Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Migrasi Ke Provinsi Berpendapatan Rendah Sebelum Dan Sesudah Otonomi Daerah

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI MIGRASI KE
PROVINSI BERPENDAPATAN RENDAH SEBELUM DAN
SESUDAH OTONOMI DAERAH

TAUFIK IMANDANA

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI DAN STUDI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

ii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Faktor-faktor yang
Memengaruhi Migrasi ke Provinsi Berpendapatan Rendah Sebelum dan Sesudah
Otonomi Daerah” adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun

tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015

Taufik Imandana
NIM H14090074

iii

ABSTRAK
TAUFIK IMANDANA. Faktor-faktor yang Memengaruhi Migrasi ke Provinsi
Berpendapatan Rendah Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah. Dibimbing oleh
YETI LIS PURNAMADEWI.
Pada era otonomi daerah di Indonesia, migrasi masih merupakan fenomena
yang terus berkembang dan menarik bahwa migrasi masuk yang relatif tinggi
tidak hanya ke provinsi berpendapatan tinggi tetapi juga terjadi pada beberapa
provinsi berpendapatan rendah. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk
mengkaji kondisi sosial ekonomi wilayah provinsi tujuan migrasi berpendapatan

rendah dan menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi migrasi masuk ke
wilayah tersebut. Data utama yang digunakan adalah data sekunder berupa data
panel yang terdiri dari data time series 1985-2010 dan data cross section dari lima
provinsi tujuan migrasi berpendapatan rendah. Metode analisis yang digunakan
adalah analisis deskriptif dan analisis ekonometrik data panel. Hasil studi
menunjukkan sektor unggulan di provinsi tujuan migrasi berpendapatan rendah
dalam studi ini adalah sektor primer kecuali untuk Provinsi D.I. Yogyakarta dan
secara umum pertumbuhan sektor unggulan di masing-masing provinsi tersebut
berfluktuasi dalam kurun waktu 1985-2010. Pertumbuhan PDRB juga
berfluktuasi, kecuali di Provinsi Jambi.
Nilai UMR, rasio penduduk
berpendidikan di atas SMA serta jumlah pengangguran cenderung meningkat.
Hasil analisis regresi data panel menunjukkan bahwa migrasi ke provinsi
berpendapatan rendah dipengaruhi secara signifikan oleh pertumbuhan sektor
unggulan, rasio penduduk berpendidikan di atas SMA, jumlah pengangguran dan
variabel dummy otonomi daerah. Semua variabel tersebut berpengaruh positif
kecuali untuk variabel dummy otonomi daerah. Adanya otonomi daerah dapat
menurunkan jumlah migrasi.
Kata kunci: data panel , migrasi, otonomi daerah, provinsi berpendapatan rendah


ABSTRACT
TAUFIK IMANDANA. Factors that Affect Migration to the Provincial Low
Income Before and After Regional Autonomy. Supervised by YETI LIS
PURNAMADEWI.
In regional autonomy era in indonesian, migration is still a phenomenon that
continue to grow and interesting that migration entrance relatively high not only
to the provincial high-income but also occurred in several provinces low-income.
Hence this study aims to to study the socioeconomic situation of the province of
the purpose of migration had low incomes and analyzing the factors that influence
migration in to the region. Prominent data that is used is secondary data in the
form of a panel consisting of the tiime series data 1985-2010 and data cross

iv

section of the five provinces the purpose of migration had low incomes. The
method of analysis that is used is descriptive analysis and econometric analysis
data panel. The study findings show superior sectors in the province of the
purpose of migration had low incomes in the study of this is the primary sector
except for Provinces D.I. Yogyakarta and in general superior sectors growth in
each of the province fluctuates in the time frame 1985-2010. PDRB growth also

always fluctuates except in Jambi Province. The value of UMR , the ratio of the
inhabitants of educated in on high school and the unemployment rate tended to
increase. The result analysis of data show regression panel the reason of migration
to the province had low incomes affected significantly by growth superior sectors,
ratio inhabitant have education of high school, quantity unemployment, and
variable dummy regional autonomy. All variables such influential except for
positive variable dummy regional autonomy. The presence of regional autonomy
can reduce the number of migratory.
Key words: panel data, migration, regional autonomy, low-income province

v

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI MIGRASI KE
PROVINSI BERPENDAPATAN RENDAH SEBELUM DAN
SESUDAH OTONOMI DAERAH

TAUFIK IMANDANA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi


pada
Departemen Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI DAN STUDI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

vi

vi

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga skripsi dengan judul “Faktorfaktor yang Memengaruhi Migrasi ke Provinsi Berpendapatan Rendah Sebelum
dan Sesudah Otonomi Daerah”, akhirnya dapat terselesaikan. Skripsi ini disusun
sebagai salah satu syarat yang harus ditempuh untuk menyelesaikan program
sarjana (S1) Jurusan Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut

Pertanian Bogor. Penulis menyadari dalam penyusunan skripsi ini tidak lepas dari
bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, pada kesempatan ini penyusun ingin
menyampaikan rasa hormat dan menghaturkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada:
1. Dr Ir Yeti Lis Purnamadewi, MScAgr selaku dosen pembimbing akademik dan
pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan waktu dan pikiran,
membimbing, mengarahkan, memberi saran, serta dorongan dan semangat
sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini.
2. Dr Ir Wiwiek Rindayanti, MSi, selaku dosen penguji utama dan Dr
Muhammad Findi, AME, selaku penguji komisi disiplin pendidikan atas kritik
dan masukan yang positif dalam penyempurnaan penulisan.
3. Seluruh dosen dan staf Departemen Ilmu Ekonomi yang telah memberikan
banyak ilmu dan pemahamannya kepada penulis serta bantuan kepada penulis
dalam menyelesaikan karya ilmiah ini.
4. Orang tua penulis Bapak Sapto Winarno dan Ibu Dra. Yusmiati, kakak penulis
Alief Danar Imandaya, S.E, Banu Aji Imantara, S.TP, adik penulis Satrio Nur
Imandani atas doa dan dukungan yang sangat besar dalam proses penyelesaian
skripsi ini.
5. Wa Ode Sofia Zahrah A, S.Si atas kesabaran, dukungan, dan motivasinya
selama penulis menyusun skripsi ini hingga selesai.
6. Sahabat-sahabat penulis yang tergabung di grup pakuan teguh, saya ucapkan

banyak terima kasih atas dukungan dan semangatnya.
7. Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh teman-teman Ilmu
Ekonomi 46 yang telah memberikan dukungan dan semangat selama proses
penyusunan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada
semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena
itu kritik dan saran sangat diperlukan untuk perbaikan di masa yang akan datang.
Besar harapan penulis agar karya tulis ini dapat bermanfaat dan juga dapat
digunakan sebagai penambah ilmu pengetahuan pembaca.

Bogor, Agustus 2015

Taufik Imandana

vii

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
viii
DAFTAR GAMBAR

viii
DAFTAR LAMPIRAN
viii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang ............................................................................................... 1
Perumusan Masalah ....................................................................................... 3
Tujuan ............................................................................................................ 5
Manfaat Penelitian ......................................................................................... 5
Ruang Lingkup Penelitian ............................................................................. 6
TINJAUAN PUSTAKA
7
Konsep dan Model Migrasi ........................................................................... 7
Otonomi Daerah dan Migrasi ...................................................................... 11
Sektor Unggulan dan Migrasi ...................................................................... 13
Faktor-faktor yang Memengaruhi Migrasi .................................................. 15
Penelitian Terdahulu .................................................................................... 18
KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
21
Kerangka Pemikiran .................................................................................... 21

Hipotesis ...................................................................................................... 23
METODE PENELITIAN
24
Jenis, Sumber dan Metode Pengumpulan Data ........................................... 24
Metode Pengolahan dan Analisis Data ........................................................ 24
Model Migrasi ke Provinsi Berpendapatan Rendah .................................... 28
Uji Asumsi Model ....................................................................................... 29
Definisi Operasional .................................................................................... 30
HASIL DAN PEMBAHASAN
32
Sektor Unggulan di Provinsi Tujuan Migrasi .............................................. 32
Kondisi Migrasi dan Sosial Ekonomi di Provinsi Tujuan Migrasi .............. 36
Faktor-faktor yang Memengaruhi Migrasi .................................................. 39
SIMPULAN DAN SARAN
43
Simpulan ...................................................................................................... 43
Saran ............................................................................................................ 43
DAFTAR PUSTAKA
44
LAMPIRAN

47
RIWAYAT HIDUP
52

viii

DAFTAR TABEL
1 Jenis dan Sumber data utama penelitian ........................................................... 24
2 Kerangka identifikasi autokorelasi ................................................................... 30
3 Nilai LQ Provinsi Jambi tahun 1985-2010 ....................................................... 32
4 Nilai LQ Provinsi Sumatera Selatan tahun 1985-2010 .................................... 33
5 Nilai LQ Provinsi Lampung tahun 1985-2010 ................................................. 33
6 Nilai LQ Provinsi Jawa Tengah tahun 1985-2010 ........................................... 34
7 Nilai LQ Provinsi D.I. Yogyakarta tahun 1985-2010 ...................................... 34
8 Hasil uji normalitas model faktor-faktor yang memengaruhi migrasi ............. 40
9 Matriks korelasi antar variabel pada model persamaan migrasi ...................... 40
10 Hasil estimasi model migrasi dengan model random effect ............................. 41

DAFTAR GAMBAR
1 Produk Domestik Regional Bruto per kapita atas dasar harga

konstan 2000 menurut provinsi tahun 2008-2010 .............................................. 4
2 Kurva model migrasi Harris-Todaro .................................................................. 9
3 Kerangka pemikiran ......................................................................................... 22
4 Grafik perkembangan pertumbuhan PDRB sektor unggulan di
provinsi tujuan migrasi tahun 1985-2010 ......................................................... 35
5 Grafik perkembangan migrasi di provinsi tujuan migrasi tahun 1985-2010 .... 36
6 Grafik perkembangan pertumbuhan PDRB di provinsi tujuan
migrasi tahun 1985-2010 .................................................................................. 37
7 Grafik perkembangan pengangguran di provinsi tujuan migrasi
tahun 1985-2010 ............................................................................................... 38
8 Grafik perkembangan rasio jumlah penduduk berpendidikan di atas
SMA di provinsi tujuan migrasi tahun 1985-2010 ........................................... 38
9 Grafik perkembangan UMR di provinsi tujuan migrasi tahun1985- 2010 ....... 39

DAFTAR LAMPIRAN
1 Migrasi masuk seumur hidup tahun 1985, 1990, 1995, 2000, 2005
dan 2010 provinsi-provinsi di Indonesia
2 Migrasi seumur hidup menurut provinsi tahun 1985-2010
3 Upah minimum nominal menurut provinsi tahun 1985-2010
4 Hasil estimasi model random effect
5 Hasil uji normalitas

47
48
49
50
51

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Perbedaan luas wilayah dan karakteristik masing-masing daerah di
Indonesia menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang tidak merata. Hal ini juga
tentunya dipengaruhi oleh faktor lain seperti potensi daerah, tenaga kerja,
ketersediaan sumberdaya dan lainnya. Pertumbuhan ekonomi di wilayah
perkotaan dan pedesaan yang tidak seimbang menimbulkan berbagai dampak
positif dan negatif yang seharusnya mendapat perhatian serius dari pemerintah
dan berbagai pihak (BPS 2010).
Pembangunan yang tidak seimbang dan disparitas antar daerah
menyebabkan perpindahan penduduk yang dapat menimbulkan masalah baik di
daerah yang ditinggalkan maupun daerah yang dituju. Daya tarik kota seperti,
kesempatan memperoleh pendidikan, pekerjaan, wiraswasta dan penawaran jasa
lainnya sebagai bagian dari proses modernisasi, antara lain merupakan komponen
yang dapat memotivasi sehingga memperbesar arus perpindahan itu baik untuk
tujuan menetap, sementara, atau mungkin perpindahan sirkuler (Artika 2003).
Selain itu menurut Hauser et al. (1985) arus penduduk dari desa ke kota sebagian
besar akibat daya tarik upah yang lebih tinggi berkat daya produksi yang lebih
tinggi di kota.
Secara umum migrasi menimbulkan dampak positif dan negatif di daerah
tujuan. Dampak positifnya sesuai dengan tujuan migran yakni semakin
meningkatnya pendapatan sehingga dapat memenuhi kebutuhannya, tersedianya
lapangan kerja baru, terjadimya transformasi gaya hidup dan sebagainya,
sedangkan dampak negatif yang ditimbulkan para migran adalah semakin
meningkatnya jumlah penduduk, menyempitnya laham pertanian, munculnya
pengangguran dan meningkatnya kriminalitas. Dampak positif lainnya yang
menguntungkan di antaranya adalah terjadinya transfer ilmu, teknologi, dan
budaya, baik dari kota ke desa ataupun dari Negara lain, terjadi ikatan yang kuat
antara dua daerah, terjadi pemerataan taraf ekonomi, ketersediaan tenaga kerja di
suatu daerah dan proses pembangunan berjalan lancar. Dampak negatif yang
muncul sangat perlu diwaspadai terutama jika terjadi tingkat migrasi yang tidak
seimbang (anatara migrasi masuk dan migrasi keluar). Dampak negatif juga dapat
muncul jika terjadi berbagai masalah kependudukan lain terkait dengan kelebihan
jumlah urban di suatu kota.
Migrasi dilakukan seseorang karena adanya tekanan lingkungan alam,
ekonomi sosial, dan budaya. Dengan demikian migrasi terjadi bukan karena push
factors yang ada pada daerah asal, namun lebih karena adanya pull factors pada
daerah tujuan. Keperluan akan tenaga kerja dengan spesifikasi tertentu yang tidak
mungkin dielakan. Mengacu pada berbagai pendapat tersebut, pembangunan
ekonomi memang akan mendorong terjadinya mobilitas dan perpindahan
penduduk. Penduduk akan berpindah menuju tempat yang menjanjikan kehidupan
yang lebih baik bagi diri maupun keluarganya, yang tidak lain adalah tempat yang
lebih berkembang secara ekonomi dibandingkan dengan tempat asalnya
(Tjiptoherijanto 2000).

2

Kota sebagai pusat industri dan jasa, jelas lebih memberikan peluang
berbagai macam jenis pekerjaan kepada semua orang. Banyaknya profesi yang
bisa dipilih, membuat magnet bagi semua orang, tidak hanya yang mampu namun
juga yang tanpa skill ikut turut serta dalam proses migrasi tersebut. Beberapa
daerah di Indonesia menjadi tempat tujuan penduduk untuk melakukan migrasi,
seperti DKI Jakarta yang merupakan Ibukota, Provinsi Riau, Provinsi Jawa Barat
dan Provinsi Sumatera Selatan. Migrasi yang semula dianggap sebagai transfer
tenaga kerja dari pedesaan ke perkotaan atau dari suatu provinsi ke provinsi
lainnya justru berdampak pada aspek lainnya seperti perekonomian dan masalah
kependudukan. Tingginya tingkat pertumbuhan jumlah penduduk di berbagai
daerah salah satunya disebabkan oleh migrasi, sehingga perlu adanya kebijakan
untuk menekan laju pertumbuhan penduduk dengan mengatasi jumlah migrasi
masuk yang berlebihan di sejumlah provinsi yang nantinya akan menimbulkan
masalah, antara lain seperti berkembangnya kawasan permukiman kumuh,
degradasi lingkungan, kerawanan sosial, tindak kriminal, permasalahan
pengangguran, kemiskinan dan bertambahnya volume sampah karena terlalu
banyaknya masyarakat yang setiap tahunnya bertambah terus menerus.
Sejak 1 Januari 2001 Indonesia memasuki era otonomi daerah, dengan
diterapkannya secara resmi Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (kedua Undang-undang tersebut sudah
diganti dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Pusat dan Daerah). Atas dasar tersebut Pemerintah Pusat memberikan
kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah sehingga
memberi peluang kepada daerah agar leluasa mengatur dan melaksanakan
kewenangannya atas prakarsa sendiri sesuai dengan kepentingan masyarakat
setempat dan potensi setiap daerah. Tujuan peletakan kewenangan dalam
penyelenggaraan otonomi daerah adalah peningkatan kesejahteraan rakyat,
pemerataan dan keadilan, demokratisasi dan penghormatan terhadap budaya lokal
dan memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Melalui desentralisasi
ini pembuatan kebijakan yang menyangkut kehidupan kemasyarakatan didekatkan
kepada masyarakat. Hal ini dapat mempercepat pembangunan ekonomi sekaligus
pemerataan pembangunan antar daerah. Sehingga dengan adanya kebijakan
otonomi daerah tersebut diharapkan dapat mengurangi terjadinya migrasi masuk
yang bersifat negatif, baik ke provinsi berpendapatan tinggi maupun ke provinsi
berpendapatan rendah.
Pada Lampiran 1 ditunjukan jumlah migrasi masuk seumur hidup tahun
1985, 1990, 1995, 2000, 2005, dan 2010 provinsi-provinsi di Indonesia.
Berdasarkan data yang disajikan dalam Lampiran 1 migrasi masuk dari tahun ke
tahun mengalami peningkatan, tidak hanya kota-kota besar seperti Provinsi DKI
Jakarta, Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Riau tetapi provinsi-provinsi dengan
pendapatan per kapita rendah juga dijadikan sasaran migrasi masuk oleh para
migran. Migrasi masuk terbesar ke provinsi-provinsi dengan pendapatan per
kapita rendah terdapat di Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Lampung, Provinsi
Jambi, Provinsi D.I. Yogyakarta, dan Provinsi Jawa Tengah. Migrasi masuk di
kelima provinsi tersebut cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke
tahunnya.

3

Tingginya arus migrasi yang masuk dipengaruhi oleh kondisi perekonomian
daerah. Fenomena ini tidak hanya terjadi pada daerah-daerah yang memiliki
pendapatan per kapita tinggi, tetapi juga pada daerah yang memiliki pendapatan
per kapita di bawah rata-rata Indonesia. Awalnya para ekonom memandang
migrasi sebagai suatu hal yang positif dalam pembangunan. Migrasi internal
dianggap sebagai proses alamiah yang akan menyalurkan surplus tenaga kerja di
daerah-daerah pedesaan ke sektor industri modern di kota-kota yang daya
serapnya lebih tinggi. Meningkatnya jumlah migran yang masuk ke beberapa
provinsi di Indonesia dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya tujuan
seseorang untuk melakukan migrasi adalah untuk mendapatkan kesempatan kerja
yang lebih baik. Apabila para migran yang masuk memiliki keterampilan atau
kemampuan dalam bidang tertentu maka akan menambah jumlah tenaga kerja
yang produktif, tetapi apabila tidak memiliki kemampuan hanya akan jadi
pengangguran dan menimbulkan masalah sosial di provinsi tersebut.
Ketimpangan erat dan saling terkait dengan migrasi. Di satu sisi, pendapatan
ketimpangan antara sumber dan tujuan daerah secara luas diyakini menjadi salah
satu faktor yang paling penting yang mendorong migrasi ekonomi (Ha Wei, et al
2009). Hal ini melekat dalam model Lewis dual ekonomi dan lebih eksplisit
dalam model Harris-Todaro migrasi desa-kota. Migrasi desa-kota dimodelkan
sebagai respon terhadap kesenjangan upah antara sektor perkotaan dan pedesaan.
Alasan kenapa migrasi dilakukan, bisa dibedakan menjadi dua yaitu adanya faktor
pendorong serta adanya faktor dayatarik. Tjiptoherijanto (2000) menyatakan
bahwa perpindahan atau migrasi yang didasarkan pada motif ekonomi merupakan
migrasi yang direncanakan oleh individu sendiri secara sukarela (voluntary
planned migration). Para penduduk yang akan berpindah, atau migran telah
memperhitungkan berbagai kerugian dan keuntungan yang akan didapatnya
sebelum yang bersangkutan memutuskan untuk berpindah atau menetap ditempat
asalnya.

Perumusan Masalah
Migrasi merupakan fenomena perpindahan penduduk yang terjadi karena
adanya perbedaan antar daerah. Perbedaan tersebut antara lain lapangan
pekerjaan, sumberdaya dan lain-lain, hal ini menyebabkan jumlah migrasi setiap
tahunnya terus meningkat sehingga menyebabkan masalah kependudukan bagi
suatu daerah. Beberapa faktor yang menyebabkan orang bermigrasi antara lain
mencari lapangan pekerjaan dan mencari sumberdaya baru. Adanya perbedaan
sistem pengupahan yang lebih menjanjikan disebut juga merupakan salah satu
faktor terjadinya migrasi. Dengan mendapatkan upah yang relatif lebih tinggi,
individu akan berasumsi meningkatnya pendapatnya dan pada akhirnya
meningkatnya kesejahteraan individu yang bersangkutan.
Hal ini didukung dengan adanya teori neoclassical economics, menekankan
baik makro maupun mikro lebih memberikan perhatian pada perbedaan upah dan
kondisi kerja antar daerah atau antar negara, serta biaya dalam keputusan
seseorang melakukan migrasi. Menurut aliran ini, perpindahan penduduk
merupakan keputusan pribadi yang didasarkan atas keinginan untuk mendapatkan
kesejahteraan yang maksimum, sedangkan teori new economics of migration

4

beranggapan bahwa perpindahan atau mobilitas penduduk terjadi bukan saja
berkaitan dengan pasar kerja, namun juga karena adanya faktor-faktor lain. Aliran
ini juga menekankan bahwa keputusan untuk melakukan migrasi tidak sematamata keputusan individu saja, namun terkait dengan lingkungan sekitar, utamanya
lingkungan keluarga. Dalam hal ini keputusan untuk pindah tidak semata
ditentukan oleh keuntungan maksimum yang akan diperoleh, tetapi juga
ditentukan oleh kerugian yang minimal yang dimungkinkan dan berbagai
hambatan yang akan ditemui, dikaitkan dengan terjadinya kegagalan pasar (Taylor
1968, Stark 1991) dalam Tjiptoherijanto (2000).
Pertumbuhan suatu sektor perekonomian yang terjadi di suatu wilayah akan
berdampak tidak hanya pada pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut, tetapi
juga di wilayah lainnya yang memiliki keterkaitan ekonomi dengan wilayah
tersebut. Maju mundurnya suatu daerah juga bergantung pada daerah-daerah lain,
khususnya daerah yang berdekatan. Kerja sama antar daerah diharapkan menjadi
satu jembatan yang dapat mengubah potensi konflik kepentingan antar daerah
menjadi sebuah potensi pembangunan yang saling menguntungkan. Perlunya
kerjasama antar daerah adalah agar berbagai masalah lintas wilayah administratif
dapat terselesaikan bersama, juga agar banyak potensi yang dimiliki dapat
dimanfaatkan untuk kepentingan bersama.
Apabila dilihat berdasarkan perkembangan migrasi masuk dari tahun ke
tahun, jumlah migrasi cenderung meningkat di beberapa provinsi yang merupakan
provinsi dengan pendapatan per kapita yang tinggi dan ada juga migrasi masuk ke
provinsi-provinsi yang pendapatan per kapitanya rendah. Provinsi-provinsi
berpendapatan rendah yang dijadikan migrasi antara lain Provinsi Lampung,
Provinsi Jambi, Provinsi D.I. Yogyakarta, Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi
Sumatera Selatan.
Miliar
Rupiah
12000
10000
Jambi
8000

Sumatera Selatan

6000

Lampung
Jawa Tengah

4000
D.I. Yogyakarta
2000

INDONESIA

0
2008

2009

2010

Tahun

Sumber : BPS (2010)

Gambar 1 Produk Domestik Regional Bruto per kapita atas dasar harga konstan
2000 menurut provinsi tahun 2008-2010
Gambar 1 menjelaskan pendapatan per kapita provinsi-provinsi yang
dijadikan migrasi masuk oleh para migran. Data tersebut menunjukan bahwa tidak

5

hanya provinsi-provinsi yang pendapatan per kapita tinggi yang dijadikan tempat
migrasi melainkan provinsi-provinsi dengan pendapatan per kapita rendah juga
dijadikan tempat migrasi. Provinsi-provinsi dengan pendapatan per kapita rendah
yang dijadikan migrasi masuk yaitu Provinsi Lampung, Provinsi Jambi, Provinsi
D.I. Yogyakarta, Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Sumatera Selatan. Hal ini
menunjukan bahwa tidak hanya provinsi maju saja yang menjadi tujuan utama
bermigrasi melainkan ada dayatarik lain dari setiap provinsi yang membuat
penduduk bermigrasi ke provinsi tersebut.
Fenomena yang kita ketahui biasanya para migran datang ke provinsi
dengan pendapatan per kapita tinggi, karena di provinsi tersebut tersedia lapangan
pekerjaan dengan upah yang tinggi, tersedia sumberdaya yang masih bisa
dimanfaatkan dengan teknologi-teknologi yang sudah maju. Melihat dari
fenomena tersebut apakah penyebab para migran datang ke provinsi dengan
pendapatan per kapita rendah, apakah ada dayatarik tersendiri ataukah ada faktorfaktor lain dari provinsi tersebut yang menyebabkan para migran datang.
Jumlah PDRB yang tinggi mampu menarik minat penduduk untuk
bermigrasi, sehingga jumlah migrasi yang masuk meningkat setiap tahunnya. Hal
tersebut menyebabkan kenaikan jumlah penduduk yang akan berpengaruh pada
tingkat pengangguran. Provinsi yang memiliki tingkat pengangguran rendah tapi
memiliki PDRB yang rendah juga tetap menjadi tempat tujuan migrasi. Jumlah
migrasi ini cenderung meningkat dari tahun ke tahun pada beberapa provinsi di
Indonesia. Dengan demikian dapat dirumuskan suatu masalah, yaitu :
1. Bagaimana sektor unggulan, kondisi migrasi dan sosial ekonomi di provinsi
berpendapatan rendah sebelum dan sesudah otonomi daerah?
2. Apa saja faktor-faktor yang menyebabkan penduduk bermigrasi ke provinsi
berpendapatan rendah?

Tujuan
Berdasarkan latar belakang dan permasalah yang telah dibahas, tujuan yang
ingin dicapai dalam penelitian ini adalah
1. Mengkaji sektor unggulan, kondisi migrasi dan sosial ekonomi di provinsi
berpendapatan rendah sebelum dan sesudah otonomi daerah.
2. Menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan penduduk bermigrasi ke
provinsi berpendapatan rendah.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik bagi penulis
maupun pihak-pihak lain yang terkait. Manfaat tersebut antara lain :
1. Bagi Pemerintah atau instansi pengambilan keputusan terkait, diharapkan dapat
memberi masukan dan bahan pertimbangan untuk perencanaan dan
pembangunan yang terkait dengan jumlah migrasi masuk ke provinsi dengan
PDRB rendah serta masalah pengangguran.
2. Bagi pembaca diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan masukan untuk
penelitian selanjutnya.

6

3. Bagi penulis diharapkan dapat menjadi tempat untuk mengaplikasikan ilmu
pengetahuan dan menambah pengalaman.

Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini dalam lingkup nasional, yaitu membahas
migrasi masuk di provinsi-provinsi di Indonesia. Jumlah provinsi yang digunakan
sebagai objek pengamatan adalah 5 provinsi. Kurun waktu penelitian adalah tahun
1985, 1990, 1995, 2000, 2005, dan 2010.
Migrasi dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pendapatan per kapita,
pengangguran, tingkat upah dan faktor lain yang menarik para migran untuk
bermigrasi. Hal tersebut bisa menjadi faktor pendorong dan faktor penarik
migrasi. Dalam penelitian ini analisis deskriptif digunakan untuk menjelaskan
gambaran kondisi migrasi dan sosial ekonomi di provinsi tujuan migrasi. Analisis
kuantitatif digunakan untuk menggambarkan sektor unggulan di provinsi tujuan
migrasi. Metode ekonometrika regresi data panel untuk menganalisis faktor-faktor
yang menyebabkan migrasi. Metode Location Quotient digunakan untuk
menentukan sektor unggulan di provinsi-provinsi tersebut. Selain itu, hal ini juga
untuk membuktikan apakah varibel-variabel yang menjadi faktor penarik
berdasarkan teori tersebut dapat memengaruhi migrasi secara signifikan.

7

TINJAUAN PUSTAKA

Konsep dan Model Migrasi
Konsep Migrasi
Migrasi adalah suatu gerak penduduk secara geografis, spasial atau teritorial
antara unit-unit geografis yang melibatkan perubahan tempat tinggal yaitu dari
tempat asal ke tujuan (Rusli 1994). Menurut Lee (1984) mengatakan bahwa yang
disebut migrasi haruslah melibatkan faktor terjadinya perubahan tempat tinggal
yang permanen dengan tidak usah memperhatikan jarak yang ditempuh dalam
proses perpindahan tersebut. Menurut Munir (1981), dalam menelaah migrasi ada
dua dimensi penting yang perlu ditinjau, yaitu dimensi waktu dan dimensi daerah.
Ukuran yang pasti untuk dimensi waktu tidak ada, karena sulit menetapkan berapa
lama seseorang pindah tempat tinggal agar dapat dianggap sebagai seorang
migran, tetapi biasanya digunakan definisi yang digunakan dalam sensus
penduduk.
Migrasi dapat dikategorikan menjadi dua jenis, yaitu 1) Migrasi Seumur
Hidup dan 2) Migrasi Risen. Seseorang dikategorikan sebagai migran seumur
hidup jika provinsi atau kabupaten/kota tempat lahirnya berbeda dengan provinsi
atau kabupaten/kota tempat tinggal sekarang (pada waktu sensus). Sedangkan
seseorang dikategorikan migrasi risen jika provinsi atau kabupaten/kota tempat
tinggal lima tahun yang lalu berbeda dengan provinsi atau kabupaten/kota tempat
tinggal sekarang (pada waktu sensus) (BPS 2010).
Mantra (1984) mengatakan bahwa seseorang dikatakan melakukan migrasi
jika melakukan pindah tempat tinggal secara permanen atau relatif permanen
(untuk jangka waktu relatif tertentu) dengan menempuh jarak minimal tertentu,
atau pindah dari suatu unit geografis ke unit geografis lainnya. Migrasi merupakan
bagian dari mobilitas penduduk. Mobilitas penduduk adalah perpindahan
penduduk dari suatu daerah ke daerah lain. Mobilitas penduduk ada yang bersifat
nonpermanen (sementara) misalnya turisme baik nasional maupun internasional,
dan ada pula mobilitas penduduk permanen (menetap). Mobilitas penduduk
horizontal atau geografis meliputi semua gerakan penduduk yang melintasi batas
wilayah tertentu dalam periode waktu tertentu pula.
Definisi migran menurut PBB dalam Artika (2003) adalah seseorang yang
berpindah tempat kediaman dari suatu unit administratif atau politis ke unit daerah
administratif atau daerah politis yang lain. Banyak ahli dan peneliti mengatakan
bahwa migran bersifat selektif. Terdapat ciri khusus yang membedakan migran
dan nonmigran, terutama dalam hal umur, jenis kelamin, pendidikan, status
perkawinan dan jenis pekerjaan. Dengan adanya sifat selektif dalam proses
migrasi maka timbullah ciri-ciri atau sifat-sifat karakteristik dari mereka yang
turut serta dalam proses migrasi tersebut.
Alatas dan Edy (1992) secara umum menyebutkan beberapa jenis migran,
yaitu migran semasa hidup, migran kembali, migran lokal dan migran risen.
Migran semasa hidup (life time migran) adalah orang-orang yang pada saat
pencacahan tidak bertempat tinggal di tempat kelahirannya, sedangkan migran
kembali adalah orang yang kembali ke tempat kelahirannya setelah sebelumnya

8

pernah bertempat tinggal di tempat lain. Migran total adalah orang yang pernah
bertempat tinggal di tempat lain (selain tempat kelahirannya), jadi dalam migrasi
total mencakup pengertian migran semasa hidup dan migran kembali, secara
spesifik jumlah migran total dikurangi migran kembali merupakan migran semasa
hidup. Migran risen adalah orang-orang yang akhir-akhir ini melakukan
perpindahan. Dilihat dalam satu tahun atau lima tahun terakhir, maka migran risen
adalah mereka yang pada saat pencacahan tinggal di tempat yang berbeda dengan
tempat tinggal lima tahun sebelumnya.

Model Migrasi
Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator utama dalam
mengukur keberhasilan pembangunan ekonomi daerah. Indikator pertumbuhan
ekonomi yang umumnya digunakan adalah berdasarkan pada data Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) riil yang terdapat pada masing-masing daerah.
Sumber-sumber pertumbuhan ekonomi dapat diidentifikasi berdasarkan pada sisi
penawaran dan permintaan. Berdasarkan sisi penawaran, pertumbuhan ekonomi
dapat terlihat dari adanya kenaikan PDRB sektoral, sedangkan dari sisi
permintaan dapat diketahui dari pertumbuhan konsumsi (C), investasi (I),
pengeluaran pemerintah (G) maupun dari selisih bersih ekspor terhadap impor
(NX).
Todaro dan Smith (2003) menyatakan bahwa terdapat tiga komponen utama
dalam pertumbuhan ekonomi antara lain adalah:
1. Akumulasi modal yang mencakup semua jenis investasi baru. Akumulasi
modal ini dapat terjadi apabila pendapatan yang diterima ditabung dan
diinvestasikan untuk meningkatkan jumlah output dan pendapatan yang akan
diterima di kemudian hari.
2. Pertumbuhan penduduk yang akan meningkatkan jumlah angkatan kerja.
Berdasarkan pemikiran tradisional, pertumbuhan penduduk semakin besar
dapat meningkatkan jumlah tenaga kerja dan dapat memperbesar pasar
domestiknya. Hal tersebut dapat terjadi jika penawaran jumlah tenaga kerja
dapat diserap seluruhnya dalam pasar tenaga kerja sehingga tersedia
kesempatan kerja sesuai dengan pertumbuhan jumlah angkatan kerja di daerah
tersebut.
3. Kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi dapat terjadi jika ditemukannya cara
baru atau perbaikan cara lama dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan secara
tradisional sehingga dapat meningkatkan produktivitas. Kemajuan teknologi
yang tepat guna yaitu teknologi yang murah, efisien dan padat karya bagi
negara berkembang seperti Indonesia sangat diperlukan dalam pembangunan
jangka panjang. Hal ini dikarenakan teknologi tersebut dapat meningkatkan
kesempatan kerja bagi angkatan kerja yang sangat melimpah di negara ini.
Model Todaro mendasarkan diri pada pemikiran bahwa arus migrasi itu
berlangsung sebagai tanggapan terhadap adanya perbedaan pendapatan antara
kota dengan desa. Pendapatan yang dipersoalkan di sini bukanlah pendapatan
yang aktual, melainkan penghasilan yang diharapkan (expected income). Dalil
dasar model ekonomi ini adalah bahwa para migran senantiasa

9

mempertimbangkan dan membanding-bandingkan berbagai macam pasar tenaga
kerja yang tersedia bagi mereka di sektor pedesaan dan perkotaan, serta kemudian
memilih salah satu diantaranya yang dapat memaksimumkan keuntungan yang
“diharapkan” (expected gains) dari migrasi. Pada dasarnya model Todaro tersebut
beranggapan bahwa segenap angkatan kerja, baik yang aktual maupun potensial,
senantiasa membandingkan penghasilan “yang diharapkan” selama kurun waktu
tertentu di sektor perkotaan (yaitu selisih antara penghasilan dan biaya migrasi)
dengan rata-rata tingkat penghasilan yang bisa diperoleh di pedesaan. Mereka
baru akan memutuskan untuk melakukan migrasi jika penghasilan bersih di kota
melebihi penghasilan bersih yang tersedia di desa.
Model migrasi lainnya adalah model migrasi Harris-Todaro yang
menjelaskan adanya hubungan paradoks antara lonjakan migrasi dari desa ke kota
yang semakin cepat dengan adanya peningkatan jumlah pengangguran di daerah
perkotaan. Model Harris-Todaro ini merupakan model migrasi yang mirip dengan
model migrasi Todaro, dimana pada model ini menyatakan bahwa pencapaian
titik keseimbangan pengangguran akan tercapai jika tingkat pendapatan yang
diharapkan di kota sama dengan tingkat pendapatan aktual di desa. Hal ini
berbeda dengan yang dikatakan oleh model pasar bebas neoklasik tradisional yaitu
migrasi dapat dihentikan jika terdapat keseimbangan tingkat upah di desa dan di
kota.
Tingkat Upah di
SektorPertanian

Tingkat Upah di
Sektor Industri

A

M

q’
WM
WA

Z
q

E

WA*

WM*

WA**
M’
OA

A’
LA

LA*LM*

LM
LUS

Sumber : Buku Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga (2003)

Gambar 2 Kurva model migrasi Harris-Todaro

OM

10

Pada Gambar 2 diasumsikan bahwa dalam suatu perekonomian (atau
negara) hanya ada dua sektor, yakni sektor pertanian di pedesaan dan sektor
industri di perkotaan. Tingkat permintaan tenaga kerja (kurva produk marjinal
tenaga kerja) sektor pertanian dilambangkan oleh garis yang melengkung ke
bawah AA’. Adapun tingkat permintaan tenaga kerja di sektor industri ditunjukan
oleh garis lengkung (dari kanan ke kiri) MM’. Total angkatan kerja yang tersedia
disimbolkan oleh OAOM. Dalam perekonomian pasar neoklasik (upah ditentukan
oleh mekanisme pasar dan segenap tenaga kerja akan dapat terserap), tingkat upah
ekuilibrium akan tercipta bila WA=WM*dengan pembagian tenaga kerja sebanyak
OA LA * untuk sektor pertanian, dan OMLM untuk sektor industri. Sesuai dengan
asumsi full employment, segenap tenaga kerja yang tersedia akan terserap habis
oleh kedua sektor ekonomi tersebut.
Kondisi yang terjadi pada pasar neoklasik tersebut sangat berbeda dengan
kondisi yang terjadi pada model Todaro. Asumsi yang digunakan pada model
Todaro adalah tingkat upah tidak ditentukan berdasarkan mekanisme pasar
melainkan ditentukan oleh permintaan (WM) yang terletak diatas WM*. Jika
diasumsikan tidak terjadi pengangguran, maka tenaga kerja sebanyak OMLM akan
bekerja pada sektor industri di perkotaan sedangkan sisanya OALM akan bekerja
pada sektor pertanian di pedesaan dengan tingkat upah sebesar OAWA** yang
lebih kecil dari tingkat upah pasar OAWA*. Hal ini menimbulkan terjadinya selisih
antara tingkat upah di desa dan di kota yaitu sebanyak WM – WA**. Jika semua
pekerja bebas untuk melakukan migrasi, walaupun di desa tersedia lapangan kerja
sebanyak OALM mereka akan tetap pergi ke kota untuk memperoleh tingkat upah
yang lebih tinggi.
Selisih antara tingkat upah di desa dan di kota kemudian mendorong
terjadinya arus migrasi dari desa ke kota. Titik-titik peluang tersebut digambarkan
oleh garis qq’ dan titik ekuilibrium yang baru adalah Z. Sedangkan titik selisih
antara pendapatan aktual di desa dan di kota adalah WM – WA. Jumlah tenaga kerja
yang masih ada pada sektor pertanian adalah OALA dan tenaga kerja di sektor
industri sebanyak OMLM dengan tingkat upah sebesar WM. Sedangkan sisanya
yakni LUS (OMLA – OMLM) akan menganggur atau memasuki sektor informal yang
berpendapatan rendah. Hal ini menjelaskan terjadinya pengangguran di kota dan
semakin bertambahnya arus migrasi dari desa ke kota. Namun, dalam model ini
masih terdapat kelemahan yaitu adanya menyamaratakan selera, tingkat
pendidikan, keterampilan serta penalaran dari semua angkatan kerja yang tentu
saja sangat tidak realistis.
Model Todaro dan Harris-Todaro relevan dengan negara-negara
berkembang meskipun upah yang berlaku tidak ditetapkan oleh kekuatankekuatan institusional, seperti peraturan upah minimum. Penelitian teoritis terbaru
mengenai migrasi desa-kota telah menegaskan bahwa kemunculan sektor-sektor
modern yang memberikan upah tinggi bersama-sama dengan pengangguran atau
sektor tradisional perkotaan seperti yang nampak dalam model ini, juga dapat
disebabkan dari tanggapan pasar terhadap informasi yang tidak sempurna,
perputaran tenaga kerja, dan fitur-fitur lain yang biasa tampak dalam pasar tenaga
kerja.
Jadi singkatnya, model dari migrasi Todaro memiliki empat pemikiran dasar
sebagai berikut:

11

1. Migrasi desa-kota dirangsang terutama oleh berbagai pertimbangan ekonomi
yang rasional dan yang langsung berkaitan dengan keuntungan atau manfaat
dan biaya-biaya relatif migrasi itu sendiri (sebagian besar terwujud dalam
keuangan namun ada pula yang terwujud dalam kepuasan psikologis).
2. Keputusan untuk bermigrasi bergantung pada selisih antara tingkat pendapatan
yang diharapkan di kota dan tingkat pendapatan aktual di pedesaan. Besar
kecilnya selisih pendapatan itu sendiri ditentukan oleh dua variabel pokok,
yaitu selisih upah aktual di kota dan di desa, serta besar atau kecilnya
kemungkinan mendapatkan pekerjaan di perkotaan yang menawarkan tingkat
pendapatan sesuai dengan yang diharapkan.
3. Kemungkinan mendapatkan pekerjaan di perkotaan berkaitan langsung dengan
tingkat lapangan pekerjaan di perkotaan, sehingga berbanding terbalik dengan
tingkat pengangguran di perkotaan.
4. Laju migrasi desa-kota bisa saja terus berlangsung meskipun telah melebihi
laju pertumbuhan kesempatan kerja. Kenyataan ini memiliki landasan yang
rasional, karena adanya perbedaan ekspektasi pendapatan yang sangat lebar,
yakni para migran pergi ke kota untuk meraih tingkat upah lebih tinggi yang
nyata (memang tersedia). Dengan demikian, lonjakan pengangguran di
perkotaan merupakan akibat yang tidak terhindarkan dari adanya
ketidakseimbangan kesempatan ekonomi yang sangat parah antara daerah
perkotaan dan daerah pedesaan (berupa kesenjangan tingkat upah tadi), dan
ketimpangan-ketimpangan seperti itu amat mudah ditemui di kebanyakan
negara-negara Dunia Ketiga.

Otonomi Daerah dan Migrasi
Konsep Otonomi Daerah
Konsep otonomi daerah berawal dari Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974
tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah yang merupakan koreksi atas prinsip
otonomi yang seluas-luasnya karena dianggap dapat membahayakan keutuhan
negara Republik Indonesia. Terdapat tiga esensi dasar otonomi yang nyata,
dinamis dan bertanggung jawab menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974
tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah yaitu (1) otonomi harus menjamin
kestabilan politik dan kesatuan nasional, (2) otonomi harus dapat menjaga
hubungan harmonis antara pemerintah pusat dan daerah, (3) otonomi harus dapat
menjamin pembangunan daerah (Salam 2004).
Pada masa itu, otonomi daerah pada tingkat II (kabupaten/kota) belum
sepenuhnya terwujud. Hal ini dikarenakan adanya keengganan dari pemerintah
pusat untuk mendelegasikan wewenang ke daerah. Kurangnya kewenangan di
daerah menyebabkan kelemahan pada kreativitas daerah dalam mengatasi
berbagai masalah dan tantangan dalam pembangunan daerah. Sistem
pemerintahan yang sentralistik dipandang sebagai konsekuensi dari sistem negara
kesatuan. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan perubahan undangundang yang mengatur pemerintahan sentralistik menjadi pemerintahan yang
terdesentralisasi. Perubahan Undang-undang tersebut kemudian dilakukan pada
masa pemerintahan Habibie dan tertuang pada Undang-undang Nomor 22 Tahun

12

1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah .
Berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah, daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
batas-batas daerah tertentu yang berwenang mengelola, mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat. Sedangkan otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonomi
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
Terjadi perubahan terhadap Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, perubahan ini terjadi karena pada tahap awal pelaksanaan
otonomi daerah menimbulkan masalah baru yaitu otonomi daerah dilandaskan
atas nilai-nilai kebebasan dimana kebebasan tersebut tidak mampu dikendalikan
oleh pihak yang menjalankan kebebasan itu sendiri dan lemahnya penegakan
hukum banyak mendatangkan dampak negatif. Perubahan itu tercermin pada
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah pasal 10 ayat 3 otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundangundangan.
Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
Pusat dan Daerah ini memaknai otonomi daerah sebagai pemberian kewenangan
yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional yang
diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumberdaya
nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Kaitan Otonomi Daerah dengan Migrasi
Sejak 1 Januari 2001 Indonesia memasuki era otonomi daerah, dengan
diterapkannya secara resmi Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (kedua Undang-undang tersebut sudah
diganti dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Pusat dan Daerah). Atas dasar tersebut Pemerintah Pusat memberikan
kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah sehingga
memberi peluang kepada daerah agar leluasa mengatur dan melaksanakan
kewenangannya atas prakarsa sendiri sesuai dengan kepentingan masyarakat
setempat dan potensi setiap daerah. Menurut Mardiasmo (2002), terdapat tiga misi
utama sehubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah tersebut, yaitu (1)
menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumberdaya daerah, (2)
meningkatkan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat, serta (3)
memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk ikut serta dalam
proses pembangunan.
Tujuan peletakan kewenangan dalam penyelenggaraan otonomi daerah
adalah peningkatan kesejahteraan rakyat, pemerataan dan keadilan, demokratisasi

13

dan penghormatan terhadap budaya lokal dan memperhatikan potensi dan
keanekaragaman daerah. Melalui desentralisasi ini pembuatan kebijakan yang
menyangkut kehidupan kemasyarakatan didekatkan kepada masyarakat. Hal ini
dapat mempercepat pembangunan ekonomi sekaligus pemerataan pembangunan
antar daerah. Tujuan desentralisasi dan otonomi daerah dalam konteks nasional
adalah memelihara keutuhan negara dan bangsa, melembagakan proses seleksi
kepemimpinan nasional dan otonomi daerah adalah untuk mewujudkan demokrasi
di tingkat lokal, meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, menciptakan
efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintah daerah serta melindungi
hak-hak masyarakat lokal (LIPI 2005).
Otonomi daerah yang seluas-luasnya perlu diberikan kepada masing-masing
daerah agar mampu mengatur dan menjalankan berbagai kebijakan yang
dirumuskan sendiri guna peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah atau di
kawasan yang bersangkutan. Melalui otonomi daerah, yang berarti desentralisasi
pembangunan, laju pertumbuhan antar daerah akan semakin seimbang dan serasi
sehingga pelaksanaan pembangunan nasional serta hasil-hasilnya semakin merata
di seluruh Indonesia. Melalui otonomi daerah dalam pengaturan pendapatan,
sistem pajak, keamanan warga, sistem perbankan dan berbagai pengaturan lainnya
yang dapat diputuskan daerah sendiri, akan dimungkinkan perpindahan penduduk
secara sukarela dengan tujuan semata-mata peningkatan kesejahteraan penduduk
itu sendiri. Akan berbeda dengan perpindahan yang lebih berupa suruhan, desakan
atau malah setengah paksaan, yang bahkan hanya akan menghasilkan mobilitas
yang bersifat “dukalara “ semata (Tjiptoherijanto 2000). Adanya otonomi daerah
seharusnya dapat dijadikan salah satu langkah untuk mencegah penduduk
meninggalkan provinsi asalnya, karena penduduk tidak perlu mencari
kesejahteraan di provinsi lain.

Sektor Unggulan dan Migrasi
Konsep Sektor Unggulan
Sektor unggulan merupakan sektor potensial yang dimiliki oleh suatu
wilayah karena merupakan sektor basis yang dapat dikembangkan dan
dimaksimalkan untuk jadi penentu perkembangan ekonomi suatu wilayah. Pada
dasarnya sektor unggulan daerah dapat memberikan kontribusi yang besar pada
daerah, bukan hanya untuk daerah itu sendiri tapi juga untuk memenuhi
kebutuhan daerah lain. Semua kegiatan lain yang bukan kegiatan basis termasuk
ke dalam kegiatan/sektor service atau pelayanan, tetapi untuk tidak menciptakan
pengertian yang keliru tentang arti service maka disebut saja sektor nonbasis atau
bukan sektor unggulan wilayah tersebut (Tarigan 2012).
Pengertian sektor unggulan biasanya berkaitan dengan suatu perbandingan,
baik itu perbandingan berskala regional, nasional maupun internasional. Pada
lingkup internasional, suatu sektor dikatakan unggulan jika sektor tersebut mampu
bersaing dengan sektor yang sama dengan negara lain, sedangkan pada lingkup
nasional, suatu sektor dapat dikategorikan sebagai sektor unggulan apabila sektor
di wilayah tertentu mampu bersaing dengan sektor yang sama yang dihasilkan
oleh wilayah lain, baik di pasar nasional ataupun domestik (Tambunan 2001).

14

Sektor unggulan dipastikan memiliki potensi besar untuk tumbuh lebih
cepat dibandingkan sektor lainnya dalam suatu daerah terutama adanya faktor
pendukung terhadap sektor unggulan tersebut yaitu akumulasi modal,
pertumbuhan tenaga kerja yang terserap dan kemajuan tekhnologi (technological
progress). Penciptaan peluang investasi juga dapat dilakukan dengan
memberdayakan potensi sektor unggulan yang dimiliki oleh daerah yang
bersangkutan (Rachbini 2001).
Sektor unggulan di suatu daerah (wilayah) berhubungan erat dengan data
PDRB dari daerah bersangkutan. Karena di dalam PDRB terkandung informasi
yang sangat penting diantaranya untuk melihat output sektor ekonomi (kontribusi
masing-masing sektor) dan tingkat pertumbuhan dalam suatu daerah baik daerah
provinsi maupun kabupaten/kota.

Kaitan Sektor Unggulan dengan Migrasi
Ketimpangan yang terjadi antara satu daerah dengan daerah lainnya
menyebabkan penduduk terdorong atau tertarik untuk melakukan pergerakan dari
satu daerah ke daerah lainnya. Pembangunan daerah perlu diarahkan untuk lebih
mengembangkan dan menyerasikan laju pertumbuhan antar daerah, antar daerah
perkotaan dan pedesaan, serta mampu membuka daerah terisolasi dan
mempercepat pembangunan kawasan yang tertinggal. Potensi ekonomi daerah
adalah kemampuan ekonomi yang ada di daerah yang dapat dikembangkan
menjadi sumber penghidupan rakyat setempat dan dapat mendorong
perekonomian daerah secara keseluruhan untuk berkembang dengan sendirinya
dan berkesinambungan (Suparmoko 2010). Strategi Pengembangan ekonomi
daerah dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu: (1) mengid