Uji Daya Hasil Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) di Tanah Masam, Jasinga.

(1)

UJI DAYA HASIL SORGUM (

Sorghum bicolor

(L.) Moench) DI

TANAH MASAM, JASINGA

ZUHROTUL MUTIAH

A24080170

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2013


(2)

ZUHROTUL MUTIAH. Uji Daya Hasil Sorgum (

Sorghum bicolor

(L.) Moench) di Tanah Masam, Jasinga. (Dibimbing oleh DESTA

WIRNAS dan TRIKOESOEMANINGTYAS).

Penelitian ini dilaksanakan bulan Februari sampai Juli 2012, di Desa Bagoang, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor. Lahan memiliki pH 4.4-5.2. Bahan tanam yang digunakan dalam penelitian ini adalah 17 galur sorgum F6 hasil persilangan varietas NUMBU sebagai tetua betina dan UPCA S1 sebagai tetua jantan. Bahan tanam merupakan galur yang diseleksi berdasarkan karakter tinggi tanaman yaitu sekitar 170 - 180 cm dan bobot biji permalai yaitu sekitar 80 -100 g. Varietas pembanding yang digunakan adalah Numbu dan UPCA S1. Pupuk yang digunakan Urea, SP-36 dan KCl dengan dosis pupuk masing-masing 150 kg, 100 kg dan 100 kg per ha. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang keragaan galur - galur F6 di tanah masam dibandingkan pembanding UPCA S1 dan Numbu, mendapatkan informasi tentang keeratan hubungan antar karakter daun bendera, agronomi, komponen hasil dengan hasil pada galur - galur F6 di tanah masam dan memperoleh galur F6 yang berdaya hasil tinggi di tanah masam.

Pengolahan data menggunakan uji - t karena kondisi lingkungan percobaan yang beragam yang diduga karena pH yang beragam berkisar 4.4-5.2. Berdasarkan uji - t terdapat galur - galur F6 yang memiliki keragaan yang berbeda dengan pembanding UPCA S1 dan Numbu untuk semua karakter yang diamati. Karakter daun bendera seperti luas daun bendera dan lebar daun bendera berkorelasi positif dan nyata dengan bobot biji/malai. Karakter tinggi tanaman, diameter batang dan bobot biomasa berkorelasi positif dan nyata dengan bobot biji/malai. Karakter komponen hasil seperti panjang malai dan bobot malai kering berkorelasi positif dan nyata dengan bobot biji/malai. Galur N/UP-32-8, N/UP-48-2, N/UP-82-3, N/UP-89-3, N/UP-118-3 dan N/UP-139-5 adalah galur F6 yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai sorgum penghasil biji yang adaptif terhadap tanah masam.


(3)

UJI DAYA HASIL SORGUM (

Sorghum bicolor

(L.) Moench) DI

TANAH MASAM, JASINGA

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

ZUHROTUL MUTIAH

A24080170

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA

FAKULTAS PERTANIAN BOGOR

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2013


(4)

Moench)

DI TANAH MASAM, JASINGA

Nama

:

ZUHROTUL MUTIAH

NIM

:

A24080170

Menyetujui,

Pembimbing I

Dr. Desta Wirnas, SP, MSi NIP 19701228 200003 2 001

Pembimbing II

Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, MSc NIP 19620102 199702 2 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Agus Purwito, MSc. Agr

NIP 19611101 198703 1 003


(5)

1

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 27 Juli 1988. Penulis merupakan anak ke delapan dari sembilan bersaudara pasangan M. Ubaedillah dan Cucu Badriah. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Pabuaran, Kota Bogor dan sekolah menengah pertama di SMPN 9 Bogor. Tahun 2003, penulis melanjutkan sekolah menengah atas di SMUN 3 Bogor. Tahun 2008 penulis diterima di Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur seleksi nasional mahasiswa perguruan tinggi negri (SNMPTN). Selama menjalani kegiatan akademik penulis pernah mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) pada tahun 2010 dan 2012. Tahun 2012 penulis menjadi asisten praktikum matakuliah Dasar - dasar Pemulian Tanaman dan Dasar - dasar Agronomi.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur hanyalah milik Allah SWT semata yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul Uji Daya Hasil Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) di Tanah Masam, Jasinga dapat diselesaikan dengan baik. Penulis mengucapkan terimakasih yang setinggi - tingginya kepada:

1. Ibunda dan Ayahanda tercinta Cucu Badriah dan M. Ubaedillah serta kakak – kakakku tercinta yang telah memberikan limpahan doa, semangat dan motivasi selama penulis menempuh pendidikan di IPB.

2. Dr. Desta Wirnas, SP, MSi dan Dr. Ir. Trikosoemaningtyas, MSc, selaku pembimbing yang telah banyak memberikan masukan seputar penelitian. 3. Dr. Ir. Suwarto selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan

perbaikan sehingga skripsi ini menjadi lebih baik.

4. Staf Laboratorium Pemuliaan IPB, Mba Mawi dan Mas Eki yang telah banyak membantu baik dalam bentuk tenaga maupun saran selama penulis melakukan penelitian.

5. Bapak Jae yang banyak membantu selama melakukan penelitian di Bagoang. 6. Teman - teman di Laboratorium Pemuliaan IPB, Fitri, Khusnul, Lela, Saroh,

Rifa, Adisti, ibu Tri, ibu Yuli, ibu Ervita dan mas Azis yang senantiasa memberikan bantuan, semangat dan saran terhadap penelitian ini.

Semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat memberikan sumbangan bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pertanian.

Bogor, November 2012


(7)

3

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ………..…… vi

DAFTAR GAMBAR ………. vii

DAFTAR LAMPIRAN……….. viii

PENDAHULUAN..……… 1

Latar Belakang .……….. 1

Tujuan Penelitian ..……….… 2

Hipotesis Penelitian ..……….… 2

TINJAUAN PUSTAKA ……… 3

Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench)……… 3

Kandungan Gizi dan Kegunaan Sorgum……… 7

Tanah Masam dan Permasalahannya ….……… 8

Pemuliaan Sorgum ……… 10

BAHAN DAN METODE …..……… 13

Tempat dan Waktu ….……… 13

Bahan dan Alat ……… 13

Metode Percobaan ….…….……… 13

Pelaksanaan Percobaan ..……… 14

Pengamatan Percobaan …..……… 14

Pengolahan Data…..…..……… 15

HASIL DAN PEMBAHASAN…..……… 17

Kondisi Umum……… 17

Keragaan Daun Bendera Galur - Galur Sorgum, UPCA S1 dan Numbu di Tanah Masam ……..………….…….……… 19

Keragaan Numbu dan UPCA S1 di Tanah Masam ….……… 25

Keragaan Karakter Agronomi Galur – Galur Sorgum, UPCA S1dan Numbu di Tanah Masam ……… 27

Keragaan Komponen Hasil dan Hasil Galur - Galur Sorgum, UPCA S1dan Numbu di Tanah Masam ……… 32

Korelasi Antar Karakter Galur – Galur Sorgum di Tanah Masam… 38 KESIMPULAN DAN SARAN…..……… 43

Kesimpulan ……… 43

Saran..….……… 43

DAFTAR PUSTAKA ……… 44


(8)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman 1. Keragaan daun bendera galur – galur sorgum, UPCA S1 dan

σumbu di tanah masam……….…. 20

2. Selisih kehijauan daun stadia vegetatif akhir dan stadia generatif akhir galur - galur sorgum di tanah masam……… 24 3. Hasil uji-t Numbu dan UPCA S1 di tanah masam ……… 25 4. Keragaan karakter agronomi galur - galur sorgum, UPCA S1 dan

Numbu di tanah masam ……… 27 5. Keragaan umur berbunga dan umur panen galur – galur sorgum

UPCA S1 dan Numbu di tanah masam ……….. 31 6. Keragaan komponen hasil dan hasil galur – galur sorgum, UPCA

S1 dan Numbu di tanah masam….……… 33 7. Keragaan karakter warna biji galur – galur sorgum di tanah masam 37 8. Korelsi antar karakter daun bendera sorgum dengan bobot biji/malai 39 9. Korelasi antar karakter agronomi sorgum dengan bobot biji/malai… 40 10.Korelasi antar komponen hasil dengan bobot biji/malai ………….. 41


(9)

5

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Presentase penutupan biji sorgum oleh sekam ………. 6 2. Kondisi galur – galur sorgum umur 5 MST……… 18 3. Kondisi tanaman sorgum kekurangan hara………. 19


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Analisis tanah Desa Bagoang, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor

ke -1……… 51

2. Analisis tanah Desa Bagoang, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor Ke-2……… 52

3. Data iklim Jasinga tahun 2012 ……… 53

4. Deskripsi varietas Numbu dan UPCA S1 ……… 54

5. Denah petak percobaan ……… 55

6. Korelasi antar karakter galur – galur sorgum di tanah masam…... 56


(11)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sorgum merupakan makanan pokok bagi sebagian masyarakat di daerah Semi-Arid Tropis di Afrika dan Asia. Biji dan hijauannya merupakan pakan ternak yang penting di Amerika dan Australia (Stenhouse dan Tippayaruk, 1996).

Sorgum memiliki beberapa keunggulan dibandingkan tanaman pangan lainnya seperti daya adaptasi yang luas (Sirappa, 2003), kebutuhan input budidaya lebih sedikit dan lebih tahan terhadap hama dan penyakit (BATAN, 2010), serta kandungan protein sorgum 10.4 g per 100 g lebih tinggi dibandingkan kandungan protein beras dan jagung masing-masing hanya 7.9 g per 100 g dan 9.2 g per 100 g (Susila, 2005). Hasil rata-rata varietas sorgum yang telah dilepas di Indonesia sekitar 3 - 4 ton/ha (PPPTP, 2009). Keunggulan sorgum dalam budidaya, kandungan nutrisi dan potensi hasil menjadikan tanaman ini berpotensi untuk mendukung keberhasilan program diversifikasi pangan.

Saat ini areal pertanian yang subur semakin berkurang sehingga penggunaan lahan marjinal seperti lahan kering dapat menjadi solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut. Sorgum biasanya dapat tumbuh pada kondisi panas dan kering (House, 1985) sehingga berpotensi untuk dikembangkan di lahan kering Indonesia. Kendala yang dihadapi dalam pemanfaatan lahan kering untuk kegiatan budidaya di Indonesia diantaranya adalah tanah masam. Total tanah masam yang sesuai untuk kawasan budidaya pertanian seluas 56 juta ha (PPPTA, 2004), namun tanah masam mempunyai sifat-sifat seperti pH rendah, kandungan alumunium tinggi, dan defesiensi P (Abdurrachman et al., 2007).

Lingkungan yang kurang sesuai untuk pertumbuhan tanaman akan menimbulkan cekaman pada tanaman sehingga hasil panen tidak maksimal. Keracunan Al telah menyebabkan kehilangan hasil panen sekitar 30 - 40% pada tanaman sereal di dunia (Blancheteau et al., 2008). Rendahnya produktivitas tanaman pada tanah masam menyebabkan tanah masam yang luas ini masih belum bisa dimanfaatkan secara optimal sebagai lahan pertanian. Cekaman tanah masam dapat dikurangi dengan pemberian kapur (CaCO3) untuk menurunkan kemasaman


(12)

atau mengatasi keracunan Al, namun memerlukan biaya yang besar dan diduga akan berdampak negatif terhadap tanah maupun tanaman apabila digunakan terus menerus (Soemartono, 1995).

Pembentukan varietas yang toleran merupakan cara yang efisien dalam memanfaatkan tanah masam karena dapat mengurangi kebutuhan kapur sehingga dapat menekan biaya (Sanchez, 1992). Pembentukan varietas sorgum toleran tanah masam untuk kebutuhan pangan telah dilakukan di IPB yaitu dengan menyilangkan varietas NUMBU (tetua toleran tanah masam) dan UPCA S1 (tetua peka lahan masam). Sampai sejauh ini telah diperoleh galur generasi F6 yang perlu diuji daya hasilnya untuk mengetahui potensi dari galur - galur yang diperoleh.

Tujuan

1. Mendapatkan informasi tentang keragaan galur - galur F6 sorgum di tanah masam.

2. Mendapatkan informasi tentang keeratan hubungan antar karakter daun bendera, agronomi, komponen hasil dengan hasil pada galur - galur F6 sorgum di tanah masam.

3. Memperoleh galur F6 sorgum yang berdaya hasil tinggi dan adaptif terhadap tanah masam.

Hipotesis

1. Terdapat perbedaan keragaan karakter di antara galur - galur F6 sorgum dibandingkan UPCA S1 dan Numbu di tanah masam.

2. Terdapat hubungan antar karakter daun bendera, karakter agronomi dan karakter komponen hasil dengan hasil pada galur - galur F6 di tanah masam. 3. Terdapat galur - galur F6 sorgum yang memiliki daya hasil lebih baik dan


(13)

3

TINJAUAN PUSTAKA

Sorgum [Sorghum bicolor ( L.) Moench]

Sorgum [Sorghum bicolor (L.) Moench] merupakan anggota dari suku Andropogoneae, Famili Gramineae atau rerumputan yang menyerbuk sendiri (Artschwager, 1948). Sorgum memiliki persamaan dengan tanaman Holcus bicolor L., Andropogon sorghum (L.) Brot, Sorghum vulgare Pers. (Stenhouse dan Tippayaruk, 1996). Ethiopia merupakan negara yang memiliki keragaman genetik sorgum tertinggi di dunia (Poehlman dan Sleper, 1996). Sorgum yang telah didomestikasikan di Ethiopia merupakan hasil seleksi dari sorgum jenis liar tipe (S. bicolor (L.) Moench subsp. verticlliflorum (Steud.) Piper, yang memiliki persamaan dengan S. arundinaceum (Desv.) Stapf ) (Stenhouse dan Tippayaruk, 1996). Sorgum menyebar ke daerah Asia melalui Cina dan tersebar ke negara Asia lainnya melalui jalur sutra. Sorgum ditemukan di Myanmar, Thailand dan beberapa negara Asia Tenggara lainnya (Stenhouse dan Tippayaruk, 1996).

Tanaman sorgum memiliki sistem perakaran yang ektensif, dalam dan memiliki banyak akar serabut (hampir dua kali dari jagung) (Frere, 1982; House, 1985). Sorgum memiliki tiga macam akar yaitu akar primer, akar sekunder dan akar tunjang atau akar udara. Akar primer muncul pertama kali pada saat berkecambah, akar sekunder berkembang dari buku pertama, akar ini berkembang menjadi sistem perkaran yang ektensif. Akar udara muncul kemudian pada buku paling rendah dan biasanya akan berkembang banyak jika tanaman tidak adaptif, akar ini tidak efektif dalam menyerap air dan nutrisi (House,1985). Akar primer bersifat sementara, secara cepat akan digantikan oleh akar sekunder, yaitu akar-akar adventif yang lebih permanen (Goldworthy dan Fisher, 1992).

Batang sorgum berbentuk silinder dengan luas penampang bulat atau oval (Artschwager, 1948), bersifat padat biasanya tegak lurus, kering atau berair, rasanya tawar atau manis (Stenhouse dan Tippayaruk, 1996). Batang sorgum terdiri dari ruas (internode) dan buku (node). Pada tanaman sorgum ketinggian batang ditentukan oleh ukuran dan jumlah ruas yang menyusunnya. Tanaman yang pendek memiliki ruas yang pendek. Ruas paling seragam terletak di bagian


(14)

tengah batang, ruas terpendek terletak mendekati basal, ruas terpanjang yaitu pada tangkai malai. Permukaan ruas sorgum dilapisi oleh lilin yang merupakan pelindung bagi batang yang berwarna hijau (Artschwager, 1948).

Batang utama sorgum tumbuh bersamaan dengan perkembangan malai. Pemanjangan batang berakhir pada tahapan bunting kecuali pemanjangan tangkai malai terjadi sampai dekat antesis. Pada sebagian besar jenis rerumputan ruas tidak mengalami pertumbuhan jika akan mendekat fase reproduktif (Nelson dan Larson, 1988). Besarnya pemanjangan batang dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu variasi genetik dalam jumlah daun, kepekaan terhadap fotoperiodisitas dan suhu (Goldworthy dan Fisher, 1992).

Tinggi tanaman sorgum berkisar 0.5-5 m (Stenhouse dan Tippayaruk, 1996). Obillana (1998) mengklasifikasikan tinggi tanaman sorgum menjadi: (1) pendek (<1 m), (2) sedang (1.0 - 1.6 m), (3) tinggi (1.7 - 1.9 m).

Berat batang berubah-ubah sesuai dengan ukuran dan banyaknya karbohidrat yang tersimpan. Cadangan karbohidrat dalam batang merupakan persediaan penyangga untuk pertumbuhan biji selama periode proses fotosintesis sedikit (Goldworthy dan Fisher, 1992). Tanaman yang pendek dengan tangkai batang yang tegak dan kaku akan memudahkan proses pemanenan (Poehlman, 1979).

Daun tersebar sepanjang batang sorgum, terletak bergantian pada sisi yang berlawanan, berwarna hijau sedang-gelap dengan permukaan mengkilap, bagian atas sering mencolok seperti tepung yang disebabkan oleh lapisan lilin, daun muda bersifat kaku dan tegak (Artschwager, 1948). Bentuk daun sangat bervariasi, hampir vertikal sampai mendekati horizontal. Panjang daun sorgum berkisar 30-135 cm dan bervariasi lebarnya dari 1.5 sampai 15 cm pada bagian yang paling lebar, jumlah daun sangat bervariasi tergantung varietas dan iklim (Goldworthy dan Fisher, 1992). Perkembangan daun yang sempurna dan normal dipengaruhi oleh faktor lingkungan meliputi temperatur, ketersediaan air, kandungan mineral dan cahaya. Kualitas, kuantitas dan waktu terkena cahaya (fotoperiode) mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan daun. Tanaman pangan seperti gandum, barley dan oat memiliki dua daun yang tumbuh saat berkecambah dan 7 - 9 daun terbentuk selama siklus hidupnya (Nelson dan Larson, 1988)


(15)

5 Sorgum memiliki adaptasi yang baik terhadap kondisi kekeringan karena memiliki sistem perakaran yang ektensif dan lapisan lilin pada batang dan daun yang dapat mengurangi kehilangan air dan dapat menghentikan pertumbuhan pada periode kekeringan dan memulai kembali pertumbuhannya ketika masa cekaman telah menghilang (Stenhouse dan Tippayaruk, 1996). Selain itu beberapa jenis sorgum memiliki mekanisme stay green. Penelitian yang dilakukan oleh Borrel et al. (2001) menunjukkan bahwa sorgum hibrida yang memiliki mekanisme stay green lebih aktif melakukan fotosintesis dibandingkan sorgum yang tidak memiliki mekanisme stay green di cekaman kekeringan. Selain tahan terhadap cekaman kekeringan sorgum juga tahan terhadap genangan (water - lodging) (Ponidi et al., 1985).

Sorgum mempunyai bentuk malai yang bervariasi dari yang kompak sampai terbuka. Panjang malai sorgum sekitar 4 sampai 25 cm (House, 1985). Malai terdiri atas banyak spikelet, spikelet biasanya tumbuh sepasang, masing-masing tumbuh menjadi sesil dan pedicle spikelet. Sesil spikelet mempunyai bunga lengkap disebut juga spikelet fertil yang merupakan bunga sorgum, dan yang satunya lagi disebut pedicle spikelet yang biasanya steril (Poehlman, 1979). Inisiasi pembungaan menandakan berakhirnya fase vegetatif. Sorgum biasanya berbunga pada umur 55 hari dari berkecambah (House, 1985). Proses pembungaan pada sorgum diawali dengan penampakan malai sebagai suatu gembungan dalam pelepah daun bendera (tahap bunting) yang berlangsung kira-kira 6 - 10 hari sebelum pembungaan. Ukuran malai ditentukan oleh jumlah spikelet fertil yang sangat dipengaruhi oleh ukuran tanaman dan laju penimbunaan bahan kering selama tahapan pembentukan malai (Goldworthy dan Fisher, 1992).

Pembungaan terjadi mulai pada pucuk malai kemudian bagian bawah malai. Proses mekarnya bunga dalam satu malai memerlukan waktu enam sampai sembilan hari (Poehlman dan Sleper, 1996). Umur berbunga yang cepat dipengaruhi oleh photoperiode yang singkat dan temperatur yang tinggi (Poehlman dan Sleper, 1996).

Biji sorgum tertutup oleh sekam, presentase penutupan biji sorgum oleh sekam bervariasi dapat dilihat pada Gambar 1. Warna sekam pada saat masak bervariasi di antaranya putih, kuning/coklat muda, coklat, merah, ungu, hitam,


(16)

abu-abu.Warna biji sorgum bervariasi putih, kuning, merah, coklat dan kuning tua (IBPGR dan ICRISAT, 1993). Biji sorgum membutuhkan waktu 30 hari untuk mencapai bobot kering maksimum (masak fisiologi) (House, 1985).

Gambar 1. Presentase penutupan biji sorgum oleh sekam, nomor satu artinya 25% biji sorgum tertutup oleh sekam, nomor 3 artinya 50% biji sorgum tertutup oleh sekam, nomor 5 artinya 75% biji sorgum tertutup oleh sekam, nomor 7 artinya biji tertutup sempurna oleh sekam, nomor 9 artinya sekam lebih panjang daripada biji. (Sumber: IBPGR dan ICRISAT, 1993).

Kernel atau karyopsis sorgum disusun oleh tiga bagian penting yaitu perikarp, endosperma dan embrio. Struktur dari kernel sorgum sangat bervariasi karena dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan (Rooney dan Sullines, 1977). Epikarp merupakan bagian yang memiliki porsi yang paling besar, lapisan ini mengandung lilin dan kadang pigmen. Keberadaan pigmen sangat dikontrol oleh gen S-. Lapisan kernel sorgum yang mengandung pigmen yang tinggi disebut testa. Keberadaan testa dikendalikan oleh gen B1 dan B2 (Rooney dan Sullines, 1977). Perikarp dan testa bersatu memiliki warna yang berbeda-beda coklat, merah dan coklat keungu-unguan (Goldworthy dan Fisher, 1992). Zat tanin terdapat pada testa yang berwarna coklat dan bagian perikap. Mesokarp merupakan jaringan kedua setelah epikarp, jaringan ini mengandung butiran-butiran tepung. Endosperma merupakan jaringan cadangan makanan. Sel aleuron pada endosperma berperan penting dalam proses autolisis dan mobilisasi komponen pada bagian kernel selama berkecambah (Rooney dan Sullins, 1977).

Hasil biji ditentukan oleh jumlah dan ukuran biji. Jumlah ukuran biji sangat penting untuk hasil yang tinggi dan tergantung dari perkembangan tanaman yang memadai sampai pembungaan (Goldworthy dan Fisher, 1992). Hasil yang


(17)

7 tinggi pada sorgum hibrida berkorelasi dengan ukuran dan bobot malai tetapi pemuliaan untuk hasil yang tinggi juga harus memperhatikan durasi pertumbuhan, sensitivitas terhadap fotoperiode, ketahanan terhadap rebah, resisten terhadap penyakit dan serangan hama (Brown, 1988).

Kandungan Gizi dan Kegunaan Sorgum

Pati merupakan bentuk simpanan karbohidrat utama di dalam sorgum yang terdiri atas amilosa (20 - 30%) yaitu polimer glukosa rantai lurus (tanpa cabang) dan amilopektin (70 - 80%), yaitu polimer glukosa yang memiliki cabang, kadar ini dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Kandungan karbohidrat dalam 100 g sorgum sekitar 70.7 g lebih rendah dibandingkan beras dan jagung yang mencapai 76 g dan 73 g per 100 g. Protein merupakaan komponen kedua terbesar pada sorgum sekitar 10.4 g per 100 g lebih tinggi dibandingkan beras dan jagung masing-masing 7.9 g dan 9.2 g per 100 g (Susila, 2005).

Kandungan zat besi sorgum paling tinggi dibandingkan serealia lain sebesar 5.4 mg per 100 g sedangkan beras dan jagung masing-masing 1.8 mg dan 2.7 mg sehingga sorgum sangat cocok dikonsumsi oleh penderita anemia gizi besi yang merupakan salah satu defisiensi zat gizi (Susila, 2005).

Tanaman sorgum mempunyai banyak manfaat seperti bahan baku kertas, gula, nira, alkohol, monosodium glutamate (MSG), bahan baku pakan ternak dan bahan baku etanol (DEPTAN, 2011). Pemanfaatan yang paling utama adalah sebagai bahan pangan, pakan dan industri. Pemanfaatan sorgum sebagai bahan pangan sampai saat ini masih rendah hal ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya kandungan taninnya tinggi sekitar 0.40% - 3.60% sehingga hasil olahannya kurang enak (Sirappa, 2003). Kandungan tanin menyebabkan rasa sepat terutama pada sorgum yang mempunyai kulit biji berwarna gelap sehingga kurang disukai (Susila, 2005). Kandungan tanin yang rendah merupakan salah satu indikator kualitas sorgum sebagai bahan pangan (Puspitasari, 2011).

Sorgum yang memiliki konsentrasi tanin tinggi memberikan keuntungan secara budidaya karena dapat mencegah malai dimakan oleh burung dan dapat mencegah serangan jamur dan bakteri sehingga mencegah pembusukan tetapi


(18)

merugikan terhadap nilai nutrisi karena tanin dapat berikatan dengan protein sehingga protein menjadi lebih lambat dicerna oleh tubuh (Noville, 1977; Lemmens dan Soetjipto, 1992). Selain sumber diversifikasi pangan, biji dan limbah sorgum juga banyak digunakan sebagai pakan ternak. Penggunaan biji sorgum dalam ransum pakan ternak bersifat suplemen (subtitusi) terhadap jagung, karena nilai nutrisinya tidak berbeda dengan jagung. Nutrisi daun sorgum setara rumput gajah dan pucuk tebu, selain itu nutrisi jerami sorgum tidak kalah dibanding jerami jagung dan pucuk tebu (Sirappa, 2003), namun daun sorgum yang masih muda mengandung HCN yang tinggi (Hacker, 1992).

Biji sorgum mengandung 65 - 71% pati yang dapat dihidrolisis menjadi gula sederhana yang selanjutnya dapat difermentasikan untuk menghasilkan alkohol. Selain biji, alkohol juga dapat dibuat dari nira yang terdapat di batang (Sirappa, 2003).

Sorgum manis merupakan jenis sorgum yang batangnya manis dan sumber gula yang berpotensi menjadi sumber bahan bakar (bio-etanol), makanan, pakan dan produk lainnya. Sorgum merupakan tanaman C4 sehingga adaptif terhadap temperatur tinggi (Jordan et al., 1984). Sorghum manis memiliki tinggi tanaman lebih tinggi dibandingkan sorgum biji dan batangnya manis. Sorgum manis adalah tanaman C4, keuntungan tanaman C4 antara lain efisien dalam menggunakan air, nitrogen dan cahaya, keuntungan tanaman C4 secara luas yaitu memiliki adapatasi agro-ekologi yang baik yang berguna untuk meningkatkan keragaman genetik (Janssen et al., 2010). Selain itu sorgum manis memiliki hasil silase lebih tinggi dibandingkan jagung yaitu 52.5 - 75.0 ton ha-1, hasil bijinya mencapai 4.5 - 7.5 ton ha-1, memiliki kadar N yang lebih sedikit, lebih toleran terhadap kekeringan, banjir dan salin-alkali dibandingkan jagung dan juga lebih resisten terhadap penyakit daun dan malai (Cuiyun, 1998).

Tanah Masam dan Permasalahannya

Keracunan alumunium (Al) merupakan faktor utama berkurangnya hasil panen pada tanah masam (pH<5), padahal 50% tanah yang berpotensi untuk ditanami adalah masam (Kochian, 2005). Indonesia memiliki tanah masam yang


(19)

9 cukup luas, berdasarkan data dari peta skala 1:1000,000, teridentifikasi tanah masam lahan kering seluas 102.8 juta ha. Tanah masam yang sesuai untuk kawasan budidaya pertanian seluas 56 juta ha. Di antara lahan yang sesuai tersebut, 6.5 juta ha tersedia untuk perluasan areal tanaman pangan (PPPTA, 2004).

Keracunan Al merupakan masalah utama pada pertumbuhan sorgum di tanah masam pada pH kurang dari 5 (Wiliam, 1996). Cekaman alumunium menyebabkan terhambatnya perpanjangan akar sehingga sistem akar khususnya pada bagian ujung akar menjadi membengkak, pendek, gemuk, rapuh dan berkurangnya penyerapan N, K dan Mg (tetapi tidak Ca), hal ini mungkin menjadi penyebab pertumbuhan tanaman menjadi terhambat. Peningkatan P merupakan cara yang tepat untuk mengeliminasi keracunan Al selain itu peningkatan P juga dapat meningkatkan perkembangan akar dan penyerapan nutrisi lainnya (Tan dan Keltjens, 1990).

Tanaman yang toleran Al3+ memiliki cabang akar yang lebih panjang dan rambut akar lebih banyak. Genotipe yang peka pada kondisi cekaman Al memiliki pertumbuhan tanaman yang terhambat, tanaman tampak muda, terjadi klorosis yang menyebar, menyerang pada daun bagian bawah kemudian bagian atas daun (Okiyo et al., 2010). Genotipe sorgum memiliki gejala keracunan Al yang beragam, tetapi biasanya memiliki gejala seperti defisiensi pada Fe, P, Ca, dan Mg (Wiliam, 1996). Daun yang banyak mati atau jaringan yang banyak mengalami senescence pada saat masak fisiologis dianggap sebagai gejala terjadinya cekaman (Henzell et al., 1984).

Flores et al. (1991) membuat skoring terhadap tanaman sorgum yang toleran terhadap tanah masam berdasarkan tinggi tanaman dan kondisi visual tanaman. Skor 1 = warna hijau normal, penampilan yang vigor, tinggi tanaman, waktu masak yang seragam dan pengisian malai yang baik; skor 2= beberapa daun kuning dan ujungnya kering, malai kecil, dan kurang vigor; skor 3= beberapa daun kuning dan terdapat lintasan pada interveinal daun, beberapa daun mengering, malai sangat kecil dan tanaman menjadi kerdil; dan skor 4= beberapa tanaman kerdil, tidak terbentuk malai atau tanaman mati.


(20)

Percobaan Agustina (2011) menunjukkan bahwa cekaman Al pada sorgum lebih mereduksi pertumbuhan panjang akar dibandingkan pertumbuhan tajuk. Penghambatan pertumbuhan akar akan diikuti oleh penurunan akumulasi biomasa sorgum, penurunan panjang tajuk dan bobot kering tanaman pada fase bibit. Pemanjangan akar yang terhambat pada tanaman peka Al diduga karena adanya hambatan pembesaran dan pembelahan sel (Bakhtiar et al., 2007).

Pemuliaan Sorgum

Tujuan pemuliaan tanaman ialah berusaha untuk menghasilkan kombinasi genetika baru dan melalui seleksi menghasilkan peringkat tanaman yang mempunyai potensi lebih baik (Welsh, 1991). Pemuliaan sorgum di Indonesia diarahkan untuk pangan, pakan dan bahan industri selain itu banyak dilakukan percobaan mengenai adaptasi sorgum di tanah masam karena sorgum banyak di budidayakan di daerah marjinal di dunia (Human, 2007).

Sorgum memiliki keunggulan dalam adaptasi agroekologis yang luas dan kandungan protein yang tinggi, namun pengembangan sorgum untuk tujuan konsumsi maupun sebagai bahan baku dalam industri masih sangat rendah (Wyss dan Bros, 1976). Hal ini dikarenakan produksi dan kualitas sorgum yang masih rendah. Menurut Human (2007) potensi peningkatan produksi dan kualitas sorgum di Indonesia terbuka luas diantaranya melalui program pemuliaan tanaman dan pemanfaatan plasma nutfah sorgum secara optimal.

Variasi genetik merupakan bahan baku utama dalam melakukan pemuliaan tanaman, variasi genetik yang besar akan memudahkan pembentukan varietas unggul. Sorgum merupakan tanaman yang kaya akan keragaman genetik. Tetapi karakteristik utama adalah mekanisme toleransi terhadap panas dan kekeringan (Poehlman dan Sleper, 1996).

Peningkatan keragaman genetik sorgum adalah dengan introduksi, seleksi dan hibridisasi (Poehlman dan Sleper, 1996). Introduksi adalah upaya pemuliaan tanaman dengan cara mendatangkan sumber genetik baru dari luar negri yang selanjutnya dilakukan uji adaptasi di daerah setempat (Human, 2011). Indonesia telah melakukan introduksi tanaman sorgum dari India, Thailand dan Cina yang


(21)

11 telah dilepas sebagai varietas nasional melalui proses pengujian adaptasi daya hasil beberapa generasi, diantaranya varietas Numbu, Kawali, UPCA S1, Keris, Higari dan Mandau (Human, 2007).

Hibridisasi atau persilangan buatan merupakan suatu upaya untuk meningkatkan variasi genetik dengan cara menggabungkan sifat-sifat yang dimiliki oleh dua tetua. Sorgum merupakan tanaman menyerbuk sendiri karena mempunyai bunga sempurna yaitu bunga yang memiliki organ seksual lengkap, benang sari dan putik, namun peluang untuk terjadinya penyerbukan silang pada sorgum tetap ada apabila kepala putik muncul sebelum anter, namun frekuensinya rendah yaitu sekitar 6 % sampai 10 % atau lebih sekitar 30% pada jenis sudangrass (Poehlman, 1979; Allard, 1992).

Proses hibridisasi tanaman sorgum di departemen Agronomi dan Hortikultura untuk tujuan pangan di tanah masam diawali dengan pemilihan tetua. Numbu terpilih sebagai tetua betina dan UPCA S1 sebagai tetua jantan. Numbu merupakan varietas toleran terhadap tanah masam, berdasarkan percobaan yang dilakukan oleh Dermawan (2011) pada taraf kejenuhan Al-tinggi, galur tinggi Numbu menghasilkan nilai yang lebih baik pada setiap pengamatan seperti tinggi tanaman, bobot malai,bobot 100 butir biji, bobot biji permalai, bobot total, bobot batang dan kadar kemanisan batang. Agustina (2011) menyatakan bahwa varietas Numbu memiliki diameter sebaran akar dan akar lebih panjang dari pada galur peka dan mampu mempertahankan bobot kering tajuk yang lebih tinggi dari pada galur peka pada kondisi tercekam Al dan defisiensi P.

Kegiatan pemuliaan tanaman sorgum setelah persilangan tetua adalah seleksi. Seleksi yang efektif dari individu unggul dapat dilangsungkan dengan dua syarat: (1) variasi fenotip harus cukup besar dalam generasi asal, dan (2) derajat heritabilitas cukup tinggi guna menghasilkan seleksi yang cukup efektif (Brewbaker, 1983). Kriteria seleksi yang digunakan oleh Sungkono et al. (2009) untuk mendapatkan galur - galur sorgum yang mempunyai potensi hasil tinggi dan daya adaptasi lingkungan baik di tanah masam adalah bobot biji/tanaman dan bobot biomasa.

Heritabilitas merupakan proporsi variabilitas total yang disebabkan oleh faktor genetik, atau perbandingan varian genetik total (varian lingkungan dan


(22)

varian genotip) (Allard, 1996). Nilai hertabilitas secara teoritis berkisar dari 0 sampai 1. Nilai 0 ialah bila seluruh variasi yang terjadi disebabkan oleh faktor lingkungan, sedangkan nilai 1 ialah bila seluruh variasi disebabkan oleh faktor genetik. Karakter akan mempunyai nilai heritabilitas 1 jika seluruh individu secara tepat terwakili oleh fenotipnya (Welsh, 1991). Nilai heritabilitas tinggi menunjukkan sebagian besar ragam fenotipe di sebabkan oleh ragam genetik dan ada kemungkinan untuk diturunkan kepada zuriatnya sehingga seleksi akan lebih efektif. Pada umumnya karakter yang dikontrol oleh sedikit gen mempunyai heritabilitas lebih tinggi dibandingkan karakter yang dipengaruhi oleh banyak gen (polygenic gen) seperti hasil, waktu masak, indek panen, hampir semua karakter kuantitatif dipengaruhi oleh lingkungan mempunyai ragam lingkungan tinggi (House, 1985).

Beberapa pemulia tanaman memulai uji daya hasil pendahuluan pada generasi F5, biasanya menggunakan dua ulangan atau lebih dalam plot pada ukuran yang sesuai untuk tanaman yang diseleksi. Data produksi kemudian di gunakan sebagai kriteria tambahan untuk seleksi. Tujuan seleksi yang utama pada generasi F6 dan F7 adalah mengidentifikasi beberapa famili yang baik atau pengurangan famili yang tidak baik, pengurangan biasanya untuk alasan ekonomi berdasarkan pengamatan visual. Bila jumlah famili telah direduksi sampai proporsi yang diatur, pemeriksaan kualitas yang tepat telah diawali. Pengujian kualitas dapat dilakukan pada generasi F5 dan paling lambat pada generasi F8. (Allard, 1996).


(23)

13

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Percobaan ini dilaksanakan pada Februari hingga Juli 2012, di Desa Bagoang, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor. Lahan memiliki pH 4.4 - 5.2 (Lampiran 1 dan Lampiran 2).

Bahan dan Alat

Bahan tanam yang digunakan dalam percobaan ini adalah 17 galur sorgum generasi F6 hasil persilangan varietas NUMBU sebagai tetua betina dan UPCA S1 sebagai tetua jantan. Bahan tanam merupakan galur yang diseleksi berdasarkan karakter tinggi tanaman antara 170 - 180 cm dan bobot biji permalai antara 90 - 100 g. Varietas pembanding yang digunakan ada dua yaitu Numbu dan UPCA S1. Galur yang diuji adalah N/UP-4-3, N/UP-4-8, N/UP-17-10, 32-8, 39-10, 48-2, 82-3, 89-3, 118-3, 118-7, 139-1, 139-5, 151-3, 156-8, 159-9, N/UP-166-6.

Metode Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Kelompok Lengkap Teracak satu faktor dengan tiga ulangan. Model linear yang digunakan adalah:

Yij=µ+ i+βj+εij ; (i=1,..t,j=1,…r) Keterangan :

Yij = pengamatan pada perlakuan ke-I dan ulangan ke-j

µ = rataan umum

i = pengaruh perlakuan ke-

βj = pengaruh ulangan ke-j

εij = pengaruh galat perlakuan terhadap perlakuan ke-i dan ulangan ke-j.


(24)

Pelaksanaan Percobaan

Penanaman dilakukan dengan jarak tanam 70 cm x 10 cm, setiap satuan percobaan berukuran 2.1 cm x 2.1 cm. Benih ditanam dengan cara ditugal, dimasukkan sekitar 3 butir perlubang dan karbofuran 3G. Pupuk yang digunakan adalah Urea, SP-36 dan KCl dengan dosis pupuk masing - masing 150 kg, 100 kg dan 100 kg per ha. Pupuk urea diberikan 2 kali, 1/3 bagian diberikan sebagai pupuk dasar bersama dengan pupuk SP-36 dan KCl saat menanam, sedangkan 2/3 bagian akan diberikan setelah tanaman berumur 7 MST.

Pemeliharaan meliputi penjarangan, pengendalian gulma, hama dan penyakit tanaman. Penjarangan dilakukan apabila benih yang tumbuh pada lubang tanam lebih dari satu bertujuan untuk mendapatkan kondisi tanaman seragam, yaitu satu tanaman perlubang tanam yang dilakukan pada 3 MST. Pengendalian gulma dilakukan secara manual dengan menggunakan cangkul pada umur 14 hari setelah tanam (HST). Penyiangan kedua dilakukan bersamaan dengan pembumbunan yang dikerjakan pada 45 HST sebelum pemupukan kedua pada 49 HST. Pengendalian hama disemprot dengan Deltamethrin 25 g/l pada umur 30 HST

Pemanenan disesuaikan dengan umur panen masing-masing galur yang diuji. Pemanenan dilakukan jika 80% tanaman dari satu galur sudah masak sempurna. Panen dilakukan bila biji sudah masak optimal yaitu dilakukan dengan mengambil beberapa biji sorgum, lalu digigit apabila waktu digigit terasa keras dan terasa tepungnya, maka biji sorgum dianggap sudah cukup tua.

Pengamatan Percobaan

Pengamatan dilakukan terhadap karakter agronomi, tiap satuan percobaan tediri dari 10 tanaman contoh. Karakter yang diamati meliputi :

1. Kehijauan daun akhir vegetatif, diukur ketika vegetatif maksimum dengan SPAD.

2. Kehijauan daun akhir generatif, diukur ketika menjelang panen dengan SPAD.


(25)

15 4. Luas daun bendera, panjang daun bendera, lebar rata-rata daun bendera, lebar

daun bendera terlebar, diukur ketika daun bendera telah membuka sempurna. 5. Diameter batang diukur pada ruas ketiga batang menggunakan jangka sorong

pada fase vegetatif maksimum.

6. Tinggi tanaman diukur dari batang utama sampai ujung malai pada saat panen. 7. Bobot biomasa yaitu bobot total tanaman segar yang terdiri atas batang, daun

dan malai yang masih terdapat biji.

8. Umur berbunga dihitung dari tanggal rata-rata tumbuh sampai saat 50% dari tanaman mulai berbunga dalam satu satuan percobaan.

9. Umur panen ditentukan saat 80% tanaman dalam satu satuan percobaan sudah masak.

10.Panjang malai diukur dari dasar malai sampai ujung malai pada saat panen. 11.Bobot malai per tanaman ditimbang setelah malai dikeringkan di bawah panas

matahari selama 3 hari.

12.Bobot biji per malai ditimbang setelah malai dikeringkan di bawah panas matahari selama 3 hari dan dirontokan.

13.Bobot 1000 biji dilakukan penimbangan setelah biji (bernas) dikeringkan di bawah panas matahari selama 3 hari dan dirontokan.

14.Warna biji, menggunakan skoring dari ICRISAT dan IBPGR.

Pengolahan Data

Data diolah dengan Uji-t karena lingkungan percobaan terlalu beragam, uji-t dilakukan untuk seluruh karakter dengan membandingkan galur dan pembanding UPCA S1 dan Numbu, menggunakan program SAS System for a windows 9.

t=( ̅̅̅̅ ̅̅̅̅

√( ⁄ ) ( ⁄ )

v=n1+n2-2, 1= 2 S2p=


(26)

Keterangan: t = nilai t

̅ = Nilai tengah galur F6

̅ = Nilai tengah kontrol (Numbu dan UPCA S1) = Jumlah ulangan galur F6

= Jumlah ulangan kontrol = Ragam galur F6

= Ragam kontrol = Ragam gabungan v = derajat bebas (Walpole, 1993)

Analisis Korelasi

Korelasi antar dua sifat dapat berupa korelasi penotipe dan korelasi genotipe. Korelasi penotipe ini selanjutnya dapat menunjukkan korelasi genotipe yang lebih memiliki arti dalam pemuliaan (Poespodarsono, 1988). Hubungan antara karakter dianalisis dengan korelasi Pearson pada taraf 5% menggunakan program Minitab. Penghitungan korelasi secara umum dapat dihitung dengan rumus :

√ dimana :

rxy = koefisien korelasi antara sifat x dan y Covxy = peragam antara sifat keduanya (x dan y) Vx = ragam sifat x


(27)

17

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum

Percobaan ini berlangsung di Desa Bagoang, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor. Tanah yang digunakan mempunyai pH berkisar 4.4 - 5.2 (Lampiran 1 dan Lampiran 2). Sebelum diolah banyak ditemukan Melastoma malabathricum. M. malabathricum atau disebut juga harendong merupakan tanaman indikator tanah masam karena tanaman ini memiliki toleransi Al tinggi, selain itu tanaman ini banyak digunakan sebagai sumber gen dan model bagi ketahanan Al terutama pada tanaman dikotil (Mushofa, 2011).

Curah hujan pada masa vegetatif sekitar 204 mm - 167 mm, memasuki masa bunting curah hujan sangat tinggi yaitu 362 mm dengan 13 hari hujan. Fase pembungaan curah hujan 206 mm dengan 9 hari hujan. Fase panen curah hujan 132 mm (BMKG, 2012). Periode awal pertumbuhan yaitu pada fase perkecambahan, seluruh sorgum dapat tumbuh dengan daya berkecambah sangat bervariasi dari 47% sampai 86% dan tidak ditemukan galur yang gagal berkecambah.

Memasuki fase generatif dan pengisian biji beberapa galur menunjukkan gejala kekurangan hara seperti daun - daun yang menguning hal ini diduga karena terjadi defisiensi hara akibat cekaman Al yang dapat ditunjukkan oleh Gambar 3. Memasuki panen, terdapat galur dan individu yang membentuk daun bendera, namun tidak membentuk malai dan pertumbuhannya berhenti ketika daun bendera telah terbentuk dan didapatkan beberapa individu yang membentuk malai, namun jumlah spikelet sterilnya lebih banyak sehingga biji yang terbentuk sedikit. Galur - galur dan individu ini terletak pada sisi kiri dan kanan setiap ulangan. Selain itu, galur yang berada disisi kanan dan kiri ulangan memiliki masa berbunga lebih lama dibandingkan galur yang berada di tengah lahan percobaan sehingga memiliki masa panen lebih lama yang menyebabkan galur ini terserang burung selain itu biji sorgum banyak yang terserang cendawan karena pada bulan Juni curah hujan 132 mm dengan 10 hari hujan yang menyebabkan kelembaban di sekitar lahan percobaan cukup tinggi untuk pertumbuhan sorgum yaitu 79%,


(28)

sedangkan kelembaban relatif yang optimum untuk pertumbuhan sorgum yaitu 20 - 40% (Ismail dan Kodir, 1977).

Gambar 2. Kondisi galur - galur sorgum umur 5 MST pada sisi kiri (A), sisi kanan (B) dan tengah lahan(C) setiap ulangan 1, 2, dan 3.

Serangan burung terjadi ketika tanaman memasuki minggu ke-15, burung menyerang malai yang telah memasuki masak susu, untuk meminimalkan serangan burung malai disungkup. Galur sorgum yang terserang cukup banyak yaitu 8 galur. Galur - galur yang terserang burung antara lain N/UP-4-3, N/UP-4-8, N/UP-89-3, N/UP-151-3, N/UP-156-8, N/UP-139-1, N/UP-166-6, dan Numbu, serangan burung sangat cepat sehingga beberapa galur tidak dapat dipanen, walaupun dapat di panen kualitasnya rendah karena rusak dan berjelaga. Serangan burung dapat menjadi masalah yang serius pada kondisi dimana tanaman merupakan hasil introduksi atau varietas yang masak lebih awal atau telat daripada varietas lokal (House, 1985).

C

B

A


(29)

19

Gambar 3. Kondisi tanaman sorgum kekurangan hara A) menunjukkan gejala defisiensi Fe. Area interveinal pada daun muda berwarna hijau pucat sampai putih, B) Defisiensi Mg. Banyak ditemukan luka pada daun berupa bercak nekrotik berwarna merah, C) dan D) Kondisi daun pada masa generatif awal karena kekurangan N.

I. Keragaan Daun Bendera Galur - Galur Sorgum, UPCA S1 dan Numbu di Tanah Masam

Daun berfungsi sebagai tempat terjadinya fotosintesis serta mengekspor hasilnya ke seluruh bagian tanaman (Darmawan dan Baharsjah, 2010). Daun bendera merupakan daun yang terakhir terbentuk berfungsi membungkus malai dan daun yang paling banyak memberikan hasil fotosintesis ke malai (Jennings et al., 1979). Terbentuknya daun bendera menandakan berakhirnya masa vegetatif.

Sifat-sifat daun merupakan salah satu sifat morfologi yang berkaitan erat dengan produktivitas tanaman (Makarim dan Suhartatik, 2009). Jennings et al. (1979) memasukkan daun sebagai organ yang harus diukur dalam pemuliaan padi

A

B


(30)

seperti ketegakan, panjang, lebar, ketebalan, warna, sudut daun, kelembutan dan penuaan daun.

Jumlah daun dihitung dari buku kedua, luas daun bendera, panjang daun bendera, lebar rata - rata daun bendera dan lebar daun bendera terlebar diukur ketika daun bendera telah terbuka sempurna.

Tabel 1. Keragaan daun bendera galur - galur sorgum, UPCA S1 dan Numbu di tanah masam

No. Galur

Jumlah daun (helai)

Luas daun bendera

(cm2)

Panjang daun bendera (cm) Lebar rata-rata daun bendera (cm) Lebar daun bendera terlebar (cm) 1. N/UP-4-3 7.20a 216.07a 93.13 2.35a 6.77 2. N/UP-4-8 7.47a 195.51 81.99 2.18 7.00 3. N/UP-17-10 8.07a 220.09 84.39 2.43a 7.18 4. N/UP-32-8 8.60a 185.69 78.38 2.22 6.33 5. N/UP-39-10 5.80b 203.73 91.55 2.17 5.95 6. N/UP-48-2 8.37a 237.95a 90.36 2.53a 7.24 7. N/UP-82-3 6.47a 197.65 84.51 2.20 6.43 8. N/UP-89-3 5.93b 231.43 93.39 2.28 6.82 9. N/UP-118-3 7.73a 254.99ab 94.99a 2.60ab 7.84b 10. N/UP-118-7 6.43a 178.45 90.34 1.96 5.91 11. N/UP-124-7 7.07a 130.86 67.59 1.89b 6.60 12. N/UP-139-1 7.93a 177.85 81.48 2.14a 6.08 13. N/UP-139-5 7.33a 273.97ab 104.65ab 2.61ab 8.07 14. N/UP-151-3 6.90a 196.28 83.30 2.34 6.91 15. N/UP-156-8 7.00a 206.46 89.85 2.18 6.39 16. N/UP-159-9 5.97b 160.25 78.53 1.93 5.79 17. N/UP-166-6 6.93a 187.06 88.15 2.05 6.19 Rataan galur 7.13 203.19 86.86 2.24 6.68 18. UPCA S1(a) 5.41 149.83 76.49 1.89 6.65 19. Numbu(b) 8.30 177.06 79.83 2.19 6.62 Keterangan: angka yang diikuti huruf a dan b menunjukkan berbeda nyata dengan pembanding

UPCA S1 (a) dan Numbu (b) berdasarkan uji-t taraf 5%.

Jumlah Daun

Galur - galur sorgum yang diuji memiliki jumlah daun berkisar 5.8 - 8.6 helai, sedangkan galur pembanding UPCA S1 5.4 helai dan Numbu 8.3 helai.


(31)

21 Berdasarkan uji- t terhadap galur - galur yang diuji (Tabel 1) menunjukkan bahwa tidak terdapat satupun galur yang memiliki jumlah daun lebih banyak dibandingkan galur pembanding terbaik Numbu di tanah masam, namun galur - galur sorgum yang diuji memiliki jumlah daun lebih banyak dibandingkan UPCA S1 kecuali galur N/UP-39-10, N/UP-89-3 dan N/UP-159-9 yang tidak berbeda nyata dengan UPCA S1.

Jumlah daun pada percobaan ini berkisar 5.8 - 8.6 helai dengan rata-rata 7.1 helai lebih rendah dibandingkan jumlah daun dari benih galur sorgum hasil seleksi pada penelitian sebelumnya yang memiliki rata - rata jumlah daun 9 helai. Namun jumlah daun yang berkurang juga terjadi pada pembanding Numbu dan UPCA S1 pada penelitian sebelumnya di tanah masam Tenjo. Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan di Tenjo pada pH 4.8 - 5.4, pembanding Numbu memiliki jumlah daun 9 helai dan UPCA S1 8 helai (Puspitasari, 2011), sedangkan berdasarkan deskripsi varietasnya Numbu memiliki jumlah daun 14 helai dan UPCA S1 memiliki jumlah daun 13 - 15 helai (Lampiran 4).

Penelitian Sunarto (1993) pada kedelai menunjukkan bahwa kejenuhan Al sebesar 25 % menyebabkan jumlah daun pada tanaman kedelai berkurang. Pada penelitian ini galur - galur diuji pada kejenuhan Al3+ mencapai 2.79 cmolc/kg. Sehingga diduga bahwa pengurangan jumlah daun pada galur - galur yang diuji disebabkan oleh cekaman tanah masam. Perkembangan daun yang sempurna dan normal dipengaruhi oleh faktor ligkungan meliputi temperatur, suplai air, kandungan mineral, dan cahaya (Nelson and Larson, 1988).

Pada penelitian ini jumlah daun dihitung pada buku kedua, padahal daun pada tanaman sorgum muncul pada setiap buku (Undersander et al., 1990). Jumlah daun pembanding Numbu pada penelitian ini tidak berbeda dengan penelitian sebelumnya yaitu 9 helai, sedangkan UPCA S1 hanya 6 helai padahal penelitian sebelumnya UPCA S1 memiliki jumlah daun 8 helai. Hal ini menunjukkan bahwa Numbu lebih toleran terhadap tanah masam dibandingkan UPCA S1.

Jumlah daun pertanaman yang sedikit memberikan kesempatan pada daun yang ada untuk menjadi source karena daun yang ada berkesempatan menerima cahaya dan menghasilkan fotosintat yang digunakan oleh biji. Pada tanaman


(32)

dengan jumlah daun banyak, kebanyakan akan ternaungi sehingga lebih banyak daun yang menjadi sink (Rostini et al., 2003).

Luas daun bendera

Luas daun bendera pada galur - galur sorgum yang diuji berkisar 130.86 - 273.97 cm, sedangkan untuk galur pembanding UPCA S1 149.8 cm dan Numbu 177.1 cm. Galur N/UP-4-3, N/UP-48-2, N/UP-118-3 dan N/UP-139-5 memiliki luas daun bendera lebih besar dibandingkan galur peka tanah masam UPCA S1. Galur N/UP-118-3 dan galur N/UP-139-5 memiliki luas daun bendera lebih besar dari galur toleran Numbu (Tabel 1).

Nelson dan Larson (1988) menyatakan bahwa jumlah kloroplast cenderung mengikuti peningkatan luas area daun sehingga jumlah klorofil juga meningkat karena semakin besar daun yang terkena cahaya dan akan berkontribusi terhadap pembentukan daun yang berwarna hijau.

Panjang daun bendera

Panjang daun bendera dari galur - galur sorgum yang diuji berkisar 67.59-104.65 cm, sedangkan galur pembanding UPCA S1 sebesar 76.5 cm dan Numbu 79.8 cm (Tabel 1). Berdasarkan uji-t, hampir seluruh galur yang diuji memiliki panjang daun bendera tidak berbeda nyata dengan pembanding UPCA S1 dan Numbu kecuali galur N/UP-118-3 dan N/UP-139-5 yang memiliki panjang daun bendera lebih panjang dibandingkan UPCA S1.

Sifat daun yang dikehendaki bukanlah daun yang panjang tetapi daun yang tumbuhnya tegak, tebal, kecil dan pendek (Makarim dan Suhartik, 2009). Daun yang terlalu panjang sulit untuk tegak. Sifat daun yang tegak setelah proses inisiasi malai merupakan karakter daun yang penting karena berasosiasi dengan hasil yang tinggi. Pada daun yang tegak memungkinkan terjadinya penetrasi dan distribusi cahaya matahari kedalam tanaman yang lebih besar sehingga aktivitas fotosintesis menjadi tinggi (Jennings et al., 1979).


(33)

23 Lebar rata-rata daun bendera dan lebar daun bendera terlebar

Lebar daun sorgum berkisar 1.5 sampai 15 cm pada bagian yang paling lebar (Goldworthy dan Fisher, 1992). Dalam percobaan ini diperoleh lebar rata-rata daun bendera galur - galur sorgum yang diuji berkisar 1.89 - 2.61 cm, sedangkan lebar daun bendera terlebarnya berkisar 5.79 - 8.07 cm (Tabel 1).

Galur pembanding UPCA S1 memiliki lebar rata-rata daun bendera 1.89 cm dan Numbu 2.19 cm. Galur N/UP-4-3, N/UP-17-10, N/UP-48-2, N/UP-118-3, N/UP-139-1 dan N/UP-139-5 memiliki lebar rata-rata daun bendera lebih besar dibandingkan UPCA S1. Galur N/UP-118-3 dan N/UP-139-5 memiliki lebar rata-rata daun bendera lebih besar dibandingkan Numbu (Tabel 1).

Galur N/UP-118-3 memiliki lebar daun bendera terlebar lebih besar dibandingkan Numbu dan tidak terdapat galur - galur sorgum yang diuji yang memiliki lebar daun bendera terlebar dibandingkan UPCA S1 (Tabel 1). Menurut Nelson dan Larson (1988), pada rerumputan daun yang lebar mengindikasikan pertumbuhan tanaman yang baik. Tanaman yang memiliki daun yang lebar mempunyai permukaan yang lebih luas dalam menerima cahaya matahari dan penyerapan CO2 oleh daun akibatnya hasil fotosintesis akan meningkat (Rostiani, 2006).

Kehijauan daun stadia akhir vegetatif dan akhir generatif

Sorgum merupakan famili Gramineae atau rerumputan. Warna merupakan indikator yang penting untuk mengetahui tentang kondisi umum rumput (Nasrullah dan Tunggalini, 2000). Warna hijau daun merupakan salah satu unsur penyusun klorofil (Darmawan dan Baharsjah, 2010).

Menurut Rostini et al. (2003) galur - galur dengan daun yang berklorofil banyak serta mampu mempertahankan keberadaan klorofil dalam periode lebih lama dapat diibaratkan sebagai sebuah pabrik di dalam tanaman yang mempunyai mesin produksi dalam jumlah banyak dan dapat bekerja dalam waktu lama, sehingga menghasilkan fotosintat yang banyak sampai mesinnya tidak berguna lagi.


(34)

Beberapa jenis sorgum hibrida memiliki mekanisme stay green (Borrell et al., 2000). Penelitian mengenai mekanisme stay green banyak dilakukan di daerah cekaman kekeringan. Gen stay green menunda daun menjadi kering, membantu proses pengisian biji, mengurangi rebah dan berasosiasi dengan produksi biomasa (Borrell et al., 2000; Borrell et al., 2001). Tanaman yang memiliki kemampuan stay green diharapkan mampu meningkatkan hasil.

Tabel 2. Selisih kehijauan daun stadia vegetatif akhir dan stadia generatif akhir galur - galur sorgum di tanah masam.

No. Galur

Kehijauan daun stadia akhir vegetatif

Kehijauan daun stadia akhir generatif

Selisih t-value

1. N/UP-4-3 43.28 32.15 11.13 -4.52

2. N/UP-4-8 40.00 32.38 7.62 -1.34tn 3. N/UP-17-10 44.38 42.56 1.87 -1.33tn 4. N/UP-32-8 44.75 35.41 9.33 -1.90tn 5. N/UP-39-10 42.78 37.63 5.16 -0.77tn 6. N/UP-48-2 41.20 31.22 9.97 -2.17tn 7. N/UP-82-3 45.71 37.33 8.37 -5.38 8. N/UP-89-3 38.98 34.35 4.63 -1.74tn 9. N/UP-118-3 44.31 39.86 4.45 -2.45tn 10. N/UP-118-7 42.54 33.76 8.78 -1.74tn 11. N/UP-124-7 38.31 33.84 4.46 -0.91tn 12. N/UP-139-1 38.37 30.00 8.36 -1.78tn 13. N/UP-139-5 41.71 23.40 18.31 -1.90tn 14. N/UP-151-3 44.01 37.27 6.70 -1.39tn 15. N/UP-156-8 44.82 38.35 7.04 -1.79tn 16. N/UP-159-9 42.20 37.03 5.17 -0.94tn 17. N/UP-166-6 48.99 43.14 5.85 -1.24tn Keterangan: tn = tidak berbeda nyata antara kehijauan daun akhir vegetatif dan akhir generatif

berdasarkan uji-t taraf 5%.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa hampir seluruh galur yang diuji memiliki kehijauan daun akhir generatif tidak berbeda dengan kehijauan daun pada stadia vegetatif maksimum yang terlihat dari nilai selisihnya kecuali galur N/UP-4-3 dan N/UP-82-3 memiliki selisih yang berbeda nyata antar kehijauan daun stadia generatif dan stadia vegetatif maksimum (Tabel 2).


(35)

25 Galur - galur sorgum yang memiliki mekanisme stay green sangat penting di Indonesia karena gen stay green menunda daun menjadi kering setelah panen sehingga hijauannya dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak.

II. Keragaan Numbu dan UPCA S1 di Tanah Masam

Pada percobaan ini Numbu dan UPCA S1 digunakan sebagai varietas pembanding. Penggunaan Numbu sebagai pembanding karena Numbu merupakan varietas yang toleran terhadap tanah masam, sedangkan UPCA S1 merupakan tetua peka tanah masam, hal ini berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan di tanah masam.

Tabel 3. Hasil uji-t Numbu dan UPCA S1 di tanah masam.

No. Karakter Numbu UPCA S1 t-test

1. Jumlah Daun (helai) 8.30 5.41 6.96* 2. Luas daun bendera (cm) 177.06 149.83 0.75tn 3. Panjang daun bendera (cm) 79.83 76.49 0.36 tn 4. Lebar rata-rata daun bendera (cm) 2.19 1.89 1.77 tn 5. Lebar daun bendera terlebar (cm) 6.62 6.65 0.03 tn 6. Kehijauan daun akhir vegetatif 39.17 41.29 1.39 tn 7. Kehijauan daun akhir generatif 28.31 42.59 7.76* 8. Tinggi tanaman (cm) 182.39 146.49 2.55* 9. Diameter batang (cm) 1.22 1.03 2.14* 10. Bobot biomasa (g) 266.50 162.73 2.59* 11. Umur berbunga 50% (hst) 70.00 76.00 -0.07 tn 12. Umur panen 80% (hst) 111.00 104.00 -0.16 tn 13. Panjang malai (cm) 16.20 16.68 0.61 tn 14. Bobot malai kering (g) 35.86 28.99 1.12 tn 15. Bobot biji permalai (g) 31.43 27.60 0.60 tn 16. Bobot 1000 butir (g) 33.74 28.30 3.36* Keterangan : *)= berbeda nyata pada taraf 5% berdasarkan uji-t, tn= tidak berbeda nyata pada

taraf 5% berdasarkan uji-t

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Isnaini (2010) menunjukkan bahwa tanaman UPCA S1 pada stadia bibit di kondisi tercekam Al memiliki performa tajuk pendek, daun kecil dan meruncing (tajam) dengan akar pendek, merah dan


(36)

tebal, sedangkan Numbu memiliki performa tajuk tumbuh normal, daun berbentuk pita dengan akar yang panjang, putih dan rimbun. Numbu memiliki nilai tengah yang lebih tinggi dibandingkan dengan UPCA S1 pada semua karakter fase bibit (panjang tajuk, panjang akar, bobot kering tajuk, bobot kering akar, nisbah tajuk/akar, dan bobot tajuk/akar). Penelitian yang dilakukan oleh Agustina (2011) menunjukkan bahwa Numbu memiliki sistem perakaran yang lebih baik dibandingkan genotipe peka pada cekaman Al yang ditunjukkan oleh keragaan bobot kering akar, panjang akar, panjang tajuk dan bobot kering tajuk.

Hasil uji-t pada taraf 5% (Tabel 3) menunjukkan bahwa tetua Numbu berbeda secara statistik untuk karakter jumlah daun, tinggi tanaman, diameter batang, bobot biomasa, dan bobot 1000 butir dibandingkan UPCA S1. Percobaan yang dilakukan oleh Gandhi (2012) di lahan optimum menunjukkan bahwa tinggi tanaman, lingkar batang, dan bobot 1000 biji Numbu lebih baik dibandingkan UPCA S1, sedangkan untuk bobot biji/malai tidak nyata. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh percobaan Sungkono (2010) dan Puspitasari (2011) yang menunjukkan bahwa Numbu memiliki keragaan lebih baik di tanah masam untuk karakter tinggi tanaman, diameter batang, bobot biomasa dan bobot biji/malai dibandingkan UPCA S1.

Karakter jumlah daun, tinggi tanaman, umur panen, panjang malai, bobot 1000 biji pada varietas Numbu yang diuji memiliki keragaan yang lebih rendah dibandingkan deskripsi varietas Numbu pada Lampiran 4. Hal yang sama juga terjadi pada UPCA S1 dimana karakter jumlah daun, tinggi tanaman, panjang malai, bobot biji/malai, dan bobot 1000 biji memiliki keragaan yang lebih rendah dibandingkan deskripsi varietas UPCA S1 pada Lampiran 4. Hal ini menunjukkan bahwa kedua pembanding mengalami cekaman tanah masam, namun galur Numbu memiliki keragaan tanaman yang lebih baik terhadap tanah masam sehingga pemilihan Numbu sebagai varietas pembanding tahan tanah masam dan UPCA S1 sebagai varietas peka tanah masam sudah tepat.


(37)

27 III. Keragaan Karakter Agronomi Galur - Galur Sorgum, UPCA S1,

Numbu di Tanah Masam

Pertumbuhan tanaman dapat diukur dengan berbagai cara diantaranya adalah dengan mengukur karakter agronomi. Karakter agronomi yang diamati pada percobaan ini antara lain diameter batang, tinggi tanaman, bobot biomasa, umur berbunga 50% dan umur panen 80%.

Tabel 4. Keragaan karakter agronomi galur - galur sorgum, UPCA S1 dan Numbu di tanah masam.

No. Galur Diameter batang (cm)

Tinggi tanaman (cm)

Bobot biomasa (g)

1. N/UP-4-3 1.14 147.96b 228.50

2. N/UP-4-8 1.20a 180.50a 257.33a 3. N/UP-17-10 1.27a 175.62ab 267.33a 4. N/UP-32-8 1.38a 224.74ab 375.00ab 5. N/UP-39-10 1.20a 183.26a 283.50a 6. N/UP-48-2 1.45ab 197.87a 355.67a 7. N/UP-82-3 1.27a 179.27a 277.83a 8. N/UP-89-3 1.18 163.38 251.50a 9. N/UP-118-3 1.63ab 206.42a 457.33ab 10. N/UP-118-7 1.15 146.28ab 211.33 11. N/UP-124-7 1.11 181.05a 216.00a 12. N/UP-139-1 1.22a 166.91 252.33a 13. N/UP-139-5 1.35ab 169.54a 300.67a 14. N/UP-151-3 1.11 169.21 236.67a 15. N/UP-156-8 1.23a 181.36a 257.51a 16. N/UP-159-9 1.07 181.13a 200.73 17. N/UP-166-6 1.15a 154.09 215.33 Rataan galur 1.24 176.98 273.20 18. UPCA S1(a) 1.03 146.49 149.83 19. Numbu(b) 1.22 182.39 266.50

Keterangan: angka yang diikuti huruf a dan b menunjukkan berbeda nyata dengan pembanding UPCA S1 (a) dan Numbu (b) berdasarkan uji-t taraf 5%.

Diameter batang diamati saat vegetatif maksimum. Diameter batang diukur pada ruas ketiga. Tinggi tanaman dan bobot biomasa diukur ketika panen. Tinggi tanaman diukur dari atas permukaan tanah hingga ujung malai, bobot


(38)

biomasa ditimbang langsung saat panen tanpa dijemur terlebih dahulu. Umur berbunga 50%, dihitung ketika 50% tanaman dalam satu satuan percobaan telah berbunga. Umur panen 80% sorgum ditentukan dengan cara menggigit biji sorgum, apabila telah terasa tepungnya maka sorgum siap untuk dipanen.

Diameter Batang

Batang merupakan organ tempat berlangsungnya fotosintesis dan cadangan makanan (Brown, 1988). Diameter batang besar menunjukkan akumulasi hasil fotosintesis yang besar sebagai cadangan makanan dalam pembentukan biji (Goldsworthy and Fisher, 1992).

Diameter batang pada percobaan ini berkisar 1.07 - 1.63 cm dengan nilai tengah 1.24 cm, sedangkan galur pembanding UPCA S1 1.03 dan Numbu 1.22 cm. Galur N/UP-4-8, N/UP-17-10, N/UP-32-8, N/UP-39-10, N/UP-48-2, N/UP-82-3, N/UP-118-3, N/UP-139-1, N/UP-139-5, dan N/UP-156-8 adalah galur yang memiliki diameter batang lebih besar dibandingkan tetua peka tanah masam UPCA S1. Galur N/UP-48-2, N/UP-118-3 dan N/UP-139-5 memiliki diameter batang lebih besar dibandingkan tetua toleran tanah masam Numbu (Tabel 4). Diameter batang yang kecil cenderung mudah rebah dan dapat menyebabkan berkurangnya hasil (Okiyo et al., 2010).

Tinggi Tanaman

Pertumbuhan selalu diidentikan dengan pertambahan jumlah, ukuran maupun bobot (Brown, 1988). Dalam percobaan ini diperoleh tinggi tanaman pada galur - galur sorgum yang diuji berkisar 146.28 - 224.74 cm dengan nilai tengah 176.98 cm (Tabel 4), sedangkan galur - galur sorgum hasil seleksi pada penelitian sebelumnya memiliki kisaran tinggi tanaman 170 - 180 cm dengan nilai tengah 175 cm.

Perbedaan tinggi tanaman antara galur - galur yang diuji dan benih galur yang terseleksi dapat diakibatkan oleh perbedaan pH tanah. Galur yang terseleksi ditanam di tanah masam Tenjo pada pH 4.8 - 5.4 (Puspitasari, 2011), sedangkan galur - galur sorgum yang diuji ditanam di tanah masam Bagoang pada pH lebih


(39)

29 rendah berkisar pH 4.4 - 5.2. Namun nilai tengah galur - galur yang diuji dengan nilai tengah benih sorgum yang terseleksi tidak berbeda jauh 176.98 cm dan 175 cm.

Kisaran nilai tinggi tanaman pada galur - galur yang diuji diharapkan disebabkan oleh perbedaan sifat toleransinya terhadap tanah masam karena galur - galur yang diiuji merupakan galur - galur terbaik hasil seleksi dari penelitian sebelumnya. Penelitian yang dilakukan oleh Flores et al. (1991) menunjukkan bahwa tinggi tanaman sorgum pada hibrida hasil persilangan antara tetua yang peka tanah masam lebih pendek dibandingkan hibrida hasil persilangan tetua yang tahan tanah masam pada kejenuhaan Al tinggi. Perbedaan ini disebabkan karena adanya interaksi antara gen yang mengontrol tinggi tanaman sorgum dan karena adanya efek dari kejenuhan Al yang tinggi sehingga tanaman yang kerdil merupakan gejala utama tanaman peka terhadap cekaman tanah masam.

Galur N/UP-4-8, N/UP-17-10, N/UP-32-8, N/UP-39-10, N/UP-48-2, N/UP-82-3, N/UP-118-3, N/UP-124,7, N/UP-139-5, N/UP-156-8 dan N/UP-159-9 memiliki nilai tengah tinggi tanaman lebih tinggi dibandingkan UPCA S1 (Tabel 4). Galur N/UP-32-8 merupakan galur yang memiliki tinggi tanaman lebih tinggi dari Numbu. Namun ciri varietas unggul yang dikehendaki pada pemuliaan sorgum bukanlah tanaman yang tinggi melainkan tanaman dengan tinggi tanaman berkisar 100 - 140 cm (Roesmarkan et al.,1985).

Tinggi tanaman yang dikehendaki pada penelitian ini adalah tinggi tanaman yang lebih rendah dibandingkan pembanding UPCA S1, berdasarkan uji-t hanya satu galur yang memiliki tinggi tanaman lebih rendah dibandingkan UPCA S1 yaitu N/UP-118-7. Namun galur N/UP-4-3 dan galur N/UP-166-6 menunjukkan tidak berbeda nyata dengan pembanding UPCA S1 sehingga ketiga galur ini berpotensi untuk dikembangkan.

Percobaan Sungkono di Lampung (2010) menunjukkan bahwa petani menempatkan tingkat kerebahan sebagai karakter seleksi pertama artinya petani tidak akan menanam sorgum yang mudah rebah. Tingkat kerebahan berhubungan dengan tinggi tanaman, selain itu batang yang terlalu tinggi diduga boros asimilat dan menyebabkan pertumbuhan batang bersaing dengan perkembangan malai dan


(40)

ini akan membatasi pertumbuhan malai karena berhubungan dengan keseimbangan sink dan source (Goldworthy dan Fisher, 1992). Hasil sorgum akan berkurang sebesar 18% ketika terjadi rebah pada saat berbunga dan dapat meningkat menjadi 30% ketika terjadi patah pada batang (Maranville dan Clegg, 1984).

Bobot Biomasa

Bobot biomasa merupakan karakter seleksi yang penting di tanah masam karena mewakili akumulasi pertumbuhan dan perkembangan fase vegetatif (Sungkono, 2009). Produksi biomasa yang rendah dapat menyebabkan hasil yang rendah (Peng et al., 2004).

Bobot biomasa diperoleh dengan menimbang seluruh bagian tanaman

kecuali akar. Dalam percobaan ini diperoleh kisaran bobot biomasa 200.73 - 457.33 g dengan nilai tengah 273.2 g lebih rendah dibandingkan benih

sorgum hasil seleksi pada percobaan sebelumnya yang memiliki nilai tengah bobot biomasa 534 g. Penurunan nilai bobot biomasa juga terjadi pada pembanding UPCA S1 dan Numbu. UPCA S1 memiliki bobot biomasa 149.83 g dan Numbu 266.50 g pada percobaan ini lebih rendah dibandingkan penelitian sebelumnya di tanah masam dimana UPCA S1 memiliki bobot bomasa 298 g dan Numbu 439 g (Puspitasari, 2011). Penelitian yang dilakukan oleh Tan dan Keltjens (1990) menunjukkan bahwa tingkat Al 0.4 mg Al L-1 dapat menyebabkan bobot biomasa sorgum berkurang sekitar 64 - 77%.

Galur N/UP-4-8, N/UP-17-10, N/UP-32-8, N/UP-39-10, N/UP-48-2, N/UP-82-3, N/UP-89-3, N/UP-118-3, N/UP-124-7, N/UP-139-1, N/UP-139-5, N/UP-151-3, N/UP-156-8 memiliki bobot biomasa lebih besar dibandingkan galur peka tanah masam UPCA S1. Galur N/UP-32-8 dan N/UP-118-3 merupakan galur yang memiliki bobot biomasa lebih besar dibandingkan Numbu (Tabel 4).

Keragaan Umur Berbunga dan Umur Panen

Berdasarkan uji-t (Tabel 5) karakter umur berbunga 50% dan umur panen 80% dalam satuan percobaan tidak berbeda dengan UPCA S1 dan Numbu.


(41)

31

Galur - galur sorgum yang diuji memiliki umur berbunga 50% berkisar 64 - 87.67 HST dengan rata-rata 72.61 HST, sedangkan pembanding UPCA S1

memiliki umur berbunga 76 HST dan Numbu 69.67 HST.

Tabel 5. Keragaan umur berbunga dan umur panen galur - galur sorgum, UPCA S1 dan Numbu di tanah masam.

No. Galur Umur berbunga 50% Umur panen 80%

1. N/UP-4-3 87.67 113.33

2. N/UP-4-8 68.67 109.33

3. N/UP-17-10 75.00 96.67

4. N/UP-32-8 76.00 105.33

5. N/UP-39-10 64.00 101.33

6. N/UP-48-2 79.67 113.33

7. N/UP-82-3 69.00 113.00

8. N/UP-89-3 68.67 101.33

9. N/UP-118-3 64.67 106.00

10. N/UP-118-7 74.00 108.67

11. N/UP-124-7 73.33 97.33

12. N/UP-139-1 70.50 102.50

13. N/UP-139-5 69.50 99.50

14. N/UP-151-3 71.33 102.67

15. N/UP-156-8 87.00 103.67

16. N/UP-159-9 68.33 116.67

17. N/UP-166-6 67.00 104.00

Rata-rata 72.61 105.69

18. Numbu 69.67 110.67

19. UPCA S1 76.00 103.50

Keterangan: semua galur memiliki umur berbunga dan umur panen tidak berbeda nyata dengan pembanding UPCA S1 dan Numbi pada taraf 5% berdasarkan uji-t.

UPCA S1 mengalami masa berbunga lebih lama dibandingkan deskripsi varietasnya yaitu 55 - 60 HST, sedangkan Numbu tidak berbeda jauh dengan deskripsi varietasnya yaitu 69 HST (Lampiran 4). Hal ini karena UPCA S1 merupakan varietas peka, sedangkan Numbu merupakan varietas yang toleran terhadap tanah masam. Percobaan ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Flores et al. (1991) yang menunjukkan bahwa tetua dan turunan F2 (Hibrida)


(42)

sorgum yang peka terhadap kejenuhan Al tinggi mengalami penundaan waktu berbunga dibandingkan Al rendah.

Berdasarkan Laporan Akhir Tahunan Pelestarian Plasma Nutfah Tanaman Pangan 1999/2000 dalam Yusro (2001). Terdapat delapan galur yang memiliki umur berbunga dengan klasifikasi sedang (61 - 70 HST), tujuh galur berumur dalam (71 - 80 HST) dan dua galur sangat dalam (>85 HST). Galur yang memiliki umur berbunga sedang yaitu N/UP-4-3, N/UP-39-10, N/UP-82-3, N/UP-89-3, N/UP-118-3, N/UP-139-5, dan N/UP-159-9.

Galur - galur sorgum yang diuji memiliki umur panen 80% berkisar 96.67 - 116.67 HST dengan nilai tengah 105.69 HST, sedangkan UPCA S1 103.50 HST dan Numbu 110.67 HST. Numbu dan UPCA S1 yang diuji mengalami umur panen yang lebih lama dibandingkan deskripsi varietasnya yaitu 90-100 HST untuk UPCA S1 dan 100-105 HST untuk Numbu.

Berdasarkan Laporan Akhir Tahunan Pelestarian Plasma Nutfah Tanaman Pangan 1999/2000 dalam Yusro (2001) menunjukkan bahwa galur - galur yang diuji memiliki umur panen sedang sampai sangat dalam. Terdapat tiga galur yang memiliki umur panen sedang (91-100 HST) yaitu N/UP-17-10, N/UP-124-7, N/UP-139-5, sepuluh galur berumur dalam (101-110 HST) dan empat galur sangat dalam (>110).

Ciri varietas unggul yang dikehendaki pada pemuliaan sorgum antara lain umur yang genjah berkisar 70 - 80 (HST), dengan asumsi lebih cepat panen (Roesmarkan et al., 1985), namun seluruh galur yang diuji di tanah masam memiliki umur panen diatas 90 HST.

IV. Keragaan Komponen Hasil dan Hasil Galur - Galur Sorgum, UPCA S1 dan Numbu di Tanah Masam

Komponen hasil yang diamati yaitu bobot malai kering, panjang malai dan bobot 1000 biji, sedangkan hasil yang diamati adalah bobot biji/malai. Panjang malai diamati ketika panen, bobot malai kering, bobot 1000 biji dan bobot biji/malai diamati setelah malai dijemur selama tiga hari di bawah sinar matahari. Selain itu juga dilakukan pengamatan terhadap warna biji menggunakan skoring menurut IBPGR dan ICRISAT.


(43)

33 Tabel 6. Keragaan komponen hasil dan hasil galur - galur sorgum, UPCA S1 dan Numbu di tanah masam.

No. Galur

Panjang malai (cm) Bobot malai kering (g) Bobot 1000 biji (g) Bobot biji/malai (g) 1. N/UP-4-3 14.97ab 37.06 26.55b 29.55 2. N/UP-4-8 14.98ab 41.70a 26.84ab 34.53 3. N/UP-17-10 16.63 46.39a 30.18 34.73 4. N/UP-32-8 17.00 59.09ab 35.67a 45.36ab 5. N/UP-39-10 16.67 43.50a 35.20a 35.03 6. N/UP-48-2 19.76ab 65.97ab 30.73ab 49.70ab 7. N/UP-82-3 16.25 47.79a 29.50b 39.25a 8. N/UP-89-3 15.19a 42.44a 29.74b 36.62a 9. N/UP-118-3 17.50b 81.49ab 25.35ab 66.09ab 10. N/UP-118-7 15.61 40.57 27.75b 34.05 11. N/UP-124-7 16.11 41.77a 27.85b 35.41

12. N/UP-139-1 15.20 33.62 29.66 35.75

13. N/UP-139-5 16.57 42.54a 29.20b 36.44a 14. N/UP-151-3 16.43 41.70a 26.72b 34.62 15. N/UP-156-8 16.98 35.79 29.43b 27.59 16. N/UP-159-9 19.12ab 40.63a 26.56b 34.74

17. N/UP-166-6 16.86 34.86 27.01 28.02

Rataan galur 16.58 45.62 29.05 37.51

18. UPCA S1 16.68 28.99 28.30 27.60

19. Numbu 16.20 35.86 33.74 31.43

Keterangan: angka yang diikuti huruf a dan b menunjukkan berbeda nyata dengan pembanding UPCA S1 (a) dan Numbu (b) berdasarkan uji- t taraf 5%.

Panjang Malai

Malai merupakan sekumpulan spikelet (bulir), tempat terbentuknya biji sorgum. Kisaran panjang malai galur sorgum yang diuji yaitu 14.97 - 19.76 cm dengan nilai tengah 16.59 cm sedangkan pembanding UPCA S1 memiliki panjang malai 16.68 dan Numbu 16.20 cm (Tabel 6). Panjang malai Numbu dan UPCA S1 mengalami penghambatan pertumbuhan, berdasarkan deskripsi varietasnya UPCA S1 memiliki panjang malai berkisar 20 - 22 cm dan Numbu berkisar 22 - 23 cm (Lampiran 4).


(44)

Panjang malai galur - galur yang diuji lebih rendah dibandingkan galur hasil seleksi pada percobaan sebelumnya yang memiliki nilai tengah panjang malai 20 cm, Numbu 19.55 cm dan UPCA S1 20.86 cm. Pertumbuhan panjang malai yang terhambat diduga karena cekaman tanah masam. Penelitian yang dilakukan oleh Wirnas et al. (2002) pada padi menunjukkan bahwa cekaman Al menyebabkan berkurangnya panjang malai sehingga membatasi ruang untuk pembentukan biji yang berpengaruh terhadap hasil.

Galur N/UP-48-2 dan N/UP-159-9 memiliki panjang malai lebih baik dibandingkan tetua UPCA S1 sedangkan galur N/UP-4-3, N/UP-4-8, N/UP-89-3 memiliki panjang malai lebih rendah dibandingkan UPCA S1. Galur N/UP-48-2, N/UP-118-3 dan N/UP-159-9 memiliki panjang malai lebih baik dibandingkan Numbu.

Ukuran malai ditentukan oleh jumlah spikelet fertil yang sangat dipengaruhi oleh ukuran tanaman dan laju penimbunaan bahan kering selama tahapan pembentukan malai (Goldworthy and Fisher, 1992). Sehingga bentuk cekaman masam pada tahapan pembentukan malai akan menghambat pertumbuhan malai.

Bobot Malai Kering

Bobot malai kering galur – galur sorgum yang diuji dalam percobaan ini bekisar 33.62 - 81.49 g dengan nilai tengah 45.62 g. Pembanding UPCA S1 28.99 g dan Numbu 35.86 g.

Galur N/UP-4-8, N/UP-7-10, N/UP-32-8, N/UP-39-10, N/UP-48-2, N/UP-82-3, N/UP-89-3, N/UP-118-3, N/UP-124-7, N/UP-139-5, N/UP-151-3, dan N/UP-159-9 memiliki bobot malai kering lebih besar dibandingkan galur peka tanah masam UPCA S1 (Tabel 6). Galur N/UP-32-8, N/UP-48-2 dan N/UP-118-3 merupakan galur yang memiliki bobot malai kering lebih tinggi dibandingkan galur toleran Numbu.


(45)

35 Bobot Biji per Malai

Sungkono et al. (2009) menyatakan bahwa bobot biji permalai mewakili akumulasi pertumbuhan dan perkembangan fase generatif dan merupakan hasil per individu tanaman sehingga menjadi karakter yang sangat penting dalam penentuan hasil biji persatuan luas.

Bobot biji/malai galur - galur sorgum yang diuji berkisar 27.59 - 66.09 g dengan nilai tengah 37.51 g. Galur pembanding UPCA S1 memiliki bobot biji/malai 27.60 g sedangkan Numbu 31.43 g. Galur N/UP-32-8, N/UP-48-2, N/UP-82-3, N/UP-89-3, N/UP-118-3 dan N/UP-139-5 memiliki bobot biji/malai lebih besar dari UPCA S1 (Tabel 6). Galur N/UP-32-8, N/UP-48-2 dan N/UP-118-3 memiliki bobot biji/malai lebih besar dibandingkan Numbu sedangkan galur yang lainnya menunjukkan tidak berbeda nyata dengan pembanding.

Bobot biji/malai galur - galur sorgum yang diuji sekitar 25.84 - 66.09 g dengan nilai tengah 37.51 g lebih rendah dibandingkan benih galur hasil seleksi pada percobaan sebelumnya yang memiliki bobot biji/malai sekitar 80 - 100 g dengan nilai tengah 88.35 g. Hal ini diduga karena cekaman Al (Blancheteu et al., 2008).

Galur - galur sorgum yang diuji ditanam pada pH 4.4 - 5.2 lebih rendah dibandingkan galur - galur yang terseleksi yang ditanam pada pH 4.8 - 5.4. Perbedaan pH tanah diduga menjadi penyebab berkurangnya bobot biji /malai pada galur - galur yang diuji. Sungkono (2010) menyatakan keragaan pertumbuhan tanaman mengikuti hubungan source (sumber) dan sink (penampungan). Jika source terganggu akibat adanya cekaman Al dan defisiensi hara pada tanah masam, maka kapasitas sink tidak akan optimal. Secara umum karakter jumlah daun, tinggi tanaman, diameter batang dan bobot biomasa pada galur - galur sorgum yang diuji memiliki keragaan lebih rendah dibandingkan keragaan galur - galur sorgum hasil seleksi pada percobaan sebelumnya. Cekaman lingkungan selama proses inisiasi bunga atau selama proses meiosis sangat mudah menyebabkan pengurangan terhadap hasil (Stenhouse dan Tippayaruk, 1996).


(46)

Bobot Seribu Butir

Bobot seribu butir pada percobaan ini berkisar 25.35 - 35.67 g dengan nilai tengah 29.05 g (Tabel 6). Bobot seribu butir biji yang tinggi menunjukkan kemampuan galur dalam mengakumulasi fotosintat ke sink yang sangat baik pada tanah masam (Dermawan, 2011). Hal ini terlihat dari bobot seribu butir galur toleran Numbu yang besar yaitu 33.74 g dibandingkan galur peka UPCA S1 28.30 g.

Berdasarkan hasil uji-t, secara umum galur - galur sorgum yang diuji memiliki bobot seribu butir lebih rendah dibandingkan Numbu kecuali galur N/UP-32-8 dan N/UP-39-10 yang tidak berbeda nyata dengan Numbu. Galur N/UP-82-3, N/UP-139-5 dan N/UP-159-9 mempunyai bobot seribu biji lebih tinggi dibandingan UPCA S1.

Biji yang berukuran besar ditunjukkan dengan bobot biji yang berat dan umumnya dimanfaatkan sebagai sumber bahan pangan karena kulit bijinya lebih mudah disosoh dibandingkan biji berukuran kecil, sedangkan untuk pakan ternak digunakan biji berukuran kecil (Yusro, 2001).

Keragaan Karakter Warna Biji Galur – Galur Sorgum di Tanah Masam Warna dan tektur endosperma biji merupakan karakter utama yang harus diperhatikan oleh pemulia untuk meningkatkan kualitas biji sorgum sebagai pangan. Warna biji gelap cenderung memiliki kandungan tanin tinggi (Poehlman dan Sleper, 1996). Warna biji galur - galur sorgum yang diuji

ditentukan dengan menggunakan skor menurut IBPGR dan ICRISAT. Skor 1=putih, 2=kuning, 3=merah, 4=coklat, 5=kuning tua (buff), 6= lainnya

(IBPGR dan ICRISAT, 1993) sehingga warna dapat dijadikan karakter seleksi untuk sorgum pangan dan pakan.

Galur - galur sorgum yang diuji memiliki warna biji yang beragam dan tidak sesuai dengan skor warna menurut IBRGR dan ICRISAT (Tabel 7). Hal ini karena galur - galur sorgum yang diuji merupakan hasil persilangan antara Numbu dan UPCA S1. Numbu memiliki warna biji krem sedangkan UPCA S1 memiliki warna merah keputih-putihan. Berdasarkan hasil pengamatan pada galur


(47)

37 sorgum yang diuji-tidak terdapat galur yang memiliki warna mendekati warna tetua Numbu, hampir seluruh galur sorgum yang diuji memilki kombinasi warna dengan merah. Hal ini menunjukkan warna merah merupakan karakter yang dominan.

Tabel 7. Keragaan karakter warna biji galur - galur sorgum di tanah masam

No. Galur Warna biji

1. N/UP-4-3, N/UP-17-10, 48-2, 82-3, 89-3, 118-3, 118-7 dan N/UP-124-7

Putih kemerahan

2. N/UP-48-2 dan N/UP-159-9 Putih

kekuningan

3. 4-8, 39-10, N/UP-139-1, N/UP-139-5.

Coklat kemerahan

4. N/UP-151-3 dan N/UP-166-6 Coklat

kekuningan

Galur - galur yang memiliki warna kombinasi dengan merah berpotensi untuk dikembangkan sebagai galur yang sesuai untuk pangan dan pakan. Tipe sorgum yang memiliki perikarp putih-merah tidak mempunyai atau dapat diabaikan kandungan taninnya (House, 1985).

Galur - galur yang sesuai untuk pangan dan pakan antara lain N/UP-4-3, N/UP-17-10, N/UP-48-2, N/UP-82-3, N/UP-118-3, N/UP-118-7, N/UP-124-7, N/UP-139-1, N/UP-156-8, dan N/UP-159-9, namun diperlukan uji-tanin karena


(1)

Lampiran 2. Analisis tanah Desa Bagoang, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor, ke – 2


(2)

Lampiran 3. Data iklim di Jasinga tahun 2012

BULAN TEMPERATUR (0C)

KELEMBABAN RATA2 (%)

Curah Hujan HH (Hari) RR (mm)

FEB 25.6 87 12 204

MAR 26.1 85 13 167

APR 26 86 13 362

MEI 26.1 85 9 206

JUNI 26.2 79 10 132

JML 130 422 57 1071

RATA2 26 84.4 11.4 214.2

Sumber : BMKG, 2012

Stasiun Klimatologi Darmaga Bogor Elevasi : 190 m

Lokasi : 06.33 LS : 106.45 BT

Keterangan

RR : Curah Hujan ditakar di PTPN VIII, Jasinga. HH : Hari Hujan


(3)

Lampiran 4. Deskripsi varietas UPCA S1 dan Numbu (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, 2009)

UPCA S1 Numbu

No silsilah 56B -

Asal Filipina India

Umur Berbunga 55-60 hari 69 hari Umur Panen 90-100 hari 100-105 hari Tipe Tanaman Tidak beranak, tidak

bercabang, berbatang kokoh, dan tahan rebah.

Tidak beranak

Bentuk daun - Pita

Warna Daun Hijau cerah - Panjang Daun 50-70 cm -

Lebar Daun 7-9 cm -

Panjang Malai 20-22 cm 22-23 cm Jumlah Duan/batang 13-15 helai 14 helai Tinggi Tanaman 140-160 cm 187 cm Tipe Malai Setengah kompak, tegak,

berbentuk elip

Berbentuk elip, tegak, kompak, warna krem

Sifat Sekam Warna hitam, menutup sepertiga bagian biji dan berbulu halus

Warna coklat muda menutup sepertiga bagian biji

Bobot biji/malai 40 g -

Bobot 100 butir 2.4 g 3.6-3.7 g Sifat biji Warna putih kapur, bentuk

bulat, mudah rontok dan disosoh.

Mudah rontok dan disosoh, bentuk bulat lonjong

Hasil rata-rata 4.0 ton/ha 3.11 ton/ha

Potensi hasil - -

Kadar Protein 9.0% 9.12% Kadar phosphor 0.116 -

Kadar lemak 5.7% 3.94%

Kadar karbohidrat 66.5% 84.58% Kadar kalsium 0.091% - Kadar magnesium 0.205% - Kadar tannin 0.251% -

Rasa Kurang -

Keterangan Cocok untuk lahan dataran rendah, pH Netral,banyak berkembang di Jawa Tengah

Dapat ditanam dilahan sawah dan tegalan.


(4)

Lampiran 5. Denah petak percobaan

N/UP-166-6

Ulan

gan

1

N/UP-139-1

Ulan

gan

2

N/UP-151-3

Ulan

gan

3

N/UP-4-3 N/UP-82-3 N/UP-156-8

N/UP-48-2 UPCA S1 NUMBU

U

N/UP-159-9 N/UP-124-7 N/UP-17-10

N/UP-139-5 N/UP-118-7 N/UP-89-3

N/UP-82-3 N/UP-4-8 N/UP-39-10

N/UP-118-3 N/UP-4-3 N/UP-166-6

UPCA S1 N/UP-151-3 N/UP-32-8

N/UP-156-8 N/UP-118-3 N/UP-139-1

N/UP-89-3 N/UP-139-5 N/UP-48-2

N/UP-39-10 NUMBU N/UP-82-3

N/UP-32-8 N/UP-17-10 N/UP-159-9

N/UP-4-8 N/UP-48-2 N/UP-124-7

N/UP-118-7 N/UP-166-6 N/UP-118-3

N/UP-151-3 N/UP-32-8 N/UP-4-3

N/UP-139-1 N/UP-39-10 UPCA S1

NUMBU N/UP-156-8 N/UP-4-8

N/UP-17-10 N/UP-159-9 N/UP-139-5

N/UP-124-7 N/UP-89-3 N/UP-118-7

0.7 m

0.7 m 2.1 m


(5)

Lampiran 6. Korelasi antar karakter galur - galur sorgum di tanah masam

JD LDB PDB LRDB LDBT KDAV KDAG TT DB BBM UB 50% UP80% PM BMK B1000 JD 1.000

LDB 0.367 1.000

PDB 0.037 0.862** 1.000

LRDB 0.106 0.199 0.105 1.000

LMDB 0.419 0.625** 0.331 0.012 `1.000

KDAV -0.053 0.185 0.328 -0.038 -0.200 1.000

KDAG 0.474* -0.262 -0.132 0.017 0.466* 0.603** 1.000

TT 0.636** 0.251 -0.053 0.056 0.238 0.127 -0.140 1.000

DB 0.648** 0.778** 0.536* 0.030 0.636** 0.196 -0.254 0.664** 1.000

BBM 0.638** 0.703** 0.476* 0.041 0.537* 0.212 -0.228 0.777** 0.966** 1.000

UB 0.138 -0.036 0.020 0.139 -0.053 0.060 -0.051 -0.265 -0.155 -0.252 1.000

UP -0.074 -0.063 0.057 0.242 -0.275 0.104 -0.134 -0.073 -0.084 -0.080 0.129 1.000

PM 0.152 0.140 0.078 -0.176 0.068 0.320 0.147 0.485* 0.361 0.373 -0.115 0.210 1.000

BMK 0.496 0.655** 0.427 0.251 0.538* 0.228 -0.072 0.668** 0.891** 0.903** -0.290 0.019 0.479* 1.000

B1000 0.266 -0.014 -0.077 0.035 -0.236 -0.070 -0.159 0.433 0.083 0.195 -0.039 -0.145 0.008 -0.033 1.000 BBJ 0.442 0.613** 0.381 0.170 0.572* 0.203 -0.089 0.671** 0.868** 0.894** -0.391 -0.013 0.470* 0.986** -0.033 Keterangan: JD = Jumlah daun, LDB = Luas daun bendera, PDB = Panjang daun bendera, LRDB = Lebar rata-rata daun bendera, LDBT = Lebar daun

bendera terlebar, KDAV = kehijauan daun akhir vegetatif, KDAG = Kehijauan daun akhir generatif, TT = Tinggi tanaman, DB = Diameter batang, BBM = Bobot biomasa, UB 50% = Umur berbunga 50% tanaman dalam satu petak percobaan, UP 80% = Umur panen 80% tanaman dalam satu petak percobaan, PM = Panjangmalai, B1000= Bobot seribu biji, BBJ= Bobot biji/malai.


(6)

RINGKASAN

ZUHROTUL MUTIAH. Uji Daya Hasil Sorgum (

Sorghum bicolor

(L.) Moench) di Tanah Masam, Jasinga. (Dibimbing oleh DESTA

WIRNAS dan TRIKOESOEMANINGTYAS).

Penelitian ini dilaksanakan bulan Februari sampai Juli 2012, di Desa Bagoang, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor. Lahan memiliki pH 4.4-5.2. Bahan tanam yang digunakan dalam penelitian ini adalah 17 galur sorgum F6 hasil persilangan varietas NUMBU sebagai tetua betina dan UPCA S1 sebagai tetua jantan. Bahan tanam merupakan galur yang diseleksi berdasarkan karakter tinggi tanaman yaitu sekitar 170 - 180 cm dan bobot biji permalai yaitu sekitar 80 -100 g. Varietas pembanding yang digunakan adalah Numbu dan UPCA S1. Pupuk yang digunakan Urea, SP-36 dan KCl dengan dosis pupuk masing-masing 150 kg, 100 kg dan 100 kg per ha. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang keragaan galur - galur F6 di tanah masam dibandingkan pembanding UPCA S1 dan Numbu, mendapatkan informasi tentang keeratan hubungan antar karakter daun bendera, agronomi, komponen hasil dengan hasil pada galur - galur F6 di tanah masam dan memperoleh galur F6 yang berdaya hasil tinggi di tanah masam.

Pengolahan data menggunakan uji - t karena kondisi lingkungan percobaan yang beragam yang diduga karena pH yang beragam berkisar 4.4-5.2. Berdasarkan uji - t terdapat galur - galur F6 yang memiliki keragaan yang berbeda dengan pembanding UPCA S1 dan Numbu untuk semua karakter yang diamati. Karakter daun bendera seperti luas daun bendera dan lebar daun bendera berkorelasi positif dan nyata dengan bobot biji/malai. Karakter tinggi tanaman, diameter batang dan bobot biomasa berkorelasi positif dan nyata dengan bobot biji/malai. Karakter komponen hasil seperti panjang malai dan bobot malai kering berkorelasi positif dan nyata dengan bobot biji/malai. Galur N/UP-32-8, N/UP-48-2, N/UP-82-3, N/UP-89-3, N/UP-118-3 dan N/UP-139-5 adalah galur F6 yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai sorgum penghasil biji yang adaptif terhadap tanah masam.