Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Kota Tangerang Sebelum dan Pada Masa Otonomi Daerah.

(1)

1.1. Latar Belakang

Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara ataupun daerah. Pertumbuhan ekonomi yang meningkat dan distribusi pendapatan yang merata sangat dibutuhkan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi adalah proses dimana terjadi kenaikan produk nasional bruto riil atau pendapatan nasional riil. Jadi perekonomian dikatakan tumbuh atau berkembang bila terjadi pertumbuhan output riil.

Dalam upaya mendukung tercapainya pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pemerintah daerah sebagai otoritas pembangunan dituntut untuk menerapkan kebijakan yang dapat menciptakan iklim yang kondusif bagi kegiatan-kegiatan produktif para pelaku ekonomi. Salah satu kebijakan yang diperlukan untuk mencapai pertumbuhan tersebut adalah dengan mendorong terciptanya iklim investasi yang mendukung. Peran pemerintah daerah dapat dijalankan melalui salah satu instrumen kebijakan, yaitu pengeluaran pemerintah (baik belanja rutin maupun pembangunan dan atau pemeliharaan dan belanja modal), dimana pengeluaran pemerintah mencerminkan biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk melaksanakan kebijakan tersebut. Pengeluaran pembangunan (dan atau belanja modal dan pemeliharaan) merupakan pengeluaran pemerintah untuk pelaksanaan proyek-proyek terdiri dari sektor-sektor pembangunan dengan tujuan untuk melakukan investasi.


(2)

Pertumbuhan ekonomi suatu daerah diukur dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan laju pertumbuhannya atas dasar harga konstan. PDRB dapat diartikan sebagai total nilai barang dan jasa yang diproduksi di wilayah tertentu dalam waktu tertentu. Pertumbuhan ekonomi yang cepat akan menimbulkan ketimpangan distribusi pendapatan. Hal ini disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang bersifat sentralisasi dimana pemerintah tidak memerhatikan apakah pertumbuhan tersebut lebih besar atau lebih kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk atau perubahan struktur ekonomi.

Pada tahun 1999 pemerintah mengubah kebijakan sentralisasi menjadi desentralisasi dengan memberlakukan Otonomi Daerah. Hal tersebut memberikan harapan dalam upaya mengurangi tingkat kemiskinan dan ketimpangan antar daerah. Pada hakekatnya otonomi daerah merupakan upaya pelaksanaan pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional guna mewujudkan pertumbuhan dan perkembangan daerah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Ahmad, 1998). Pelaksanaan otonomi daerah merupakan desentralisasi dari kebijakan pemerintah dalam menangani daerah masing-masing sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Pelaksanaan desentralisasi diharapkan sebagai suatu pemecahan dan jalan keluar yang lebih baik terhadap permasalahan yang timbul dari sentralisasi pembangunan selama ini yang mengakibatkan timbulnya ketimpangan pembangunan antar daerah.

Penerapan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah sejak 1 Januari 2001, membuat pemerintah mengatur daerahnya masing-masing agar sesuai


(3)

dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakatnya. Kota Tangerang sebagai salah satu daerah pelaksana otonomi daerah berusaha untuk memaksimalkan potensi sumberdaya manusianya untuk mengolah potensi yang ada. Partisipasi dari masyarakat juga sangat dibutuhkan dalam pelaksanaan otonomi daerah. Masyarakat seharusnya mendukung pemerintah daerah dalam mengolah semua sumberdaya yang ada di daerah tersebut.

Kota Tangerang yang merupakan daerah yang berbatasan langsung dengan Kota Jakarta, sehingga daerah ini merupakan daerah limpahan aktivitas dari Kota Jakarta antara lain limpahan industri, limpahan pemukiman, perkantoran, dan infrastruktur jalan serta kereta api. Perkembangan pembangunan Kota Tangerang tidak terlepas dari peranan pemerintah daerah yang menentukan prioritas pembangunannya sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh Kota Tangerang tersebut. Adapun strategi pemerintah dalam merencanakan pembangunan ekonomi Kota Tangerang adalah: (1) Strategi mendorong pertumbuhan/kinerja ekonomi berbasis ekonomi lokal untuk peningkatan daya beli masyarakat; (2) Strategi peningkatan kualitas Hidup masyarakat dengan pemenuhan hak dasar masyarakat; (3) Strategi Pengembangan Kapasitas Pemerintah Daerah, yang meliputi kapasitas sistem, kapasitas kelembagaan, dan kapasitas sumber daya manusia aparatur (BPS Tangerang, 2007).

Seperti yang sudah disampaikan, salah satu tolok ukur keberhasilan pembangunan di bidang ekonomi yang diperlukan dalam lingkup daerah untuk evaluasi dan perencanaan ekonomi makro, biasanya dilihat dari pertumbuhan angka Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) baik atas dasar harga berlaku maupun


(4)

berdasarkan atas dasar harga konstan. Dari Gambar 1.1. terlihat bahwa laju pertumbuhan PDRB Kota Tangerang dalam kurun waktu dari tahun 1995-2009 berfluktuasi di mana angka tertinggi ditunjukan pada tahun 1998 yaitu 51,89 persen yang kemudian turun drastis menjadi 8,88 persen di tahun 1999. Pada masa setelah diberlakukannya otonomi daerah laju pertumbuhan PDRB Kota Tangerang cenderung stabil dan angka paling rendah ditunjukkan pada tahun 2004 yaitu 10,00 persen.

Sumber: BPS Kota Tangerang 1995-2009 (diolah)

Gambar 1.1. Laju Pertumbuhan PDRB Atas Dasar Harga Konstan 1995-2009 Laju pertumbuhan PDRB yang berfluktuasi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti investasi, sumber daya manusia, perkembangan teknologi dan faktor lainnya. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan diperlukan untuk dapat mencapai peningkatan kesejahteraan masyarakat, selain itu juga memerlukan modal yang relatif besar yang akan digunakan untuk memperkuat infrastruktur, baik fisik maupun sosial. Dana yang dibutuhkan untuk menambah modal tersebut biasa disebut investasi.


(5)

Tabel 1.1.Distribusi Presentase PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha 2005-2009 (%)

No. Lapangan Usaha Tahun

2005 2006 2007 2008 2009

1 Pertanian 0,18 0,16 0,15 0,16 0,16

2

Pertambangan dan

Penggalian 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 3 Industri Pengolahan 56,78 55,03 53,07 50,43 47,54

4

Listrik, Gas, dan Air

bersih 1,33 1,11 0,86 0,76 0,71

5 Konstruksi 1,65 1,65 1,74 1,93 2,11

6

Perdagangan, Hotel &

Restoran 24,42 25,52 27,95 29,94 31,06

7

Pengangkutan &

Komunikasi 10,72 11,40 10,93 11,10 12,17

8

Keuangan, Real estate

& Jasa Perusahaan 2,95 3,01 3,14 3,32 3,60

9 Jasa-jasa 1,97 2,13 2,20 2,37 2,66

TOTAL 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00

Sumber: BPS Kota Tangerang, 2005-2009

Dari Tabel 1.1, dapat dilihat kontribusi sektor yang terbesar di Kota Tangerang adalah sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Oleh sebab itu sebaiknya pemerintah Kota Tangerang lebih mengembangkan sektor-sektor tersebut seperti menanamkan investasi yang besar terhadap yang memberi nilai tambah besar.


(6)

Selain investasi, faktor lain yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi adalah sumber daya manusia. Dilihat dari jumlah penduduk, Kota Tangerang merupakan kota yang kepadatan penduduknya tergolong besar yaitu 10.043,09 jiwa per km2. Pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat mengakibatkan peningkatan kebutuhan ekonomi pada masing-masing penduduk. Misalnya saja, kebutuhan orang dewasa tentu saja berbeda dengan kebutuhan anak-anak. Pertumbuhan penduduk yang tinggi bila tidak disertai dengan ketersediaan lapangan pekerjaan akan menyebabkan peningkatan jumlah pengangguran.

Tenaga kerja adalah modal bagi geraknya roda pembangunan. Jumlah dan komposisi tenaga kerja akan terus mengalami perubahan seiring dengan berlangsungnya proses demografi. Salah satu faktor yang memengaruhi permintaan tenaga kerja adalah tingkat upah. Bagi pekerja, kenaikan upah akan memperbaiki daya beli pekerja yang akhirnya akan mendorong kegairahan bekerja dan peningkatan produktivitas bekerja, sedangkan bagi perusahaan, upah merupakan salah satu komponen biaya produksi yang dipandang dapat mengurangi tingkat laba yang dihasilkan. Oleh karena dipandang sebagai biaya faktor produksi, maka pengusaha berusaha menekan upah tersebut sampai pada tingkat yang paling minimum, sehingga laba perusahaan dapat ditingkatkan. Untuk menghindari perbedaan kepentingan antara pengusaha dan pekerja, maka pemerintah memandang perlu untuk mengatur masalah pengupahan ini. Penetapan upah minimum oleh pemerintah merupakan salah satu upaya dalam meningkatkan kesejahteraan hidup pekerja.

Dari uraian di atas, penting untuk diketahui seberapa besar pengaruh investasi, jumlah tenaga kerja, dan upah tenaga kerja, terhadap pertumbuhan ekonomi


(7)

Kota Tangerang. Dengan demikian pemerintah kota dapat mempersiapkan strategi pembangunan dan menerapkan kebijakan yang tepat guna mencapai pertumbuhan ekonomi yang diinginkan. Oleh karena itu, penelitian ini akan menganalisis seberapa besar pengaruh pertumbuhan investasi, jumlah tenaga kerja, serta upah tenaga kerja Kota Tangerang terhadap pertumbuhan ekonomi yang dilihat dari PDRB Kota Tangerang dengan menggunakan metode analisis regresi (Ordinary Least Square (OLS). Serta melihat seberapa besar keberhasilan kebijakan otonomi daerah yang berjalan di Kota Tangerang tersebut.

1.2. Perumusan Masalah

Pemerintah daerah dalam setiap pengambilan kebijakan pembangunannya tidak selamanya tepat dan benar. Hal itu terlihat dari masih adanya ketimpangan yang nyata pada pembangunan antar daerah atau wilayah dan kelompok tertentu. Masyarakat jelas mengharapkan pemerataan kesejahteraan dan meminimumkan ketimpangan pembangunan antar daerah atau wilayah dan kelompok tertentu.

Kebijakan pembangunan yang tersentralisasi telah menyebabkan ketimpangan yang nyata pada pembangunan antar wilayah dan kelompok pendapatan. Dengan demikian keadaan ini akan menyebabkan pembangunan di Indonesia rentan terhadap goncangan yang terjadi sehingga menimbulkan krisis ekonomi, sosial politik yang pada akhirnya menyengsarakan masyarakat.

Dengan diberlakukannya otonomi daerah merupakan awal dari redistribusi kekayaan negeri ini, pemerataan kesejahteraan dan meminimalisir ketimpangan pusat dan daerah. Selain itu otonomi daerah juga diharapkan dapat meningkatkan sektor


(8)

perekonomian di daerah tersebut dan juga dapat menyerap tenaga kerja yang lebih banyak.

Sumber : BPS Kota Tangerang, BKPM, Dinas Tenaga Kerja 1995 - 2009

Gambar 1.2 Laju Pertumbuhan PDRB Perkapita, Investasi, Jumlah Tenaga Kerja, dan UMR Kota Tangerang tahun 1995-2009

Kota Tangerang merupakan kota dengan kepadatan penduduk yang cukup besar diantara kota-kota lain yang ada di Pulau Jawa serta memiliki potensi sumber daya manusia dan alam cukup memadai, tetapi kondisi perekonomian dan pertumbuhan ekonominya dilihat dari PDRB perkapita relatif tertinggal dibandingkan dengan kota-kota besar lain di Pulau Jawa seperti Jakarta, Bandung, dan Bogor. Hal itu tercermin dari tingkat penyerapan angkatan kerja dalam pasar tenaga kerja belum optimal. Demikian pula dengan investasi yang belum menunjukkan angka yang menggembirakan.

Dalam perspektif yang lebih luas, pertumbuhan ekonomi bukanlah satu-satunya kunci keberhasilan pembangunan di suatu daerah. Aspek-aspek seperti kualitas kehidupan manusia, pemerataan hasil-hasil pembangunan, keberlanjutan


(9)

(sustainability), kualitas pelayanan publik, serta partisipasi masyarakat juga menjadi tolok ukur. Meskipun demikian pertumbuhan ekonomi tetaplah aspek dominan yang harus menjadi pertimbangan utama pemerintah dalam merencanakan program pembangunan.

Sehubungan dengan informasi yang disampaikan, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Seberapa besar pengaruh investasi, jumlah tenaga kerja, dan upah tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi Kota Tangerang sebelum dan pada saat otonomi daerah?

2. Apakah otonomi daerah yang dicanangkan sudah memberi dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi Kota Tangerang?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang disebutkan maka tujuan dari penelitian ini antara lain:

1. Menganalisis pengaruh investasi, jumlah tenaga kerja, dan upah tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi Kota Tangerang sebelum dan pada saat otonomi daerah.

2. Menganalisis dampak otonomi daerah yang dicanangkan terhadap pertumbuhan ekonomi Kota Tangerang.


(10)

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memberi gambaran mengenai pengaruh investasi, jumlah tenaga kerja, dan upah tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi di Kota Tangerang sebelum dan pada masa otonomi daerah yaitu dari kurun waktu tahun 1995-2009.

Penelitian ini juga diharapkan dapat memberi masukan bagi pemerintah Kota Tangerang dalam mengembangkan faktor-faktor yang signifikan dan berpengaruh positif dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Selain itu, penelitian ini dapat dijadikan bahan pustaka untuk penelitian selanjutnya dalam menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi pada masa otonomi daerah atau pada masa sebelum diberlakukan otonomi daerah.

1.5. Ruang Lingkup

Penelitian ini menganalisis pengaruh investasi, jumlah tenaga kerja, serta upah tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi Kota Tangerang dari tahun 1995-2009 yaitu pada masa sebelum diberlakukannya otonomi daerah dan pada masa otonomi daerah sampai saat ini, serta melihat apakah kebijakan otonomi daerah sudah terlaksana dengan baik di Kota Tangerang.


(11)

2.1. Konsep Wilayah dan Pembangunan Wilayah

Dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Menurut Rustiadi (2006) wilayah dapat didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik tertentu dimana komponen-komponen wilayah tersebut satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional. Sehingga batasan wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti tetapi seringkali bersifat dinamis. Komponen-komponen wilayah mencakup komponen biofisik alam, sumberdaya buatan (infrastruktur), manusia serta bentuk-bentuk kelembagaan. Dengan demikian istilah wilayah menekankan interaksi antar manusia dengan sumberdaya-sumberdaya lainnya yang ada di dalam suatu batasan unit geografis tertentu.

Pembangunan merupakan upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik. Sedangkan menurut Tarigan (2005), pembangunan wilayah dilakukan untuk mencapai tujuan pembangunan wilayah yang mencakup aspek-aspek pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan yang berdimensi lokasi dalam ruang dan berkaitan dengan aspek sosial ekonomi wilayah.


(12)

Pembangunan di suatu wilayah atau daerah pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi di daerah lain, dan kebijakan ekonomi makro dari negara bersangkutan. Dengan demikian, terdapat ketergantungan antar daerah, sehingga pertumbuhan produksi perkapita di suatu daerah tidak hanya ditentukan oleh lokasi daerah dan aktivitas di daerah yang bersangkutan, akan tetapi juga kondisi dan aktivitas yang ada di daerah lain. Kondisi ketergantungan ini telah melahirkan paling tidak dua teori yang berkaitan dengan kerangka konseptual pembangunan daerah, yaitu :

1. Konsep Basis Ekonomi

Teori ini beranggapan bahwa permintaan terhadap input hanya dapat meningkat melalui perluasan permintaan terhadap output yang diproduksi oleh parkir basis (ekspor) dan parkir non basis (lokal). Permintaan terhadap produksi parkir lokal hanya dapat meningkat apabila pendapatan lokal meningkat. Sementara disisi lain, peningkatan pendapatan ini hanya akan terjadi apabila parkir basis meningkat. Oleh karena itu, menurut konsep ini ekspor daerah adalah merupakan faktor penentu dalam pembangunan ekonomi. Disinilah peranan mempromosikan daerah dan subsidi langsung kepada investor menjadi sangat penting.

2. Konsep Perbedaan Tingkat Imbalan (Rate of Return)

Pemahaman dalam konsep perbedaan tingkat imbalan didasarkan pada pemikiran bahwa suatu daerah terbelakang bukanlah disebabkan karena tidak beruntung atau kegagalan pasar, akan tetapi disebabkan oleh produktivitasnya yang rendah. Oleh karena itu, investasi dalam prasarana adalah penting sebagai sarana pembangunan daerah.


(13)

Kedua teori di atas nampaknya sangat relevan untuk dipergunakan sebagai landasan didalam melihat proses pembangunan yang terjadi di suatu daerah (Tarigan, 2005).

2.2. Otonomi Daerah

Otonomi daerah dapat diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kesenjangan antara daerah selama ini terjadi karena begitu banyaknya campur tangan pemerintah pusat dalam menangani daerah sehingga terkadang apa yang menjadi kebutuhan daerah tersebut tidak sesuai dengan apa yang menjadi program dari pemerintah pusat. Riyanto (1997) mengatakan bahwa otonomi daerah merupakan penjabaran dari pelaksanaan asas desentralisasi yaitu penyerahan sebagian urusan kepada daerah untuk menjadi urusan rumah tangganya sendiri. Hal ini berarti bahwa daerah mempunyai wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri untuk meningkatkan daya guna hasil dan hasil guna penyelenggaraan pemerintah dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat.

Menurut UU No. 22 tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah, pemberian otonomi daerah kepada suatu daerah harus dipertimbangkan oleh pemerintah apakah daerah tersebut memiliki sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang dapat digunakan untuk mengembangkan daerah tersebut. Selain itu juga harus dipertimbangkan kemampuan daerah tersebut untuk mengurus rumah tangganya


(14)

sendiri dan mempunyai sistem pemerintahan yang bersih sehingga daerah tersebut mampu berkembang. Otonomi daerah diberikan supaya tidak terjadi kesenjangan antar daerah. Oleh sebab itu diharapkan daerah yang sudah berkembang dapat membantu daerah yang belum berkembang. Riyanto (1997) berpendapat bahwa prinsip-prinsip dasar dalam melaksanakan otonomi daerah adalah otonomi yang nyata, dinamis, dan bertanggung jawab. Nyata disini maksudnya adalah bahwa pemberian otonomi daerah kepada daerah otonom harus didasarkan pada faktor, perhitungan, tindakan, dan kebijaksanaan yang benar-benar menjamin wilayah bersangkutan secara nyata mampu mengurus rumah tangganya. Dinamis artinya bahwa otonomi daerah tidak bersifat kaku tetapi dapat dikembangkan dan dimekarkan karena keadaan yang terus berkembang di masyarakat. Bertanggung jawab maksudnya bahwa pemberian otonomi daerah harus sejalan dengan tujuannya, yaitu melancarkan kegiatan pembangunan dan memperkokoh persatuan dan kesatuan untuk kesejahteraan masyarakat.

Diharapkan dengan adanya pemberian otonomi daerah persatuan dan kesatuan bangsa semakin erat. Diharapkan juga dengan adanya otonomi daerah pertumbuhan ekonomi daerah semakin kuat untuk menyokong pertumbuhan ekonomi nasional. Seperti halnya pendapat Afrianto (2000) mengatakan bahwa pada tahun-tahun mendatang program deswentralisasi dan pembangunan otonomi daerah akan mendominasi pembangunan ekonomi daerah. Hal ini jauh lebih luas dari pembangunan ekonomi daerah, yaitu meningkatkan keadilan, mengembangkan pasrtisipasi masayarakt serta untuk menjaga dan memperkokoh kesatuan bangsa.


(15)

Pada hakekatnya pelaksanaan dan penerapan otonomi daerah diharapkan untuk mengurangi ketergantungan daerah terhadap pusat untuk melaksanakan pembangunan di daerah. Mengingat bahwa penentu kebijakan daerah lebih dekat dengan masyarakat dan lebih tahu tentang apa yang menjadi kebutuhan dari daerah tersebut dan lebih mengerti apa yang menjadi aspirasi dari masyarakat tersebut.

Perubahan yang diharapkan tidaklah akan berjalan secara mulus karena akan banyak sekali menuntut perubahan pola pikir, pola bertindak dan kemauan dari pihak Pusat maupun Daerah. Penerapan otonomi daerah diharapkan mengurangi ketergantungan daerah terhadap pusat untuk melaksanakan pembangunan di daerah. Berikut adalah karakteristik dasar dari desentralisasi menurut Haris (2005) :

1. Unit-unit pemerintahan setempat bersifat otonom, mandiri, dan jelas-jelas sebagai unit pemerintahan bertingkat yang terpisah dari pusat. Pusat melakukan sedikit, atau tidak ada kontrol langsung oleh pusat terhadap unit-unit tersebut.

2. Pemerintah daerah mempunyai batas-batas geografis yang jelas dan diakui secara hukum dimana mereka menggunakan kekuasaan dan menjalankan fungsi-fungsi publik.

3. Pemerintah daerah mempunyai status dan kekuasaan mengamankan sumber daya yang dimiliki untuk menjalankan fungsinya.

4. Implikasi desentralisasi adalah kebutuhan mengembangkan pemerintahan lokal sebagai institusi, yang dilihat warga setempat sebagai organisasi yang memberikan pelayanan, dan sebagai unit pemerintahan yang mempunyai pengaruh.


(16)

5. Dengan desentralisasi berarti ada hubungan timbal balik, saling menguntungkan, dan hubungan yang terkoordinasikan antar pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah.

Otonomi daerah belum sepenuhnya efektif dilaksanakan. Daerah masih sangat tergantung terhadap pusat terutama dalam merencanakan dan melaksanakan program-program daerah dan kegiatan pembangunan. Terkadang suatu daerah ikut-ikutan melaksanakan otonomi daerah padahal sebenarnya daerah tersebut belum mampu dan siap dalam melaksanakan otonomi daerah, sehingga daerah tersebut belum tentu dapat melaksanakan otonomi daerah dengan baik. Permasalahan Pokok yang biasa terjadi pada pelaksanaan otonomi daerah menurut Haris (2005) adalah sebagai berikut:

1. Pemahaman terhadap konsep desentralisasi dan otonomi daerah yang belum mantap

2. Penyediaan aturan pelaksanaan otonomi daerah yang belum memadai dan penyesuaian peraturan perundangan-undangan yang ada dengan UU 22 / 1999 masih sangat terbatas

3. Sosialisasi UU 22 / 1999 dan pedoman yang tersedia belum mendalam dan meluas;

4. Manajemen penyelenggaraan otonomi daerah masih sangat lemah;

Pengaruh perkembangan dinamika politik dan aspirasi masyarakat serta pengaruh globalisasi yang tidak mudah dikelola;

5. Kondisi SDM aparatur pemerintahan yang belum menunjang sepenuhnya pelaksanaan otonomi daerah;


(17)

6. Belum jelas dalam kebijakan pelaksanaan perwujudan konsep otonomi yang proporsional ke dalam pengaturan pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional, serta perimbangan keuangan Pusat dan Daerah sesuai prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam kerangka NKRI.

2.3. Pertumbuhan Ekonomi

Kuznets dalam Todaro (2000) mendefinisikan pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan jangka panjang dalam kemampuan suatu negara untuk menyediakan semakin banyak barang-barang ekonomi kepada penduduknya. Kemampuan ini tumbuh sesuai dengan kemajuan teknologi, penyesuaian kelembagaan, dan ideologi yang diperlukannya. Definisi ini memiliki tiga komponen yakni: 1) Pertumbuhan ekonomi suatu bangsa terlihat dari meningkatnya secara terus-menerus persediaan barang; 2) Teknologi maju merupakan faktor dalam pertumbuhan ekonomi yang menentukan derajat kemampuan dalam penyediaan aneka macam barang kepada penduduk dan; 3) Penggunaan teknologi secara luas dan efisien memerlukan penyesuaian di bidang kelembagaan dan ideologi sehingga penyesuaian inovasi yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan dapat dimanfaatkan secara tepat.

Menurut Todaro (2000), komponen utama dalam pertumbuhan ekonomi suatu masyarakat adalah akumulasi modal, pertumbuhan penduduk dan tenaga kerja, serta kemajuan teknologi. Akumulasi modal terjadi apabila sebagian dari pendapatan ditabung dan diinvestasikan dengan tujuan memperbesar output dan pendapatan di kemudian hari. Demikian pula investasi dalam sumberdaya manusia dapat


(18)

meningkatkan kualitasnya dan dengan demikian akan menghasilkan efek yang sama terhadap produksi, bahkan akan lebih besar lagi seiring dengan bertambahnya jumlah manusia. Pendidikan formal dan informal akan dapat ditingkatkan lebih efektif lagi supaya dapat menghasilkan tenaga terdidik yang dapat memperbesar produktivitas. Pertumbuhan penduduk dan tenaga kerja merupakan faktor positif dalam merangsang pertumbuhan ekonomi. Jumlah tenaga kerja yang lebih besar akan menambah jumlah tenaga produktif, sedangkan pertambahan penduduk yang lebih besar akan menambah luasnya pasar domestik. Kemajuan teknologi bagi para ahli ekonomi merupakan sumber pertumbuhan ekonomi yang lebih penting karena berarti ditemukannya cara berproduksi atau perbaikan produksi. Kemajuan teknologi dapat meningkatkan nilai tambah yang tinggi.

Pertumbuhan ekonomi wilayah adalah pertambahan pendapatan masyarakat yang terjadi di suatu wilayah, yaitu kenaikan seluruh nilai tambah yang terjadi di daerah tersebut. Pertambahan pendapatan itu diukur dengan nilai riil, artinya dinyatakan dengan harga konstan. Hal itu juga menggambarkan balas jasa bagi faktor-faktor produksi yang beroperasi di wilayah tersebut yang berarti secara kasar dapat menggambarkan kemakmuran daerah tersebut. Kemakmuran suatu wilayah selain ditentukan oleh besarnya nilai tambah yang tercipta di wilyah tersebut juga ditentukan oleh seberapa besar terjadi transfer-payment yaitu bagian pendapatan yang mengalir ke luar wilayah atau mendapat aliran dana dari luar wilayah. Pemerintah pusat telah melihat bahwa masing-masing wilayah memiliki keunggulan yang kompetitif serta komparatif yang berbeda. Dengan adanya perbedaan keunggulan


(19)

komparatif tiap daerah, maka harus dapat dimanfaatkan dan ditetapkan skala prioritas bagi masing-masing wilayah (Saptomo, 2008).

Teori klasik dimotori Adam Smith beranggapan bahwa pertumbuhan ekonomi bertumpu pada adanya pertambahan penduduk. Adanya pertambahan penduduk menyebabkan pertambahan output. Selain Adam Smith, yang termasuk dalam teori klasik lainnya adalah David Ricardo. Ricardo menyatakan bahwa faktor pertumbuhan penduduk yang semakin besar sampai menjadi dua kali lipat pada suatu saat akan menyebabkan jumlah tenaga kerja melimpah, sehingga dapat mengakibatkan upah menjadi turun. Upah tersebut hanya dapat digunakan untuk membiayai taraf hidup minimum sehingga perekonomian akan mengalami stasioner.

Teori klasik berkembang menjadi Teori Neoklasik yang dimotori oleh Harrod-domar dan Robert Solow. Harrod-Domar beranggapan bahwa modal harus dipakai secara efektif, karena pertumbuhan ekonomi sangat dipengaruhi oleh peranan pertumbuhn modal tersebut. Teori Harod dan Domar juga membahas tentang pendapatan nasional dan kesempatan kerja.

Model pertumbuhan Solow menjelaskan bagaimana stok kapital, pertumbuhan angkatan kerja dan perkembangan teknologi berinterksi dalam perekonomian. Ketiganya memengaruhi produk nasional atau Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Berdasarkan teori neoklasik pertumbuhan output ekonomi regional dipengaruhi oleh pertumbuhan stok kapital, pertumbuhan tenaga kerja, dan kemajuan teknologi. Pengukuran pertumbuhan ekonomi secara konvensional biasanya dengan cara menghitung presentase Produk Domestik Bruto (PDB), sedangkan untuk tingkat suatu daerah atau kota dengan cara menghitung presentase


(20)

PDRB. PDRB mengukur pengeluaran total dari suatu perekonomian terhadap berbagai barang dan jasa yang baru diproduksi pada saat atau tahun serta pendapatan total yang diterima dari adanya seluruh produksi barang dan jasa tersebut di suatu daerah. Berbagai model pertumbuhan ekonomi muncul mengikuti perekonomian dari waktu ke waktu (Linda, 2005).

Dari berbagai teori pertumbuhan ekonomi yang ada yaitu Harrod-Domar dan Neoklasikal dari Solow maka dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat tiga faktor utama dari pertumbuhan ekonomi, yakni: 1) akumulasi modal yang meliputi semua bentuk atau jenis investasi baru, 2) pertumbuhan penduduk, dan 3) kemajuan teknologi. Dalam penelitian ini, faktor yang diambil dalam memengaruhi pertumbuhan ekonomi yaitu investasi, jumlah tenaga kerja, dan upah tenaga kerja.

2.4. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

Gambaran secara menyeluruh tentang kondisi perekonomian suatu daerah dapat diperoleh dari PDRB. Sebagai salah satu indikator makro ekonomi, PDRB adalah jumlah nilai tambah bruto yang dihasilkan seluruh unit usaha dalam wilayah tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi. Penghitungan PDRB menggunakan dua macam harga, yaitu PDRB atas dasar harga berlaku dan PDRB atas dasar harga konstan. PDRB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung dengan menggunakan harga pada setiap tahun, sedangkan PDRB atas dasar harga konstan menunjukkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga pada satu tahun tertentu sebagai tahun dasar penghitungannya.


(21)

PDRB atas dasar harga berlaku dapat digunakan untuk melihat pergeseran struktur ekonomi, sedangkan harga konstan dapat digunakan untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun. Dengan demikian, PDRB merupakan indikator untuk mengatur sampai sejauh mana keberhasilan pemerintah dalam memanfaatkan sumber daya yang ada, dan dapat digunakan sebagai perencanaan dan pengambilan keputusan.

Dari dua penyajian PDRB ini diperoleh beberapa indikator ekonomi makro yang banyak digunakan oleh berbagai kalangan baik birokrasi pemerintah, peneliti maupun masyarakat di dunia usaha (BPS, 2004). Indikator tersebut adalah:

1. Tingkat pertumbuhan ekonomi

Tingkat pertumbuhan ekonomi suatu daerah dapat dilihat dari PDRB daerah tersebut. Apabila angka-angka PDRB disajikan atas dasar harga konstan, akan menunjukkan laju pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Apabila angka-angka dalam PDRB tersebut menigkat setiap tahunnya hal itu menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi daerah tersebut meningkat dan sebaliknya apabila angka-angka yang disajikan dalam PDRB menurun setiap tahunnya maka hal itu menunjukkan tingkat pertumbuhan ekonomi daerah tersebut menurun.

2. Tingkat kemakmuran suatu daerah

Suatu daerah yang mempunyai pertumbuhan perekonomian yang tinggi belum tentu menjamin kemakmuran yang tinggi pula bagi masyarakatnya. Apabila daerah tersebut mempunyai pertumbuhan penduduk yang tinggi. Biasanya pertumbuhan perekonomian dihitung secara makro sehingga belum tentu menunjukkan daerah tersebut makmur atau tidak. Apabila suatu daerah dikatakan


(22)

sudah makmur maka daerah tersebut minimal sudah mampu memenuhi kebutuhan pokok sendiri. Oleh sebab itu, salah satu indikator yang digunakan untuk melihat tingkat kemakmuran suatu daerah adalah dengan menggunakan tingkat pertumbuhan pendapatan per kapita. Tingkat pertumbuhan pendapatan per kapita lebih menunjukkan perkembangan kemakmuran sebab bila dilihat dari sudut konsumsi berarti masyarakat di daerah tersebut mempunyai kualitas yang lebih baik.

Untuk mengetahui tingkat kemakmuran suatu daerah harus tersedia angka pembanding dari daerah lain, dan untuk mengetahui perkembangannya diperlukan adanya suatu angka perkembangan secara berkala.

3. Tingkat inflasi

Salah satu masalah yang sering dihadapi oleh pemerintah adalah tingkat infalsi yang selalu melonjak setiap tahunnya. Peningkatan pendapatan berupa uang yang diterima masyarakat akan tidak berarti apabila diikuti oleh tingkat inflasi yang tinggi, sebab akan menyebabkan menurunnya daya beli masyarakat. Oleh sebab itu pemerintah harus menjaga tingkat inflasi agar tetap stabil yaitu salah satu caranya dengan cara investasi yang besar seperti misalnya pada sektor perdagangan.

Tingkat pertumbuhan ekonomi disajikan dalam bentuk statistik pendapatan regional secara berkala sebagai bahan perencanaan pembangunan ekonomi regional sekaligus bahan evaluasi program pembangunan yang telah berjalan (BPS Kota Tangerang, 2009).


(23)

Ada dua metode dalam penghitungan PDRB adalah (Dumairy, 1996): a. Metode Langsung

Metode langsung didasarkan pada data yang terpisah antara data daerah dan data nasional, sehingga hasil perhitungannya mencakup seluruh produk barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu daerah. Metode ini dalam penghitungan PDRB menggunakan tiga pendekatan, yaitu:

1. Pendekatan Produksi

Jumlah barang dan jasa yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi dalam suatu wilayah dalam jangka waktu tertentu adalah sebagai dasar penghitungan PDRB nya. Unit-unit produksi dimaksud secara garis besar dipilah-pilah menjadi 11 sektor (dapat juga dibagi menjadi 9 sektor) yaitu: (1) pertanian; (2) pertambangan dan galian; (3) industri pengolahan; (4) listrik, gas, dan air minum; (5) bangunan; (6) perdagangan; (7) pengangkutan dan komunikasi; (8) bank dan lembaga keuangan lainnya; (9) sewa rumah; (10) pemerintah; (11) jasa-jasa.

2. Pendekatan Pendapatan

Jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang turut serta dalam proses produksi di suatu wilayah dalam jangka waktu setahun adalah sebagai dasar penghitungan PDRBnya. Balas jasa produksi meliputi upah dan gaji, sewa tanah, bunga modal dan keuntungan. Semuanya dihitung sebelum dipotong pajak penghasilan dan pajak langsung lainnya. Dalam hal ini mencakup juga penyusutan dan pajak-pajak tak langsung netto. Jumlah komponen semua pendapatan per sektor disebut nilai tambah bruto sektoral. Oleh sebab itu, PDRB menurut pendekatan


(24)

pendapatan merupakan penjumlahan dari nilai tambah bruto seluruh sektor atau lapangan usaha

3. Pendekatan Pengeluaran

Jumlah seluruh komponen permintaan akhir yang meliputi pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta yang tidak mencari keuntungan, pembentukan modal tetap domestik bruto dan perubahan stok, pengeluaran konsumsi pemerintah, dan ekspor netto (ekspor-impor) yang semuanya berada dalam jangka satu tahun adalah sebagai dasar penghitungan PDRBnya.

b. Metode Tidak Langsung atau Alokasi

Metode tidak langsung atau alokasi ini dalam menghitung PDRB dilakukan dengan cara menghitung nilai tambah suatu kelompok kegiatan ekonomi dengan mengalokasikan nilai tambah nasional ke dalam masing-masing ekonomi pada tingkat regional. Sebagai alokator digunakan indikator yang paling besar pengaruhnya atau erat kaitannya dengan produktivitas kegiatan ekonomi tersebut.

PDRB yang disajikan atas dasar harga konstan, akan menggambarkan tingkat pertumbuhan riil perekonomian suatu daerah baik secara agregat maupun sektoral. Pertumbuhan perekonomian yang timbul tersebut apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk masing-masing tahun, maka akan dapat pula mencerminkan tingkat perkembangan pendapatan perkapita penduduk. Jika pendapatan perkapita penduduk suatu daerah dibandingkan dengan pendapatan per kapita daerah lain, maka angka-angka tersebut dapat dipakai sebagai indikator untuk membandingkan tingkat kemakmuran material dengan daerah lainnya.


(25)

Penyajian PDRB, baik atas dasar harga berlaku maupun harga konstan, juga dapat digunakan sebagai indikator untuk melihat inflasi ataupun deflasi yang terjadi. Demikian pula apabila disajikan secara sektoral akan dapat juga memberi gambaran tentang struktur perekonomian suatu daerah.

2.5. Teori Investasi

Investasi merupakan komitmen sejumlah dana suatu periode untuk mendapatkan pendapatan yang diharapkan di masa yang akan datang sebagai kompensasi unit yang diinvestasikan (Sumanto, 2006). Alasan utama orang melakukan investasi adalah untuk memperoleh keuntungan dan tingkat keuntungan yang disebut return. Return yang diharapkan investor adalah kompensasi atas biaya kesempatan (opportunity cost) dan risiko penurunan daya beli akibat adanya pengaruh inflasi.

Pada dasarnya investasi dapat dibedakan menjadi investasi finansial dan investasi non finansial. Investasi finansial adalah bentuk pemilikan instrumen finansial seperti uang tunai, tabungan, deposito, modal, surat berharga, obligasi, dan sejenisnya. Sedangkan investasi non finansial direalisasikan dalam bentuk investasi fisik (Badan Koordinasi Pasar Modal, 2005).

Investasi merupakan salah satu komponen penentu yang berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Berdasarkan konsep pendapatan nasional yang mengacu pada A system of National Account dalam BPS (2003), pengertian investasi adalah selisih antara stok capital pada tahun (t) dikurangi dengan stok capital pada tahun (t-1), atau setiap ada penambahan atau penimbunan modal. Besarnya investasi secara fisik yang direalisasikan pada suatu tahun tertentu


(26)

dicerminkan oleh besarnya Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB). Sedangkan yang dimaksud dengan PMTB adalah mencakup pengadaan, pembuatan, dan pembelian barang modal baru baik dalam negeri maupun luar negeri, yang termasuk dalam PMTB adalah perbaikan barang modal yang mengakibatkan tambahan umur pemakaian ataupun meningkatkan kemampuan barang modal tersebut dikurangi dengan penjualan barang modal bekas. Barang yang dikategorikan sebagai barang modal mempunyai ciri-ciri yaitu barang tersebut memiliki unsur ekonomis lebih dari satu tahun, nilai barang relatif besar dibandingkan dengan output yang dihasilkan, serta dapat digunakan berulang kali dalam proses produksi. Yang termasuk dalam investasi barang modal dan bangunan adalah pengeluaran-pengeluaran untuk pembelian

pabrik, mesin, peralatan produksi, bangunan/gedung yang baru.

2.5.1. Penanaman Modal Asing (PMA)

Investasi asing atau biasa disebut Penanaman Modal Asing (PMA) adalah salah satu upaya untuk meningkatkan jumlah modal untuk pembangunan ekonomi yang bersumber dari luar negeri. Salvatore (1997) menjelaskan bahwa PMA terdiri atas:

1. Investasi portofolio (portfolio investment), yakni investasi yang melibatkan hanya asset-aset finansial saja, seperti obligasi dan saham yang didenominasikan atau ternilai dalam mata uang nasional. Kegiatan-kegiatan investasi portofolio atau finansial ini biasanya berlangsung melalui lembaga-lembaga keuangan seperti bank, perusahaan dana investasi, yayasan pensiun dan sebagainya.


(27)

2. Investasi asing langsung (Foreign Direct Investment), merupakan PMA yang meliputi investasi ke dalam asset-aset secara nyata berupa pembangunan pabrik-pabrik, pengadaan berbagai macam barang modal, pembelian tanah untuk keperluan produksi, dan sebagainya.

Wiranata (2004) berpendapat bahwa investasi asing secara langsung dapat dianggap sebagai salah satu sumber modal pembangunan ekonomi yang penting. Semua negara yang menganut sistem ekonomi terbuka, pada umumnya memerlukan investasi asing, terutama perusahaan yang menghasilkan barang dan jasa untuk kepentingan ekspor. Di negara maju seperti Amerika modal asing tetap dibutuhkan guna memacu pertumbuhan ekonomi domestik, menghindari kelesuan pasar dan penciptaan kesempatan kerja. Apalagi di negara berkembang seperti Indonesia, modal asing sangat diperlukan terutama sebagai akibat dari modal dalam negeri yang tidak mencukupi. Untuk itu berbagai kebijakan di bidang penanaman modal perlu diciptakan dalam upaya menarik pihak luar negeri untuk menanamkan modalnya di Indonesia.

Masuknya PMA di Indonesia diatur oleh pemerintah dalam UU No 1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing dan dilengkapi serta disempurnakan oleh UU No 11 tahun 1970 juga tentang penanaman modal asing. UU itu didukung oleh berbagai kemudahan yang dilengkapi dengan berbagai kebijakan.


(28)

2.5.2. Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN)

Pengertian PMDN yang terkandung dalam UU No.6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) mencakup kriteria sebagai berikut (Bank Indonesia, 1995):

a. Bagian dari kekayaan masyarakat Indonesia;

b. Dimiliki oleh negara ataupun swasta nasional dan swasta asing yang berdomisili di Indonesia;

c. Guna menjalankan suatu usaha;

d. Modal tersebut tidak termasuk dalam pengertian pasal 2 UU No.1 tahun 1967 tersebut diatas (Pasal 1 ayat 1)

PMDN merupakan bagian dari penggunaan kekayaan yang dapat dilakukan secara langsung oleh pemilik sendiri atau secara tidak langsung, antara lain melalui pembelian obligasi, saham, deposito, dan tabungan yang jangka waktunya minimal tahun. Menurut Undang-Undang tersebut, perusahaan yang dapat menggunakan modal dalam negeri dapat dibedakan antara perusahaan nasional dan perusahaan asing, dimana perusahaan nasional dapat dimiliki seluruhnyaa oleh negara dan atau swasta nasional ataupun sebagai usaha gabungan antara negara dan atau swasata nasional dengan swasta asing dimana sekurang-kurangnya 51% modal dimiliki oleh negara atau swasta nasional. Pada prinsipnya semua bidang usaha terbuka untuk swasta/PMDN kecuali bidang-bidang yang menguasai hajat hidup orang banyak dan strategis seperti listrik, dan air.


(29)

2.6. Teori Tenaga Kerja dan Upah

Tenaga kerja adalah orang yang melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun masyarakat (UU RI No.13 Tahun 2003) Tenaga kerja dapat juga diartikan sebagai penduduk yang berada dalam batas usia setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun masyarakat. Tenaga kerja disebut juga dengan golongan produktif.

Upah (W)

SL = Penawaran tenaga kerja We

DL = Permintaan tenaga kerja Ne Jumlah tenaga kerja (N) Gambar 2.1. Kurva Tenaga Kerja

Jumlah orang yang menawarkan tenaganya untuk bekerja adalah sama dengan jumlah tenaga kerja yang diminta, yaitu masing-masing sebesar Ne pada tingkat upah keseimbangan We. Dengan demikian, titik keseimbangan adalah titik E. Pada tingkat upah keseimbangan We, semua orang yang ingin bekerja telah dapat bekerja. Berarti tidak orang yang menganggur. Secara ideal keadaan ini disebut full employment pada tingkat upah We (Walad, 2011).

Tenaga kerja adalah modal bagi geraknya roda pembangunan. Jumlah dan komposisi tenaga kerja akan terus mengalami perubahan seiring dengan


(30)

berlangsungnya proses demografi. Pertumbuhan tenaga kerja yang tidak diimbangi dengan pertumbuhan lapangan pekerjaan akan menyebabkan tingkat kesempatan kerja cenderung menurun sehingga mengakibatkan timbulnya pengangguran. Pengangguran ini adalah mereka yang tidak bekerja tetapi sedang berusaha mencari pekerjaan. Penduduk yang tidak aktif secara ekonomi digolongkan dalam kelompok bukan angkatan kerja yang terdiri dari kelompok mereka yang bersekolah, kelompok yang mengurus rumah tangga, yaitu mereka yang mengurus rumah tangga tanpa memperoleh upah dan golongan lainnya. Dengan semakin meningkatnya jumlah pengangguran maka akan meningkatkan jumlah penduduk miskin karena masyarakat tidak mempunyai pendapatan untuk menghidupi kebutuhan hidupnya.

Upah (W)

Excess Supply of Labour

W1 SL = Penawaran tenaga kerja

DL = Permintaan tenaga kerja N1 N2 Jumlah Tenaga Kerja (N) Gambar 2.2. Kurva Excess Supply of Labour

Pada gambar 2.2, terlihat adanya excess supply of labor. Pada tingkat upah W1, penawaran tenaga kerja (SL) lebih besar daripada permintaan tenaga kerja (DL). Jumlah orang yang menawarkan dirinya untuk bekerja adalah sebanyak N2, sedangkan yang diminta hanya N1. Dengan demikian, ada orang yang menganggur pada tingkat upah W1 sebanyak N1-N. (Walad, 2011).


(31)

Upah bagi pekerja memiliki banyak manfaat, yaitu sebagai imbalan atau balas jasa terhadap produksi yang dihasilkan dan sebagai pendorong bagi peningkatan produktivitas serta sebagai pemenuhan hidup sehari-hari. Bagi pekerja, kenaikan upah minimum akan memperbaiki daya beli pekerja yang akhirnya akan mendorong kegairahan bekerja dan peningkatan produktivitas bekerja, sedangkan bagi perusahaan, upah merupakan salah satu komponen biaya produksi yang dipandang dapat mengurangi tingkat laba yang dihasilkan. Kenaikan tingkat upah akan mengakibatkan kenaikan biaya produksi, sehingga akan meningkatkan harga per unit produk yang dihasilkan. Apabila harga per unit produk yang dijual ke konsumen naik, reaksi yang biasanya timbul adalah mengurangi pembelian atau bahkan tidak lagi membeli produk tersebut. Sehingga akan muncul perubahan skala produksi yang disebut efek skala produksi (scale effect) dimana sebuah kondisi yang memaksa produsen untuk mengurangi jumlah produk yang dihasilkan, yang selanjutnya juga dapat mengurangi tenaga kerja perusahaan (Kusnaini, 1998).

Suatu kenaikan upah dengan asumsi harga barang-barang modal yang lain tetap, membuat pengusaha mempunyai kecenderungan untuk menggantikan tenaga kerja dengan mesin. Penurunan jumlah tenaga kerja akibat adanya penggantian dengan mesin disebut efek substitusi (substitution effect). Oleh karena dipandang sebagai biaya faktor produksi, maka pengusaha berusaha menekan upah tersebut sampai pada tingkat yang paling minimum, sehingga laba perusahaan dapat ditingkatkan.

Untuk menghindari perbedaan kepentingan antara pengusaha dan pekerja, maka pemerintah memandang perlu untuk mengatur masalah pengupahan ini. Tujuan


(32)

pengaturan ini adalah untuk menjaga agar tingkat upah tidak merosot terlalu bawah, meningkatkan daya beli pekerja, dan mempersempit kesenjangan secara bertahap antara mereka yang berpenghasilan tertinggi dan terendah. Penetapan upah minimum oleh pemerintah merupakan salah satu upaya dalam meningkatkan kesejahteraan hidup pekerja (Kusnaini, 1998).

2.7. Upah Minimum Regional (UMR)

Sesuai dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. PER-03/Men/1997 tentang Upah Minimum Regional Bab 1 Pasal 1 ayat (a) menyebutkan bahwa: Upah Minimum Regional adalah upah bulanan terendah yang terdiri dari upah pokok dan termasuk tunjangan tetap di wilayah tertentu dalam suatu provinsi. Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan pada bagian kedua mengenai pengupahan pasal 111 menyebutkan bahwa “(2) Penetapan upah minimum dilaksanakan untuk tingkat daerah; Penetapan upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk daerah tertentu dapat dilaksanakan menurut sektor dan sub sektor”. Lebih lanjut PP No.8/1981 memberi pengertian tentang upah minimum adalah upah yang ditetapkan secara minimum regional, sektoral regional, maupun sub sektoral. Dalam hal ini upah minimum adalah upah pokok dan tunjangan.

Simanjuntak (2002) menyatakan bahwa pemerintah setiap tahun atau sekali dalam dua tahun menetapkan upah minimum untuk setiap provinsi atau untuk beberapa daerah kabupaten yang berdekatan. Tujuan penetapan upah minimum adalah untuk:


(33)

a. Menghindari atau mengurangi persaingan yang tidak sehat sesama pekerja dalam kondisi pasar kerja yang surplus, yang mendorong mereka menerima upah dibawah tingkat kelayakan;

b. Menghindari atau mengurangi kemungkinan eksploitasi pekerja oleh pengusaha yang memanfaatkan kondisi pasar kerja untuk akumulasi keuntungannya;

c. Sebagai jaring pengaman untuk tingkat upah karena satu dan lain hal jangan turun lagi;

d. Mengurangi tingkat kemiskinan absolut pekerja, terutama apabila tingkat upah minimum tersebut dikaitkan dengan kebutuhan dasar pekerja dan keluarganya;

e. Mendorong peningkatan produktivitas baik melalui perbaikan gizi dan kesehatan pekerja maupun melalui upaya manajemen untuk memperoleh kompensasi atas peningkatan upah minimum;

f. Meningkatkan daya beli masyarakat yang pada akhirnya akan mendorong pertumbuhan ekonomi secara umum;


(34)

Upah (W) SL

W2 E2 E3 Upah Minimum W1 E1

DL

N2 N1 N3 Jumlah Tenaga Kerja (N) Gambar 2.3. Kurva Kebijakan Upah Minimum

Pada gambar 2.3. terlihat bahwa keseimbangan pasar tenaga kerja berada pada titik keseimbangan E1 dengan tingkat upah sebesar W1 dan tingkat penggunaan tenaga kerja sebesar N1 yang ditentukan dari interaksi permintaan D dan penawaran S terhadap tenaga kerja. Adanya penetapan nilai upah minimum akan meningkatkan tingkat upah menjadi W2 sehingga keseimbangan akan bergeser menjadi E2 dan permintaan tenaga kerja turun menjadi N2. Penetapan nilai upah minimum mengakibatkan penawaran tenaga kerja yang lebih tinggi (E3) dibandingkan permintaan tenaga kerja oleh perusahaan (E2) sehingga akan terjadi pengangguran (N2-N3) (Prastyo, 2010).

Dalam menetapkan upah tersebut perlu dipertimbangkan beberapa faktor antara lain: kebutuhan hidup pekerja dan keluarganya, tingkat upah pada umumnya di negara yang bersangkutan, biaya hidup dan perubahannya, sistem jaminan sosial nasional, kondisi dan kemampuan perusahaan, serta tujuan nasional seperti mendorong pertumbuhan ekonomi, perluasan kesempatan kerja, dan peningkatan produktivitas. Ketentuan upah minimum dapat ditetapkan berlaku untuk seluruh daerah di suatu negara, atau semua sektor di seluruh daerah atau berbeda menurut


(35)

daerah dan sektor. Semakin banyak variasi ketentuan upah minimum semakin lebih mencerminkan kondisi pasarnya akan tetapi semakin besar beban administrasinya (Simanjuntak, 1996).

2.8. Penelitian Terdahulu

2.8.1. Penelitian Mengenai Pertumbuhan Ekonomi

Menurut penelitian Linda (2005) yang berjudul Analisis Pengaruh Investasi dan Tenaga Kerja terhadap PDRB Sumatera Utara, menggunakan metode OLS. Dari hasil penelitian dijelaskan bahwa Investasi PMDN tahun sebelumnya berpengaruh positif terhadap PDRB Sumatera Utara. Hal ini berarti bahwa semakin meningkatnya investasi di Sumatera Utara maka akan meningkatkan juga PDRB Sumatera Utara. Selanjutnya nilai koefisien regresi dari variabel PMA tahun sebelumnya juga bernilai positif, hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi PMA Sumatera Utara tahun sebelumnya akan meningkatkan PDRB Sumatera Utara. Selanjutnya pengaruh tenaga kerja sendiri juga memberikan pengaruh positif terhadap PDRB Sumatera Utara. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi jumlah tenaga kerja maka semakin tinggi PDRB Sumatera Utara.

Penelitian Laila (2005) mengenai kontribusi investasi swasta terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia menyimpulkan bahwa investasi memiliki pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Hasil regresi menunjukkan bahwa investasi baik swasta maupun pemerintah berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan tenaga kerja dan lag pertumbuhan PDB memiliki pengaruh yang negatif dan tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.


(36)

Sedangkan ekspor memiliki pengaruh yang positif namun tidak signifikan. Variabel lainnya yaitu dummy krisis memberikan pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya penulis menjelaskan bahwa kontribusi investasi swasta sedikit lebih besar kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi dibandingkan investasi pemerintah. Hal ini berarti peranan pemerintah tetap diperlukan terutama dalam penyediaan barang-barang publik yang dapat memperlancar kegiatan produksi pihak swasta sehingga investasi swasta dapat meningkat dan memperlancar proses pembangunan ekonomi di Indonesia.

Saptomo (2008) menganalisis mengenai pengaruh pertumbuhan investasi publik, investasi swasta, dan pertumbuhan penduduk, terhadap pertumbuhan ekonomi kota Semarang dengan menggunakan metode OLS. Nilai koefisien regresi dari variabel investasi publik adalah positif yang berati apabila pertumbuhan investasi publik atau dana pembangunan pemerintah meningkat maka pertumbuhan ekonomi Kota Semarang meningkat. Koefisien regresi variabel pertumbuhan investasi swasta juga memberikan tanda positif yang berarti semakin meningkat pertumbuhan investasi yang dilakukan pihak swasta akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi Kota Semarang. Selanjutnya Koefisien regresi variabel pertumbuhan penduduk memberikan tanda negatif yang berarti bahwa pertumbuhan penduduk yang semakin tinggi dapat mengurangi pertumbuhan ekonomi sehingga perlu dilakukan usaha-usaha untuk menekan laju pertumbuhan penduduk misalnya melalui program KB (Keluarga Berencana).


(37)

2.8.2. Penelitian Mengenai Otonomi Daerah

Penelitian yang dilakukan oleh Sihombing (2006) tentang dampak otonomi daerah terhadap pertumbuhan sektor pereknomian di Kabupaten Tapanuli Utara dengan analisis shift share menyimpulkan, bahwa perekenomian Kabupaten Tapanuli Utara sebelum otonomi daerah termasuk dalam kelompok pertumbuhan yang lambat. Sesudah otonomi daerah, pertumbuhan ekonominya menjadi maju. Lestari (2006) mengenai analisis pertumbuhan kesempatan kerja pra dan pasca otonomi daerah di Provinsi Jakarta (1996-2004) dengan analisis shift share menyimpulkan bahwa kebijakan otonomi daerah yang baru berjalan lima tahun belum menunjukkan pengaruh yang signifikan. Tetapi karena terdapat peningkatan pertumbuhan kesempatan kerja walaupun tidak besar, maka terdapat optimisme bahwa kebijakan ini akan membawa banyak perubahan ke arah yang lebih baik.

Anjani (2007) dalam penelitiannya mengenai analisis pertumbuhan sektor-sektor perekonomian sebelum dan pada saat otonomi daerah (studi kasus: Kota Depok) dengan analisis shift share menyimpulkan bahwa setelah otonomi daerah, pertumbuhan ekonomi Kota Depok mengalami peningkatan. Yusdianto (2008), mengenai kapasitas produksi listrik di kawasan Timur Indonesia dengan model panel data menyimpulkan bahwa otonomi daerah berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan PDRB, sedangkan pada penelitian ini menggunakan persamaan simultan.


(38)

2.9. Kerangka Pemikiran

Selama tahun 1995-2009 perekonomian selalu mengalami perubahan. Demikian juga dengan perekonomian di Kota Tangerang. Otonomi daerah yang berawal pada tahun 2001 telah membawa perubahan pada kondisi ekonomi Kota Tangerang. Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat pertumbuhan suatu daerah.

Pertumbuhan daerah yang berubah-ubah itu tentu saja dipengaruhi oleh beberapa faktor. Dari teori pertumbuhan yang ada yakni teori Harrod Domar dan Solow maka dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat tiga faktor utama dalam pertumbuhan ekonomi, yakni: 1) akumulasi modal yang meliputi semua bentuk atau jenis investasi baru, 2) pertumbuhan penduduk dan 3) kemajuan teknologi. Dalam penelitian ini diambil beberapa faktor yang mewakili yaitu investasi, jumlah tenaga kerja, dan upah tenaga kerja. Penelitian ini juga akan melihat kondisi perekonomian Kota Tangerang pada masa sebelum diberlakukannya otonomi daerah dan pada saat otonomi daerah.

Analisis persamaan regresi adalah salah satu cara yang bisa digunakan untuk mengetahui adanya hubungan atau tidak antara faktor-faktor tersebut dengan pertumbuhan ekonomi yang dilihat dari PDRB Di Kota Tangerang dimana nantinya dapat ditentukan apakah pengaruh faktor-faktor tersebut positif atau negatif terhadap PDRB Kota Tangerang. Diharapkan faktor-faktor tersebut dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi Kota Tangerang. Dengan demikian, dengan pengambilan kebijakan yang sesuai di Tangerang, maka diharapkan dapat meningkatkan pendapatan dan pertumbuhan ekonomi di Kota Tangerang.


(39)

Gambar 2.4. Kerangka Pemikiran Perekonomian Kota Tangerang

Sebelum otonomi daerah Pada masa otonomi daerah

PDRB Kota Tangerang

Investasi Jumlah tenaga kerja Upah tenaga kerja

Strategi meningkatkan pertumbuhan ekonomi Analisis Regresi (Metode OLS)


(40)

3.1. Jenis dan Sumber Data

Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data sekunder dalam bentuk time series dari tahun 1995 sampai tahun 2009. Data yang digunakan dalam model struktural adalah nilai PDRB, investasi Kota Tangerang, jumlah tenaga kerja, dan upah tenaga kerja yang diperoleh dari beberapa sumber antara lain BPS Pusat, BPS Kota Tangerang, Pusat dan Dinas Tenaga Kerja, BKPM, dalam pencarian dan perlengkapan data yang dibutuhkan.

3.2. Model Ekonometrika

Penelitian ini menggunakan persamaan struktural yang akan diestimasi. Model struktural pertumbuhan PDRB dapat dirumuskan:

LnPDRBt = α0 + α1LnINVt + α2LnTKt + α3LnUPAHt + α4Dummy + e Keterangan:

PDRB : PDRB Kota Tangerang (Rupiah) INV : Investasi Kota Tangerang (Rupiah)

TK : Jumlah tenaga kerja di Kota Tangerang (Jiwa)

UPAH : Upah minimum per bulan di Kota Tangerang (Rupiah) Dummy : Dummy Otonomi Daerah

αn : Parameter yang diduga (n = 1,2,3,…) e : error


(41)

3.3. Metode Analisis Data

Penelitian ini menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS). Untuk memudahkan dalam pengolahan data yang digunakan, maka data tersebut dimasukan ke dalam Microsoft Excel2007 dan diolah dengan menggunakan Eviews 6.

3.4. Pengujian Kriteria Ekonomi dan Statistik

Setelah menentukan parameter estimasi maka langkah selanjutnya yang dilakukan adalah melakukan pengujian terhadap parameter estimasi tersebut agar suatu model dapat dikatakan baik. Pengujian-pengujian tersebut yaitu uji statistik terhadap model penduga melalui uji F dan pengujian untuk parameter-parameter regresi melalui uji t serta melihat berapa persen variabel bebas dapat dijelaskan oleh variabel-variabel terikatnya melalui koefisien determinasi (R-squared). Uji ekonometrika yang akan dilakukan antara lain uji heteroskedastisitas, uji autokorelasi, uji multikolinearitas, dan uji normalitas.

3.4.1. Uji t (Uji Parsial)

Uji t (uji parsial) dilakukan untuk melihat apakah masing-masing variabel bebas (independent variable) secara parsial berpengaruh pada variabel terikatnya. Probability t-statistik menunjukkan besarnya pengaruh nyata untuk masing-masing variabel. Apabila probability untuk masing-masing variabel bebas bernilai lebih kecil

dari taraf nyata (prob < α), maka dapat disimpulkan variabel bebas tersebut


(42)

nyata (prob > α), maka variabel bebas tersebut tidak memengaruhi PDRB Kota

Tangerang.

3.4.2. Uji F ( Uji Serempak)

Probability F-statistic digunakan untuk mengetahui besarnya pengaruh secara keseluruhan dari variabel bebas (independent variabel) terhadap PDRB Kota Tangerang. Hipotesis untuk melakukan uji F-statistik adalah :

H0: semua αi = 0, artinya tidak ada variabel bebas yang berpengaruh terhadap PDRB

Kota Tangerang

H1 : αi ≠ 0, artinya minimal ada satu variabel bebas yang berpengaruh terhadap PDRB

Kota Tangerang

Apabila probability F-statistik kurang dari taraf nyata (prob < α), maka kesimpulannya adalah tolak H0, artinya minimal ada satu variabel bebas yang memengaruhi PDRB Kota Tangerang secara nyata. Namun sebaliknya jika probability F-statistik lebih besar dari taraf nyata (prob > α), maka dapat disimpulkan terima H0, artinya tidak ada variabel bebas yang berpengaruh terhadap PDRB Kota Tangerang.

3.4.3. Uji Koefisien Determinasi (R2)

Uji koefisien determinasi digunakan untuk melihat sejauh mana variabel bebas mampu menerangkan keragaman variabel terikatnya. Nilai R2 mengukur tingkat keberhasilan model regresi yang digunakan dalam memprediksi nilai variabel terikatnya. Nilai R2 memiliki dua sifat yaitu memiliki besaran positif dan besarnya


(43)

adalah 0 ≤ R2 ≤ 1. Jika R2 sebesar nol, maka hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara variabel terikat dengan variabel bebas. Sedangkan jika R2 sebesar satu maka terdapat kecocokan yang sempurna antara variabel terikat dengan variabel bebas.

3.5. Uji Ekonometrika 3.5.1. Heteroskedastisitas

Suatu fungsi dikatakan baik apabila memenuhi asumsi homoskedastisitas (tidak terjadi heteroskedastisitas) atau memiliki ragam error yang sama. Adanya heteroskedastisitas akan menyebabkan parameter yang diduga menjadi tidak efisien. Heteroskedastisitas tidak merusak ketakbiasan dan konsistensi dari penaksir Ordinary Least Square (OLS), tetapi penduga OLS tidak lagi efisien baik dalam sampel kecil maupun besar (yaitu asimtotik) (Gujarati, 1997). Untuk mendeteksi ada tidaknya pelanggaran ini dengan menggunakan White Heteroscedasticity Test. Nilai probabilitas Obs*R-squared dijadikan sebagai acuan untuk menolak atau menerima H0 : homoskedastisitas.

Probabilitas Obs*R-squared< taraf nyata α, maka tolak H0 Probabilitas Obs*R-squared> taraf nyata α, maka terima H0

Apabila H0 ditolak maka akan terjadi gejala heteroskedastisitas, begitu juga sebaliknya apabila terima H0 maka tidak akan terjadi gejala heteroskedastisitas.


(44)

3.5.2. Autokorelasi

Kendall dan Buckland dalam Gujarati (1997) mengatakan istilah autokorelasi bisa didefinisikan sebagai korelasi diantara anggota observasi yang diurut menurut waktu (seperti data deret berkala) atau ruang (seperti data lintas sektoral). Sebagaimana halnya dengan masalah heteroskedastisitas, penduga OLS tidak lagi efisian atau ragamnya tidak lagi minimum jika ada autokorelasi. Untuk mendeteksi ada tidaknya autokorelasi dapat digunakan Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test.

Probabilitas Obs*R-squared< taraf nyata α, maka terdapat autokorelasi Probabilitas Obs*R-squared> taraf nyata α, maka tidak terdapat autokorelasi

3.5.3. Uji Normalitas

Uji ini dilakukan karena data yang digunakan kurang dari 30. Uji ini digunakan untuk melihat apakah error term mendekati distribusi normal. Kriteria uji yang digunakan:

1. Jika diperoleh nilai probabilitas Jarque Bera ≥ taraf nyata (α), maka model tidak memiliki masalah normalitas masalah normalitas atau dapat dikatakan error term terdistribusi secara normal.

2. Jika diperoleh nilai probabilitas Jarque Bera ≤ taraf nyata (α), maka model memilki masalah normalitas atau dapat dikatakan error term tidak terdistribusi secara normal.


(45)

3.5.4. Multikolinearitas

Multikolinearitas terjadi apabila pada regresi berganda tidak terjadi hubungan antar variabel bebas atau terjadi karena adanya korelasi yang nyata antar peubah bebas. Pelanggaran asumsi ini akan menyebabkan kesulitan untuk menduga yang diinginkan. Untuk mendeteksi ada tidaknya multikolinearitas adalah dengan memperhatikan hasil probabilitas t-statistik hasil regresi (Gujarati, 1997). Jika banyak koefisien parameter yang diduga menunjukkan hasil yang tidak signifikan maka hal ini mengindikasikan adanya multikolinearitas. Salah satu cara yang paling mudah untuk mengatasi pelanggaran ini adalah dengan menghilangkan salah satu variabel yang tidak signifikan tersebut. Hal ini sering tidak dilakukan karena dapat menyebabkan bias parameter yang spesifikasi pada model. Kemudian cara lain adalah dengan mencari variabel instrumental yang berkorelasi dengan variabel terikat namun tidak berkorelasi dengan variabel bebas lainnya. Namun hal ini agak sulit dilakukan mengingat tidak adanya informasi tentang tipe variabel tersebut.

Ada beberapa cara untuk mendeteksi ada tidaknya multikolinear. Salah satu caranya menurut Gujarati (2007) yaitu melalui correlation matric, dimana batas terjadinya korelasi antar sesama variabel bebas adalah tidak lebih dari | 0.80 |.”

Selain itu ada cara lain menurut Gujarati (2007) untuk mendeteksi ada tidaknya multikolinearitas yaitu dengan menggunakan Uji Klein. Menurut Uji Klein, apabila terjadi nilai korelasi yang lebih tinggi dari | 0.80 |, multikolinearitas dapat diabaikan selama nilai korelasi tersebut tidak melebihi Adjusted R-squared-nya.


(46)

3.6. Beberapa Kelemahan Metode Ordinary Least Square (OLS)

Ketika menggunakan data runtut waktu (time series), seringkali muncul kesulitan-kesulitan yang sama sekali tidak dijumpai pada saat menggunakan data seksi silang (cross section). Sebagian besar kesulitan tersebut berkaitan dengan urutan pengamatan. Ada beberapa hal yang menjadi kelemahan dari metode Ordinary Least Square (OLS) dengan menggunakan data time series (Sarwoko, 2005) antara lain :

1. Suatu kondisi di mana suatu variabel time series berubah secara koefisien dan terprediksi sebelum variabel lain ditentukan demikian. Jika suatu variabel mendahului variabel lain, tidak dapat dipastikan bahwa variabel pertama tersebut menyebabkan variabel lain berubah, namun hampir dapat dipastikan bahwa kebalikannya adalah bukan hal itu.

2. Variabel-variabel independen nampak lebih signifikan dari yang sebenarnya, yaitu apabila variabel-variabel itu memiliki trend menaik yang sama dengan variabel dependennya dalam kurun waktu periode sampel.

3. Terkadang variabel time series tidak stasioner. Maksudnya rata-rata dan variannya tidak konstan sepanjang waktu dan nilai kovarian antara dua periode waktu tergantung dari jarak atau lag antara kedua periode dari waktu sesungguhnya di mana kovarian itu dihitung dan bukan dari periode pada waktu itu.

4. Terkadang variabel time series tidak mempunyai kointegrasi yaitu dalam jangka waktu tertentu tidak terdapat keseimbangan.


(47)

5. Sulit untuk menentukan kapan sebuah variabel bebas masuk ke dalam persamaan regresi. Apakah variabel tersebut penting sebagaimana dijelaskan dalam teori atau sebaliknya teorinya kurang jelas, maka akan muncul dilema. 6. Sulit untuk menentukan model persamaan mana yang lebih baik.

7. Perlakuan terhadap error semua model persamaan adalah sama.

3.7. Model Regresi Berganda

Model regresi berganda adalah model dalam variabel tak bebas (dependence variabel) tergantung pada dua atau lebih variabel yang menjelaskan atau variabel bebas (explanatory variabels / independence variabel). Tujuan dari model ini adalah untuk menghitung parameter-parameter estimasi dan untuk melihat apakah ada atau tidakanya hubungan antara variabel-variabel tersebut (Gujarati, 1997). Variabel yang diestimasi adalah variabel terikat dimana pada penelitian ini melihat pertumbuhan ekonomi Kota Tangerang yang ditunjukkan oleh pertumbuhan PDRB Kota Tangerang, sedangkan variabel yang memengaruhi adalah variabel bebas yaitu investasi, jumlah tenaga kerja, dan upah tenaga kerja. Hal ini digunakan untuk melihat bagaimana pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap PDRB Kota Tangerang, apakah positif atau berhubungan negatif.

Dalam menggunakan model regresi berganda pada hakekatnya asumsi yang digunakan antara lain (Firdaus, 2004):

1. E (εi) = 0 untuk setiap i.

2. Cov (εi, εj) = 0, i ≠ j. Asumsi ini dikenal sebagai asumsi tidak adanya korelasi berurutan atau tidak adanya autokorelasi.


(48)

3. Var (εi) = σ2, untuk setiap i, asumsi ini dikenal sebagai asumsi homoskedastisitas, atau varians sama.

4. Cov (εi I X2i) = Cov (εi I X3i) = 0. Artinya kesalahan pengganggu εi dan variabel bebas X tidak berkorelasi.

5. Tidak ada multikolinearitas (multicolinearity) yang berarti tidak terdapat hubungan linearitas yang pasti di antara variabel bebas.


(49)

4.1 Keadaan Umum Wilayah Penelitian 4.1.1 Geografi dan Tata Guna Lahan

Menurut Badan Pusat Statistik (2009) Kota Tangerang merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata ±7 meter di atas permukaan laut, 6º 6 LS - 6º 13 Lintang Selatan dan 106º 36 - 106º - 42º Bujur Timur. Luas wilayah Kota Tangerang adalah 164,55 Km² termasuk Bandara Soekarno Hatta seluas 19,69 Km². Kota Tangerang adalah sebuah kota yang terletak di sebelah barat kota selatan, barat, dan timur. Tangerang merupakan kota terbesar di Provinsi Banten serta ketiga terbesar di kawasan perkotaan

Posisi Kota Tangerang tersebut menjadikan pertumbuhannya pesat. Pada satu sisi wilayah Kota Tangerang menjadi daerah limpahan berbagai kegiatan di Ibukota Negara DKI Jakarta. Di sisi lain Kota Tangerang dapat menjadi daerah kolektor pengembangan wilayah Kabupaten Tangerang sebagai daerah dengan sumber daya alam yang produktif. Pesatnya pertumbuhan Kota Tangerang dipercepat pula dengan keberadaan Bandara nternasional Soekarno-Hatta yang sebagian arealnya termasuk ke dalam wilayah administrasi Kota Tangerang. Gerbang perhubungan udara Indonesia tersebut telah membuka peluang bagi pengembangan kegiatan perdagangan dan jasa secara luas di Kota Tangerang.

Wilayah administrasi Kota Tangerang terbagi menjadi 13 kecamatan yang dibagi lagi atas 104 kelurahan. Dahulu Tangerang merupakan bagian dari wilayah


(50)

Kabupaten Tangerang, kemudian ditingkatkan statusnya menjadi dan akhirnya ditetapkan sebagai kotamadya diganti dengan kota pada tahun 2001.

4.1.2 Penduduk dan Ketenagakerjaan

Jumlah penduduk di suatu daerah merupakan asset dan potensi pembangunan yang sangat besar manakala penduduk yang pesat tetapi dengan kualitas yang rendah akan menjadi beban besar bagi proses pembangunan yang akan dilaksanakan. Jumlah penduduk Kota Tangerang tahun 2009, berdasarkan hasil proyeksi penduduk sebanyak 1.652.590 jiwa. Dari jumlah tersebut jumlah perempuan lebih banyak dari jumlah laki-laki dengan rasio jenis kelamin sebesar 98,52 artinya setiap 100 penduduk perempuan terdapat 98,52 penduduk laki-laki, hal ini dipengaruhi banyaknya tenaga kerja wanita pada industri padat karya di Kota Tangerang yang cukup tinggi.

Pertumbuhan penduduk di Kota Tangerang tidak hanya disebabkan oleh pertumbuhan secara alamiah, tetapi tidak lepas karena pengaruh imigran yang masuk yang disebabkan daya tarik Kota Tangerang dengan berkembangnya potensi industri, perdagangan dan jasa sehingga mengakibatkan tersedianya lapangan kerja dan kondusifnya kesempatan berusaha. Disamping itu sebagai daerah yang berbatasan dengan ibukota negara, Kota Tangerang mau tidak mau harus menampung pula penduduk yang aktifitas ekonomi kesehariannya di wilayah DKI Jakarta.

Kota Tangerang merupakan daerah yang cukup padat, tiap kilometer persegi rata-rata dihuni 10.043 jiwa. Kecamatan Larangan merupakan Kecamatan dengan


(51)

kepadatan tertinggi (16.157 jiwa/km2), sementara kecamatan Neglasari masih banyak terdapat lahan kosong sehingga kepadatan penduduknya merupakan yang terendah (5.137 jiwa/km2). Berdasarkan kelompok umur ternyata jumlah penduduk terbanyak adalah penduduk umur produktif (15-64) dengan rasio ketergantungan sebesar 42,28 artinya setiap 100 penduduk usia produktif harus menanggung 42,28 penduduk non produktif (0-14 dan 65 tahun keatas). Angka ini ada kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun, hal ini dikarenakan terus meningkatnya jumlah penduduk usia tua (65+) seiring dengan meningkatnya angka harapan hidup di Kota Tangerang.

Tabel 4.1. Laju Pertumbuhan dan Jumlah Penduduk Kota Tangerang Tahun 1995-2009

Tahun Jumlah Penduduk Pertumbuhan Penduduk

(jiwa) (persen)

1995 1.096.916 12.09

1996 1.138.584 3.66

1997 1.180.930 3.59

1998 1.223.922 3.51

1999 1.267.547 3.44

2000 1.311.746 3.37

2001 1.354.226 3.14

2002 1.416.842 4.42

2003 1.466.577 3.39

2004 1.437.377 -2.03

2005 1.455.185 1.22

2006 1.481.591 1.78

2007 1.508.414 1.78

2008 1.531.666 1.52

2009 1.652.590 7.32

Sumber: BPS Kota Tangerang 1995-2009 (diolah)

Berdasarkan tabel 4.1, pertumbuhan penduduk tertinggi dicapai pada tahun 1995 yaitu sebesar 12,09 persen. Sedangkan pada tahun 2004 pertumbuhan penduduk


(52)

menurun drastis menjadi -2,03 persen. Hal ini disebabkan karena adanya pemekaran wilayah Kota Tangerang menjadi Kota Tangerang Selatan, sehingga jumlah penduduk di Kota Tangerang menjadi menurun.

Laju pertumbuhan penduduk yang tinggi dengan sendirinya akan mencerminkan laju pertumbuhan angkatan kerja yang tinggi pula. Cepatnya laju pertumbuhan angkatan kerja yang tidak diimbangi dengan pertumbuhan kesempatan kerja akan menimbulkan berbagai persoalan contohnya adalah penganggutan. Disamping masalah kesempatan kerja, hal lain yang juga berhubungan dengan kependudukan adalah persoalan kemiskinan. Pada tahun 2001, otonomi daerah mulai efektif diberlakukan. Sebelum otonomi daerah, Kota Tangerang masih berada dibawah pemerintahan Provinsi Jawa Barat, namun setelah diberlakukannya otonomi daerah, Kota Tangerang berada dibawah pemerintahan Provinsi Banten. Hal itu dikarenakan terjadinya pemekaran Provinsi Banten dari Provinsi Jawa Barat. Dengan adanya kebijakan otonomi daerah, diharapkan kesempatan kerja terbuka secara luas sehingga pertumbuhan ekonomi akan meningkat dan berdampak pada pengurangan kemiskinan di Kota Tangerang.

Ketenagakerjaan merupakan salah satu indikator penting pembangunan ekonomi khususnya dalam upaya pemerintah untuk menanggulangi kemiskinan. Hal ini karena tenaga kerja adalah modal bagi geraknya pembangunan. Masalah penyediaan lapangan kerja terjadi masalah yang cukup serius di Kota Tangerang, kesenjangan antara jumlah pencari kerja dan lowongan yang tersedia semakin jauh dari tahun ke tahun, Menurut data Disnaker Kota Tangerang jumlah lowongan kerja yang terdaftar sampai bulan Desember 2009 tercatat sebanyak 13.731 lowongan


(53)

sementara pencari kerja yang mendaftar sebanyak 33.949 orang. Seperti tahun sebelumnya pencari kerja ini masih didominasi tamatan SLTA sebanyak 27.573 orang. Indikaor lain untuk menggambarkan ketenagakerjaan adalah TPAK, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja tahun 2009 tercatat sebesar 68,50 meningkat dari tahun sebelumnya yang sebesar 58,24, hal ini cukup baik karena semakin banyak penduduk usia kerja yang bekerja atau berusaha mendapatkan pekerjaan.

Tingginya persentase penduduk kelompok usia muda di Kota Tangerang akan mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap jumlah angkatan kerja di masa mendatang. Salah satu usaha untuk menghambat angkatan kerja muda adalah melalui perluasan sarana pendidikan. Pendidikan memang dapat menunda masuknya penduduk usia muda dalam pasar tenaga kerja. Di samping memperluas sarana pendidikan, peningkatan mutu pendidikan juga perlu dilakukan. Dengan demikian akan tercipta tenaga kerja yang terampil dan tepat guna. Masalah pengangguran merupakan suatu masalah serius di Kota Tangerang karena memiliki laju pertumbuhan penduduk dan angkatan kerja yang tinggi. Pada umumnya tingkat pengangguran yang tinggi terjadi di daerah perkotaan seperti Kota Tangerang disebabkan oleh berbagai hal, salah satunya yaitu karena adanya urbanisasi dari desa ke Kota Tangerang. Sementara mereka yang datang ke kota dengan berbekal pendidikan dan keterampilan yang rendah hanya akan menambah angka pengangguran.

Urbanisasi yang terlalu cepat dan tidak teratur tidak hanya mengakibatkan masalah pengangguran, tetapi juga masalah lain seperti kondisi perumahan yang tidak sehat, penyebaran penyakit dan bertambahnya kaum tuna wisma. Di samping itu


(54)

meningkatkan tingkat kriminalitas. Dalam hal ini, pemerintah dituntut untuk melakukan pembangunan secara komprehensif dan integral di kota dan desa. Salah satu cara yang diperlukan selain merencanakan berbagai program dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, politik dan hukum juga mengevaluasi rencana tersebut secara berkala. Disinilah koordinasi dan integrasi yang didukung dengan data yang baik dan benar perlu diwujudkan secara nyata.

Tabel 4.2. Data Perkembangan Angkatan Kerja Kota Tangerang Tahun 2009

Tahun Pekerja (jiwa) Pengangguran (persen)

1995 393731 5,66

1996 425320 8,87

1997 455348 5,03

1998 520668 10,05

1999 511628 8,75

2000 552066 11,77

2001 466298 9,22

2002 529045 11,15

2003 532716 16,24

2004 545708 16,47

2005 577034 11,12

2006 543793 17,96

2007 543704 20,43

2008 642049 18,62

2009 645953 18,13

Sumber: BPS Kota Tangerang (diolah)

Jumlah angkatan kerja di Kota Tangerang pada tahun 2009 yaitu sebanyak 788.955 jiwa. Angkatan kerja tersebut terdiri dari 645.954 jiwa yang bekerja atau 18,13 persen sebagai pencari kerja atau pengangguran. Selama periode 1995-2009 jumlah tenaga kerja dan pengangguran berfluktuasi dari tahun ke tahun. Upah yang layak sangat berarti bagi pekerja/buruh bagi kelangsungan hidup dalam pemenuhan


(55)

kebutuhan dasar serta meningkatkan taraf hidup. Kemampuan dan keahlian yang dimiliki seseorang sangat memengaruhi penerimaan upah. Upah kepada pekerja di Kota Tangerang mengalami kenaikan setiap tahun yang akan menyesuaikan dengan hasil survey kebutuhan layak minimum.

4.2. Perekonomian Kota Tangerang 4.2.1. Laju Pertumbuhan Ekonomi

PDRB merupakan indikator pertumbuhan ekonomi di Kota Tangerang. Jika terjadi peningkatan PDRB dalam jumlah yang besar maka pertumbuhan ekonomi tersebut juga mengalami peningkatan. Adanya perubahan pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun menunjukkan laju pertumbuhan ekonomi.

Tabel 4.3. Laju Pertumbuhan Ekonomi Kota Tangerang Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1998-1999 dan 2007-2009 (%)

No. Lapangan Usaha Tahun

1998 1999 2007 2008 2009

1 Pertanian 4,94 8,04 6,08 16,82 11,20

2 Pertambangan dan Penggalian 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 3 Industri Pengolahan 74,63 9,10 8,06 7,91 4,06 4 Listrik, Gas, dan Air bersih 21,35 15,96 -13,08 0,13 3,27 5 Konstruksi -13,96 3,49 17,77 26,60 20,49 6 Perdagangan, Hotel & Restoran 74,21 9,19 22,58 21,75 14,52 7 Pengangkutan & Komunikasi -8,71 6,10 7,50 15,26 21,05

8

Keuangan, Real estate & Jasa

Perusahaan -23,99 9,65 17,02 20,21 19,47 9 Jasa-jasa 16,17 12,54 15,40 22,38 24,07

Total 51,89 8,88 12,05 13,55 10,39


(56)

Berdasarkan informasi pada Tabel 4.3, pada tahun 2008 laju pertumbuhan ekonomi yang paling besar di Kota Tangerang adalah sektor konstruksi yaiu sebesar 26,60 persen dan diikuti oleh sektor jasa-jasa sebesar 22,38 persen dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran sebesar 21,75 persen. Sedangkan di tahun 2009, laju pertumbuhan ekonomi yang paling besar adalah sektor jasa-jasa yaitu sebesar 24,07 persen.

Pada tahun 2008 PDRB atas dasar harga berlaku mencapai Rp 13,52 triliun dan pada tahun 2009 nilalinya mencapai Rp 14,73 triliun. Sektor-sektor dengan kontribusi terbesar dalam pembentukan PDRB tahun 2009 adalah sektor indstri pengolahan (47,54 persen), sektor perdagangan, hotel, dan restoran (31,06 persen), serta sektor pengangkutan dan komunikasi (12,17 persen). Walaupun presentase distribusi PDRB sektor perdagangan hotel dan restoran bukan yang terbesar dibanding industri pengolahan, namun dapat dilihat pada Tabel 4.3. laju pertumbuhan sektor perdagangan hotel dan restoran pada masa otonomi daerah lebih besar dan lebih stabil dibanding laju pertumbuhan sektor industri pengolahan.

4.2.2. Perkembangan Keuangan Daerah

Penerimaan daerah merupakan salah satu faktor utama untuk membiayai pembangunan. Dalam masa otonomi daerah, pemerintah daerah (pemda) diharapkan mampu menggali sumber-sumber keuangan lokal, khususnya melalui Pendapatan Asli Daerah karena dana transfer dari pemerintah pusat dari tahun ke tahun harus semakin dibatasi.


(57)

Berdasarkan pada tabel 4.4, penerimaan daerah Kota Tangerang pada tahun anggaran 2009 sebesar Rp 654,276,802 ribu. Jumlah penerimaan daerah riil Kota Tangerang pada periode tahun 1995-2009 terus meningkat tiap tahunnya, kecuali pada tahun 2000 mengalami penurunan. Hal ini disebabkan oleh masa peralihan dari kebijakan pemerintah sebelum diberlakukannya otonomi daerah. Setelah itu pada tahun 2001 pertumbuhan penerimaan daerah meningkat drastis menjadi 112,52 persen.

Tabel 4.4. Jumlah Penerimaan daerah riil Kota Tangerang Tahun 1995-2009

Tahun Penerimaan daerah (ribu rupiah)

Pertumbuhan (persen)

1995 157.167.062 49,12

1996 184.514.754 17,40

1997 186.249.983 0,94

1998 124.049.706 -33,40

1999 176.028.404 41,90

2000 150.212.646 -14,67

2001 319.238.603 112,52

2002 365.462.589 14,48

2003 409.821.978 12,14

2004 475.305.012 15,98

2005 505.093.861 6,27

2006 587.733.227 16,36

2007 614.490.666 4,55

2008 622.377.302 1,28

2009 654.276.802 5,13

Sumber: BPS Kota Tangerang (diolah)

Selama periode tahun 1995-2009, jumlah penerimaan daerah Kota Tangerang yang terbesar berasal dari DAU (pada masa otonomi daerah) dan dana sumbangan (pada masa sebelum otonomi daerah) yang berasal dari pemerintah pusat, kemudian diikuti oleh dana bagi hasil pajak, dan Pendapatan Asli Daerah (PAD).


(1)

(2)

76

Lampiran 1. Data Time Series Model Pertumbuhan PDRB

Tahun PDRB Investasi Jumlah Tenaga Kerja UMR

(juta rupiah) (ribu rupiah) (jiwa) (rupiah/bulan)

1995 6,091,213 440,359,134 393,731 323,655

1996 7,395,759 779,608,827 425,320 341,138

1997 8,904,183 935,905,467 455,348 337,708

1998 13,524,637 1,171,038,554 520,668 222,801

1999 14,725,844 1,267,309,380 511,628 240,984

2000 16,205,997 503,920,551 552,066 230,000

2001 18,239,046 898,087,129 466,298 312,041

2002 21,069,664 209,399,440 529,045 349,425

2003 23,864,029 571,584,857 532,716 377,627

2004 26,249,946 605,012,491 545,708 393,377

2005 30,021,777 635,974,196 577,034 417,340

2006 35,123,889 765,417,961 543,793 445,153

2007 39,356,399 781,364,292 543,704 471,215

2008 44,690,816 798,124,344 642,049 466,953


(3)

Lampiran 2. Output Estimasi Model Pertumbuhan PDRB

Dependent Variabel: Y Method: Least Squares Date: 03/12/12 Time: 14:36 Sample: 1995 2009

Included observations: 15

Variabel Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

X1 0.171969 0.085778 2.004819 0.0728

X2 2.867433 0.324867 8.826482 0.0000

X3 0.161828 0.212568 0.761298 0.4641

DUMMY 0.569369 0.126973 4.484166 0.0012

C -26.85196 5.113779 -5.250905 0.0004

R-squared 0.972223 Mean dependent var 16.80200

Adjusted R-squared 0.961113 S.D. dependent var 0.647172 S.E. of regression 0.127621 Akaike info criterion -1.018300 Sum squared resid 0.162872 Schwarz criterion -0.782283 Log likelihood 12.63725 Hannan-Quinn criter. -1.020814

F-statistic 87.50403 Durbin-Watson stat 1.614815

Prob(F-statistic) 0.000000

Lampiran 3. Uji Ekonometrika Model Pertumbuhan PDRB

Olah data dengan metode OLS mengharuskan adanya pengujian terhadap asumsi-asumsi yang mendasarinya. Pengujian-pengujian ini sangat perlu agar diperoleh hasil estimasi yang terbaik yang tidak bias (BLUE/Best Linier Unbiased Estimator). Pengujian estimasi tersebut meliputi uji heteroskedastisitas, uji autokorelasi uji multikolinearitas, dan uji normalitas.

Multikolinearitas

Y X1 X2 X3 DUMMY

Y 1.000000 0.046633 0.909902 0.636444 0.836224

X1 0.046633 1.000000 0.061716 -0.094924 -0.219761

X2 0.909902 0.061716 1.000000 0.401601 0.602950

X3 0.636444 -0.094924 0.401601 1.000000 0.761573

DUMMY 0.836224 -0.219761 0.602950 0.761573 1.000000


(4)

78

Autokorelasi

Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:

F-statistic 1.253865 Prob. F(2,8) 0.3360

Obs*R-squared 3.579836 Prob. Chi-Square(2) 0.1670

Heteroskedastisitas

Heteroskedasticity Test: White

F-statistic 3.367112 Prob. F(12,2) 0.2516

Obs*R-squared 14.29254 Prob. Chi-Square(12) 0.2824

Scaled explained SS 7.159317 Prob. Chi-Square(12) 0.8469

Normalitas

0 1 2 3 4 5

-0.1 -0.0 0.1 0.2 0.3

Series: Residuals Sample 1995 2009 Observations 15

Mean 1.66e-15

Median -0.013582

Maximum 0.258421

Minimum -0.128093

Std. Dev. 0.107860

Skewness 0.939004

Kurtosis 3.254108

Jarque-Bera 2.244679


(5)

MERRY VERONIKA PARDEDE. Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Kota Tangerang Sebelum dan Pada Masa Otonomi Daerah. (dibimbing oleh DEDI BUDIMAN HAKIM)

Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara ataupun daerah. Pertumbuhan ekonomi yang meningkat dan distribusi pendapatan yang merata sangat dibutuhkan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi suatu daerah diukur dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan laju pertumbuhannya atas dasar harga konstan. Pertumbuhan ekonomi yang cepat akan menimbulkan ketimpangan distribusi pendapatan. Hal ini disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang bersifat sentralisasi. Pada tahun 1999 pemerintah mengubah kebijakan sentralisasi menjadi desentralisasi dengan memberlakukan Otonomi Daerah. Hal tersebut memberikan harapan dalam upaya mengurangi tingkat kemiskinan dan ketimpangan antar daerah.

Kota Tangerang sebagai salah satu daerah pelaksana otonomi daerah berusaha untuk memaksimalkan potensi sumberdaya manusianya untuk mengolah potensi yang ada. Perkembangan pembangunan Kota Tangerang tidak terlepas dari peranan pemerintah daerah yang menentukan prioritas pembangunannya sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh Kota Tangerang tersebut. Dalam lingkup daerah, salah satu tolok ukur keberhasilan pembangunan di bidang ekonomi yang diperlukan untuk evaluasi dan perencanaan ekonomi makro, biasanya dilihat dari pertumbuhan angka Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Laju pertumbuhan PDRB Kota Tangerang yang berfluktuasi dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti investasi, sumber daya manusia, pekembangan teknologi dan faktor lainnya.

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi memerlukan modal yang relatif besar yang akan digunakan untuk memperkuat infrastruktur, baik fisik maupun sosial. Dana yang dibutuhkan untuk menambah modal tersebut biasa disebut investasi. Selain investasi, faktor lain yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi adalah sumber daya manusia. Pertumbuhan penduduk yang tinggi bila tidak disertai dengan ketersediaan lapangan pekerjaan akan menyebabkan peningkatan jumlah pengangguran. Tenaga kerja adalah modal bagi geraknya roda pembangunan. Salah satu faktor yang memengaruhi permintaan tenaga kerja adalah tingkat upah.

Dari uraian di atas, penting untuk diketahui seberapa besar pengaruh investasi, jumlah tenaga kerja, dan upah tenaga kerja, terhadap pertumbuhan ekonomi Kota Tangerang. Dengan demikian pemerintah kota dapat mempersiapkan strategi pembangunan dan menerapkan kebijakan yang tepat guna mencapai pertumbuhan ekonomi yang diinginkan. Oleh karena itu, penelitian ini akan menganalisis seberapa besar pengaruh pertumbuhan investasi, jumlah tenaga kerja, serta upah tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi yang dilihat dari PDRB Kota Tangerang serta


(6)

melihat seberapa besar keberhasilan kebijakan Otonomi Daerah yang berjalan di Kota Tangerang tersebut.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan model ekonometrika. Untuk meramalkan bagaimana pengaruh variabel-variabel bebas

(independent variables) terhadap variabel terikat (dependent variable) digunakan

metode pendugaan Ordinary Least Square (OLS). Software yang digunakan adalah

Eviews6. Data yang digunakan sebagai bahan analisis penelitian ini adalah data

sekunder dalam bentuk time series dari tahun 1995 sampai tahun 2009. Data diperoleh dari beberapa sumber antara lain BPS Kota Tangerang, BPS Pusat, Dinas Tenaga Kerja dan BKPM.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada taraf nyata sepuluh persen (α=10%), tingkat PDRB Kota Tangerang dipengaruhi oleh investasi, jumlah tenaga kerja, dan variabel dummy otonomi daerah. Variabel investasi dan jumlah tenaga kerja mempunyai hubungan yang positif dan signifikan terhadap PDRB Kota Tangerang dengan nilai koefisien masing-masing adalah 0,1720 dan 2,8674. Sedangkan variabel upah tenaga kerja mempunyai nilai koefisien yang positif tetapi tidak signifikan terhadap PDRB Kota Tangerang dengan koefisien 0,1618. Sedangkan dummy otonomi daerah juga berpengaruh positif dan signifikan terhadap PDRB Kota Tangerang dengan koefisien 0,5694, dengan kata lain PDRB pada saat otonomi daerah lebih baik daripada sebelum otonomi daerah.

Dari penelitian ini, ada beberapa tindakan kebijakan yang dapat diambil antara lain diharapkan pemerintah Kota Tangerang mampu menciptakan atau menarik investasi yang bersifat labour intensive dan juga di sektor-sektor perekonomian yang memberi nilai tambah besar seperti sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan. Dengan demikian investasi yang labour intensive di sektor-sektor tersebut dapat memberikan pengaruh yang lebih besar dalam peningkatan PDRB Kota Tangerang. Pemerintah Kota Tangerang jua sebaiknya lebih aktif dalam menciptakan lapangan kerja yang baru di Kota Tangerang agar mengurangi angka pengangguran, dan perlu dirumuskan kebijakan yang dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia di Kota Tangerang. Oleh sebab itu, diperlukan penelitian atau usaha lebih lanjut dalam meningkatkan kinerja Otonomi Daerah, sehingga dapat memberikan pengaruh lebih besar di kemudian hari terhadap PDRB Kota Tangerang.