Bakteri Penghasil Biosurfaktan Dari Lingkungan Tercemar Limbah Minyak Dan Potensinya Dalam Mendegradasi Hidrokarbon Aromatik Polisiklik

BAKTERI PENGHASIL BIOSURFAKTAN DARI LINGKUNGAN TERCEMAR
LIMBAH MINYAK DAN POTENSINYA DALAM MENDEGRADASI
HIDROKARBON AROMATIK POLISIKLIK (HAP)

TRI HANDAYANI KURNIATI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Bakteri Penghasil
Biosurfaktan dari Lingkungan Tercemar Limbah Minyak dan Potensinya dalam
Mendegradasi Hidrokarbon Aromatik Polisiklik (HAP) adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun
kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir

disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, September 2016

Tri Handayani Kurniati
NIM G361110061

* Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.

RINGKASAN
TRI HANDAYANI KURNIATI. Bakteri Penghasil Biosurfaktan dari
Lingkungan Tercemar Limbah Minyak dan Potensinya dalam Mendegradasi
Hidrokarbon Aromatik Polisiklik (HAP). Dibimbing oleh IMAN RUSMANA,
ANI SURYANI, dan NISA RACHMANIA MUBARIK.
Biosurfaktan merupakan senyawa aktif permukaan yang disintesis oleh
mikrob. Senyawa ini terdiri dari gugus hidrofilik dan hidrofobik dan memiliki
kemampuan untuk menurunkan tegangan permukaan suatu cairan dan tegangan
antar muka antara dua fase yang berbeda serta meningkatkan stabilitas emulsi.

Biosurfaktan memiliki beberapa keunggulan dibandingkan surfaktan sintetik
antara lain, tingkat toksisitas rendah, tidak menimbulkan alergi, kemampuan
biodegradasi lebih tinggi, serta memiliki aktivitas yang tinggi pada suhu, pH dan
salinitas yang ekstrim. Selain itu biosurfaktan dapat disintesis dari bahan baku
terbarukan.
Aplikasi biosurfaktan mencakup banyak bidang termasuk bioremediasi
lingkungan yang tercemar minyak, pengeboran minyak mentah, enhanced oil
recovery (EOR), produk perawatan kesehatan maupun industri makanan. Peran
utama biosurfaktan dalam bioremediasi adalah sebagai pemicu bioavailabilitas
polutan sehingga dapat digunakan oleh mikrob yang terlibat dalam proses
biodegradasi.
Pencemaran minyak di lingkungan telah menjadi ancaman bagi ekosistem
dan manusia melalui masuknya bahan organik beracun termasuk hidrokarbon
aromatik polisiklik (HAP) ke lingkungan. HAP adalah molekul organik yang
terdiri dari dua atau lebih cincin aromatik yang menyatu dalam berbagai
konfigurasi struktural. Kontaminasi HAP di lingkungan menjadi perhatian lebih
karena senyawa ini merupakan kontaminan yang dapat tersebar luas dan bersifat
sangat beracun, mutagenik dan karsinogenik.
Banyak bakteri dapat menghasilkan biosurfaktan yang memungkinkan
mereka untuk mendegradasi atau mengubah senyawa organik yang tidak larut

seperti halnya produk minyak bumi. Oleh karena itu, daerah yang tercemar
minyak bumi dan limbah industri berpotensi sebagai sumber bakteri penghasil
biosurfaktan dan pendegradasi hidrokarbon.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan isolat bakteri indigenous
penghasil biosurfaktan dan pendegradasi hidrokarbon dari lingkungan tercemar
limbah minyak di teluk Jakarta. Selain itu penelitian ini juga bertujuan mendeteksi
gen dioksigenase yang bertanggungjawab dalam proses degradasi serta mengkaji
aktifitas biosurfaktan yang dihasilkan melalui pengukuran tegangan permukaan
dan kemampuan emulsifikasi.
Penapisan isolat bakteri penghasil biosurfaktan dilakukan melalui uji
aktivitas hemolitik, drop collapse assay dan oil spreading test. Di antara 113
isolat, 46 isolat menunjukkan hasil positif dalam dua atau tiga uji. Sebanyak 10
isolat mampu tumbuh dalam medium yang mengandung crude oil dan HAP dan
berhasil diidentifikasi. Identifikasi isolat dilakukan melalui analisis 16S rRNA.
Isolat yang diperoleh teridentifikasi sebagai Micrococcus endophyticus (CRN3),
Pseudomonas stutzeri (CRN 13), Stenotrophomonas acidaminiphila (CHN 24),
Bacillus pumilus (CHN 27), Ochrobactrum intermedium (AMA 9), Pseudomonas

stutzeri (CRA 7), Ochrobactrum tritici (CHA 60), Gordonia cholesterolivorans
(AMP 10), Bacillus subtilis (RIP 43), dan Micrococcus yunnanensis (CHP 29).

Hasil uji pertumbuhan dan degradasi HAP menunjukkan tiga isolat bakteri
yaitu Bacillus pumilus (CHN 27), Ochrobactrum intermedium (AMA 9), dan
Gordonia cholesterolivorans (AMP 10) berturut-turut memiliki kemampuan
mendegradasi naftalena, antrasena dan pirena. Penelitian ini melaporkan
pemanfaatan pirena oleh bakteri G. cholesterolivorans untuk pertama kalinya.
Analisis parameter pertumbuhan menunjukkan bahwa G. cholesterolivorans AMP
10 memiliki pertumbuhan terbaik pada konsentrasi pirena 50 mg/L dengan
persentase degradasi 96,6% dalam waktu tujuh hari. Hasil analisis nested PCR
mengungkapkan bahwa isolat ini memiliki gen nahAc yang mengkode enzim
dioksigenase untuk degradasi awal HAP. Hasil pengamatan terhadap tegangan
permukaan dan indeks emulsifikasi menunjukkan biosurfaktan yang dihasilkan
oleh AMP 10 ketika ditumbuhkan pada substrat glukosa dapat menurunkan
tegangan permukaan medium dari 71,3 mN / m menjadi 24,7 mN / m dan mampu
membentuk emulsi yang stabil dalam minyak pelumas bekas dengan nilai indeks
emulsifikasi sebesar 74%. Berdasarkan hasil penelitian dapat diusulkan bahwa
bakteri G. cholesterolivorans AMP10 merupakan kandidat yang baik untuk
bioremediasi lingkungan yang terkontaminasi HAP.
Kata kunci: bakteri, biosurfaktan, degradasi HAP, dioksigenase, Gordonia
cholesterolivorans AMP10


SUMMARY
TRI HANDAYANI KURNIATI. Biosurfactant Producing Bacteria from Oil
Contaminated
Environment and Its Potential in Polycyclic Aromatic
Hydrocarbons (PAH) Degradation. Supervised by IMAN RUSMANA, ANI
SURYANI, dan NISA RACHMANIA MUBARIK.
Biosurfactants are surface active compound made up of a hydrophilic and
a hydrophobic moiety synthesized by microorganisms. These compounds have
ability to reduce surface and interfacial tension of liquids between two different
phases and also to increase emulsion stability. Biosurfactants have several
advantages compare with chemically synthesized surfactant such as less toxic,
higher biodegradability, high activity at extreme temperature, pH and salinity and
the ability to be synthesized from renewable feedstock.
Application of
biosurfactants covers many environmental sectors
including bioremediation of oil polluted environment, crude oil drilling, enhanced
oil recovery (EOR), lubricant, health personal care and food processing. In
bioremediation applications biosurfactants play main role in promoting the
bioavailability of the pollutants to the microorganisms involved in biodegradation
process.

Oil spillage and oil pollution in the environment have been a threat to the
ecosystem and human being through the transfer of toxic organic materials
including polycyclic aromatic hydrocarbon (PAH). PAH are organic molecules
composed of two or more aromatic (benzene) rings which are fused together in
various structural configurations. PAHs contamination is a severe environmental
concern since this compounds are the ubiquitous persistent contaminant that
highly toxic, mutagenic and carcinogenic.
Many bacterial type can produce biosurfactants which allow them to
degrade or transform the insoluble organic compounds such as petroleum
products. Therefore, petroleum hydrocarbon and industrial oils contaminated area
was a potential source to obtain biosurfactant-producing and hydrocarbon
degrading bacteria.
The objectives of this research were to obtain indigenous biosurfactantproducing and PAH-degrading bacteria from oil contaminated soil in Jakarta bay.
In addition, this study also aimed at detecting dioxygenase genes responsible for
the degradation process and review the activities of biosurfactant produced by
measuring the surface tension and emulsification ability.
The isolates were screened for biosurfactant production using hemolytic
activity, drop collapse test and oil spreading assay. Among 113 isolates, 46
isolates showed positive result in two or more test. Only ten isolates were able to
grow in medium supplemented with crude oil and polycyclic aromatic

hydrocarbon (PAH). Identification of isolates were done by using 16S rRNA
analysis. The isolates were identified as Micrococcus endophyticus (CRN3),
Pseudomonas stutzeri (CRN 13), Stenotrophomonas acidaminiphila (CHN 24),
Bacillus pumilus (CHN 27), Ochrobactrum intermedium (AMA 9), Pseudomonas
stutzeri (CRA 7), Ochrobactrum tritici (CHA 60), Gordonia cholesterolivorans
(AMP 10), Bacillus subtilis (RIP 43), and Micrococcus yunnanensis (CHP 29).

The results of growth and PAH degradation demonstrate that three
isolates of bacteria such as B. pumilus (CHN 27), O. intermedium (AMA 9), and
G. cholesterolivorans (AMP 10) have the ability to degrade naphthalene,
anthracene and pyrene, respectively. This study reported the utilisation of pyrene
by G. cholesterolivorans for the first time. Analysis of microbial growth
parameters showed that the novel strain of G. cholesterolivorans AMP 10 grew
best at 50 µg mL−1 pyrene concentration, leading to 96.6 % degradation of pyrene
within 7 days. The result of nested PCR analysis revealed that this isolate
possessed the nahAc gene which encodes dioxygenase enzyme for initial
degradation of PAH. Observation of both surface tension and emulsifying
activities indicated that biosurfactants which produced by AMP 10 when grown
on glucose could reduce the surface tension of medium from 71.3 mN/m to 24.7
mN/m and formed a stable emulsion in used lubricant with an emulsifying index

(E24) of 74%. According to the results, it is suggested that the bacterial isolates
G. cholesterolivorans AMP10 was a good candidate for bioremediation of PAHcontaminated environment.
Keywords: bacteria, biosurfactant, PAH degradation, dioxygenase, Gordonia
cholesterolivorans AMP10

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

BAKTERI PENGHASIL BIOSURFAKTAN DARI LINGKUNGAN TERCEMAR
LIMBAH MINYAK DAN POTENSINYA DALAM MENDEGRADASI
HIDROKARBON AROMATIK POLISIKLIK (HAP)

TRI HANDAYANI KURNIATI


Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Mikrobiologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup:
Prof. Dr. Djumali Mangunwidjaja, DEA
Dr. Wibowo Mangunwardoyo, MSc.

Penguji Luar Komisi pada Sidang Promosi:
Prof. Dr. Djumali Mangunwidjaja, DEA
Dr. Wibowo Mangunwardoyo, MSc.


Judul Disertasi

: Bakteri Penghasil Biosurfaktan dari Lingkungan Tercemar
Limbah Minyak dan Potensinya dalam Mendegradasi
Hidrokarbon Aromatik Polisiklik (HAP)

Nama

: Tri Handayani Kurniati

NIM

: G361110061

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Iman Rusmana, MSi
Ketua


Prof Dr Ir Ani Suryani, DEA

Dr Nisa Rachmania Mubarik, MSi

Anggota

Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Mikrobiologi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr rer nat Anja Meryandini, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian Tertutup : 26 Juli 2016

Tanggal Lulus:

Tanggal Sidang Promosi: 30 Agustus 2016

PRAKATA
Alhamdulillahhirobbil’alamiin, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah
SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga disertasi dengan judul Bakteri Penghasil
Biosurfaktan dari Lingkungan Tercemar Limbah Minyak dan Potensinya dalam
Mendegradasi Hidrokarbon Aromatik Polisiklik (HAP) ini dapat diselesaikan. Disertasi
ini disusun berdasarkan hasil penelitian penulis sejak pertengahan tahun 2013 hingga
pertengahan tahun 2015 dengan harapan dapat memberikan kontribusi di bidang
lingkungan khususnya pemanfaatan bakteri dalam pengelolaan limbah minyak.
Penghargaan yang tinggi dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada
Dr. Ir. Iman Rusmana, MSi. selaku Ketua Komisi Pembimbing beserta Prof. Dr. Ir.
Ani Suryani, DEA, dan Dr. Nisa Rachmania Mubarik, MSi. selaku Anggota Komisi
Pembimbing, yang telah memberikan bimbingan, arahan dan saran semenjak
penyusunan proposal hingga terselesaikannya disertasi ini. Terima kasih pula kepada
Prof. Dr. Djumali Mangunwidjaya, DEA dan Dr. Wibowo Mangunwardoyo, MSc.
selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup dan sidang promosi yang telah
memberikan banyak masukan dan saran untuk perbaikan penulisan disertasi ini.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Rektor Universitas Negeri
Jakarta yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk menempuh pendidikan S3,
kepada Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi yang telah memberikan
beasiswa program S3 serta kepada Fakultas MIPA UNJ yang telah memberikan dana
penelitian BLU 2013 dan 2015. Terima kasih pula kepada Ketua Program Studi
Biologi dan Program Studi Pendidikan Biologi Universitas Negeri Jakarta yang telah
memberikan ijin penggunaan Laboratorium Mikrobiologi dan Ekologi.
Terima kasih penulis sampaikan untuk teman-teman MIK 2011, Susan Soka,
Marini Wijayanti, Ifah Munifah dan Roni Ridwan, atas persahabatan, bantuan dan
dukungan selama studi. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Dra.
Muzajjanah MKes, Dra.Yoswita Rustam, MSi, Dr. Dalia Sukmawati, MSi, Irfan
Suwondo, Nurlaila Khairunnisa, Neni Inayah dan tim peneliti di laboratorium
Mikrobiologi, serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas
bantuan dan kerjasama yang diberikan. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada
Dr. Mieke Miarsyah, MSi, Dr. Reni Indrayanti, MSi, dan M. Isnin Noer SSi, MSi atas
semua bantuan dan dukungan yang diberikan serta kepada laboran Biologi, ibu
Deselina yang selalu siap membantu kegiatan penelitian.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi penulis tujukan kepada
suami tercinta Edy Yanto dan kedua putri kami Nisrina Rizka Auliani dan Fakhira
Rahmadiani atas doa, cinta, pengertian dan dukungannya sehingga penulis dapat
menjalani masa-masa sulit selama studi. Doa dan terima kasih tiada terhingga penulis
sampaikan kepada almarhumah ibunda Hj Suwarti dan almarhum ayahanda S.
Oemari yang telah membesarkan, membimbing dan meletakkan dasar pemahaman
akan pentingnya pendidikan sehingga penulis sampai ke tahap saat ini.
Penulis mengharapkan semoga hasil penelitian dan disertasi ini dapat
memberikan kontribusi bagi ilmu pengetahuan dan bermanfaat baik bagi penulis
maupun masyarakat pada umumnya.
Bogor, September 2016
Penulis

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hipotesis Penelitian
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Kebaruan Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Biosurfaktan
Bakteri Penghasil Biosurfaktan
Hidrokarbon aromatik polisiklik (HAP)
Bakteri Pendegradasi HAP
Biosurfaktan dan Biodegradasi HAP
METODE
Pengambilan Sampel
Kultur Pengayaan dan Isolasi Bakteri
Penapisan Bakteri Penghasil Biosurfaktan
Uji Kemampuan Tumbuh Bakteri pada Medium Hidrokarbon
Pengukuran Aktivitas Emulsifikasi
Pengamatan Morfologi Sel dan Tipe Gram
Isolasi DNA dan Analisis Gen 16S rRNA
Pertumbuhan Bakteri dan Degradasi HAP
Deteksi Gen Pengkode Enzim Dioksigenase
Pengukuran Tegangan Permukaan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pembahasan
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

xi
xii
xiii
1
1
2
3
3
3
4
4
6
7
8
9
11
12
12
13
13
14
14
14
15
15
16
17
29
45
45
46
54
63

DAFTAR TABEL

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

Primer spesifik yang digunakan untuk mendeteksi gen penyandi
enzim dioksigenase
Jumlah isolat bakteri yang diperoleh dari setiap lokasi pengambilan
sampel
Hasil pengukuran aktivitas hemolitik, drop collapse test dan oil
spreading assay
Karakteristik degradasi minyak mentah oleh isolat bakteri penghasil
biosurfaktan asal teluk Jakarta
Hasil uji verifikasi pertumbuhan bakteri dalam MSM+HAP
Hasil identifikasi bakteri penghasil biosurfaktan berdasarkan sekuen
16 rRNA
Nilai indeks stabilitas emulsi (E24) yang dihasilkan oleh isolat
bakteri penghasil biosurfaktan
Laju pertumbuhan spesifik () dan waktu generasi (g) ketiga jenis
bakteri
Kecepatan degradasi HAP oleh isolat bakteri penghasil biosurfaktan
dan pendegradasi hidrokarbon
Hasil analisis sekuen gen penyandi enzim dioksigenase dari bakteri
pendegradasi HAP
Nilai tegangan permukaan dan indeks emulsifikasi (E24) yang
dihasilkan isolat bakteri pada tiga sumber karbon yang berbeda
Reaksi mineralisasi setengah sel HAP pada suhu 25oC, pH 7
Nilai energi bebas (Go) dari HAP Naftalena, Antrasena dan Pirena

15
17
18
20
21
22
24
27
27
28
29
39
39

DAFTAR GAMBAR

1
2
3
4
5
6
7

8
9
10
11
12
13
14
15

16
17
18

Struktur umum beberapa biosurfaktan glikolipid
Struktur fisik dan kimia beberapa jenis senyawa HAP
Diagram alir penelitian
Peta lokasi pengambilan sampel di kawasan Teluk Jakarta
Hasil uji penapisan bakteri penghasil biosurfaktan
Visualisasi produk PCR gen 16S rRNA dari 7 isolat bakteri
Konstruksi pohon filogenetik berdasarkan sekuen 16 S rRNA dari 10
isolat bakteri menggunakan analisis Neighbor-Joining dengan metode
Maximum-Likelihood dan analisis Bootstrap 1000x replikasi.
Pertumbuhan bakteri Bacillus pumilus CHN27 pada MSM cair dengan
konsentrasi naftalena 50 dan 100 mg/L
Persentase degradasi naftalena oleh Bacillus pumilus CHN27 pada
konsentrasi 50 dan 100 mg/L
Pertumbuhan bakteri Ochrobactrum intermedium AMA 9 pada MSM
cair dengan konsentrasi antrasena 50 dan 100 mg/L
Persentase degradasi antrasena oleh Ochrobactrum intermedium AMA
9 pada konsentrasi 50 dan 100 mg/L
Pertumbuhan bakteri Gordonia cholesterolivorans AMP 10 pada MSM
cair dengan konsentrasi naftalena 50 dan 100 mg/L
Pertumbuhan bakteri Gordonia cholesterolivorans AMP 10 pada MSM
cair dengan konsentrasi naftalena 50 dan 100 mg/L
Hasil elektroforesis produk PCR gen dioksigenase
Efek ramnolipid yang dihasilkan oleh bakteri Pseudomonas spp
terhadap pembentukan misel dan pengambilan senyawa hidrokarbon
pada minyak
Lintasan utama degradasi aerobik naftalena oleh bakteri
Jalur degradasi antrasena oleh bakteri Mycobacterium sp PYR-1
Jalur degradasi pirena oleh bakteri Mycobacterium sp. AP1

4
7
11
12
19
22
23
25
25
26
26
26
27
28
32

35
36
38

DAFTAR LAMPIRAN

1
2
3
4
5

Hasil pengujian degradasi HAP terhadap isolat bakteri penghasil
biosurfaktan
Kromatogram GC-MS dari isolat CHN 27 menunjukkan penurunan peak
area naftalena setelah 5 hari inkubasi.
Kromatogram GC-MS dari isolat AMA 9 menunjukkan penurunan peak
area antrasena setelah 7 hari inkubasi
Kromatogram GC-MS dari isolat Gordonia cholesterolvorans AMP 10
menunjukkan penurunan peak area pirena setelah 7 hari inkubasi
Kromatogram GC-MS dari isolat Gordonia cholesterolvorans AMP 10
menunjukkan penurunan peak area pirena setelah 7 hari inkubasi

53
55
56
58
60

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Salah satu masalah lingkungan yang utama saat ini adalah kontaminasi
hidrokarbon yang dapat berasal dari proses alami dan antropogenik. Meskipun
proses alami dapat berkontribusi dalam masuknya hidrokarbon ke lingkungan,
aktivitas manusia seperti dalam industri minyak dan produk minyak bumi
merupakan penyebab utama pencemaran air dan tanah. Minyak bumi merupakan
campuran cairan yang terdiri hidrokarbon kompleks (Das dan Chandran 2011;
Jahangeer dan Kumar 2013). Tumpahan dan pencemaran minyak di lingkungan
telah menjadi ancaman bagi ekosistem dan manusia melalui paparan bahan organik
beracun termasuk hidrokarbon aromatik polisiklik (HAP).
HAP adalah molekul organik yang terdiri atas dua atau lebih cincin aromatik
(benzene) yang menyatu bersama-sama dalam berbagai konfigurasi struktural.
Kontaminasi HAP merupakan masalah lingkungan yang serius karena senyawa ini
bersifat sangat beracun, mutagenik dan karsinogenik. Masuknya senyawa HAP dari
berbagai sumber seperti kebakaran hutan, gunung meletus, tumpahan minyak, lalu
lintas kapal, pembakaran bahan bakar fosil, limpasan gas dan tar batubara,
pengolahan kayu, bahan bakar kendaraan, serta limbah industri telah menyebabkan
akumulasi signifikan dari HAP di lingkungan (Luan et al. 2006; FernandezLuqueno et al. 2011).
Teluk Jakarta yang terletak di sebelah utara kota Jakarta, merupakan
perairan dangkal dengan luas sekitar 514 km2. Di teluk ini bermuara 13 sungai yang
melintasi kota Jakarta. Perkembangan kota Jakarta yang pesat menyebabkan teluk
Jakarta tercemar berat sebagai akibat dari aktivitas manusia. Menurut data dari
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, dalam 10 tahun terakhir Teluk Jakarta
telah mengalami pencemaran yang melebihi ambang batas. Setidaknya 83% dari 13
sungai yang bermuara ke Teluk Jakarta telah masuk dalam kategori tercemar berat.
Sungai-sungai tersebut membawa berbagai macam jenis limbah yang bersifat toksik
ke perairan teluk Jakarta, diantaranya adalah senyawa organik HAP (Ahmad 2012).
Degradasi secara biologis telah diterima secara luas sebagai mekanisme
utama untuk menghilangkan polutan organik di lingkungan, namun aktivitas mikrob
pendegradasi bergantung pada banyak faktor, termasuk serapan kontaminan dan
bioavailabilitas, konsentrasi, toksisitas, mobilitas, akses ke nutrisi lainnya, dan
enzim yang dimilikinya. Peningkatan kesadaran masyarakat terhadap polusi
lingkungan telah mempengaruhi pencarian dan pengembangan teknologi untuk
membersihkan kontaminan organik dan anorganik
di lingkungan seperti
hidrokarbon dan logam. Metode alternatif dan ramah lingkungan yang saat ini
banyak dikembangkan dalam teknologi remediasi lingkungan yang tercemar
polutan adalah penggunaan biosurfaktan dan mikrob penghasil biosurfaktan
(Pacwa-Płociniczak et al. 2011). Peningkatan minat ini disebabkan oleh fakta
bahwa surfaktan dapat meningkatkan kelarutan polutan dari tanah yang
terkontaminasi yang pada akhirnya meningkatkan bioavailabilitasnya (Cameotra
dan Makkar 2010)

2

Biosurfaktan yang diproduksi oleh mikrob telah menjadi produk
bioteknologi penting yang diaplikasikan secara luas di bidang industri dan medis.
Senyawa ini digunakan sebagai agen pengemulsi dan agen pembasah dalam industri
logam, kertas, tekstil maupun industri pertanian. Biosurfaktan juga berperan sebagai
agen pengemulsi dan bahan tambahan dalam industri pangan. Selain itu
biosurfaktan diaplikasikan sebagai detergen untuk industri minyak bumi, agen
antimikrob untuk industri farmasi dan kesehatan serta sebagai agen pengemulsi
yang dapat mempercepat proses degradasi dalam proses bioremediasi senyawa
toksik di lingkungan (Singh 2012). Biosurfaktan yang dihasilkan oleh bakteri laut
B. circulans merupakan contoh bakteri yang memiliki aktivitas anti mikrob
terhadap bakteri pathogen Gram + dan Gram – (Rahman dan Gakpe 2008).
Sejumlah besar mikrob telah dilaporkan dapat menggunakan HAP dengan
dua dan tiga cincin seperti naftalena dan antrasena sebagai satu-satunya sumber
karbon dan energi (Kumar et al. 2006). Genus Pseudomonas, Mycobacterium,
Corynebacterium, Aeromonas, Rhodococcus, dan Bacillus diketahui mampu
mendegradasi naftalena yang memiliki dua cincin aromatik, sementara hidrokarbon
antrasena dengan tiga cincin dikemukakan dapat didegradasi oleh genus bakteri
Pseudomonas, Sphingomonas, Nocardia, Beijerinckia, Rhodococcus dan
Mycobacterium (Mrozik et al. 2003).
Penggunaan biosurfaktan untuk meningkatkan kecepatan degradasi HAP
telah dilaporkan oleh beberapa peneliti. Rhamnolipid yang dihasilkan oleh bakteri
Pseudomonas aeruginosa W3 dapat meningkatkan kelarutan antrasena sehingga
mempercepat proses degradasi oleh dua galur bakteri, Sphingomonas sp. 12A dan
Pseudomonas sp. 12B. Antrasena merupakan jenis HAP yang tidak mudah di
degradasi, selain itu mekanisme degradasi antrasena masih belum diketahui dengan
jelas. Biosurfaktan trehalolipid dari bakteri Rhodococcus erythropolis diketahui
mampu meningkatkan laju degradasi fenantrena oleh isolat bakteri P5-2, sedangkan
biosurfaktan yang dihasilkan Bacillus cereus 28BN mampu meningkatkan
kecepatan degradasi naftalena oleh bakteri itu sendiri (Cameotra dan Makkar 2010)
Produksi biosurfaktan secara langsung di lingkungan oleh bakteri
pendegradasi hidrokarbon dimungkinkan lebih bermanfaat, lebih menjanjikan dan
lebih praktis dibandingkan dengan menambahkan biosurfaktan murni untuk aplikasi
bioremediasi berdasarkan bioaugmentasi. Bakteri pendegradasi hidrokarbon yang
memiliki kemampuan untuk menghasilkan biosurfaktan ekstraseluler dapat
mempercepat proses biodegradasi dengan memfasilitasi kontak antara minyak
dengan mikrob (Kumar et al. 2006). Upaya eksplorasi isolat bakteri indigenous dari
teluk Jakarta yang mampu menghasilkan biosurfaktan dan juga berperan dalam
degradasi hidrokarbon oleh karenanya akan memberikan kontribusi terhadap
penanganan pencemaran khususnya yang disebabkan oleh senyawa HAP.

Hipotesis
Hidrokarbon aromatik polisiklik (HAP) merupakan senyawa organik yang berasal
dari pembakaran tak sempurna terutama pada produk buangan industri. Senyawa
ini merupakan salah satu komponen yang terkandung dalam minyak bumi dan
produk turunannya dan apabila terakumulasi di lingkungan dapat membahayakan
organisme termasuk manusia karena bersifat toksik, mutagenik dan karsinogenik.

3

Bakteri tertentu mampu mendegradasi dan menggunakan senyawa HAP
sebagai sumber karbon dan energi, akan tetapi tingkat kelarutan minyak yang
rendah menjadi kendala dalam proses degradasi. Produksi biosurfaktan oleh bakteri
merupakan upaya bakteri untuk meningkatkan kelarutan dan ketersediaan sumber
karbon dari substrat hidrofobik seperti halnya minyak bumi. Bakteri penghasil
biosurfaktan yang memiliki kemampuan mendegradasi senyawa HAP oleh
karenanya dapat diperoleh dari lingkungan yang tercemar limbah minyak.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan isolat bakteri indigenous yang
mampu menghasilkan biosurfaktan dan mendegradasi senyawa HAP (naftalena,
antrasena dan pirena). Tujuan lain penelitian ini adalah mendeteksi gen penyandi
enzim yang berperan dalam degradasi HAP serta mengkaji aktivitas biosurfaktan
yang dihasilkan melalui pengukuran tegangan permukaan dan kemampuan
emulsifikasi.

Manfaat Penelitian
Penggunaan bakteri dengan kemampuan menghasilkan biosurfaktan dan
mendegradasi hidrokarbon diharapkan dapat lebih mempercepat proses degradasi
dan penghilangan polutan hidrokarbon. Isolat bakteri yang diperoleh dalam
penelitian ini dapat dimanfaatkan dalam proses bioremediasi khususnya sebagai
pendegradasi senyawa HAP sebagai upaya mengatasi pencemaran di lingkungan.
Selain itu hasil penelitian diharapkan dapat memperkaya informasi tentang
keragaman bakteri indigenous yang diperoleh dari kawasan teluk Jakarta.

Kebaruan Penelitian
Penelitian mengenai bakteri penghasil biosurfaktan dan pendegradasi HAP
dari area tercemar minyak di pulau Rambut, hutan mangrove dan pelabuhan kapal
nelayan Cilincing di Teluk Jakarta menghasilkan isolat bakteri yang diperoleh dari
kawasan ini. Informasi yang dapat diungkapkan melalui penelitian ini meliputi
kemampuan isolat dalam mendegradasi HAP naftalena, antrasena dan pirena. Selain
itu diperoleh pula informasi mengenai aktivitas biosurfaktan yang dihasilkan dalam
menurunkan tegangan permukaan dan mengemulsifikasi substrat. Kemampuan ini
merupakan hal penting yang perlu dimiliki oleh isolat untuk diaplikasikan sebagai
agen bioremediasi.

4

TINJAUAN PUSTAKA

Biosurfaktan
Biosurfaktan merupakan molekul aktif permukaan yang dihasilkan oleh
banyak galur mikrob baik dari kelompok bakteri maupun cendawan ketika tumbuh
dalam medium yang mengandung substrat tak larut air. Adanya gugus hidrofilik
dan hidrofobik menyebabkan molekul ini dapat menurunkan tegangan permukaan
suatu cairan, tegangan antarmuka dua cairan, atau antara cairan dan padatan.
Biosurfaktan memiliki sifat kimia dan ukuran molekul yang bervariasi. Molekul ini
dapat berada pada permukaan sel mikrob ataupun disekresikan dalam medium
(Desai dan Banat 1997; Mukherjee et al. 2006; Singh 2012). Biosurfaktan dapat
menurunkan tegangan permukaan air dari 72mN/m hingga berkisar antara 25 dan
38 mN/m. Surfactin, biosurfaktan yang dihasilkan oleh Bacillus subtilis mampu
menurunkan tegangan permukaan air hingga 27mN/m (Desai dan Banat 1997).
Pengelompokan biosurfaktan terutama didasarkan pada komposisi kimia dan
mikrob penghasilnya. Secara umum, gugus hidrofilik terdiri atas asam amino atau
peptida dan gugus hidrofobik mengandung lemak jenuh, tak jenuh atau asam
lemak. Kelompok utama biosurfaktan terdiri atas glikolipid, lipopeptida dan
lipoprotein, fosfolipid dan asam lemak, surfaktan polimer, dan surfaktan partikulat
(Desai dan Banat 1997; Singh 2012). Rhamnolipid, biosurfaktan dari kelompok
glikolipid merupakan jenis yang paling banyak dipelajari dan dikarakterisasi (Desai
dan Banat 1997; Muthusamy et al. 2008). Glikolipid mengandung karbohidrat
seperti soforosa, trehalosa atau rhamnosa yang tergabung ke asam alifatik rantai
panjang atau lipopeptida (Ron dan Rosenberg 2001) (Gambar 1).

Gambar 1 Struktur umum beberapa biosurfaktan glikolipid (Desai dan Banat 1997)
(A) Rhamnolipid tipe 1 dari Pseudomonas aeruginosa, dua subunit
rhamnose berikatan dengan 2 -asam hidroksidekanoat pada rantai
samping. (B) Trehalosa dimikolat dari Rhodococcus erythropolis,
disakarida trehalosa berikatan dengan asam lemak  hidroksi rantai
panjang. (C) Sophorolipid dari Torulopsis bombicola, sophorosa dimer
berikatan dengan asam lemak hidroksi rantai panjang (C18)

5

Jenis, kualitas dan kuantitas biosurfaktan yang dihasilkan dipengaruhi oleh
sifat substrat karbon, konsentrasi nitrogen, fosfor, magnesium, besi, dan ion mangan
dalam media dan kondisi kultur, seperti pH, suhu dan agitasi (Guerra-Santos et al.
1986). Arthrobacter paraffineus menghasilkan biosurfaktan ketika ditumbuhkan
pada media dengan sumber karbon glukosa, tetapi tidak disintesis ketika digunakan
heksadekana sebagai sumber karbon (Reddy et al. 1983). Produksi rhamnolipid dari
Pseudomonas aeruginosa PA1 memberikan hasil tertinggi pada substrat gliserol
dibandingkan dengan substrat n-heksadekana maupun paraffin (Santa-Anna et al.
2002). Sementara itu, bakteri Aeromonas spp yang diperoleh dari perairan mampu
menghasilkan biosurfaktan tertinggi pada media dengan sumber karbon glukosa
dan terendah pada media solar asetat. Kedelai diketahui sebagai sumber nitrogen
terbaik untuk produksi biosurfaktan (Ilori et al. 2005).
Biosurfaktan merupakan salah satu dari berbagai cara adaptasi mikrob untuk
memetabolisme hidrokarbon dan secara umum merupakan respon fisiologis
terhadap kebutuhan tertentu yang dihadapi oleh sel pada lingkungan tertentu.
Beberapa bakteri mampu mengembangkan pseudosolubilization, yaitu suatu strategi
untuk mendapatkan akses ke substrat yang sulit larut dan oleh karenanya
menghasilkan biosurfaktan dengan berat molekul rendah. Bakteri lain berinteraksi
dengan hidrokarbon secara langsung melalui biosurfaktan yang terikat pada dinding
sel sehingga menyebabkan permukaan sel menjadi sesuai dengan substrat
hidrofobik (Perfumo et al. 2010). Fungsi utama biosurfaktan dalam sel mikrob
adalah mengemulsi substrat tidak larut air seperti hidrokarbon dan memfasilitasi
transportasi ke dalam sel agar dapat digunakan sebagai sumber karbon untuk
memicu pertumbuhan (Singh 2012). Bagi sebagian bakteri yang lain, biosurfaktan
juga dapat memiliki aktivitas antimikrob (Ron and Rosenberg 2001). B. subtilis, B.
cereus, B. pumilus, B. brevis, dan B. licheniformis dilaporkan mampu menghasilkan
senyawa antimikrob (Rodrigues et al. 2006)
Biosurfaktan lebih menjanjikan dalam aplikasinya dibandingkan surfaktan
yang disintesis secara kimiawi. Hal ini disebabkan biosurfaktan memiliki sifat
toksisitas yang lebih rendah, biodegradabilitas yang lebih tinggi, lebih kompatibel
terhadap lingkungan, serta lebih stabil terhadap perubahan faktor lingkungan seperti
pH, salinitas dan suhu. Biosurfaktan juga diketahui memiliki beberapa sifat yang
terkait dengan kepentingan terapi dan biomedis seperti sifat antibakteri, antijamur
dan antivirus, mampu menghambat pembentukan gumpalan fibrin, serta memiliki
sifat anti pelekatan terhadap beberapa mikrob patogen. Selain itu, molekul ini dapat
dihasilkan dari bahan baku berbasis pertanian yang lebih murah ataupun
menggunakan limbah (Mukherjee et al. 2006; Araji et al. 2007; Fakruddin 2012).
Aplikasi biosurfaktan meliputi berbagai bidang antara lain aplikasi potensial di
bidang pertanian, kosmetik, farmasi, deterjen, produk perawatan diri, pengolahan
makanan, tekstil, perlengkapan laundry, perawatan dan pengolahan logam, pulp dan
pengolahan kertas dan industri cat. Saat ini biosurfaktan terutama digunakan dalam
studi tentang teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR) untuk meningkatkan
perolehan minyak dan bioremediasi hidrokarbon (Williams, 2009; Banat et al.
2010).

6

Bakteri Penghasil Biosurfaktan
Pengambilan sampel dan isolasi merupakan dasar untuk seleksi mikrob
penghasil biosurfaktan. Lingkungan yang terkontaminasi senyawa organik
hidrofobik merupakan lokasi yang paling menjanjikan untuk isolasi mikrob
penghasil biosurfaktan (Walter et al. 2010; Jaysree et al. 2011). Mikrob penghasil
biosurfaktan telah berhasil diisolasi dari lingkungan yang terkontaminasi minyak
(Willumsen dan Karlson 1997; Rahman et al. 2002; Santa-Anna et al. 2005;
Nisanthi et al. 2010; Liu et al. 2011), danau buatan yang terkontaminasi limbah
minyak (Jaysree et al. 2011) sumur aspal di La Brea, Los Angeles (Belcher et al.
2012), limbah pabrik minyak (Gujar and Hamde 2011), tanah di sekitar bengkel
mobil (Shoeb et al. 2012) maupun tangki bahan bakar pesawat (Muriel et al. 1996).
Konsorsium bakteri penghasil biosurfaktan juga telah diisolasi dari tanah
terkontaminasi hidrokarbon di daerah Cepu, Jawa Tengah, Indonesia (Sumiardi et
al. 2012).
Meskipun lebih banyak ditemukan di lingkungan terkontaminasi, bakteri
penghasil biosurfaktan juga dilaporkan diperoleh dari lingkungan yang tidak
terkontaminasi hidrokarbon. Hasil penelitian memperlihatkan galur bakteri dapat
diisolasi dari tanah tidak terkontaminasi yang kaya bahan organik (Jennings dan
Tanner 2000), dari perairan (Ilori et al. 2005) serta dari limbah pabrik susu (Gudina
et al. 2011).
Biosurfaktan yang diproduksi oleh berbagai mikrob terutama bakteri, jamur
dan ragi, beragam dalam komposisi kimia dan sifatnya. Jumlah yang dihasilkan
juga bergantung pada jenis mikrob penghasilnya. Banyak mikrob penghasil
biosurfaktan yang digunakan dalam pengolahan limbah industri berasal dari tanah
yang terkontaminasi limbah dan sumber air limbah. Dengan demikian, mikrob ini
memiliki kemampuan untuk tumbuh pada substrat yang dianggap berpotensi bahaya
bagi mikrob yang tidak menghasilkan biosurfaktan (Saharan et al. 2011). B. subtilis
dan
P. aeruginosa diketahui mampu menggunakan minyak mentah dan
hidrokarbon sebagai sumber karbon tunggal untuk menghasilkan biosurfaktan dan
dapat digunakan untuk membersihkan tumpahan minyak di lingkungan (Das dan
Mukherjee 2006).
Kebanyakan spesies Bacillus mensintesis sejumlah antibiotik lipopeptida
siklik selama tahap awal sporulasi, misalnya, B. polymyxa menghasilkan polymixin,
suatu dekapeptida dengan 3-10 asam amino yang membentuk struktur cincin dan
berikatan dengan asam lemak. B. brevis menghasilkan gramicidin S, suatu
dekapeptida siklik yang mengandung cincin dengan dua rantai samping ornitin
bermuatan positif di satu sisi dan rantai samping hidrofobik pada di sisi lainnya.
B.licheniformis menghasilkan campuran beberapa lipopeptida yang bertindak
secara sinergis, dan dapat menurunkan tegangan antarmuka antara air dan nheksadekana dengan nilai yang sangat rendah yaitu 0,36 mN/m. Lipopeptida siklik
dengan aktivitas yang sangat tinggi yaitu surfactin diproduksi oleh B. subtilis.
Surfactin memiliki Critical Micelle Concentration (CMC) sebesar 25-50 mg/L dan
dapat menurunkan tegangan permukaan air hingga 27 mN/m, sedangkan tegangan
antar muka terendah terhadap n-heksadekana adalah 1 mN/m (Franzetti et al. 2010).
Trehalolipids merupakan kelompok besar glikolipid yang diproduksi oleh
sejumlah mikrob yang berbeda, seperti Mycobacterium, Nocardia dan
Corynebacterium. Namun, senyawa yang paling ekstensif dipelajari di kelas ini

7

adalah trehalosa dimikolat yang diproduksi oleh Rhodococcus erythropolis.
Trehalolipid yang dihasilkan oleh mikrob berbeda dalam struktur, ukuran dan
derajat kejenuhan. Nilai minimal untuk tegangan antar muka air terhadap nheksadekana yang dicapai oleh trehalolipids berkisar antara 1 dan 17 mN/m,
sedangkan penurunan tegangan permukaan oleh lipid trehalosa yang dihasilkan
oleh R. erythropolis dan Arthrobacter sp. mencapai 25 dan 40 mN/m. Sementara
itu, nilai CMC trehalolipids cukup rendah, sekitar 2 mgL-1 (Desai dan Banat 1997;
Ron dan Rosenberg 2001).
Bakteri dari genus Lactobacillus juga diketahui mampu menghasilkan
biosurfaktan meskipun jumlahnya lebih rendah bila dibandingkan dengan mikrob
lainnya, seperti Bacillus subtilis ataupun Pseudomonas aeruginosa. Namun
demikian, L. paracasei ssp. paracasei A20 yang diisolasi dari pabrik susu,
merupakan penghasil biosurfaktan yang menjanjikan (Gudina et al. 2011).
Meskipun peran biosurfaktan dalam sel mikrob belum sepenuhnya
dipahami, akan tetapi telah diketahui bahwa metabolit sekunder ini dapat
meningkatkan transportasi nutrisi melintasi membran, berperan dalam berbagai
interaksi mikrob dan inang, serta memberikan perlindungan bakterisidal dan
fungisidal terhadap organisme penghasil (Jennings dan Tanner 2000).

Hidrokarbon Aromatik Polisiklik (HAP)
Kelompok polutan yang banyak menjadi perhatian para ahli lingkungan
adalah HAP. Polutan ini menjadi penting karena terdistribusi secara luas di
lingkungan dan menimbulkan efek mengganggu kesehatan (Makkar dan Rockne
2003). HAP merupakan kelompok berbagai senyawa organik yang mengandung
dua atau lebih cincin aromatik yang tergabung pada atom karbon dan hidrogen.
Senyawa ini kebanyakan sebagai polutan di berbagai lingkungan dan menjadi
perhatian lingkungan karena efeknya yang bersifat
mutagenik dan atau
karsinogenik (Kumar et al. 2006).
HAP banyak terdapat di alam dan berasal dari dua sumber utama, yaitu
berasal dari proses alami (biogenik dan geokimia) dan aktivitas manusia. Secara
alami HAP terdapat dalam bahan bakar fosil seperti batu bara dan minyak bumi,
akan tetapi juga dapat terbentuk selama pembakaran yang tidak sempurna dari
bahan organik seperti batu bara, diesel, maupun kayu. Proses alam juga dapat
menjadi sumber HAP di lingkungan, seperti letusan gunung berapi dan kebakaran
hutan. Aktivitas manusia seperti pembakaran bahan organik, tumHAPan minyak
dan solar, pencairan batubara, maupun asap tembakau dan pembakaran bahan
makanan menjadi sumber utama polusi HAP (Bamforth dan Singleton, 2005;
Kumar et al. 2006)
HAP merupakan kelompok berbagai senyawa organik yang mengandung
dua atau lebih cincin aromatik dengan struktur fisik dan kimia berbeda (Gambar 2).
Beberapa jenis HAP yang termasuk dalam daftar senyawa kimia prioritas dari
Environmental Protection Agency (EPA) Amerika Serikat adalah Asenaftena,
Asenaftilena, Antrasena, Benzo(g,h,i)perilena, Fluorena, Fenantrena dan Pirena
(Environmental Protection Agency 2008).

8

Gambar 2 Struktur fisik dan kimia beberapa jenis senyawa HAP (Bamforth dan
Singleton 2005)

Bakteri Pendegradasi HAP
Lingkungan yang terkontaminasi minyak pada umumnya mengandung
campuran hidrokarbon kompleks, termasuk HAP yang mempunyai berat molekul
rendah dan HAP yang mempunyai berat molekul tinggi (Guo et al. 2010).
Beberapa dekade terakhir, penelitian lebih banyak diarahkan ke proses degradasi
HAP dengan berat molekul tinggi yaitu yang memiliki tiga cincin atau lebih
(Kanaly dan Harayama 2000).
Bakteri pendegradasi hidrokarbon telah ditemukan di perairan Indonesia,
terutama pada lingkungan yang tercemar limbah minyak bumi. Bakteri
pendegradasi hidrokarbon yang diperoleh dari laut Dumai diketahui memiliki
kesamaan dengan bakteri Providencia vermicola, Burkholderia cepacia, dan
Myroides (Nursyirwani dan Amolle 2007). Selain itu, dari rizosfer mangrove yang
tumbuh pada tanah terkontaminasi minyak bumi di daerah Sungsang Sumatera
Selatan ditemukan 9 isolat bakteri pendegradasi hidrokarbon yang mampu tumbuh
pada medium yang mengandung minyak bumi secara in vitro. Dua isolat terbaik
dalam mendegradasi senyawa hidrokarbon minyak bumi adalah Pseudomonas
alcaligenes dan Alcaligenes facealis (Gofar 2012).
Hasil penelitian Riffiani dan Sulistinah (2010), diperoleh 29 isolat yang
mampu mendegradasi hidrokarbon dari Perairan Laut Sekitar Pulau Moti-Ternate,
sepuluh isolat diantaranya memiliki kemampuan mendegradasi senyawa HAP, yaitu
fenantrena, dibenzotiofena dan flourantena. Isolat bakteri dari lingkungan mangrove

9

juga telah diketahui mampu mendegradasi senyawa HAP. Sebagian besar isolat
tersebut berasal dari genus Sphingomonas, Mycobacterium, Rhodococcus,
Paracoccus dan Pseudomonas. Hasil penelitian juga memperlihatkan Semua galur
Mycobacterium yang berhasil diisolasi dapat mendegradasi campuran HAP yang
terdiri atas fenantrena, fluorantena, dan pirena dalam waktu 14 hari (Guo et al.
2010).
Degradasi HAP sebagian besar dilakukan oleh enzim dioksigenase yang
dihasilkan oleh kultur bakteri pendegradasi HAP pada kondisi aerobik. Sejumlah
gen penyandi dioxygenase yang berperan dalam degradasi HAP, terutama HAP
dengan berat molekul rendah (low molecular weight HAP), telah diketahui. Gen ini
tampaknya khas untuk kelompok bakteri dan jenis substrat tertentu, seperti gen nah
untuk degradasi naftalena oleh Pseudomonas, gen phn untuk degradasi fenantrena
oleh bakteri Burkholderia cepacia RP007, gen nag untuk degradasi naftalen oleh
Ralstonia sp. U2 dan Polaromonas naphthalenivorans CJ2, gen bph untuk
degradasi naftalena dan fenantrena oleh bakteri Novosphingobium aromaticivoran
F199 dan Sphingobium yanoikuyae B1 dan P2, serta gen arh untuk degradasi
asenaftena dan asenaftilena oleh Sphingomonas sp. A4. Selain itu, gen nid pada
Mycobacterium spp. telah diidentifikasi sebagai penyebab degradasi pirena
(Klankeo et al. 2009).
Hasil penelitian Guo et al. (2010) menunjukkan bahwa aktivitas enzim
dioksigenase terdeteksi pada tiga belas isolat bakteri Gram positif dan dan empat
galur bakteri gram negatif pendegradasi HAP. Namun, gen nahAc dan phnAc tidak
terdeteksi di semua galur Sphingomonas yang terisolasi. Hal ini dapat dijelaskan
karena kedua gen ini diketahui berasal dari genus Pseudomonas dan Burkholderia,
bukan Sphingomonas. Gen nahAc ditemukan pada bakteri Pseudomonas putida
yang dapat mendegradasi naftalena dan fenantrena.
Katabolisme aerobik molekul HAP oleh bakteri diawali oleh oksidasi
menjadi dihidrodiol oleh sistem enzim multikomponen. Senyawa antara ini
kemudian dapat diproses melalui pemecahan tipe orto atau meta, yang mengarah
ke senyawa antara utama seperti protokatekuat dan katekol, yang selanjutnya
dikonversi ke siklus asam trikarboksilat (Kanaly dan Harayama 2000).
Meskipun mikrob pendegradasi hidrokarbon khususnya HAP telah banyak
diketahui, lebih banyak mikrob yang telah dilaporkan dan berhasil diisolasi berasal
dari daerah subtropis, yang memiliki suhu dan geografis yang berbeda dengan
lingkungan di Indonesia yang beriklim tropis. Literatur mengenai bakteri
pendegradasi senyawa hidrokarbon di daerah tropis khususnya Indonesia, masih
sangat terbatas (Riffiani dan Sulistinah 2011). Selain itu, jenis HAP yang beragam
membutuhkan kondisi degradasi dan jenis bakteri pendegradasi yang beragam pula.
Eksplorasi bakteri indigenous dari Indonesia yang mampu mendegradasi
hidrokarbon oleh karenanya akan memberikan kontribusi baik dari sisi biodiversitas
maupun potensinya sebagai agen bioremediasi.

Biosurfaktan dan Biodegradasi HAP
Kelarutan hidrokarbon yang rendah, terutama hidrokarbon aromatik
polisiklik (HAP), diyakini membatasi ketersediaannya untuk mikrob, yang
merupakan masalah potensial proses bioremediasi pada area yang terkontaminasi

10

(Ron dan Rosenberg 2002). Penambahan biosurfaktan atau produksinya secara in
situ oleh mikrob diketahui mampu mempersingkat waktu degradasi dan
meningkatkan efisiensi biodegradasi hidrokarbon dalam tanah (Kosaric 2001).
Peningkatan efisiensi bioremediasi oleh biosurfaktan ini dapat melalui dua
mekanisme, yang pertama meliputi peningkatan bioavailabilitas substrat untuk
mikrob, dan kedua melibatkan interaksi dengan permukaan sel yang meningkatkan
hidrofobisitas permukaan hidrofobik yang memungkinkan substrat untuk lebih
mudah berasosiasi dengan sel bakteri (Pacwa-Płociniczak et al. 2011). Banyak
jenis surfaktan telah diteliti utuk mengetahui kemungkinan aplikasinya dalam
proses biodegradasi kontaminan organik seperti HAP (Cameotra dan Makkar 2010).
Biosurfaktan mikrob menunjukkan kapasitas menghilangkan hidrokarbon
yang lebih baik dibandingkan surfaktan sintetis. Sebagai contoh, biosurfaktan
rhamnolipids dan surfactin, telah dievaluasi peranannya dalam membersihkan tanah
yang terkontaminasi oleh minyak mentah, HAP dan hidrokarbon terklorinasi. Pada
beberapa kasus, efisiensi penghilangan sangat tinggi (hingga 80%). Efisiensi ini
tergantung pada waktu kontak dan konsentrasi biosurfaktan. Biosurfaktan
tampaknya lebih efektif dalam meningkatkan kelarutan HAP hingga lima kali lipat
dibandingkan dengan surfaktan kimia (Franzetti et al. 2010).
Biosurfaktan juga diketahui dapat memacu pertumbuhan bakteri
pendegradasi minyak dan meningkatkan kemampuannya untuk memanfaatkan
hidrokarbon (Ron dan Rosenberg 2001). Bakteri Gordonia BS29 diketahui mampu
tumbuh pada hidrokarbon alifatik sebagai karbon tunggal dan menghasilkan
Bioemulsan yang efektif mendegradasi minyak mentah, HAP dan hidrokarbon
rekalsitran lainnya dari tanah yang terkontaminasi (Franzetti et al. 2010). Bakteri
Pseudomonas aeruginosa galur NY3 yang diisolasi dari sampel tanah yang
terkontaminasi minyak bumi dilaporkan sebagai isolat baru yang mampu
menghasilkan biosurfaktan rhamnolipid dan juga mendegradasi senyawa HAP.
Bakteri galur NY3 tidak hanya mampu menghasilkan rhamnolipid dengan beragam
struktur, akan tetapi juga mampu menurunkan konsentrasi lima jenis substrat HAP
yaitu fenantrena, fluorena, antrasena, fluoranthena dan pirena (Nie et al. 2010).
Sementara bakteri Pseudomonas sp IR1 dilaporkan mampu menghasilkan
biosurfaktan serta mendegradasi campuran senyawa HAP yang terdiri atas
naftalena, dibenzotiofena, pirena dan fenantrena (Kumar et al. 2006).

11

METODE
Penelitian dilakukan dalam empat tahap yang diawali dengan
pengambilan sampel dan isolasi bakteri hingga analisis gen serta pengujian
terhadap degradasi senyawa HAP dan aktivitas biosurfaktan yang dihasilkan
oleh isolat bakteri (Gambar 3).
Sampel tanah
Kultur pengayaan dan isolasi

TAHAP I

Isolat bakteri
Penapisan bakteri penghasil biosurfaktan:
 Hemolytic activity
 Oil spreading assay
 Drop collapse assay

TAHAP II

Isolat terseleksi 1
 Uji kemampuan tumbuh pada medium
MSM + hidrokarbon (crude oil, naftalena,
antrasena dan pirena)
 Identifikasi molekuler: 16S rRNA
 Uji aktivitas emulsifikasi

TAHAP III

Isolat terseleksi 2
 Deteksi gen penyandi enzim dioksigenase
Pertumbuhan dan degradasi HAP pada
medium MSM cair:
 Perhitungan jumlah bakteri (cfu/mL)
 Pengukuran konsentrasi HAP: GC-MS
Uji aktivitas biosurfaktan pada tiga sumber
karbon (glukosa, sukrosa dan crude oil):
 Pengukuran tegangan permukaan
 Pengukuran indeks emulsifikasi (E24)
Gambar 3 Diagram alir penelitian

TAHAP IV

12

Pengambilan Sampel
Sampel diambil dari 4 lokasi yang terletak di kawasan Teluk Jakarta
yaitu Pulau Rambut, hutan mangrove Muara Angke, pelabuhan kapal nelayan
Cilincing dan muara sungai Cilincing (Gambar 4). Pengambilan sampel
dilakukan pada bulan Agustus 2014 menggunakan teknik purposive sampling
pada lokasi yang tercemar limbah minyak. Setiap lokasi terdiri atas 2 titik
pengambilan sampel yang berbeda sehingga terdapat 8 titik pengambilan
sampel. Penentuan titik pengambilan sampel didasarkan pada kondisi pencemaran
minyak pada tanah di setiap lokasi.
Sampel berupa tanah permukaan diambil pada kedalaman 10-20 cm
menggunakan sekop kecil dan sendok steril kemudian dimasukkan ke dalam
botol sampel steril untuk selanjutnya dibawa ke laboratorium menggunakan
boks pendingin. Penyimpanan sampel sebelum analisis dilakukan pada suhu
4 oC.
Proses isolasi bakteri dan pengujian dilakukan di laboratorium
Mikrobiologi, Fakultas MIPA Universitas Negeri Jakarta.

Gambar 4 Peta lokasi pengambilan sampel di kawasan Teluk Jakarta
A. Pulau Rambut (5°58'35.6"S 106°41'28.1"E)
B. Kawasan Mangrove, Muara Angke (6°06'15.0"S
106°45'04.9"E)
C. Pelabuhan Kapal Nelayan, Cilincing
(6°06'12.8"S106°55'15.1"E)
D. Sungai Cilincing (6°06'38.5"S 106°56'26.3"E)
Kultur Pengayaan dan Isolasi Bakteri
Medium pengayaan menggunakan mineral salt medium (MSM)
berdasarkan Kumar et al. (2006) dengan kandungan setiap liter : 6,0 g Na2HPO4,
3,0 g KH2PO4, 1,0g NH4Cl, 0,5 g NaCl, 1,0 ml MgSO4 1 M, dan 2,5 ml larutan
trace element dengan komposisi per liter: 23 mg MnCl2.2H2O, 30 mg MnCl4.H2O,
31 mg H3BO3, 36 mg CoCl2.6H2O, 10 mg of CuCl2.2H2O, 20 mg of NiCl2.6H2O, 30
mg of Na2MoO4.2H2O, dan 50 mg ZnCl2 dengan pH akhir larutan 7,0. Sebanyak 5

13

g sampel tanah dimasukkan ke dalam botol selai steril berisi 50 mL MSM + 1%
minyak mentah. Masing-masing botol selai yang telah berisi sampel dan medium
diinkubasikan dalam shaker pada suhu ruang dengan kecepatan 200 rpm selama 14
hari. Setelah inkubasi, sebanyak 1 ml suspensi diambil dan dilakukan seri
pengenceran hingga 10-5 selanjutnya diinokulasikan dengan metode cawan tuang
(pour plate method) dalam MSM agar yang ditambahkan dengan 1% minyak
mentah. Inkubasi dilakukan pada suhu 30oC selama 2-7 hari. Koloni yang tumbuh
kemudian dimurnikan menggunakan metode gores pada medium Nutrient Agar
(NA). Koloni yang tumbuh terpisah selanjutnya disimpan dalam medium Nutrient
Agar pada suhu 4oC sebagai sto