Analisis Ketahanan Bakteriosin dari Lactobacillus plantarum 1A5, 1B1, 2B2, dan 2C12 pada pH Asam dalam Menghambat Aktivitas Bakteri Patogen

ABSTRACT
The Analysis of Bacteriocin Durability from Lactobacillus plantarum 1A5, 1B1,
2B2, and 2C12 on Acid pH to Inhibit the Activity of Pathogenic Bacteria
Kurniawan, F.A., I.I. Arief and Jakaria
Nowadays microbial researchers in Indonesia are having great attention on
Lactobacillus plantarum in producing plantaricin as a food biopreservative.
However, acidic condition is often a main consideration factor for preservative
material, especially for food with low pH condition. The aims of this research was to
study the bacteriocin durability produced by Lactobacillus plantarum as Indonesian
indigenous isolate (L. plantarum 1A5, 1B1, 2B2, and 2C12) in the acid condition and
also the antimicrobial activity to inhibit the pathogenic bacteria (Staphylococcus
aureus ATCC 25923, Bacillus cereus, Escherichia coli ATCC 25922, Salmonella
enterica ser. Typhimurium ATCC 14028, and Pseudomonas aeruginosa ATCC
27852). The pure plantaricin were obtained from purification steps, consisted of
partial purification using ammonium sulphate precipitation, dialysis, and purification
using chromatography cation exchange. The result showed that plantaricins were
still active to inhibit the activity of the pathogenic bacteria after the acid pH (4 and 5)
treatment. There was no difference (P>0,05) in the inhibition zone diameter was
recorded, except for E. coli ATCC 25922 on the pH 4 treatment. Plantaricin 2C12
showed the highest antimicrobial activity againts the P. aeruginosa ATCC 27853. In
conclusion, the broad of inhibition spectrum and have the durability on the acid pH,

indicated that plantaricin 1A5, 1B1, 2B2, and 2C12 had potential for application as a
biopreservative to control pathogens in foods.
Keywords: Lactobacillus plantarum, plantaricin, acid pH, antimicrobial activity

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bahan pangan manusia mengandung satu atau lebih mikroorganisme yang
hidup dan tumbuh di dalamnya, kecuali untuk beberapa pangan yang steril. Beberapa
dari mikroorganisme ini diinginkan oleh manusia berada dalam bahan pangan,
karena dapat dimanfaatkan sebagai bahan dalam memproduksi pangan yang
difermentasi secara alami. Mikroorganisme lain dapat menyebabkan kerusakan pada
bahan pangan dan menjadi penyebab penyakit akibat keracunan pangan tersebut.
Oleh karena itu, keberadaan mikroorganisme pada bahan pangan perlu untuk
dikontrol.
Preservasi merupakan kegiatan untuk mengawetkan produk pangan agar
terhindar dari pembusukan akibat cemaran mikroorganisme pembusuk dan patogen.
Pertumbuhan bakteri perusak makanan ini dapat dihambat dengan penggunaan bahan
kimia seperti boraks, nitrit, formalin, rhadomin, dan lain-lain sebagai bahan
pengawet makanan kimiawi. Bahan-bahan tersebut akan tetapi, dapat menimbulkan
alergi pada individu yang sensitif dan memiliki efek samping yang berpotensi

sebagai zat karsinogenik (seperti nitrosamine dari nitrit). Tantangan untuk
mengembangkan sistem pengawetan baru yang dapat mempertahankan kualitas dan
memperpanjang umur simpan bahan pangan mulai banyak berkembang, yaitu dengan
pengawet pangan alami (biopreservatif).
Salah satu metode pengawetan secara alami adalah dengan penambahan zat
antimikrob. Zat antimikrob alami yang termasuk Generally Recognize as Safe
(GRAS) banyak dihasilkan dari golongan bakteri asam laktat (BAL) yang banyak
ditemukan pada bahan pangan hasil ternak seperti susu, daging, dan juga dapat
tumbuh pada sayur-sayuran meskipun dalam jumlah yang terbatas. Bakteri asam
laktat (BAL) dapat menghasilkan produk metabolit seperti asam-asam organik,
hidrogen peroksida, dan bakteriosin yang memiliki sifat antimikrob. Salah satu jenis
BAL yang potensial dalam memproduksi zat antimikrob adalah Lactobacillus
plantarum yang bersifat homofermentatif.
Beberapa bakteri patogen dan pembusuk makanan seperti Bacillus cereus dan
Salmonella enterica ser. Typhimurium dapat bertahan hidup pada kondisi pH yang

1

rendah (asam). Hal ini merupakan salah satu alasan perlunya ditambahkan zat
antimikrob agar dapat memperpanjang umur simpan bahan pangan.

Aplikasi bakteriosin sebagai biopreservatif pada bahan pangan memiliki
keistimewaan antara lain dengan tidak merubah rasa dan tekstur produk pangan
tetapi dapat menghambat pertumbuhan mikroba patogen. Oleh karena itu bakteriosin
menjadi perhatian khusus sebagai biopreservatif yang potensial dan aman untuk
kesehatan. Akan tetapi faktor pH seringkali menjadi pertimbangan bagi bahan
pengawet yang akan digunakan pada bahan pangan, khususnya bagi pangan hasil
peternakan dengan kondisi pH rendah seperti daging sapi, ham, bakso, susu, butter,
keju, dan lain-lain. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui ketahanan bakteriosin
asal empat galur L. plantarum pada kondisi pH rendah (asam).
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis :
1. Karakteristik morfologis dari bakteri Lactobacillus plantarum 1A5, 1B1, 2B2, dan
2C12 serta kelima bakteri patogen melalui uji pewarnaan Gram.
2. Ketahanan bakteriosin asal empat galur Lactobacillus plantarum terhadap kondisi
pH asam dan aktivitas antimikrob yang dihasilkan dalam menghambat bakteri
patogen.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Lactobacillus plantarum
Bakteri L. plantarum termasuk bakteri dalam filum Firmicutes, Ordo
Lactobacillales, famili Lactobacillaceae, dan genus Lactobacillus. Lactobacillus
dicirikan dengan bentuk batang, umumnya dalam rantai-rantai pendek. Lactobacillus
merupakan bakteri Gram positif, tidak menghasilkan spora, anaerob fakultatif, dan
sering ditemukan dalam produk susu, serelia, produk daging, air, limbah, bir, anggur,
buah-buahan, dan sayur-mayur. Genus ini tumbuh baik atau optimum pada suhu 300
sampai 40 0C (Pelczar dan Chan, 2008).
Bakteri L. plantarum umumnya lebih tahan terhadap keadaan asam dan oleh
karena ketahanan tersebut, bakteri ini menjadi lebih banyak terdapat pada tahapan
terakhir dari fermentasi tipe asam laktat. Bakteri ini sering digunakan dalam
fermentasi susu, daging, dan sayuran. Ray (2004) menyatakan bahwa, bakteri L.
plantarum memproduksi bakteriosin yang dapat digunakan sebagai biopreservatif
pangan. Fermentasi dari L. plantarum merupakan tipe homofermentatif.

(a)

(b)

(c)


(d)

Gambar 1. Lactobacillus plantarum 1A5 (a), 1B1 (b), 2B2 (c), dan 2C12 (d)
Sumber : Firmansyah (2009)

Bakteri L. plantarum 1A5, 1B1, 2B2, dan 2C12 (Gambar 1) merupakan isolat
indigenus yang diisolasi dari daging sapi lokal Indonesia. Arief et al. (2007)
menyatakan bahwa suatu senyawa antimikrob diproduksi oleh bakteri asam laktat
yang diidentifikasi sebagai L. plantarum 1A5, 1B1, 2B2, dan 2C12. Senyawa
antimikrob tersebut dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen E. coli, S.
Typhimurium dan S. aureus. Senyawa antimikrob yang diproduksi oleh L. plantarum
ini mengandung bakteriosin yang disebut sebagai plantaricin. Penelitian sebelumnya
oleh Firmansyah (2009), menyatakan bahwa L. plantarum 1A5, 1B1, 2B2, dan 2C12

merupakan bakteri yang berbentuk batang, Gram positif, mesofilik, dan hasil uji
katalase yang dilakukan berupa katalase negatif.
Bakteriosin
Bakteriosin merupakan protein antimikrob yang dihasilkan oleh bakteri yang
dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan dari bakteri lain (Cleaveland et al.,

2001). Kusmiati dan Malik (2002) menyatakan bahwa, bakteriosin merupakan
senyawa protein yang diekskresikan oleh bakteri yang yang memiliki sifat
menghambat pertumbuhan bakteri lain terutama yang memiliki kekerabatan erat
secara filogenik. Senyawa ini mudah terdegradasi oleh enzim proteolitik dalam
pencernaan manusia dan hewan. Bakteriosin yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat
mudah diterima sebagai bahan tambahan dalam makanan baik oleh ahli kesehatan
maupun oleh konsumen karena bakteri ini secara alami berperan dalam proses
fermentasi makanan.
Bakteriosin diproduksi oleh beberapa strain bakteri termasuk bakteri asam laktat
(BAL). Substansi ini disintesis oleh bakteri asam laktat yang berhubungan dengan
asam organik. Bakteriosin bersifat mudah dicerna, berpengaruh positif terhadap
kesehatan, dan aktif pada konsentrasi rendah (Cleaveland et al., 2001). Ogunbanwo
et al. (2003) menyatakan bahwa, bakteriosin yang dihasilkan oleh suatu organisme
tidak akan memiliki efek penghambatan bagi organisme itu sendiri.
Plantaricin merupakan bakteriosin yang dihasilkan oleh bakteri L. plantarum
yang dapat menghambat dan membunuh bakteri patogen (Gong et al., 2010; AboAmer, 2007). Penelitian sebelumnya oleh Ayuningtyas (2012) menunujukan adanya
aktivitas antimikrob yang dilakukan oleh supernatan bebas sel netral asal empat galur
Lactobacillus plantarum yang diduga plantaricin terhadap bakteri indikator sebagai
uji antimikrob awal disajikan pada Tabel 1. Besarnya diameter zona hambat berkisar
antara 7,46 mm hingga 18,00 mm.


4

Tabel 1. Nilai Diameter Zona Hambat Supernatan Netral Asal Empat galur L.
plantarum terhadap Bakteri Indikator
Galur L. plantarum
1A5

Bakteri Indikator

1B1

2B2

2C12

------------------------------(mm)-----------------------Pseudomonas aeruginosa
ATCC 27853

16,86


13,37

13,50

10,32

Bacillus cereus

16,30

15,02

11,05

7,46

Staphylococcus aureus
ATCC 25923


17,72

16,21

15,01

10,46

Escherichia coli ATCC
25922

15,73

15,22

9,74

10,93

Salmonella enterica ser.

Typhimurium ATCC 14028

18,00

13,09

9,13

14,55

Keterangan: Diameter lubang sumur (5 mm) termasuk ke dalam diameter zona hambat.

Bakteri Patogen
Mikroorganisme pada bahan pangan dapat menyebabkan perubahan yang
menguntungkan dan diinginkan seperti perbaikan bahan pangan secara gizi, daya
cerna, maupun daya simpan. Pertumbuhan mikroorganisme dalam bahan pangan juga
dapat berakibat pada perubahan fisik dan kimia yang tidak diinginkan sehingga
bahan pangan tersebut menjadi tidak layak untuk dikonsumsi. Banyak jenis bakteri
yang mampu menjadi penyebab keracunan makanan. Menurut Ray (2004), bakteri di
sinyalir sebagai penyebab utama dari kerusakan pangan dan penyakit yang

disebabkan akibat keracunan pangan karena kemampuan mereka untuk dapat hidup
di berbagai tempat serta grafik pertumbuhan yang cepat, bahkan pada kondisi dimana
ragi dan kapang tidak dapat tumbuh.
Salmonella enterica ser.Typhimurium
Bakteri S. Typhimurium digolongkan ke dalam famili Enterobacteriaceae,
yang termasuk ke dalam golongan bakteri Gram negatif, berbentuk batang dan tidak
berspora. Bakteri ini bersifat motil, anaerob fakultatif, menghasilkan H2S,
menghasilkan asam hasil fermentasi glukosa, maltosa, manitol, dan sorbitol. Bakteri

5

ini juga mampu menggunakan sitrat sebagai sumber karbon, tetapi tidak dapat
memfermentasi salisin, sukrosa dan laktosa (Fardiaz, 1992).
Bakteri S. Typhimurium bersifat mesofilik, pertumbuhan optimum pada suhu
antara 35 dan 37 0C, tetapi umumnya suhu yang masih dapat diterima bakteri ini
sekitar adalah 5 sampai 46 0C. Bakteri ini dapat terbunuh oleh suhu pasteurisasi
dengan waktu tertentu serta sensitif pada pH rendah (4,5 atau lebih rendah). Jay
(2000) menyatakan bahwa, nilai pH minimum untuk pertumbuhan bakteri S.
Typhimurium adalah pH 4,05. Sel-sel S. Typhimurium tahan terhadap keadaan beku
dan panas kering untuk jangka waktu yang panjang, dan merupakan penyebab utama
kerusakan bahan pangan (Ray, 2004). Bakteri ini sangat sensitif terhadap suhu
pemasakan yang umum digunakan rumah tangga.
Bakteri dari jenis Salmonella merupakan bakteri penyebab infeksi. Jika
tertelan oleh manusia dan masuk ke dalam tubuh dapat menimbulkan gejala
salmonelosis. Gejala salmonelosis yang sering terjadi adalah gastroentritis. Selain
gastroentritis beberapa spesies salmonella juga dapat menimbulkan berbagai macam
penyakit, demam enterik, demam tifoid, dan demam paratifoid, serta infeksi lokal
(Fardiaz, 1992).
Staphylococcus aureus
Bakteri S. aureus merupakan bakteri Gram positif, berbentuk kokus dengan
diameter 0,5-1,5 mikrometer. Bakteri ini terdapat dalam bentuk tunggal,
berpasangan, dan secara khas membelah diri pada lebih dari satu bidang sehingga
membentuk gerombol yang tidak teratur (hidup berkelompok). Bakteri ini tumbuh
secara anaerobik fakultatif dan tumbuh lebih cepat serta lebih banyak dalam keadaan
aerobik. Metabolisme dengan respirasi dan fermentatif, serta memiliki suhu optimum
35-40 0C (Pelczar dan Chan, 2008). Menurut Ray (2004), S. aureus merupakan
bakteri yang non motil, mesofilik, dan sering dikaitkan dengan foodbourne disease.
Habitat utama dari bakteri ini adalah kulit manusia, hewan, dan unggas. Jay (2000)
menyatakan bahwa, nilai pH minimum untuk pertumbuhan bakteri S. aureus adalah
pH 4.
Bakteri S. aureus memiliki beberapa karakteristik yang menarik. Bakteri ini
hidup berkelompok menyerupai kumpulan anggur. Nama didapatkan karena koloni
yang berpigmen kuning (aureus=golden). Apabila dibandingkan dengan bakteri lain,

6

mereka hidup dengan baik pada kondisi dimana tekanan osmotik tinggi dan
kelembaban rendah. Ini menjelaskan bagaimana S. aureus (Gambar 2) dapat hidup
pada makanan dengan tekanan osmotik tinggi (seperti ham dan beberapa cured meats
lainnya) atau dalam pangan dengan kelembaban rendah yang dimana malah
menghambat pertumbuhan organisme lain (Tortora et al., 2006).

Gambar 2. Staphylococcus aureus
Sumber : Tortora et al. (2006)

Escherichia coli
Bakteri E. coli tergolong dalam famili Enterobacteriaceae dan termasuk
bakteri Gram negatif, berbentuk batang lurus dengan ukuran panjang 1,1-1,5 m x
2,0-6,0 m. Bakteri ini terdapat dalam bentuk tunggal atau berpasangan, bersifat
motil dengan flagelum peritrikus atau non motil. Tumbuh dengan mudah pada
medium nutrien sederhana (Pelczar dan Chan, 2008). Menurut Ray (2004), beberapa
strain dari Escherichia merupakan patogen bagi manusia dan hewan serta terlibat
dalam penyebab kerusakan bahan pangan. Jay (2000) menyatakan bahwa, nilai pH
minimum untuk pertumbuhan bakteri E. coli adalah pH 4.
Bakteri E. coli merupakan spesies bakteri yang seringkali ditemukan pada
saluran pencernaan manusia dan kemungkinan merupakan organisme yang paling
dikenal dalam dunia mikrobiologi. Tortora et al. (2006) menyatakan bahwa,
kehadiran E. coli dalam air ataupun pangan merupakan indikasi dari fecal
contamination atau disebut sebagai indikator sanitasi. Bakteri ini tidak selalu
patogen, akan tetapi dapat menjadi penyebab dari infeksi saluran urin, serta beberapa
strain memproduksi enterotoksin yang menyebabkan penyakit diare dan juga
penyakit keracunan makanan serius lainnya (Gambar 3).

7

Gambar 3. Escherichia coli
Sumber : Tortora et al. (2006)

Bacillus cereus
Bakteri B. cereus seringkali ditemukan sebagai saprofit pada tanah, air,
vegetasi,

udara,

dan

tempat

dimana

bakteri

ini

dapat

dengan

mudah

mengkontaminasi pangan, baik dari bahan mentah maupun pada saat proses
pengolahan berlangsung. Bakteri B. cereus dapat memproduksi endospora yang
membuatnya dapat tahan terhadap proses pasteurisasi dan banyak jenis desinfektan.
Bakteri ini juga membentuk enzym seperti lipase, protease, xylanase, serta enzym
lainnya (Torkar dan Bojana, 2003).
Ray (2004) menyatakan bahwa, B. cereus merupakan bakteri Gram positif
yang bersifat motil. Merupakan penyebab kerusakan dan keracunan bahan pangan
karena dapat memproduksi enzim ekstraselullar yang dapat menghidrolisis
karbohidrat, protein, dan lemak. Sel sensitif terhadap proses pasteurisasi dan spora
dapat bertahan pada perlakuan suhu tinggi seperti yang digunakan pada banyak cara
memasak bahan pangan. Bakteri ini bersifat aerobik, dan dapat memperbanyak diri
pada rentang suhu 4 sampai 50 0C dengan suhu optimum antara 35 sampai 40 0C
(mesofilik). Selain itu, bakteri ini dapat tumbuh pada pH lingkungan antara 4,9
sampai 9,3 serta aktivitas air (Aw) 0,95 dan diatasnya (Gambar 4).

Gambar 4. Bacillus cereus
Sumber : Tortora et al. (2006)

8

Pseudomonas aeruginosa
Bakteri Pseudomonas merupakan bakteri patogen bagi manusia. Bakteri ini
dapat menyebabkan infeksi pada manusia apabila sistem pertahanan tubuh inang
tersebut sedang melemah atau menurun. Tortora et al. (2006) menyatakan bahwa,
Pseudomonas merupakan bakteri Gram negatif, bersifat aerobik dan motil dengan
polar flagella. Menurut Pelczar dan Chan (2008), Pseudomonas merupakan bakteri
yang berupa sel tunggal (baik batang lurus atau melengkung namun tidak berbentuk
heliks), pada umumnya berukuran 0,5-1,0 m x 1,5-4 m. Bakteri ini motil dengan
flagelum polar, Gram negatif, katalase positif, metabolisme dengan respirasi dan
tidak pernah fermentatif. Jay (2000) menyatakan bahwa, nilai pH minimum untuk
pertumbuhan bakteri Pseudomonas adalah pH 5.
Salah satu spesies yang tergolong dalam genus Pseudomonas yaitu
Pseudomonas aeruginosa. Bakteri P. aeruginosa merupakan salah satu bakteri yang
dapat menyebabkan infeksi nosokomial. Infeksi nosokomial merupakan infeksi yang
diperoleh selama perawatan di rumah sakit (Tortora et al., 2006). Ray (2004) juga
menyatakan bahwa P.aeruginosa merupakan bakteri perusak pangan yang penting
karena dapat memetabolisme berbagai variasi dari karbohidrat, protein, dan lemak
dalam pangan.

9

MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi dan Laboratorium
Terpadu, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan,
Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan pada bulan April hingga Agustus
2011.
Materi
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah tabung reaksi, cawan
petri, timbangan, gelas ukur, pipet mikro, inkubator, refrigerator, alat centrifuge,
membran saring Sartorius diameter 0,22 µm, membran dialisis diameter 20,
kromatografi kolom terbuka (open column) Econo-Column Bio-Rad (Hata et al.,
2010). Alat-alat lain yang digunakan pada penelitian ini yaitu laminar air flow,
pemanas Bunsen, Ose, alumunium foil, kapas, pipet Pasteur, oven, pH-meter, jangka
sorong, autoclave, vortex, hot plate, tabung penampung eluent, mikroskop, kamera
digital, dan Spektrofotometer UV-Vis.
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain empat galur
bakteri asam laktat asal daging sapi (isolat indigenus) yaitu L. plantarum 1A5, 1B1,
2B2, dan 2C12 yang diperoleh dari penelitian sebelumnya oleh Arief et al. (2007).
Kode keempat galur ini diperoleh dari daging dengan masa penyimpanan berbeda
yaitu 12 jam (1) dan 34 jam (2), serta pasar berbeda lokasi pengambilan yaitu pasar
Anyar (A), pasar Cibeureum (B), dan pasar Ciampea (C); dan bakteri ke 1 (1), ke 2
(2), ke 4 (4), ke 5 (5), dan ke 12 (12). Bahan bahan lain yang digunakan antara lain
yaitu bakteri indikator (Escherichia coli ATCC 25922, Staphylococcus aureus
ATCC 25923, Bacillus cereus, Salmonella enterica ser. Typhimurium ATCC 14028,
dan Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853), media de Man Rogosa and Sharpe
agar (MRSa), de Man Rogosa and Sharpe broth (MRSb), Nutrien agar (Na), Buffer
Water Pepton (BWP), Mueller Hilton agar (MHa) untuk media konfrontasi
plantaricin dengan bakteri uji, yeast extract, larutan NaCl, larutan NaOH, larutan
HCl, garam ammonium sulfat, buffer potassium phospate (campuran KH2PO4 dan
K2HPO4 dengan konsentrasi tertentu), resin SP Sepharose – Fast Flow dan aquades.

Prosedur
Pemeriksaan Kemurnian Bakteri
Kultur starter yang telah yang telah diisolasi dari daging sapi pada penelitian
sebelumnya dikonfirmasi kembali untuk memastikan kemurniannya dengan cara
ditumbuhkan pada media de Man Rogosa Sharp agar (MRSa) dengan metode
striking plate dan diinkubasi pada suhu 37 °C selama 24 jam, kemudian diambil satu
koloni yang dianggap sebagai koloni bakteri asam laktat dan dimasukkan ke de Man
Rogosa Sharp broth (MRSb), kultur ini disebut kultur stok. Setiap kultur stok
dilakukan penyegaran pada media MRSb sebelum dilakukan pengujian. Sebanyak 1
ml kultur diinokulasikan ke dalam media MRSb. Kultur kemudian diinkubasi pada
suhu 37 °C selama 24 jam yang hasilnya disebut kultur kerja. Kultur kerja ini yang
digunakan untuk mengkonfirmasi bakteri uji. Uji yang dilakukan adalah uji
pewarnaan Gram.
Sampel bakteri dari koloni yang homogen dioleskan pada kaca objek
kemudian difiksasi panas. Olesan bakteri kemudian diteteskan dengan Kristal violet
selama satu menit, kemudian diratakan, dibilas dengan aquades dan dikering
udarakan. Setelah kering, olesan bakteri diteteskan iodium dan diratakan kembali,
kering udara selama dua menit, kemudian dibilas aquades dan ditiriskan. Preparat
dicuci dengan pemucat warna yaitu etanol 95% tetes demi tetes selama 30 detik,
kemudian dicuci segera dengan aquades dan ditiriskan. Setelah kering preparat
diteteskan minyak imersi dan diamati di bawah mikroskop untuk melihat bentuk dan
warna dinding sel setelah dilakukan pewarnaan. Bakteri yang termasuk dalam
kelompok Gram positif akan menunjukkan warna ungu atau biru keunguan,
sedangkan kelompok bakteri Gram negatif akan menunjukkan warna merah safranin
(Waluyo,

2008).

Beishir

(1991)

menyatakan

bahwa,

organisme

yang

mempertahankan kompleks warna kristal violet-iodium meskipun telah diberi larutan
pemucat sehingga berwarna ungu atau biru keunguan disebut bakteri Gram positif.
Sel yang berwarna merah karena kompleks warna kristal violet larut sewaktu
pemberian larutan pemucat dan kemudian mengambil zat warna kedua yang
berwarna merah disebut Gram negatif.

11

Purifikasi Plantaricin
Purifikasi Parsial dengan Menggunakan Presipitasi Amonium Sulfat. Sebanyak
500 liter media MRSB ditambah yeast ekstrak 3% dan NaCl 1% diinokulasikan
dengan 10% (v/v) kultur L. plantarum (masing-masing isolat), selanjutnya diinkubasi
pada suhu 37 oC selama 20 jam. Hasil pencampuran disimpan pada refrigerator suhu
4 oC selama 2 jam, lalu dilakukan sentrifugasi pada kecepatan 10.000 rpm selama 20
menit (suhu 4 oC). Setelah selesai, dilakukan penyaringan dengan menggunakan
membran saring Sartorius diameter 0,22 µm dan selanjutnya pH dari supernatan
bebas sel dinetralkan menjadi pH 6 dengan menggunakan 1 N NaOH. Semua tahapan
proses ini dilakukan pada suhu dingin (4 oC) (Todorov dan Dicks, 2005). Produksi
bakteriosin dilakukan dengan menggunakan media pertumbuhan MRSb yang
ditambah dengan yeast extract 3% dan NaCl 1% sebagai suplemen pertumbuhan bagi
kultur L. plantarum (Syahniar, 2009; Ogunbanwo et al., 2003). Penyaringan
menggunakan membran saring Sartorius diameter 0,22 µm bertujuan untuk
mendapatkan supernatan bebas sel. Supernatan antimikrob yang dihasilkan berada
pada kondisi asam sehingga, harus dinetralkan menjadi pH 6 dengan menggunakan 1
N NaOH. Hal ini dilakukan agar asam-asam organik termasuk asam laktat yang
terdapat di dalam supernatan antimikrob tidak menutupi aktivitas dari bakteriosin
saat menghambat bakteri indikator atau dengan kata lain dapat memaksimumkan
aktivitas antimikrob dari bakteriosin yang terbentuk dengan mengurangi ataupun
menghilangkan aktivitas antimikrob dari asam-asam organik selain bakteriosin
(Todorov dan Dicks, 2005; Abo-Amer, 2007). Wirahadikusumah (2008) menyatakan
bahwa, pH 6,02 merupakan titik dimana jumlah muatan positif dan negatif pada
molekul asam amino monokarboksilat sama. Keadaan pH tersebut disebut pH
isoelektrik.
Purifikasi parsial bakteriosin dilakukan pada supernatan bebas sel dari
masing-masing galur L. plantarum pada kondisi pH 6. Serbuk ammonium sulfat
ditambahkan sebanyak 80% secara bertahap (20, 40, 60, dan 80%) ke dalam
supernatan antimikrob yang telah disaring steril untuk menghasilkan endapan
protein, kemudian dihomogenkan secara perlahan pada suhu 4 oC selama 2 jam
(Todorov dan Dicks, 2008; Abo-Amer, 2007). Perhitungan padatan amonium sulfat
didasarkan pada Tabel 2.

12

Tabel 2. Penggunaan Padatan Ammonium Sulfat (% Penjenuhan)
Awal
%
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
55
60
65
70
75
80
85
90
95
100

20

25

10.6
7.9
5.3
2.6
0

13.4
10.8
8.1
5.4
2.7
0

30

16.4
13.7
10.9
8.2
5.5
2.7
0

35

19.4
16.6
13.9
11.2
8.3
5.6
2.8
0

40

45

50

55

60

65

70

75

Konsentrasi Akhir dari Padatan Amonium Sulfat (gram)
22.6 25.8 29.1 32.6 36.1 39.8 43.6 47.6
19.7 22.9 26.2 29.6 33.1 36.8 40.5 44.4
16.9 20.0 23.3 26.6 30.1 33.7 37.4 41.2
14.1 17.2 20.4 23.7 27.1 30.6 34.3 38.1
11.3 14.3 17.5 20.7 24.1 27.6 31.2 34.9
8.6
11.5 14.6 17.9 21.1 24.5 28.0 31.7
5.6
8.6 11.7 14.8 18.1 21.4 24.9 28.5
2.9
5.7
8.7 11.8 15.1 18.4 21.8 25.8
0
2.9
5.8
8.9 12.0 15.3 18.7 22.2
0
3.0
5.9
9.0 12.3 15.6 19.0
0
3.0
6.0
9.2 12.5 15.9
0
3.1
6.1
9.3 12.7
0
3.1
6.2
9.5
0
3.2
6.3
0
3.2
0

80

85

90

95

100

51.6
48.4
45.2
42.0
38.7
35.5
32.3
29.6
26.3
22.6
19.0
16.1
12.9
9.7
6.5
3.3
0

55.9
52.6
49.3
46.0
42.7
39.5
36.2
32.9
29.6
26.3
23.5
20.1
16.8
13.2
9.9
6.6
3.4
0

60.3
57.0
53.6
50.3
46.9
43.6
40.2
36.9
33.5
30.2
26.8
23.5
20.1
16.8
13.4
10.1
6.7
3.4
0

65.0
61.5
58.1
54.7
51.2
47.8
44.5
41.0
37.6
34.2
30.8
27.3
23.9
20.5
17.1
13.7
10.3
6.8
3.4
0

69.7
66.2
62.7
59.2
55.7
52.2
48.8
45.3
41.8
38.3
34.8
31.2
27.9
24.4
20.9
17.4
13.9
10.5
7.0
3.5
0

Sumber: http//www.science.smith.edu/departments/Biochem_353/Amsulfate.htm [5 Februari 2011]

Setelah itu supernatan dipindahkan ke tabung centrifuge lalu dilakukan
sentrifugasi 10.000 rpm selama 20 menit pada suhu 4 oC . Selanjutnya, supernatan
dibuang dan didapatkan presipitat bakteriosin. Presipitat bakteriosin dikoleksi pada
tabung reaksi. Pengecekan protein plantaricin hasil purifikasi diamati menggunakan
Spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 280 nm ( =280 nm). Tahap ini
merupakan salah satu cara pengendapan protein dengan memanfaatkan perbedaan
kelarutan. Wirahadikusumah (2008) menyatakan bahwa, pada umumnya molekul
protein mempunyai daya kelarutan minimum pada pH isoelektrik. Efek pengendapan
protein disebabkan oleh perubahan kecenderungan berdisosiasi gugus-gugus dalam
protein. Bila konsentrasi garam netral yang ditambahkan dinaikan terus, maka
kelarutan protein menjadi berkurang, dan sampai pada konsentrasi garam yang
sangat tinggi maka protein akan mengalami pengendapan. Hasil yang didapatkan
disebut sebagai presipitat bakteriosin.
Dialisis. Dialisis dilakukan dengan tujuan untuk (desalting) atau menghilangkan
garam ammonium sulfat yang masih bercampur dengan presipitat bakteriosin. Buffer

13

yang digunakan adalah buffer potassium phospate (campuran KH2PO4 dan K2HPO4
dengan konsentrasi tertentu) pH 6, dengan perbandingan 1: 1000 (1 bagian presipitat
dan 1000 bagian buffer). Dialisis dilakukan dengan menggunakan membran dialisis
diameter 20 pada buffer potassium phosphate selama 12 jam, dan dilakukan
penggantian buffer sebanyak 2 kali (jam ke-2 dan ke-4) pada suhu 4 oC . Setelah
selesai, didapatkan ekstrak kasar bakteriosin. Pengecekan protein dari ekstrak kasar
bakteriosin diamati menggunakan Spektrofotometer

UV-Vis pada panjang

gelombang 280 nm ( =280 nm).
Purifikasi dengan menggunakan Kromatografi Kation Exchange. Resin yang
digunakan adalah SP Sepharose - Fast Flow dengan kolom terbuka (open column)
Econo-Column Bio-Rad (Hata et al., 2010). Kolom terlebih dahulu diisi (dipacking)
dengan resin. Buffer yang digunakan adalah buffer potassium phospate pH 6,8.
Kolom dipasangkan pada penjepit bunsen kemudian buffer dituangkan ke
dalam kolom. Setelah itu buffer dibuang secara perlahan. Resin dimasukan secara
perlahan dengan menggunakan pipet Pasteur ke dalam kolom, dan dijaga supaya
tidak ada udara (gas) yang masuk ke dalam kolom. Selanjutnya resin akan menjadi
gel. Kemudian di atas resin diberikan buffer dan kolom disimpan pada suhu dingin
sampai siap untuk digunakan.
Plantaricin hasil dialisis dimasukan ke dalam kolom secara perlahan, dan di
bawah kolom diberikan tabung penampung eluent yang keluar dari kolom. Eluent
pertama adalah buffer, sedangkan yang berikutnya adalah sampel plantaricin murni.
Kecepatan alir yang diberikan adalah 0,8 ml/ menit. Setelah selesai, dilakukan
pencucian dengan buffer kembali dan ditampung untuk mengambil eluent yang
terikat pada gel (resin). Semua dilakukan di ruang dingin. Setelah selesai, dalam
beberapa tabung koleksi didapatkan eluent yang berisikan plantaricin murni.
Plantaricin murni disimpan pada suhu dingin (4 oC) dan selanjutnya siap untuk
dianalisis sifat dan karakteristiknya (Hata et al., 2010). Pengecekan protein
plantaricin murni hasil kromatografi kolom diamati menggunakan Spektrofotometer
UV-Vis pada panjang gelombang 280 nm ( =280 nm). Wirahadikusumah (2008)
menyatakan bahwa, pada kromatografi penukar ion, pemisahan asam amino dari
suatu campuran didasarkan pada perbedaan sifat asam-basa. Asam amino yang
bersifat kation akan mengusir sebagian ion NH3+ yang terikat dan mengikatkan

14

dirinya pada partikel resin yang mengandung gugus-gugus bermuatan. Dengan
menaikan pH larutan elusi secara bertingkat, maka asam amino yang telah terikat
pada resin tersebut akan bergerak turun dalam pipa kolom. Larutan yang keluar dari
bagian bawah pipa kolom ditampung fraksi demi fraksi.
Karakterisasi Plantaricin
Ketahanan Terhadap pH Asam. Uji ketahanan terhadap pH asam sangat penting
untuk mengetahui karakteristik aktivitas plantaricin sebagai antimikrob yang dapat
diaplikasikan pada berbagai kondisi penanganan dan pengolahan pangan. Plantaricin
murni hasil kromatografi kolom diuji ketahanannya terhadap berbagai nilai pH (4,5,
dan 6) dengan menambahkan HCl 1 N (yang telah disterilisasi dingin). Ketahanan
terhadap pH dilihat dengan menguji aktivitas antimikrob plantaricin murni hasil
perlakuan pH tersebut dengan metode difusi sumur. Jika terdapat zona hambat di
sekitar sumur pada cawan yang berisikan bakteri patogen dan pembusuk maka
plantaricin tersebut bersifat tahan terhadap pH tertentu (Hata et al., 2010).
Pengecekan

protein

plantaricin

hasil

perlakuan

pH

asam

menggunakan

Spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 280 nm ( =280 nm). Plantaricin
diperoleh dari plantaricin murni dengan nilai protein tertinggi yang dilihat dari
spektrum tertinggi.
Uji Antagonistik Plantaricin pada Mikroba Patogen dengan Metode Difusi
Sumur. Metode yang digunakan adalah metode difusi sumur (Savadogo et al.,
2004). Bakteri indikator (patogen dan pembusuk makanan) sebanyak 106 cfu/ml yang
berumur 24 jam diinokulasikan ke dalam cawan, selanjutnya dituangkan media
konfrontasi yaitu Mueller Hilton agar (MHa). Setelah agar mengeras dan dingin,
dibuat sumur pada cawan dengan diameter 5 mm menggunakan ujung pipet tetes.
Kedalam sumur dipipet 50 µl plantaricin murni, kemudian cawan disimpan
dalam refrigerator (suhu 7 0C) selama 2 jam untuk memberikan kesempatan
plantaricin berdifusi kedalam agar. Cawan setelah itu diinkubasi pada suhu 37 oC
selama 24 jam. Zona bening yang terbentuk di sekitar area sumur menandakan
bahwa plantaricin mampu menghambat bakteri indikator. Selanjutnya dilakukan
pengukuran diameter zona bening (mm).
Zona hambat yang terbentuk di sekitar sumur pada seluruh cawan diamati dan
diukur diameternya dengan menggunakan jangka sorong. Diameter dari masing15

masing zona hambat diukur sebanyak tiga kali di daerah yang berbeda yang
kemudian hasilnya dirata-ratakan. Setiap pengujian diulang sebanyak tiga kali dan
pada setiap ulangan dilakukan secara duplo. Zona bening maupun warna semu
menunjukkan bahwa bakteriosin berperan dalam membunuh maupun menghambat
aktivitas bakteri indikator. Sapatnekar et al. (2010) menyatakan bahwa, hasil dari uji
antagonistik adalah zona hambat (clear and distinct zone of inhibition) yang
menunjukkan bahwa terdapat aktivitas antimikrob yang melakukan penghambatan
terhadap bakteri indikator.
Pan et al. (2009) pada penelitian mengenai aktivitas antimikrob dari
Lactobacillus acidophilus NIT terhadap bakteri indikator patogen yaitu Escherichia
coli CCTCC AB 206316, Salmonella typhimurium CCTCC M 90030, Clostridium
histolyticum DSM 627, Bacteroides vulgatus DSM 1447, dan Clostridium difficile
DSM 1296; menggunakan metode difusi sumur untuk mengukur aktivitas
antimikrob. Kekuatan aktivitas antimikrob dikategorikan pada ukuran diameter zona
hambat: diameter zona hambat sama dengan diameter sumur atau zona hambat 0 mm
berarti tidak ada penghambatan (-), diameter diantara 0-3 mm berarti penghambatan
lemah (+), diameter diantara 3-6 mm berarti penghambatan sedang (++), dan
diameter lebih besar dari 6 mm berarti aktivitas penghambatan kuat (+++).
Nilai aktivitas penghambatan plantaricin juga ditampilkan dalam Activity
Unit (AU), dimana 1 AU merupakan luas daerah hambatan persatuan volum contoh
plantaricin yang diuji. Perhitungan aktivitas plantaricin dalam AU didapatkan
dengan persamaan Luas zona bening (mm2) dikurangi dengan luas sumur (mm2) lalu
dibagi dengan volume contoh plantaricin yang digunakan (ml) (Usmiati et al., 2009).
Aktivitas bakteriosin dalam Activity Unit dapat dihitung menggunakan persamaan
berikut :
Activity Unit (mm2/ml) = Lz-Ls
V
Keterangan :
Lz = Luas zona bening (mm2)
Ls = Luas sumur (mm2)
V = Volume contoh (ml)

16

Rancangan dan Analisis Data
Rancangan dan analisis data terdiri dari model rancangan percobaan
penelitian, metode statistik, perlakuan, peubah yang diamati, dan analisis data yang
digunakan pada penelitian ini. Rancangan dan analisis data yang digunakan
penelitian ini meliputi produksi plantaricin, ketahanan plantaricin terhadap pH asam,
dan uji antagonistik plantaricin terhadap kelima bakteri indikator.
Produksi Plantaricin
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL)
dengan ulangan sebanyak tiga kali. Faktor perlakuan adalah galur Lactobacillus
plantarum, dengan empat taraf perlakuan (1A5, 1B1, 2B2, dan 2C12). Analisis data
dilakukan secara deskriptif. Peubah yang diamati adalah nilai pH supernatan bebas

sel dan konsentrasi protein plantaricin hasil proses purifikasi. Model statistik
rancangan acak lengkap (RAL) dengan tiga kali ulangan berdasar pada Steel dan
Torrie (1995) adalah:
Yij = µ + Pi + €ij
keterangan:
Yij = nilai respon akibat pengaruh perlakuan pada taraf ke-i (i = perlakuan
empat jenis isolat L. plantarum yang berbeda) pada ulangan ke-j
µ

= nilai tengah umum

Pi

= pengaruh perlakuan galur L. plantarum pada taraf ke- i (galur 1A5, 1B1,
2B2, dan 2C12).

€ij

= pengaruh galat percobaan ke- i dan pada ulangan ke- j (1,2,3).

Ketahanan Plantaricin Terhadap pH Asam
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL)
dengan ulangan sebanyak tiga kali. Faktor perlakuan adalah galur Lactobacillus
plantarum, dengan empat taraf perlakuan (1A5, 1B1, 2B2, dan 2C12). Analisis data
dilakukan secara deskriptif.

Peubah yang diamati adalah konsentrasi protein

plantaricin hasil perlakuan pH asam (pH 4, 5, dan 6). Model statistik rancangan acak
lengkap (RAL) dengan tiga kali ulangan berdasar pada Steel dan Torrie (1995)
adalah:

17

Yij = µ + Pi + €ij
keterangan:
Yij = nilai respon akibat pengaruh perlakuan pada taraf ke-i (i = perlakuan
empat jenis isolat L. plantarum yang berbeda) pada ulangan ke-j
µ

= nilai tengah umum

Pi

= pengaruh perlakuan galur L. plantarum pada taraf ke- i (galur 1A5, 1B1,
2B2, dan 2C12).

€ij

= pengaruh galat percobaan ke- i dan pada ulangan ke- j (1,2,3).

Uji Antagonistik Plantaricin Terhadap Bakteri Indikator
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL)
pola faktorial dengan ulangan sebanyak tiga kali, faktor perlakuan A terdiri dari
empat taraf (L. plantarum 1A5, 1B1, 2B2, dan 2C12) dan faktor perlakuan B terdiri
dari 3 taraf (pH 4, 5, dan 6). Peubah yang diamati adalah nilai diameter zona hambat
hasil uji antagonistik plantaricin 1A5, 1B1, 2B2, dan 2C12 terhadap bakteri
indikator. Model statistika yang digunakan untuk rancangan acak lengkap (RAL)
pola faktorial 4 x 3 dengan tiga kali ulangan berdasar pada Steel dan Torrie (1995)
adalah:
Yijk = µ + Ai + Bj+ (AB)ij + €ijk
keterangan:
Yijk = nilai respon (diameter zona hambat) pada ulangan ke-k dari kombinasi
perlakuan pada taraf ke-i (i = perlakuan empat galur L. plantarum yang
berbeda) dan taraf perlakuan ke-j (j= perlakuan pH asam)
µ

= nilai tengah umum.

Ai

= pengaruh perlakuan A yaitu penggunaan L. plantarum pada taraf ke- i
(galur 1A5, 1B1, 2B2, dan 2C12).

Bj

= pengaruh perlakuan B yaitu perlakuan pH asam pada taraf ke- j (pH 4,
5, dan 6).

ABij = pengaruh interaksi faktor perlakuan A pada taraf ke- i dengan faktor
perlakuan B pada taraf ke- j
€ijk = pengaruh galat percobaan yang berasal dari faktor perlakuan A taraf
ke- i dan faktor perlakuan B taraf ke- j pada ulangan ke- k (1,2,3).
18

Data diameter zona hambat diuji asumsi, apabila hasil yang didapatkan
memenuhi uji asumsi maka data dianalisis dengan analisis ragam. Bila hasil yang
diperoleh nyata maka dilanjutkan dengan uji Tukey (Mattjik dan Sumertajaya, 2002).

19

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengujian Kemurnian Bakteri L. plantarum dan Patogen
Penelitian diawali dengan tahap persiapan dan pemurnian kembali dari
keempat kultur bakteri asam laktat (BAL) yaitu Lactobacillus plantarum 1B1, 2B2,
1A5, dan 2C12, serta kelima bakteri indikator yaitu Staphylococcus aureus ATCC
25923, Bacillus cereus, Escherichia coli ATCC 25922, Salmonella enterica ser.
Typhimurium ATCC 14028, dan Pseudomonas aeruginosa ATCC 27852. Pengujian
yang dilakukan adalah uji pewarnaan Gram. Menurut Waluyo (2008), pewarnaan
Gram merupakan salah satu pewarnaan differensial dan prosedur penting dalam
identifikasi bakteri. Pewarnaan Gram memilahkan bakteri menjadi 2 kelompok,
yakni bakteri Gram positif dan Gram negatif. Penyebab perbedaan pewarnaan Gram
dimungkinkan karena komposisi dinding sel bakteri Gram positif berbeda dengan
bakteri Gram negatif. Dinding sel yang lebih tebal pada bakteri Gram positif
menyusut oleh perlakuan alkohol karena terjadi dehidrasi, meyebabkan pori-pori
dinding sel menutup sehingga mencegah larutnya kompleks zat warna ungu kristaliodium pada langkah pemucatan. Sedangkan bakteri Gram negatif memiliki
kandungan lipid yang lebih tinggi pada dinding sel, dan lipid tersebut dapat larut
dalam alkohol dan aseton. Larutnya lipid oleh zat pemucat diduga memperbesar poripori dinding sel yang menyebabkan proses pemucatan pada dinding sel bakteri Gram
negatif berlangsung lebih cepat (Waluyo, 2008; Beishir, 1991).
Karakteristik morfologis dari keempat isolat bakteri L. plantarum yang
didapatkan adalah bakteri dengan bentuk batang, memiliki susunan tunggal ataupun
berkelompok membentuk susunan rantai. Ray (2004) menyatakan bahwa, bakteri L.
plantarum merupakan bakteri Gram positif dengan sel berbentuk batang, tunggal
ataupun rantai panjang dan pendek, fakultatif anaerob, dan banyak digunakan dalam
proses pengolahan pangan. Ini didukung oleh penelitian sebelumnya oleh
Firmansyah (2009) yang menyatakan bahwa, L. plantarum 1A5, 1B1, 2B2, dan
2C12 merupakan bakteri yang berbentuk batang, Gram positif, mesofilik, dan hasil
uji katalase yang dilakukan berupa katalase negatif. Dari hasil perwarnaan, keempat
bakteri ini menunjukkan warna biru keunguan yang dapat disimpulkan bahwa bakteri
asam laktat ini tergolong kedalam bakteri Gram positif (Gambar 5).

(a)

(b)

(c)

(d)

Gambar 5. Hasil Pewarnaan Gram dan Morfologi Bakteri Lactobacillus. plantarum :
L. plantarum 1A5 (a); L. plantarum 1B1 (b); L. plantarum 2B2 (c); dan
L. plantarum 2C12 (d)
Bakteri indikator yang digunakan pada penelitian ini merupakan bakteri yang
tergolong kedalam bakteri pembusuk makanan dan patogen bagi manusia. Kelompok
bakteri ini juga sering ditemukan di dalam pangan yang telah terkontaminasi.
Staphylococcus aureus dan Salmonella enterica ser. Typhimurium merupakan
bakteri yang perlu mendapat perhatian khusus sebagai cemaran mikroba pada daging
menurut Badan Standarisasi Nasional (2000).
Kelima bakteri indikator yang digunakan mewakili tipe bakteri Gram positif
dan Gram negatif untuk pengujian aktivitas antimikrob bakteriosin. Penggunaan
kedua tipe Gram bakteri bertujuan untuk mengetahui spektrum penghambatan dari
plantaricin yang dihasilkan oleh keempat galur L. plantarum. Karakteristik
morfologis secara mikroskopis dan hasil pewarnaan Gram dari kelima bakteri
indikator dapat dilihat secara lengkap pada Tabel 2. Bakteri indikator yang
didentifikasi sebagai bakteri Gram positif terdiri dari Staphylococcus aureus ATCC
25923 dan Bacillus cereus sedangkan bakteri indikator Gram negatif terdiri dari
Escherichia coli ATCC 25922, Salmonella enterica ser. Typhimurium ATCC 14028,
dan Pseudomonas aeruginosa ATCC 27852. Semua bakteri indikator memiliki

21

bentuk sel batang kecuali S. aureus ATCC 25923 yang memiliki bentuk kokus atau
bulat (Tabel 3).
Tabel 3. Morfologi dan Hasil Pewarnaan Gram Kelima Bakteri Indikator
Jenis

Hasil Foto Gram

Pewarnaan Gram Keterangan

Salmonella
enterica ser.
Typhimurium
ATCC 14028

Gram negatif

Batang, hasil
pewarnaan Gram
berwarna merah

Escherichia coli
ATCC 25922

Gram negatif

Batang, hasil
pewarnaan Gram
berwarna merah

Gram positif

Bulat, hasil
pewarnaan Gram
berwarna biru
keunguan

Bacillus cereus

Gram positif

Batang, hasil
pewarnaan Gram
berwarna biru
keunguan

Pseudomonas
aeruginosa
ATCC 27853

Gram negatif

Batang, hasil
pewarnaan Gram
berwarna merah

Staphylococcus
aureus ATCC
25923

22

Purifikasi Plantaricin
Nilai pH awal semua supernatan bebas sel dari keempat galur L. plantarum
berkisar 3,94±0,11 - 4,01±0,04. Nilai pH awal supernatan bebas sel untuk galur L.
plantarum 1A5 yang didapatkan adalah 4,01±0,04; L. plantarum 1B1 3,94±0,11; L.
plantarum 2B2 4,00±0,02; dan L. plantarum 2C12 3,98±0,01. Setelah proses
penetralan dilakukan, nilai pH supernatan bebas sel berkisar antara 5,87±0,12 –
6,17±0,31. Nilai pH awal yang rendah menunjukkan bahwa asam-asam organik telah
dibentuk oleh keempat galur L. plantarum yang termasuk kedalam bakteri asam
laktat (BAL).
Hasil kondisi asam yang mendekati nilai pH 4 pada pH awal, menunjukkan
L.plantarum cukup optimal dalam memproduksi bakteriosin. Todorov dan Dicks
(2005) menyatakan bahwa, produksi optimal bakteriosin dari L. plantarum terjadi
dalam fase pertumbuhan logaritmik awal, yang biasanya berada pada pH di atas 4,5.
Purifikasi plantaricin yang dilakukan terdiri dari tiga tahap pemurnian yaitu
purifikasi parsial bakteriosin dengan menggunakan ammonium sulfat, proses dialisis,
dan purifikasi dengan menggunakan Kromatogafi Kation Exchange. Semua tahap
pemurnian ini dilakukan agar mendapatkan nilai aktivitas antimikrob dari bakteriosin
yang lebih besar, serta tidak mendapat pengaruh lebih banyak oleh produk-produk
asam organik lain yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat (BAL) selain bakteriosin
(Abo-Amer, 2007; Todorov dan Dicks, 2005).
Pada saat proses purifikasi parsial dapat terlihat posisi dari endapan protein
berada di bagian atas atau melayang pada media supernatan bebas sel antimikrob.
Hal ini menunjukkan sifat protein presipitat bakteriosin yang hidrofobik. Hal ini
didukung oleh penelitian Abo-Amer (2007) yang menyebutkan bahwa, bakteriosin
yang dihasilkan oleh Lactobacillus plantarum AA135 memiliki sifat protein yang
hidrofobik. Cleveland et al. (2001) juga menyatakan bahwa, bakteriosin termasuk
nisin terdiri dari peptida kationik dan hidrofobik yang dapat membentuk pori pada
membran sel target. Nilai konsentrasi protein hasil purifikasi plantaricin dari
keempat galur L. plantarum diukur menggunakan Spektrofotometer UV-Vis dan
dapat dilihat secara lengkap pada Tabel 4.

23

Tabel 4. Nilai Konsentrasi Protein Plantaricin 1A5, 1B1, 2B2, dan 2C12 Hasil
Proses Purifikasi
Konsentrasi Protein (mg/ml)
Galur L. plantarum

Plantaricin
Murni

Presipitat
Bakteriosin

Ekstrak Kasar
Bakteriosin

1A5

24,08±0,5

56,65±0,79

44,41±4,95

1B1

24,61±1,96

71,20±0,90

18,01±0,66

2B2

15,62±2,79

44,59±4,86

7,53±0,14

2C12

3,41±1,57

0,96±0,13

13,52±0,53

Nilai konsentrasi protein hasil purifikasi yang didapatkan meningkat (Tabel
4), kecuali pada ekstrak kasar bakteriosin 2C12 yang mengalami penurunan sebesar
71,85 %. Penurunan nilai konsentrasi protein plantaricin 2C12 pada ekstrak kasar
bakteriosin diduga akibat kontribusi konsentrasi protein dari media yang digunakan
telah berkurang pada saat proses dialisis berlangsung . Nilai konsentrasi protein
plantaricin 2C12 murni meningkat dibandingkan dengan tiga plantaricin lainnya.
Peningkatan nilai konsentrasi protein diduga akibat perbedaan tipe plantaricin 2C12
yang bukan merupakan tipe plantaricin W seperti tiga plantaricin lainnya.
Noonpakdee et al. (2009) menyatakan bahwa, plantaricin W merupakan tipe
plantaricin yang terdiri dari dua peptida untuk dapat aktif yaitu Plwα dan Plwβ.
Karakterisasi Plantaricin
Perlakuan pH asam
Faktor pH seringkali menjadi pertimbangan bagi bahan pengawet yang akan
digunakan pada bahan pangan, khususnya bagi pangan hasil peternakan dengan
kondisi pH rendah seperti daging sapi, ham, bakso, susu, butter, keju, dan lain-lain
(Jay, 2000). Karakterisasi plantaricin perlu dilakukan untuk mengetahui ketahanan
bakteriosin asal empat galur L. plantarum pada kondisi pH rendah (asam). Perlakuan
pH asam dilakukan dengan cara menurunkan nilai pH plantaricin murni hingga
mencapai nilai pH 4 dan pH 5, menggunakan asam HCl 1 M. Pemeriksaan nilai pH
dengan menggunakan pH universal disebabkan sampel plantaricin yang digunakan
terbatas, serta bertujuan untuk

menjaga sterilitas plantaricin dari kontaminan-

24

kontaminan. Nilai konsentrasi protein plantaricin 1A5 meningkat sebesar 15,94 %
pada perlakuan pH 5 dan meningkat 8 % pada perlakuan pH 4. Plantaricin 2B2 juga
terlihat meningkat sebesar 120,72 % pada perlakuan pH 5 dan 77,82 % pada
perlakuan pH 4. Nilai konsentrasi protein plantaricin 1B1 mengalami penurunan
sebesar 29,04 % pada perlakuan pH 5 dan sebesar 28,76 % pada perlakuan pH 4.
Konsentrasi protein plantaricin 2C12 juga menurun sebesar 29,50 % pada perlakuan
pH 5 dan sebesar 18,05 % pada perlakuan pH 4. Penurunan nilai konsentrasi protein
plantaricin diduga akibat terjadinya proses hidrolisis protein akibat perlakuan asam
(Cowan dan Talaro, 2009). Nilai konsentrasi protein plantaricin setelah mendapatkan
perlakuan asam dapat dilihat secara lengkap pada Tabel 5.
Tabel 5. Nilai Konsentrasi Protein Plantaricin 1A5, 1B1, 2B2, dan 2C12 Hasil
Perlakuan Asam
Konsentrasi Protein (mg/ml)
Galur L. plantarum

Plantaricin
Murni

Perlakuan pH 4

Perlakuan pH 5

1A5

44,41±4,95

51,49±7,56

48,32±8,83

1B1

18,01±0,66

12,78±1,14

12,83±1,60

2B2

7,53±0,14

16,62±0,81

13,39±0,13

2C12

13,52±0,53

10,44±0,39

11,08±0,19

Aktivitas Penghambatan Plantaricin terhadap Staphylococcus aureus
ATCC 25923
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa besarnya zona hambat pada uji
antagonistik terhadap bakteri indikator S.aureus ATCC 25923 tidak berbeda nyata
(P>0,05), serta tidak ada interaksi diantara perlakuan. Nilai rataan diameter zona
hambat karena perlakuan pH yang berbeda yang didapatkan berkisar antara
9,12±1,20 - 10,38±1,40 mm, dan berkisar antara 8,91±1,53 - 11,56±1,55 mm karena
perlakuan plantaricin yang berbeda (Tabel 6).

25

Tabel 6. Nilai Diameter Zona Hambat Plantaricin 1A5, 1B1, 2B2, dan 2C12
terhadap S.aureus ATCC 25923
Galur L.
plantarum

Kontrol pH 6

Perlakuan pH 5

Perlakuan pH 4

Rata-rata

-------------------------------------(mm)---------------------------------------

1A5

10,27±1,29

9,24±1,04

9,16±0,49

9,56±0,94

1B1

9,57±1,26

8,74±1,53

8,41±1,80

8,91±1,53

2B2

9,71±1,45

8,98±1,82

9,17±1,89

9,29±1,72

2C12

11,96±1,58

12,99±2,45

9,74±0,62

11,56±1,55

Rata-rata

10,38±1,40

9,99±1,71

9,12±1,20

Keterangan: Masing-masing kolom yang sama menunjukkan tidak nyata (P>0,05)
*Diameter lubang sumur ± 5 mm (termasuk ke dalam zona hambat)

Jika dikategorikan sesuai dengan pendapat Pan et al. (2009), semua nilai
diameter zona hambat di atas 8 mm menunjukkan kekuatan aktivitas antimikrob
plantaricin termasuk kategori sedang, dan nilai diameter zona hambat di atas 11 mm
menunjukkan kekuatan aktivitas antimikrob kategori kuat yang diperlihatkan oleh
nilai rataan zona hambat plantaricin 2C12.
Nilai aktivitas penghambatan plantaricin terhadap bakteri indikator juga
ditampilkan dalam Activity Unit (AU), dimana 1 AU merupakan luas daerah
hambatan persatuan volum contoh plantaricin yang diuji (Usmiati et al., 2009).
Penurunan nilai rataan diameter zona hambat akibat perlakuan kondisi pH asam pada
S. aureus ATCC 25923 diikuti dengan penurunan nilai Activity Unit, kecuali pada
plantaricin 2C12 yang meningkat sebesar 23,40 % pada perlakuan pH 5. Rataan nilai
Activity Unit plantaricin terhadap bakteri indikator S. aureus ATCC 25923 dapat
dilihat secara lengkap pada Gambar 6.

26

Gambar 6. Diagram Hasil Uji Antagonistik terhadap Bakteri Indikator S. aureus
ATCC 25923 dalam Activity Unit (mm2/ml)
Aktivitas Penghambatan Plantaricin terhadap Bacillus cereus
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa besar zona hambat tidak
dipengaruhi (P>0,05) oleh perlakuan pH dan perlakuan plantaricin yang berbeda,
serta tidak ada interaksi di antara perlakuan. Nilai rataan diameter zona hambat yang
didapatkan pada uji antagonistik terhadap bakteri indikator B. cereus berkisar antara
8,62±0,57 - 9,26±0,67 mm karena perlakuan pH yang berbeda, dan berkisar antara
8,68±0,52 - 9,38±0,74 mm karena perlakuan plantaricin yang berbeda. Jika
dikategorikan sesuai dengan pendapat Pan et al. (2009), nilai rataan diameter zona
hambat di antara 8 mm hingga 11 mm menunjukkan kekuatan aktivitas antimikrob
dari plantaricin terhadap bakteri indikator B. cereus pada penelitian ini termasuk
kategori sedang (Tabel 7).
Aktivitas antimikrob plantaricin terhadap bakteri indikator S. aureus ATCC
25923 dan B. cereus menunjukkan bahwa plantaricin dapat menghambat bakteri
Gram positif. Cleveland et al. (2001) menyatakan bahwa, peptida atau protein
antimikrob yang diproduksi oleh bakteri disebut bakteriosin. Bakteriosin tersebut
disintesis di ribosom dan membunuh bakteri yang memiliki hubungan kekerabatan
dekat.

27

Tabel 7. Nilai Diameter Zona Hambat Plantaricin 1A5, 1B1, 2B2, dan 2C12
terhadap Bacillus cereus
Galur L.
plantarum

Kontrol pH 6

Perlakuan pH 5

Perlakuan pH 4

Rata-rata

--------------------------------------(mm)-------------------------------------

1A5

10,13±1,08

8,92±0,71

9,10±0,43

9,38±0,74

1B1

9,25±0,27

8,42±0,90

8,37±0,39

8,68±0,52

2B2

9,09±0,75

8,63±0,61

8,38±0,74

8,70±0,70

2C12

8,57±0,59

9,28±1,37

8,64±0,71

8,83±0,89

Rata-rata

9,26±0,67

8,81±0,90

8,62±0,57

Keterangan: Masing-masing kolom yang sama menunjukkan tidak nyata (P>0,05)
*Diameter lubang sumur ± 5 mm (termasuk ke dalam zona hambat)

Penelitian Enan et