Fisiologi Toleransi Sorgum (Sorghum Bicolor (L) Moench) Terhadap Defisiensi P Di Tanah Masam

FISIOLOGI TOLERANSI SORGUM (Sorghum bicolor (L.)
Moench) TERHADAP DEFISIENSI FOSFOR
DI TANAH MASAM

TRI LESTARI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul „Fisiologi Toleransi
Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) terhadap Defisiensi P di Tanah Masam‟
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2016
Tri Lestari
NIM A262110011

RINGKASAN
TRI LESTARI. Fisiologi Toleransi Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench)
terhadap Defisiensi P di Tanah Masam. Dibimbing oleh DIDY SOPANDIE,
TRIKOESOEMANINGTYAS dan SINTHO WAHYUNING ARDIE.
Sorgum merupakan tanaman yang toleran terhadap kekeringan, namun
jumlah varietas yang toleran terhadap tanah masam dan defisiensi P masih sangat
terbatas. Untuk mencapai tujuan pengembangan sorgum di lahan kering bertanah
masam diperlukan upaya mengembangkan varietas-varietas sorgum yang
beradaptasi pada kondisi agroekologi lahan kering bertanah masam. Strategi untuk
meningkatkan produktivitas tanaman di lahan marjinal adalah melalui program
pemuliaan tanaman yang didukung oleh pemahaman tentang aspek fisiologi
adaptasi tanaman. Aspek fisiologi meliputi pengelolaan hara P dalam
meningkatkan toleransi tanaman sorgum terhadap cekaman aluminium dapat
menjadi solusi untuk masalah ini.

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang
mekanisme fisiologi toleransi sorgum terhadap defisiensi P ditanah masam.
Evaluasi awal dilakukan melalui verifikasi toleransi terhadap genotipe-genotipe
sorgum di tanah masam. Tujuan khususnya adalah (1) menjelaskan keragaan
beberapa genotipe sorgum terhadap defisiensi P di tanah masam; (2) mendapatkan
genotipe sorgum toleran dan peka terhadap P tersedia rendah di tanah masam; (3)
menjelaskan tentang efisiensi penyerapan dan penggunaan P pada kondisi P
rendah di tanah masam; dan (4) menjelaskan peran P dalam meningkatkan
toleransi tanaman sorgum cekaman aluminium di media kultur hara.
Percobaan verifikasi toleransi terhadap genotipe-genotipe sorgum di tanah
masam dilaksanakan di kebun petani Desa Bagoang Jasinga, Kabupaten Bogor
mulai bulan Maret 2012 sampai Juli 2012. Percobaan untuk mengamati keragaan
genotipe sorgum terhadap defisiensi P di tanah masam menggunakan tanah
masam dari Jasinga dilaksanakan di Rumah Kaca University Farm IPB
Cikabayan Bogor bulan Juli 2012 sampai Desember 2013. Percobaan untuk
pengamatan peran P dalam meningkatkan toleransi tanaman sorgum cekaman
aluminium di media kultur hara dilaksanakan di tiga lokasi, media kultur hara di
Rumah Kaca University Farm IPB Cikabayan Bogor, laboratorium kultur jaringan
3 Departemen AGH Faperta IPB dan laboratorium Balai Besar Pasca Panen
Cimanggu Bogor bulan Januari 2014 sampai Nopember 2014.

Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini berdasarkan grafik biplot genotipe
x karakter untuk menunjukkan genotipe toleran adalah genotipe Numbu, Watar
Hammu Putih (WHP) dan PI-10-90-A, sedangkan genotipe peka adalah PI-15021-A, PI-5-193-C, PI-150-20-A dan UPCA-S1 di tanah masam dan P tersedia
rendah. Hasil penelitian berdasarkan nilai indeks sensitivitas (SSI) jumlah
karakter toleran panjang akar menunjukkan bahwa genotipe Numbu merupakan
genotipe toleran dan genotipe WHP merupakan genotipe moderat sedangkan
genotipe PI-10-90-A, PI-150-20-A, PI-150-21-A, UPCA-S1 dan PI-5-193-C
merupakan genotipe peka terhadap cekaman Al di media kultur hara.
Genotipe Numbu (toleran) memiliki toleransi yang tinggi terhadap P
tersedia rendah dibandingkan dengan genotipe UPCA-S1 (peka). Genotipe
Numbu (toleran) menunjukkan efisiensi penggunaan P dalam kondisi cekaman

aluminium di tanah masam lebih tinggi dari genotipe UPCA-S1 (peka). Hasil
kajian fisiologi menunjukkan bahwa penentu keefisienan P suatu genotipe sorgum
dalam keadaan tercekam aluminium dan defisiensi P adalah efisiensi penggunaan
P bukan efisiensi serapan P.
Pemberian P dapat meningkatkan toleransi sorgum terhadap cekaman
aluminium, yang ditunjukkan oleh pengurangan pada penghambatan panjang akar
oleh aluminium, dimana peran P lebih efektif pada genotipe toleran Numbu.
Pemberian P menurunkan akumulasi aluminium pada jaringan akar. Hal ini

ditunjukkan oleh intensitas pewarnaan hematoksilin yang lebih ringan, terutama
pada Numbu. Cekaman aluminium meningkatkan sekresi asam oksalat pada
kedua genotipe sorgum. Diduga P dapat menurunkan sekresi asam oksalat pada
akar kedua genotipe tersebut. Fakta ini menunjukkan bahwa peran P dalam
peningkatan toleransi sorgum terhadap aluminium mungkin berkaitan dengan
penghambatan absorpsi aluminium ke dalam jaringan akar, walaupun
mekanismenya belum diketahui.
Untuk itu diperlukan penelitian untuk memahami mekanisme efisiensi
penyerapan dan penggunaan P yang didukung oleh pemahaman tentang aspek
fisiologi dari sifat adaptasi terhadap tanah masam pada tanaman sorgum.
Pemahaman tentang mekanisme adaptasi dan aspek fisiologi dapat membantu
meningkatkan efektivitas seleksi genotipe-genotipe sorgum toleran tanah masam.
Penelitian ini bermanfaat untuk program pemuliaan sebagai karakter seleksi dalam
pengembangan tanaman sorgum di tanah masam.
Kata kunci: sorgum, genotipe toleran dan peka, cekaman Al, peran P

SUMMARY
TRI LESTARI. Tolerance Physiology of Sorghum (Sorghum bicolor (L.)
Moench) to Phosphorus Deficiency in Acid Soil. Dibimbing oleh DIDY
SOPANDIE, TRIKOESOEMANINGTYAS dan SINTHO WAHYUNING

ARDIE.
Sorghum is a crop that is tolerant to drought, but the number of varieties that
are tolerant to acid soils and deficiency P is still very limited. To achieve the goal
of developing dryland sorghum in earthy are needed to develop sorghum varieties
that adaptation to the landless upland agro-ecological conditions acid soil.
Strategies to increase crop productivity on marginal lands is through plant
breeding program that is supported by an understanding of the physiological
aspects of plant adaptation. Physiological aspects include phosphorus nutrient
management in improving the sorghum crop tolerance to aluminum stress can be a
solution to this problem.
The general objective of this study was to obtain sorghum genotypes that
can adaptation and production in acid soils and phosphorus deficiency. Initial
evaluation is done through the verification tolerance of sorghum genotypes in acid
soils. The specific objective is (1) Explain the performance of sorghum genotypes
to phosphorus deficiency in acid soil; (2) Getting sorghum genotypes tolerant and
sensitive to phosphorus deficiency in acid soil; (3) Explain the efficiency of
absorption and utilization of P (EPP) on the conditions of low phosphorus in acid
soil; (4) Explain the role of phosphorus in improving sorghum plant stress
tolerance aluminum in nutrient culture media.
Experiments verification tolerance sorghum genotypes in acid soils held in

the garden of the village farmers Bagoang Jasinga, Bogor from March 2012 until
July 2012. Performance of genotypes sorghum to phosphorus deficiency in acid
soils using acid soil of Jasinga in Greenhouse University Farm IPB Cikabayan
Bogor in July 2012 until December 2013. The role of phosphorus in improving
sorghum plant stress tolerance aluminum in nutrient culture media held in three
locations, the nutrient culture medium at the University Farm Greenhouse
Cikabayan IPB Bogor, Tissue Culture Laboratory 3 AGH Department of
Agriculture Faculty of IPB and laboratories Balai Besar Pasca Panen Cimanggu
Bogor in January 2014 to November 2014.
The results obtained in this study were genotype biplot graphs to show the
characters x genotype tolerant genotype Numbu, Watar Hammu White (WHP)
and PI-10-90-A, while the sensitive genotype is PI-150-21-A, PI-5 -193-C, PI150-20-A and UPCA-S1 in acid soils and low P availability. The results based on
the value of the sensitivity index (SSI) number of characters tolerant root length
showed that genotype Numbu a tolerant genotype and genotype WHP is a
moderate genotype genotypes PI-10-90-A, PI-150-20-A, PI-150-21 -A, UPCA-S1
and PI-5-193-C is sensitive to stress genotype Al in nutrient culture media.
Genotype Numbu (tolerant) has a high tolerance to low P compared with
genotype UPCA-S1 (sensitive). Genotype Numbu (tolerant) indicates the
efficiency of the use of P in a state of stress of aluminum in acid soils is higher
than genotype UPCA-S1 (sensitive). The study results show that the physiology of

a determinant of efficiency P sorghum genotypes in aluminum stress and

phosphorus is not the efficiency of phosphorus use efficiency of phosphorus
uptake.
Provision of phosphorus may increase the tolerance of sorghum to stress
aluminum, which is demonstrated by the inhibition of root length reduction by
aluminum, where the role of phosphorus is more effective at Numbu tolerant
genotypes. Giving phosphorus decrease the accumulation of aluminum in root
tissue. This is demonstrated by hematoxylin staining intensity lighter, especially at
Numbu. Aluminum stress increases the secretion of oxalic acid in both sorghum
genotypes. This phosphorus can reduce the secretion of oxalic acid on the roots of
both genotypes. This fact shows that the role of P in improving sorghum tolerance
to aluminum may be associated with inhibition of absorption of aluminum into the
root tissue, although the mechanism is not yet known.
For that research is needed to understand the mechanisms of absorption
efficiency and the use of phosphorus which is supported by an understanding of
the physiological aspects of the nature of adaptation to acid soils in sorghum. An
understanding of the mechanisms of adaptation and physiology aspects can help
increase the effective of selection sorghum genotype tolerant of acid soil. The
objective this study for breeding research program as character selection in

sorghum plant development in acid soil.
Keywords: sorghum, genotype tolerant and sensitive, Al stress, role of P

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

FISIOLOGI TOLERANSI SORGUM (Sorghum bicolor (L.)
Moench) TERHADAP DEFISIENSI FOSFOR
DI TANAH MASAM

TRI LESTARI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Agronomi dan Hortikultura

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup:
1. Dr Ir Suwarto, MSi
2. Dr Desta Wirnas, SP.,MSi
Penguji Luar Komisi pada Sidang Promosi:
1. Prof (R) Dr Ir Soeranto Human, MSc
2. Dr Ir Suwarto, MSi

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang

dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak tahun 2012 selama 3 tahun
memperoleh informasi tentang mekanisme eksternal dan internal adaptasi sorgum
terhadap defisiensi P ditanah masam dengan judul Fisiologi Toleransi Sorgum
(Sorghum bicolor (L.) Moench) terhadap Defisiensi P di Tanah Masam.
Penelitian dan penulisan disertasi ini berlangsung di bawah bimbingan
Bapak Prof Dr Ir Didy Sopandie, MAgr selaku ketua komisi pembimbing Ibu Dr
Ir Trikoesoemaningtyas, MSc dan Ibu Dr Shinto Wahyuning Ardie, SP., MSi
selaku anggota komisi pembimbing. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan
terima kasih dan penghargaan yang tulus atas ilmu yang bermanfaat, motivasi,
nasihat, kesabaran dan waktu yang telah diluangkan dalam mengarahkan dan
membimbing penulis mulai dari perencanaan, penyusunan dan penyelesaian
disertasi. Ucapan terima kasih dan penghargaan juga penulis sampaikan kepada
Bapak Dr Ir Suwarto, MSi, Ibu Dr Desta Wirnas SP.,MSi, Bapak Prof (R) Dr Ir
Soeranto Human, MSc sebagai penguji luar komisi, atas sumbangsih saran dan
perbaikan untuk penyempurnaan disertasi ini.
Terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Dekan Sekolah
Pascasarjana IPB, Ketua Program Studi AGH IPB dan seluruh staf pengajar di
Departemen AGH Faperta IPB. Ucapan terimakasih kepada Rektor Universitas
Bangka Belitung, Bapak Prof Dr Suharsono dan Ibu Dr Utut Widyastuti yang
telah memberikan rekomendasi tugas belajar. Ucapan terima kasih kepada

Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi atas bantuan beasiswa
BPDN tahun 2011 serta dana Penelitian Hibah Doktor tahun 2014 kepada penulis.
Ungkapan terimakasih yang sangat mendalam kepada kedua orangtuaku dan
saudaraku Tati Hadiati, Ari Masdan dan ucapan terimakasih yang mendalam
terkhusus kepada suamiku tercinta Fathurrohman dan anakku tersayang Elfath,
Aiz dan Teri atas doa yang ikhlas, dukungan kasih sayang, pengorbanan dan
kesabaran yang tak terhingga selama penulis menempuh pendidikan.
Ucapan terima kasih kepada semua staf rumah kaca Cikabayan University
Farm IPB. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Mbak Mawi, mbak
Anggi, Eqi, pak Ucup di lab pemuliaan tanaman, Mas Joko dan pak Yudi di lab
Mikroteknik, Ibu Dr Dini Dinarti dan teh Iif di lab Kultur jaringan 3 AGH, Mbak
Ismi dan pak Agus di lab Pasca Panen, Mbak Nurdianah di JAI, Mbak Neng, Bu
Mimin, pak Udin di Departemen AGH yang telah banyak membantu.
Ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada teman seperjuangan
AGH 2011+: Mira Ariyanti, Yeni Asbur, Ridwan, Basuni, Bachtiar, Devi Rusmin
dan teman berdiskusi Yuli Sulistyowati, Arvita Sihaloho, Aziz Natawijaya,
Kartika NT serta temen dikostan Idha Susanti, Hanum, Herlina, Tatik dan temanteman pascasarjana IPB yang tidak disebutkan satu persatu untuk persahabatan
dan kebersamaan dalam berbagi ilmu, berbagi suka maupun duka.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukannya.
Bogor, Juli 2016
Tri Lestari

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

iii

DAFTAR GAMBAR

iv

DAFTAR LAMPIRAN

v

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Kebaruan Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
3
3
4
4
4

2 TINJAUAN PUSTAKA
Pemanfaatan Tanaman Sorgum
Morfologi dan Fisiologi Sorgum
Karakteristik Tanah Masam
Adaptasi Tanaman terhadap Ketersediaan P di Tanah Masam
Mekanisme Toleransi Tanaman terhadap Defisiensi P
Peranan Asam Organik dalam Mengkelat Aluminium

6
6
6
7
8
10
11

3 KERAGAAN GENOTIPE SORGUM PADA BERBAGAI TINGKAT
KETERSEDIAAN P DAN CEKAMAN ALUMINIUM
Abstrak
Abstract
Pendahuluan
Metode Penelitian
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

13
13
13
14
15
18
29

4 PENYERAPAN DAN EFISIENSI PENGGUNAAN P DALAM KONDISI
DEFISIENSI P YANG TERCEKAM ALUMINIUM
Abstrak
Abstract
Pendahuluan
Metode Penelitian
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

30
30
30
31
32
34
41

5 PERANAN P DALAM MENINGKATKAN TOLERANSI TANAMAN
SORGUM TERHADAP CEKAMAN ALUMINIUM
Abstrak
Abstract
Pendahuluan
Metode Penelitian
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

42
42
42
43
43
45
51

6 PEMBAHASAN UMUM

52

7 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

57
57
57

DAFTAR PUSTAKA

58

LAMPIRAN

63

RIWAYAT HIDUP

69

DAFTAR TABEL
1. Keragaan genotipe sorgum terhadap tinggi tanaman, jumlah daun, bobot

basah tajuk, bobot basah akar dan padatan total terlarut pada saat panen

19

2. Keragaan genotipe sorgum terhadap karakter panjang malai, bobot malai,

3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.

14.

15.
16.
17.

bobot biji per tanaman, bobot 1000 biji dan indeks panen pada saat
panen
Rekapitulasi analisis ragam pengaruh genotipe, perlakuan taraf P dan
interaksinya terhadap pertumbuhan sorgum
Tinggi tanaman, jumlah daun bobot basah akar dan bobot kering akar
sorgum umur 9 MST pada kondisi defisiensi P di tanah masam.
Pengaruh genotipe dan perlakuan taraf P terhadap bobot basah tajuk dan
bobot kering tajuk di tanah masam
Seleksi genotipe toleran terhadap panjang akar berdasarkan nilai SSI.
Identifikasi genotipe toleran berdasarkan kandungan klorofil a
Identifikasi genotipe toleran berdasarkan kandungan klorofil b
Identifikasi genotipe toleran berdasarkan kandungan klorofil total
Rekapitulasi analisis ragam pengaruh genotipe, perlakuan taraf P dan
interaksinya terhadap bobot tanaman, kadar P dan EPP sorgum
Nilai rataan pengaruh perlakuan terhadap bobot kering, kadar P,
Efisiensi penggunaan P (EPP) sorgum fase bibit umur 14 HST
Rataan laju serapan spesifik sorgum yang ditumbuhkan pada larutan
hara yang bercekaman Al selama 14 hari
Rekapitulasi analisis ragam pengaruh kondisi cekaman, genotipe dan
interaksinya terhadap pertumbuhan sorgum serta efisiensi penggunaan P
dalam rhizotron.
Pengaruh perlakuan kapur dan P terhadap tinggi tanaman, bobot kering
total, total serapan P dan efisiensi penggunaan P sorgum toleran dan
peka tanah masam.
Pengaruh cekaman dan genotipe terhadap panjang akar sorgum
Akumulasi asam organik akibat cekaman Al dan P pada akar sorgum
Numbu dan UPCA-S1
Sekresi asam oksalat akibat cekaman Al dan P pada akar sorgum Numbu
dan UPCA-S1

20
22
23
25
27
28
28
28
34
35
35

37

37
45
49
49

DAFTAR GAMBAR
1 Bagan alir penelitian
2 Pertanaman sorgum di lokasi penelitian pada umur 8 MST (A) dan pada
umur 14 MST (B) di Desa Bagoang Jasinga, Bogor
3 Fenotipe malai tujuh genotipe sorgum pada saat panen (14 MST)
4 Grafik Biplot genotipe x karakter untuk menunjukkan karakter dan
genotipe toleran
5 Interaksi genotipe sorgum terhadap perlakuan kapur dan dosis P pada
peubah jumlah daun
6 Penampilan sorgum Numbu (kiri; toleran) dan UPCA (kanan; peka)
pada kondisi tidak diberi kapur (atas) dan diberi kapur (bawah)
7 Respon genotipe sorgum 14 HSP terhadap cekaman Al Numbu-toleran
8 Potongan melintang akar sorgum Numbu dan UPCA-S1 setelah
mendapatkan cekaman Al 48 jam dengan pewarnaan hematoksilin pada
konsentrasi 0 mM dan 0.1 mM KH2PO4.
9 Ujung akar sorgum Numbu dan UPCA-S1 setelah mendapatkan
cekaman Al 48 jam dengan pewarnaan reagant shiff‟s pada konsentrasi
dosis P: 0 mM dan 0.1 mM KH2PO4.

5
18
20
21
38
40
46

47

48

DAFTAR LAMPIRAN
1 Sifat kimia tanah pada lokasi penelitian di tanah masam milik petani
Desa Bagoang Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor Barat
2 Hasil Sifat kimia tanah dari Desa Bagoang Jasingan Bogor pada
percobaan menggunakan polibag dan rhizotron di Cikabayan
3 Dosis P berdasarkan kurva erapan langmuir
4 Data Iklim di Jasinga Bogor tahun 2012
5 Analisa asam organik

64
65
66
67
68

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pengembangan pertanian pada lahan kering masam (ultisols) di Indonesia
merupakan tantangan sekaligus peluang yang paling memungkinkan untuk
meningkatkan ketahanan pangan menuju kedaulatan pangan di Indonesia. Tahun
2011 kebutuhan beras Indonesia 130-140 kg kapita-1 tahun-1 tertinggi di Asia,
sedangkan orang Asia lainnya hanya 65-70 kg kapita-1 tahun-1. Kebijakan
pemerintah Indonesia untuk mengembangkan diversifikasi pangan selain beras
(BPS 2012).
Salah satu tanaman pangan non beras yang telah diidentifikasi sangat cocok
untuk dikembangkan di Indonesia adalah sorgum. Sorgum [Sorghum bicolor (L.)
Moench] merupakan tanaman pangan yang banyak dibudidayakan di seluruh
dunia dan berpotensi sebagai penghasil 5 F (Food-Feed-Fuel-Fiber-Fertilizer).
Sorgum sebagai pangan dunia menempati urutan ke 5 setelah gandum, beras,
jagung dan barley (Supriyanto 2012). Sorgum merupakan tanaman yang mampu
beradaptasi luas dan berpotensi besar dikembangkan di Indonesia. Tanaman
sorgum dapat dipanen 2-3 kali. Sorgum manis merupakan tanaman multiguna.
Batang, nira dan bijinya mengandung lignoselulosa dan sakarida terfermentasi
yang tinggi yang dimanfaatkan sebagai bahan pakan hijauan ternak yang bermutu
melalui bioproses dan menghasilkan gula (Sirappa 2003).
Potensi tanah masam di Indonesia ini cukup tinggi. Menurut data Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat tahun 2000, luas areal tanah bereaksi masam
seperti podsolik, ultisol, oxisol dan spodosol masing-masing sekitar 47.5; 18.4;
5.0; dan 56.4 juta ha atau seluruhnya sekitar 67% dari luas total tanah di Indonesia.
Secara umum, lahan kering dapat dibedakan menjadi lahan kering masam dan non
masam. Lahan kering masam mendominasi tanah di Indonesia, terutama pada
wilayah yang beriklim basah yaitu seluas 102.817.133 ha (69.4%) dan tanah tidak
masam seluas 45.256.511 ha (30.6%) (Mulyani 2006).
Kemasaman tanah merupakan faktor pembatas pertumbuhan tanaman.
Permasalahan serius pada budidaya tanaman di tanah masam tersebut adalah
keracunan Al dan rendahnya P yang menyebabkan terhambatnya pertumbuhan
akar, penyerapan hara, dan air (Kochian et al. 2004; Zheng 2010). Faktor
pembatas lain dalam produksi tanaman pada tanah masam adalah kesuburan tanah
yang rendah akibat defisiensi hara-hara penting seperti fosfor (P), kalsium (Ca)
dan magnesium (Mg). Pengikatan P oleh Al menjadi kompleks Al-P merupakan
salah satu penyebab rendahnya ketersediaan P pada tanah masam dan
menyebabkan defisiensi P pada tanah masam dan tanaman (Marschner 2012).
Mekanisme adaptasi tanaman terhadap defisiensi P di tanah masam terdiri 2
mekanisme yaitu: (1) mekanisme internal yang berkaitan dengan efisiensi
penggunaan P oleh jaringan meliputi memanfaatkan P dengan efisien,
memobilisasi P dari jaringan yang tidak lagi aktif bermetabolisme, (2) mekanisme
eksternal yang memungkinkan efisiensi serapan P yang lebih tinggi oleh akar
meliputi (a) membentuk perakaran yang lebih panjang, (b) meningkatkan luas
serapan dengan pembentukan rambut akar, (c) mampu melarutkkan P tidak
tersedia melalui perubahan pH, (d) mampu menggunakan P organik melalui

2
sekresi phosphatase dan (e) kemampuan dalam bersimbiosis dengan mikorhiza
(Kochian et al. 2004).
Secara umum adaptasi tanaman pada kondisi defisiensi P dilakukan melalui
mekanisme peningkatan penyerapan dan efisiensi penggunaan P dalam tanaman.
Peningkatan penyerapan P dari tanah dilakukan tanaman dengan membuat
sejumlah perubahan morfologi, fisiologi, biokimia dan molekuler dalam merespon
pertumbuhan di bawah kondisi defisiensi P. Hara mineral dari sudut pandangnya,
suatu genotipe dikatakan lebih efisien dari pada genotipe lain jika mampu
memobilisasi dan menyerap P lebih banyak dan atau menggunakan P yang diserap
lebih baik untuk menghasilkan bahan kering tanaman atau biomassa (Marschner
2012). Penelitian Agustina et al. (2010) menunjukkan genotipe sorgum toleran
lebih mampu membentuk bahan kering dan hasil tinggi dibandingkan genotipe
peka di tanah masam. Penelitian Sungkono et al. (2010) menunjukkan Numbu
merupakan genotipe toleran tanah masam, sedangkan B69 peka tanah masam
berdasarkan toleransinya terhadap P rendah di tanah masam.
Metode untuk menyaring genotipe-genotipe tanaman yang efisien dalam
menyerap P adalah dengan cara menggunakan media larutan hara. Pengujian hara
untuk P ini sudah banyak dilakukan, seperti Sudarman (2004) dan Prasetiyono et
al. (2012) telah menguji galur-galur padi gogo pada larutan Yoshida dengan dosis
P sebesar 0.02, 0.2, 2 ppm. Kombinasi perlakuan P dan Al bisa mencerminkan
kondisi riil dilapangan dimana P selalu terikat unsur-unsur lain, salah satunya
adalah Al.
Beberapa metode telah dikembangkan untuk mengidentifikasi keracunan Al
di akar. Pewarnaan akar dengan hematoksilin sangat akurat membantu dalam
mengidentifikasi tanaman yang toleran dan yang peka terhadap cekaman Al.
Metode ini sangat efektif untuk mengidentifikasi tanaman kedelai toleran Al
(Sopandie et al. 2003), padi toleran Al (Miftahudin et al. 2007) dan Jatropa
curcas toleran Al (Tistama et al. 2012).
Toleransi terhadap cekaman Al berkorelasi positif dengan aktivitas sekresi
asam organik pada beberapa spesies tanaman. Sekresi asam organik berupa asam
sitrat, malat dan oksalat ke daerah rizosfer merupakan salah satu mekanisme
toleransi tanaman terhadap Al (Kochian et al. 2005). Detoksifikasi Al pada
rhizosfer melalui sekresi asam pengkelat Al telah banyak dilaporkan, di antaranya
asam sitrat pada jagung (Pellet et al. 1995), sorgum (Kochian et al. 2005) serta
padi (Famoso et al. 2010) dan asam malat dari akar gandum (Andrade et al.
2011) serta kedelai (Liang et al. 2013).
Genotipe tanaman yang adaptif umumnya mengembangkan strategi adaptasi
yang unik untuk mendapatkan unsur hara tertentu dari dalam tanah sedangkan
genotipe yang tidak adaptif umumnya mengandalkan pupuk sebagai sumber hara
yang tersedia. Strategi adaptasi tersebut umumnya berupa translokasi karbon dari
tajuk ke akar tanaman (Wang et al. 2008), dan pelepasan eksudat akar dalam
bentuk senyawa organik.
Penelitian ini menjadi penting karena masih terbatasnya informasi mengenai
mekanisme fisiologi toleransi sorgum terhadap defisiensi P pada tanah masam.
Untuk mengetahui tingkat toleransi terhadap Al dan defisiensi P dan bagaimana
mekanisme toleransinya secara fisiologis dalam mengatasi cekaman tersebut,
maka dilakukan beberapa percobaan seperti terlihat pada diagram Gambar 1.

3
Perumusan Masalah
Lahan-lahan bertanah masam mempunyai tingkat kesuburan tanah yang
rendah, yang menjadi kendala dalam produksi tanaman. Kendala utama produksi
tanaman di tanah masam adalah tingginya konsentrasi Al terutama Al3+, yaitu
bentuk Al yang dianggap paling beracun bagi tanaman. Selain dari cekaman Al,
kendala produksi di lahan bertanah masam adalah defisiensi P akibat terikatnya P
oleh Al yang menyebabkan P menjadi tidak tersedia bagi tanaman. Untuk
mencapai tujuan pengembangan sorgum di lahan kering bertanah masam
diperlukan upaya mengembangkan varietas-varietas sorgum yang beradaptasi
pada kondisi agroekologi lahan kering bertanah masam. Hasil penelitian
sebelumnya menunjukkan bahwa sorgum lebih peka terhadap defisiensi P
dibandingkan keracunan Al (Trikoesoemaningtyas et al. 2011). Untuk itu
diperlukan penelitian untuk memahami mekanisme efisiensi penyerapan dan
penggunaan P yang didukung oleh pemahaman tentang mekanisme adaptasi
toleransi sorgum terhadap defisiensi P di tanah masam.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian mekanisme adaptasi fisiologi
toleransi sorgum terhadap defisiensi P di tanah masam melalui verifikasi beberapa
genotipe sorgum di tanah masam dan media kultur hara diperlukan untuk
memperkaya pengetahuan. Mekanisme fisiologi adaptasi tanaman sorgum
terhadap defisiensi P di tahan masam yang saat ini masih sangat terbatas.
Menjelaskan peran fosfor dalam meningkatkan toleransi tanaman sorgum
terhadap cekaman Al pada kultur hara. Selain itu pengelolaan hara P dapat
menjadi solusi untuk mengatasi cekaman aluminium dan defisiensi hara di tanah
masam.

Tujuan Penelitian
Secara umum, tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi
tentang mekanisme fisiologi toleransi sorgum terhadap defisiensi P di tanah
masam. Tujuan khusus penelitian ini sebagai berikut :
1. Menjelaskan keragaan beberapa genotipe sorgum terhadap P tersedia rendah
di tanah masam.
2. Mendapatkan genotipe sorgum toleran dan peka terhadap defisiensi P di tanah
masam.
3. Menjelaskan tentang efisiensi penyerapan dan penggunaan P (EPP) pada
kondisi P tersedia rendah di tanah masam.
4. Menjelaskan peran P dalam meningkatkan toleransi tanaman sorgum terhadap
cekaman aluminium di media kultur hara.

4
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memperkaya pengetahuan tentang
mekanisme eksternal dan internal dari adaptasi tanaman sorgum terhadap
defisiensi P di tanah masam yang saat ini masih sangat terbatas. Selain itu juga
mendapatkan informasi kajian fisiologi untuk dijadikan karakter seleksi pada
program pemuliaan tanaman untuk perbaikan genotipe sorgum untuk toleransi
terhadap cekaman Al dan defisiensi P di tanah masam.

Kebaruan Penelitian
Penelitian yang telah dilakukan untuk memperoleh informasi yang sesuai
dengan tujuan penelitian. Penelitian yang telah dilakukan melalui serangkaian
percobaan, menghasilkan kebaruan sebagai berikut:
1. Telah diperoleh informasi tentang keragaan beberapa genotipe sorgum untuk
fase vegetatif seperti tinggi tanaman, jumlah daun namun tidak ada keragaan
untuk fase generatif seperti bobot biji per tanaman terhadap P tersedia rendah
di tanah masam
2. Telah diperoleh genotipe toleran yaitu Numbu, watar hammu putih (WHP),
PI-10-90-A dan genotipe peka yaitu PI-150-21-A, PI-5-193-C, PI-150-20-A,
UPCA-S1 terhadap defisiensi P di tanah masam.
3. Telah diperoleh informasi tentang mekanisme adaptasi sorgum terhadap
defisiensi P pada kondisi tercekam Al, yaitu efisiensi serapan P dan efisiensi
penggunaan P untuk mengurangi toksisitas Al.
4. Telah diperoleh informasi tentang peran P dalam meningkatkan toleransi
tanaman sorgum terhadap cekaman aluminium.

Ruang Lingkup Penelitian
Untuk mencapai tujuan penelitian dan menjawab hipotesis, dilakukan
serangkaian percobaan yang merupakan satu kesatuan, dan tahapan yang
ditempuh merupakan proses yang sistematis dalam mencapai tujuan. Penelitian
lebih menekankan pada studi fisiologi dan agronomi mekanisme toleransi sorgum
terhadap defisiensi P di tanah masam. Percobaan 1 merupakan percobaan
lapangan yang dilaksanakan di tanah masam Padsolik Merah Kuning Desa
Bagoang Jasinga Kabupaten Bogor. Percobaan 2, 3, 4, 5, 6 dan 7 dilaksanakan di
rumah kaca Kebun Percobaan Cikabayan University Farm IPB Dramaga Bogor.
Analisis jaringan tanaman dilaksanakan Laboratorium Pasca Panen Departemen
AGH dan Laboratorium Ilmu Tanah Faperta IPB. Percobaan 7 dilaksanakan di
laboratorium mikroteknik Departemen AGH Faperta IPB. Percobaan 8
dilaksanakan di laboratorium Kultur Jaringan 3 Departemen AGH Faperta IPB
dan Balai Pasca Panen Cimanggu Bogor. Bagan alir penelitian secara ringkas
disajikan pada Gambar 1.

5
Tahun 2012
1. Keragaan Beberapa Genotipe Sorgum di Tanah masam

2. Keragaaan Beberapa Genotipe Sorgum pada Berbagai
Taraf P di Tanah Masam
Tahun 2013
3. Efisiensi Penggunaan Hara
P pada Kondisi Cekaman
Al dan P rendah

4. Verifikasi Genotipe Sorgum Toleran
Cekaman Al dan Defisiensi P di Kultur Hara

5. Laju Serapan Spesifik dan
Efisiensi Penggunaan P pada
Sorgum terhadap Cekaman
Al dan Defisiensi P di Kultur
Hara

Tahun 2014
6. Pengaruh Pemberian P
terhadap Panjang Akar Sorgum
dalam Kondisi Tercekam Al

7. Pengaruh Pemberian P terhadap
Akumulasi Al pada Akar Sorgum

Mekanisme Internal

8. Akumulasi dan Sekresi Asam Organik
pada Akar Sorgum yang tercekam Al
dan defisiensi P

Mekanisme Eksternal
Mekanisme Fisiologi Toleransi
Sorgum terhadap Defisiensi
Fosfor di Tanah Masam
Gambar 1 Bagan alir kegiatan penelitian selama 3 tahun (2012-2014).

6

2 TINJAUAN PUSTAKA
Pemanfaatan Tanaman Sorgum
Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) termasuk tanaman serealia penting
di dunia yang ditunjukkan oleh luas areal tanam, produksi dan kegunaannya yang
menduduki peringkat kelima setelah gandum, padi, jagung dan barley (House
1985; Supriyanto 2012). Banyaknya ragam makanan yang dapat dihasilkan oleh
sorgum menjadikan tanaman ini sebagai serealia penting dan sangat potensial
untuk program diversifikasi pangan, terutama di negara yang mengalami
penurunan produksi bahan pangan utama seperti Indonesia. Konsumsi beras orang
Indonesia rata-rata 130-140 kg kapita-1 tahun-1. Apabila konsumsi beras ini dapat
diturunkan menjadi 100 kg kapita-1 tahun-1 melalui program diversifikasi pangan,
maka akan menurunkan permintaan beras nasional setara dengan 4.3 juta ton
tahun-1 (BPS 2012).
Pemanfaatan sorgum sebagai bahan pangan sampai saat ini masih rendah hal
ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya kandungan taninnya tinggi sekitar
0.4% - 3.6% sehingga hasil olahannya kurang enak (Sirappa 2003). Tanin
(proanthocyanidin) merupakan senyawa fenol yang diperkirakan sebagai senyawa
anti nutrisi, namun disisi lain diketahui pula peranan tanin sebagai anti oksidan
(Dicko et al. 2006). Tanin pada tanaman sorgum berfungsi melindungi biji dari
jamur, serangga dan burung sebelum masa panen sehingga dapat menguntungkan
secara ekonomis. Kandungan tanin yang rendah merupakan salah satu indikator
kualitas sorgum sebagai bahan pangan.
Sorgum dapat diproses menjadi tepung yang dapat diolah menjadi aneka
produk makanan yang mempunyai nilai tambah tinggi. Sorgum mengandung nilai
gizi jauh lebih unggul daripada beras. Kandungan protein sorgum 1.6 kali lipat
protein beras. Biji sorgum dapat digunakan untuk bahan campuran ransum pakan
unggas, sedangkan batang dan daun banyak digunakan untuk ternak ruminansia
(Biba 2011).
Morfologi dan Fisiologi Sorgum
Dalam sistem taksonomi tumbuhan, tanaman sorgum diklasifikasikan dalam
Divisi Angiospermae, Kelas Monocotyledoneae dengan Ordo Poales, Famili
Gramineae, Genus Sorghum. Tanaman sorgum memiliki banyak spesies, tetapi
yang populer dan menjadi tanaman komersial di dunia adalah spesies Sorghum
bicolor (L.) Moench (House 1985). Sebagai tanaman yang termasuk kelas
monokotiledone, sorgum memiliki sistem perakaran serabut. Akar primer tumbuh
pada saat proses perkecambahan berlangsung dan seiring dengan proses
pertumbuhan tanaman muncul akar sekunder pada ruas pertama. Akar sekunder
kemudian berkembang secara ekstensif yang diikuti matinya akar primer. Pada
tahap selanjutnya, akar sekunder inilah yang kemudian berfungsi untuk menyerap
air dan unsur hara serta memperkokoh tegaknya batang. Keunggulan sistem
perakaran pada tanaman sorgum yaitu sanggup menopang pertumbuhan dan
perkembangan tanaman ratun (ratoon) hingga dua atau tiga kali ratoon dengan
akar yang sama (House 1985).

7
Sorgum tergolong tanaman C4, yaitu tanaman yang dalam proses
metabolisme karbon (C) menghasilkan asam berkarbon empat (malat dan aspartat)
sebagai produk awal penambatan CO2. Produk asam malat dan aspartat yang
dihasilkan oleh sel mesofil dengan cepat ditransfer ke sel selundang pembuluh,
lalu mengalami dekarboksilasi melepaskan CO2 yang selanjutnya ditambat
Rubisco dan diubah menjadi 3-PGA (asam fosfo gliserat). Sel seludang pembuluh
tanaman C4 lebih tebal dibandingkan tanaman C3, sehingga lebih banyak
mengandung kloroplas, mitokondria dan organel lain yang berperan sangat
penting dalam proses fotosintesis (Taiz dan Zeiger 2010). Daun-daun spesies C4
mempunyai laju pertukaran CO2 yang lebih tinggi, rasio antara luas potongan
melintang floem dengan luas daun yang lebih besar dan memiliki laju translokasi
lebih besar dibandingkan tanaman C3. Ekspor hasil asimilasi yang lebih baik oleh
tanaman C4 disebabkan oleh anatomi khususnya, yaitu sel-sel seludang ikatan
pembuluhnya yang mempunyai kloroplas (anatomi kranzs) atau hasil dari luas
potongan melintang floem yang lebih besar.
Karakteristik tanaman C4 yaitu pada penyinaran tinggi dan suhu panas
tanaman ini mampu berfotosintesis lebih cepat sehingga menghasilkan biomassa
yang lebih banyak dibandingkan tanaman C3 (Salisbury dan Ross 1995). Selain
sebagai tanaman C4, tingginya produktivitas tanaman sorgum juga didukung oleh
fakta bahwa permukaan daunnya dilapisi oleh lilin dapat mengurangi laju
transpirasi dan mempunyai sistem perakaran yang ekstensif. Kedua faktor ini
menjadikan sorgum sangat efisien dan efektif dalam pemanfaatan air (House
1985). Secara fisiologis sistem perakaran ekstensif, fibrous dan dalam sehingga
membuat tanaman ini toleran kekeringan (Biba 2011).

Karakteristik Tanah Masam
Di wilayah beriklim humid, pengasaman tanah merupakan proses alamiah
dan sering kali menyebabkan persoalan bagi pertumbuhan tanaman. Jika tanah
menjadi masam, sampai pH dibawah 4.5 misalnya akan menimbulkan kesulitan
bagi produksi tanaman pangan. Pada kondisi masam, aluminium (Al) menjadi
lebih larut dan toksik bagi tanaman, pasokan kebanyakan hara tanaman terbatas,
dan beberapa hara mikro menjadi lebih larut dan toksik (Munawar 2011)
Tanah mineral masam dalam pengertian sempit yang didasarkan pada
taksonomi kelas reaksi tanah yaitu masam (acid) tanah mineral yang memiliki pH
lebih kecil dari 5.0 (0.01 M CaCl2; 2:1) pada seluruh lapisan kontrol (control
section) atau sekitar pH 5.5 (H2O; 1:1). Bila pH (H2O; 1:1) < 3.5, berarti terdapat
sulfat masam di dalam tanah mineral yang dikeringkan. Tanah mineral masam
tidak hanya berhadapan dengan kendala pH yang rendah, tetapi dihadapkan pada
kelarutan Al yang tinggi. Tanah di Indonesia pada umumnya bereaksi masam
dengan pH berkisar 4 – 5.5 (Hardjowigeno 2010).
Tanah mineral masam memiliki luasan terbesar di Indonesia yaitu ± 67%
dari total luas tanah Indonesia dan tersebar dari Pulau Sumatera sampai Papua
(Subagyo et al. 2000). Mengingat luasan dan sebarannya maka tanah mineral
masam memiliki potensi terbesar untuk pengembangan tanaman sorgum. Tanah
mineral masam umumnya memiliki pH yang sangat masam hingga agak masam,
yaitu sekitar < 5.5, miskin basa dapat ditukar, kompleks jerapan didominasi oleh

8
oksida dan hidroksida Al dan Fe, kapasitas tukar kation (KTK) dan kejenuhan
basa (KB) lapisan atas tanah umumnya rendah hingga sedang (Subagyo et al.
2000).
Menurut Marschner (2012), permasalahan yang ditemukan pada tanah
mineral masam untuk pengembangan budidaya tanaman terjadinya karena
peningkatan dari; (1) konsentrasi Al menyebabkan keracunan Al; (2) konsentrasi
H+ menyebabkan keracunan H+; (3) konsentrasi Mn menyebabkan keracunan Mn;
(4) terjadinya penurunan konsentrasi hara makro (kation), defisiensi Mg++, Ca++,
K+, P dan Mo sehingga menyebabkan terhambatnya pertumbuhan akar dan
penyerapan air.
Faktor pembatas pertumbuhan tanaman pertanian di tanah masam adalah
keracunan aluminium yang tinggi. Tingkat keracunan aluminium dipengaruhi oleh
perubahan pH media. Pada kondisi pH rendah, trivalent aluminium (Al3+)
merupakan bentuk yang paling dominan dan beracun bagi banyak tanaman. Ciri
utama keracunan aluminium adalah terjadinya penghambaan pertumbuhan akar,
yang pada akhirnya akan menurunkan produktivitas tanaman (Zheng 2010).
Gejala keracunan Al yang sangat nyata adalah penghambatan perpanjangan
akar primer dan sekunder sehingga akar menjadi kerdil yang menyebabkan
penghambatan penyerapan hara dan air (Marschner 2012). Pengelolaan kesuburan
di tanah masam diarahkan untuk menurunkan kemasaman tanah, menambah hara
dan menekan tingkat kejenuhan Al. Teknologi untuk meningkatkan kesuburan
tanah masam yang dapat diterapkan antara lain pemupukkan berimbang,
pengelolaan hara P, pengapuran serta pemberian bahan organik.

Adaptasi Tanaman terhadap Ketersediaan P di Tanah Masam
Sistem pertanian yang berkesinambungan tergantung pada ketersediaan
jumlah unsur hara, termasuk diantaranya adalah unsur hara P. Meskipun P
dibutuhkan dalam jumlah sedikit dibanding unsur hara makro lainnya, tetapi P
merupakan unsur hara penting pada awal pertumbuhan tanaman. Hara P
merangsang perkembangan akar dan pembentukan buah. Hubungan antara hara P
yang diambil oleh tanaman dan yang dierap tanah merupakan faktor penting
dalam membuat rekomendasi pemupukan (Anggria et al. 2009).
Keracunan aluminium mempengaruhi pertumbuhan dan produktivitas
tanaman. Gangguan yang ditimbulkan oleh keracunan Al umumnya dibagi ke
dalam dua kelompok yaitu gangguan jangka pendek dan gangguan jangka panjang.
Gangguan jangka pendek mulai kelihatan hanya beberapa jam saja setelah
tanaman mendapat cekaman Al seperti penghambatan pemanjangan akar,
kerusakan tudung akar, pembentukan kalose, adanya deposit lignin dinding sel
dan penurunan pembelahan sel. Aluminium dalam jangka panjang menyebabkan
penurunan biomasa akar dan pucuk, abnormalitas morfologi akar, penurunan
penyerapan dan translokasi hara, gangguan penyerapan dan transpor air dan
supresi fotosintesis (Miyasaka et al. 2006).
Mekanisme toleransi tanaman terhadap cekaman aluminium secara umum
melibatkan dua strategi dasar: 1) toleransi internal atau symplasmic, yang dapat
melibatkan pengkelatan Al oleh asam organik dalam sitosol, kompartementasi Al
di vakuola, memproduksi protein pengikat Al, enzim yang tahan Al serta
peningkatan aktivitas enzim, dan 2) Toleransi eksternal dengan cara mencegah Al

9
masuk ke dalam simplas dan bagian metabolik yang peka melalui immobilisasi
dinding sel, permeabilitas selektif membran plasma, perubahan pH di rizosfir dan
apoplas akar, sekresi ligan pengkelat (sekresi asam organik) dan efluks Al
(Andrade et al. 2011).
Ada beberapa mekanisme yang menjelaskan bahaya keracunan Al
berhubungan langsung dengan P yaitu; mengganggu struktur membran karena
pengikatan Al pada membran plasma yang mengandung fosfolipid, penghambatan
pembelahan sel karena Al berikatan dengan DNA, mengganggu cadangan dan
transfer energi karena Al berikatan dengan ATP dan ester dan menurunkan
penyerapan kation divalen dan anion serta mengganggu metabolisme unsur hara
tertentu (Marschner 2012). Jadi interaksi Al dan P pada tempat-tempat peka
tersebut sangat mengganggu serapan dan penggunaan P dan akhirnya akan
menghambat pertumbuhan dan produksi tanaman.
Keberadaan Al3+ di dalam larutan tanah merubah permukaan senyawa
inorganik dan juga merubah substansi organik ditanah. Trivalent aluminium (Al3+)
adalah logam reaktif yang dapat membentuk kompleks dengan berbagai ligan
organik maupun inorganik. Mekanisme eksklusi aluminium melibatkan kanal
yang ada pada membran plasma.
Dalam mekanisme eksklusi ini tiga
kemungkinan terdiri dari : (1) Aluminium langsung mengaktifkan protein kanal;
(2) Aluminium masuk kedalam sitosol dan mengaktifkan protein kanal; (3)
Aluminium mengaktifkan tranduksi signal mengirimkan pesan untuk
mengaktifkan protein kanal (Delhaize et al. 2012).
Unsur P merupakan salah satu dari 3 unsur hara makro paling penting
bersama N dan K bagi tanaman. Fosfat tidak direduksi dalam tanaman seperti
halnya nitrat dan sulfat, tetapi tetap dalam bentuk sangat teroksidasi. Unsur P
setelah diserap pada pH fisiologis sebagai H2PO4- , tidak saja tetap sebagai P
anorganik tetapi juga diesterifikasi melalui grup hidroksil ke rantai C (C-O-P)
yang merupakan bentuk sederhana P ester (sugar P), ataupun terikat dengan P
lainnya dengan ikatan pirofosfat membentuk senyawa kaya energi (ATP).
Konversi orthofosfat menjadi bentuk organik terjadi dengan cepat dalam tanaman,
dimana 80% dari P yang diserap diubah menjadi bentuk organik dalam waktu 10
menit, namun setelah itu dilepaskan kembali menjadi P anorganik masuk kedalam
xylem (Marschner 2012).
Peranan P dalam tanaman adalah : (1) pembelahan sel (2) pembentukan
albumin (3) pembentukan bunga, buah dan biji (4) mempercepat pematangan (5)
memperkuat batang tidak mudah roboh (6) perkembangan akar (7) memperbaiki
kualitas tanaman (8) tahan terhadap penyakit (9) membentuk nucleoprotein
(sebagai penyusun RNA dan DNA) (10) metabolisme karbohidrat dan (11)
menyimpan dan memindahkan energi (Hardjowigeno 2010). Apabila kekurangan
P pada tanaman maka akan mempengaruhi semua aspek metabolisme dan
pertumbuhan tanaman. Kekurangan P akan menyebabkan tanaman tumbuh lambat
dan tanaman sering terlihat kerdil. P dalam tanaman bersifat sangat mobil, ketika
tanaman menua atau masak, sebagian besar unsur P dipindah ke biji dan/atau buah,
atau ketika tanaman mengalami kekahatan, P akan ditranslokasikan dari jaringan
tanaman tua ke bagian tanaman yang masih muda dan aktif (Munawar 2011).
Istilah efisiensi hara sudah digunakan secara luas sebagai ukuran kapasitas
tanaman dalam memperoleh dan menggunakan hara untuk menghasilkan bahan
kering tanaman atau produksi. Dari sudut pandang hara mineral, suatu genotipe

10
dikatakan lebih efisien dari genotipe lain jika dapat memobilisasi dan menyerap P
lebih banyak dan atau dapat menggunakan P yang diserap lebih efisien untuk
menghasilkan bahan kering tanaman atau biomassa. Dalam pengertian agronomi,
efisiensi hara biasanya dinyatakan melalui perbedaan hasil dari genotipe-genotipe
yang ditumbuhkan pada tanah atau medium yang tidak cukup hara. Jadi tanaman
yang efisien didefinisikan sebagai tanaman yang memiliki pertumbuhan yang
lebih baik, menghasilkan bahan kering tanaman lebih banyak dan
mengembangkan gejala kekurangan hara lebih sedikit daripada tanaman lain jika
ditanam pada tingkat hara yang rendah (Marschner 2012). Jadi perbedaanperbedaan genotipe dalam efisiensi hara terkait pada perbedaan-perbedaan dalam
efisiensi penyerapan oleh akar (efisiensi eksternal) atau dalam penggunaannya
oleh tanaman (efisiensi internal) atau kedua-duanya yang meliputi serapan,
angkutan dan penggunaannya oleh tanaman.
Efisiensi Serapan P (ESP) atau Phosphorus Uptake Efficiency (PAE)
dinyatakan sebagai total hara yang diserap per unit bobot kering akar (mg P g-1 bk
akar). Perbedaan-perbedaan dalam total serapan dan laju serapan P di antara
genotipe dapat menunjukkan mekanisme peningkatan efisiensi pada keadaan
ketersedian P rendah. Sebagaimana diketahui bahwa P bergerak secara difusi
dengan koefisien difusi rendah, maka perkembangan sistem perakaran sangat
menentukan dalam perolehan P. Dengan demikian pengukuran ESP ini dapat
digunakan sebagai kriteria untuk membedakan tingkat efisiensi tanaman pada
kondisi P rendah. Namun dalam kondisi tanah masam dengan tingkat fiksasi Al
terhadap P tinggi, sehingga penyerapan P dalam proses desorpsi, kelatisasi dan
pemasaman oleh asam-asam organik (Marschner 2012).

Mekanisme Toleransi Tanaman terhadap Defisiensi P
Ketersedian P bagi tanaman dikendalikan oleh reaksi tanah yang
dipengaruhi oleh pH tanah. Ketersedian P paling tinggi berkisar pH 5.5 - 6.8. Jika
pH tanah turun di bawah 5.8, P akan bereaksi dengan Fe dan Al membentuk
senyawa-senyawa fosfat Fe dan Al yang tidak larut sehingga tidak tersedia bagi
tanaman. P bereaksi dengan Ca membentuk fosfat yang relatif tidak larut,
sehingga ketersediannya rendah bagi tanaman pada pH tinggi (Munawar 2011).
Menurut Peng dan Ismail (2004), mekanisme adaptasi tanaman terhadap
defisiensi P dikelompokkan menjadi dua : (1) mekanisme internal meliputi
efisiensi penggunaan P (Nutrient Use efficiency) oleh jaringan, dicapai tanaman
dengan memanfaatkan P dengan efisien; (2) mekanisme eksternal meliputi yang
mempunyai efisiensi serapan P yang lebih tinggi. Kedua bentuk mekanisme ini
seringkali tidak terdapat pada genotipe yang sama disebabkan oleh perbedaan
genotipe dalam menghadapi cekaman defisiensi hara.
Adaptasi tanaman terhadap defisiensi P dicapai melalui mekanisme
peningkatan penyerapan dan peningkatan efisiensi penggunaan (Rao et al. 1999).
Efisiensi penyerapan dicapai melalui perbedaan morfologi (pertumbuhan dan
distribusi, diameter, rambut akar), dan fisiologi akar (sistem penyerapan dan
mobilisasi P pada rizosfir). Efisiensi penggunaan dicapai melalui partisi
(mobilisasi) P dalam tanaman dan efisiensi penggunaan pada level selular.

11
Kompartementasi P intraselular dapat mempengaruhi efisiensi penggunaan
P. Penelitian Swasti (2004) pada tanaman padi menunjukkan bahwa proporsi
fraksi P anorganik pada perlakuan P rendah lebih kecil dari perlakuan P tinggi.
Hal ini mengindikasikan adanya transfer P (anorganik) dari vakuola yang
digunakan tanaman untuk sintesis bahan organik.
Menurut Kochian et al. (2004), ketersedian P tanah yang rendah akibat
mudahnya P terfiksasi oleh bahan organik menyebabkan mekanisme eksternal
menjadi lebih penting karena tanaman mengembangkan berbagai mekanisme
untuk membuat P menjadi tersedia dan untuk meningkatkan kemampuan
menyerap P.
Peranan Asam Organik dalam Mengkelat Aluminium
Sintesis berbagai jenis asam organik dari perakaran tanaman sebagai
tanggap terhadap cekaman Al merupakan ciri dari spesies tanaman yang mampu
beradaptasi pada tanah mineral masam. Peranan asam organik dalam mengkelat
Al pada tanaman tingkat tinggi, sudah banyak dilaporkan oleh para peneliti, antara
lain tanaman kedelai yang toleran (Yelow Biloxi) mengsekresi asam oksalat dan
asam sitrat lebih tinggi dibanding kedelai peka (Sopandie 2014; Magalhaes et al.
2004) menunjukkan bahwa asam sitrat merupakan asam organik yang
disekresikan tanaman sorgum dalam menghadapi cekaman Al dan Yan et al.
(2012) bahwa sekresi sitrat dapat menjadi salah satu mekanisme eksklusi dalam
menghindari Al pada tanaman centipedegrass.
Gen yang berbeda dengan Al3+ pada pelepasan asam sitrat dari akar telah
diidentifikasi oleh pemetaan toleransi lokus di sorgum (AltSB) dan barley (Alp).
Gen tersebut mendasari lokus di sorgum (Sorghum bicolor) multidrug dan ekstrusi
senyawa toksik (SbMATE) pada barley (Hordeum vulgare) aluminium diaktifkan
transporter sitrat 1 (Hv AACT1) milik keluarga MATE. MATE adalah keluarga
besar protein pada eukariota dan prokariota dimana mereka berfungsi sebagai
secondary active transporter yang menggunakan gradien ion elektrokimia
(natrium atau proton) untuk mengekspor berbagai macam substrat, termasuk
metabolisme sekunder (Delhaize et al. 2012).
Hasil penelitian Yanga et al. (2011) menunjukkan bahwa P dapat
mengurangi toksisitas Al melalui imobilisasi peningkatan Al di akar dan P pada
bibit jeruk besar (Citrus grandis) dan 'Xuegan' (C. sinensis) berpengaruh melalui
peningkatan sekresi asam organik (OA). Semakin tinggi toleransi Al pada C.
sinensis dapat mempengaruhi sekresi asam organik (OA).
Asam organik yang disintesis oleh tanaman yang toleran terhadap cekaman
Al dapat terjadi secara sekresi maupun akumulasi dengan cara
mengakumulasikannya di dalam simplas ataupun dengan mengsekresikannya ke
daerah rhizosfer. Asam organik membantu meningkatkan ketersediaan P secara
tidak langsung dengan cara mengkelat Al (Marschner 2012) sehingga P yang
seharusnya terikat Al dapat tersedia bagi tanaman. Asam organik yang
disekresikan oleh akar tanaman umumnya adalah asam malat, asam sitrat dan
asam oksalat. Jumlah dan jenis yang disekresikan tergantung spesies dan kutivar
tanaman.

12
Toleransi terhadap cekaman Al berkorelasi positif dengan aktivitas sekresi
asam organik pada beberapa spesies tanaman. Sekresi asam organik berupa asam
sitrat, malat dan oksalat ke daerah rizosfer merupakan salah satu mekanisme
toleransi tanaman terhadap Al (Kochian et al. 2005; Garzon et al. 2011). Asam
sitrat dihasilkan dari siklus tricarboxilic acid (TCA) yang dikenal dengan siklus
kreb atau siklus asam sitrat. Siklus ini