three replications. The block was based on body weight of small (
6.42±0.38 kg), medium (8.25±1.09 kg), and large ( 12.67±2.08 kg). Three treatments
were R1 = energy source from corn meal, R2 = energy source from cassava meal,
and R3 = energy source from corn meal and cassava meal. The results showed that
R1, R2, R3 did not affect the digestibility of sheep. Dry matter digestibility of R1
was 71.59±6.65% , R2 was 65.20±11.29% , and R3 was 69.88±3.74%. Crude fiber
digestibility ranged from 65.89±11.55% until 74.25±4.50%. Ether extract
digestibility of R1 was 85.57±10.85% , R2 was 87.48±2.67% , and R3 was
88.80±6.52% . Protein digestibility of R1 was 75.72±2.84% , R2 was 72.55±6.97%,
and R3 was 77.69±3.16% . It was concluded that cassava meal can be used for
energy source beside corn meal.
Keywords: sheep, corn meal, cassava meal, digestibility
3
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Domba merupakan salah satu jenis ternak ruminansia kecil yang banyak
dipelihara dan dikenal luas oleh masyarakat Indonesia terutama masyarakat di Pulau
Jawa, karena pemeliharaan yang relatif mudah, cepat menghasilkan manfaat, dan
dapat digunakan sebagai tabungan. Menurut data statistik pertanian (2010), populasi
domba dan kambing saat ini mencapai 27.753.000 ekor; terdiri atas domba sebanyak
10.932.000 ekor dan kambing 16.821.000 ekor.
Ternak membutuhkan asupan nutrien yang seimbang untuk menunjang
kebutuhan hidup pokok dan produksi selama fase pertumbuhan, sama halnya dengan
domba lokal jantan lepas sapih. Pakan sumber karbohidrat dan protein tinggi sangat
diperlukan untuk menghasilkan pertumbuhan domba yang sesuai. Pakan sumber
karbohidrat seperti jagung dan onggok memiliki kandungan energi tinggi serta serat
kasar rendah (FAO, 2005), sedangkan bungkil kelapa merupakan hasil ekstraksi dari
proses pengolahan tepung tapioka memiliki kandungan protein kasar 18% (SNI,
1996) dapat dipergunakan sebagai sumber N untuk meningkatan kecernaan nutrien
dan dapat dimanfaatkan secara baik oleh induk semang.
Faktor yang berpengaruh terhadap nilai kecernaan antara lain pakan, ternak,
dan lingkungan (McDonald et al., 2002). Ditinjau dari segi pakan, kecernaan
dipengaruhi oleh jenis, jumlah, komposisi, dan gerak laju ransum yang diberikan
pada ternak. Hasil penelitian Pangestu (2005), kecernaan bahan kering onggok dan
bungkil kelapa yaitu 47,16% dan 44,88%, hasil tersebut lebih rendah dari penelitian
Prayitno et al., (2010), kecernaan energi ransum komplit onggok (63,07%) lebih
tinggi dibanding ransum komplit berbahan jagung (57,70%). Hasil kecernaan diatas
menunjukkan bahwa sumber energi (jagung dan onggok) serta sumber protein
bungkil kelapa dapat digunakan untuk ternak domba dengan hasil kecernaan yang
berbeda.
Penggunaan sumber energi jagung dan onggok, serta sumber protein bungkil
kelapa di masyarakat masih rendah digunakan sebagai pakan ternak ruminansia. Hal
tersebut dapat disebabkan masih bersaingnya harga dan kualitas nutrien pakan
dengan bahan pakan lainnya. Kandungan BETN jagung dan onggok yang tinggi
dapat digunakan untuk memacu pertumbuhan mikroorganisma rumen dan akan
14
meningkatkan kecernaan domba lokal jantan lepas sapih, hal yang sama pada bungkil
kelapa dengan kandungan protein yang tinggi dapat digunakan sebagai sumber N
ternak ruminansia.
Nilai nutrisi suatu bahan pakan, selain ditentukan oleh kandungan zat-zat
nutriennya juga sangat ditentukan oleh kemampuan degradasi dan adaptasi mikroba
rumen yang berpengaruh terhadap kecernaan pakan. Pada penelitian ini pemberian
pakan sumber energi tinggi seperti jagung, onggok, serta kombinasi jagung dan
onggok diharapkan mampu meningkatkan efisiensi kecernaan bahan kering, serat
kasar, protein kasar, dan lemak kasar domba lokal jantan lepas sapih fase
pertumbuhan.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kecernaan pakan dengan sumber
energi berbeda (jagung, onggok, dan campuran jagung onggok) pada domba lokal
jantan lepas sapih fase pertumbuhan.
15
TINJAUAN PUSTAKA
Domba Lokal Jantan
Domba merupakan ternak ruminansia kecil yang masih tergolong kerabat
kambing, sapi dan kerbau (Mulyono, 2005). Domba dapat diklasifikasikan pada sub
famili caprinae dan semua domba domestik termasuk genus ovis aries. Ada empat
spesies domba liar yaitu: domba moufflon ( ovis musimon) terdapat di Eropa dan Asia
Barat, domba urial (ovis orentalis; ovis vignei) terdapat di Afganistan hingga Asia
Barat, domba argali terdapat di Asia Utara dan Amerika Utara.
Domba memiliki ciri-ciri yaitu mempunyai kelenjar di bawah mata yang
menghasilkan sekresi seperti air mata, di celah antara kedua bilah kuku keluar sekresi
yang berbau khas saat berjalan, tanduk berpenampang segitiga dan tumbuh melilit,
bulu sangat baik digunakan sebagai bahan wol, dan domba jantan tidak berbau
prengus. Jenis-jenis domba yang banyak dikenal di Indonesia adalah domba asli
Indonesia yang disebut domba lokal. Memiliki ciri-ciri : ukuran tubuh kecil sehingga
dagingnya tidak terlalu banyak, memiliki warna bulu yang bermacam-macam, domba
jantan memiliki tanduk sedangkan yang betina tidak memiliki tanduk, dan bobot
domba jantan 30-50 kg sedangkan bobot domba betina 20-25 kg (Mulyono, 2005).
Domba ekor tipis berasal dari Bangladesh atau India. Domba ini telah
beradaptasi di Jawa sehingga dianggap sebagai ternak asli Indonesia. Di setiap
daerah, DEK memiliki nama yang berbeda-beda sesuai dengan banyaknya sub
populasi yang berkembang. DEK Jawa juga disebut domba kampung; domba negeri;
domba lokal atau domba kacang. Bobot domba jantan dewasa antara 20- 30kg,
sedangkan domba betina dewasa 15-20 kg (Mulyono, 2005).
Domba priangan atau domba garut berasal dari Priangan, Kota Garut, Jawa
Barat. Memiliki ciri-ciri sebagai berikut : badan besar dan lebar, memiliki leher yang
kuat sehingga digunakan sebagai domba aduan dan penghasil daging, domba jantan
bertanduk besar, kokoh, dan kuat, melengkung ke belakang berbentuk spiral, pangkal
tanduk kanan dan kiri hampir bersatu, betina tidak memiliki tanduk, bulu badan lebih
panjang dan halus, dan bobot domba jantan adalah 60-80 kg, sedangkan bobot
domba betina adalah 30-40 kg (Mulyono, 2005).
16
Jagung
Produksi jagung di Indonesia selama 5 tahun terakhir terus meningkat, pada
tahun 2006 mencapai sekitar 12 juta ton dan pada tahun 2010 meningkat menjadi
13,6 juta ton. Jagung digunakan untuk bahan baku industri makanan, konsumsi
langsung manusia dan terbesar untuk bahan baku industri pakan ternak. Kandungan
zat makanan jagung dan komposisi kimia jagung dapat dilihat dalam Tabel 1 dan 2.
Tabel 1. Kandungan Zat Makanan Jagung Berdasarkan Bahan Kering
Zat Makanan
Kandungan
Bahan Kering (%)
90
Protein Kasar (%)
8,4
Serat Kasar (%)
2.2
Lemak kasar (%)
3.6
Abu (%)
1
BETN (%)
75
Sumber: Suarni dan Widowati (2007)
Tabel 2. Komposisi Kimia Jagung
Komposisi Kimia Jagung
Selulosa(%)
Hemiselulosa(%)
Lignin(%)
41-46
-
Amilosa(%)
25-30
Amilopektin(%)
70-75
Asam Lemak Jenuh(%)
Asam Lemak Tak Jenuh(%)
Palmintat (15,71), Stearat (3,12)
Oleat (36,45), Linoleat (43,83), dan Linolenat (0,42)
Albumin(%)
1-8
Globulin(%)
2-9
Glutelin(%)
30-45
Prolamin(%)
50-55
Sumber: Selulosa, Lignin, Asam Lemak Jenuh, Asam Lemak Tidak Jenuh (Suarni danWidowati,
2007), Hemiselulosa (Gliksman, 1969), Albumin, Globulin, Glutelin, Prolamin (Kent,
1983).
17
Kebutuhan jagung untuk pakan mencapai 3,48 juta ton/tahun, meningkat
menjadi 4,07 juta ton/tahun pada tahun 2008 (Dirjen Peternakan, 2009). Jagung
merupakan bahan pakan sumber energi dalam komponen penyusun ransum ternak.
Selain itu jagung mempunyai tingkat adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan yang
panas dan kering sehingga dapat tumbuh pada area geografis yang lebih luas
dibandingkan dengan serealia yang lain. Menurut Mahaputra et al. (2003),
penggunaan complete feed seperti jagung, onggok, bungkil kelapa, dan limbah hasil
pertanian lainnya pada domba lokal jantan hasilnya lebih baik jika dibandingkan
dengan pemberian pakan hijauan saja.
Onggok
Onggok adalah limbah dari pabrik tapioka yang kering, padat dan keras.
Kandungan zat makanan onggok dan komposisi kimia onggok dapat dilihat dalam
Tabel 3 dan 4.
Tabel 3. Kandungan Zat Makanan Onggok Berdasarkan Bahan Kering
Zat Makanan
Kandungan
Bahan Kering (%)
86,00
Protein Kasar (%)
1,77
Lemak Kasar (%)
1,48
BETN (%)
89,20
Serat Kasar (%)
6,67
Abu (%)
0,89
Sumber : Irawan (2002)
Tabel 4. Komposisi Kimia Onggok
Komposisi Kimia Onggok
Selulosa(%)
13,93
Hemiselulosa(%)
14,26
Lignin(%)
5,37
Amilosa(%)
15-30
Amilopektin(%)
70-75
Sumber: Selulosa, Hemiselulosa dan Lignin (Rokhmani, 2005), Amilosa dan Amilopektin (Suarni dan
Widowati, 2007).
18
Onggok sebagai hasil sampingan pembuatan tepung tapioka selain harganya
murah, tersedia cukup, mudah didapat, dan tidak bersaing dengan kebutuhan
manusia. Menurut Supriyati (2003), ketersediaan onggok terus meningkat sejalan
dengan meningkatnya produksi tapioka dan semakin meluasnya areal penanaman dan
produksi ubi kayu. Dari proses pengolahan singkong menjadi tepung tapioka,
dihasilkan limbah sekitar 2/3 bagian atau sekitar 75% dari bahan mentahnya.
Pembuatan onggok dari ubi kayu hingga menghasilkan tepung tapioka dapat
dilihat dalam Skema 1.
Ubi Kayu
Air
Pengupasan
Kulit
Air Buangan
Pencucian
Pemarutan
Air
Pemerasan
Ampas/Onggok
Pemisahan Pati
Pengeringan
Penggilingan
Tepung Tapioka
Skema 1. Proses Pembuatan Onggok dan Tepung Tapioka (Sumber: Purwanti, 2009)
Bungkil Kelapa
Bungkil kelapa merupakan hasil samping dari buah kelapa dengan produksi
melimpah di Indonesia. Berdasarkan SNI 01-2904-1996/Rev.1996, yang dimaksud
dengan bungkil kelapa adalah hasil ikutan yang didapat dari ekstraksi daging buah
kelapa
segar/kering.
Dikarenakan
hasil
ekstraksi
minyak
kelapa
dengan
menggunakan cara kering paling tinggi, kebanyakan industri menggunakan cara ini
untuk menghasilkan minyak kelapa. Pembuatan bungkil kelapa terdapat dalam
skema 2.
19
Daging buah kelapa kering(kopra)
Dihaluskan
Serbuk kelapa
Dipanaskan
Dipress
Minyak
bungkil kelapa
Skema 2. Proses Pembuatan Bungkil Kelapa (Sumber : Bank Indonesia, 2007)
Bungkil kelapa ditemukan sebagian besar di negara-negara tropis dan tersedia
dengan harga yang kompetitif. Pada tahun 2002, sebanyak 65% produksi bungkil
kelapa di dunia dihasilkan dari Indonesia dan Filiphina (Sundu dan Dingle, 2005).
Ekspor bungkil kelapa merupakan urutan kedua ekspor hasil turunan buah kelapa,
yaitu sekitar 56.884 ton (APCC, 2005). Kandungan zat makanan bungkil kelapa dan
komposisi kimia bungkil kelapa dapat dilihat dalam Tabel 5 dan 6.
Tabel 5. Kandungan Zat Makanan Bungkil Kelapa Berdasarkan Bahan Kering
Komposisi
Mutu 1
Mutu 2
Air (%)
12
12
Protein Kasar (%)
18
16
Serat Kasar(%)
14
16
Abu(%)
7
9
Lemak Kasar(%)
12
15
BETN(%)
37
32
Sumber: SNI (1996)
20
Tabel 6. Komposisi Kimia Bungkil Kelapa
Komposisi Kimia Bungkil Kelapa
Albumin(%)
6,64
Globulin(%)
39,25
Glutelin(%)
15,27
Prolamin(%)
38,84
Asam Lemak Jenuh(%)
Asam Lemak Tak Jenuh(%)
Laurat (46-50), Palmintat (8-10), dan Stearat (2-3)
Oleat (5-7), Linoleat (1-2,5)
Selulosa
20,10
Hemiselulosa
25,77
Lignin
5,94
Sumber: Albumin, Globulin, Glutelin, Prolamin (Wibowo, 2010), Asam Lemak Jenuh, Asam Lemak
Tak Jenuh (Novarianto, 1994), Hemiselulosa, Selulosa, Lignin (Pangestu, 2005)
Konsentrat
Konsentrat merupakan bahan pakan tambahan yang diberikan untuk
melengkapi kekurangan nutrien yang didapat dari bahan pakan utama yaitu hijauan.
Konsentrat mempunyai kandungan energi, protein dan lemak yang relatif tinggi
dengan kandungan serat kasar yang rendah dibanding hijauan yang diberikan.
Pemberian ransum berupa kombinasi kedua bahan itu akan memberi peluang
terpenuhinya nutrien yang dibutuhkan. Konsentrat untuk domba umumnya disebut
pakan penguat atau bahan baku pakan yang memiliki kandungan serat kasar kurang
dari 18% dan mudah dicerna.
Bahan pakan penguat merupakan bahan pakan yang mempunyai kandungan
zat makanan tertentu dengan kandungan energi relatif tinggi. Serat kasar rendah dan
daya cerna relatif baik, mempunyai palatabilitas (rasa enak), dan aseptabilitas
(kemampuan ternak mengkonsumsi) yang lebih tinggi. Menurut Mulyono (2005),
tinggi rendahnya konsumsi pakan ternak ruminansia sangat dipengaruhi oleh faktor
eksternal (lingkungan) dan faktor internal (kondisi ternak itu sendiri), yang meliputi
suhu lingkungan, palatabilitas, selera, status fisiologis (umur, jenis kelamin, kondisi
tubuh), konsentrasi nutrisi, bentuk pakan, bobot badan dan produksi. Bahan pembuat
konsentrat dapat dari dedak, bekatul, bungkil dan biji-bijian yang digiling halus
21
(seperti jagung). Bahan pakan tersebut umumnya memiliki kandungan serat kasar
rendah sehingga mudah dicerna( Mulyono, 2005). Pakan dengan serat kasar rendah
mempunyai daya cerna bahan kering yang tinggi (Tillman et al., 1989). Kandungan
serat kasar yang tinggi pada suatu bahan pakan akan sukar dimanfaatkan oleh ternak.
Kecernaan nutrien pakan pada ternak ruminansia ditentukan oleh kecernaan serat
kasar pakan (faktor eksternal) dan aktifitas mikroba rumen (faktor internal), terutama
bakteri dan interaksi kedua faktor tersebut.
Teknik pemberian konsentrat disarankan jangan bersamaan dengan hijauan
karena pakan ini mempunyai daya cerna dan kandungan nutrisi yang berbeda dengan
hijauan (Mulyono, 2005). Apabila diberikan bersama-sama maka efektifitas
nutrisinya akan kurang. Menurut Febrina dan Liana (2008), penggunaan konsentrat
di daerah pedesaan masih 20% dari total pakan yang diberikan, kebanyakan peternak
masih menggunakan pakan hijauan sebagai pakan utamannya.
Kecernaan Pakan
Secara definisi daya cerna (digestibility) adalah bagian nutrien pakan yang
tidak diekskresikan dalam feses. Daya cerna didasarkan atas suatu asumsi bahwa
nutrien yang tidak terdapat di dalam feses adalah habis dicerna dan diabsorpsi.
Biasanya daya cerna dinyatakan dalam bahan kering dan apabila dinyatakan dalam
persentase disebut koefisien cerna. Suatu percobaan pencernaan dikerjakan dengan
mencatat jumlah pakan yang dikonsumsi dan feses yang dikeluarkan dalam suatu
hari (Tillman et al., 1989). Faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan adalah
komposisi pakan, faktor hewan, serta laju perjalanan melalui alat pencernaan.
Pencernaan pakan merupakan suatu rangkaian proses yang terjadi pada pakan
selama berada didalam saluran pencernaan sampai memungkinkan terjadinya suatu
penyerapan (Parakasi, 1999). Untuk penentuan kecernaan dari suatu pakan maka
harus diketahui terlebih dahulu dua hal yang penting yaitu; jumlah nutrien yang
terdapat dalam pakan dan jumlah nutrien yang dapat dicerna dan dapat diketahui bila
pakan telah mengalami proses pencernaan (Tillman et al., 1989).
Cheeke (2005) menyatakan bahwa pengukuran kecernaan atau nilai cerna
suatu bahan pakan adalah usaha menentukan jumlah nutrisi dari suatu bahan pakan
yang didegradasi dan diserap dalam saluran pencernaan. Daya cerna juga merupakan
22
presentasi nutrien yang diserap dalam saluran pencernaan yang hasilnya akan
diketahui dengan melihat selisih antara jumlah nutrisi yang dimakan dan jumlah
nutrien yang dikeluarkan dalam feses. Nutrien yang tidak terdapat dalam feses inilah
yang diasumsikan sebagai nilai yang dicerna dan diserap.
Penentuan kecernaan suatu pakan maka harus diketahui jumlah nutrien yang
terdapat di dalam pakan dan jumlah nutrien yang dicerna. Jumlah nutrien yang
terdapat di dalam pakan dapat dicari dengan analisis kimia, sedangkan jumlah
nutrien yang dicerna dapat dicari bila pakan telah mengalami proses pencernaan.
Untuk mengetahuinya, terlebih dahulu dilakukan analisis secara biologis yang
kemudian diikuti dengan analisis kimia untuk mengetahui nutrien yang terdapat di
dalam feses. Diketahuinya jumlah nutrien di dalam pakan dan jumlah nutrien di
dalam feses maka dapat diketahui jumlah nutrien tercerna dari pakan tersebut
(Tillman et al., 1989). Pakan yang mudah dicerna akan meningkatkan laju aliran
pakan, sehingga terjadi pengosongan perut yang menyebabkan ternak cepat lapar dan
konsumsi meningkat. Parakkasi (1999), menambahkan bahwa kecernaan yang
meningkat akan diiringi dengan peningkatan konsumsi.
Menurut Arora (1989), bahwa jenis pakan mempengaruhi degradasi protein
dalam rumen. Pakan yang mengandung protein yang cukup dapat meningkatkan
pertumbuhan mikroorganisma rumen yang akhirnya dapat meningkatkan laju
degradasi pakan tersebut. Kecernaan dapat dipengaruhi pula oleh tingkat pemberian
pakan, spesies hewan, kandungan lignin bahan pakan, defisiensi zat makanan,
pengolahan bahan pakan, pengaruh gabungan bahan pakan, dan gangguan saluran
pencernaan (Parakasi, 1999).
Kebutuhan Energi Ternak Domba
Energi dapat diartikan sebagai kemampuan untuk melalukan kerja dan
berbagai bentuk kegiatan (kimia, elektrik, radiasi, dan termal) dan dapat diubahubah. Hewan yang sedang tumbuh membutuhkan energi untuk pemeliharaan tumbuh
(hidup pokok), memenuhi kebutuhan akan energi mekanik untuk gerak otot dan
sintesa jaringan-jaringan baru (Tillman et al .,1989). Kebutuhan energi ini tergantung
dari proses fisiologis ternak. Parakkasi (1999) menyatakan bahwa kekurangan energi
merupakan masalah defisiensi nutrisi yang umum terjadi pada domba, yang dapat
23
disebabkan oleh kekurangan pakan atau karena pengkonsumsian pakan dengan
kualitas rendah.
Secara umum nutrisi yang paling membatasi dalam nutrisi ternak domba
adalah energi. Sumber utama energi adalah dari pastura (hijauan makanan ternak,
hutan, dan rumput atau tunas-tunas), hay, silase, pakan dari produk sampingan
(byproduct) dan biji-bijian. Pastura, hay, silase atau pakan dari produk sampingan
(byproduct) yang berkualitas bagus dapat digunakan sebagai makanan yang dapat
memenuhi kebutuhan energi ternak secara ekonomis. kebutuhan energi domba
sebagian besar dipenuhi oleh konsumsi dan pencernaan dari hijauan pasture, hay, dan
silase. Sumber energi menurut Parakkasi (1999) adalah karbohidrat, protein, dan
lemak.
Pada dasarnya kebutuhan energi ternak ialah kebutuhan energi untuk hidup
pokok dan untuk produksi. Menurut NRC (1985), kebutuhan energi ternak untuk
hidup pokok adalah jumlah energi dalam pakan yang harus dikonsumsi setiap hari
bukan untuk mendapat ataupun kehilangan energi tubuh, energi tersebut digunakan
untuk memelihara kelestarian hidup dan mempertahankan keutuhan alat-alat tubuh.
Kebutuhan untuk produksi adalah energi diatas kebutuhan hidup pokok yang
dimanfaatkan untuk proses-proses produksi yang antara lain meliputi pertumbuhan.
Defisiensi energi pada ternak yang sedang dalam fase pertumbuhan akan
menyebabkan penurunan laju peningkatan bobot badan, yang akhirnya akan
menghentikan pertumbuhan, bobot badan semakin menurun dan yang paling buruk
adalah dapat menyebabkan kematian (NRC, 1985). Ternak yang kekurangan energi
dalam pakannya akan mengurangi fungsi rumen dan menurunkan efisiensi
penggunaan protein serta menghambat pertumbuhan ternak (Esminger dan Parker,
1986 dikutip Martawidjaja et al., 1999). Pada penelitian yang dilakukan Prayitno et
al.,(2010) Kecernaan energi complete feed berbahan sorgum (63,03%) dan onggok
(63,07%) lebih tinggi dibanding complete feed berbahan dedak dan jagung (51,96
dan 57,70%). Perbandingan energi tinggi tersebut diberikan pada domba lokal jantan
lepas sapih. Hasil di atas lebih tinggi dari penelitian Pangestu (2005), kecernaan
bahan kering onggok dan bungkil kelapa yaitu 47,16% dan 44,88%, hasil tersebut
disebabkan karena pada penelitian ini menggunakan pakan tunggal.
24
MATERI DAN METODE
Waktu dan Lokasi
Penelitian ini dilaksanakan di Kandang B, Laboratorium Biologi Hewan,
Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Laboratorium Terpadu
Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor, Bogor. Pemeliharaan ternak percobaan dilakukan pada bulan
November 2010 sampai Februari 2011, selama pemeliharaan pemberian pakan
dilakukan dua kali sehari, pagi pada pukul 8.00 dan siang pada pukul 15.00 dan
analisa kecernaan feses dan pakan penelitian dilakukan pada bulan Maret 2011.
Materi
Alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain kandang domba
individu, tempat pakan dan minum, timbangan digital, timbangan pegas, ember,
plastik penampung feses, alumunium foil, dan alas penampung feses.
Ternak Percobaan
Ternak yang digunakan adalah 9 ekor domba lokal jantan lepas sapih umur
±2 bulan dengan berat badan awal rata-rata sebesar 9,11±3,03 kg, yang
dikandangkan secara individu.
Gambar 1. Bentuk Kandang Individu Domba yang Dipakai dalam Penelitian
25
Pakan
Ransum yang digunakan selama penelitian adalah ransum yang mengandung
kadar energi dan protein kasar sama yaitu 65-66% dan ±15-16% yang digunakan
untuk menjaga pertumbuhan serta memenuhi kebutuhan hidup pokok. Ransum yang
digunakan terdiri atas rumput lapang dan konsentrat dengan perbandingan 30 : 70
dan air diberikan secara ad libitum. Komposisi bahan pakan dan kandungan zat
makanan penelitian dapat dililat dalam Tabel 7 dan 8.
Tabel 7. Komposisi Bahan Pakan didalam Ransum Penelitian
Bahan Pakan
Rumput
Jagung
Onggok
Bk. Kelapa
CaCO3
Garam
Premix
R1
30,50
20,50
46,00
2,60
0,20
0,20
Ransum Penelitian (%BK)
R2
29,50
17,72
50,50
2,00
0,14
0,14
R3
30,10
8,77
8,23
51,60
1,00
0,16
0,14
Keterangan : R1 : Ransum dengan sumber energi jagung;
R2: Ransum dengan sumber energi onggok;
R3 : Ransum dengan sumber energi jagung dan onggok.
Tabel 8. Kandungan Zat Makanan Ransum Penelitian (Hijauan + Konsentrat)
Zat Makanan
Bahan Kering
Protein Kasar
Lemak Kasar
Serat Kasar
Beta-N
GE (kal/g)
TDN*
Abu
Ca
P
Perlakuan
R1
R2
R3
--------------------------- %BK-------------------------67,83
68,96
68,18
16,01
15,95
16,50
6,25
6,26
6,07
21,27
22,15
22,25
50,02
48,10
48,32
5231,41
5119,86
5257,08
65,37
65,52
66,16
6,45
7,54
6,86
1,65
1,72
1,71
0,42
0,42
0,44
Keterangan : Hasil Analisa Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, IPB (2010). *) Perhitungan TDN
berdasarkan Hartadi et al. (1997) R1 = jagung + bungkil kelapa, R2 = onggok + bungkil
kelapa, R3 = jagung + onggok + bungkil kelapa.
26
Metode
Prosedur
Pemeliharaan
Pemeliharaan domba dilakukan selama 3 bulan dalam kandang individu.
Sebelum digunakan, domba ditimbang terlebih dahulu. Domba ditimbang setiap 14
hari sekali untuk mengetahui perubahan bobot badannya. Pakan diberikan pada pagi
dan siang hari. Pemberian pakan pada saat adaptasi 2 % bobot badan, tetapi seiring
bertambahnya BB maka konsumsi ransum dinaikan sampai 5% bobot badan.
Perbandingan konsumsi hijauan : konsentrat yaitu 30 : 70, sedangkan air minum
diberikan secara ad libitum. Konsumsi pakan dan sisa pakan dihitung setiap hari.
Sisa ransum dihitung dari ransum yang tersisa dalam tempat pakan dan yang tercecer
di kandang.
Pengukuran Kecernaan Nutrien
Menurut McDonald et al. (2002), pengumpulan feses dilakukan selama lima
hari berturut-turut pada minggu terakhir pemeliharaan yang bertujuan untuk
mengetahui kandungan nutrien feses. Feses diambil selama 24 jam dimulai pada pagi
hari sampai keesokan pagi harinya. Feses yang baru keluar ditampung dalam plastik
yang sudah disediakan agar tidak tercampur dengan urin. Feses yang terkumpul
selama 24 jam ditimbang dengan timbangan digital sebagai bobot feses segar (awal),
kemudian sampel feses diambil 10% dari total feses segar yang terkumpul setiap
harinya dan dikeringkan matahari dan dimasukkan dalam oven 60ºC untuk
mendapatkan berat feses kering udara matahari, kemudian sampel dihaluskan dan
dikomposit berdasarkan masing-masing perlakuan dan ulangan. Sampel yang sudah
dikomposit selanjutnya dilakukan analisa proksimat untuk mengetahui kandungan
nutrien feses. Analisa proksimat sampel feses dan ransum dilakukan untuk melihat
kecernaan nutriennya.
Analisa Proksimat
Analisa Proksimat dilakukan untuk mengetahui kandungan nutrient dari
masing-masing bahan pakan dan feses, meliputi kadar air, kadar abu, protein kasar,
lemak kasar, dan serat kasar.
27
Gambar 2. Penjemuran Feses Domba Harian
Gambar 3. Pengumpulan Feses Domba Komposit
Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan
Acak Kelompok (RAK) dengan 3
perlakuan dan
3 ulangan. Pengelompokan
berdasarkan bobot badan kecil ( 6,42 ± 0,38 kg), sedang (8,25 ± 1,09 kg), dan besar (
12,67 ± 2,08 kg). Tiga perlakuan adalah R1 = ransum sumber energi jagung, R2 =
ransum sumber energi onggok, dan R3 = ransum kombinasi sumber energi jagung
dan onggok. Model matematik dari rancangan adalah sebagai berikut :
Xij = + i +βj + ij
Keterangan :
Xij `
= Nilai pengamatan pada perlakuan ke-i dan kelompok ke-j
= Rataan umum pengamatan
i
= Pengaruh pemberian ransum ke-i (i = 1, 2, 3)
βj
= Pengaruh kelompok ke-j (j = 1, 2, 3,)
ij
= Pengaruh galat ransum ke-i dan ulangan ke-j
28
Peubah yang diamati
Peubah yang diamati antara lain :
1. Konsumsi Nutrien
Konsumsi nutrien adalah jumlah pakan (g) yang dimakan oleh seekor domba
setiap hari. Konsumsi nutrien diperoleh dengan menghitung selisih antara pakan
yang diberikan dikurangi dengan sisa pakan. Konsumsi nutrien yang dihitung
yaitu konsumsi bahan kering, protein kasar, serat kasar, dan lemak kasar.
Konsumsi pakan (g) = pemberian (g) - sisa (g)
Konsumsi selama pemeliharaan (g/ekor)
Konsumsi pakan (g/ekor/hari) =
Lama penelitian
2. Kecernaan Nutrien
Kecernaan nutrien diperoleh dari selisih konsumsi nutrien dengan nutrien
feses dibagi konsumsi nutrien dikalikan seratus persen. Kecernaan nutrien yang
dihitung yaitu bahan kering, protein kasar, serat kasar dan lemak kasar.
KCBK = (konsumsi BK pakan – BK feses) x 100%
Konsumsi BK pakan
KCPK = (konsumsi PK pakan – PK feses) x 100%
Konsumsi PK pakan
KCSK = (konsumsi SK pakan – SK feses) x 100%
Konsumsi SK pakan
KCLK = (konsumsi LK pakan – LK feses) x 100%
Konsumsi LK pakan
Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisa ragam (Analysis of
Variance) dan bila terjadi perbedaan dilanjutkan dengan Uji Kontras Ortogonal
(Steel dan Torrie, 1993).
29
HASIL DAN PEMBAHASAN
Konsumsi Nutrien
Konsumsi pakan merupakan faktor penting untuk menentukan kebutuhan
hidup pokok dan produksi karena dengan mengetahui tingkat konsumsi pakan maka
dapat ditentukan kadar zat makanan dalam pakan untuk memenuhi hidup pokok dan
produksi (Parakkasi, 1999). Menurut Aregherore (2000), konsumsi merupakan faktor
yang penting dalam menentukan produktivitas ruminansia dan ukuran tubuh ternak.
Rataan konsumsi bahan kering, protein kasar, lemak kasar, dan serat kasar pada
domba lokal jantan yang mendapat ransum perlakuan dapat dilihat dalam Tabel 9.
Tabel 9. Rataan konsumsi bahan kering, protein kasar, lemak kasar, dan serat kasar
pada domba lokal jantan yang mendapat ransum sumber energi
berbeda(g/e/h)
R1
Perlakuan
R2
R3
809,25±230,55
697,11±207,40
790,42±378,52
129,59±36,92
111,19±33,08
130,44±62,46
50,59±14,41
43,66±12,99
47,95±22,96
172,16±49,05
154,43±45,95
175,89±84,23
Peubah
Konsumsi BK
(g/e/h)
Konsumsi PK
(g/e/h)
Konsumsi LK
(g/e/h)
Konsumsi SK
(g/e/h)
Keterangan: Rata-rata Konsumsi Bahan Kering Domba yang Diberi Sumber Energi Berbeda, R1 =
sumber energi jagung , R2 = sumber energi onggok, dan R3 = sumber energi jagung dan
onggok.
Konsumsi Bahan Kering
Konsumsi merupakan tolak ukur penilaian palatabilitas suatu bahan pakan.
Menurut NRC (1985), kebutuhan bahan kering normal pada ternak domba dengan
bobot badan 10-20 kg dan pertambahan bobot badan ± 133 g/h yaitu 500-1000 g/e/h.
Konsumsi bahan kering penelitian ini berkisar antara 697-809 g/e/h (Tabel 7). Hasil
tersebut sesuai dengan NRC (1985) dan Wahyuni (2008) yaitu berkisar antara 6821010 g/e/h, hal ini menunjukkan bahwa domba mampu mengkonsumsi pakan sesuai
kebutuhan.
30
Pemberian pakan sumber energi jagung, onggok, serta kombinasi jagung dan
onggok dalam ransum domba lokal jantan tidak berpengaruh terhadap konsumsi
bahan kering (p>0,05). Menurut Mulyono (2005), tinggi rendahnya konsumsi pakan
ternak ruminansia sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal (lingkungan) dan faktor
internal (kondisi ternak itu sendiri), yang meliputi suhu lingkungan, palatabilitas,
selera, status fisiologis (umur, jenis kelamin, kondisi tubuh), konsentrasi nutrisi,
bentuk pakan, bobot badan dan produksi.
Pada penelitian ini, pemberian pakan sumber energi jagung, onggok, serta
kombinasi jagung dan onggok dalam ransum tidak menyebabkan gangguan selera
makan bagi ternak domba, hal ini disebabkan oleh palatabilitas dari ransum
perlakuan hampir sama. Menurut Mulyono (2005), palatabilitas dicerminkan oleh
organoleptiknya seperti kenampakan, bau, rasa (hambar, asin, manis, pahit) dan
tekstur. Kondisi inilah yang menumbuhkan daya tarik dan merangsang ternak untuk
mengkonsumsinya. Pakan yang mudah dicerna akan meningkatkan laju aliran pakan,
sehingga terjadi pengosongan perut yang menyebabkan ternak cepat lapar dan
konsumsi meningkat. Parakkasi (1999), menambahkan bahwa kecernaan yang
meningkat akan diiringi dengan peningkatan konsumsi.
Konsumsi bahan kering juga dipengaruhi oleh kandungan serat kasar, pada
penelitian ini kandungan serat kasar berkisar antara 21,27 - 22,25 %. Kandungan
serat kasar yang hampir sama tersebut membuat konsumsi bahan kering tidak
berbeda nyata (Toha et al., 1999).
Konsumsi Protein Kasar
Rataan konsumsi protein kasar pada domba lokal jantan yang mendapat
ransum perlakuan dapat dilihat pada Tabel 9. Rataan persentase konsumsi protein
kasar yang tertinggi sampai terendah adalah domba yang mendapat perlakuan R3, R1
dan R2 dengan rata-rata 111, 129, dan 130 g/e/h. Menurut NRC (1985), domba
dengan bobot badan 10-20 kg membutuhkan protein kasar sebesar 127-167 g/e/h.
Adapun perbedaan konsumsi protein kasar dengan kebutuhan berdasarkan ketentuan
National Research Council yaitu terkait dengan genetik dari perbedaan jenis domba
yang digunakan antara domba lokal yang hidup di daerah tropis dengan domba luar
negeri yang hidup di daerah subtropis.
31
Protein merupakan salah satu zat makanan yang turut berperan dalam
pertumbuhan, oleh karena itu konsumsi protein dapat menggambarkan mutu ransum
yang diteliti dalam penelitian ini. Protein kasar merupakan salah satu bahan organik
yang terdapat dalam ransum, sehingga konsumsi protein kasar sangat ditentukan oleh
konsumsi bahan kering serta kadar protein kasar dalam ransum. Kadar protein kasar
dalam ransum yang tinggi dan disertai konsumsi bahan kering yang tinggi akan
menghasilkan konsumsi protein kasar yang tinggi pula.
Pemberian pakan sumber energi jagung, onggok, serta kombinasi jagung dan
onggok dalam ransum domba lokal jantan tidak berpengaruh terhadap konsumsi
protein kasar (p>0,05). Kandungan protein kasar pada R3 (16,50%) membuat
konsumsi protein kasar pada R3 menjadi lebih tinggi 130 g/e/h. Sebaliknya konsumsi
protein kasar terendah pada R2 (sumber energi onggok) yaitu 111 g/e/h, diikuti
dengan konsumsi bahan kering R2 yang rendah yaitu 697 g/e/h. Ini sesuai dengan
pendapat Okmal (1993), bahwa jumlah konsumsi akan dipengaruhi oleh palatabilitas,
komposisi kimia, jumlah pakan yang tersedia serta kualitas bahan pakan tersebut.
Kualitas ransum akan mempengaruhi besarnya protein yang dikonsumsi,
palatabilitas, kapasitas alat pencernaan serta kemampuan menggunakan zat-zat
makanan yang diserap merupakan faktor yang ikut menentukan tingkat konsumsi.
Ransum yang sama kandungan zat-zat makanannya belum tentu sama pengaruhnya
terhadap ternak karena dipengaruhi oleh kesukaan dan pencernaan masing-masing
ransum.
Konsumsi Serat Kasar
Rataan konsumsi serat kasar pada domba lokal jantan yang mendapat ransum
perlakuan dapat dilihat dalam Tabel 9. Rataan persentase konsumsi serat kasar yang
tertinggi sampai terendah adalah domba yang mendapat perlakuan R3, R1 dan R2
dengan rata-rata 176, 172, dan 154 g/e/h. Hasil diatas lebih tinggi dari penelitian
Anggreini (2007), yaitu berkisar antara 104-146 g/e/h.
Kandungan serat kasar dalam bahan pakan mampu mengurangi tingkat
kecernaan pakan dalam tubuh ternak. Semakin banyak serat kasar yang terdapat
dalam suatu bahan pakan maka semakin tebal dinding sel dan akibatnya semakin
rendah daya cerna dari bahan makanan (Tilman et al., 1989).
32
Pemberian pakan sumber energi jagung, onggok, serta kombinasi jagung dan
onggok dalam ransum domba lokal jantan tidak berpengaruh terhadap konsumsi serat
kasar (p>0,05). Tingginya tingkat konsumsi pakan dapat meningkatkan konsumsi
dari kandungan serat kasar yang terdapat dalam pakan tersebut. Kandungan serat
kasar yang tinggi mampu menjadi faktor yang dapat mempengaruhi daya cerna
pakan (Tilman et al., 1989).
Konsumsi Lemak Kasar
Lemak merupakan zat tidak larut air, bahan organik yang larut dalam pelarut
organik (Parakkasi, 1999). Lemak mempengaruhi palatabilitas suatu pakan oleh
karenanya mempengaruhi tingkat konsumsi pakan (Sutardi, 1980).
Rataan konsumsi lemak kasar pada domba lokal jantan yang mendapat
ransum perlakuan dapat dilihat dalam Tabel 9. Rataan persentase konsumsi lemak
kasar yang tertinggi sampai terendah adalah domba yang mendapat perlakuan R1, R3
dan R2 dengan rata-rata 51, 44, dan 48 g/e/h. Hasil diatas sesuai dengan penelitian
Anggreini (2007), yaitu berkisar antara 29-51 g/e/h.
Pemberian pakan sumber energi jagung, onggok, serta kombinasi jagung dan
onggok dalam ransum domba lokal jantan tidak berpengaruh terhadap konsumsi
lemak kasar (p>0,05). Tidak adanya perbedaan tersebut kemungkinan disebabkan
oleh kandungan lemak perlakuan yang hampir sama dan konsumsi bahan kering juga
tidak berbeda nyata. Konsumsi lemak kasar dapat dipengaruhi oleh komposisi kimia
pakan, yaitu kandungan asam lemak jenuh dalam perlakuan. Tingginya asam lemak
januh akan menurunkan konsumsi lemak kasar, hal tersebut dapat disebabkan pada
asam lemak jenuh mengalami proses oksidasi, karena pangan yang mengandung
lemak kemungkinan besar akan mengalami proses oksidasi. Penyebab oksidasi dapat
terjadi karena pemanasan, cahaya, dan hasil kerja enzim (Ketaren, 2000). Oksidasi
menyebabkan perubahan warna, rasa, dan aroma minyak, bahkan perubahan struktur
kimia. Gejala timbulnya ketengikan oleh proses oksidasi lemak dimulai timbulnya
flavour, flatness, oilness, kemudian perubahan rasa dan aroma, selanjutnya berubah
menjadi bau apek, dan tahap terakhir menjadi tengik, kerusakan vitamin larut lemak,
serta pembentukan senyawa yang bersifat toxic.
33
Kecernaan Nutrien
Kecernaan merupakan jumlah pakan yang diserap oleh tubuh hewan atau
jumlah pakan yang tidak diekskresikan dalam feses (McDonald et al., 2002).
Menurut Tillman et al., (1989) kecernaan adalah suatu bagian zat makanan yang
tidak diekskresikan melalui feses, dimana bagian lainnya diserap oleh tubuh ternak.
Rataan kecernaan bahan kering, protein kasar, lemak kasar, dan serat kasar dapat
dilihat dalam Tabel 10.
Tabel 10. Rataan kecernaan bahan kering, protein kasar, lemak kasar, dan serat kasar
pada domba lokal jantan yang mendapat ransum sumber energi
berbeda(%)
Perlakuan
Peubah
R1
R2
R3
Kecernaan BK(%)
71,59±6,65
65,20±11,29
69,88±3,74
Kecernaan PK(%)
75,72±2,84
72,55±6,97
77,69±3,16
Kecernaan LK(%)
85,57±10,85
87,48±2,67
88,80±6,52
Kecernaan SK(%)
67,54±6,93
65,89±11,55
74,25±4,50
Keterangan: Rata-rata Kecernaan Bahan Kering Domba yang Diberi Sumber Energi Berbeda, R1 =
sumber energi jagung , R2 = sumber energi onggok, dan R3 = sumber energi jagung dan
onggok.
Kecernaan Bahan Kering
Rataan persentase kecernaan bahan kering yang tertinggi sampai terendah
adalah domba yang mendapat perlakuan R1, R3 dan R2 dengan rata-rata 72% , 70%,
dan 65% (Tabel 10). Hasil kecernaan bahan kering diatas lebih tinggi dari penelitian
Rachmadi (2003), yaitu 42,7%, hal ini disebabkan kandungan nutrien ransum yang
diberikan berbeda.
Pemberian pakan sumber energi jagung, onggok, serta kombinasi jagung dan
onggok dalam ransum domba lokal jantan tidak berpengaruh (p>0,05) terhadap
kecernaan bahan kering. Menurut Tillman et al. (1989), faktor-faktor yang
mempengaruhi kecernaan adalah komposisi pakan, faktor hewan, serta laju
perjalanan melalui alat pencernaan.
Perlakuan yang tidak berpengaruh terhadap nilai kecernaan bahan kering juga
dapat disebabkan oleh kandungan protein pakan perlakuan yang hampir sama yaitu
34
R1 16,01%, R2 15,95%, dan R3 16,50%, sehingga aktifitas mikroba rumen juga
hampir sama. Menurut Arora (1989), bahwa jenis pakan mempengaruhi degradasi
protein dalam rumen. Pakan yang mengandung protein yang cukup dapat
meningkatkan
pertumbuhan
mikroorganisma
rumen
yang
akhirnya
dapat
meningkatkan laju degradasi pakan tersebut.
Kecernaan Protein Kasar
Rataan kecernaan protein kasar pada domba lokal jantan yang mendapat
ransum perlakuan dapat dilihat dalam Tabel 10. Rataan persentase kecernaan protein
kasar yang tertinggi sampai terendah adalah domba yang mendapat perlakuan R3, R1
dan R2 dengan rata-rata 78% , 76%, dan 73%.
Pemberian pakan sumber energi jagung, onggok, serta kombinasi jagung dan
onggok dalam ransum domba lokal jantan tidak berpengaruh (p>0,05) terhadap
kecernaan protein kasar. Sama halnya yang terjadi pada konsumsi bahan kering dan
kecernaan bahan kering, bahwa tidak adanya perbedaan yang nyata tersebut dapat
terjadi karena yang mempengaruhi tinggi rendahnya kecernaan protein adalah
komposisi kimia pakan (NRC, 1985). Komposisi kimia protein jagung terdiri dari
empat jenis yaitu albumin, globulin, glutelin, dan prolamin. Keempat jenis protein ini
berbeda kadar dan sifatnya satu sama lain. Kelarutan jenis protein albumin larut
dalam air dan larutan garam, protein globulin sedikit larut dalam air tetapi larut
dalam larutan garam, protein glutelin larut dalam asam/basa encer, dan protein
prolamin larut dalam 70 – 80 % etanol tetapi tidak larut dlm air dan etanol absolut
(Riawan, 1990).
Kandungan protein jagung 8,6% memiliki jenis protein prolamin dan glutelin
yang jumlahnya masing-masing 50-55% dan 30-45% dari total protein, sedangkan
albumin dan globulin yang jumlahnya masing-masing 1-8% dan 2-9% (Kent, 1983).
Kandungan protein bungkil kelapa 18%, memiliki jenis protein yang berbeda
persentasenya dibanding jagung, yaitu globulin 39,25%, albumin 6,64%, glutelin
15,27%, dan prolamin 38,84% (Wibowo, 2010), sedangkan kandungan protein
onggok 2,89%, memiliki jenis protein yang lebih rendah dibanding jagung dan
bungkil kelapa.
35
Pada kecernaan protein kasar domba lokal jantan lepas sapih, kelarutan jenis
protein tidak nyata mempengaruhi daya cerna pakan perlakuan, hal tersebut dapat
disebabkan protein mempunyai kemampuan untuk larut pada beberapa zat pelarut,
karena pada dasarnya bersifat amfoter, yaitu dapat bereaksi dengan larutan asam dan
basa. Daya larut protein berbeda di dalam air, asam, dan basa; ada yang mudah larut
dan ada yang sukar larut (Jalip, 2008).
Kecernaan protein kasar juga dipengaruhi oleh kandungan lignin dari bahan
pakan (Crampton dan Harris, 1969). Lignin merupakan polimer yang mengandung
protein yang sulit dicerna dan mengandung inti fenolat yang bersifat melindungi
serangan mikroba, sehingga dapat menurunkan kecernaan protein, namun kandungan
lignin yang sedikit pada onggok dan bungkil kelapa tidak nyata mempengaruhi
kecernaan protein kasar.
Kecernaan protein kasar tergantung pada kandungan protein dalam pakan
(Arora, 1989). Pakan yang mempunyai kandungan protein yang rendah umumnya
mempunyai kecernaan yang rendah pula dan sebaliknya. Kandungan protein kasar
penelitian ini berkisar antara 15,95-16,90%, hasil diatas lebih tinggi dari kisaran
minimal (13%) kandungan protein pakan Sutardi et al. (1983) yang merupakan
kebutuhan minimal bagi aktifitas mikroba rumen. Parakasi (1999) menambahkan
bahwa semakin tinggi kandungan protein di dalam pakan, maka konsumsi protein
makin tinggi pula, yang selanjutnya akan berpengaruh pada nilai kecernaan bahan
pakan tersebut.
Kecernaan Serat Kasar
Rataan kecernaan serat kasar pada domba lokal jantan yang mendapat ransum
perlakuan dapat dilihat dalam Tabel 10. Serat kasar adalah penyusun utama dinding
sel tumbuhan dan merupakan fraksi karbohidrat yang telah dipisahkan dengan bahan
ekstrak tanpa nitrogen (BETN) yang tidak larut dalam basa dan asam encer setelah
pendidihan selama 30 menit. Serat kasar terdiri dari selulosa, hemiselulosa, dan
lignin yang sulit dicerna. Kandungan serat kasar yang tinggi pada suatu bahan pakan
akan sukar dimanfaatkan oleh ternak. Kecernaan nutrien pakan pada ternak
ruminansia ditentukan oleh kecernaan serat kasar pakan (faktor eksternal) dan
aktifitas mikroba rumen (faktor internal), terutama bakteri dan interaksi kedua faktor
tersebut (Tillman et al., 1989).
36
Rataan persentase kecernaan serat kasar yang tertinggi sampai terendah
adalah domba yang mendapat perlakuan R3, R1 dan R2 dengan rata-rata 74% , 67%,
dan 66%. Hasil diatas lebih tinggi dari penelitian Pangestu (2005), yaitu 57,25%. Hal
tersebut dapat disebabkan tingginya kandungan NDF dan ADF ransum perlakuan
yang banyak menggunakan rumput gajah. Tingginya kandungan NDF dapat
mengurangi kemampuan ternak mengkonsumsi pakan hijauan (Beauchemin, 1996),
sedangkan tingginya ADF dapat mengurangi kecernaan pakan.
Pemberian pakan sumber energi jagung, onggok, serta kombinasi jagung dan
onggok dalam ransum domba lokal jantan tidak berpengaruh (p>0,05) terhadap
kecernaan serat kasar. Besarnya kecernaan serat kasar salah satunya dipengaruhi oleh
konsumsi bahan kering ransum, dan komposisi kimia bahan pakan (Nurhajah, 2007).
Komposisi kimia onggok memiliki kandungan serat kasar 14,73% (FAO, 2005)
terdiri atas hemiselulosa 23,10% dan lignin 4,20% (Rokhmani, 2005). Hemiselulosa
mempunyai berat molekul lebih kecil dibandingkan selulosa dengan cabang rantai
pendek terdiri dari gula yang berbeda (Perez et al., 2002), sehingga mudah
dihidrolisis (Hendriks dan Zeeman, 2009), komposisi kimia jagung memiliki
kandungan serat kasar yang rendah, yaitu 3,02% (Suarni & Widowati, 2005), terdiri
atas hemiselulosa 41-46% (Glicksman, 1969), sedangkan komposisi kimia bungkil
kelapa memiliki kandungan serat kasar tinggi, yaitu 12%, terdiri atas hemiselulosa
25,77%, selulosa 22,10% dan lignin 5,94% (Burge dan Duensing, 1989).
Kandungan hemiselulosa yang tinggi dari masing-masing perlakuan membuat
hasil kecernaan serat kasar tidak berbeda nyata. Varrel dan Dehority (1989)
menambahkan bahwa pemberian pakan campuran (R3) akan menyediakan nutrisi
yang lengkap bagi bakteri rumen sehingga meningkatkan kecernaan.
Kecernaan Lemak Kasar
Rataan kecernaan lemak kasar pada domba lokal jantan yang mendapat
ransum perlakuan dapat dilihat dalam Tabel 10. Rataan persentase kecernaan lemak
kasar yang tertinggi sampai terendah adalah domba yang mendapat perlakuan R3, R2
dan R1 dengan rata-rata 89% , 87%, dan 86%. Hasil diatas sesuai dengan kisaran
kecernaan lemak kasar menurut Johnson (1991) yaitu 80-90%.
Lemak dan minyak merupakan senyawa trigliserida dari gliserol. Dalam
pembentukannya, trigliserida merupakan hasil proses kondensasi satu molekul
37
gliserol dan tiga molekul asam lemak (umumnya ketiga asam lemak tersebut
berbeda-beda), yang membentuk satu molekul trigliserida dan satu molekul air. Salah
satu indikator nilai nutrisi pakan adalah kecernaan lemak. Secara umum kemampuan
ternak ruminansia untuk menyerap lemak lebih besar daripada non-ruminansia.
Perlakuan memberikan pengaruh tidak berbeda nyata (p>0,05) terhadap
kecernaan lemak kasar. Tingginya daya cerna lemak kasar disebabkan oleh struktur
kimia lemak yang mudah dicerna (Wiseman, 1990). Menurut Suarni dan Widowati
(2007), jagung mengandung asam lemak tidak jenuh (26,9%) lebih besar
dibandingkan asam lemak jenuh (9,22%), Menurut Wibowo (2010), bungkil kelapa
mengandung asam lemak jenuh (21%) lebih besar dibandingkan asam lemak jenuh
(4,5%), sedangkan menurut Irawan (2002), onggok menghasilkan asam lemak jenuh
dan asam lemak tidak jenuh lebih rendah dibanding keduanya, hal tersebut
disebabkan karena onggok memiliki kandungan lemak lebih rendah (1,48%).
Hasil kecernaan lemak kasar yang tidak berbeda nyata pada masing-masing
perlakuan dapat disebabkan bahwa lemak yang diserap mengandung trigliserida
(lemak sederhana) sehingga mudah dicerna. Trigliserida banyak terpadat dalam
pakan mengandung konsentrat tinggi, sehingga menghasilkan kecernaan yang tinggi
pula. Kecernaan lemak kasar dapat dipengaruhi pula oleh konsumsi bahan kering
ransum perlakuan. Tingginya konsumsi bahan kering cenderung berbanding terbalik
dengan efisiensi kecernaan komponen lemak (Nursasih, 2005).
38
KESIMPULAN
Ransum dengan sumber energi onggok dapat menggantikan ransum dengan
sumber energi jagung dan tidak memberikan pengaruh terhadap kecernaan bahan
kering, lemak kasar, serat kasar dan protein kasar domba lokal jantan lepas sapih.
SARAN
Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan bahan pakan
mengandung sumber energi lain untuk memberikan hasil terbaik terhadap kecernaan
bahan kering, protein kasar, serat kasar, dan lemak kasar domba lokal jantan lepas
sapih.
39
ANALISIS KECERNAAN PAKAN DENGAN SUMBER
ENERGI BERBEDA PADA DOMBA LOKAL
JANTAN LEPAS SAPIH
SKRIPSI
ARDYA ARDITANIA SUCI
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
1
ANALISIS KECERNAAN PAKAN DENGAN SUMBER
ENERGI BERBEDA PADA DOMBA LOKAL
JANTAN LEPAS SAPIH
SKRIPSI
ARDYA ARDITANIA SUCI
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
1
RINGKASAN
Ardya Arditania Suci. D24070262. 2011. Analisis Kecernaan Pakan Dengan
Sumber Energi Berdeda Pada Domba Lokal Jantan Lepas Sapih. Skripsi.
Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan. Fakultas Peternakan. Institut
Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Prof. Dr. Ir. Komang G. Wiryawan.
Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Rita Mutia, M.Agr.
Domba lokal jantan lepas sapih membutuhkan pakan berenergi tinggi untuk
menunjang kebutuhan hidup pokok dan produksi selama fase pertumbuhan. Pakan
berenergi tinggi bisa didapatkan dari bahan pakan jagung dan onggok, serta
kombinasi keduanya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji kecernaan pakan
dengan sumber energi berbeda (jagung, onggok, dan campuran onggok jagung) pada
domba lokal jantan lepas sapih fase pertumbuhan.
Penelitian ini dilaksanakan di Kandang B. Pemeliharaan ternak percobaan
dilakukan pada bulan November 2010 sampai Februari 2011 dan analisa kecernaan
dilakukan pada bulan Maret 2011. Ternak yang digunakan adalah 9 ekor domba lokal
jantan lepas sapih umur ±2 bulan dengan berat badan awal rata-rata sebesar
9,11±3,03 kg yang dikandangkan secara individu. Ransum yang digunakan selama
penelitian adalah ransum yang mengandung kadar energi dan protein sama yaitu 6566% Total Digestable Nutrient dan ±15-16% Protein kasar yang digunakan untuk
menjaga pertumbuhan serta memenuhi kebutuhan hidup pokok. Ransum yang
digunakan terdiri atas rumput lapang dan konsentrat dengan perbandingan 30 : 70
dan air diberikan secara ad libitum.
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan
Acak Kelompok (RAK) dengan 3 perlakuan dan 3 ulangan. Pengelompokan
berdasarkan bobot badan kecil ( 6,42 ± 0,38 kg), sedang (8,25 ± 1,09 kg), dan besar (
12,67 ± 2,08 kg). Tiga perlakuan adalah R1 = ransum sumber energi jagung, R2 =
ransum sumber energi onggok, dan R3 = ransum kombinasi sumber energi jagung
dan onggok. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisa ragam (Analysis of
Variance) dan bila terjadi perbedaan dilanjutkan dengan Uji Kontras Ortogonal.
Hasil analisis secara statistik pada kecernaan bahan kering, protein kasar,
serat kasar, dan lemak kasar tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (p>0,05).
Kecernaan bahan kering R1 = 71,59±6,65% , R2 = 65,20±11,29% , dan R3 =
69,88±3,74%. Kecernaan serat kasar berkisar dari 65,89±11,55% hingga
74,25±4,50%. Kecernaan lemak kasar R1 = 85,57±10,85% , R2 = 87,48±2,67% ,
dan R3 = 88,80±6,52%. Kecernaan Protein kasar R1 = 75,72±2,84% , R2 =
72,55±6,97%, dan R3 = 77,69±3,16% .
Kesimpulan dari penelitian ini adalah ransum dengan sumber energi onggok
dapat menggantikan ransum dengan sumber energi jagung dan tidak memberikan
pengaruh terhadap kecernaan bahan kering, lemak kasar, serat kasar dan protein
kasar domba lokal jantan lepas sapih..
Kata-kata Kunci : domba, jagung, onggok, kecernaan
2
ABSTRACT
Analysis Digestibility of Feed With Different Carbohydrates In The Post
Weaning Local Male Sheep
Ardya, A. A., K. G. Wiryawan, and R. Mutia
The aim of this study was to assess digestibility of feed with different carbohydrates
(corn and cassava meal) in the post weaning local male sheep. The research was
conducted in stable B, PAU laboratory, Department of Nutrition and Feed
Technology, Faculty of Animal Science, Bogor Agricultural University. The
experiment was conducted from November 2010 until February 2011, and the
digestability analysis was carried out in March 2011. The animals used were nine
post weaning male local sheep aged ±2 months, with initial body weight of
9.11±3.03 kg. The experiment design used in this study was block design with three
treatments and three replications. The block was based on body weight of small (
6.42±0.38 kg), medium (8.25±1.09 kg), and large ( 12.67±2.08 kg). Three treatments
were R1 = energy source from corn meal, R2 = energy source from cassava meal,
and R3 = energy source from corn meal and cassava meal. The results showed that
R1, R2, R3 did not affect the digestibility of sheep.
Analysis Digestibility of Feed With Different Carbohydrates In The Post
Weaning Local Male Sheep
Ardya, A. A., K. G. Wiryawan, and R. Mutia
The aim of this study was to assess digestibility of feed with different carbohydrates
(corn and cassava meal) in the post weaning local male sheep. The research was
conducted in stable B, PAU laboratory, Department of Nutrition and Feed
Technology, Faculty of Animal Science, Bogor Agricultural University. The
experiment was conducted from November 2010 until February 2011, and the
digestability analysis was carried out in March 2011. The animals used were nine
post weaning male local sheep aged ±2 months, with initial body weight of
9.11±3.03 kg. The experiment design used in this study was block design with three
treatments and three replications. The block was based on body weight of small (
6.42±0.38 kg), medium (8.25±1.09 kg), and large ( 12.67±2.08 kg). Three treatments
were R1 = energy source from corn meal, R2 = energy source from cassava meal,
and R3 = energy source from corn meal and cassava meal. The results showed that
R1, R2, R3 did not affect the digestibility of sheep. Dry matter digestibility of R1
was 71.59±6.65% , R2 was 65.20±11.29% , and R3 was 69.88±3.74%. Crude fiber
digestibility ranged from 65.89±11.55% until 74.25±4.50%. Ether extract
digestibility of R1 was 85.57±10.85% , R2 was 87.48±2.67% , and R3 was
88.80±6.52% . Protein digestibility of R1 was 75.72±2.84% , R2 was 72.55±6.97%,
and R3 was 77.69±3.16% . It was concluded that cassava meal can be used for
energy source beside corn meal.
Keywords: sheep, corn meal, cassava meal, digestibility
3
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Domba merupakan salah satu jenis ternak ruminansia kecil yang banyak
dipelihara dan dikenal luas oleh masyarakat Indonesia terutama masyarakat di Pulau
Jawa, karena pemeliharaan yang relatif mudah, cepat menghasilkan manfaat, dan
dapat digunakan sebagai tabungan. Menurut data statistik pertanian (2010), populasi
domba dan kambing saat ini mencapai 27.753.000 ekor; terdiri atas domba sebanyak
10.932.000 ekor dan kambing 16.821.000 ekor.
Ternak membutuhkan asupan nutrien yang seimbang untuk menunjang
kebutuhan hidup pokok dan produksi selama fase pertumbuhan, sama halnya dengan
domba lokal jantan lepas sapih. Pakan sumber karbohidrat dan protein tinggi sangat
diperlukan untuk menghasilkan pertumbuhan domba yang sesuai. Pakan sumber
karbohidrat seperti jagung dan onggok memiliki kandungan energi tinggi serta serat
kasar rendah (FAO, 2005), sedangkan bungkil kelapa merupakan hasil ekstraksi dari
proses pengolahan tepung tapioka memiliki kandungan protein kasar 18% (SNI,
1996) dapat dipergunakan sebagai sumber N untuk meningkatan kecernaan nutrien
dan dapat dimanfaatkan secara baik oleh induk semang.
Faktor yang berpengaruh terhadap nilai kecernaan antara lain pakan, ternak,
dan lingkungan (McDonald et al., 2002). Ditinjau dari segi pakan, kecernaan
dipengaruhi oleh jenis, jumlah, komposisi, dan gerak laju ransum yang diberikan
pada ternak. Hasil penelitian Pangestu (2005), kecernaan bahan kering onggok dan
bungkil kelapa yaitu 47,16% dan 44,88%, hasil tersebut lebih rendah dari penelitian
Prayitno et al., (2010), kecernaan energi ransum komplit onggok (63,07%) lebih
tinggi dibanding ransum komplit berbahan jagung (57,70%). Hasil kecernaan diatas
menunjukkan bahwa sumber energi (jagung dan onggok) serta sumber protein
bungkil kelapa dapat digunakan untuk ternak domba dengan hasil kecernaan yang
berbeda.
Penggunaan sumber energi jagung dan onggok, serta sumber protein bungkil
kelapa di masyarakat masih rendah digunakan sebagai pakan ternak ruminansia. Hal
tersebut dapat disebabkan masih bersaingnya harga dan kualitas nutrien pakan
dengan bahan pakan lainnya. Kandungan BETN jagung dan onggok yang tinggi
dapat digunakan untuk memacu pertumbuhan mikroorganisma rumen dan akan
14
meningkatkan kecernaan domba lokal jantan lepas sapih, hal yang sama pada bungkil
kelapa dengan kandungan protein yang tinggi dapat digunakan sebagai sumber N
ternak ruminansia.
Nilai nutrisi suatu bahan pakan, selain ditentukan oleh kandungan zat-zat
nutriennya juga sangat ditentukan oleh kemampuan degradasi dan adaptasi mikroba
rumen yang berpengaruh terhadap kecernaan pakan. Pada penelitian ini pemberian
pakan sumber energi tinggi seperti jagung, onggok, serta kombinasi jagung dan
onggok diharapkan mampu meningkatkan efisiensi kecernaan bahan kering, serat
kasar, protein kasar, dan lemak kasar domba lokal jantan lepas sapih fase
pertumbuhan.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kecernaan pakan dengan sumber
energi berbeda (jagung, onggok, dan campuran jagung onggok) pada domba lokal
jantan lepas sapih fase pertumbuhan.
15
TINJAUAN PUSTAKA
Domba Lokal Jantan
Domba merupakan ternak ruminansia kecil yang masih tergolong kerabat
kambing, sapi dan kerbau (Mulyono, 2005). Domba dapat diklasifikasikan pada sub
famili caprinae dan semua domba domestik termasuk genus ovis aries. Ada empat
spesies domba liar yaitu: domba moufflon ( ovis musimon) terdapat di Eropa dan Asia
Barat, domba urial (ovis orentalis; ovis vignei) terdapat di Afganistan hingga Asia
Barat, domba argali terdapat di Asia Utara dan Amerika Utara.
Domba memiliki ciri-ciri yaitu mempunyai kelenjar di bawah mata yang
menghasilkan sekresi seperti air mata, di celah antara kedua bilah kuku keluar sekresi
yang berbau khas saat berjalan, tanduk berpenampang segitiga dan tumbuh melilit,
bulu sangat baik digunakan sebagai bahan wol, dan domba jantan tidak berbau
prengus. Jenis-jenis domba yang banyak dikenal di Indonesia adalah domba asli
Indonesia yang disebut domba lokal. Memiliki ciri-ciri : ukuran tubuh kecil sehingga
dagingnya tidak terlalu banyak, memiliki warna bulu yang bermacam-macam, domba
jantan memiliki tanduk sedangkan yang betina tidak memiliki tanduk, dan bobot
domba jantan 30-50 kg sedangkan bobot domba betina 20-25 kg (Mulyono, 2005).
Domba ekor tipis berasal dari Bangladesh atau India. Domba ini telah
beradaptasi di Jawa sehingga dianggap sebagai ternak asli Indonesia. Di setiap
daerah, DEK memiliki nama yang berbeda-beda sesuai dengan banyaknya sub
populasi yang berkembang. DEK Jawa juga disebut domba kampung; domba negeri;
domba lokal atau domba kacang. Bobot domba jantan dewasa antara 20- 30kg,
sedangkan domba betina dewasa 15-20 kg (Mulyono, 2005).
Domba priangan atau domba garut berasal dari Priangan, Kota Garut, Jawa
Barat. Memiliki ciri-ciri sebagai berikut : badan besar dan lebar, memiliki leher yang
kuat sehingga digunakan sebagai domba aduan dan penghasil daging, domba jantan
bertanduk besar, kokoh, dan kuat, melengkung ke belakang berbentuk spiral, pangkal
tanduk kanan dan kiri hampir bersatu, betina tidak memiliki tanduk, bulu badan lebih
panjang dan halus, dan bobot domba jantan adalah 60-80 kg, sedangkan bobot
domba betina adalah 30-40 kg (Mulyono, 2005).
16
Jagung
Produksi jagung di Indonesia selama 5 tahun terakhir terus meningkat, pada
tahun 2006 mencapai sekitar 12 juta ton dan pada tahun 2010 meningkat menjadi
13,6 juta ton. Jagung digunakan untuk bahan baku industri makanan, konsumsi
langsung manusia dan terbesar untuk bahan baku industri pakan ternak. Kandungan
zat makanan jagung dan komposisi kimia jagung dapat dilihat dalam Tabel 1 dan 2.
Tabel 1. Kandungan Zat Makanan Jagung Berdasarkan Bahan Kering
Zat Makanan
Kandungan
Bahan Kering (%)
90
Protein Kasar (%)
8,4
Serat Kasar (%)
2.2
Lemak kasar (%)
3.6
Abu (%)
1
BETN (%)
75
Sumber: Suarni dan Widowati (2007)
Tabel 2. Komposisi Kimia Jagung
Komposisi Kimia Jagung
Selulosa(%)
Hemiselulosa(%)
Lignin(%)
41-46
-
Amilosa(%)
25-30
Amilopektin(%)
70-75
Asam Lemak Jenuh(%)
Asam Lemak Tak Jenuh(%)
Palmintat (15,71), Stearat (3,12)
Oleat (36,45), Linoleat (43,83), dan Linolenat (0,42)
Albumin(%)
1-8
Globulin(%)
2-9
Glutelin(%)
30-45
Prolamin(%)
50-55
Sumber: Selulosa, Lignin, Asam Lemak Jenuh, Asam Lemak Tidak Jenuh (Suarni danWidowati,
2007), Hemiselulosa (Gliksman, 1969), Albumin, Globulin, Glutelin, Prolamin (Kent,
1983).
17
Kebutuhan jagung untuk pakan mencapai 3,48 juta ton/tahun, meningkat
menjadi 4,07 juta ton/tahun pada tahun 2008 (Dirjen Peternakan, 2009). Jagung
merupakan bahan pakan sumber energi dalam komponen penyusun ransum ternak.
Selain itu jagung mempunyai tingkat adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan yang
panas dan kering sehingga dapat tumbuh pada area geografis yang lebih luas
dibandingkan dengan serealia yang lain. Menurut Mahaputra et al. (2003),
penggunaan complete feed seperti jagung, onggok, bungkil kelapa, dan limbah hasil
pertanian lainnya pada domba lokal jantan hasilnya lebih baik jika dibandingkan
dengan pemberian pakan hijauan saja.
Onggok
Onggok adalah limbah dari pabrik tapioka yang kering, padat dan keras.
Kandungan zat makanan onggok dan komposisi kimia onggok dapat dilihat dalam
Tabel 3 dan 4.
Tabel 3. Kandungan Zat Makanan Onggok Berdasarkan Bahan Kering
Zat Makanan
Kandungan
Bahan Kering (%)
86,00
Protein Kasar (%)
1,77
Lemak Kasar (%)
1,48
BETN (%)
89,20
Serat Kasar (%)
6,67
Abu (%)
0,89
Sumber : Irawan (2002)
Tabel 4. Komposisi Kimia Onggok
Komposisi Kimia Onggok
Selulosa(%)
13,93
Hemiselulosa(%)
14,26
Lignin(%)
5,37
Amilosa(%)
15-30
Amilopektin(%)
70-75
Sumber: Selulosa, Hemiselulosa dan Lignin (Rokhmani, 2005), Amilosa dan Amilopektin (Suarni dan
Widowati, 2007).
18
Onggok sebagai hasil sampingan pembuatan tepung tapioka selain harganya
murah, tersedia cukup, mudah didapat, dan tidak bersaing dengan kebutuhan
manusia. Menurut Supriyati (2003), ketersediaan onggok terus meningkat sejalan
dengan meningkatnya produksi tapioka dan semakin meluasnya areal penanaman dan
produksi ubi kayu. Dari proses pengolahan singkong menjadi tepung tapioka,
dihasilkan limbah sekitar 2/3 bagian atau sekitar 75% dari bahan mentahnya.
Pembuatan onggok dari ubi kayu hingga menghasilkan tepung tapioka dapat
dilihat dalam Skema 1.
Ubi Kayu
Air
Pengupasan
Kulit
Air Buangan
Pencucian
Pemarutan
Air
Pemerasan
Ampas/Onggok
Pemisahan Pati
Pengeringan
Penggilingan
Tepung Tapioka
Skema 1. Proses Pembuatan Onggok dan Tepung Tapioka (Sumber: Purwanti, 2009)
Bungkil Kelapa
Bungkil kelapa merupakan hasil samping dari buah kelapa dengan produksi
melimpah di Indonesia. Berdasarkan SNI 01-2904-1996/Rev.1996, yang dimaksud
dengan bungkil kelapa adalah hasil ikutan yang didapat dari ekstraksi daging buah
kelapa
segar/kering.
Dikarenakan
hasil
ekstraksi
minyak
kelapa
dengan
menggunakan cara kering paling tinggi, kebanyakan industri menggunakan cara ini
untuk menghasilkan minyak kelapa. Pembuatan bungkil kelapa terdapat dalam
skema 2.
19
Daging buah kelapa kering(kopra)
Dihaluskan
Serbuk kelapa
Dipanaskan
Dipress
Minyak
bungkil kelapa
Skema 2. Proses Pembuatan Bungkil Kelapa (Sumber : Bank Indonesia, 2007)
Bungkil kelapa ditemukan sebagian besar di negara-negara tropis dan tersedia
dengan harga yang kompetitif. Pada tahun 2002, sebanyak 65% produksi bungkil
kelapa di dunia dihasilkan dari Indonesia dan Filiphina (Sundu dan Dingle, 2005).
Ekspor bungkil kelapa merupakan urutan kedua ekspor hasil turunan buah kelapa,
yaitu sekitar 56.884 ton (APCC, 2005). Kandungan zat makanan bungkil kelapa dan
komposisi kimia bungkil kelapa dapat dilihat dalam Tabel 5 dan 6.
Tabel 5. Kandungan Zat Makanan Bungkil Kelapa Berdasarkan Bahan Kering
Komposisi
Mutu 1
Mutu 2
Air (%)
12
12
Protein Kasar (%)
18
16
Serat Kasar(%)
14
16
Abu(%)
7
9
Lemak Kasar(%)
12
15
BETN(%)
37
32
Sumber: SNI (1996)
20
Tabel 6. Komposisi Kimia Bungkil Kelapa
Komposisi Kimia Bungkil Kelapa
Albumin(%)
6,64
Globulin(%)
39,25
Glutelin(%)
15,27
Prolamin(%)
38,84
Asam Lemak Jenuh(%)
Asam Lemak Tak Jenuh(%)
Laurat (46-50), Palmintat (8-10), dan Stearat (2-3)
Oleat (5-7), Linoleat (1-2,5)
Selulosa
20,10
Hemiselulosa
25,77
Lignin
5,94
Sumber: Albumin, Globulin, Glutelin, Prolamin (Wibowo, 2010), Asam Lemak Jenuh, Asam Lemak
Tak Jenuh (Novarianto, 1994), Hemiselulosa, Selulosa, Lignin (Pangestu, 2005)
Konsentrat
Konsentrat merupakan bahan pakan tambahan yang diberikan untuk
melengkapi kekurangan nutrien yang didapat dari bahan pakan utama yaitu hijauan.
Konsentrat mempunyai kandungan energi, protein dan lemak yang relatif tinggi
dengan kandungan serat kasar yang rendah dibanding hijauan yang diberikan.
Pemberian ransum berupa kombinasi kedua bahan itu akan memberi peluang
terpenuhinya nutrien yang dibutuhkan. Konsentrat untuk domba umumnya disebut
pakan penguat atau bahan baku pakan yang memiliki kandungan serat kasar kurang
dari 18% dan mudah dicerna.
Bahan pakan penguat merupakan bahan pakan yang mempunyai kandungan
zat makanan tertentu dengan kandungan energi relatif tinggi. Serat kasar rendah dan
daya cerna relatif baik, mempunyai palatabilitas (rasa enak), dan aseptabilitas
(kemampuan ternak mengkonsumsi) yang lebih tinggi. Menurut Mulyono (2005),
tinggi rendahnya konsumsi pakan ternak ruminansia sangat dipengaruhi oleh faktor
eksternal (lingkungan) dan faktor internal (kondisi ternak itu sendiri), yang meliputi
suhu lingkungan, palatabilitas, selera, status fisiologis (umur, jenis kelamin, kondisi
tubuh), konsentrasi nutrisi, bentuk pakan, bobot badan dan produksi. Bahan pembuat
konsentrat dapat dari dedak, bekatul, bungkil dan biji-bijian yang digiling halus
21
(seperti jagung). Bahan pakan tersebut umumnya memiliki kandungan serat kasar
rendah sehingga mudah dicerna( Mulyono, 2005). Pakan dengan serat kasar rendah
mempunyai daya cerna bahan kering yang tinggi (Tillman et al., 1989). Kandungan
serat kasar yang tinggi pada suatu bahan pakan akan sukar dimanfaatkan oleh ternak.
Kecernaan nutrien pakan pada ternak ruminansia ditentukan oleh kecernaan serat
kasar pakan (faktor eksternal) dan aktifitas mikroba rumen (faktor internal), terutama
bakteri dan interaksi kedua faktor tersebut.
Teknik pemberian konsentrat disarankan jangan bersamaan dengan hijauan
karena pakan ini mempunyai daya cerna dan kandungan nutrisi yang berbeda dengan
hijauan (Mulyono, 2005). Apabila diberikan bersama-sama maka efektifitas
nutrisinya akan kurang. Menurut Febrina dan Liana (2008), penggunaan konsentrat
di daerah pedesaan masih 20% dari total pakan yang diberikan, kebanyakan peternak
masih menggunakan pakan hijauan sebagai pakan utamannya.
Kecernaan Pakan
Secara definisi daya cerna (digestibility) adalah bagian nutrien pakan yang
tidak diekskresikan dalam feses. Daya cerna didasarkan atas suatu asumsi bahwa
nutrien yang tidak terdapat di dalam feses adalah habis dicerna dan diabsorpsi.
Biasanya daya cerna dinyatakan dalam bahan kering dan apabila dinyatakan dalam
persentase disebut koefisien cerna. Suatu percobaan pencernaan dikerjakan dengan
mencatat jumlah pakan yang dikonsumsi dan feses yang dikeluarkan dalam suatu
hari (Tillman et al., 1989). Faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan adalah
komposisi pakan, faktor hewan, serta laju perjalanan melalui alat pencernaan.
Pencernaan pakan merupakan suatu rangkaian proses yang terjadi pada pakan
selama berada didalam saluran pencernaan sampai memungkinkan terjadinya suatu
penyerapan (Parakasi, 1999). Untuk penentuan kecernaan dari suatu pakan maka
harus diketahui terlebih dahulu dua hal yang penting yaitu; jumlah nutrien yang
terdapat dalam pakan dan jumlah nutrien yang dapat dicerna dan dapat diketahui bila
pakan telah mengalami proses pencernaan (Tillman et al., 1989).
Cheeke (2005) menyatakan bahwa pengukuran kecernaan atau nilai cerna
suatu bahan pakan adalah usaha menentukan jumlah nutrisi dari suatu bahan pakan
yang didegradasi dan diserap dalam saluran pencernaan. Daya cerna juga merupakan
22
presentasi nutrien yang diserap dalam saluran pencernaan yang hasilnya akan
diketahui dengan melihat selisih antara jumlah nutrisi yang dimakan dan jumlah
nutrien yang dikeluarkan dalam feses. Nutrien yang tidak terdapat dalam feses inilah
yang diasumsikan sebagai nilai yang dicerna dan diserap.
Penentuan kecernaan suatu pakan maka harus diketahui jumlah nutrien yang
terdapat di dalam pakan dan jumlah nutrien yang dicerna. Jumlah nutrien yang
terdapat di dalam pakan dapat dicari dengan analisis kimia, sedangkan jumlah
nutrien yang dicerna dapat dicari bila pakan telah mengalami proses pencernaan.
Untuk mengetahuinya, terlebih dahulu dilakukan analisis secara biologis yang
kemudian diikuti dengan analisis kimia untuk mengetahui nutrien yang terdapat di
dalam feses. Diketahuinya jumlah nutrien di dalam pakan dan jumlah nutrien di
dalam feses maka dapat diketahui jumlah nutrien tercerna dari pakan tersebut
(Tillman et al., 1989). Pakan yang mudah dicerna akan meningkatkan laju aliran
pakan, sehingga terjadi pengosongan perut yang menyebabkan ternak cepat lapar dan
konsumsi meningkat. Parakkasi (1999), menambahkan bahwa kecernaan yang
meningkat akan diiringi dengan peningkatan konsumsi.
Menurut Arora (1989), bahwa jenis pakan mempengaruhi degradasi protein
dalam rumen. Pakan yang mengandung protein yang cukup dapat meningkatkan
pertumbuhan mikroorganisma rumen yang akhirnya dapat meningkatkan laju
degradasi pakan tersebut. Kecernaan dapat dipengaruhi pula oleh tingkat pemberian
pakan, spesies hewan, kandungan lignin bahan pakan, defisiensi zat makanan,
pengolahan bahan pakan, pengaruh gabungan bahan pakan, dan gangguan saluran
pencernaan (Parakasi, 1999).
Kebutuhan Energi Ternak Domba
Energi dapat diartikan sebagai kemampuan untuk melalukan kerja dan
berbagai bentuk kegiatan (kimia, elektrik, radiasi, dan termal) dan dapat diubahubah. Hewan yang sedang tumbuh membutuhkan energi untuk pemeliharaan tumbuh
(hidup pokok), memenuhi kebutuhan akan energi mekanik untuk gerak otot dan
sintesa jaringan-jaringan baru (Tillman et al .,1989). Kebutuhan energi ini tergantung
dari proses fisiologis ternak. Parakkasi (1999) menyatakan bahwa kekurangan energi
merupakan masalah defisiensi nutrisi yang umum terjadi pada domba, yang dapat
23
disebabkan oleh kekurangan pakan atau karena pengkonsumsian pakan dengan
kualitas rendah.
Secara umum nutrisi yang paling membatasi dalam nutrisi ternak domba
adalah energi. Sumber utama energi adalah dari pastura (hijauan makanan ternak,
hutan, dan rumput atau tunas-tunas), hay, silase, pakan dari produk sampingan
(byproduct) dan biji-bijian. Pastura, hay, silase atau pakan dari produk sampingan
(byproduct) yang berkualitas bagus dapat digunakan sebagai makanan yang dapat
memenuhi kebutuhan energi ternak secara ekonomis. kebutuhan energi domba
sebagian besar dipenuhi oleh konsumsi dan pencernaan dari hijauan pasture, hay, dan
silase. Sumber energi menurut Parakkasi (1999) adalah karbohidrat, protein, dan
lemak.
Pada dasarnya kebutuhan energi ternak ialah kebutuhan energi untuk hidup
pokok dan untuk produksi. Menurut NRC (1985), kebutuhan energi ternak untuk
hidup pokok adalah jumlah energi dalam pakan yang harus dikonsumsi setiap hari
bukan untuk mendapat ataupun kehilangan energi tubuh, energi tersebut digunakan
untuk memelihara kelestarian hidup dan mempertahankan keutuhan alat-alat tubuh.
Kebutuhan untuk produksi adalah energi diatas kebutuhan hidup pokok yang
dimanfaatkan untuk proses-proses produksi yang antara lain meliputi pertumbuhan.
Defisiensi energi pada ternak yang sedang dalam fase pertumbuhan akan
menyebabkan penurunan laju peningkatan bobot badan, yang akhirnya akan
menghentikan pertumbuhan, bobot badan semakin menurun dan yang paling buruk
adalah dapat menyebabkan kematian (NRC, 1985). Ternak yang kekurangan energi
dalam pakannya akan mengurangi fungsi rumen dan menurunkan efisiensi
penggunaan protein serta menghambat pertumbuhan ternak (Esminger dan Parker,
1986 dikutip Martawidjaja et al., 1999). Pada penelitian yang dilakukan Prayitno et
al.,(2010) Kecernaan energi complete feed berbahan sorgum (63,03%) dan onggok
(63,07%) lebih tinggi dibanding complete feed berbahan dedak dan jagung (51,96
dan 57,70%). Perbandingan energi tinggi tersebut diberikan pada domba lokal jantan
lepas sapih. Hasil di atas lebih tinggi dari penelitian Pangestu (2005), kecernaan
bahan kering onggok dan bungkil kelapa yaitu 47,16% dan 44,88%, hasil tersebut
disebabkan karena pada penelitian ini menggunakan pakan tunggal.
24
MATERI DAN METODE
Waktu dan Lokasi
Penelitian ini dilaksanakan di Kandang B, Laboratorium Biologi Hewan,
Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Laboratorium Terpadu
Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor, Bogor. Pemeliharaan ternak percobaan dilakukan pada bulan
November 2010 sampai Februari 2011, selama pemeliharaan pemberian pakan
dilakukan dua kali sehari, pagi pada pukul 8.00 dan siang pada pukul 15.00 dan
analisa kecernaan feses dan pakan penelitian dilakukan pada bulan Maret 2011.
Materi
Alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain kandang domba
individu, tempat pakan dan minum, timbangan digital, timbangan pegas, ember,
plastik penampung feses, alumunium foil, dan alas penampung feses.
Ternak Percobaan
Ternak yang digunakan adalah 9 ekor domba lokal jantan lepas sapih umur
±2 bulan dengan berat badan awal rata-rata sebesar 9,11±3,03 kg, yang
dikandangkan secara individu.
Gambar 1. Bentuk Kandang Individu Domba yang Dipakai dalam Penelitian
25
Pakan
Ransum yang digunakan selama penelitian adalah ransum yang mengandung
kadar energi dan protein kasar sama yaitu 65-66% dan ±15-16% yang digunakan
untuk menjaga pertumbuhan serta memenuhi kebutuhan hidup pokok. Ransum yang
digunakan terdiri atas rumput lapang dan konsentrat dengan perbandingan 30 : 70
dan air diberikan secara ad libitum. Komposisi bahan pakan dan kandungan zat
makanan penelitian dapat dililat dalam Tabel 7 dan 8.
Tabel 7. Komposisi Bahan Pakan didalam Ransum Penelitian
Bahan Pakan
Rumput
Jagung
Onggok
Bk. Kelapa
CaCO3
Garam
Premix
R1
30,50
20,50
46,00
2,60
0,20
0,20
Ransum Penelitian (%BK)
R2
29,50
17,72
50,50
2,00
0,14
0,14
R3
30,10
8,77
8,23
51,60
1,00
0,16
0,14
Keterangan : R1 : Ransum dengan sumber energi jagung;
R2: Ransum dengan sumber energi onggok;
R3 : Ransum dengan sumber energi jagung dan onggok.
Tabel 8. Kandungan Zat Makanan Ransum Penelitian (Hijauan + Konsentrat)
Zat Makanan
Bahan Kering
Protein Kasar
Lemak Kasar
Serat Kasar
Beta-N
GE (kal/g)
TDN*
Abu
Ca
P
Perlakuan
R1
R2
R3
--------------------------- %BK-------------------------67,83
68,96
68,18
16,01
15,95
16,50
6,25
6,26
6,07
21,27
22,15
22,25
50,02
48,10
48,32
5231,41
5119,86
5257,08
65,37
65,52
66,16
6,45
7,54
6,86
1,65
1,72
1,71
0,42
0,42
0,44
Keterangan : Hasil Analisa Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, IPB (2010). *) Perhitungan TDN
berdasarkan Hartadi et al. (1997) R1 = jagung + bungkil kelapa, R2 = onggok + bungkil
kelapa, R3 = jagung + onggok + bungkil kelapa.
26
Metode
Prosedur
Pemeliharaan
Pemeliharaan domba dilakukan selama 3 bulan dalam kandang individu.
Sebelum digunakan, domba ditimbang terlebih dahulu. Domba ditimbang setiap 14
hari sekali untuk mengetahui perubahan bobot badannya. Pakan diberikan pada pagi
dan siang hari. Pemberian pakan pada saat adaptasi 2 % bobot badan, tetapi seiring
bertambahnya BB maka konsumsi ransum dinaikan sampai 5% bobot badan.
Perbandingan konsumsi hijauan : konsentrat yaitu 30 : 70, sedangkan air minum
diberikan secara ad libitum. Konsumsi pakan dan sisa pakan dihitung setiap hari.
Sisa ransum dihitung dari ransum yang tersisa dalam tempat pakan dan yang tercecer
di kandang.
Pengukuran Kecernaan Nutrien
Menurut McDonald et al. (2002), pengumpulan feses dilakukan selama lima
hari berturut-turut pada minggu terakhir pemeliharaan yang bertujuan untuk
mengetahui kandungan nutrien feses. Feses diambil selama 24 jam dimulai pada pagi
hari sampai keesokan pagi harinya. Feses yang baru keluar ditampung dalam plastik
yang sudah disediakan agar tidak tercampur dengan urin. Feses yang terkumpul
selama 24 jam ditimbang dengan timbangan digital sebagai bobot feses segar (awal),
kemudian sampel feses diambil 10% dari total feses segar yang terkumpul setiap
harinya dan dikeringkan matahari dan dimasukkan dalam oven 60ºC untuk
mendapatkan berat feses kering udara matahari, kemudian sampel dihaluskan dan
dikomposit berdasarkan masing-masing perlakuan dan ulangan. Sampel yang sudah
dikomposit selanjutnya dilakukan analisa proksimat untuk mengetahui kandungan
nutrien feses. Analisa proksimat sampel feses dan ransum dilakukan untuk melihat
kecernaan nutriennya.
Analisa Proksimat
Analisa Proksimat dilakukan untuk mengetahui kandungan nutrient dari
masing-masing bahan pakan dan feses, meliputi kadar air, kadar abu, protein kasar,
lemak kasar, dan serat kasar.
27
Gambar 2. Penjemuran Feses Domba Harian
Gambar 3. Pengumpulan Feses Domba Komposit
Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan
Acak Kelompok (RAK) dengan 3
perlakuan dan
3 ulangan. Pengelompokan
berdasarkan bobot badan kecil ( 6,42 ± 0,38 kg), sedang (8,25 ± 1,09 kg), dan besar (
12,67 ± 2,08 kg). Tiga perlakuan adalah R1 = ransum sumber energi jagung, R2 =
ransum sumber energi onggok, dan R3 = ransum kombinasi sumber energi jagung
dan onggok. Model matematik dari rancangan adalah sebagai berikut :
Xij = + i +βj + ij
Keterangan :
Xij `
= Nilai pengamatan pada perlakuan ke-i dan kelompok ke-j
= Rataan umum pengamatan
i
= Pengaruh pemberian ransum ke-i (i = 1, 2, 3)
βj
= Pengaruh kelompok ke-j (j = 1, 2, 3,)
ij
= Pengaruh galat ransum ke-i dan ulangan ke-j
28
Peubah yang diamati
Peubah yang diamati antara lain :
1. Konsumsi Nutrien
Konsumsi nutrien adalah jumlah pakan (g) yang dimakan oleh seekor domba
setiap hari. Konsumsi nutrien diperoleh dengan menghitung selisih antara pakan
yang diberikan dikurangi dengan sisa pakan. Konsumsi nutrien yang dihitung
yaitu konsumsi bahan kering, protein kasar, serat kasar, dan lemak kasar.
Konsumsi pakan (g) = pemberian (g) - sisa (g)
Konsumsi selama pemeliharaan (g/ekor)
Konsumsi pakan (g/ekor/hari) =
Lama penelitian
2. Kecernaan Nutrien
Kecernaan nutrien diperoleh dari selisih konsumsi nutrien dengan nutrien
feses dibagi konsumsi nutrien dikalikan seratus persen. Kecernaan nutrien yang
dihitung yaitu bahan kering, protein kasar, serat kasar dan lemak kasar.
KCBK = (konsumsi BK pakan – BK feses) x 100%
Konsumsi BK pakan
KCPK = (konsumsi PK pakan – PK feses) x 100%
Konsumsi PK pakan
KCSK = (konsumsi SK pakan – SK feses) x 100%
Konsumsi SK pakan
KCLK = (konsumsi LK pakan – LK feses) x 100%
Konsumsi LK pakan
Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisa ragam (Analysis of
Variance) dan bila terjadi perbedaan dilanjutkan dengan Uji Kontras Ortogonal
(Steel dan Torrie, 1993).
29
HASIL DAN PEMBAHASAN
Konsumsi Nutrien
Konsumsi pakan merupakan faktor penting untuk menentukan kebutuhan
hidup pokok dan produksi karena dengan mengetahui tingkat konsumsi pakan maka
dapat ditentukan kadar zat makanan dalam pakan untuk memenuhi hidup pokok dan
produksi (Parakkasi, 1999). Menurut Aregherore (2000), konsumsi merupakan faktor
yang penting dalam menentukan produktivitas ruminansia dan ukuran tubuh ternak.
Rataan konsumsi bahan kering, protein kasar, lemak kasar, dan serat kasar pada
domba lokal jantan yang mendapat ransum perlakuan dapat dilihat dalam Tabel 9.
Tabel 9. Rataan konsumsi bahan kering, protein kasar, lemak kasar, dan serat kasar
pada domba lokal jantan yang mendapat ransum sumber energi
berbeda(g/e/h)
R1
Perlakuan
R2
R3
809,25±230,55
697,11±207,40
790,42±378,52
129,59±36,92
111,19±33,08
130,44±62,46
50,59±14,41
43,66±12,99
47,95±22,96
172,16±49,05
154,43±45,95
175,89±84,23
Peubah
Konsumsi BK
(g/e/h)
Konsumsi PK
(g/e/h)
Konsumsi LK
(g/e/h)
Konsumsi SK
(g/e/h)
Keterangan: Rata-rata Konsumsi Bahan Kering Domba yang Diberi Sumber Energi Berbeda, R1 =
sumber energi jagung , R2 = sumber energi onggok, dan R3 = sumber energi jagung dan
onggok.
Konsumsi Bahan Kering
Konsumsi merupakan tolak ukur penilaian palatabilitas suatu bahan pakan.
Menurut NRC (1985), kebutuhan bahan kering normal pada ternak domba dengan
bobot badan 10-20 kg dan pertambahan bobot badan ± 133 g/h yaitu 500-1000 g/e/h.
Konsumsi bahan kering penelitian ini berkisar antara 697-809 g/e/h (Tabel 7). Hasil
tersebut sesuai dengan NRC (1985) dan Wahyuni (2008) yaitu berkisar antara 6821010 g/e/h, hal ini menunjukkan bahwa domba mampu mengkonsumsi pakan sesuai
kebutuhan.
30
Pemberian pakan sumber energi jagung, onggok, serta kombinasi jagung dan
onggok dalam ransum domba lokal jantan tidak berpengaruh terhadap konsumsi
bahan kering (p>0,05). Menurut Mulyono (2005), tinggi rendahnya konsumsi pakan
ternak ruminansia sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal (lingkungan) dan faktor
internal (kondisi ternak itu sendiri), yang meliputi suhu lingkungan, palatabilitas,
selera, status fisiologis (umur, jenis kelamin, kondisi tubuh), konsentrasi nutrisi,
bentuk pakan, bobot badan dan produksi.
Pada penelitian ini, pemberian pakan sumber energi jagung, onggok, serta
kombinasi jagung dan onggok dalam ransum tidak menyebabkan gangguan selera
makan bagi ternak domba, hal ini disebabkan oleh palatabilitas dari ransum
perlakuan hampir sama. Menurut Mulyono (2005), palatabilitas dicerminkan oleh
organoleptiknya seperti kenampakan, bau, rasa (hambar, asin, manis, pahit) dan
tekstur. Kondisi inilah yang menumbuhkan daya tarik dan merangsang ternak untuk
mengkonsumsinya. Pakan yang mudah dicerna akan meningkatkan laju aliran pakan,
sehingga terjadi pengosongan perut yang menyebabkan ternak cepat lapar dan
konsumsi meningkat. Parakkasi (1999), menambahkan bahwa kecernaan yang
meningkat akan diiringi dengan peningkatan konsumsi.
Konsumsi bahan kering juga dipengaruhi oleh kandungan serat kasar, pada
penelitian ini kandungan serat kasar berkisar antara 21,27 - 22,25 %. Kandungan
serat kasar yang hampir sama tersebut membuat konsumsi bahan kering tidak
berbeda nyata (Toha et al., 1999).
Konsumsi Protein Kasar
Rataan konsumsi protein kasar pada domba lokal jantan yang mendapat
ransum perlakuan dapat dilihat pada Tabel 9. Rataan persentase konsumsi protein
kasar yang tertinggi sampai terendah adalah domba yang mendapat perlakuan R3, R1
dan R2 dengan rata-rata 111, 129, dan 130 g/e/h. Menurut NRC (1985), domba
dengan bobot badan 10-20 kg membutuhkan protein kasar sebesar 127-167 g/e/h.
Adapun perbedaan konsumsi protein kasar dengan kebutuhan berdasarkan ketentuan
National Research Council yaitu terkait dengan genetik dari perbedaan jenis domba
yang digunakan antara domba lokal yang hidup di daerah tropis dengan domba luar
negeri yang hidup di daerah subtropis.
31
Protein merupakan salah satu zat makanan yang turut berperan dalam
pertumbuhan, oleh karena itu konsumsi protein dapat menggambarkan mutu ransum
yang diteliti dalam penelitian ini. Protein kasar merupakan salah satu bahan organik
yang terdapat dalam ransum, sehingga konsumsi protein kasar sangat ditentukan oleh
konsumsi bahan kering serta kadar protein kasar dalam ransum. Kadar protein kasar
dalam ransum yang tinggi dan disertai konsumsi bahan kering yang tinggi akan
menghasilkan konsumsi protein kasar yang tinggi pula.
Pemberian pakan sumber energi jagung, onggok, serta kombinasi jagung dan
onggok dalam ransum domba lokal jantan tidak berpengaruh terhadap konsumsi
protein kasar (p>0,05). Kandungan protein kasar pada R3 (16,50%) membuat
konsumsi protein kasar pada R3 menjadi lebih tinggi 130 g/e/h. Sebaliknya konsumsi
protein kasar terendah pada R2 (sumber energi onggok) yaitu 111 g/e/h, diikuti
dengan konsumsi bahan kering R2 yang rendah yaitu 697 g/e/h. Ini sesuai dengan
pendapat Okmal (1993), bahwa jumlah konsumsi akan dipengaruhi oleh palatabilitas,
komposisi kimia, jumlah pakan yang tersedia serta kualitas bahan pakan tersebut.
Kualitas ransum akan mempengaruhi besarnya protein yang dikonsumsi,
palatabilitas, kapasitas alat pencernaan serta kemampuan menggunakan zat-zat
makanan yang diserap merupakan faktor yang ikut menentukan tingkat konsumsi.
Ransum yang sama kandungan zat-zat makanannya belum tentu sama pengaruhnya
terhadap ternak karena dipengaruhi oleh kesukaan dan pencernaan masing-masing
ransum.
Konsumsi Serat Kasar
Rataan konsumsi serat kasar pada domba lokal jantan yang mendapat ransum
perlakuan dapat dilihat dalam Tabel 9. Rataan persentase konsumsi serat kasar yang
tertinggi sampai terendah adalah domba yang mendapat perlakuan R3, R1 dan R2
dengan rata-rata 176, 172, dan 154 g/e/h. Hasil diatas lebih tinggi dari penelitian
Anggreini (2007), yaitu berkisar antara 104-146 g/e/h.
Kandungan serat kasar dalam bahan pakan mampu mengurangi tingkat
kecernaan pakan dalam tubuh ternak. Semakin banyak serat kasar yang terdapat
dalam suatu bahan pakan maka semakin tebal dinding sel dan akibatnya semakin
rendah daya cerna dari bahan makanan (Tilman et al., 1989).
32
Pemberian pakan sumber energi jagung, onggok, serta kombinasi jagung dan
onggok dalam ransum domba lokal jantan tidak berpengaruh terhadap konsumsi serat
kasar (p>0,05). Tingginya tingkat konsumsi pakan dapat meningkatkan konsumsi
dari kandungan serat kasar yang terdapat dalam pakan tersebut. Kandungan serat
kasar yang tinggi mampu menjadi faktor yang dapat mempengaruhi daya cerna
pakan (Tilman et al., 1989).
Konsumsi Lemak Kasar
Lemak merupakan zat tidak larut air, bahan organik yang larut dalam pelarut
organik (Parakkasi, 1999). Lemak mempengaruhi palatabilitas suatu pakan oleh
karenanya mempengaruhi tingkat konsumsi pakan (Sutardi, 1980).
Rataan konsumsi lemak kasar pada domba lokal jantan yang mendapat
ransum perlakuan dapat dilihat dalam Tabel 9. Rataan persentase konsumsi lemak
kasar yang tertinggi sampai terendah adalah domba yang mendapat perlakuan R1, R3
dan R2 dengan rata-rata 51, 44, dan 48 g/e/h. Hasil diatas sesuai dengan penelitian
Anggreini (2007), yaitu berkisar antara 29-51 g/e/h.
Pemberian pakan sumber energi jagung, onggok, serta kombinasi jagung dan
onggok dalam ransum domba lokal jantan tidak berpengaruh terhadap konsumsi
lemak kasar (p>0,05). Tidak adanya perbedaan tersebut kemungkinan disebabkan
oleh kandungan lemak perlakuan yang hampir sama dan konsumsi bahan kering juga
tidak berbeda nyata. Konsumsi lemak kasar dapat dipengaruhi oleh komposisi kimia
pakan, yaitu kandungan asam lemak jenuh dalam perlakuan. Tingginya asam lemak
januh akan menurunkan konsumsi lemak kasar, hal tersebut dapat disebabkan pada
asam lemak jenuh mengalami proses oksidasi, karena pangan yang mengandung
lemak kemungkinan besar akan mengalami proses oksidasi. Penyebab oksidasi dapat
terjadi karena pemanasan, cahaya, dan hasil kerja enzim (Ketaren, 2000). Oksidasi
menyebabkan perubahan warna, rasa, dan aroma minyak, bahkan perubahan struktur
kimia. Gejala timbulnya ketengikan oleh proses oksidasi lemak dimulai timbulnya
flavour, flatness, oilness, kemudian perubahan rasa dan aroma, selanjutnya berubah
menjadi bau apek, dan tahap terakhir menjadi tengik, kerusakan vitamin larut lemak,
serta pembentukan senyawa yang bersifat toxic.
33
Kecernaan Nutrien
Kecernaan merupakan jumlah pakan yang diserap oleh tubuh hewan atau
jumlah pakan yang tidak diekskresikan dalam feses (McDonald et al., 2002).
Menurut Tillman et al., (1989) kecernaan adalah suatu bagian zat makanan yang
tidak diekskresikan melalui feses, dimana bagian lainnya diserap oleh tubuh ternak.
Rataan kecernaan bahan kering, protein kasar, lemak kasar, dan serat kasar dapat
dilihat dalam Tabel 10.
Tabel 10. Rataan kecernaan bahan kering, protein kasar, lemak kasar, dan serat kasar
pada domba lokal jantan yang mendapat ransum sumber energi
berbeda(%)
Perlakuan
Peubah
R1
R2
R3
Kecernaan BK(%)
71,59±6,65
65,20±11,29
69,88±3,74
Kecernaan PK(%)
75,72±2,84
72,55±6,97
77,69±3,16
Kecernaan LK(%)
85,57±10,85
87,48±2,67
88,80±6,52
Kecernaan SK(%)
67,54±6,93
65,89±11,55
74,25±4,50
Keterangan: Rata-rata Kecernaan Bahan Kering Domba yang Diberi Sumber Energi Berbeda, R1 =
sumber energi jagung , R2 = sumber energi onggok, dan R3 = sumber energi jagung dan
onggok.
Kecernaan Bahan Kering
Rataan persentase kecernaan bahan kering yang tertinggi sampai terendah
adalah domba yang mendapat perlakuan R1, R3 dan R2 dengan rata-rata 72% , 70%,
dan 65% (Tabel 10). Hasil kecernaan bahan kering diatas lebih tinggi dari penelitian
Rachmadi (2003), yaitu 42,7%, hal ini disebabkan kandungan nutrien ransum yang
diberikan berbeda.
Pemberian pakan sumber energi jagung, onggok, serta kombinasi jagung dan
onggok dalam ransum domba lokal jantan tidak berpengaruh (p>0,05) terhadap
kecernaan bahan kering. Menurut Tillman et al. (1989), faktor-faktor yang
mempengaruhi kecernaan adalah komposisi pakan, faktor hewan, serta laju
perjalanan melalui alat pencernaan.
Perlakuan yang tidak berpengaruh terhadap nilai kecernaan bahan kering juga
dapat disebabkan oleh kandungan protein pakan perlakuan yang hampir sama yaitu
34
R1 16,01%, R2 15,95%, dan R3 16,50%, sehingga aktifitas mikroba rumen juga
hampir sama. Menurut Arora (1989), bahwa jenis pakan mempengaruhi degradasi
protein dalam rumen. Pakan yang mengandung protein yang cukup dapat
meningkatkan
pertumbuhan
mikroorganisma
rumen
yang
akhirnya
dapat
meningkatkan laju degradasi pakan tersebut.
Kecernaan Protein Kasar
Rataan kecernaan protein kasar pada domba lokal jantan yang mendapat
ransum perlakuan dapat dilihat dalam Tabel 10. Rataan persentase kecernaan protein
kasar yang tertinggi sampai terendah adalah domba yang mendapat perlakuan R3, R1
dan R2 dengan rata-rata 78% , 76%, dan 73%.
Pemberian pakan sumber energi jagung, onggok, serta kombinasi jagung dan
onggok dalam ransum domba lokal jantan tidak berpengaruh (p>0,05) terhadap
kecernaan protein kasar. Sama halnya yang terjadi pada konsumsi bahan kering dan
kecernaan bahan kering, bahwa tidak adanya perbedaan yang nyata tersebut dapat
terjadi karena yang mempengaruhi tinggi rendahnya kecernaan protein adalah
komposisi kimia pakan (NRC, 1985). Komposisi kimia protein jagung terdiri dari
empat jenis yaitu albumin, globulin, glutelin, dan prolamin. Keempat jenis protein ini
berbeda kadar dan sifatnya satu sama lain. Kelarutan jenis protein albumin larut
dalam air dan larutan garam, protein globulin sedikit larut dalam air tetapi larut
dalam larutan garam, protein glutelin larut dalam asam/basa encer, dan protein
prolamin larut dalam 70 – 80 % etanol tetapi tidak larut dlm air dan etanol absolut
(Riawan, 1990).
Kandungan protein jagung 8,6% memiliki jenis protein prolamin dan glutelin
yang jumlahnya masing-masing 50-55% dan 30-45% dari total protein, sedangkan
albumin dan globulin yang jumlahnya masing-masing 1-8% dan 2-9% (Kent, 1983).
Kandungan protein bungkil kelapa 18%, memiliki jenis protein yang berbeda
persentasenya dibanding jagung, yaitu globulin 39,25%, albumin 6,64%, glutelin
15,27%, dan prolamin 38,84% (Wibowo, 2010), sedangkan kandungan protein
onggok 2,89%, memiliki jenis protein yang lebih rendah dibanding jagung dan
bungkil kelapa.
35
Pada kecernaan protein kasar domba lokal jantan lepas sapih, kelarutan jenis
protein tidak nyata mempengaruhi daya cerna pakan perlakuan, hal tersebut dapat
disebabkan protein mempunyai kemampuan untuk larut pada beberapa zat pelarut,
karena pada dasarnya bersifat amfoter, yaitu dapat bereaksi dengan larutan asam dan
basa. Daya larut protein berbeda di dalam air, asam, dan basa; ada yang mudah larut
dan ada yang sukar larut (Jalip, 2008).
Kecernaan protein kasar juga dipengaruhi oleh kandungan lignin dari bahan
pakan (Crampton dan Harris, 1969). Lignin merupakan polimer yang mengandung
protein yang sulit dicerna dan mengandung inti fenolat yang bersifat melindungi
serangan mikroba, sehingga dapat menurunkan kecernaan protein, namun kandungan
lignin yang sedikit pada onggok dan bungkil kelapa tidak nyata mempengaruhi
kecernaan protein kasar.
Kecernaan protein kasar tergantung pada kandungan protein dalam pakan
(Arora, 1989). Pakan yang mempunyai kandungan protein yang rendah umumnya
mempunyai kecernaan yang rendah pula dan sebaliknya. Kandungan protein kasar
penelitian ini berkisar antara 15,95-16,90%, hasil diatas lebih tinggi dari kisaran
minimal (13%) kandungan protein pakan Sutardi et al. (1983) yang merupakan
kebutuhan minimal bagi aktifitas mikroba rumen. Parakasi (1999) menambahkan
bahwa semakin tinggi kandungan protein di dalam pakan, maka konsumsi protein
makin tinggi pula, yang selanjutnya akan berpengaruh pada nilai kecernaan bahan
pakan tersebut.
Kecernaan Serat Kasar
Rataan kecernaan serat kasar pada domba lokal jantan yang mendapat ransum
perlakuan dapat dilihat dalam Tabel 10. Serat kasar adalah penyusun utama dinding
sel tumbuhan dan merupakan fraksi karbohidrat yang telah dipisahkan dengan bahan
ekstrak tanpa nitrogen (BETN) yang tidak larut dalam basa dan asam encer setelah
pendidihan selama 30 menit. Serat kasar terdiri dari selulosa, hemiselulosa, dan
lignin yang sulit dicerna. Kandungan serat kasar yang tinggi pada suatu bahan pakan
akan sukar dimanfaatkan oleh ternak. Kecernaan nutrien pakan pada ternak
ruminansia ditentukan oleh kecernaan serat kasar pakan (faktor eksternal) dan
aktifitas mikroba rumen (faktor internal), terutama bakteri dan interaksi kedua faktor
tersebut (Tillman et al., 1989).
36
Rataan persentase kecernaan serat kasar yang tertinggi sampai terendah
adalah domba yang mendapat perlakuan R3, R1 dan R2 dengan rata-rata 74% , 67%,
dan 66%. Hasil diatas lebih tinggi dari penelitian Pangestu (2005), yaitu 57,25%. Hal
tersebut dapat disebabkan tingginya kandungan NDF dan ADF ransum perlakuan
yang banyak menggunakan rumput gajah. Tingginya kandungan NDF dapat
mengurangi kemampuan ternak mengkonsumsi pakan hijauan (Beauchemin, 1996),
sedangkan tingginya ADF dapat mengurangi kecernaan pakan.
Pemberian pakan sumber energi jagung, onggok, serta kombinasi jagung dan
onggok dalam ransum domba lokal jantan tidak berpengaruh (p>0,05) terhadap
kecernaan serat kasar. Besarnya kecernaan serat kasar salah satunya dipengaruhi oleh
konsumsi bahan kering ransum, dan komposisi kimia bahan pakan (Nurhajah, 2007).
Komposisi kimia onggok memiliki kandungan serat kasar 14,73% (FAO, 2005)
terdiri atas hemiselulosa 23,10% dan lignin 4,20% (Rokhmani, 2005). Hemiselulosa
mempunyai berat molekul lebih kecil dibandingkan selulosa dengan cabang rantai
pendek terdiri dari gula yang berbeda (Perez et al., 2002), sehingga mudah
dihidrolisis (Hendriks dan Zeeman, 2009), komposisi kimia jagung memiliki
kandungan serat kasar yang rendah, yaitu 3,02% (Suarni & Widowati, 2005), terdiri
atas hemiselulosa 41-46% (Glicksman, 1969), sedangkan komposisi kimia bungkil
kelapa memiliki kandungan serat kasar tinggi, yaitu 12%, terdiri atas hemiselulosa
25,77%, selulosa 22,10% dan lignin 5,94% (Burge dan Duensing, 1989).
Kandungan hemiselulosa yang tinggi dari masing-masing perlakuan membuat
hasil kecernaan serat kasar tidak berbeda nyata. Varrel dan Dehority (1989)
menambahkan bahwa pemberian pakan campuran (R3) akan menyediakan nutrisi
yang lengkap bagi bakteri rumen sehingga meningkatkan kecernaan.
Kecernaan Lemak Kasar
Rataan kecernaan lemak kasar pada domba lokal jantan yang mendapat
ransum perlakuan dapat dilihat dalam Tabel 10. Rataan persentase kecernaan lemak
kasar yang tertinggi sampai terendah adalah domba yang mendapat perlakuan R3, R2
dan R1 dengan rata-rata 89% , 87%, dan 86%. Hasil diatas sesuai dengan kisaran
kecernaan lemak kasar menurut Johnson (1991) yaitu 80-90%.
Lemak dan minyak merupakan senyawa trigliserida dari gliserol. Dalam
pembentukannya, trigliserida merupakan hasil proses kondensasi satu molekul
37
gliserol dan tiga molekul asam lemak (umumnya ketiga asam lemak tersebut
berbeda-beda), yang membentuk satu molekul trigliserida dan satu molekul air. Salah
satu indikator nilai nutrisi pakan adalah kecernaan lemak. Secara umum kemampuan
ternak ruminansia untuk menyerap lemak lebih besar daripada non-ruminansia.
Perlakuan memberikan pengaruh tidak berbeda nyata (p>0,05) terhadap
kecernaan lemak kasar. Tingginya daya cerna lemak kasar disebabkan oleh struktur
kimia lemak yang mudah dicerna (Wiseman, 1990). Menurut Suarni dan Widowati
(2007), jagung mengandung asam lemak tidak jenuh (26,9%) lebih besar
dibandingkan asam lemak jenuh (9,22%), Menurut Wibowo (2010), bungkil kelapa
mengandung asam lemak jenuh (21%) lebih besar dibandingkan asam lemak jenuh
(4,5%), sedangkan menurut Irawan (2002), onggok menghasilkan asam lemak jenuh
dan asam lemak tidak jenuh lebih rendah dibanding keduanya, hal tersebut
disebabkan karena onggok memiliki kandungan lemak lebih rendah (1,48%).
Hasil kecernaan lemak kasar yang tidak berbeda nyata pada masing-masing
perlakuan dapat disebabkan bahwa lemak yang diserap mengandung trigliserida
(lemak sederhana) sehingga mudah dicerna. Trigliserida banyak terpadat dalam
pakan mengandung konsentrat tinggi, sehingga menghasilkan kecernaan yang tinggi
pula. Kecernaan lemak kasar dapat dipengaruhi pula oleh konsumsi bahan kering
ransum perlakuan. Tingginya konsumsi bahan kering cenderung berbanding terbalik
dengan efisiensi kecernaan komponen lemak (Nursasih, 2005).
38
KESIMPULAN
Ransum dengan sumber energi onggok dapat menggantikan ransum dengan
sumber energi jagung dan tidak memberikan pengaruh terhadap kecernaan bahan
kering, lemak kasar, serat kasar dan protein kasar domba lokal jantan lepas sapih.
SARAN
Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan bahan pakan
mengandung sumber energi lain untuk memberikan hasil terbaik terhadap kecernaan
bahan kering, protein kasar, serat kasar, dan lemak kasar domba lokal jantan lepas
sapih.
39
ANALISIS KECERNAAN PAKAN DENGAN SUMBER
ENERGI BERBEDA PADA DOMBA LOKAL
JANTAN LEPAS SAPIH
SKRIPSI
ARDYA ARDITANIA SUCI
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
1
ANALISIS KECERNAAN PAKAN DENGAN SUMBER
ENERGI BERBEDA PADA DOMBA LOKAL
JANTAN LEPAS SAPIH
SKRIPSI
ARDYA ARDITANIA SUCI
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
1
RINGKASAN
Ardya Arditania Suci. D24070262. 2011. Analisis Kecernaan Pakan Dengan
Sumber Energi Berdeda Pada Domba Lokal Jantan Lepas Sapih. Skripsi.
Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan. Fakultas Peternakan. Institut
Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Prof. Dr. Ir. Komang G. Wiryawan.
Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Rita Mutia, M.Agr.
Domba lokal jantan lepas sapih membutuhkan pakan berenergi tinggi untuk
menunjang kebutuhan hidup pokok dan produksi selama fase pertumbuhan. Pakan
berenergi tinggi bisa didapatkan dari bahan pakan jagung dan onggok, serta
kombinasi keduanya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji kecernaan pakan
dengan sumber energi berbeda (jagung, onggok, dan campuran onggok jagung) pada
domba lokal jantan lepas sapih fase pertumbuhan.
Penelitian ini dilaksanakan di Kandang B. Pemeliharaan ternak percobaan
dilakukan pada bulan November 2010 sampai Februari 2011 dan analisa kecernaan
dilakukan pada bulan Maret 2011. Ternak yang digunakan adalah 9 ekor domba lokal
jantan lepas sapih umur ±2 bulan dengan berat badan awal rata-rata sebesar
9,11±3,03 kg yang dikandangkan secara individu. Ransum yang digunakan selama
penelitian adalah ransum yang mengandung kadar energi dan protein sama yaitu 6566% Total Digestable Nutrient dan ±15-16% Protein kasar yang digunakan untuk
menjaga pertumbuhan serta memenuhi kebutuhan hidup pokok. Ransum yang
digunakan terdiri atas rumput lapang dan konsentrat dengan perbandingan 30 : 70
dan air diberikan secara ad libitum.
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan
Acak Kelompok (RAK) dengan 3 perlakuan dan 3 ulangan. Pengelompokan
berdasarkan bobot badan kecil ( 6,42 ± 0,38 kg), sedang (8,25 ± 1,09 kg), dan besar (
12,67 ± 2,08 kg). Tiga perlakuan adalah R1 = ransum sumber energi jagung, R2 =
ransum sumber energi onggok, dan R3 = ransum kombinasi sumber energi jagung
dan onggok. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisa ragam (Analysis of
Variance) dan bila terjadi perbedaan dilanjutkan dengan Uji Kontras Ortogonal.
Hasil analisis secara statistik pada kecernaan bahan kering, protein kasar,
serat kasar, dan lemak kasar tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (p>0,05).
Kecernaan bahan kering R1 = 71,59±6,65% , R2 = 65,20±11,29% , dan R3 =
69,88±3,74%. Kecernaan serat kasar berkisar dari 65,89±11,55% hingga
74,25±4,50%. Kecernaan lemak kasar R1 = 85,57±10,85% , R2 = 87,48±2,67% ,
dan R3 = 88,80±6,52%. Kecernaan Protein kasar R1 = 75,72±2,84% , R2 =
72,55±6,97%, dan R3 = 77,69±3,16% .
Kesimpulan dari penelitian ini adalah ransum dengan sumber energi onggok
dapat menggantikan ransum dengan sumber energi jagung dan tidak memberikan
pengaruh terhadap kecernaan bahan kering, lemak kasar, serat kasar dan protein
kasar domba lokal jantan lepas sapih..
Kata-kata Kunci : domba, jagung, onggok, kecernaan
2
ABSTRACT
Analysis Digestibility of Feed With Different Carbohydrates In The Post
Weaning Local Male Sheep
Ardya, A. A., K. G. Wiryawan, and R. Mutia
The aim of this study was to assess digestibility of feed with different carbohydrates
(corn and cassava meal) in the post weaning local male sheep. The research was
conducted in stable B, PAU laboratory, Department of Nutrition and Feed
Technology, Faculty of Animal Science, Bogor Agricultural University. The
experiment was conducted from November 2010 until February 2011, and the
digestability analysis was carried out in March 2011. The animals used were nine
post weaning male local sheep aged ±2 months, with initial body weight of
9.11±3.03 kg. The experiment design used in this study was block design with three
treatments and three replications. The block was based on body weight of small (
6.42±0.38 kg), medium (8.25±1.09 kg), and large ( 12.67±2.08 kg). Three treatments
were R1 = energy source from corn meal, R2 = energy source from cassava meal,
and R3 = energy source from corn meal and cassava meal. The results showed that
R1, R2, R3 did not affect the digestibility of sheep.