Faktor-faktor yang Memengaruhi Migrasi Internal di Indonesia Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI MIGRASI
INTERNAL DI INDONESIA SEBELUM DAN SETELAH
OTONOMI DAERAH

DWINDA LARASATI WIDYAPUTRI

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Faktor-faktor yang
Memengaruhi Migrasi Internal di Indonesia Sebelum dan Setelah Otonomi
Daerah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2013
Dwinda Larasati Widyaputri
NIM H14090019

ABSTRAK
DWINDA LARASATI WIDYAPUTRI. Faktor-faktor yang Memengaruhi
Migrasi Internal di Indonesia Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah. Dibimbing
oleh YETI LIS PURNAMADEWI.
Migrasi merupakan fenomena yang terjadi akibat adanya disparitas antar
daerah. Banyak faktor yang mendorong seseorang untuk melakukan migrasi,
salah satunya karena perekonomian di daerah tersebut dan tersedianya lapangan
pekerjaan. Arus migrasi masuk di Indonesia cenderung terpusat pada daerahdaerah berpendapatan tinggi, padahal tingkat pengangguran di daerah tersebut
juga tinggi, seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, dan beberapa provinsi lainnya. Salah
satu upaya untuk mengurangi jumlah migrasi adalah dengan melakukan otonomi
daerah. Adanya otonomi daerah ini memberikan kesempatan bagi masing-masing
daerah untuk membangun daerahnya sendiri, sehingga diharapkan dapat
mengatasi disparitas antar daerah. Penelitian ini bertujuan menganalisis faktor

pendorong dan faktor penarik yang memengaruhi migrasi internal di Indonesia
sebelum dan setelah otonomi daerah. Metode yang digunakan adalah model
ekonometrika dengan data panel. Hasil estimasi model menunjukkan bahwa
variabel yang dianalisis yaitu PDRB per kapita, upah minimum, penduduk
tamatan pendidikan tinggi dan menengah berpengaruh positif terhadap migrasi.
Sementara itu jumlah pengangguran dan dummy otonomi daerah berpengaruh
negatif terhadap migrasi. Berdasarkan hasil estimasi model, adanya otonomi
daerah dapat mengurangi jumlah migrasi masuk.
Kata kunci : migrasi, PDRB per kapita, pengangguran, otonomi daerah, data panel
ABSTRACT
DWINDA LARASATI WIDYAPUTRI. The Factors Affecting Internal Migration
in Indonesia Before and After Regional Autonomy. Supervised by YETI LIS
PURNAMADEWI
Migration is a phenomenon that occurs due to regional disparities. Many of
the factors drive a person to do the migration, such as the economic growth in the
region and the availability of jobs. Migration flows in Indonesia tend to be
concentrated in high-income areas, while the unemployment rate is also high in
the area, such as DKI Jakarta, West Java, and some other provinces. One effort to
reduce the amount of migration is to perform regional autonomy. This regional
autonomy provides an opportunity for each region to build their own country,

which is expected to overcome regional disparities. This study aims to analyze the
factors that push and pull factors affecting internal migration in Indonesia before
and after the regional autonomy. The method used is the econometric model with
panel data. The estimation of the model showed that variables were analyzed,
namely GDP per capita, minimum wages, and population of secondary and higher
education graduates, positively influence migration. Meanwhile, unemployment
and dummy of regional autonomy negatively influence migration. Based on the
estimation of the model, regional autonomy can reduce the amount of migration.
Keywords : migration, GDP per capita, unemployment, regional autonomy, panel
data

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI MIGRASI
INTERNAL DI INDONESIA SEBELUM DAN SETELAH
OTONOMI DAERAH

DWINDA LARASATI WIDYAPUTRI

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi

pada
Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi : Faktor-faktor yang Memengaruhi Migrasi Internal di
Indonesia Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah
Nama
: Dwinda Larasati Widyaputri
NIM
: H14090019

Disetujui oleh

Dr. Yeti Lis Purnamadewi
Pembimbing


Diketahui oleh

Dr. Dedi Budiman Hakim
Ketua Departemen

Tanggal lulus :

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian ini adalah migrasi, dengan judul “Faktor-faktor yang Memengaruhi
Migrasi Internal di Indonesia Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah”. Skripsi ini
merupakan hasil karya penulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan
Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyadari bahwa dalam proses penyusunan skripsi ini terdapat
banyak kekurangan karena keterbatasan pengetahuan yang dimiliki. Namun pada
akhirnya, karya ilmiah ini berhasil penulis selesaikan atas bantuan dan dorongan
dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ungkapan
terimakasih kepada :

1. Dr. Ir. Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc, Agr selaku dosen pembimbing atas
saran dan bimbingan yang diberikan dalam penulisan karya ilmiah ini.
2. Dr. Alla Asmara, S.Pt, M.Si., selaku dosen penguji utama dan Laily Dwi
Arsyianti, M.Sc selaku penguji komisi pendidikan atas kritik dan masukan
yang positif dalam penyempurnaan penulisan.
3. Seluruh dosen dan staff Departemen Ilmu Ekonomi yang telah
memberikan ilmu serta bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan
karya ilmiah ini.
4. Ibunda tercinta, Enny Andrias atas doa dan dukungan yang selalu
diberikan kepada penulis. Serta kakak dan adik yang telah memberikan
semangat dalam penyelesaian karya ilmiah ini.
5. Sahabat seperjuangan, Farah Meiska, Andrian TS, Tiara Natalia dan Adini
atas dukungan serta saran dan kritik yang diberikan.
6. Sahabat sekaligus keluarga Dramaga Cantik, Niken Larasati, Listya
Purnamasari, Titiek Ujianti dan Ratu Sarah atas kebersamaan dan
dukungannya selama ini.
7. Sahabat tercinta, Perdana Kumara, Distia Auliandyni, Galuh Raga serta
teman-teman Ilmu Ekonomi 46 lainnya atas kebersamaan, dukungan dan
semangat yang selalu diberikan kepada penulis.
8. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan karya

ilmiah ini baik secara langsung maupun tidak langsung, yang tidak dapat
penulis sebutkan satu per satu.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2013

Dwinda Larasati Widyaputri

vi

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

TINJAUAN PUSTAKA
Definsi, Konsep, dan Model Migrasi
Konsep Otonomi Daerah dan Kaitannya dengan Migrasi
Model Pertumbuhan Ekonomi
Penelitian Terdahulu
Kerangka Pemikiran
Hipotesis
METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Metode Analisis
Perumusan Model
Pemilihan Model Data Panel
Uji Asumsi Model
Definisi Operasional Variabel
GAMBARAN UMUM
Kondisi Geografis dan Kependudukan Indonesia
Kondisi Migrasi Internal di Indonesia
Kondisi Perekonomian
Kondisi Angkatan Kerja
Kondisi Upah

HASIL DAN PEMBAHASAN
Perkembangan Migrasi Internal di Indonesia Sebelum dan Setelah
Otonomi Daerah
Faktor-faktor yang Memengaruhi Migrasi keluar
Faktor-faktor yang Memengaruhi Migrasi Masuk di Indonesia Sebelum
dan Setelah Otonomi Daerah
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

vii
vii
viii
1
1
5
8

8
9
9
9
13
15
20
21
23
23
23
24
25
26
27
28
29
29
31
32

33
36
39
39
44
47
51
51
52
52
55
62

vii

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15

Produk Domestik Regional Bruto dan Produk Domestik Regional Bruto Per
Kapita atas dasar harga konstan 2000 menurut provinsi 2009-2011
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) menurut provinsi, 2008-2012
Kerangka identifikasi autokorelasi
Jumlah kepadatan penduduk tiap provinsi (km2 )
Jumlah migran masuk seumur hidup dan migran keluar menurut pulau
tahun 1990-2005
Persentase migran seumur hidup menurut usia dan jenis kelamin
Produk Domestik Bruto (PDRB) Indonesia menurut lapangan usaha tahun
2009-2012
Penduduk usia 15 tahun ke atas menurut jenis kegiatan tahun 2010-2012
Pengangguran terbuka menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan
tahun 2010-2012
Jumlah migrasi masuk seumur hidup tahun 1990-2000
Jumlah migrasi masuk seumur hidup tahun 2005-2010
Persentase migran neto tahun 1990-2010
Hasil uji normalitas model faktor-faktor yang memengaruhi migrasi
Korelasi antar variabel model persamaan migrasi
Hasil estimasi model faktor-faktor yang memengaruhi migrasi masuk
sebelum dan setelah otonomi daerah

4
7
28
30
31
32
33
34
35
41
42
45
48
48
49

DAFTAR GAMBAR
1 Migrasi masuk seumur hidup beberapa provinsi di Indonesia
2 Persentase migran seumur hidup tahun 2010
3 Kurva fungsi produksi
4 Pertumbuhan populasi dalam model Solow
5 Dampak pertumbuhan populasi terhadap perekonomian
6 Kerangka pemikiran
7 Jumlah penduduk Indonesia
8 Upah nominal pekerja produksi/pelaksana menurut lapangan usaha tahun
2007, 2011-2012
9 Perkembangan rata-rata upah minimum seluruh provinsi Indonesia sebelum
otonomi daerah
10 Perkembangan rata-rata upah minimum seluruh provinsi Indonesia setelah
otonomi daerah
11 Tren persentase migran seumur hidup 1990-2010
10 Persentase migran keluar seumur hidup tahun 2010

2
3
16
18
19
22
29
36
37
38
39
46

viii

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7

Upah Minimum Nominal dan Riil Menurut Provinsi Tahun 2010-2012
Hasil Estimasi Model Pooled Least Square
Hasil Estimasi Model Fixed Effect
Hasil Estimasi Model Random Effect
Hasil Uji Chow dan Uji Hausman
Hasil Uji Normalitas dan Heteroskedastisitas
Cross Section Effect Model Migrasi

55
56
57
58
59
60
61

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perbedaan luas wilayah dan karakteristik masing-masing daerah di
Indonesia menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang tidak merata. Hal ini juga
tentunya dipengaruhi oleh faktor lain seperti potensi daerah, tenaga kerja,
ketersediaan sumberdaya dan lainnya. Pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi di
daerah lain biasanya menyebabkan terjadinya migrasi antar daerah. Migrasi
merupakan perpindahan seseorang dari suatu daerah ke daerah lain, baik dari desa
ke kota ataupun sebaliknya, secara permanen.
Meningkatnya arus migrasi penduduk ini tentunya dipengaruhi banyak hal,
seperti kondisi perekonomian di daerah tersebut, ketersediaan lapangan pekerjaan,
upah minimum regional, daya tarik kota, serta kehidupan yang lebih modern.
Tingginya jumlah migran yang masuk setiap tahunnya tentu menimbulkan
dampak tersendiri bagi suatu daerah seperti masalah kepadatan penduduk,
kemacetan, berkurangnya kesempatan mendapatkan pekerjaan dan masih banyak
dampak yang lainnya.
Seseorang dikatakan sebagai migran seumur hidup jika provinsi atau
kabupaten/kota tempat lahirnya berbeda dengan provinsi atau kabupaten/kota
tempat tinggal sekarang. Sementara itu, seseorang dikatakan sebagai migran risen
apabila provinsi atau kabupaten/kota tempat tinggal 5 tahun lalu berbeda dengan
provinsi atau kabupaten/kota tempat tinggal sekarang. (BPS, 2010)
Beberapa daerah di Indonesia menjadi tempat tujuan penduduk untuk
melakukan migrasi, seperti DKI Jakarta yang merupakan Ibukota, Provinsi Riau,
Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi Lampung yang memiliki jumlah migran masuk
paling besar. Jumlah migrasi ini juga terus mengalami peningkatan pada tahuntahun berikutnya. Gambar 1 menunjukkan arus migrasi masuk seumur hidup ke
beberapa provinsi di Indonesia. Apabila diurutkan maka provinsi yang memiliki
jumlah migran masuk terbesar adalah Jawa Barat, disusul kemudian DKI Jakarta,
Riau, Lampung, Kalimantan Timur, dan Sumatera Selatan. Keenam provinsi ini
memiliki jumlah migrasi masuk yang lebih besar apabila dibandingkan dengan
rata-rata migrasi masuk Indonesia. Tidak hanya itu, jumlah migran yang masuk ke
provinsi-provinsi tersebut juga melebihi jumlah migran yang keluar dari provinsiprovinsi tersebut. Berdasarkan data yang tersaji pada Gambar 1, di tahun 1971
jumlah migran masuk ke provinsi Riau dan Kalimantan Timur masih lebih rendah
dibandingkan jumlah migran masuk rata-rata Indonesia, namun setelah tahun
1980 jumlah migran masuk keenam provinsi ini terus melebihi jumlah migran
masuk rata-rata Indonesia hingga tahun 2010. Hal ini menunjukkan bahwa
keenam provinsi inilah yang menjadi tujuan utama penduduk melakukan migrasi.
Jumlah migrasi masuk sampai tahun 2010 paling banyak terdapat di Provinsi
Jawa Barat dan DKI Jakarta, namun apabila dilihat dari persentasenya, provinsi
dengan persentase migrasi masuk paling tinggi adalah DKI Jakarta, Kalimantan
Timur dan Lampung. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 2 yang menunjukkan
persentase migran seumur hidup terhadap jumlah penduduk masing-masing
provinsi pada tahun 2010. Provinsi-provinsi yang memiliki persentase migran
masuk seumur hidup paling tinggi adalah DKI Jakarta yaitu 42,5 persen,

2

Kalimantan Timur yaitu 36,8 persen, Riau yaitu 34,5 persen dan Banten yaitu 26
persen. Berdasarkan gambar, provinsi-provinsi ini memiliki jumlah persentase
migran masuk yang lebih besar daripada jumlah persentase migran keluar. Artinya
provinsi-provinsi tersebut memang menjadi tempat tujuan paling banyak untuk
bermigrasi. Sementara itu di provinsi-provinsi lainnya, seperti Provinsi Jawa
Tengah, Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan, persentase jumlah
migran keluar justru melebihi persentase migran masuk. Sehingga ada
kemungkinan bahwa tingginya persentase migrasi masuk di sejumlah provinsi
tertentu berasal dari provinsi-provinsi tersebut yang memiliki persentase jumlah
migrasi keluar paling tinggi.
6,000,000
5,000,000

Lampung

4,000,000

Riau

3,000,000

DKI Jakarta

2,000,000

Jawa Barat

Kalimantan Timur

1,000,000

Sumatera Selatan

0

Rata-rata Indonesia

1971

1980

1990

2000

2010

Tahun
Sumber : BPS, 2010 (diolah)

Gambar 1 Migrasi masuk seumur hidup beberapa provinsi di Indonesia
Menurut Todaro dan Smith (2006), pada awalnya para ekonom memandang
migrasi sebagai suatu hal yang positif dalam pembangunan. Migrasi internal
(migrasi antar daerah dalam satu negara) dianggap sebagai proses alamiah yang
akan menyalurkan surplus tenaga kerja di daerah-daerah perdesaan ke sektor
industri modern di kota-kota yang daya serapnya lebih tinggi. Proses ini
dipandang positif secara sosial, karena memungkinkan berlangsungnya suatu
pergeseran sumber daya manusia dari tempat-tempat yang produk marjinal
sosialnya nol ke lokasi lain yang produk marjinalnya tidak hanya positif tetapi
juga akan terus meningkat sehubungan dengan adanya akumulasi modal dan
kemajuan teknologi. Kenyataannya, tingkat migrasi di negara-negara berkembang
saat ini, seperti Indonesia salah satunya, telah jauh melampaui tingkat penciptaan
atau penambahan lapangan pekerjaan, sehingga migrasi yang saat ini berlangsung
sedemikian deras telah jauh melampaui daya serap sekor-sektor industri maupun
jasa-jasa pelayanan sosial yang ada di daerah-daerah perkotaan. Dengan demikian,
fenomena migrasi tidak bisa lagi dipandang sebagai suatu hal yang positif untuk
mengatasi permintaan tenaga kerja di daerah perkotaan. Sebaliknya, sekarang
migrasi justru menyebabkan surplus tenaga kerja di perkotaan secara berlebihan
sehingga memperburuk masalah pengangguran di daerah perkotaan.

3

Migrasi yang semula dianggap sebagai transfer tenaga kerja dari pedesaan
ke perkotaan atau dari suatu provinsi ke provinsi lainnya, justru berdampak pada
aspek lainnya seperti perekonomian dan masalah kependudukan. Tingginya
tingkat pertumbuhan jumlah penduduk di berbagai daerah salah satunya
disebabkan oleh migrasi, sehingga perlu adanya kebijakan untuk menekan laju
pertumbuhan penduduk dengan mengatasi jumlah migrasi yang berlebihan di
sejumlah provinsi.

Sumber : BPS (2010)

Gambar 2 Persentase migran seumur hidup tahun 2010
Tingginya arus migrasi yang masuk dipengaruhi oleh kondisi perekonomian
daerah. Fenomena ini tidak hanya terjadi pada daerah-daerah yang memiliki
pendapatan per kapita yang tinggi, tetapi juga pada daerah yang memiliki
pendapatan per kapita di bawah rata-rata Indonesia. Tabel 1 menunjukkan jumlah
PDRB di masing-masing provinsi di Indonesia. Berdasarkan data yang tersaji
pada tabel, provinsi dengan nilai PDRB tertinggi adalah DKI Jakarta yaitu sebesar
422 163 miliar rupiah pada tahun 2011, disusul kemudian provinsi Jawa Timur
dan Jawa Barat. Provinsi DKI Jakarta juga merupakan salah satu provinsi yang
memiliki PDRB per kapita tertinggi. Dengan kondisi demikian, maka jelaslah
bahwa Provinsi DKI Jakarta menjadi tempat tujuan utama penduduk melakukan
migrasi. Hal yang sama juga dialami oleh provinsi-provinsi lainnya seperti
Kalimantan Timur, Riau dan Kepulauan Riau. Provinsi-provinsi ini memiliki
jumlah PDRB per kapita yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan provinsiprovinsi lainnya, dengan PDRB yang meningkat setiap tahunnya dan jumlah
PDRB per kapita yang melebihi PDRB per kapita Indonesia, yaitu sebesar 10 219
ribu rupiah di tahun 2011. Sehingga jelas membuat provinsi-provinsi ini menjadi
tempat tujuan utama penduduk bermigrasi.

4

Tabel 1 Produk Domestik Regional Bruto dan Produk Domestik Regional Bruto
per kapita atas dasar harga konstan 2000 menurut provinsi, 2009-2011
PROVINSI

Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Kepulauan Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Kep. Bangka Belitung
Bengkulu
Lampung
DKI Jakarta
Jawa Barat
Banten
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Bali
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Gorontalo
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Barat
Sulawesi Tenggara
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Maluku
Maluku Utara
Papua
Papua Barat
INDONESIA
Sumber : BPS (2011)

PDRB ADHK 2000 (Miliar Rupiah)
2009
32 219
111 559
36 683
93 786
38 319
16 275
60 453
10 270
7 860
36 256
371 469
303 405
83 454
176 673
20 064
320 861
27 291
28 757
17 658
29 052
105 565
17 150
2 711
16 208
47 326
4 239
10 769
18 874
11 921
3 993
2 812
23 138
7 287

2010
33 118
118 641
38 860
97 707
41 076
17 471
63 858
10 879
8 336
38.378
395 634
322 224
88 526
186 995
21 044
342 281
28 881
30 300
18 804
30 674
110 887
18 377
2 917
17 626
51 200
4 744
11 650
20 070
12 544
4 251
3 036
22 407
9 366

2011
34 780
126 451
41 276
102 606
43 817
18 962
68 011
11 575
8 869
40 829
422 163
343 111
94 222
198 226
22 130
366 984
30 754
32 101
20 071
32 553
115 244
19 734
3 141
19 240
55 117
5 238
12 662
19 432
13 250
4 507
3 230
21 138
11 916

2 178 850

2 313 838

2 463 242

PDRB Per Kapita ADHK 2000 (Ribu
Rupiah)
2009
2010
2011
7 312
7 369
7 565
8 676
9 139
9 650
7 657
8 018
8 416
17 480
17 642
17 880
23 841
24 462
24 829
5 384
5 650
5 982
8 248
8 571
8 972
8 633
8 894
9 174
4 649
4 859
5 091
4 817
5 044
5 309
39 144
41 178
43 390
7 166
7 484
7 829
8 045
8 326
8 625
5 471
5 775
6 113
5 855
6 087
6 346
8 617
9 133
9 738
7 149
7 423
7 744
6 593
6 893
7 249
8 109
8 500
8 924
8 152
8 458
8 810
30 731
31 208
31 227
7 638
8 093
8 594
2 659
2 805
2 956
6 258
6 689
7 169
5 950
6 372
6 791
3 747
4 095
4 405
4 913
5 218
5 561
4 237
4 460
4 275
2 592
2 678
2 774
2 669
2 772
2 860
2 769
2 924
3 038
8 564
7 908
7 066
9 904
12 317
15 103
9 294

9 737

10 219

Provinsi yang menjadi tujuan bermigrasi tidak hanya provinsi-provinsi yang
maju saja. Apabila dilihat dari persentase jumlah migrasi masuknya, Provinsi
Lampung juga termasuk salah satu yang memiliki persentase yang tinggi, begitu
juga dengan Provinsi Jambi dan Kalimantan Tengah. Padahal provinsi-provinsi
tersebut memiliki PDRB per kapita yang berada di bawah PDRB per kapita
Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa tidak hanya provinsi maju saja yang
menjadi tujuan utama bermigrasi melainkan ada daya tarik lain dari setiap
provinsi yang membuat penduduk bermigrasi ke provinsi tersebut.
Pada tahun 2001, pemerintah membuat suatu kebijakan baru yaitu otonomi
daerah. Menurut UU No. 22 Tahun 1999 otonomi daerah adalah kewenangan
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan

5

perundang-undangan. Adanya otonomi daerah ini bertujuan agar masing-masing
daerah memiliki kewenangan untuk membangun daerahnya sendiri tanpa campur
tangan pemerintah. Selain itu pelaksanaan otonomi daerah sendiri bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan juga sebagai salah satu upaya
pemerataan pertumbuhan ekonomi di seluruh daerah. Hal ini sebenarnya dapat
memberikan kebebasan kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus
daerahnya sendiri.
Otonomi daerah akan memungkinkan lahirnya program-program baru
pemerintah yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan membuka lapangan
pekerjaan. Pelaksanaan otonomi daerah ini memberikan keuntungan sendiri bagi
suatu daerah dimana pertumbuhan ekonomi dapat ditingkatkan sehingga migrasi
keluar dapat dicegah. Pada hakekatnya, migrasi merupakan refleksi perbedaan
pertumbuhan ekonomi dan ketidakmerataan fasilitas pembangunan antara suatu
daerah dengan daerah lainnya.
Meningkatnya jumlah migran masuk ke beberapa provinsi di Indonesia,
tentunya dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satu tujuan seseorang melakukan
migrasi adalah untuk mendapatkan kesempatan kerja yang lebih baik. Apabila
migran yang masuk memiliki kualitas dan kapabilitas yang baik, hal ini dapat
menambah jumlah tenaga kerja yang produktif di provinsi tersebut. Dengan
produktivitas tenaga kerja yang meningkat tentunya akan membantu mendorong
pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan PDRB tidak hanya didukung oleh hasil alam
tetapi juga bagaimana pengolahan dan produktivitas tenaga kerjanya. Hal ini akan
membawa dampak yang positif bagi provinsi-provinsi yang `menjadi tempat
tujuan bermigrasi. Namun di sisi lain, meningkatnya jumlah penduduk juga dapat
mengurangi kesempatan kerja. Apabila pertumbuhan penduduk telah melampaui
ketersediaan lapangan pekerjaan, tentunya hal ini akan memperburuk masalah
pengangguran.
Perumusan Masalah
Migrasi merupakan fenomena perpindahan penduduk yang terjadi karena
adanya disparitas antar daerah. Jumlah migrasi yang semakin meningkat
menyebabkan masalah kepadatan penduduk bagi suatu daerah. Banyak faktor
yang mendorong seseorang untuk melakukan migrasi, salah satunya karena
pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut dan tersedianya lapangan pekerjaan.
Beberapa provinsi yang memiliki pendapatan per kapita tertinggi memang
menjadi tempat tujuan utama bermigrasi, seperti DKI Jakarta yang merupakan
peringkat pertama dengan pendapatan per kapita sebesar 43 390 ribu rupiah di
tahun 2011, kemudian Kalimantan Timur dengan peringkat ke dua yaitu
pendapatan per kapita sebesar 31 227 ribu rupiah, dan Kepulauan Riau yang
berada pada peringkat ke tiga dengan pendapatan per kapita sebesar 24 829 ribu
rupiah. Namun jumlah migrasi masuk yang terus meningkat juga dialami oleh
provinsi-provinsi lain yang pendapatan per kapitanya di bawah pendapatan per
kapita Indonesia, seperti Provinsi Lampung, Jambi, Sulawesi Tenggara, dan
Kalimantan Tengah. Apabila dilihat dari persentase jumlah migrasi masuk,
provinsi-provinsi ini memiliki persentase yang cukup tinggi. Padahal provinsiprovinsi ini memiliki pendapatan per kapita yang berada di bawah rata-rata

6

Indonesia. Provinsi Jambi memiliki persentase jumlah migrasi masuk sebesar 23,9
persen sementara pendapatan per kapita hanya 5 982 ribu rupiah. Provinsi
Kalimantan Tengah memiliki persentase jumlah migrasi masuk sebesar 23,8
persen sementara pendapatan per kapita juga masih berada dibawah rata-rata
Indonesia yaitu 8 924 ribu rupiah. Begitu juga dengan provinsi lainnya yang
memiliki pendapatan per kapita rendah namun tetap menjadi tempat tujuan
migrasi. Hal ini menunjukkan bahwa kemajuan suatu daerah bukanlah alasan
utama mengapa penduduk bermigrasi, melainkan ada faktor-faktor lainnya.
Apabila dilihat berdasarkan perkembangan migrasi masuk dari tahun ke
tahun, jumlah migrasi cenderung terus meningkat di beberapa daerah yang
merupakan daerah dengan pendapatan per kapita tertinggi. Setelah
diberlakukannya kebijakan desentralisasi yaitu otonomi daerah, seharusnya
masing-masing daerah dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi sehingga
jumlah migrasi keluar dapat ditekan. Namun ternyata beberapa daerah maju tetap
menjadi tujuan utama migrasi sementara daerah-daerah lain tetap ditinggalkan
penduduknya meskipun daerah tersebut sudah mengalami peningkatan ekonomi
melalui adanya otonomi daerah.
Meningkatnya jumlah migrasi tidak hanya menimbulkan masalah kepadatan
penduduk melainkan juga menimbulkan masalah pengangguran, karena penduduk
asli harus bersaing dengan penduduk migran untuk mendapatkan lapangan
pekerjaan. Berdasarkan data dari BPS, tingkat pengangguran terbuka (TPT)
beberapa provinsi di Indonesia memang mengalami penurunan, tetapi tingkat
pengangguran yang masih di atas rata-rata Indonesia tidak menghalangi niat
penduduk untuk bermigrasi ke daerah tersebut.
Tabel 2 menjelaskan besarnya tingkat pengangguran masing-masing
provinsi di Indonesia. Berdasarkan data dari BPS, provinsi yang memiliki tingkat
pengangguran paling tinggi adalah DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten dan
Kalimantan Timur. Apabila dilihat, daerah-daerah ini merupakan provinsi dengan
jumlah penduduk yang besar. Kalimantan Timur, DKI Jakarta, dan Jawa Barat,
meskipun merupakan provinsi dengan pertumbuhan PDRB yang tinggi dan
menjadi salah satu tempat tujuan untuk bermigrasi, namun masih memiliki tingkat
pengangguran yang tinggi.
Berdasarkan data yang tersaji dalam tabel, tingkat pengangguran terbuka di
Kalimantan Timur pada tahun 2012 sebesar 9.2 persen, sementara itu DKI Jakarta
dan Jawa Barat memiliki tingkat pengangguran terbuka sebesar 10.72 persen dan
9.8 persen, angka ini melebihi tingkat pengangguran terbuka Indonesia yaitu
sebesar 6.32 persen. Dari seluruh provinsi di Indonesia, provinsi yang memiliki
tingkat pengangguran terbuka paling tinggi adalah Provinsi DKI Jakarta, Jawa
Barat dan Banten, disusul kemudian Provinsi Kalimantan Timur dan Sulawesi
Utara. Tingkat pengangguran di beberapa provinsi ini memang mengalami
penurunan, tapi angka ini masih berada di atas tingkat pengangguran Indonesia
dan masih lebih tinggi apabila dibandingkan dengan provinsi lainnya secara
keseluruhan. Sementara itu jumlah migrasi yang masuk ke provinsi-provinsi
tersebut terus meningkat setiap tahunnya, walaupun tingkat pengangguran masih
tinggi.

7

Tabel 2 Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) menurut provinsi, 2008-2012
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)
Provinsi

2008

Aceh

2009

2010

2011

2012

9.56

8.71

8.37

7.43

7.88

Sumatera Utara

9.1

8.45

7.43

6.37

6.31

Sumatera Barat

8.04

7.97

6.95

6.45

6.25

Riau

8.20

8.56

8.72

5.32

5.17

Kepulauan Riau

8.01

8.11

6.90

7.80

5.87

Jambi

5.14

5.54

5.39

4.02

3.65

Sumatera Selatan

8.08

7.61

6.65

5.77

5.59

Kep. Bangka Belitung

5.99

6.14

5.63

3.61

2.78

Bengkulu

4.90

5.08

4.59

2.37

2.14

Lampung

7.15

6.62

5.57

5.78

5.12

DKI Jakarta

12.16

12.15

11.05

10.80

10.72

Jawa Barat

12.08

10.96

10.33

9.83

9.78

Banten

15.18

14.97

13.68

13.06

10.74

Jawa Tengah

15.18

14.97

6.21

5.93

5.88

DI Yogyakarta

5.38

6.00

5.69

3.97

4.09

Jawa Timur

6.42

5.08

4.25

4.16

4.13

Bali

3.31

3.13

3.06

2.32

2.11

Nusa Tenggara Barat

6.13

6.25

5.29

5.33

5.21

Nusa Tenggara Timur

3.73

3.97

3.34

2.69

2.39

Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah

5.41
4.59

5.44
4.62

4.62
4.14

3.88
2.55

3.36
2.71

Kalimantan Selatan

6.18

6.36

5.25

5.23

4.32

Kalimantan Timur

11.11

10.83

10.10

9.84

9.29

Sulawesi Utara

10.65

10.56

9.61

8.62

8.32

Gorontalo

5.65

5.89

5.16

4.26

4.81

Sulawesi Tengah

5.45

5.43

4.61

4.01

3.73

Sulawesi Selatan

9.04

8.90

8.37

6.56

6.46

Sulawesi Barat

4.57

4.51

3.25

2.82

2.07

Sulawesi Tenggara

5.73

4.74

4.61

3.06

3.10

10.67

10.57

9.97

7.38

7.11

Maluku Utara

6.48

6.76

6.03

5.55

5.31

Papua

4.39

4.08

3.55

3.94

2.90

Papua Barat

7.65

7.56

7.68

8.94

6.57

Indonesia

8.39

7.87

7.14

6.56

6.32

Maluku

Sumber : Statistik Indonesia (2012)

Jumlah PDRB yang tinggi mampu menarik minat penduduk untuk
bermigrasi, sehingga jumlah migrasi yang masuk meningkat setiap tahunnya.
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa kenaikan jumlah penduduk ini akan
berpengaruh pada tingkat pengangguran. Kondisi yang terjadi di beberapa
provinsi di Indonesia, meskipun jumlah PDRB meningkat setiap tahunnya dan

8

memiliki pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi, namun tingkat
penganggurannya masih cukup tinggi. Sebaliknya, provinsi yang memiliki tingkat
pengangguran rendah tapi memiliki PDRB yang juga rendah tetap menjadi tempat
tujuan migrasi. Jumlah migrasi ini cenderung meningkat dari tahun ke tahun pada
beberapa provinsi di Indonesia.
Salah satu upaya untuk menekan jumlah migrasi yang berlebihan di
beberapa daerah adalah dengan mengurangi disparitas antar daerah. Kebijakan
otonomi daerah di tahun 2001, memberikan kewenangan kepada masing-masing
daerah untuk membangun daerahnya sendiri, hal ini dilakukan sebagai upaya
pengembangan daerah yang lebih terfokus. Apabila pelaksanaan otonomi daerah
dapat berjalan dengan baik, maka pertumbuhan ekonomi masing-masing daerah
dapat berjalan dengan seimbang sehingga tidak ada kesesnjangan antara satu
daerah dengan daerah lainnya. Adanya otonomi daerah seharusnya dapat
dijadikan suatu langkah untuk mencegah penduduk meninggalkan daerah asalnya,
karena penduduk tidak perlu mencari kesejahteraan di tempat lain. Namun
ternyata setelah adanya otonomi daerah, arus migrasi tetap meningkat dan terpusat
pada daerah-daerah tertentu saja. Dengan demikian dapat dirumuskan suatu
masalah, yaitu :
1. Bagaimana perkembangan migrasi internal di Indonesia sebelum dan
setelah adanya otonomi daerah dan apa saja yang menjadi faktor
pendorong migrasi keluar?
2. Apa saja faktor-faktor yang memengaruhi migrasi masuk di Indonesia
sebelum dan setelah adanya otonomi daerah?

Tujuan
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah dibahas, tujuan
yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah
1. Mengkaji perkembangan migrasi internal di Indonesia sebelum dan setelah
adanya otonomi daerah dan menganalisis faktor pendorong migrasi keluar.
2. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi migrasi masuk di Indonesia
sebelum dan setelah adanya otonomi daerah.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik bagi penulis
maupun pihak-pihak lain yang terkait. Manfaat tersebut antara lain :
1. Bagi Pemerintah atau instansi pengambilan keputusan terkait, diharapkan
dapat memberi masukan dan bahan pertimbangan untuk perencanaan dan
pembangunan yang terkait dengan jumlah migrasi masuk yang cenderung
terpusat pada beberapa daerah serta masalah pengangguran di beberapa
provinsi di Indonesia.
2. Bagi pembaca diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan masukan
untuk penelitian selanjutnya.
3. Bagi penulis diharapkan dapat menjadi tempat untuk mengaplikasikan
ilmu pengetahuan dan menambah pengalaman.

9

Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini berkisar pada jumlah migrasi masuk dan keluar
di Indonesia pada saat sebelum dan setelah adanya otonomi daerah. Pelaksanaan
otonomi daerah ini kemudian akan dihubungkan dengan kondisi migrasi yang
terjadi di masing-masing provinsi. Jumlah provinsi yang digunakan sebagai objek
pengamatan adalah sebanyak 25 provinsi berdasarkan kelengkapan data yang ada.
Kurun waktu penelitian adalah tahun 1990, 1995, 2000, 2005 dan 2010 yang
dibagi dalam dua periode yaitu periode sebelum otonomi daerah, tahun 1990 dan
1995, serta periode setelah otonomi daerah yaitu tahun 2000, 2005 dan 2010.
Migrasi dipengaruhi oleh beberapa hal seperti pendapatan per kapita,
pengangguran dan tingkat upah. Hal tersebut dapat menjadi faktor pendorong
ataupun faktor penarik migrasi. Perkembangan migrasi dan faktor-faktor yang
memengaruhi migrasi keluar dianalisis secara deskriptif, sementara itu analisis
kuantitatif digunakan hanya untuk melihat faktor-faktor yang memengaruhi
migrasi masuk, karena data-data variabel yang digunakan terkait dengan faktor
yang dapat memengaruhi migrasi masuk. Hal ini juga untuk membuktikan apakah
variabel-variabel yang menjadi faktor penarik berdasarkan teori tersebut dapat
memengaruhi migrasi secara signifikan.

TINJAUAN PUSTAKA
Definisi, Konsep dan Model Migrasi
Migrasi dapat diartikan sebagai perpindahan penduduk dengan tujuan
menetap dari suatu daerah ke daerah lain. Menurut Rusli (1994), migrasi adalah
suatu gerak penduduk secara geografis, spasial atau territorial antara unit-unit
geografis yang melibatkan perubahan tempat tinggal yaitu dari tempat asal ke
tempat tujuan. Sedangkan definisi migrasi menurut Munir (2000) adalah
perpindahan penduduk dengan tujuan untuk menetap dari suatu tempat ke tempat
lain melampaui batas politik/negara ataupun batas administrasi/batas bagian
dalam suatu negara.
Menurut BPS (2010) migrasi dapat dikategorikan menjadi dua jenis, yaitu 1)
Migrasi Seumur Hidup dan 2) Migrasi Risen. Seseorang dikategorikan sebagai
migran seumur hidup jika provinsi atau kabupaten/kota tempat lahirnya berbeda
dengan provinsi atau kabupaten/kota tempat tinggal sekarang (pada waktu
sensus). Sedangkan, seseorang dikategorikan sebagai migran risen jika provinsi
atau kabupaten/kota tempat tinggal lima tahun yang lalu berbeda dengan provinsi
atau kabupaten/kota tempat tinggal sekarang (pada waktu sensus).
Migrasi merupakan bagian dari mobilitas penduduk. Mobilitas penduduk
adalah perpindahan penduduk dari suatu daerah ke daerah lain. Mobilitas
penduduk ada yang bersifat nonpermanen (sementara) misalnya turisme baik
nasional maupun internasional, dan ada pula mobilitas penduduk permanen
(menetap). Mobilitas penduduk horizontal atau geografis meliputi semua gerakan
(movement) penduduk yang melintasi batas wilayah tertentu dalam periode waktu
tertentu pula. Batas wilayah umumnya dipergunakan batas administrasi misalnya :
propinsi, kabupaten, kecamatan, kelurahan atau pedukuhan. Secara operasional,

10

migrasi dapat diukur berdasarkan konsep ruang dan waktu. Seseorang dapat
disebut sebagai seorang migran, apabila orang tersebut melintasi batas wilayah
administrasi dan lamanya bertempat tinggal di daerah tujuan minimal enam bulan
(Mantra, 1984).
Migrasi dapat dibedakan berdasarkan jangkauan kepindahannya, yaitu
migrasi lokal atau internal dan migrasi internasional.
1. Migrasi lokal
Migrasi lokal/nasional adalah perpindahan penduduk dari suatu daerah ke daerah
lain dalam satu negara. Bentuk-bentuk migrasi lokal dapat dibedakan, menjadi
berikut ini
a). Sirkulasi
Sirkulasi merupakan bentuk perpindahan penduduk tidak menetap, namun
ada juga yang menetap atau tinggal untuk sementara waktu di daerah tujuan.
Sirkulasi umumnya dilakukan oleh orang-orang yang bekerja di luar daerah
tempat tinggalnya sehingga kadang perlu menetap. Seseorang yang melakukan
sirkulasi harian disebut juga dengan commuter.
b). Urbanisasi
Urbanisasi adalah perpindahan penduduk dari desa ke kota dalam satu pulau.
Urbanisasi pada umumnya bersifat menetap, sehingga dapat memengaruhi jumlah
penduduk kota yang dituju ataupun jumlah penduduk di desa yang ditinggalkan.
c). Ruralisasi
Ruralisasi adalah kebalikan dari urbanisasi, yaitu perpindahan penduduk dari
kota ke desa. Ruralisasi pada umumnya banyak dilakukan oleh mereka yang dulu
pernah melakukan urbanisasi, namun banyak juga pelaku ruralisasi yang
merupakan orang kota asli.
d). Transmigrasi
Transmigrasi yaitu perpindahan penduduk dari daerah atau pulau yang padat
penduduknya ke daerah (pulau) yang berpenduduk jarang. Pelaku transmigrasi
disebut dengan transmigran.
2. Migrasi Internasional
Migrasi internasional adalah perpindahan penduduk antarnegara. Migrasi
internasional terjadi karena beberapa hal, antara lain, karena terjadi peperangan,
bencana alam, atau untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Migrasi
internasional dapat dibedakan menjadi dua, yaitu imigrasi dan emigrasi.
a). Imigrasi adalah masuknya penduduk dari luar negeri ke dalam negeri untuk
tujuan menetap. Pelaku imigrasi disebut dengan imigran.
b). Emigrasi yaitu perpindahan penduduk dari dalam negeri ke luar negeri untuk
tujuan menetap. Pelaku emigrasi disebut dengan emigran.
Menurut Lee (1966) migrasi dalam arti luas adalah perubahan tempat tinggal
secara permanen atau semi permanen. Disini tidak ada pembatasan, baik pada
jarak perpindahan maupun sifatnya, yaitu apakah perbedaan itu bersifat sukarela
atau terpaksa. Jadi migrasi adalah gerakan penduduk dari suatu tempat ke tempat
lain dengan niatan menetap di daerah tujuan.
Tanpa mempersoalkan jauh dekatnya perpindahan, mudah atau sulit, setiap
migrasi mempunyai tempat asal, tempat tujuan dan bermacam-macam rintangan
yang menghambat. Faktor jarak merupakan faktor yang selalu ada dari beberapa
faktor penghalang. Faktor-faktor migrasi antara lain :

11

1.
2.
3.
4.

Faktor-faktor yang terdapat di daerah asal
Faktor-faktor yang terdapat di daerah tujuan
Faktor penghalang antara
Faktor-faktor pribadi (individu)
Menurut Hardjosudarmo (1965) terjadinya migrasi disebabkan oleh tiga
faktor, yaitu:
1. Faktor pendorong (push factor) yang ada pada daerah asal, yakni adanya
pertambahan penduduk yang mengakibatkan timbulnya tekanan penduduk,
adanya kekeringan sumber alam, adanya fluktuasi iklim, dan
ketidaksesuaian diri dengan lingkungan.
2. Faktor penarik (pull factor) yang ada pada daerah tujuan, yakni adanya
sumber alam serta sumber mata pencaharian baru, adanya pendapatanpendapatan baru, dan iklim yang sangat baik.
3. Faktor lainnya (other factor), yakni adanya perubahan-perubahan
teknologi, seperti munculnya mekanisasi pertanian yang bisa
menyebabkan berkurangnya permintaan tenaga kerja untuk pertanian. Hal
ini memaksa buruh tani untuk pindah ke tempat atau pekerjaan lain. Selain
itu juga karena adanya perubahan pasar, faktor agama, politik, dan faktor
pribadi.
Menurut BPS (2010) ada beberapa hal yang menjadi faktor-faktor
pendorong dan faktor penarik untuk melakukan migrasi. Faktor pendorong
tersebut antara lain :
 Makin berkurangnya sumber-sumber kehidupan seperti menurunnya daya
dukung lingkungan, menurunnya permintaan atas barang-barang tertentu
yang bahan bakunya makin sulit diperoleh seperti hasil tambang, kayu,
atau bahan dari pertanian.
 Menyempitnya lapangan pekerjaan di tempat asal (misalnya tanah untuk
pertanian di wilayah perdesaan yang makin menyempit).
 Adanya tekanan-tekanan seperti politik, agama, dan suku, sehingga
mengganggu hak asasi penduduk di daerah asal.
 Alasan pendidikan, pekerjaan atau perkawinan.
 Bencana alam seperti banjir, kebakaran, gempa bumi, tsunami, musim
kemarau panjang atau adanya wabah penyakit.
Sementara itu yang menjadi faktor penarik, antara lain :
 Adanya harapan akan memperoleh kesempatan untuk memperbaiki taraf
hidup.
 Adanya kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik
 Keadaan lingkungan dan keadaan hidup yang menyenangkan, misalnya
iklim, perumahan, sekolah dan fasilitas-fasilitas publik lainnya.
 Adanya aktivitas-aktivitas di kota besar, tempat-tempat hiburan, pusat
kebudayaan sebagai daya tarik bagi orang-orang daerah lain untuk
bermukim di kota besar.
Perpindahan penduduk dari suatu provinsi ke provinsi lain didorong oleh
beberapa alasan. Kebanyakan penduduk melakukan migrasi untuk mencari
penghidupan yang lebih baik di daerah lain seperti mencari pekerjaan atau ingin
tinggal di tempat yang lebih modern. Sehingga jelas daerah yang menjadi tujuan
migrasi kebanyakan adalah daerah-daerah yang maju.

12

Ada beberapa teori yang menerangkan mengapa seseorang mengambil
keputusan melakukan mobilitas. Pertama, seseorang mengalami tekanan (stress),
baik ekonomi, sosial, maupun psikologi di tempat ia berada. Tiap-tiap individu
mempunyai kebutuhan yang berbeda-beda, sehingga suatu wilayah oleh seseorang
dinyatakan sebagai wilayah yang dapat memenuhi kebutuhannya, sedangkan
orang lain tidak. Kedua, terjadi perbedaan nilai kefaedahan wilayah antara tempat
yang satu dengan tempat lainnya. Apabila tempat yang satu dengan lainnya tidak
ada perbedaan nilai kefaedahan wilayah, tidak akan terjadi mobilitas penduduk.
Teori migrasi mula-mula diperkenalkan oleh Ravenstein (1885) dan
kemudian digunakan sebagai dasar kajian bagi peneliti lainnya (Lee, 1966;
Zelinsky, 1971 dalam Wirawan, 2006). Kedua peneliti mengatakan bahwa motif
utama yang menyebabkan seseorang melakukan migrasi adalah alasan ekonomi.
Mantra (1998) menyebutkan bahwa beberapa teori yang mengungkapkan
mengapa orang melakukan mobilitas, diantaranya adalah teori kebutuhan dan
stres. Setiap individu mempunyai beberapa macam kebutuhan ekonomi, sosial,
budaya, dan psikologis. Semakin besar kebutuhan tidak dapat terpenuhi, semakin
besar stres yang dialami. Apabila stres sudah melebihi batas, maka seseorang akan
berpindah ke tempat lain yang mempunyai nilai kefaedahan terhadap pemenuhan
kebutuhannya. Perkembangan teori migrasi demikian dikenal dengan model
stress-treshold atau place-utility.
Model Migrasi Todaro
Pembangunan ekonomi di negara-negara maju, salah satunya didukung oleh
perpindahan tenaga kerja dari pedesaan ke perkotaan. Banyaknya penduduk yang
melakukan migrasi karena sebagian besar perekonomian di pedesaan didominasi
oleh sektor pertanian, sementara itu perekonomian di daerah perkotaan terpusat
pada kegiatan industrialisasi. Oleh karena itu kemajuan perekonomian secara
keseluruhan di negara maju disebabkan adanya proses realokasi secara bertahap
dari sektor pertanian ke sektor industri.
Migrasi di negara-negara berkembang awalnya dipandang sebagai suatu hal
yang positif karena dengan adanya migrasi dapat terjadi transfer tenaga kerja dari
daerah yang memiliki surplus tenaga kerja ke daerah lain yang kekurangan tenaga
kerja. Namun faktanya, lonjakan migrasi yang terjadi di negara berkembang ini
bukannya memacu pembangunan di perkotaan melainkan menyebabkan masalah
pengangguran. Todaro dan Smith (2006) kemudian mengembangkan sebuah teori
baru mengenai migrasi dari desa ke kota dalam rangka menjelaskan adanya suatu
hubungan yang bersifat paradoks antara lonjakan migrasi dari desa ke kota yang
semakin cepat itu dengan terus meningkatnya pengangguran di perkotaan. Teori
tersebut kemudian dikenal sebagai Model Migrasi Todaro, yang mirip dengan
Model Harris-Todaro.
Model ini bertolak dari asumsi bahwa migrasi dari desa ke kota pada
dasarnya merupakan suatu fenomena ekonomi. Oleh karena itu, keputusan untuk
melakukan migrasi juga merupakan suatu keputusan yang telah dirumuskan secara
rasional; para migran tetap saja pergi, meskipun mereka tahu betapa tingginya
tingkat pengangguran yang ada di daerah-daerah perkotaan. Selanjutnya, model
Todaro mendasarkan diri pada pemikiran bahwa arus migrasi itu berlangsung
sebagai tanggapan terhadap adanya perbedaan pendapatan antara desa dan kota.

13

Dalil dasar dalam model ini adalah bahwa para migran senantiasa
mempertimbangkan dan membanding-bandingkan berbagai macam pasar tenaga
kerja yang tersedia bagi mereka di sektor pedesaan dan perkotaan, serta kemudian
memilih salah satu diantaranya yang dapat memaksimumkan keuntungan yang
diharapkan.
Model migrasi dari Todaro memiliki empat pemikiran dasar sebagai berikut:
1. Migrasi desa-kota dirangsang terutama oleh berbagai pertimbangan ekonomi
yang rasional dan yang langsung berkaitan dengan keuntungan atau manfaat
dan biaya-biaya relatif migrasi itu sendiri.
2. Keputusan untuk bermigrasi bergantung pada selisih antara tingkat
pendapatan yang diharapkan di kota dan tingkat pendapatan aktual di
pedesaan.
3. Kemungkinan mendapatkan pekerjaan di perkotaan berkaitan langsung
dengan tingkat lapangan pekerjaan di perkotaan, sehingga berbanding
terbalik dengan tingkat pengangguran di perkotaan.
4. Laju migrasi desa-kota bisa saja terus berlangsung meskipun telah melebihi
laju pertumbuhan kesempatan kerja. Kenyataan ini memiliki landasan yang
rasional; karena adanya perbedaan ekspektasi pendapatan yang sangat lebar,
yakni para migran pergi ke kota untuk meraih tingkat upah lebih tinggi yang
nyata.
Konsep Otonomi Daerah dan Kaitannya dengan Migrasi
Semasa Orde Baru, pemerintah telah membangun suatu pemerintahan
nasional yang kuat dengan menempatkan stabilitas politik untuk mempercepat
pembangunan ekonomi Indonesia. Hal ini tentunya juga didukung oleh inisiatif
program-program pembangunan dari pusat. Dalam kerangka struktur sentralisasi
kekuasaan politik dan otoritas administrasi ini, kemudian dibentuklah Undangundang No. 5 Tahun 1974 yang mengatur tentang Pokok-pokok Pemerintahan
Daerah (Kuncoro, 2004).
Undang-undang No. 5 Tahun 1974 ini telah meletakkan dasar-dasar sistem
hubungan pusat-daerah yang dirangkum dalam tiga prinsip: Pertama,
desentralisasi yang berarti penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah atau
daerah tingkat atasnya kepada daerah. Kedua, dekonsentrasi yaitu pelimpahan
wewenang dari pemerintah atau kepala wilayah tingkat atasnya kepada pejabatpejabat di daerah. Ketiga, tugas perbantuan yang berarti pengkoordinasian prinsip
desentralisasi dan dekonsentrasi oleh kepala daerah yang memiliki fungsi ganda
sebagai penguasa tunggal di daerah dan wakil pemerintah pusat di daerah. Akibat
prinsip ini, dikenal adanya daerah otonom dan wilayah admisitratif.
Pada masa itu, otonomi daerah pada tingkat II (kabupaten/kota) belum
sepenuhnya terwujud. Hal ini dikarenakan adanya keengganan dari pemerintah
pusat untuk mendelegasikan wewenang ke daerah. Kurangnya kewenangan di
daerah menyebabkan kelemahan pada kreativitas daerah dalam mengatasi
berbagai masalah dan tantangan dalam pembangunan daerah. Sistem
pemerintahan yang sentralistik dipandang sebagai konsekuensi dari sistem negara
kesatuan. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan perubahan undangundang yang mengatur pemerintahan sentralistik menjadi pemerintahan yang

14

terdesentralisasi. Perubahan UU tersebut kemudian dilakukan pada masa
pemerintahan Habibie dan tertuang pada UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25
tahun 1999 (Rasyid dalam Haris, 2005). Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 ini
memaknai otonomi daerah sebagai pemberian kewenangan yang luas, nyata, dan
bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan
pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumberdaya nasional yang berkeadilan
serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Menurut Mardiasmo (2007), tujuan otonomi daerah adalah untuk
meningkatkan pelayanan publik dan memajukan perekonomian daerah. Pada
dasarnya terkandung tiga misi utama pelaksanaan otonomi daerah dan
desentralisasi fiskal, yaitu:
 Meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan
masyarakat.
 Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah.
 Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat (publik) untuk
berpartisipasi dalam proses pembangunan.
Ketika otonomi daerah baru berjalan, terjadi banyak penyimpangan karena
peraturan otonomi daerah dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1999 dinilai
terlalu memberikan kebebasan pada pemerintah daerah untuk mengelola
daerahnya sendiri sehingga kebebasan ini tidak dapat dikendalikan dan
menimbulkan dampak negatif. Kemudian dilakukan beberapa perubahan agar
landasan hukum mengenai otonomi daerah lebih jelas. Pemerintah kemudian
mengganti Undang-undang No. 22 tahun 1999 menajdi Undang-undang No. 32
tahun 2004.
Dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2004 pasal 1 ayat 5, pengertian
otonomi derah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Undang-Undang No. 32
tahun 2004 pasal 1 ayat 6 selanjutnya menyebutkan bahwa daerah otonom adalah
kesatuan masyarakat yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pelaksanaan otonomi daerah pada
hakekatnya adalah upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan
melaksanakan kegiatan-kegiatan pembangunan sesuai dengan kehendak dan
kepentingan masyarakat.
Migrasi terjadi karena adanya perbedaan kondisi ekonomi antara satu daerah
dengan daerah lainnya. Pada umumnya, penduduk yang melakukan migrasi
didorong oleh keinginan untuk mencari kesejahteraan yang tidak mereka dapatkan
di daerah asalnya. Semakin timpang perbedaan kondisi antar daerah maka
semakin besar pula keinginan seseorang untuk melakukan migrasi. Migrasi yang
terjadi di Indonesia cenderung terpusat pada daerah-daerah perkotaan yang
berpendapatan tinggi. Sementara itu daerah-daerah dengan pendapatan lebih
rendah justru semakin ditinggalkan oleh penduduknya. Hal ini menunjukkan
bahwa ketidakmerataan pertumbuhan ekonomi menjadi pemicu utama terjadinya
migrasi antar daerah, karena apabila kondisi perekonomian suatu daerah lebih
baik daripada daerah lainnya tentunya banyak penduduk yang akan datang kesana
untuk mencari kehidupan yang lebih sejahtera.

15

Salah satu upaya untuk mengurangi arus migrasi adalah dengan melakukan
pemerataan di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini dapat dilakukan dengan otonomi
daerah. Pelaksanaan otonomi daerah memang memberikan wewenang kepada
pemerintah daerah agar lebih leluasa dalam mengembangkan daerahnya sendiri.
Hal ini dimaksudkan agar pengembangan dan pengelolalaan sumberdaya di
masing-masing daerah dapat berjalan lebih efektif dan efisien. Keberhasilan
otonomi daerah juga tentunya didukung oleh kesiapan dan kemandirian
pemerintah daerah dalam mengelolanya agar dapat berujung pada kesejahteraan
masyarakat. Akselerasi pembangunan diharapkan diharapkan terjadi di semua
pemerintah daerah sehingga memperkecil jurang ketimpangan antar kabupaten
dan provinsi.
Berdasarkan hasil studi Takeda dan Nakata (1998) yang mengidentifikasi
tingkat disparitas