Viabilitas Dan Kemampuan Bakteri Penghasil Biosurfaktan Terimobilisasidalam Mendegradasi Pestisida Berbahan Aktifkarbofuran
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pestisida
Di Indonesia sendiri pemerintah telah mencantumkan pengertian dari pestisida
dalam Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1973. Pestisida adalah semua zat kimia
dan bahan lain serta jasad renik dan virus yang dipergunakan untuk memberantas
atau mencegah hama-hama dan penyakit-penyakit yang merusak tanaman, bagianbagian tanaman atau hasil-hasil pertanian. Memberantas rerumputan atau tanaman
pengganggu/gulma, mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak
diinginkan, mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian
tanaman, tidak termasuk pupuk. Memberantas atau mencegah hama-hama luar
pada hewan-hewan peliharaan dan ternak. Memberantas atau mencegah hamahama air, memberantas atau mencegah binatang-binatang dan jasad-jasad renik
dalam rumah tangga, bangunan dan alat-alat pengangkutan. Memberantas atau
mencegah binatang-binatang yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia dan
binatang yang perlu dilindungi dengan penggunaan pada tanaman, tanah dan air
(Direktorat Jendral Prasarana dan Sarana Pertanian, 2011).
Menurut penelitian Shinghvi et al. (1994) jenis-jenis pestisida meliputi
berbagai jenis bahan kimia termasuk herbisida, insektisida, fungisida, dan
rodentisida. Pada tahun 1940, 140 ton pestisida digunakan, pestisida yang paling
umum digunakan adalah pestisida organik seperti ekstrak tumbuhan, dan juga
pestisida anorganik yang mengandung logam berat. Selama pertengahan tahun
1940-an produksi dan penggunaan pestisida organik sintetik meningkat pesat.
Hingga tahun 1991, ada sekitar 23.400 produk pestisida yang terdaftar dengan US
Environmental Protection Agency (EPA).
2.2. Pestisida Sebagai Pencemar Lingkungan
Penggunaanberlebihanpestisidamenyebabkanakumulasisejumlah
besarresidudilingkungan(Alexander, 1999). Kontaminasi tanahkarena penggunaan
pestisidadipertanianberbasis kimiawimemunculkan kekhawatirankarena potensi
Universitas Sumatera Utara
5
kontaminasiair
permukaandan
air
et
tanah(Moorman
al.1998).
Dalam
penelitiannya Massiha et al. (2011) dan Mohammed (2009) juga mengemukakan
bahwa penggunaanpestisida secara sembarangandalam bidang pertaniantelah
mengakibatkanpencemaran
lingkunganair
tanah
yang
mengarah
kedalamtoksisitasbiota.
Pestisidayangdisemprotkandapatberada
di
udaradan
akhirnyaberakhirdalam tanahatau air. Pestisida yang diaplikasikanlangsung
ketanahdapatterbawa
tanahsehingga
airke
turun
dalam
kelapisantanah
memilikiberbagai efekekologis
manusia,
ikan
tanahatau
yang
membunuh
dan
mungkinmeresapmelalui
air-tanah.
Pestisidakimia
merugikantermasukpenyakit
satwa
liar,
akutpada
kegagalanreproduksipada
burungdanpenurunan fungsihutan. Efekekologibisa terjadi dalam jangka panjang
atausingkatdalamfungsi
normaldarisebuah
ekosistem,
yang
mengakibatkankerugian ekonomi, sosial, danestetika(Ogot et al. 2013).
Dampak dari kontaminasi pestisida sudah sangat fatal di beberapa belahan
dunia, tingkat kasus kematian akibat keracunan oleh pestisida terbilang tinggi.
Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Curley (1991) dan Olawale et al. (2011)
menyebutkan
bahwa
akibatkeracunaninsektisida.
setiap
Pada
tahunbeberapa
tahun
1956di
orangmeninggal
Amerika
insektisidamenyebabkan152kematiantermasuk94anak-anak
dari9tahun.
Pada
tahun
1969sebuah
Serikat,
berusiakurang
keluargadiNewMexicodilaporkan
telahteracuni olehmerkuriorganikyang hadir dalambutirbenih yang dijadikan
sebagai pakan babiyang kemudiandisembelihuntuk dijadikan sebagai makanan.
Pada
tahun
2009,
2orangdinegaraEkiti,
dan5
orangdiOsun,
Nigeriadilaporkanterbunuh olehpestisida beracunyang terkandungdalam bijibijianyang dikonsumsi oleh mereka.
Massiha et al. (2011) mengemukakan data dari EPA 2005 mengenai
pestisida
dichlorodiphenyltrichloroethane
(DDT),
asam
2,4
Dichlorophenoxyacetic (2,4-D) dan asam 2,4,5-trichlorophenoxyacetic (2,4,5-T),
plasticizer, pentachlorophenol, dan polychlorinated biphenyls, merupakan contoh
senyawa aromatik terhalogenasi. Stabilitas dan toksisitas mereka memprihatinkan
bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat. Data Organisasi Kesehatan Dunia
Universitas Sumatera Utara
6
(WHO) menunjukkan bahwa hanya 2-3% dari pestisida kimia terapan secara
efektif digunakan untuk mencegah, mengendalikan dan membunuh hama,
sedangkan sisanya tetap di tanah. Sehingga, permukaan tanah yang mengandung
residu pestisida menyebabkan toksisitas pada lingkungan sekitarnya, o leh karena
ituharus dicari cara untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan cemaran dari
kontaminasi residu pestisida sehingga tidak sampai menimbulkan berbagai macam
kerugian baik dalam bidang kesehatan dan lingkungan. Salah satu cara yang
dianggap efektif untuk diterapkan adalah bioremediasi oleh agen-agen biologis
yang mampu mendegradasi residu pestisida tersebut (biodegradasi).
2.3. Insektisida Karbofuran
Insektisida karbofuran merupakan insektisida sistemik yang dikenal dengan nama
dagang seperti Furadan 3G©, Curater 3G©, atau Gemafur© dengan kadar bahan
aktif karbofuran sebesar 3-5%. Aplikasinya biasanya dilakukan dengan
memasukkannya ke dalam tanah saat penanaman atau dengan cara menaburkan
pada tanah (Tamin et al. 1996). Karbofuran (2,3-dihydro-2,2-dimethyl-7benzofuranylmethylcarbamat) berspektrum luas untuk pengendalian hama pada
tanaman padi, jagung, jeruk, alfalfa dan tembakau (Bonner et al. 2005; Tobin,
1970; Tejada et al. 1990; FAO, 1997).
Gambar 1. Struktur Karbofuran (Trotter et al.1991)
Karbamat merupakan insektisida yang bersifat sistemik dan berspektrum
luas sebagai nematosida dan akarisida. Golongan karbamat pertama kali disintesis
Universitas Sumatera Utara
7
pada tahun 1967 di Amerika Serikat dengan nama dagang Furadan. Karbofuran
bersifat sangat toksik pada unggas dengan kisaran nilai LD50 sebesar 0,37-6,0
mg/kg BB tergantung pada masing-masing spesies unggas (Iesce et al. 2006;
Ipcsintox, 1985). Unggas umumnya sangat peka terhadap karbofuran melalui
kontak langsung baik melalui penyemprotan (spraying), menelan granul
karbofuran, minuman tercemar dan memakan serangga yang mati akibat
karbofuran (Indraningsih, 2008). Karbofuran bersifat racun pada binatang
menyusui dan dapat melindungi tanaman dari serangga selama 21 hari, dan yang
efektif terpakai hanya sekitar sepertiga dari jumlah yang diaplikasikan (Tamin
et al. 1996).
Karakteristik dari pestisida turunan karbamat adalah memiliki sifat
polaritas yang tinggi, mudah larut di air dan tidak stabil terhadap panas (thermal
instability). Karakteristik itulah yang menyebabkan pestisida turunan karbamat
memiliki sifat toksik yang akut. Secara kimia, pestisida karbamat merupakan
kelompok ester dan karbamat serta senyawa organik turunan dari asam karbamat.
Kelompok pestisida ini dapat dibagi ke dalam jenis benzimidazole, N-metil, Nfenil dan thiokarbamat.
Karbamat
adalah inhibitor
dari enzim
AchE
(asetilkolinesterase) dan merupakan senyawa yang menyebabkan kasus keracunan
di lingkungan masyarakat (Porto et al. 2012).
Sifat kimiawi dan fisik insektisida seperti kelarutan, polaritas, volatilitas
dan stabilitas merupakan faktor penentu jalur dan laju degradasi insektisida
(Fushiwaki & Urano, 2001). Berbagai teknik reduksi residu/cemaran insektisida
dalam produk pangan dan lingkungan telah berkembang melalui berbagai metode.
Umumnya metoda pengurangan residu/cemaran insektisida dibagi dalam tiga
kelompok yaitu secara fisik (pemanasan dan penguapan), kimia dan biologi
(Indraningsih, 2008).
2.4. Bioremediasi
Bioremediasiadalah
menggunakan
agen
teknikpembersihan
biologis
seperti
polutan
bakteri
dilingkungan
ataupun
dengan
tanaman.
Bioremediasimerupakanalternatif yang lebih baik dibandingkanmetodekimia
maupun fisika dalam prosesremediasi, karena bioremediasi memiliki keunggulan
Universitas Sumatera Utara
yaitulebih murahdanselektifdalam mendegradasi totalpolutanorganik(Alexander,
8
1999).
Penggunaanmikroorganismedalam
degradasidandetoksifikasibahanxenobiotikberacun,
terutamapestisida,
merupakancara yang efisienuntukdekontaminasiwilayahlingkungan tercemar.
Tujuan daribioremediasiadalah untuk mengubahpolutanorganik atau polutan
metabolitberbahayatermineralisasimenjadi karbon dioksidadan air (Alexander,
1999;
Mohammed,
2009).
Bioremediasi
melibatkanpengkondisiandilingkungantercemarsehinggamikroorganismeyang
sesuaiberkembang
danmelaksanakankegiatanmetabolismeuntuk
detoksifikasikontaminan(Singh & Walker, 2006).Remediasitanahmenggunakan
gabungandarimikroorganismeseperti
bakteri,
jamurdanactinomycetes,
yang
diketahuiefektif dalambiodegradasipestisida (Massiha et al. 2011).
2.5. Biodegradasi Karbofuran
Biodegradasi merupakan proses penguraian suatu senyawa organik yang
berlangusng secara alami dengan bantuan mikroorganime dan menghasilkan
produk metabolisme akhir berupa air, karbondioksida, senyawa oksidasi dan
biomassa. Proses biodegradasi merupakan salah satu oksidasi dasar, dimana enzim
bakteri mengkatalisis penempatan oksigen ke dalam senyawa hidrokarbon,
sehingga molekul dapat digunakan dalam metabolisme seluler. Beberapa molekul
didegradasi secara lengkap menjadi CO 2 dan H 2 O, sedangkan yang lain diubah
dan digabungkan menjadi biomassa (Sarbini, 2012).
Biodegradasi sempurna dari pestisida melibatkan proses oksidasi dari
senyawa utama membentuk karbondioksida dan air. Proses ini menyediakan
karbon dan energi untuk pertumbuhan dan reproduksi mikroba. Setiap tahapan
degradasi dikatalis oleh enzim spesifik yang diproduksi melalui sekresi sel atau
enzim yang ada pada lingkungan eksternal sel. Degradasi pestisida melalui salah
satu enzim eksternal atau internal akan berhenti pada tahapan tertentu jika tidak
terdapat enzim yang tepat untuk mendegradasinya. Ketidaktersediaan enzim yang
tepat merupakan salah satu alasan mengapa suatu pestisida dapat bertahan lama
(persisten) di dalam tanah. Jika mikroorganisme yang sesuai tidak ada di dalam
Universitas Sumatera Utara
tanah atau jika populasi mikroorganisme pendegradasi jumlahnya berkurang9 maka
mikroorganisme spesifik dapat ditambahkan atau diintroduksi ke dalam tanah
untuk meningkatkan aktivitas atau kemampuan mikroorganisme yang sudah ada
dalam mendegradasi pestisida (Singh, 2008).
Keberhasilan proses biodegradasi banyak ditentukan oleh aktivitas enzim.
Selain menghasilkan enzim beberapa mikroorganisme juga berpotensi dalam
menghasilkan bioemulsifier atau biosurfaktan sebagai produk metabolit sekunder
dalam fase pertumbuhannya. Biosurfaktan ini berfungsi dalam meningkatkan
kelarutan substrat (senyawa hidrokarbon) dalam fase cair untuk lebih mudah
dikonsumsi
oleh
mikroorganisme
tersebut.
Beberapa
jenis
bakteri
(Imycobacterium, Pseodomonas, Bacillus) menghasilkan biosurfaktan dan juga
enzim seperti dioxygenase, dihydrogenase dalam pemutusan rantai oksigen dan
hidrogen (Sarbini, 2012).
Degradasi karbofuran pada tanah juga terjadi karena pH yang tinggi,
tanah yang mengandung pasir, kelembaban tanah sangat tinggi, dan biodegradasi
oleh bakteri (Sing, 1996). Venkateswarlu et al. (1977)
karbofuran yang terdapat dalam
menemukan bahwa
tanah yang tergenang air akan lebih cepat
terdegradasi dibandingkan dengan di dalam tanah yang tidak tergenang air.
Mikroorganisme berperan dalam proses degradasi karbofuran dalam tanah
terutama tanah yang bersifat asam atau netral.
Kondisi lingkungan basa yang biasanya terdapat pada lahan sawah, dan
hasil hidrolisisnya juga mengalami degradasi dengan cepat. Degradasi insektisida
dapat dipercepat dengan proses gabungan antara fisika (sinar matahari) dan
biologi (mikroorganisme). Degradasi mikroba dapat berlangsung pada masingmasing jenis pestisida. Pada keadaan tertentu populasi mikroba (Pseudomonas
spp.) digunakan untuk melakukan proses degradasi karbofuran, tetapi tidak efisien
untuk mendegradasi produk hidrolisis (metabolit) karbofuran yang dikenal
sebagai karbofuran fenol (Mabury et al. 1996). Beberapa Actinomycetes, jamur
dan bakteri lainnya dilaporkan dapat melangsungkan proses biodegradasi terhadap
karbamat seperti bensulfuron metil melalui proses oksidasi dan hidrolisis
sekaligus. Tiobenkarb dapat mengalami biodegradasi pada kondisi anaerob dalam
kecepatan rendah. Selanjutnya Seo et al. (2007) melaporkan bahwa jamur Mucor
Universitas Sumatera Utara
ramanianus dapat mendegradasi karbofuran dan metabolit karbofuran10fenol
menjadi senyawa yang tidak toksik.
Studi oleh Parekh et al. (1994) menetapkan bahwa bakteri memiliki
kinerja paling baik dalam mendegradasi karbofuran di tanah yang bersifat asam
dan netral. Ada dua jalur utama degradasi dari N-metil karbamat dan Karbofuran
yaitu: jalur oksidatif dan hidrolitik, telah diketahui bahwa degradasi secara
hidrolitik dari karbofuran menghasilkan metabolit dengan tingkat toksik yang
rendah dibandingkan dengan jalur oksidatif. Hidrolisis karbofuran dapat terjadi
melalui dua jalur: ketidakstabilan ikatan ester pada gugus karbonil dari asam
methylcarbamic N melekat pada fenol atau ikatan amida dari N-metil asam
karbamat, akan memproduksi karbofuran 7-fenol (2,3-dihidro-2,2-dimetil-7benzofuranol), metabolit kurang beracun dari karbofuran, karbon dioksida dan
metilamin. Produk akhir digunakan sebagai sumber karbon dan/atau nitrogen oleh
berbagai kelompok bakteri yang menghidrolisis karbofuran tapi tidak untuk
mendegradasi cincin aromatik (Trabue et al. 2001).
Beberapa penelitian, menjelaskan bakteri yang mampu menghidrolisis
karbofuran, telah menunjukkan kemampuan dalam mendegradasi cincin aromatik
secara lengkap. Feng et al. (1997) melaporkan bahwa genus Sphingomonas strain
CF06 mampu sepenuhnya memineralisasi cincin aromatik karbofuran. Kim et al.
(2004) mengidentifikasi dari Sphingomonas sp. galur SB5a., diisolasi dari tanah
yang telah terpapar oleh karbofuran selama 5 tahun, yang menunjukkan aktivitas
pada cincin aromatik oleh hidrolisis karbofuran 7-fenol, menghasilkan metabolit
perantara yang disebut 2 hidroksi-3-(3 -methylpropan-2-ol) fenol, yang kemudian
diubah menjadi metabolit merah. Park et al. (2006) dengan spektrometri massa
dan analisis resonansi magnetik nuklir (NMR), 5- (2-hidroksi-2-methylpropyl) 2,2-dimetil-2,3-dihidro-naphtho [2, 3-6] furan-4,6,7,9-tetrone sebagai salah satu
metabolit merah, lanjut menunjukkan bahwa metabolit merah ini berasal dari
kondensasi beberapa metabolit dari degradasi 2-hidroksi 3- (3-metilpropan-2-ol) fenol. Di sisi lain, Yan et al. (2007) mengisolasi Novosphingobium sp. strain
FND-3, yang diisolasi dari sistem pengolahan air limbah di perusahaan
manufaktur pestisida di Cina, menemukan bahwa bakteri ini, selain menurunkan
cincin aromatik karbofuran dengan jalur hidrolitik dan memproduksi metabolit
Universitas Sumatera Utara
hidroksi 2-3-(3-metilpropan-2-ol) fenol, juga memiliki kemampuan11untuk
menghidrolisis ikatan eter dari cincin furanil Karbofuran, memproduksi metabolit
2-hidroksi-3-(3-metilpropan-2-ol) benzena-N-metil karbamat dan karbofuran,
menghasilkan metabolit 5-hydroxy karbofuran.
Esterase adalah enzim yang menghidrolisis senyawa karboksil ester
(karboksilesterase), amida (amidase), fosfat ester (fosfatase) dan lain-lain. Enzim
yang biasanya dapat menghidrolisis ikatan ester dikenal dengan nama
karboksilesterase. Degradasi karbofuran dapat dilihat pada gambar 2. Pertama,
enzim karbofuran furanhidrolase memecah karbofuran menjadi senyawa 2hidroksi-3-(3-metilpropan-2-ol) benzen-N-metilkarbamat yang kemudian dengan
bantuan enzim enzim 2-hidroksi-3-(3-metilpropan-2-ol) benzen-N-metilkarbamat
hidrolase, senyawa tersebut diubah menjadi 3-(2- hidroksi-2 metilpropil) benze1,2-diol yang tidak bersifat toksik lagi. Kedua, enzim karbofuran hidrolase dapat
memecah karbofuran membentuk senyawa karbofuran-7-fenol dan metilamin dan
dengan bantuan enzim karbofuran-7-fenol hidrolase, senyawa tersebut diubah
menjadi 3-(2-hidroksi-2-metilpropil) benze-1,2-diol. Ketiga, karbofuran dapat
didegradasi dengan enzim karbofuran hidroksilase dan memecahnya menjadi
senyawa 4-hidroksikarbofuran dan selanjutnya akan menghasilkan karbon
dioksida sebagai hasil metabolitnya (Ortiz-Hernández et al. 2011).
Gambar 2. Skema Jalur Degradasi Karbofuran (Ortiz-Hernándezet al. 2011)
Universitas Sumatera Utara
12
2.6. Imobilisasi Bakteri
Imobilisasiagenbiologis seperti misalnyamakromolekul, seldanmikroorganisme,
bertujuan untuk meningkatkan teknis bio-efisiensi jangka panjang yang sukses.
Teknik
imobilisasi
memungkinkan
denganpemeliharaanfungsi
untuk
danselektivitasyang
dilakukannya
tepat
pengontrolan
untukbebanbiologis.
Mungkin untukaplikasisecara luas,teknikimobilisasimemerlukanpenyesuaian yang
harus diperhatikan, beberapa hal yang harus diperhatikan dan hendaknya dimiliki
oleh bakteri terimobilisasi adalah: i) kekakuanmekanikvsaduktegangan geser; ii)
inertnessvssubstratbiokonversi; iii) stabilitasvsjangka panjang/kebocoranproses
yang
berkesinambungan;
iv)
biokompatibilitasdannon-toksisitas
vsagen
biologisaktif. Selain itu, materiharus menunjukkanporositasdisesuaikanuntuk
difusibebas darisubstratdanproduk (Callone et al. 2008).
Dalam
penelitiaan
yang
dilakukan
oleh
Asok
et
al.
(2015),
jebakanfisikseldalammatriks polimeradalah salah satuteknik yang palingbanyak
digunakandan
mudahuntukimobilisasiselular,
karenatidak
tergantungsecara
signifikanpadasifatseluler.
Imobilisasimikrobatelahterbuktimenguntungkan
dalampengolahan
dan
limbahkota
industrikarena
efisiensidegradasitinggi
danstabilitas operasionalyang baik. Peningkatan degradasi oleh sel amobil
mungkin disebabkan oleh laju reaksi yang cepat karena kepadatan sel lokal yang
tinggi di dalam atau pada matriks amobil. Imobilisasi juga menyediakan jenis
membran yang stabil, sehingga meningkatkan perlindungan sel dan tingkat
degradasi yang lebih baik oleh sel amobil. Potensi biodegradasi alam ini dapat
dimanfaatkan
untuk
mengembangkan
bioteknologi
untuk
dekontaminasi
lingkungan serta badan air yang tercemar.
Telah banyak penelitian mengenai imobilisasi bakteri dalam aplikasi
lingkungan, terutama sebagai pendegradasi cemaran residu pestisida, diantaranya :
Sethunathan dan Yoshida (1973), Stormo dan Crawford (1992), Mansee et
al.(2000), Singh dan Walker (2006), Bazot dan Lebeau (2009), Porto et al. (2012),
Farragher (2013), Fuentes et al. (2013), Hernandez et al. (2013). Dan hasil dari
penelitian tersebut menunjukkan bahwa bakteri terimobilisasi memiliki banyak
kelebihan dalam mendegradasi cemaran residu pestisida, ditinjau dari ketahanan
terhadap kondisi lingkungan, terjalinya transduksi sinyal yang baik oleh koloni
Universitas Sumatera Utara
13
bakteri, jumlah bakteri yang terkandung dalam jumlah besar.
Sehingga
imobilisasi bakteri merupakan salah satu pilihan yang tepat dalam cara
pengaplikasian agen-agen bioremediasi pada lahan tercemar.
Gentili
et
al.
(2006)
menggunakan
kitin
dan
kitosan
untuk
mengimobilisasi Rhodococcus corynebacterioides QBTo. Bahan tersebut alami,
tidak beracun, tidak mencemari dan biodegradable yang diperoleh dari udang dan
kepiting. R. corynebacterioides QBT imobil pada kitin dan kitosan meningkat
secara signifikan dalam mendegradasi minyak mentah.
Xu danLu (2010), menunjukkan bahwa aplikasi degradasi minyak di
tanah yang terkontaminasi minyak mentah meningkat
setelah pengaplikasian
bakteri pendegradasi hidrokarbon yang diimobilisasi mengunakan tepung pati
kacang sebagai biocarrier. Biocarrier ini memberikan area permukaan besar dan
kemampuan adsorpsi yang kuat, di samping meningkatkan difusi oksigen dan
meningkatkan aktivitas dehidrogenase di dalam tanah
Diaz et al. (2002) mengimobilisasi konsorsium bakteri MPD-M
mengunakan serat polypropylene untuk mendegradasi minyak mentah dalam air
dengan salinitas yang bervariasi yaitu 0 - 180 gL-1. Mereka mendapati bahwa sel
amobil
secara
signifikan
meningkatkan
biodegradasi
minyak
mentah
dibandingkan dengan sel-sel yang hidup bebas, konsorsium bakteri MPD-M
amobil sangat stabil dalam melakukan pergerakan dan itu sangat tidak
dipengaruhi oleh penambahan salinitas.
2.7. Bahan Penyalut
Imobilisasi
harus
dilakukan
dengan
menggunakan
bahan
yang
dapat
mempertahankan viabilitas mikroorganisme. Bahan penyalut yang ideal dapat
berfungsi pada suhu ambien, tahan terhadap cekaman air limbah, meliputi
kontaminasi air dan turbidisasi, memiliki kemampuan yang baik dalam aliran
nutrien dan oksigen
mengalir
melalui
bahan penyalut
tersebut.
Dapat
mencegah terlepasnya sel di dalam matriks itu sendiri. Sel yang diimobilisasi
lebih stabil dalam bioreaktor dari
pada
dalam
keadaan
bebas
karena
imobilisasi ini dapat mencegah lepasnya sel bakteri dari bahan penyalut, dapat
Universitas Sumatera Utara
14
melakukan interaksi dengan lingkungan, dapat melakukan transduksi sinyal
antar sel (Fleming, 2004).
Polyurethane (PU) merupakan hasil reaksi antara isocyanate dan polyol.
Polyol dapat digunakan sebagai reaktan karena memiliki minimal dua buah gugus
hidroksil. Jenis polyol yang digunakan secara komersial dalam pembuatan
polyurethane diperoleh dari minyak bumi yaitu ethylene oxide dan propylene
oxide (Anisah et al. 2013).
Polyurethane
juga
dapat
diterapkandi
bidangbiokimiadanbioteknologisebagaidukungansempurna
untukimobilisasienzim, membrandalambiosensoranalitis. Zatalami, buatan dan
sintetisdenganstruktur yang berbedadapat digunakanuntukimobilisasienzim, dan
salah satupendukungterbaik untuk tujuan iniadalahPU. PU dapat digunakan
sebagai
bahan
pembuatan
komponenberupa:busa,
mikrosfer,mikrokapsul,
nanocompositesdan membran(Romaškevič et al. 2006).
Bahan matriks pembawa lainnya adalah alginat. Alginat atau Natrium
alginat adalah garam natrium dari asam alginat yang bersifat sangat hidrofil dan
juga dapat membenttuk gel jika bertemu dengan ion kalsium. Alginat bersifat
tidak beracun, tidak menyebabkan alergi, dapat terdegradasi secara biologis.
Natrium alginat telah banyak diaplikasikan sebagai bahan pensuspensi, pengental,
stabilisator emulsi minyak dan air dan bahan pembawa (matriks pembawa) (Kim
&Lee, 1992; Sugawara, et al. 1993; Bangun, 2002). Larutan natrium alginat
dengan larutan kalsium klorida dapat membentuk gel yang tidak larut dalam air
(Morris et al. 1980).
Struktur asam alginat merupakan satuan pengulangan dari α-L asam
guluronat (G) dan β-D asam mannurorat (M) seperti terlihat pada gambar 3
berikut:
Gambar 3. Struktur satuan pengulangan asam alginat (Morris et al. 1980)
Universitas Sumatera Utara
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pestisida
Di Indonesia sendiri pemerintah telah mencantumkan pengertian dari pestisida
dalam Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1973. Pestisida adalah semua zat kimia
dan bahan lain serta jasad renik dan virus yang dipergunakan untuk memberantas
atau mencegah hama-hama dan penyakit-penyakit yang merusak tanaman, bagianbagian tanaman atau hasil-hasil pertanian. Memberantas rerumputan atau tanaman
pengganggu/gulma, mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak
diinginkan, mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian
tanaman, tidak termasuk pupuk. Memberantas atau mencegah hama-hama luar
pada hewan-hewan peliharaan dan ternak. Memberantas atau mencegah hamahama air, memberantas atau mencegah binatang-binatang dan jasad-jasad renik
dalam rumah tangga, bangunan dan alat-alat pengangkutan. Memberantas atau
mencegah binatang-binatang yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia dan
binatang yang perlu dilindungi dengan penggunaan pada tanaman, tanah dan air
(Direktorat Jendral Prasarana dan Sarana Pertanian, 2011).
Menurut penelitian Shinghvi et al. (1994) jenis-jenis pestisida meliputi
berbagai jenis bahan kimia termasuk herbisida, insektisida, fungisida, dan
rodentisida. Pada tahun 1940, 140 ton pestisida digunakan, pestisida yang paling
umum digunakan adalah pestisida organik seperti ekstrak tumbuhan, dan juga
pestisida anorganik yang mengandung logam berat. Selama pertengahan tahun
1940-an produksi dan penggunaan pestisida organik sintetik meningkat pesat.
Hingga tahun 1991, ada sekitar 23.400 produk pestisida yang terdaftar dengan US
Environmental Protection Agency (EPA).
2.2. Pestisida Sebagai Pencemar Lingkungan
Penggunaanberlebihanpestisidamenyebabkanakumulasisejumlah
besarresidudilingkungan(Alexander, 1999). Kontaminasi tanahkarena penggunaan
pestisidadipertanianberbasis kimiawimemunculkan kekhawatirankarena potensi
Universitas Sumatera Utara
5
kontaminasiair
permukaandan
air
et
tanah(Moorman
al.1998).
Dalam
penelitiannya Massiha et al. (2011) dan Mohammed (2009) juga mengemukakan
bahwa penggunaanpestisida secara sembarangandalam bidang pertaniantelah
mengakibatkanpencemaran
lingkunganair
tanah
yang
mengarah
kedalamtoksisitasbiota.
Pestisidayangdisemprotkandapatberada
di
udaradan
akhirnyaberakhirdalam tanahatau air. Pestisida yang diaplikasikanlangsung
ketanahdapatterbawa
tanahsehingga
airke
turun
dalam
kelapisantanah
memilikiberbagai efekekologis
manusia,
ikan
tanahatau
yang
membunuh
dan
mungkinmeresapmelalui
air-tanah.
Pestisidakimia
merugikantermasukpenyakit
satwa
liar,
akutpada
kegagalanreproduksipada
burungdanpenurunan fungsihutan. Efekekologibisa terjadi dalam jangka panjang
atausingkatdalamfungsi
normaldarisebuah
ekosistem,
yang
mengakibatkankerugian ekonomi, sosial, danestetika(Ogot et al. 2013).
Dampak dari kontaminasi pestisida sudah sangat fatal di beberapa belahan
dunia, tingkat kasus kematian akibat keracunan oleh pestisida terbilang tinggi.
Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Curley (1991) dan Olawale et al. (2011)
menyebutkan
bahwa
akibatkeracunaninsektisida.
setiap
Pada
tahunbeberapa
tahun
1956di
orangmeninggal
Amerika
insektisidamenyebabkan152kematiantermasuk94anak-anak
dari9tahun.
Pada
tahun
1969sebuah
Serikat,
berusiakurang
keluargadiNewMexicodilaporkan
telahteracuni olehmerkuriorganikyang hadir dalambutirbenih yang dijadikan
sebagai pakan babiyang kemudiandisembelihuntuk dijadikan sebagai makanan.
Pada
tahun
2009,
2orangdinegaraEkiti,
dan5
orangdiOsun,
Nigeriadilaporkanterbunuh olehpestisida beracunyang terkandungdalam bijibijianyang dikonsumsi oleh mereka.
Massiha et al. (2011) mengemukakan data dari EPA 2005 mengenai
pestisida
dichlorodiphenyltrichloroethane
(DDT),
asam
2,4
Dichlorophenoxyacetic (2,4-D) dan asam 2,4,5-trichlorophenoxyacetic (2,4,5-T),
plasticizer, pentachlorophenol, dan polychlorinated biphenyls, merupakan contoh
senyawa aromatik terhalogenasi. Stabilitas dan toksisitas mereka memprihatinkan
bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat. Data Organisasi Kesehatan Dunia
Universitas Sumatera Utara
6
(WHO) menunjukkan bahwa hanya 2-3% dari pestisida kimia terapan secara
efektif digunakan untuk mencegah, mengendalikan dan membunuh hama,
sedangkan sisanya tetap di tanah. Sehingga, permukaan tanah yang mengandung
residu pestisida menyebabkan toksisitas pada lingkungan sekitarnya, o leh karena
ituharus dicari cara untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan cemaran dari
kontaminasi residu pestisida sehingga tidak sampai menimbulkan berbagai macam
kerugian baik dalam bidang kesehatan dan lingkungan. Salah satu cara yang
dianggap efektif untuk diterapkan adalah bioremediasi oleh agen-agen biologis
yang mampu mendegradasi residu pestisida tersebut (biodegradasi).
2.3. Insektisida Karbofuran
Insektisida karbofuran merupakan insektisida sistemik yang dikenal dengan nama
dagang seperti Furadan 3G©, Curater 3G©, atau Gemafur© dengan kadar bahan
aktif karbofuran sebesar 3-5%. Aplikasinya biasanya dilakukan dengan
memasukkannya ke dalam tanah saat penanaman atau dengan cara menaburkan
pada tanah (Tamin et al. 1996). Karbofuran (2,3-dihydro-2,2-dimethyl-7benzofuranylmethylcarbamat) berspektrum luas untuk pengendalian hama pada
tanaman padi, jagung, jeruk, alfalfa dan tembakau (Bonner et al. 2005; Tobin,
1970; Tejada et al. 1990; FAO, 1997).
Gambar 1. Struktur Karbofuran (Trotter et al.1991)
Karbamat merupakan insektisida yang bersifat sistemik dan berspektrum
luas sebagai nematosida dan akarisida. Golongan karbamat pertama kali disintesis
Universitas Sumatera Utara
7
pada tahun 1967 di Amerika Serikat dengan nama dagang Furadan. Karbofuran
bersifat sangat toksik pada unggas dengan kisaran nilai LD50 sebesar 0,37-6,0
mg/kg BB tergantung pada masing-masing spesies unggas (Iesce et al. 2006;
Ipcsintox, 1985). Unggas umumnya sangat peka terhadap karbofuran melalui
kontak langsung baik melalui penyemprotan (spraying), menelan granul
karbofuran, minuman tercemar dan memakan serangga yang mati akibat
karbofuran (Indraningsih, 2008). Karbofuran bersifat racun pada binatang
menyusui dan dapat melindungi tanaman dari serangga selama 21 hari, dan yang
efektif terpakai hanya sekitar sepertiga dari jumlah yang diaplikasikan (Tamin
et al. 1996).
Karakteristik dari pestisida turunan karbamat adalah memiliki sifat
polaritas yang tinggi, mudah larut di air dan tidak stabil terhadap panas (thermal
instability). Karakteristik itulah yang menyebabkan pestisida turunan karbamat
memiliki sifat toksik yang akut. Secara kimia, pestisida karbamat merupakan
kelompok ester dan karbamat serta senyawa organik turunan dari asam karbamat.
Kelompok pestisida ini dapat dibagi ke dalam jenis benzimidazole, N-metil, Nfenil dan thiokarbamat.
Karbamat
adalah inhibitor
dari enzim
AchE
(asetilkolinesterase) dan merupakan senyawa yang menyebabkan kasus keracunan
di lingkungan masyarakat (Porto et al. 2012).
Sifat kimiawi dan fisik insektisida seperti kelarutan, polaritas, volatilitas
dan stabilitas merupakan faktor penentu jalur dan laju degradasi insektisida
(Fushiwaki & Urano, 2001). Berbagai teknik reduksi residu/cemaran insektisida
dalam produk pangan dan lingkungan telah berkembang melalui berbagai metode.
Umumnya metoda pengurangan residu/cemaran insektisida dibagi dalam tiga
kelompok yaitu secara fisik (pemanasan dan penguapan), kimia dan biologi
(Indraningsih, 2008).
2.4. Bioremediasi
Bioremediasiadalah
menggunakan
agen
teknikpembersihan
biologis
seperti
polutan
bakteri
dilingkungan
ataupun
dengan
tanaman.
Bioremediasimerupakanalternatif yang lebih baik dibandingkanmetodekimia
maupun fisika dalam prosesremediasi, karena bioremediasi memiliki keunggulan
Universitas Sumatera Utara
yaitulebih murahdanselektifdalam mendegradasi totalpolutanorganik(Alexander,
8
1999).
Penggunaanmikroorganismedalam
degradasidandetoksifikasibahanxenobiotikberacun,
terutamapestisida,
merupakancara yang efisienuntukdekontaminasiwilayahlingkungan tercemar.
Tujuan daribioremediasiadalah untuk mengubahpolutanorganik atau polutan
metabolitberbahayatermineralisasimenjadi karbon dioksidadan air (Alexander,
1999;
Mohammed,
2009).
Bioremediasi
melibatkanpengkondisiandilingkungantercemarsehinggamikroorganismeyang
sesuaiberkembang
danmelaksanakankegiatanmetabolismeuntuk
detoksifikasikontaminan(Singh & Walker, 2006).Remediasitanahmenggunakan
gabungandarimikroorganismeseperti
bakteri,
jamurdanactinomycetes,
yang
diketahuiefektif dalambiodegradasipestisida (Massiha et al. 2011).
2.5. Biodegradasi Karbofuran
Biodegradasi merupakan proses penguraian suatu senyawa organik yang
berlangusng secara alami dengan bantuan mikroorganime dan menghasilkan
produk metabolisme akhir berupa air, karbondioksida, senyawa oksidasi dan
biomassa. Proses biodegradasi merupakan salah satu oksidasi dasar, dimana enzim
bakteri mengkatalisis penempatan oksigen ke dalam senyawa hidrokarbon,
sehingga molekul dapat digunakan dalam metabolisme seluler. Beberapa molekul
didegradasi secara lengkap menjadi CO 2 dan H 2 O, sedangkan yang lain diubah
dan digabungkan menjadi biomassa (Sarbini, 2012).
Biodegradasi sempurna dari pestisida melibatkan proses oksidasi dari
senyawa utama membentuk karbondioksida dan air. Proses ini menyediakan
karbon dan energi untuk pertumbuhan dan reproduksi mikroba. Setiap tahapan
degradasi dikatalis oleh enzim spesifik yang diproduksi melalui sekresi sel atau
enzim yang ada pada lingkungan eksternal sel. Degradasi pestisida melalui salah
satu enzim eksternal atau internal akan berhenti pada tahapan tertentu jika tidak
terdapat enzim yang tepat untuk mendegradasinya. Ketidaktersediaan enzim yang
tepat merupakan salah satu alasan mengapa suatu pestisida dapat bertahan lama
(persisten) di dalam tanah. Jika mikroorganisme yang sesuai tidak ada di dalam
Universitas Sumatera Utara
tanah atau jika populasi mikroorganisme pendegradasi jumlahnya berkurang9 maka
mikroorganisme spesifik dapat ditambahkan atau diintroduksi ke dalam tanah
untuk meningkatkan aktivitas atau kemampuan mikroorganisme yang sudah ada
dalam mendegradasi pestisida (Singh, 2008).
Keberhasilan proses biodegradasi banyak ditentukan oleh aktivitas enzim.
Selain menghasilkan enzim beberapa mikroorganisme juga berpotensi dalam
menghasilkan bioemulsifier atau biosurfaktan sebagai produk metabolit sekunder
dalam fase pertumbuhannya. Biosurfaktan ini berfungsi dalam meningkatkan
kelarutan substrat (senyawa hidrokarbon) dalam fase cair untuk lebih mudah
dikonsumsi
oleh
mikroorganisme
tersebut.
Beberapa
jenis
bakteri
(Imycobacterium, Pseodomonas, Bacillus) menghasilkan biosurfaktan dan juga
enzim seperti dioxygenase, dihydrogenase dalam pemutusan rantai oksigen dan
hidrogen (Sarbini, 2012).
Degradasi karbofuran pada tanah juga terjadi karena pH yang tinggi,
tanah yang mengandung pasir, kelembaban tanah sangat tinggi, dan biodegradasi
oleh bakteri (Sing, 1996). Venkateswarlu et al. (1977)
karbofuran yang terdapat dalam
menemukan bahwa
tanah yang tergenang air akan lebih cepat
terdegradasi dibandingkan dengan di dalam tanah yang tidak tergenang air.
Mikroorganisme berperan dalam proses degradasi karbofuran dalam tanah
terutama tanah yang bersifat asam atau netral.
Kondisi lingkungan basa yang biasanya terdapat pada lahan sawah, dan
hasil hidrolisisnya juga mengalami degradasi dengan cepat. Degradasi insektisida
dapat dipercepat dengan proses gabungan antara fisika (sinar matahari) dan
biologi (mikroorganisme). Degradasi mikroba dapat berlangsung pada masingmasing jenis pestisida. Pada keadaan tertentu populasi mikroba (Pseudomonas
spp.) digunakan untuk melakukan proses degradasi karbofuran, tetapi tidak efisien
untuk mendegradasi produk hidrolisis (metabolit) karbofuran yang dikenal
sebagai karbofuran fenol (Mabury et al. 1996). Beberapa Actinomycetes, jamur
dan bakteri lainnya dilaporkan dapat melangsungkan proses biodegradasi terhadap
karbamat seperti bensulfuron metil melalui proses oksidasi dan hidrolisis
sekaligus. Tiobenkarb dapat mengalami biodegradasi pada kondisi anaerob dalam
kecepatan rendah. Selanjutnya Seo et al. (2007) melaporkan bahwa jamur Mucor
Universitas Sumatera Utara
ramanianus dapat mendegradasi karbofuran dan metabolit karbofuran10fenol
menjadi senyawa yang tidak toksik.
Studi oleh Parekh et al. (1994) menetapkan bahwa bakteri memiliki
kinerja paling baik dalam mendegradasi karbofuran di tanah yang bersifat asam
dan netral. Ada dua jalur utama degradasi dari N-metil karbamat dan Karbofuran
yaitu: jalur oksidatif dan hidrolitik, telah diketahui bahwa degradasi secara
hidrolitik dari karbofuran menghasilkan metabolit dengan tingkat toksik yang
rendah dibandingkan dengan jalur oksidatif. Hidrolisis karbofuran dapat terjadi
melalui dua jalur: ketidakstabilan ikatan ester pada gugus karbonil dari asam
methylcarbamic N melekat pada fenol atau ikatan amida dari N-metil asam
karbamat, akan memproduksi karbofuran 7-fenol (2,3-dihidro-2,2-dimetil-7benzofuranol), metabolit kurang beracun dari karbofuran, karbon dioksida dan
metilamin. Produk akhir digunakan sebagai sumber karbon dan/atau nitrogen oleh
berbagai kelompok bakteri yang menghidrolisis karbofuran tapi tidak untuk
mendegradasi cincin aromatik (Trabue et al. 2001).
Beberapa penelitian, menjelaskan bakteri yang mampu menghidrolisis
karbofuran, telah menunjukkan kemampuan dalam mendegradasi cincin aromatik
secara lengkap. Feng et al. (1997) melaporkan bahwa genus Sphingomonas strain
CF06 mampu sepenuhnya memineralisasi cincin aromatik karbofuran. Kim et al.
(2004) mengidentifikasi dari Sphingomonas sp. galur SB5a., diisolasi dari tanah
yang telah terpapar oleh karbofuran selama 5 tahun, yang menunjukkan aktivitas
pada cincin aromatik oleh hidrolisis karbofuran 7-fenol, menghasilkan metabolit
perantara yang disebut 2 hidroksi-3-(3 -methylpropan-2-ol) fenol, yang kemudian
diubah menjadi metabolit merah. Park et al. (2006) dengan spektrometri massa
dan analisis resonansi magnetik nuklir (NMR), 5- (2-hidroksi-2-methylpropyl) 2,2-dimetil-2,3-dihidro-naphtho [2, 3-6] furan-4,6,7,9-tetrone sebagai salah satu
metabolit merah, lanjut menunjukkan bahwa metabolit merah ini berasal dari
kondensasi beberapa metabolit dari degradasi 2-hidroksi 3- (3-metilpropan-2-ol) fenol. Di sisi lain, Yan et al. (2007) mengisolasi Novosphingobium sp. strain
FND-3, yang diisolasi dari sistem pengolahan air limbah di perusahaan
manufaktur pestisida di Cina, menemukan bahwa bakteri ini, selain menurunkan
cincin aromatik karbofuran dengan jalur hidrolitik dan memproduksi metabolit
Universitas Sumatera Utara
hidroksi 2-3-(3-metilpropan-2-ol) fenol, juga memiliki kemampuan11untuk
menghidrolisis ikatan eter dari cincin furanil Karbofuran, memproduksi metabolit
2-hidroksi-3-(3-metilpropan-2-ol) benzena-N-metil karbamat dan karbofuran,
menghasilkan metabolit 5-hydroxy karbofuran.
Esterase adalah enzim yang menghidrolisis senyawa karboksil ester
(karboksilesterase), amida (amidase), fosfat ester (fosfatase) dan lain-lain. Enzim
yang biasanya dapat menghidrolisis ikatan ester dikenal dengan nama
karboksilesterase. Degradasi karbofuran dapat dilihat pada gambar 2. Pertama,
enzim karbofuran furanhidrolase memecah karbofuran menjadi senyawa 2hidroksi-3-(3-metilpropan-2-ol) benzen-N-metilkarbamat yang kemudian dengan
bantuan enzim enzim 2-hidroksi-3-(3-metilpropan-2-ol) benzen-N-metilkarbamat
hidrolase, senyawa tersebut diubah menjadi 3-(2- hidroksi-2 metilpropil) benze1,2-diol yang tidak bersifat toksik lagi. Kedua, enzim karbofuran hidrolase dapat
memecah karbofuran membentuk senyawa karbofuran-7-fenol dan metilamin dan
dengan bantuan enzim karbofuran-7-fenol hidrolase, senyawa tersebut diubah
menjadi 3-(2-hidroksi-2-metilpropil) benze-1,2-diol. Ketiga, karbofuran dapat
didegradasi dengan enzim karbofuran hidroksilase dan memecahnya menjadi
senyawa 4-hidroksikarbofuran dan selanjutnya akan menghasilkan karbon
dioksida sebagai hasil metabolitnya (Ortiz-Hernández et al. 2011).
Gambar 2. Skema Jalur Degradasi Karbofuran (Ortiz-Hernándezet al. 2011)
Universitas Sumatera Utara
12
2.6. Imobilisasi Bakteri
Imobilisasiagenbiologis seperti misalnyamakromolekul, seldanmikroorganisme,
bertujuan untuk meningkatkan teknis bio-efisiensi jangka panjang yang sukses.
Teknik
imobilisasi
memungkinkan
denganpemeliharaanfungsi
untuk
danselektivitasyang
dilakukannya
tepat
pengontrolan
untukbebanbiologis.
Mungkin untukaplikasisecara luas,teknikimobilisasimemerlukanpenyesuaian yang
harus diperhatikan, beberapa hal yang harus diperhatikan dan hendaknya dimiliki
oleh bakteri terimobilisasi adalah: i) kekakuanmekanikvsaduktegangan geser; ii)
inertnessvssubstratbiokonversi; iii) stabilitasvsjangka panjang/kebocoranproses
yang
berkesinambungan;
iv)
biokompatibilitasdannon-toksisitas
vsagen
biologisaktif. Selain itu, materiharus menunjukkanporositasdisesuaikanuntuk
difusibebas darisubstratdanproduk (Callone et al. 2008).
Dalam
penelitiaan
yang
dilakukan
oleh
Asok
et
al.
(2015),
jebakanfisikseldalammatriks polimeradalah salah satuteknik yang palingbanyak
digunakandan
mudahuntukimobilisasiselular,
karenatidak
tergantungsecara
signifikanpadasifatseluler.
Imobilisasimikrobatelahterbuktimenguntungkan
dalampengolahan
dan
limbahkota
industrikarena
efisiensidegradasitinggi
danstabilitas operasionalyang baik. Peningkatan degradasi oleh sel amobil
mungkin disebabkan oleh laju reaksi yang cepat karena kepadatan sel lokal yang
tinggi di dalam atau pada matriks amobil. Imobilisasi juga menyediakan jenis
membran yang stabil, sehingga meningkatkan perlindungan sel dan tingkat
degradasi yang lebih baik oleh sel amobil. Potensi biodegradasi alam ini dapat
dimanfaatkan
untuk
mengembangkan
bioteknologi
untuk
dekontaminasi
lingkungan serta badan air yang tercemar.
Telah banyak penelitian mengenai imobilisasi bakteri dalam aplikasi
lingkungan, terutama sebagai pendegradasi cemaran residu pestisida, diantaranya :
Sethunathan dan Yoshida (1973), Stormo dan Crawford (1992), Mansee et
al.(2000), Singh dan Walker (2006), Bazot dan Lebeau (2009), Porto et al. (2012),
Farragher (2013), Fuentes et al. (2013), Hernandez et al. (2013). Dan hasil dari
penelitian tersebut menunjukkan bahwa bakteri terimobilisasi memiliki banyak
kelebihan dalam mendegradasi cemaran residu pestisida, ditinjau dari ketahanan
terhadap kondisi lingkungan, terjalinya transduksi sinyal yang baik oleh koloni
Universitas Sumatera Utara
13
bakteri, jumlah bakteri yang terkandung dalam jumlah besar.
Sehingga
imobilisasi bakteri merupakan salah satu pilihan yang tepat dalam cara
pengaplikasian agen-agen bioremediasi pada lahan tercemar.
Gentili
et
al.
(2006)
menggunakan
kitin
dan
kitosan
untuk
mengimobilisasi Rhodococcus corynebacterioides QBTo. Bahan tersebut alami,
tidak beracun, tidak mencemari dan biodegradable yang diperoleh dari udang dan
kepiting. R. corynebacterioides QBT imobil pada kitin dan kitosan meningkat
secara signifikan dalam mendegradasi minyak mentah.
Xu danLu (2010), menunjukkan bahwa aplikasi degradasi minyak di
tanah yang terkontaminasi minyak mentah meningkat
setelah pengaplikasian
bakteri pendegradasi hidrokarbon yang diimobilisasi mengunakan tepung pati
kacang sebagai biocarrier. Biocarrier ini memberikan area permukaan besar dan
kemampuan adsorpsi yang kuat, di samping meningkatkan difusi oksigen dan
meningkatkan aktivitas dehidrogenase di dalam tanah
Diaz et al. (2002) mengimobilisasi konsorsium bakteri MPD-M
mengunakan serat polypropylene untuk mendegradasi minyak mentah dalam air
dengan salinitas yang bervariasi yaitu 0 - 180 gL-1. Mereka mendapati bahwa sel
amobil
secara
signifikan
meningkatkan
biodegradasi
minyak
mentah
dibandingkan dengan sel-sel yang hidup bebas, konsorsium bakteri MPD-M
amobil sangat stabil dalam melakukan pergerakan dan itu sangat tidak
dipengaruhi oleh penambahan salinitas.
2.7. Bahan Penyalut
Imobilisasi
harus
dilakukan
dengan
menggunakan
bahan
yang
dapat
mempertahankan viabilitas mikroorganisme. Bahan penyalut yang ideal dapat
berfungsi pada suhu ambien, tahan terhadap cekaman air limbah, meliputi
kontaminasi air dan turbidisasi, memiliki kemampuan yang baik dalam aliran
nutrien dan oksigen
mengalir
melalui
bahan penyalut
tersebut.
Dapat
mencegah terlepasnya sel di dalam matriks itu sendiri. Sel yang diimobilisasi
lebih stabil dalam bioreaktor dari
pada
dalam
keadaan
bebas
karena
imobilisasi ini dapat mencegah lepasnya sel bakteri dari bahan penyalut, dapat
Universitas Sumatera Utara
14
melakukan interaksi dengan lingkungan, dapat melakukan transduksi sinyal
antar sel (Fleming, 2004).
Polyurethane (PU) merupakan hasil reaksi antara isocyanate dan polyol.
Polyol dapat digunakan sebagai reaktan karena memiliki minimal dua buah gugus
hidroksil. Jenis polyol yang digunakan secara komersial dalam pembuatan
polyurethane diperoleh dari minyak bumi yaitu ethylene oxide dan propylene
oxide (Anisah et al. 2013).
Polyurethane
juga
dapat
diterapkandi
bidangbiokimiadanbioteknologisebagaidukungansempurna
untukimobilisasienzim, membrandalambiosensoranalitis. Zatalami, buatan dan
sintetisdenganstruktur yang berbedadapat digunakanuntukimobilisasienzim, dan
salah satupendukungterbaik untuk tujuan iniadalahPU. PU dapat digunakan
sebagai
bahan
pembuatan
komponenberupa:busa,
mikrosfer,mikrokapsul,
nanocompositesdan membran(Romaškevič et al. 2006).
Bahan matriks pembawa lainnya adalah alginat. Alginat atau Natrium
alginat adalah garam natrium dari asam alginat yang bersifat sangat hidrofil dan
juga dapat membenttuk gel jika bertemu dengan ion kalsium. Alginat bersifat
tidak beracun, tidak menyebabkan alergi, dapat terdegradasi secara biologis.
Natrium alginat telah banyak diaplikasikan sebagai bahan pensuspensi, pengental,
stabilisator emulsi minyak dan air dan bahan pembawa (matriks pembawa) (Kim
&Lee, 1992; Sugawara, et al. 1993; Bangun, 2002). Larutan natrium alginat
dengan larutan kalsium klorida dapat membentuk gel yang tidak larut dalam air
(Morris et al. 1980).
Struktur asam alginat merupakan satuan pengulangan dari α-L asam
guluronat (G) dan β-D asam mannurorat (M) seperti terlihat pada gambar 3
berikut:
Gambar 3. Struktur satuan pengulangan asam alginat (Morris et al. 1980)
Universitas Sumatera Utara