Collaborative management model of inland water in Rawa Pening Lake Central Java Province

(1)

MODEL PENGELOLAAN KOLABORATIF PERAIRAN

UMUM DARATAN DI DANAU RAWA PENING

PROVINSI JAWA TENGAH

PARTOMO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Model Pengelolaan Kolaboratif Perairan Umum Daratan di Danau Rawa Pening Provinsi Jawa Tengah adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Pebruari 2012

Partomo


(3)

ABSTRACT

PARTOMO. Collaborative Management Model of Inland Water in Rawa Pening Lake Central Java Province. Under supervision of SJAFRI MANGKUPRAWIRA, AIDA VITAYALA S. HUBEIS and LUKY ADRIANTO.

Rawa Pening Lake is an aquatic ecological system which plays important social role for surrounding residents. Disregarding involvement of surrounding residents and stakeholders in managing the lake may result in conflicting utilization of resources. Managing the lake based on collaborative management involving all stakeholders will facilitate to create self-governance that pay off all of the stakeholders. This research is intended to formulate strategic policy in managing lake based on collaborative management. The research was conducted in 4 villages using several method of sampling. Data analysis includes stakeholders analysis, vulnerability analysis, resilience, and interpretative structural modelling analysis. The results confirm that surrounding residents depended on Rawa Pening Lake resources. The finding also shows that Kecamatan Tuntang has the highest vulnerability index caused by population pressure and degraded built land. Key success factors in collaborative management of Rawa Pening Lake are involving fishermen, managing conflict and empowerment of lake resource users, and the regulatory roles of Central Government and Central Java Provincial Government. Furthermore, necessary activities needed in upwarding lake collaborative management are education and training for capacity building, besides enhancing coordination among stakeholders.


(4)

RINGKASAN

PARTOMO. Model Pengelolaan Kolaboratif Perairan Umum Daratan di Danau Rawa Pening Provinsi Jawa Tengah. Dibimbing oleh SJAFRI MANGKUPRAWIRA, AIDA VITAYALA S. HUBEIS dan LUKY ADRIANTO.

Danau Rawa Pening merupakan sebuah sistem ekologi yang mempunyai peran sosial bagi masyarakat sekitarnya. Fungsi ekologi danau mulai terancam oleh berbagai tekanan, baik yang bersifat alamiah maupun antropogenik. Kondisi ini menjadikan ekosistem danau sebagai sistem yang rentan terhadap gangguan atau tekanan yang bersifat eksternal. Kegiatan pemanfaatan sumberdaya danau semakin meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk di sekitar danau. Kondisi ini dapat mengancam keberadaan danau sebagai ekosistem penyangga kehidupan dan penyedia langsung mata pencaharian bagi masyarakat sekitar danau. Dalam hal ini, masyarakat sekitar Danau Rawa Pening menggantungkan hidupnya terkait dengan mata pencaharian, terutama untuk kegiatan perikanan tangkap, perikanan budidaya, dan pertanian. Potensi sumberdaya perikanan danau menjadi kompleks dengan semakin tingginya eksploitasi sumberdaya perikanan.

Pengelolaan Danau Rawa Pening bersifat multi stakeholders yang melibatkan peran banyak pihak. Model pengelolaan sentralistik dengan mereduksi peran masyarakat pemanfaat sumberdaya telah mengakibatkan pengelolaan danau tidak efisien. Sebaliknya, pendekatan pengelolaan berbasis masyarakat tidak dapat menjamin keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya. Ketidakseimbangan distribusi peran antara pemerintah dan masyarakat telah mengakibatkan konflik pemanfaatan sumberdaya dan kerusakan ekosistem danau. Hal ini yang menjadi latar belakang pentingnya pendekatan pengelolaan kolaboratif untuk memperbaiki sistem pengelolaan Danau Rawa Pening.

Tujuan penelitian ini adalah (1) mengidentifikasi tingkat kebergantungan masyarakat terhadap Danau Rawa Pening, (2) menganalisis tingkat kerentanan masyarakat sekitar Danau Rawa Pening, (3) menganalisis tingkat resiliensi masyarakat sekitar Danau Rawa Pening, serta (4) merancang model pengelolaan kolaboratif di Danau Rawa Pening. Penelitian ini dilakukan dengan mengambil empat desa sampel yang ditentukan secara purposive sampling, yaitu Desa Tuntang, Desa Rowoboni, Desa Kebondowo, dan Desa Bejalen. Responden masyarakat, pejabat pemerintah, pelaku usaha, akademisi, LSM, dan responden pakar dilibatkan dalam penelitian ini. Data primer dan sekunder dianalisis menggunakan analisis stakeholders, analisis kerentanan, analisis resiliensi, dan

interpretative structural modelling.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis mata pencaharian masyarakat yang bergantung pada sumberdaya alam adalah sektor perikanan dan pertanian. Masyarakat nelayan dan petani memiliki tingkat kebergantungan yang sangat tinggi terhadap sumberdaya danau. Masyarakat dengan tingkat pendapatan tinggi memiliki tingkat kebergantungan yang rendah terhadap sumberdaya danau. Semakin tinggi tingkat kebergantungan masyarakat terhadap sumberdaya danau, maka akan meningkatkan peranserta masyarakat dalam pengelolaan danau.

Hasil analisis kerentanan menunjukkan bahwa kerentanan pertumbuhan populasi penduduk tertinggi adalah di Kecamatan Bawen (12,48). Kerentanan


(5)

degradasi lahan terbangun tertinggi adalah di Kecamatan Ambarawa (23,10). Selanjutnya kerentanan keterbukaan ekonomi tertinggi adalah di Kecamatan Tuntang (24,54). Hasil standarisasi masing-masing variabel kerentanan menunjukkan bahwa Kecamatan Tuntang memiliki komposit indeks kerentanan tertinggi (0,72), sehingga dapat dikategorikan pada wilayah yang memiliki tingkat kerentanan tinggi.

Kebijakan dalam peningkatan resiliensi masyarakat sekitar Danau Rawa Pening adalah (1) pengembangan usaha kecil untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, (2) penegakan hukum terhadap pelanggaran kawasan, (3) konservasi tanah dan rehabilitasi lahan, (4) penatagunaan dan pendayagunaan lahan berdasarkan keseimbangan dan kelestarian lingkungan, (5) pengaturan alat tangkap atau jaring nelayan, (6) melarang penggunaan bahan peledak, stroom, dan racun dalam menangkap ikan, (7) normalisasi kawasan Danau Rawa Pening, (8) pengembangan obyek wisata berbasis masyarakat nelayan, (9) pemberdayaan masyarakat, serta (10) memelihara kelestarian daerah tangkapan air.

Hasil analisis stakeholders menunjukkan, bahwa masyarakat pemanfaat sumberdaya yang tergabung dalam Kelompok Nelayan Sedyo Rukun memiliki tingkat kepentingan tinggi dalam pemanfaatan sumberdaya, akan tetapi memiliki tingkat pengaruh yang rendah dalam penentuan kebijakan pengelolaan. Pemeritah Pusat dan Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Tengah merupakan kelompok

stakeholders yang memiliki tingkat kepentingan dan pengaruh yang sama tinggi dalam proses penentuan kebijakan. Tingkat kepentingan yang tinggi terkait dengan aspek pengelolaan danau yang menjadi kewenangannya. Selanjutnya tingkat pengaruh yang tinggi terkait dengan peran penting dalam mengorganisir kegiatan pengelolaan Danau Rawa Pening.

Elemen kunci dalam menyusun kebijakan pengelolaan kolaboratif adalah (1) kelompok masyarakat yang terpengaruh dengan peubah kunci masyarakat nelayan, (2) kendala utama dalam pengelolaan dengan peubah kunci konflik kepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya, (3) tujuan pengelolaan dengan peubah kunci pemberdayaan masyarakat pemanfaat sumberdaya, (4) lembaga yang terlibat dengan peubah kunci Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Tengah, serta (5) aktivitas dalam pengembangan pengelolaan kolaboratif dengan peubah kunci melakukan pendidikan dan latihan untuk meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia, serta meningkatkan koordinasi antar stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan.

Implikasi kebijakan dari hasil penelitian ini adalah (1) interaksi antara masyarakat dan danau merupakan hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Untuk melestarikan sumberdaya danau dapat dibangun melalui pengelolaan kolaboratif, (2) pengambil keputusan dapat mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi, dan sosial untuk pengembangan wilayah Kecamatan Tuntang dan Ambarawa, (3) pemberdayaan masyarakat melalui penguatan modal sosial dan kelembagaan lokal merupakan bagian utama dalam perbaikan sistem ketahanan masyarakat, (4) pemberdayaan masyarakat pemanfaat sumberdaya dimaksudkan untuk meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia agar memiliki peran dalam penentuan kebijakan, serta (5) lembaga Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Tengah dapat berperan sebagai fasilitator dan koordinator dalam pengelolaan kolaboratif di Danau Rawa Pening.


(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2012

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.


(7)

MODEL PENGELOLAAN KOLABORATIF PERAIRAN

UMUM DARATAN DI DANAU RAWA PENING

PROVINSI JAWA TENGAH

PARTOMO

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(8)

Penguji pada Ujian Tertutup: Dr. Ir. Abdul Kohar I, M.Sc. Dr. Ir. Anna Fatchiya, M.Si. Penguji pada Ujian Terbuka: Dr. Ir. Etty Riani, M.S.

(Departemen Menajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor).

Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc.

(Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor).


(9)

Judul Disertasi : Model Pengelolaan Kolaboratif Perairan Umum Daratan di Danau Rawa Pening Provinsi Jawa Tengah

Nama : Partomo

NRP : P 062050311

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Sjafri Mangkuprawira Ketua

Prof. Dr. Ir. Aida Vitayala S. Hubeis Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc. Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Sekolah Pascasarjana Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.


(10)

Saya persembahkan karya ini kepada: Bapak Saroyo (alm) dan Ibu Sutari (alm) Kakak dan adik-adik tercinta


(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Topik dalam penelitian ini adalah kebijakan pengelolaan danau dengan judul penelitian Model Pengelolaan Kolaboratif Perairan Umum Daratan di Danau Rawa Pening Provinsi Jawa Tengah.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Sjafri Mangkuprawira, selaku ketua komisi pembimbing atas perhatian tulus yang telah dicurahkan kepada penulis selama proses pembimbingan, sejak penyusunan usulan penelitian, pelaksanaan penelitian sampai penyusunan disertasi ini. Berkat bimbingan, kesabaran dan ketulusan beliau, penulis dapat menyelesaikan disertasi ini dengan baik.

2. Prof. Dr. Ir. Aida Vitayala S. Hubeis, selaku anggota komisi pembimbing atas segala arahan dan bimbingan selama penyusunan disertasi ini. Berkat dukungan semangat, motivasi, dan kesabaran beliau, penulis termotivasi untuk dapat menyelesaikan disertasi ini.

3. Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc, selaku anggota komisi pembimbing atas segala arahan dan bimbingan selama penyusunan disertasi ini. Berkat dorongan semangat, perhatian, dan kesabaran beliau, penulis termotivasi untuk menyelesaikan disertasi ini.

4. Rektor Institut Pertanian Bogor dan Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan.

5. Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S, selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan IPB yang telah memberikan arahan dalam proses penyusunan disertasi dan penyelesaian studi.

6. Dr. Ir. M. Yanuar J. Purwanto, M.S dan Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc. yang telah berkenan menjadi penguji luar komisi pada ujian prelim.

7. Dr. Ir. Abdul Kohar I, M.Sc dan Dr. Ir. Anna Fatchiya, M.Si. yang telah berkenan menjadi penguji luar komisi pada ujian tertutup.


(12)

8. Dr. Ir. Etty Riani, M.S dan Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc yang telah berkenan menjadi penguji luar komisi pada ujian terbuka.

9. Kepala Bappeda Provinsi Jawa Tengah, Kepala Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air Provinsi Jawa Tengah, Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Pemali Juana, Kepala Balai Pengelolaan Sumberdaya Air Jragung Tuntang, Kepala Badan Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Tengah, dan Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Semarang yang telah memberikan pendapat dan masukan mendasar selama penelitian.

10.Kepala Desa Tuntang, Banyubiru, Kebondowo, dan Bejalen beserta segenap masyarakatnya atas bantuan dan informasi selama pengumpulan data.

11.Ketua Kelompok Nelayan Sedyo Rukun beserta seluruh anggota kelompok atas bantuan dan informasi selama pengumpulan data.

12.Kedua orang tua, Saroyo (alm) dan Sutari (alm), kakak dan adik tercinta atas do’a dan segala dukungannya.

13.Seluruh teman mahasiswa Program Studi PSL-IPB atas segala saran dan masukannya selama penyusunan disertasi ini.

Semoga hasil penelitian ini bermanfaat dan memberikan kontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan, khususnya pemberdayaan masyarakat, pengelolaan kolaboratif, dan studi lingkungan.

Bogor, Pebruari 2012


(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Klaten, Jawa Tengah pada tanggal 10 September 1966, sebagai anak kedua dari pasangan Saroyo (alm) dan Sutari (alm). Pada Tahun 1992, penulis menyelesaikan pendidikan S1 pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, dan pada Tahun 2004 menyelesaikan pendidikan S2 di Program Studi Magister Manajemen Agribisnis, Sekolah Pascasarjana IPB. Selanjutnya pada Tahun 2005 penulis menempuh pendidikan S3 pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana IPB.

Sejak Tahun 2005, penulis bekerja pada Yayasan Sukabumi Berkah Abadi di Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Sebelumnya penulis pernah bekerja pada perusahaan perkebunan PT. Matahari Kahuripan Indonesia di Jakarta (1997–2002), dan perusahaan jasa konsultan bidang lingkungan hidup PT. Trisida Pantau di Bogor (1992–1996).

Publikasi ilmiah selama mengikuti pendidikan S3 adalah Formulasi Strategi Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango telah diterbitkan pada Jurnal Ekologia Volume 6, No.1, April 2006. Artikel-artikel lain berjudul (1) Pengelolaan Danau Berbasis Co-management: Kasus Rawa Pening diterbitkan pada Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Volume 1, No.2, Desember 2011, dan (2) Ketergantungan dan Kerentanan Masyarakat terhadap Sumberdaya Danau: Kasus Danau Rawa Pening diterbitkan pada Jurnal Media Konservasi Volume 16, No.3, Desember 2011 merupakan bagian dari disertasi ini.


(14)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 7

1.4 Kegunaan Penelitian ... 7

1.5 Kebaruan Penelitian ... 7

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perairan Umum Daratan ... 9

2.2 Sistem Sosial-Ekologi Danau ... 10

2.3 Kerentanan (Vulnerability) ... 12

2.4 Resiliensi (Resilience) ... 13

2.5 Konflik dalam Pemanfaatan Sumberdaya Alam ... 15

2.6 Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Ko-manajemen (Pengelolaan Kolaboratif) ... 17

2.7 Pengetahuan Lokal sebagai Prasarat Ko-manajemen (Pengelolaan Kolaboratif) ... 25

2.8 Konsep Pemberdayaan Masyarakat ... 28

2.9 Peranan Modal Sosial dalam Pemberdayaan Masyarakat ... 30

2.10 Kerangka Pemikiran Penelitian ... 31

2.11 Hipotesis ... 35

2.12 Penelitian Terdahulu ... 35

III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 39

3.2 Rancangan Penelitian ... 39

3.3 Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data ... 39


(15)

3.4 Metode Penentuan Wilayah Sampel ... 40

3.5 Metode Penentuan Responden ... 41

3.6 Metode Analisis Data ... 43

3.7 Definisi Operasional ... 50

IV KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Kondisi Fisik Danau Rawa Pening ... 53

4.2 Kondisi Perikanan Danau Rawa Pening ... 57

4.3 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat ... 60

4.4 Pengelolaan Danau Rawa Pening ... 64

V KEBERGANTUNGAN DAN KERENTANAN MASYARAKAT TERHADAP SUMBERDAYA DANAU 5.1 Kebergantungan Masyarakat terhadap Danau Rawa Pening ... 70

5.2 Kerentanan Masyarakat sekitar Danau Rawa Pening ... 74

5.3 Resiliensi Masyarakat sekitar Danau Rawa Pening ... 80

VI KEBIJAKAN PENGELOLAAN KOLABORATIF DI DANAU RAWA PENING 6.1 Indentifikasi Stakeholders dalam Pengelolaan Danau Rawa Pening ... 86

6.2 Kebijakan Pengelolaan Kolaboratif di Danau Rawa Pening ... 91

6.3 Implikasi Keilmuan ... 112

VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan ... 115

7.2 Implikasi Kebijakan ... 116

7.3 Saran Penelitian ... 118

DAFTAR PUSTAKA ... 119

LAMPIRAN ... 126


(16)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Tindakan skala lokal dalam peningkatan resiliensi sistem sosial-

ekologi terkait kerentanan sumberdaya perikanan ... 12

2 Karakteristik perbedaan antara pengelolaan berbasis masyarakat, ko-manajemen, dan pengelolaan berbasis negara ... 19

3 Peran stakeholders kunci dalam pengelolaan kolaboratif ... 24

4 Rekapitulasi penelitian sejenis yang pernah dilakukan, Tahun 2010 ... 36

5 Jumlah responden dari stakeholders pemerintah, Tahun 2010 ... 42

6 Pola Pemanfaatan perairan Danau Rawa Pening, Tahun 2009 ... 54

7 Alokasi dana pengelolaan Danau Rawa Pening Tahun 2004 – 2008 ... 55

8 Kondisi demografi desa inti di sekitar Danau Rawa Pening, Tahun 2009 ... 60

9 Distribusi pendapatan responden di sekitar Danau Rawa Pening, Tahun 2010 ... 62

10 Distribusi PDRB Kabupaten Semarang berdasarkan harga konstan (Tahun 2000) ... 63

11 Proporsi aspek kunci dalam peraturan perundangan yang terkait dengan pengelolaan Danau Rawa Pening, Tahun 2010 ... 64

12 Nilai indeks pertumbuhan populasi penduduk di sekitar Danau Rawa Pening, Tahun 2010 ... 75

13 Nilai indeks degradasi lahan terbangun di sekitar Danau Rawa Pening, Tahun 2010 ... 76

14 Nilai indeks keterbukaan ekonomi di sekitar Danau Rawa Pening, Tahun 2010 ... 77

15 Nilai komposit indeks kerentanan masyarakat di sekitar Danau Rawa Pening, Tahun 2010 ... 78

16 Tindakan untuk meningkatkan resiliensi terkait kerentanan Danau Rawa Pening, Tahun 2010 ... 81

17 Penilaian kriteria dalam memelihara keanekaragaman dalam konteks sistem ekologi Danau Rawa Pening, Tahun 2010 ... 82


(17)

18 Penilaian kriteria pengembangan modal sosial dan kelembagaan

lokal yang sudah memiliki legitimasi ... 83 19 Peubah kunci sistem pengelolaan kolaboratif Danau Rawa Pening,

Tahun 2010 ... 92


(18)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Identifikasi permasalahan dalam pengelolaan Danau Rawa Pening

dengan kerangka DPSIR (Sulistiawati 2011) ... 6

2 Variasi ko-manajemen menurut peran pemerintah dan pelaku pemanfaat sumberdaya (Pomeroy dan Rivera-Guieb 2006) ... 21

3 Aliran fungsional pentingnya ko-manajemen perikanan (Adrianto 2007) ... 22

4 Perubahan rejim pengelolaan perikanan di Indonesia (Adrianto 2007) ... 23

5 Kerangka pemikiran konseptual ... 33

6 Kerangka pemikiran operasional ... 34

7 Matriks hasil analisis stakeholders (Grimble dan Chan 1995) ... 44

8 Tahapan analisis resiliensi (Walker et al. 2002) ... 47

9 Jumlah produksi ikan di Danau Rawa Pening, Tahun 2007 ... 58

10 Jumlah produksi ikan menurut jenis ikan di Danau Rawa Pening, Tahun 2007 ... 59

11 Sebaran penduduk desa sampel berdasarkan jenis mata pencaharian, Tahun 2010 ... 61

12 Perceived value of dependency terkait dengan jenis mata pencaharian penduduk di sekitar Rawa Pening, Tahun 2010 (n = 69) ... 71

13 Perceived value of dependency terkait dengan tingkat pendapatan masyarakat di sekitar Danau Rawa Pening, Tahun 2010 (n = 78) ... 72

14 Perceived value of dependency terkait dengan tingkat partisipasi masyarakat di sekitar Danau Rawa Pening, Tahun 2010 (n = 80) ... 73

15 Nilai komposit indeks kerentanan, Tahun 2010 ... 79

16 Pengelompokan stakeholders dalam pengelolaan kolaboratif di Danau Rawa Pening, Tahun 2010 ... 90

17 Matriks driver power dan dependence elemen kelompok masyarakat yang terpengaruh dalam pengelolaan kolaboratif di Danau Rawa Pening, Tahun 2010 ... 93

18 Struktur sistem elemen kelompok masyarakat yang terpengaruh dalam pengelolaan kolaboratif di Danau Rawa Pening, Tahun 2010 ... 95


(19)

19 Matriks driver power dan dependence elemen kendala utama dalam pengelolaan kolaboratif di Danau Rawa Pening, Tahun 2010 ... 97 20 Struktur sistem elemen kendala utama dalam pengelolaan

kolaboratif di Danau Rawa Pening, Tahun 2010 ... 98 21 Matriks driver power dan dependence elemen tujuan pengelolaan

kolaboratif di Danau Rawa Pening, Tahun 2010 ... 101 22 Struktur sistem elemen tujuan pengelolaan kolaboratif di Danau

Rawa Pening, Tahun 2010 ... 102 23 Matriks driver power dan dependence elemen lembaga yang terlibat

dalam pengelolaan kolaboratif di Danau Rawa Pening, Tahun 2010 ... 105 24 Struktur sistem elemen lembaga yang terlibat dalam pengelolaan

kolaboratif di Danau Rawa Pening, Tahun 2010 ... 107 25 Matriks driver power dan dependence elemen aktivitas

pengembangan dalam pengelolaan kolaboratif di Danau Rawa

Pening, Tahun 2010 ... 109 26 Struktur sistem elemen aktivitas pengembangan dalam pengelolaan

kolaboratif di Danau Rawa Pening, Tahun 2010 ... 110


(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Peta lokasi penelitian ... 126 2 Kebijakan terkait pengelolaan Danau Rawa Pening, Tahun 2010 ... 127 3 Hasil analisis stakeholders dalam pengelolaan Danau Rawa Pening,

Tahun 2010 ... 128 4 Hasil analisis Interpretative Structural Modelling ... 129


(21)

1.1 Latar Belakang

Danau merupakan perairan umum daratan yang memiliki fungsi penting bagi pembangunan dan kehidupan manusia. Secara umum, danau memiliki dua fungsi utama, yaitu fungsi ekologi dan sosial ekonomi. Dari aspek ekologi, danau merupakan tempat berlangsungnya siklus ekologis dari komponen air dan kehidupan akuatik di dalamnya. Keberadaan danau akan mempengaruhi keseimbangan ekosistem di sekitarnya, sebaliknya kondisi danau juga dipengaruhi oleh ekosistem di sekitarnya. Dari aspek sosial ekonomi, danau memiliki fungsi yang secara langsung berkaitan dengan kehidupan masyarakat sekitar danau. Menurut Hartoto et al. (2009), danau memiliki fungsi sebagai penyedia jasa lingkungan, sosial-ekologi, pendidikan, kenyamanan, budaya, kemasyarakatan, jasa spiritual, ketahanan masyarakat, ekonomi, dan rekreasi.

Menurut Puspita et al. (2005), saat ini di Indonesia terdapat sejumlah 843 danau dan 736 situ. Kondisi sebagian besar danau telah mengalami kerusakan ekosistem dan penurunan fungsi. Hasil penelitian FDI (2004), melaporkan bahwa faktor-faktor penyebab rusaknya ekosistem danau adalah tidak memadainya pengetahuan, kekurangan teknologi, keterbatasan finansial, serta kebijakan pengelolaan yang tidak tepat. Berdasarkan data Kementerian Negara Lingkungan Hidup (2009), terdapat sembilan danau yang kondisinya kritis dan memerlukan prioritas untuk penanganannya, yaitu Danau Toba (Provinsi Sumatera Utara), Danau Maninjau dan Danau Singkarak (Provinsi Sumatera Barat), Danau Tempe (Provinsi Sulawesi Selatan), Danau Tondano (Provinsi Sulawesi Utara), Danau Poso (Provinsi Sulawesi Tengah), Danau Limboto (Provinsi Gorontalo), Danau Batur (Provinsi Bali), serta Danau Rawa Pening (Provinsi Jawa Tengah).

Kondisi sebagian besar situ di Indonesia juga mengalami kerusakan ekologi dan dalam kondisi kritis. Menurut Roemantyo et al. (2003), jumlah situ di kawasan Jabodetabek pada tahun 1940 yaitu 76 situ dengan luas 7,900 km2, selanjutnya jumlah situ pada tahun 2000 adalah 114 situ dengan luas 3,213 km2. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi fragmentasi situ yang mengakibatkan penurunan kapasitas daya tampung situ.


(22)

Danau Rawa Pening dengan luas 2.770 hektar yang berada di Kabupaten Semarang merupakan salah satu danau yang kondisinya kritis. Hasil penelitian UNEP (1999), melaporkan bahwa berbagai faktor fisik-kimia dan biologi telah mengakibatkan sedimentasi, serta masuknya limbah domestik dan industri. Akumulasi endapan lumpur, limbah pertanian dan industri menyebabkan suburnya tanaman Eichornia crassipes (Eceng Gondok). Luas tanaman Eceng Gondok yang menutupi permukaan danau yang mencapai 1.080 hektar dengan pertumbuhan 7,1%-10% per bulan telah menimbulkan kerusakan ekosistem danau dan mengakibatkan krisis sumberdaya perikanan.

Potensi sumberdaya perikanan Danau Rawa Pening menjadi kompleks dengan semakin tingginya eksploitasi sumberdaya perikanan. Berdasarkan data Disnakan Kabupaten Semarang (2007), jumlah produksi perikanan di perairan Danau Rawa Pening selama kurun waktu Tahun 2002 sampai dengan 2006 berturut-turut 982,5 ton, 1.033,7 ton, 1.084,5 ton, 1.026,0 ton, dan 1.042,8 ton. Jumlah nelayan yang menggantungkan hidupnya pada sumberdaya danau sekitar 1.589 orang. Menurut Adrianto et al. (2010), status dan potensi sumberdaya perikanan menjadi kompleks setelah adanya intervensi manusia karena adanya

demands (permintaan) yang kemudian diikuti eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya perikanan. Dalam kondisi tanpa pengelolaan, kegiatan eksploitasi membuat sumberdaya perikanan menjadi kolaps.

Kegiatan pemanfaatan sumberdaya danau semakin meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk di sekitar danau. Kondisi ini dapat mengancam keberadaan danau sebagai ekosistem penyangga kehidupan dan penyedia langsung mata pencaharian bagi masyarakat sekitar danau (Anshari 2006). Dalam hal ini, masyarakat sekitar Danau Rawa Pening menggantungkan hidupnya terkait dengan matapencaharian, terutama untuk kegiatan perikanan tangkap dan pertanian.

Danau Rawa Pening merupakan sebuah sistem ekologi yang mempunyai peran sosial ekonomi bagi masyarakat sekitarnya. Kondisi ini menjadikan ekosistem danau sebagai sistem yang rentan terhadap gangguan atau tekanan eksternal. Berbagai gangguan atau tekanan eksternal, baik yang bersifat alamiah maupun antropogenik dapat mempengaruhi kesehatan ekosistem danau. Hal ini


(23)

menjadi latar belakang pentingnya dilakukan penilaian kerentanan untuk mengidentifikasi masyarakat atau tempat yang paling rentan terhadap bahaya serta mengidentifikasi tindakan untuk mengurangi kerentanan.

Pengelolaan Danau Rawa Pening bersifat multi stakeholders yang melibatkan banyak pihak seperti pemerintah, swasta, akademisi, lembaga non-pemerintah, petani, nelayan, dan pelaku perikanan lainnya. Model pengelolaan sentralistik dengan kontrol mutlak oleh pemerintah telah menghasilkan pola pengelolaan sumberdaya berbasis pemerintah. Dalam hal ini, pemerintah mendominasi dalam penentuan kebijakan dan kurang mengakomodasikan kepentingan masyarakat. Otoritas tunggal terbukti tidak efektif dalam pengelolaan Danau Rawa Pening, khususnya dalam mengurangi kerusakan sumberdaya serta menggalang dukungan dari masyarakat pemanfaat sumberdaya. Di lain pihak, apabila masyarakat melakukan kontrol penuh terhadap pengelolaan akan menghasilkan pola pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat. Model pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat tidak dapat menjamin keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya dan mengakibatkan konflik kepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya.

Ketidakseimbangan distribusi peran antara pemerintah dan masyarakat menjadi latar belakang pentingnya pendekatan pengelolaan kolaboratif untuk memperbaiki sistem pengelolaan Danau Rawa Pening dan mengakhiri konflik antar stakeholders tanpa adanya pihak yang dikalahkan. Seiring dengan tuntutan desentralisasi dan kemandirian dalam pengelolaan sumberdaya alam, pengelolaan kolaboratif merupakan model pengelolaan sumberdaya alam yang paling masuk akal. Pengelolaan kolaboratif dapat menciptakan perimbangan peran dan tanggung jawab antara pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam. Dalam hal ini, masyarakat pemanfaat sumberdaya bertindak sebagai pelaku yang mendayagunakan dan sekaligus memelihara sumberdaya alam, selanjutnya pemerintah berperan sebagai fasilitator.

1.2 Perumusan Masalah

Sumberdaya Danau Rawa Pening dianggap sebagai free goods (barang bebas) atau common property (sumberdaya milik bersama). Konsekuensi terhadap


(24)

sumberdaya milik bersama adalah bahwa semua orang berhak mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumberdaya yang ada atau yang lebih dikenal dengan prinsip

open access. Menurut Nasution et al. (2007), dampak negatif dari prinsip open access dalam pengelolaan sumberdaya alam adalah tidak adanya pihak yang peduli untuk mengembalikan atau memulihkan potensi sumberdaya yang telah rusak. Kerusakan sumberdaya alam dapat menurunkan produktivitas ekonomi dalam pemanfaatannya, sehingga dapat mengakibatkan menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat.

Eksploitasi sumberdaya danau dilakukan secara intensif untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat sekitar kawasan. Pemanfaatan sumberdaya semakin meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. Hal ini dapat mengancam keberadaan danau sebagai ekosistem penyangga kehidupan dan penyedia langsung mata pencaharian masyarakat (Anshari 2006). Kebergantungan masyarakat terhadap sumberdaya danau tidak hanya terbatas pada upaya untuk memenuhi kehidupan sehari-hari, akan tetapi telah berkembang menjadi upaya untuk memperoleh hasil yang lebih untuk dapat dipasarkan. Dalam hal ini, telah berkembang beberapa mata pencaharian alternatif terkait dengan pemanfaatan sumberdaya danau, yaitu industri rumah tangga, jasa pariwisata alam, serta usaha perdagangan di sekitar Danau Rawa Pening.

Kebergantungan masyarakat sekitar Danau Rawa Pening terhadap sumberdaya danau terkait dengan (1) kegiatan sektor pertanian lahan pasang surut

seluas 1.020 hektar, (2) nelayan dan petani ikan sebanyak 1.589 orang, (3) budidaya karamba ikan berjumlah 200 keramba jaring apung dan 500 keramba

tancap, (4) pemanfaatan Eceng Gondok dengan kapasitas 1.000 kg/hari, (5) pemanfaatan gambut untuk kompos dengan kapasitas 54.000 m3/tahun, serta

(6) pariwisata dengan jumlah pengunjung 50-100 orang/hari (BPSDA Jratun 2009). Konsep terpadu dalam pemberdayaan masyarakat belum tersusun, oleh sebab itu pemanfaatan potensi sumberdaya danau menghadapi banyak kendala. Konflik horisontal antar pemanfaat sumberdaya yang terus berlanjut telah menyebabkan tidak efektifnya program pemberdayaan masyarakat.

Danau Rawa Pening merupakan sebuah sistem ekologi yang mempunyai peran sosial ekonomi bagi masyarakat sekitarnya. Fungsi ekologi danau mulai


(25)

terancam oleh berbagai tekanan, baik yang bersifat alamiah maupun antropogenik. Tekanan yang bersifat alamiah disebabkan oleh pemanasan suhu bumi secara global dan perubahan iklim yang ekstrim. Selanjutnya tekanan yang bersifat antropogenik merupakan faktor terpenting yang mengakibatkan kerusakan ekosistem danau. Hal ini menjadikan danau sebagai sistem yang rentan terhadap gangguan atau tekanan eksternal. Tingkat kerentanan yang tinggi merupakan penghalang atau hambatan bagi keberlanjutan danau.

Penanggulangan terhadap kerusakan ekologi akan mempertinggi resiliensi untuk dapat kembali pada kondisi keseimbangan setelah adanya gangguan. Tingkat resiliensi bergantung pada kemampuan suatu sistem lingkungan dalam menanggulangi berbagai gangguan eksternal. Kapasitas beradaptasi merupakan kemampuan sistem sosial-ekologi untuk menghadapi situasi baru tanpa kehilangan pilihan di masa depan. Dalam hal ini, resiliensi merupakan kunci untuk meningkatkan kapasitas beradaptasi.

Pengelolaan Danau Rawa Pening bersifat lintas sektoral dan melibatkan banyak stakeholders. Lemahnya koordinasi antar stakeholders mengakibatkan pelaksanaan program pengelolaan cenderung sektoral. Model pengelolaan sentralistik dengan tidak memberikan ruang bagi peranserta masyarakat pemanfaat sumberdaya tidak mampu melindungi ekosistem danau dari kerusakan ekologi. Ketidakadilan distribusi peran dalam pemanfaatan sumberdaya alam telah mengakibatkan munculnya konflik kepentingan. Konflik internal terjadi akibat adanya ketidakharmonisan hubungan antar stakeholders dalam kegiatan pemanfaatan sumberdaya. Dalam hal ini, tidak ada kerangka hukum dan peraturan yang secara tegas dapat dipakai untuk menyelesaikan berbagai konflik yang terjadi dalam pemanfaatan sumberdaya Danau Rawa Pening.

Ekosistem Danau Rawa Pening merupakan penyangga kehidupan dan penyedia langsung mata pencaharian masyarakat sekitarnya. Terdapat keterkaitan antara aktivitas masyarakat terhadap kondisi ekosistem Danau Rawa Pening. Identifikasi permasalahan dalam pengelolaan Danau Rawa Pening mengacu penilaian biodiversity pada kerangka Drivers-Pressures-States-Impacts-Responses

(DPSIR) yang dikembangkan Bin et al. (2009) diacu dalam Sulistiawati (2011) seperti disajikan pada Gambar 1. Menurut Bowen dan Riley (2003), model DPSIR


(26)

bertujuan mengidentifikasi aspek-aspek atau parameter-parameter kunci pada suatu sistem dan memantau tingkat keberlanjutan dari pengelolaan.

Petumbuhan populasi penduduk, kepentingan ekonomi (permintaan sumberdaya, kegiatan perikanan) Faktor Penggerak/

Drivers (D)

Tekanan Lingkungan/

Environmental Pressures (P)

Perubahan Kondisi Lingkungan/

Environmental

States Changes (S) Dampak/ Impacts (I)

Krisis perikanan, produktivitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat menurun, dan konflik kepentingan Eksploitasi sumberdaya, degradasi lahan di

sekitar danau, sedimentasi, ekspansi Eceng Gondok Kerusakan ekosistem danau dan potensi sumberdaya Respon ekologi, ekonomi, dan sosial

Responses (R)

Pengurangan Peningkatan K ebut uh an Peng u rangan Pen guran gan

Gambar 1 Identifikasi permasalahan dalam pengelolaan Danau Rawa Pening dengan kerangka DPSIR (Sulistiawati 2011)

Kondisi ekosistem Danau Rawa Pening dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan populasi penduduk dan aktivitas masyarakat ekonomi seperti pemanfaatan sumberdaya dan kegiatan perikanan. Hal ini mengakibatkan tekanan terhadap ekosistem danau berupa eksploitasi sumberdaya, degradasi lahan di sekitar danau, sedimentasi dan penyuburan yang mengakibatkan kerusakan ekosistem danau dan kerusakan potensi sumberdaya danau. Sebagai dampaknya adalah terjadinya krisis sumberdaya perikanan, menurunnya tingkat produktivitas ekonomi dan tingkat kesejahteraan masyarakat, serta terjadinya konflik kepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya.

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah dengan kerangka DPSIR, maka dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana tingkat kebergantungan masyarakat terhadap sumberdaya Danau Rawa Pening?

2. Bagaimana tingkat gangguan eksternal yang dapat mempengaruhi ekosistem dan masyarakat sekitar Danau Rawa Pening?


(27)

3. Bagaimana masyarakat sekitar Danau Rawa Pening dapat menyerap gangguan-gangguan yang bersifat eksternal?

4. Bagaimana merancang model pengelolaan kolaboratif di Danau Rawa Pening yang mampu memperbaiki sistem pengelolaan sumberdaya dengan mengintegrasikan seluruh stakeholders?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi tingkat kebergantungan masyarakat terhadap sumberdaya Danau Rawa Pening.

2. Menganalisis tingkat kerentanan masyarakat sekitar Danau Rawa Pening. 3. Menganalisis tingkat resiliensi masyarakat sekitar Danau Rawa Pening.

4. Merumuskan model dan kebijakan strategis pengelolaan kolaboratif di Danau Rawa Pening.

1.4 Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan akan bermanfaat untuk:

1. Menghasilkan informasi ilmiah sebagai dasar dalam pembuatan kebijakan pengelolaan danau dengan mempertimbangkan tingkat kebergantungan masyarakat terhadap sumberdaya danau, kerentanan masyarakat, dan resiliensi masyarakat dalam menyerap perubahan dan gangguan-gangguan yang bersifat eksternal.

2. Bahan pertimbangan dalam perbaikan sistem pengelolaan sumberdaya danau dengan mengintegrasikan pengakuan hak dan kemitraan dari seluruh

stakeholders yang terlibat.

1.5 Kebaruan Penelitian

Konsep pengelolaan kolaboratif telah banyak diterapkan dalam pengelolaan sumberdaya alam, terutama dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dan hutan. Konsep yang mengintegrasikan antara masyarakat dan ekosistem danau belum dipertimbangkan dalam pengelolaan danau. Adanya pola interaksi antara masyarakat dan ekosistem danau akan mempermudah kontrol terhadap kerusakan ekosistem danau.


(28)

Kebaruan penelitian ini apabila dibandingkan dengan penelitian-penelitian yang pernah dilakukan adalah:

1. Strategi pengelolaan dengan mempertimbangkan tingkat kebergantungan masyarakat, kerentanan masyarakat, dan resiliensi masyarakat sekitar danau. 2. Model pengelolaan yang mengintegrasikan masyarakat dan danau dengan

lebih memfokuskan pada masyarakat serta adanya inisiasi kemitraan antara pemerintah dan masyarakat pemanfaat sumberdaya.


(29)

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perairan Umum Daratan

Air merupakan sumberdaya yang mutlak diperlukan bagi kehidupan manusia. Kebutuhan manusia terhadap air cenderung meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan semakin beragamnya jenis pemanfaatan terhadap sumberdaya air. Menurut Odum (1998), habitat air tawar menempati daerah yang relatif kecil pada permukaan bumi apabila dibandingkan dengan habitat laut dan daratan. Kepentingan bagi manusia jauh lebih berarti dibandingkan dengan luas daerahnya, karena (1) habitat air tawar merupakan sumber air yang paling praktis dan murah untuk kepentingan domestik dan industri, (2) komponen air tawar adalah daerah kritis pada daur hidrologi, dan (3) ekosistem air tawar menawarkan sistem pembuangan yang memadai dan murah. Selanjutnya Gunderson et al. (2006), meyatakan bahwa ekosistem akuatik merupakan sistem paling produktif yang menyediakan layanan dalam bentuk kualitas air serta kehidupan akuatik lainnya.

Menurut Suwignyo et al. (2003), semua badan air yang ada di daratan diistilahkan sebagai inland water atau perairan umum daratan. Dalam kajian ilmu lingkungan, badan-badan air tersebut dapat dibedakan antara perairan dengan ekosistem tertutup dan perairan dengan ekosistem terbuka. Perairan dengan ekosistem tertutup tidak terpengaruh oleh lingkungan di sekitarnya, misalnya kolam buatan dan kolam budidaya. Perairan dengan ekosistem terbuka terpengaruh oleh keadaan lingkungan di sekitarnya, misalnya sungai, rawa, waduk, dan danau.

Kajian tentang ekosistem danau telah mengalami perkembangan dalam berbagai disiplin ilmu. Danau dipandang sebagai sistem berbatasan yang ditentukan oleh permukaan perairan darat, sehingga dari sisi limnologi danau harus dipahami dalam konteks lansekap penampungan. Perubahan yang disebabkan oleh kegiatan pertanian, pemanfaatan lahan, kehutanan, konsumsi bahan bakar fosil, dan permintaan jasa ekosistem terkait dengan danau telah memberikan manfaat sosial ekonomi yang lebih besar (Carpenter dan Cottingham 1997). Menurut Kumurur (2002), danau adalah salah satu bentuk ekosistem yang


(30)

menempati daerah yang relatif kecil pada permukaan bumi dibandingkan dengan habitat laut dan daratan.

Berdasarkan tingkat produktivitasnya, danau dapat dikelompokkan menjadi oligotrophic dan eutrophic. Danau oligotrophic memiliki kualitas air yang bersih dan bernilai tinggi bagi masyarakat. Danau eutrophic memiliki kualitas air rendah dan bernilai rendah bagi masyarakat (Odum 1998). Selanjutnya menurut Janssen dan Carpenter (1999), penyuburan yang disebabkan oleh kelebihan masukan nutrien menjadi permasalahan yang berkembang luas pada ekosistem danau.

Penyuburan menjadi permasalahan yang dapat terjadi pada ekosistem perairan seiring dengan perkembangan pertanian, industri dan urbanisasi. Permasalahan menjadi semakin serius apabila terjadi pada ekosistem lentik (tergenang), seperti danau. Hal ini disebabkan waktu tinggal bahan pencemar dan masa pemulihan di danau lebih lama jika dibandingkan pada ekosistem lotik (mengalir). Laju penyuburan yang meningkat pesat pada ekosistem perairan tergenang dapat mengakibatkan pendangkalan danau (Soeprobowati dan Hadisusanto 2009).

Danau Rawa Pening merupakan tempat berkembangnya keanekaragaman hayati akuatik, terutama spesies asli setempat. Keanekaragaman hayati danau sangat rentan terhadap gangguan terutama dari spesies asing yang bukan asli setempat. Hilangnya spesies endemik yang disebabkan oleh berkembangbiaknya spesies asing dapat mengakibatkan berubahnya ekosistem perairan danau manjadi ekosistem daratan. Pertumbuhan Eceng Gondok yang tidak terkendali telah mengakibatkan dampak negatif terhadap ekosistem dan berbagai fungsi dan manfaat Danau Rawa Pening.

2.2 Sistem Sosial-Ekologi Danau

Menurut Anderies et al. (2004), sistem sosial-ekologi didefinisikan sebagai unit ekosistem yang dihubungkan dan dipengaruhi oleh satu atau lebih sistem sosial. Dalam hal ini, sistem sosial-ekologi berhubungan dengan unit ekosistem seperti wilayah pesisir, ekosistem mangrove, ekosistem danau, terumbu karang, dan pantai yang mencakup sistem perikanan sebagai unit yang berasosiasi


(31)

dengan proses sosial. Selanjutnya Berkes dan Folke (1998); Carpenter dan Folke (2006) mendefinisikan sistem sosial-ekologi sebagai sistem alam dan sistem manusia yang terintegrasi dengan hubungan yang bersifat timbal balik.

Dalam kajian sistem perairan danau, kondisi perubahan pada komponen ekologi seperti berkembangnya ganggang di danau dan beberapa perubahan komunitas tumbuhan lahan basah merupakan indikasi perubahan kondisi ekologi yang dianggap sebagai krisis ekologi. Hal ini terkait dengan bagaimana komponen sosial dari sistem sosial-ekologi dapat menjawab perubahan kondisi masa lalu atau akan merespon perubahan di masa depan (Gunderson et al. 2006). Konsep yang mengintegrasikan antara komunitas manusia dan danau dengan mempertimbangkan proses kontrol terhadap degradasi danau. Beberapa proses yang terkait dengan masyarakat dan danau adalah vegetasi air, tata guna lahan, kegiatan sosial, dan perekonomian daerah. Dalam hal ini terdapat pola interaksi yang dapat memberikan kontribusi untuk pemahaman tentang interaksi antara masyarakat dan danau (Carpenter dan Cottingham 1997).

Mengacu pendapat Adrianto dan Azis (2006), paradigma sistem sosial-ekologi danau membicarakan unit ekosistem danau yang berasosiasi dengan struktur dan proses sosial, dimana aspek sistem alam (ekosistem) dan sistem manusia tidak dapat dipisahkan. Hal ini didasarkan pada karakteristik dan dinamika danau yang merupakan suatu sistem dinamis dan saling terkait antara sistem komunitas manusia dengan sistem alam sehingga kedua sistem tersebut bergerak dinamik dalam kesamaan besaran. Diperlukan integrasi pengetahuan dalam implementasi pengelolaan danau yang dikenal dengan paradigma sistem sosial-ekologi.

Sistem sosial-ekologi merupakan konsep yang sangat penting dalam kerangka ko-manajemen perikanan, karena pelaku perikanan memiliki keterkaitan dengan dinamika ekosistem perairan dan sumberdaya perikanan. Dengan kata lain, kedua dinamika sistem tersebut memerlukan pengintegrasian melalui kerangka ko-manajemen perikanan. Dengan pendekatan sistem sosial-ekologi diharapkan mampu meningkatkan resilience atau ketahanan dan menanggulangi kerentanan melalui beberapa tindakan, baik dalam skala lokal maupun nasional (Adrianto dan Azis 2006). Menurut Hartoto et al. 2009, beberapa contoh tindakan


(32)

skala lokal maupun regional dalam konteks peningkatan resiliensi sistem sosial-ekologi seperti disajikan pada Tabel 1, yaitu (1) pemeliharaan ekosistem melalui pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan, (2) proses pembelajaran untuk merespon dampak lingkungan dan hubungan sosial, (3) keanekaragaman dalam konteks sistem ekologi, serta (4) modal sosial dan kelembagaan masyarakat yang memiliki legitimasi.

Tabel 1 Tindakan skala lokal dalam peningkatan resiliensi sistem sosial-ekologi terkait kerentanan sumberdaya perikanan

No Kerentanan Tindakan Skala Lokal

1 Sensitivitas terhadap bencana dan kerusakan sumberdaya alam

1)Pemeliharaan ekosistem melalui pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan

2)Pemeliharaan memori atas pola pemanfaatan sumberdaya, proses pembelajaran untuk merespon dampak lingkungan dan hubungan sosial

2 Kapasitas adaptif 1)Keanekaragaman dalam konteks sistem ekologi 2)Keanekaragaman dalam konteks teori

sosial-ekonomi

3)Modal sosial dan kelembagaan masyarakat yang memiliki legitimasi

Sumber: Modifikasi Adger et.al. (2005) diacu dalam Hartoto et al. (2009)

2.3 Kerentanan (Vulnerability)

Konsep kerentanan didefinisikan sebagai atribut yang potensial dari suatu sistem untuk dirusakkan oleh dampak-dampak yang bersifat exogenous. Dalam hal ini, tingkat gangguan eksternal diperkirakan dengan menggunakan variabel-variabel ekologi dan ekonomi dalam menyusun indeks kerentanan. Tujuan dari suatu indeks kerentanan adalah untuk menaksir tingkat gangguan eksternal pada suatu sistem. Berbagai potensi kerusakan yang dianggap berbahaya adalah resiko-resiko secara antropogenik dan alamiah. Resiko-resiko-resiko adalah suatu kejadian dan proses-proses yang dapat mempengaruhi integritas biologi atau kesehatan ekosistem. Manusia dan lingkungan alami sudah memiliki kapasitas untuk menyerap gangguan yang kapasitasnya kecil. Semakin besar tingkat kerentanan, pada gilirannya akan menjadi penghalang yang lebih besar pada pembangunan berkelanjutan (Adrianto dan Matsuda 2002, 2004).

Menurut Luers (2005), karakteristik kerentanan, yaitu sensitivitas,


(33)

tersebut telah muncul dari resiko dan bahaya terkait keamanan pangan dan telah terintegrasi ke dalam wacana penelitian masyarakat terkait perubahan lingkungan global. Beberapa kerangka konseptual telah diusulkan dengan menggabungkan konsep-konsep untuk menjelaskan proses secara umum yang mengacu pada kerentanan masyarakat dan tempat. Tujuan utama dari penilaian kerentanan adalah mengidentifikasi masyarakat atau tempat yang paling rentan terhadap bahaya dan mengidentifikasi tindakan untuk mengurangi kerentanan. Kompleksitas sistem sosial-ekologi sering menyulitkan dalam mengidentifikasi kerentanan. Hal ini menjadi tantangan terutama untuk penilaian di tingkat lokal dan nasional yang berfokus pada evaluasi kerentanan masyarakat atau tempat yang disebabkan oleh satu atau banyak tekanan, tanpa secara eksplisit menyatakan karakteristik masyarakat dan tempat yang dianggap rentan.

Isu kerentanan pada umumnya terkait dengan topik pembangunan berkelanjutan. Konsep kerentanan menjadi bagian dari batasan keberlanjutan, seperti konsep standar keamanan minimum, standar mutu, daya dukung lingkungan, kapasitas lingkungan, maximum sustainable yield, beban kritis, dan ruang pemanfaatan lingkungan hidup. Batasan keberlanjutan sedikitnya memiliki empat atribut, yaitu (1) dinyatakan dalam satu atau lebih parameter yang terukur, (2) parameter tersebut terhubung ke sasaran keberlanjutan, (3) parameter memiliki suatu skala geografis yang sesuai, dan (4) parameter memiliki dimensi waktu yang relevan. Parameter-parameter tersebut idealnya harus merencanakan faktor-faktor kuantitatif, tetapi dalam kenyataannya sering disajikan informasi kualitatif yang tidak jelas dan tidak lengkap (Adrianto dan Matsuda 2002).

2.4 Resiliensi (Resilience)

Konsep resiliensi dalam sistem ekologi diperkenalkan oleh Holling pada tahun 1973 dalam Annual Review of Ecology and Systematics mengenai hubungan antara resiliensi dan stabilitas. Tujuannya untuk menjelaskan model perubahan dalam struktur dan fungsi sistem ekologi. Gagasan resiliensi berkembang sebagai sebuah konsep untuk memahami dan mengelola sistem manusia dan alam. Beberapa ahli ekologi mempertimbangkan resiliensi sebagai ukuran seberapa cepat sistem dapat kembali pada kondisi keseimbangan setelah adanya gangguan.


(34)

Resiliensi sebagai ukuran seberapa jauh sistem dapat terganggu tanpa pergeseran ke rejim yang berbeda (Walker et al. 2006).

Menurut Adrianto dan Matsuda (2004), terdapat dua konsep yang agak berbeda terkait dengan resiliensi. Konsep yang pertama mengacu pada beberapa sifat sistem yang mendekati keseimbangan tetap. Konsep yang kedua dipromosikan oleh Holling (1973), yaitu menggambarkan sebagian gangguan yang dapat diserap sebelum sistem berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Mengacu konsep yang kedua, resiliensi memusatkan pada perkiraan tingkat gangguan atau external shocks yang merepresentasikan indeks kerentanan.

Resiliensi bertujuan menghindarkan sistem sosial-ekologi berpindah ke formasi yang tidak dikehendaki. Hal ini bergantung pada sistem yang dapat menanggulangi external shocks walaupun berhadapan dengan ketidakpastian. Pada gilirannya membutuhkan pemahaman dimana resiliensi berada di dalam sistem, dan kapan serta bagaimana dapat bertahan atau hilang. Proses peningkatan resiliensi untuk perubahan yang tidak terduga, berbeda dengan proses untuk memperbaiki kinerja sistem selama masa pertumbuhan dan keseimbangan. Keduanya diperlukan tetapi lebih ditekankan pada ekosistem yang sudah dimanfaatkan manusia. Pengambilan keputusan melalui proses analisis kebijakan yang memaksimalkan kegunaan atau memperkecil kerugian (Walker et al. 2002).

Konsep resiliensi berusaha untuk memahami sumber dan peran perubahan, khususnya jenis perubahan transformasi dalam sistem kapasitas beradaptasi (Redman dan Kinzig 2003). Kapasitas beradaptasi merupakan kemampuan sistem sosial-ekologi untuk menghadapi situasi baru tanpa kehilangan pilihan dimasa depan. Dalam hal ini, resiliensi merupakan kunci untuk meningkatkan kapasitas berdaptasi. Kapasitas beradaptasi dalam sistem ekologi terkait dengan keanekaragaman genetik, keanekaragaman biologi, kemajemukan lansekap. Dalam sistem sosial, keberadaan institusi dan jaringan pembelajaran yang memiliki pengetahuan, pengalaman dalam pemecahan masalah, serta keseimbangan kekuatan diantara kelompok kepentingan memiliki peran penting dalam kapasitas beradaptasi.

Resiliensi ekologi sistem perairan dan lahan basah sebagai jumlah gangguan dimana sistem dapat menyerap tanpa perubahan struktur dan komposisi.


(35)

Resiliensi ekologi terkait dengan perubahan variabel secara perlahan seperti tanah atau kandungan nutrien, struktur habitat, laut, dan faktor iklim. Resiliensi telah diuji dengan gangguan dalam bentuk kekeringan atau siklus banjir dan sedimentasi. Resiliensi erosi merupakan hasil dari intervensi manusia yang menstabilkan proses ekosistem, seperti mitigasi dari banjir dan kekeringan atau kebakaran (Gunderson et al. 2006).

Menurut Folke et al. (2002), terdapat empat faktor penting yang saling berhubungan untuk mengatasi dinamika sumberdaya alam selama perubahan dan

re-organisasi, yaitu (1) belajar dengan perubahan dan ketidakpastian, (2) memelihara keragaman, (3) mengkombinasikan berbagai macam pengetahuan,

dan (4) menciptakan peluang untuk pengorganisasian diri.

2.5 Konflik dalam Pemanfaatan Sumberdaya Alam

Konflik dapat didefinisikan sebagai hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki tujuan yang bertentangan. Konflik secara konseptual dapat dibedakan dengan violence (kekerasan), yaitu tindakan, kata-kata, sikap, struktur atau sistem yang menyebabkan kerusakan fisik, psikis, lingkungan, serta menutup kemungkinan orang untuk mengembangkan potensinya (Jamil 2007).

Menurut Pomeroy dan Rivera-Guieb (2006), konflik dalam pemanfaatan sumberdaya alam memiliki banyak dimensi dan tidak terbatas pada kekuasaan, teknologi, politik, jenis kelamin, usia dan etnis. Konflik dapat terjadi pada berbagai tingkatan, mulai dari tingkat rumah tangga, masyarakat, wilayah, atau dalam skala global. Konflik dapat disebabkan adanya perbedaan kekuatan diantara individu atau kelompok, serta tindakan-tindakan yang dapat mengancam mata pencaharian. Pemanfaatan sumberdaya alam rentan terhadap timbulnya konflik yang disebabkan oleh:

1. Pemanfaatan sumberdaya alam dalam suatu wilayah dimana terjadi interaksi antar individu atau kelompok dapat berdampak keluar dari teritorialnya.

2. Pemanfaatan sumberdaya alam dalam aspek sosial dan dalam hubungan tidak setara, terbentuk dari berbagai aktor sosial, seperti lembaga pemerintah, swasta, pengusaha, dan lembaga non pemerintah. Dalam hal ini, aktor sosial


(36)

yang memiliki akses terhadap kekuasaan dapat mengontrol dan mempengaruhi keputusan-keputusan terkait dengan pemanfaatan sumberdaya alam.

3. Sumberdaya alam tunduk pada peningkatan kelangkaan akibat perubahan lingkungan yang cepat, seperti peningkatan permintaan dan distribusi yang tidak merata.

Langkah penting dalam pemahaman konflik adalah menggali faktor-faktor yang menyebabkan konflik. Hal ini dapat membantu dalam pendekatan pengelolaan konflik. Menurut Mangkuprawira (2008), model pendekatan pengelolaan konflik bergantung pada jenis lingkup, bobot, dan faktor-faktor penyebab konflik. Beberapa pendekatan yang diterapkan antara lain: pendekatan negosiasi, dinamika kelompok, pendekatan formal dan informal, pendekatan gender, pendekatan kompromi, dan pendekatan mediasi.

Menurut Pomeroy dan Rivera-Guieb (2006), para pihak yang terlibat dalam suatu konflik memiliki pandangan yang bertentangan mengenai solusi yang tepat untuk suatu permasalahan. Masing-masing kelompok mengakui bahwa pandangan dari kelompoknya lebih rasional dan memiliki legitimasi. Pengelolaan konflik bertujuan untuk tidak menghindari konflik, tetapi mengembangkan keterampilan yang dapat membantu dalam mengekspresikan perbedaan dan memecahkan permasalahan dengan cara kolaboratif. Faktor utama yang perlu dianalisis dalam menentukan cakupan suatu konflik adalah:

1. Karakterisasi konflik dan stakeholders: jenis konflik yang dihadapi, jumlah

stakeholders yang terlibat, dan hubungan antara pihak yang berkonflik. Selanjutnya dianalisis sifat dan asal-usul konflik, serta keseimbangan kekuasaan di antara pihak yang berkonflik.

2. Tahap dalam periode perencanaan: konflik pada tahap awal mungkin berbeda dengan konflik pada tahap pelaksanaan. Stakeholders baru mungkin akan muncul sebagai hasil perencanaan.

3. Tahap dalam proses konflik: suatu penentuan apakah konflik berada pada titik dimana intervensi dapat diterima.

4. Hukum dan kelembagaan: penyelesaian konflik dapat melalui lembaga formal dan informal, serta berdasarkan asas-asas hukum formal yang berlaku.


(37)

Pomeroy dan Rivera-Guieb (2006), mengidentifikasi tanggapan terhadap konflik berdasarkan tingkat kepentingan dalam mencapai tujuan atau mempertahankan hubungan pribadi adalah:

1. Akomodasi: ketika salah satu pihak ingin mempertahankan hubungan pribadi dengan pihak lain, maka dapat dilakukan dengan mengakomodasi tujuan pihak lain.

2. Penarikan: salah satu pihak dapat memilih untuk menghindari konfrontasi atau menarik diri dari konflik karena tidak tertarik dalam memelihara hubungan pribadi atau terkait pencapaian tujuan.

3. Kekuatan: salah satu pihak lebih memegang kekuasaan atas pihak lain dan tidak peduli dapat merusak hubungan dalam mencapai tujuan.

4. Kompromi: salah satu pihak memberikan sesuatu agar tidak ada salah satu pihak yang dikalahkan

5. Konsensus: menghindari adanya pihak yang dikorbankan dan mencari hasil yang memenangkan semua pihak.

Konflik yang terjadi dalam pemanfaatan sumberdaya Danau Rawa Pening adalah jenis konflik horisontal, yaitu terjadi pada pihak-pihak yang memiliki hirarki yang sama terkait dengan pemanfaatan sumberdaya danau. Pendekatan pemecahan konflik dengan mengidentifikasi penyebab terjadinya konflik dan mengembangkan tujuan bersama dari pihak yang berkonflik terkait dengan pemanfaatan sumberdaya danau.

2.6 Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Ko-manajemen (Pengelolaan Kolaboratif)

Resolusi International Union for Concervation of Nature and Natural

Resources nomor 1.42 Tahun 1996 menyatakan bahwa gagasan dasar pengelolaan kolaboratif (ko-manajemen) adalah kemitraan antara lembaga

pemerintah, komunitas lokal dan pemanfaat sumberdaya, lembaga non-pemerintah dan kelompok kepentingan lainnya dalam bernegosiasi dan menentukan kerangka kerja yang tepat tentang kewenangan dan tanggung jawab untuk mengelola daerah spesifik atau sumberdaya (IUCN 1997). Melalui konsultasi dan negosiasi, para mitra membangun suatu persetujuan formal atas peran, hak dan tanggung jawab


(38)

ko-manajemen juga disebut dengan partisipatori, pengelolaan multi stakeholders, atau pengelolaan kolaboratif (Pomeroy dan Rivera-Guieb 2006).

Menurut Borrini-Feyerabend et al. (2000), pengelolaan kolaboratif atau ko-manajemen didefinisikan sebagai sebuah situasi, dalam hal ini dua atau lebih aktor sosial bernegosiasi, memperjelas dan memberikan garansi di antara mereka serta membagi secara adil mengenai fungsi pengelolaan, hak dan tanggung jawab dari suatu daerah teritori atau sumberdaya alam tertentu yang diberi mandat untuk dikelola.

Berdasarkan definisi tersebut, dalam kerangka ko-manajemen terdapat kata kunci sebagai berikut.

1. Menggunakan pendekatan pluralistik dengan memadukan peranan para pihak dalam mengelola sumberdaya alam.

2. Merupakan proses perubahan politik dan budaya untuk mencapai keadilan sosial dan demokrasi dalam pengelolaan sumberdaya alam.

3. Memerlukan beberapa kondisi dasar untuk dikembangkan, seperti: akses terhadap informasi dan pilihan yang relevan, kebebasan berorganisasi, kebebasan mengekspresikan kebutuhan, lingkungan sosial yang tidak diskriminatif, saling percaya dalam menghargai kesepakatan yang dipilih.

Pengelolaan kolaboratif berbeda dengan pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat, dan pengelolaan sumberdaya alam berbasis negara. Otoritas utama dalam pengelolaan kolaboratif adalah pemerintah pusat dengan otoritas pemerintah dan pemerintah lokal. Otoritas dalam pengelolaan berbasis masyarakat adalah struktur pengambilan keputusan lokal dan penduduk lokal, sedangkan otoritas dalam pengelolaan berbasis negara adalah pemerintah. Orientasi aspek legal pengelolaan kolaboratif adalah adanya hak properti komunal atau properti swasta. Selanjutnya tujuan pengelolaan kolaboratif adalah menciptakan perdamaian dan demokratisasi dalam pengelolaan sumberdaya alam dengan melibatkan sumberdaya manusia dari berbagai tingkatan. Secara ringkas, karakteristik perbedaan antara pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat, pengelolaan kolaboratif (ko-manajemen), dan pengelolaan sumberdaya alam berbasis negara disajikan pada Tabel 2.


(39)

Tabel 2 Karakteristik perbedaan antara pengelolaan berbasis masyarakat, ko-manajemen, dan pengelolaan berbasis negara

No Karakteristik Berbasis masyarakat Ko-manajemen Berbasis negara

1 Penerapan spasial Lokasi spesifik (kecil) Jaringan multi-lokasi (moderat sampai luas)

Nasional (luas)

2 Pihak otoritas utama

Struktur pengambilan keputusan lokal dan penduduk lokal

Terbagi, pemerintah pusat dengan otoritas pemerintah dan pemerintah lokal

Pemerintah pusat

3 Pihak bertanggung jawab

Komunal, badan pengambilan keputusan lokal

Multi-pihak pada tataran lokal dan nasional

Dominasi pemerintah pusat

4 Tingkat partisipasi Tinggi pada tataran lokal Tinggi pada berbagai tingkatan

Rendah, potensi eksklusivitas

kelompok kepentingan 5 Durasi kegiatan Proses awal cepat, proses

pengambilan keputusan lambat

Proses awal moderat, pengambilan keputusan antar kelompok kepentingan lambat

Proses awal gradual, cepat mengambil keputusan pada awal proses

6 Keluwesan pengelolaan

Daya penyesuaian tinggi, sensitif dan cepat tanggap terhadap perubahan kondisi lingkungan lokal

Daya penyesuaian moderat, cepat tanggap terhadap perubahan alam dengan kecukupan waktu

Perubahan lambat dan tidak luwes, birokratis, potensi tidak

terkoneksinya antara kebijakan, realitas dan praktik

7 Investasi finansial dan SDM

Menggunakan SDM lokal, pengeluaran finansial moderat sampai rendah, anggaran fleksibel

Membangun SDM berbagai tingkatan, anggaran fleksibel, pengeluaran biaya moderat sampai tinggi

Dipusatkan pada SDM dan biaya pengeluaran moderat, anggaran sudah ditetapkan (kaku)

8 Kelangsungan usaha

Jangka pendek, jika tanpa dukungan eksternal yang berkelanjutan

Terus-menerus, jika terbangun koalisi yang setara

Terus-menerus, jika struktur politik terpelihara 9 Orientasi

prosedural

Fokus pada dampak jangka pendek, didisain untuk lokasi lokal spesifik, sanksi moral

Berorientasi dampak jangka panjang,

berorientasi proses dalam jangka pendek, didisain untuk multi-lokasi

Orientasi proses pada jangka panjang, didisain untuk lokasi yang luas, sanksi

10 Orientasi aspek legal

Kontrol sumberdaya secara de facto, hak properti komunal atau properti swasta

Kontrol sumberdaya secara de jure, hak properti komunal, swasta atau publik

Kontrol semberdaya secara de jure, hak properti publik atau negara

11 Orientasi resolusi konflik

Salah satu pihak ada yang dikalahkan, akomodatif, kompetisi, kekuatan publik, sanksi hukum lokal

Semua pihak dimenangkan, kolaboratif, negosiatif

Diselesaikan secara hukum, salah satu pihak ada yang dikalahkan, kompetisi, akomodatif, kekuatan politik

12 Tujuan akhir Revitalisasi atau mempertahankan status- quo penguasaan sumberdaya lokal, demokratisasi politik pengelolaan sumberdaya alam tingkat lokal

Menciptakan perdamaian, dan demokratisasi politik bidang pengelolaan sumberdaya alam di berbagai tingkatan Mempertahankan status-quo politik penguasaan sumberdaya alam, perubahan ekonomi nasional

13 Sumber informasi pengelolaan

Pengetahuan lokal Pengetahuan lokal dan barat

Dominasi pengetahuan barat


(40)

Pengelolaan kolaboratif menuntut adanya kesadaran dan distribusi tanggung jawab secara formal dari masing-masing pihak. Konsultasi publik dan perencanaan partisipatif ditujukan untuk menetapkan bentuk peranserta yang lebih tahan lama, terukur dan setara dengan melibatkan seluruh kelompok kepentingan (Borrini-Feyerabend et al. 2000). Menurut Pomeroy dan Rivera-Guieb (2006); Adrianto (2007), community-based resources management memiliki persamaan fungsional dengan ko-manajemen. Keduanya memiliki tujuan bagi tercapainya pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan, berkeadilan sosial dalam kondisi ekosistem dan lingkungan yang sehat. Perbedaan keduanya terletak pada fokus strateginya, yaitu:

1. Community-based resources management memiliki fokus strategi pada orang dan komunitas. Ko-manajemen memiliki fokus strategi pada kedua hal tersebut ditambah dengan isu inisiasi kemitraan antara pemerintah dan masyarakat pemanfaat sumberdaya.

2. Community-based resources management memiliki skala dan ruang lingkup dalam dan luar masyarakat (dari sudut pandang masyarakat), akan tetapi ko-manajemen memiliki skala dan ruang lingkup yang lebih luas.

Dalam kerangka persamaan tujuan dan fungsi antara community-based resources management dan ko-manajemen, dikenal community-based co-management

(CBCM) atau ko-manajemen berbasis masyarakat. Karakteristik ko-manajemen berbasis masyarakat adalah fokus pada masyarakat tanpa meninggalkan aspek pentingnya kemitraan dengan pemerintah.

Distribusi tanggung jawab antara pemerintah dan masyarakat pemanfaat sumberdaya bervariasi, yaitu dari tipe instruktif hingga informatif. Terdapat lima tipe ko-manajemen menurut peran pemerintah dan masyarakat pemanfaat sumberdaya, yaitu (1) instruktif, (2) konsultatif, (3) kooperatif, (4) advisori, dan (5) informatif. Dalam pengertian yang luas, wilayah pengelolaan ko-manajemen dapat diilustrasikan berada di tengah-tengah atau jalan kompromistik antara pengelolaan di bawah kontrol penuh pemerintah dan di bawah kendali penuh masyarakat pemanfaat sumberdaya. Spektrum ko-manajemen berdasarkan distribusi peran dan tanggung jawab antara pemerintah dan masyarakat disajikan pada Gambar 2 (Pomeroy dan Rivera-Guieb 2006; Adrianto 2007).


(41)

User Group Management

Government Management

Instructive

Cooperative

Advisory

Consultative

User Group Based Management Government Based Management

Co-management (varying degrees)

Informative

Gambar 2 menunjukkan, bahwa karakteristik masing-masing tipe proses dalam variasi ko-manajemen adalah:

1. Instruktif: terdapat komunikasi dan tukar informasi yang minimal antara pemerintah dan pemanfaat sumberdaya. Tipe ini berbeda dengan rejim sentralisasi, dimana terdapat mekanisme dialog antara pemerintah dan pemanfaat sumberdaya. Mekanisme dialog masih dalam konteks intruksi informasi dari apa yang telah diputuskan oleh pemerintah.

2. Konsultatif: terdapat mekanisme dialog antara pemerintah dan pemanfaat sumberdaya, tetapi seluruh keputusan masih dibuat oleh pemerintah.

3. Kooperatif: pemerintah dan pemanfaat sumberdaya bekerja bersama-sama sebagai patner yang setara atau equal partner di dalam pembuatan keputusan. 4. Advisori: pemanfaat sumberdaya memberikan input kepada pemerintah atas

sebuah keputusan yang seharusnya diambil, kemudian pemerintah menetapkan keputusan tersebut.

5. Informatif: pemerintah mendelegasikan kepada kelompok pemanfaat sumberdaya untuk membuat keputusan. Kelompok pemanfaat sumberdaya bertanggung jawab dan wajib menginformasikan kepada pemerintah atas keputusan tersebut.

Inisiasi ko-manajemen dalam pengelolaan sumberdaya perikanan biasanya dimulai dari timbulnya krisis sumberdaya perikanan sebagai konsekuensi dari rejim open-access. Berkurangnya sumberdaya perikanan menjadi faktor utama bagi tragedi bersama komunitas perikanan. Prinsip ini dikenal dengan Tragedy of

Gambar 2 Variasi ko-manajemen menurut peran pemerintah dan pelaku pemanfaat sumberdaya (Pomeroy dan Rivera-Guieb 2006)


(42)

the Commons yang diperkenalkan oleh Gerald Hardin pada tahun 1957. Seperti disajikan pada Gambar 3, status dan potensi sumberdaya perikanan menjadi kompleks setelah mulai munculnya intervensi manusia. Penyebabnya adalah adanya demands (permintaan) yang kemudian diikuti dengan eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya perikanan. Dalam kondisi tanpa pengelolaan, eksploitasi mengakibatkan sumberdaya perikanan menjadi kolaps. Hal ini menjadi salah satu latar belakang timbulnya kesadaran pentingnya keberlanjutan dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan (Adrianto 2007).

= ordinary (biasanya) = strengthening (penguatan) Status dan Potensi Sumberdaya Ikan Monitoring dan Evaluasi Eksplorasi dan Eksploitasi Kelebihan Tangkap Penurunan Sumberdaya Ikan Kebutuhan akan Keberlanjutan Sumberdaya Ikan Perbaikan Praktek Pengelolaan Gap/ Masalah (ketidakadilan, sistem top-down, praktek

command-control, dll)

Natural Capitalizing Social Economic Capitalizing Institutional Capitalizing Kolaborasi Pengelolaan Kepentingan dan Pengetahuan Manusia

Menurut Adrianto (2007), perubahan rejim pengelolaan perikanan mulai terjadi sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, yaitu dari pengelolaan yang sentralistik menjadi pengelolaan desentralistik dengan mengadopsi pengetahuan lokal masyarakat dalam pengelolaan perikanan (pasal 2 dan pasal 6).

Pasal 2

Pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, dan kelestarian yang berkelanjutan.

Pasal 6

(1) Pengelolaan perikanan dalam wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dilakukan untuk tercapainya manfaat yang optimal dan berkelanjutan, serta terjaminnya kelestarian sumberdaya ikan


(43)

(2) Pengelolaan perikanan untuk kepentingan penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan hukum adat dan/atau kearifan lokal serta memperhatikan peranserta masyarakat Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 secara temporal menjadi dasar hukum yang kuat bagi pentingnya ko-manajemen perikanan di Indonesia. Secara diagramatik perubahan rejim pengelolaan sumberdaya perikanan di Indonesia disajikan pada Gambar 4.

Community-Based Regime - Sasi

- Panglima laot - Awig-awig - dll.

Co-management Regime

Government-centered Regime

- UU No. 31/ 2004 j.o.

UU No. 45/ 2009 - UU No. 32/ 2004

- UU No. 9/ 1985 - Peraturan Pemerintah Orde Baru

Present status

Ancient Post independence

Gambar 4 Perubahan rejim pengelolaan perikanan Indonesia (Adrianto 2007) Danau Rawa Pening mengalami krisis perikanan akibat tingginya eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya perikanan. Hal ini menjadi penyebab timbulnya permasalahan yang kompleks dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Banyaknya pihak yang terlibat dalam pengelolaan mengakibatkan banyak peran dan kepentingan terhadap potensi sumberdaya. Pengelolaan berbasis ko-manajemen merupakan salah satu proses perbaikan sistem pengelolaan sumberdaya perikanan yang dapat mempertemukan atau mengintegrasikan kepentingan dari seluruh stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan. Hasil penelitian Salmi et al. (2000) di Danau Finnish Finlandia, menunjukkan bahwa perencanaan dan pengelolaan danau yang terintegrasi dapat menyediakan forum dialog antar berbagai individu dan kelompok kepentingan. Dalam hal ini, keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya dapat dilaksanakan pada skala lokal dan regional dengan beberapa penyesuaian yang lebih rasional.

Dalam kerangka pengelolaan kolaboratif, definisi stakeholders adalah semua pihak yang mempengaruhi atau dipengaruhi oleh kebijakan, keputusan dan aksi dari sistem tersebut. Dalam hal ini, unit stakeholders dapat berupa individu, kelompok sosial atau komunitas berbagai tingkatan dalam masyarakat (Grimble dan Chan 1995).


(44)

Secara umum terdapat empat stakeholders kunci dalam kerangka pengelolaan kolaboratif, yaitu (1) pelaku pemanfaatan sumberdaya, (2) pemerintah, (3) stakeholders lain, dan (4) agen perubahan (Pomeroy dan

Rivera-Guieb 2006). Peran penting dari keempat stakeholders kunci dalam pengelolaan kolaboratif disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Peran stakeholders kunci dalam pengelolaan kolaboratif

No Stakeholders Kunci Peran

1. Pelaku Pemanfaatan Sumberdaya

a) Mengidentifikasi isu terkait masyarakat.

b) Memobilisasi aktivitas dalam ko-manajemen.. c) Berpartisipasi dalam penelitian, pengumpulan dan

analisis data.

d) Perencanaan dan implementasi kegiatan.

e) Monitaring dan evaluasi.

f) Advokasi kepentingan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan.

2. Pemerintah a) Menyediakan perangkat legislasi untuk menjamin dan melegitimasi hak masyarakat berpartisipasi dalam kerangka ko-manajemen.

b) Menentukan bentuk dan proses desentralisasi pengelolaan.

c) Menyediakan perangkat legitimasi bagi sistem pengelolaan yang sudah ada di masyarakat.

d) Menyediakan bantuan teknis, finansial dan penyuluhan dalam inisiasi ko-manajemen.

e) Resolusi konflik antar stakeholders.

f) Mengkoordinasi forum lokal bagi kemitraan

stakeholders dalam kerangka ko-manajemen. g) Menentukan alokasi fungsi pengelolaan.

3. Stakeholders Lain a) Mengidentifikasi isu-isu dalam masyarakat, khususnya di luar masyarakat perikanan.

b) Berpartisipasi dalam perencanaan dan implementasi ko-manajemen.

c) Menyediakan insentif bagi tindakan nyata.

d) Pengelolaan konflik.

e) Memfasilitasi kepentingan masyarakat.

4. Agen Perubahan a) Memfasilitasi stakeholders dalam proses perencanaan dan implementasi.

b) Pengorganisasian masyarakat dalam inisiasi maupun implementasi ko-manajemen.

c) Jasa konsultasi dalam perencanaan dan implementasi ko-manajemen.

d) Menyediakan informasi data dalam perencanaan dan implementasi ko-manajemen.


(45)

2.7 Pengetahuan Lokal sebagai Prasarat Ko-manajemen (Pengelolaan Kolaboratif)

Pengetahuan lokal atau kearifan tradisional adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman, serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Kearifan tradisional tidak hanya menyangkut pengetahuan atau pemahaman masyarakat adat tentang manusia dan hubungan antar manusia, melainkan menyangkut pengetahuan, pemahaman, dan adat kebiasaan tentang manusia, alam dan hubungan antara semua penghuni komunitas ekologi. Seluruh kearifan tradisional tersebut dihayati, dipraktikkan, diajarkan dan diwariskan dari satu generasi ke generasi lain yang sekaligus membentuk pola perilaku manusia sehari-hari (Keraf 2002).

Menurut Berkes et al. (2000), pengetahuan lokal adalah pengetahuan dan kepercayaan secara turun-menurun antar generasi tentang kehidupan masyarakat, baik terkait antar individu dalam masyarakat maupun hubungan antara masyarakat dan lingkungan. Selanjutnya Pomeroy dan Rivera-Guieb (2006), mendefinisikan

indigenous knowledge (pengetahuan lokal) sebagai suatu pengetahuan yang dibangun oleh sekelompok orang yang terpelihara antar generasi dalam pemanfaatan sumberdaya alam. Pengetahuan tersebut berkembang dan disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat setempat. Proses kreativitas dilakukan dengan menggabungkan pengaruh luar dan inovasi dari dalam untuk menyesuaikan dengan kondisi baru. Pengetahuan lokal dapat memberikan masukan dalam pengelolaan sumberdaya alam, pengembangan ekonomi alternatif, konservasi, dan lingkungan.

Pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia sesungguhnya dimulai dengan inisiatif yang muncul dari masyarakat lokal dengan menggunakan pemahaman yang dimiliki. Pengetahuan lokal tersebut kemudian dilembagakan dengan menggunakan sistem hukum adat atau customary laws

(Adrianto et al. 2009). Beberapa praktek pengelolaan sumberdaya alam berbasis pengetahuan lokal yang berkembang di masyarakat dan dilembagakan dalam hukum adat Indonesia adalah:

1. Sasi di Desa Haruku (Maluku), yaitu larangan pemanenan sumberdaya alam tertentu seperti tumbuhan dan binatang dalam rangka melindungi populasinya.


(46)

Sasi merupakan inisiatif kolektif dan diformulasikan oleh masyarakat setempat, termasuk pemantauan yang dilakukan oleh lembaga adat (Wiratno

et al. 2001).

2. Nagari di Sumatera Barat, yaitu seperangkat hukum adat untuk mengelola hubungan sosial, perilaku, pembagian sumberdaya secara komunal dan adil, menciptakan keseimbangan antara alam dan manusia, serta mengatur sistem pemerintahan lokal secara otonom.

3. Lubuk Larangan di Mandailing Natal, yaitu kesepakatan bersama dalam menetapkan suatu wilayah terlarang (dalam hal ini sungai) untuk diambil hasil ikannya selama jangka waktu tertentu.

4. Awig-awig di Bali dan Nusa Tenggara Timur, yaitu seperangkat norma yang mengatur perilaku masyarakat terkait hubungannya dengan Tuhan, sesama masyarakat, dan lingkungan disertai dengan sanksi adat yang ditegakkan oleh institusi pemerintahan desa adat setempat.

Praktek-praktek hukum adat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan semakin tereduksi oleh rejim pengelolaan yang lebih didominasi oleh pemerintah atau command and control regime, khususnya di era Tahun 1966-1998. Hal ini tidak saja terjadi pada pengelolaan sumberdaya perikanan, tetapi menjadi salah satu pola pengelolaan negara yang cenderung sentralistik. Semua ditentukan oleh negara, hingga istilah desa menjadi istilah wajib bagi entitas paling kecil suatu wilayah. Reduksi peran komunitas lokal membuat pengelolaan sumberdaya perikanan menjadi tidak efisien. Konflik antar nelayan dan degradasi sumberdaya perikanan merupakan salah satu turunan dari problem sentralisasi pengelolaan perikanan. Ketidakseimbangan antara peran negara dan masyarakat dalam pengelolaan perikanan melatarbelakangi pentingnya kolaborasi antar pihak dalam pengelolaan perikanan (Adrianto 2007).

Masyarakat sekitar kawasan Danau Rawa Pening memiliki keterikatan yang kuat dengan lingkungannya yang dipraktekkan dalam pemanfaatan sumberdaya danau dan diakui secara turun-temurun. Pengetahuan lokal yang diakui masyarakat sekitar Danau Rawa Pening adalah adanya nilai ngepen dan

wening dalam pemanfaatan sumberdaya danau. Nilai ngepen dan wening


(47)

danau. Menurut Sutarwi (2008), nilai ngepen memiliki makna pengelolaan danau harus dilakukan dengan sungguh-sungguh dan tidak setengah hati. Nilai wening

berarti pemanfaatan sumberdaya danau harus jujur dan tidak serakah.

Sifat tidak serakah dalam pemanfaatan sumberdaya danau tercermin dari perilaku nelayan, yaitu adanya kebiasaan nelayan dalam menangkap ikan, apabila sudah mendapatkan hasil yang cukup, maka kegiatan harus dihentikan. Nelayan percaya bahwa pengabaian terhadap ketentuan tersebut akan mengakibatkan musibah. Nelayan jua percaya, bahwa apabila tidak mendapatkan hasil sesuai yang diharapkan, maka pada suatu hari akan mendapatkan gantinya.

Sebagian masyarakat mengakui adanya hari pantangan atau larangan menangkap ikan atau memanfaatkan sumberdaya lain, yaitu pada hari Selasa

Kliwon (dalam penanggalan Jawa). Seiring dengan meningkatnya kebutuhan hidup masyarakat, maka hari pantangan untuk menangkap ikan tersebut sudah tidak dipatuhi oleh sebagian nelayan. Tradisi yang masih dilaksanakan oleh masyarakat sekitar Danau Rawa Pening adalah Sedekah Rowo yang dilaksanakan setiap tahun pada bulan Muharram. Secara lahiriah, Sedekah Rowo memiliki makna adanya silaturahmi antar anggota kelompok tani dan nelayan di Danau Rawa Pening. Sedangkan makna batiniahnya adalah sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT atas rejeki yang didapat dari Danau Rawa Pening.

Menurut Nasution et al. (2007), dimensi pengetahuan lokal merupakan pengkajian sistem masyarakat nelayan setempat. Ruang lingkup kajian dibatasi pada pengetahuan lokal tentang pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan setempat secara arif. Dalam hal ini digali informasi tentang perilaku masyarakat yang ramah lingkungan beserta tata nilai yang menyebabkan terjadinya perilaku tersebut. Dikaitkan dengan upaya pemberdayaan masyarakat, diperlukan kajian terhadap faktor-faktor pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan, konservasi sumberdaya perikanan, serta law enforcement

atau penegakan peraturan.

Masyarakat menganggap bahwa Danau Rawa Pening merupakan sumberdaya milik bersama. Mekanisme pemanfaatan sumberdaya perikanan masih bercirikan pada pola open acces, yaitu siapa saja boleh memanfaatkan sumberdaya Rawa Pening. Dampak negatif dari pengelolaan open acces adalah


(1)

c) Hasil Reachability Matrix final

No. E1 E2 E3 E4 E5 E6 E7 E8 E9 E10 Drv E1 1 1 0 1 0 0 0 0 0 0 3 E2 1 1 0 1 0 0 0 0 0 0 3 E3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 10 E4 1 1 0 1 0 0 0 0 0 0 3 E5 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 9 E6 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 9 E7 1 1 0 1 0 0 1 0 1 0 5 E8 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 9 E9 1 1 0 1 0 0 1 0 1 0 5 E10 1 1 0 1 0 0 1 0 1 1 6 Dep 10 10 1 10 4 4 7 4 7 5 d) Hasil intepretasi elemen kendala utama dalam pengelolaan

No Sub-elemen Level Ranking Koordinat Sektor Keterangan 1. E1 1 5 (10,3) II Dependent

2. E2 1 5 (10,3) II Dependent

3. E3 5 1 (1,10) IV Independent

4. E4 1 5 (10,3) II Dependent

5. E5 4 2 (4,9) IV Independent

6. E6 4 2 (4,9) IV Independent

7. E7 2 4 (7,5) II Dependent

8. E8 4 2 (4,9) IV Independent

9. E9 2 4 (7,5) II Dependent

10. E10 3 3 (5,6) IV Independent

3 Elemen tujuan pengelolaan a) SSIM elemen tujuan pengelolaan

No. E1 E2 E3 E4 E5 E6 E7 E8

E1 A A A A O A A

E2 O V X O X O

E3 O O A O A

E4 A O O A

E5 A O A

E6 V V

E7 O

E8 Keterangan:

V adalah jika elemen eij = 1 dan eji = 0

A adalah jika elemen eij = 0 dan eji = 1

X adalah jika elemen eij = 1 dan eji = 1


(2)

b) Reachability Matrix awal

No. E1 E2 E3 E4 E5 E6 E7 E8

E1 1 0 0 0 0 0 0 0

E2 1 1 0 1 1 0 1 0

E3 1 0 1 0 0 0 0 0

E4 1 0 0 1 0 0 0 0

E5 1 1 0 1 1 0 0 0

E6 0 0 1 0 1 1 1 1

E7 1 1 0 0 0 0 1 0

E8 1 0 1 1 1 0 0 1

c) Hasil Reachability Matrix final

No. E1 E2 E3 E4 E5 E6 E7 E8 Drv

E1 1 0 0 0 0 0 0 0 1

E2 1 1 0 1 1 0 1 0 5

E3 1 0 1 0 0 0 0 0 2

E4 1 0 0 1 0 0 0 0 2

E5 1 1 0 1 1 0 1 0 5

E6 1 1 1 1 1 1 1 1 8

E7 1 1 0 1 1 0 1 0 5

E8 1 1 1 1 1 0 1 1 7

Dep 8 5 3 6 5 1 5 2

d) Hasil intepretasi elemen tujuan pengelolaan

No Sub-elemen Level Ranking Koordinat Sektor Keterangan 1. E1 1 5 (8,1) II Dependent

2. E2 3 3 (5,5) III Linkage

3. E3 2 4 (3,2) I Autonomous

4. E4 2 4 (6,2) II Dependent

5. E5 3 3 (5,5) III Linkage

6. E6 5 1 (1,8) IV Independent

7. E7 3 3 (5,5) III Linkage


(3)

4 Elemen lembaga yang terlibat dalam pengelolaan a) SSIM elemen lembaga yang terlibat dalam pengelolaan

No E1 E2 E3 E4 E5 E6 E7 E8 E9 E10 E11 E12 E13 E14 E15 E16 E17 E18 E19 E20

E1 X V V V V V V V V V V V V V V V V V V

E2 V V V V V V V V V V V V V V V V V V

E3 A X X V V V V V V V X A A X X X X

E4 V V V V V V V V V V X X V V V V

E5 X V V V V V V V X A A O O O O

E6 V V V V V V V O A A O O O O

E7 X O X V X X O O O O O O O

E8 X X X X X A A A A A A A

E9 O O O O A A A A A A A

E10 X X X A A A A A A A

E11 X X O O O O O O O

E12 X A A A A A A A

E13 A A A A A A A

E14 A A A A A A

E15 X V V V V

E16 V V V V

E17 V V V

E18 X X

E19 X

E20

Keterangan:

V adalah jika elemen eij = 1 dan eji = 0

A adalah jika elemen eij = 0 dan eji = 1

X adalah jika elemen eij = 1 dan eji = 1

O adalah jika elemen eij = 0 dan eji = 0

b) Reachability Matrix awal

No. E1 E2 E3 E4 E5 E6 E7 E8 E9 E10 E11 E12 E13 E14 E15 E16 E17 E18 E19 E20

E1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

E2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

E3 0 0 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 1

E4 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

E5 0 0 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0

E6 0 0 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0

E7 0 0 0 0 0 0 1 1 0 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0

E8 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0

E9 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

E10 0 0 0 0 0 0 1 1 0 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0

E11 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0

E12 0 0 0 0 0 0 1 1 0 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0

E13 0 0 0 0 0 0 1 1 0 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0

E14 0 0 1 0 1 0 0 1 1 1 0 1 1 1 0 0 0 0 0 0

E15 0 0 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1

E16 0 0 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1

E17 0 0 1 0 0 0 0 1 1 1 0 1 1 1 0 0 1 1 1 1

E18 0 0 1 0 0 0 0 1 1 1 0 1 1 1 0 0 0 1 1 1

E19 0 0 1 0 0 0 0 1 1 1 0 1 1 1 0 0 0 1 1 1


(4)

c) Hasil Reachability Matrix final

No. E1 E2 E3 E4 E5 E6 E7 E8 E9 E10 E11 E12 E13 E14 E15 E16 E17 E18 E19 E20 Drv E1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 20 E2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 20 E3 0 0 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 15 E4 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 18 E5 0 0 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 15 E6 0 0 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 15 E7 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 7 E8 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 7 E9 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 7

E10 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 7

E11 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 7

E12 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 7

E13 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 7

E14 0 0 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 15

E15 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 18

E16 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 18

E17 0 0 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 15

E18 0 0 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 15

E19 0 0 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 15

E20 0 0 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 15

Dep 2 2 13 5 13 13 20 20 20 20 20 20 20 13 5 5 13 13 13 13

d) Hasil intepretasi elemen lembaga yang terlibat dalam pengelolaan

No Sub-elemen Level Ranking Koordinat Sektor Keterangan

1. E1 4 1 (2,20) IV Independent

2. E2 4 1 (2,20) IV Independent

3. E3 2 3 (13,15) III Linkage

4. E4 3 2 (5,18) IV Independent

5. E5 2 3 (13,15) III Linkage

6. E6 2 3 (13,15) III Linkage

7. E7 1 4 (20,7) II Dependent

8. E8 1 4 (20,7) II Dependent

9. E9 1 4 (20,7) II Dependent

10. E10 1 4 (20,7) II Dependent

11. E11 1 4 (20,7) II Dependent

12. E12 1 4 (20,7) II Dependent

13. E13 1 4 (20,7) II Dependent

14. E14 2 3 (13,15) III Linkage

15. E15 3 2 (5,18) IV Independent

16. E16 3 2 (5,18) IV Independent

17. E17 2 3 (13,15) III Linkage

18. E18 2 3 (13,15) III Linkage

19. E19 2 3 (13,15) III Linkage


(5)

5 Elemen aktivitas pengembangan dalam pengelolaan a) SSIM elemen aktivitas pengembangan dalam pengelolaan

No. E1 E2 E3 E4 E5 E6 E7 E8 E9 E10

E1 A V V X V V V A V

E2 V V X V V V X V

E3 X A V V V A V

E4 A V V V A X

E5 V V V A V

E6 X V A A

E7 V A A

E8 A A

E9 V

E10 Keterangan:

V adalah jika elemen eij = 1 dan eji = 0

A adalah jika elemen eij = 0 dan eji = 1

X adalah jika elemen eij = 1 dan eji = 1

O adalah jika elemen eij = 0 dan eji = 0

b) Reachability Matrix awal

No. E1 E2 E3 E4 E5 E6 E7 E8 E9 E10 E1 1 0 1 1 1 1 1 1 0 1 E2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 E3 0 0 1 1 0 1 1 1 0 1 E4 0 0 1 1 0 1 1 1 0 1 E5 1 0 1 1 1 1 1 1 0 1 E6 0 0 0 0 0 1 1 1 0 0 E7 0 0 0 0 0 1 1 1 0 0 E8 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 E9 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 E10 0 0 1 1 0 1 1 1 0 1 c) Hasil Reachability Matrix final

No. E1 E2 E3 E4 E5 E6 E7 E8 E9 E10 Drv E1 1 0 1 1 1 1 1 1 0 1 8 E2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 10 E3 0 0 1 1 0 1 1 1 0 1 6 E4 0 0 1 1 0 1 1 1 0 1 6 E5 1 0 1 1 1 1 1 1 0 1 8 E6 0 0 0 0 0 1 1 1 0 0 3 E7 0 0 0 0 0 1 1 1 0 0 3 E8 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 E9 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 10

E10 0 0 1 1 0 1 1 1 0 1 6


(6)

d) Hasil intepretasi elemen aktivitas pengembangan dalam pengelolaan

No Sub-elemen Level Ranking Koordinat Sektor Keterangan 1. E1 4 2 (4,8) IV Independent

2. E2 5 1 (2,10) IV Independent

3. E3 3 3 (7,6) III Linkage

4. E4 3 3 (7,6) III Linkage

5. E5 4 2 (4,8) IV Independent

6. E6 2 4 (9,3) II Dependent

7. E7 2 4 (9,3) II Dependent

8. E8 1 8 (10,1) II Dependent

9. E9 5 1 (2,10) IV Independent