Pendugaan parameter genetik jagung dan pemilihan lingkungan seleksi untuk pemupukan rendah

PENDUGAAN PARAMETER GENETIK JAGUNG DAN PEMILIHAN
LINGKUNGAN SELEKSI UNTUK PEMUPUKAN RENDAH

SUTORO

SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2005

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi

Pendugaan Parameter Genetik

Jagung dan Pemilihan Lingkungan Seleksi untuk Pemupukan Rendah adalah karya
saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana
pun.

Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun


tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Desember 2005

Sutoro
NIM P03600004

ABSTRAK
SUTORO. Pendugaan Parameter Genetik Jagung dan Pemilihan Lingkungan Seleksi
untuk Pemupukan Rendah. Dibimbing ABDUL BARI, SUBANDI dan SUDIRMAN
YAHYA.
Sebagian besar varietas jagung hasil pemulia tanaman yang sudah dilepas adalah
varietas yang responsif terhadap pemupukan, sehingga apabila varietas tersebut
ditanam pada lahan yang kurang subur maka hasilnya akan rendah. Untuk
mendapatkan varietas yang toleran pada kondisi pemupukan rendah dapat dilakukan
melalui perbaikan populasi tanaman. Lingkungan seleksi menentukan keberhasilan
pemuliaan untuk mendapatkan varietas yang sesuai pada lingkungan yang menjadi
target. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perbedaan besaran parameter genetik

antar taraf pemupukan dan pada lingkungan pemupukan yang mana seleksi selayaknya
dilakukan agar mendapatkan varietas yang toleran pada pemupukan rendah. Penelitian
dilakukan dengan menyilangkan antar galur S1 yang berasal dari varietas Bisma dengan
menggunakan rancangan persilangan North Carolina II. Hasil persilangan dievaluasi
dan diseleksi pada 3 taraf pemupukan. Pendugaan kemajuan seleksi dilakukan untuk
seleksi full-sib dan S1 berdasarkan penampilan half-sib.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin rendah taraf pemupukan semakin
kecil ragam genetiknya yaitu total ragam genetik untuk lingkungan pemupukan rendah
dan sedang berturut-turut sebesar 28.8% dan 64.3% dari total ragam genetki pada
lingkungan pemupukan normakl. Sebagian besar komponen ragam untuk bobot biji
varietas Bisma merupakan ragam aditif, baik pada kondisi pemupukan rendah (78%),
sedang (67%) maupun normal (81%). Perbaikan populasi Bisma yang toleran terhadap
pemupukan rendah dapat dilakukan melalui seleksi berulang. Seleksi langsung
cenderung memberikan kemajuan seleksi yang terbaik, sehingga seleksi untuk
lingkungan pemupukan rendah perlu dilakukan pada lingkungan pemupukan rendah.
Seleksi pada lingkungan pemupukan sedang untk lingkungan pemupukan rendah
memperoleh kemajuan seleksi bobot biji 1.69%, lebih rendah daripada seleksi pada
lingkungan pemupukan rendah yang memperoleh kemajuan seleksi 7.57%. Populasi
hasil seleksi bobot biji pada kondisi pemupukan normal menghasilkan respon terkorelasi
karakter sekunder yang kurang menguntungkan untuk menunjang bobot biji bila ditanam

pada kondisi pemupukan rendah.

Kata kunci: parameter genetik, jagung, pupuk rendah

ABSTRACT
SUTORO. Estimation of Genetic Parameters and Choice of Selection Environment for
Improvement of Corn (Zea mays L.) for Low Fertilization Environment. Under direction
of ABDUL BARI, SUBANDI, and SUDIRMAN YAHYA.
Most of the improved corn varieties released in Indonesia are responsive to
fertilizer application rate, and they will be low yielding when grown in marginal area. To
obtain corn variety which is tolerant to low fertilizer input could be done by improving
population through selection. Selection environment determines breeding progress to
obtain suitable variety for target environment. The objectives of this study were to
estimate genetic parameters and to select for environment in which selection should be
conducted when the improved population is to be grown under low fertilization. The
experiment was carried out by crossing among S1 lines of Bisma variety using North
Carolina Design II. Progenies were evaluated and selected in three levels of fertilizer
application. Gain of selection was estimated using full-sib and S1 based on half-sib
performance methods.
Result of the study showed that as the fertilizer application rate was decreasing

genetic parameter values tended to be declining, total genetic variance under low and
medium fertilization resulted in 28.8% and 64.3% of total genetic variance under high
fertilization. Major component of the total genetic variance for grain yield was
contributed by additive variance component which is 78%, 67% and 81% in low, medium
and high fertilization level, respectively. Population improvement for low level of
fertilization could be done by recurrent selection program. Direct selection resulted in
the highest gain of selection. Therefore, selection under low fertilization was most
suitable when the target environment was low fertility.
Selection under medium level
of fertilization resulted in realized gain of 1.69%, lower than 7.57% under low level of
fertilization. Improved population selected under high fertilization level resulted in
correlated secondary character responses, which were disadvantage to supporting high
grain yield, when grown under low fertilization level.

Key words: genetic parameter, corn,, low fertilization

PENDUGAAN PARAMETER GENETIK JAGUNG DAN PEMILIHAN
LINGKUNGAN SELEKSI UNTUK PEMUPUKAN RENDAH

SUTORO


Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Agronomi

SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2005

Judul Disertasi
Nama
NRP
Program studi

: Pendugaan Parameter Genetik Jagung dan Pemilihan Lingkungan
Seleksi untuk Pemupukan Rendah
: Sutoro
: P03600004
: Agronomi


Disetujui
Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Abdul Bari, MSc
Ketua

Dr. Subandi, MSc
Anggota

Prof. Dr. Ir. Sudirman Yahya, MSc
Anggota

Diketahui
Ketua Program Studi Agronomi

Dekan Sekolah Pasca Sarjana

Dr. Ir. Satriyas Ilyas, MS


Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, MSc

Tanggal Lulus :

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Solo pada tanggal 8 Desember 1953 dari pasangan Sutarman
dan Sundari.

Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Pertanian IPB, lulus tahun

1977. Pada tahun 1985 penulis lulus dari Fakultas Pasca Sarjana IPB. Pada tahun
2000

melanjutkan ke program doktor pada program studi Agronomi.

Beasiswa

pendidkan pasca sarjana diperoleh dari Badan Litbang Departemen Pertanian Republik
Indonesia.
Penulis bekerja pada Balai Penelitian di lingkungan Badan Litbang Pertanian sejak

tahun 1977 sebagai peneliti sesuai dengan perkembangan mandat Balai Penelitian
yaitu bidang agronomi (budidaya), ekofisiologi dan pengelolaan plasma nutfah tanaman
pangan. Hasil penelitian yang telah dilakukan telah diterbitkan dalam jurnal ilmiah di
antaranya dalam Penelitian Pertanian dan Plasma Nutfah.

Penulis sekarang bekerja

sebagai peneliti Pengelolaan Sumberdaya Genetik Pertanian di Balai Besar Penelitian
Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian.
Pendidikan jangka pendek yang pernah diikuti di antaranya

bidang analisis

statistika dan simulasi produksi tanaman padi di IRRI, Filipina, bidang agronomi dan
evaluasi plasma nutfah di Lembaga Penelitian dan University of Tokyo, Jepang dan
bidang pengelolaan plasma nutfah di NBPGR, India.

PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat-Nya kepada
penulis, sehingga disertasi ini dapat terwujud.

Disertasi ini memberikan informasi mengenai nilai dugaan parameter genetik
jagung dan pemilihan lingkungan seleksi untuk pemupukan rendah.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Prof. Dr.
Ir. Abdul Bari,MSc sebagai ketua komisi pembimbing, Dr. Subandi, MSc, dan Prof. Dr. Ir.
Sudirman Yahya, MSc sebagai anggota komisi pembimbing yang telah banyak
memberikan pengarahan dan bimbingan kepada penulis sehingga desertasi ini dapat
tersusun. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Kepala Balai Besar
Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (BB Biogen), Badan Litbang
Pertanian yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti
pendidikan doktor di Institut Pertanian Bogor serta fasilitas lainnya sehingga penelitian
ini dapat terlaksana dengan baik, dan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Departemen Pertanian atas fasilitas yang telah diberikan kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan pendidikannya.

Ungkapan terima kasih

juga disampaikan kepada

semua teknisi Kebun Percobaan Cikeumeuh dan Laboratorium Bank Gen BB Biogen
yang telah membantu penulis dalam pelaksanaan penelitian, serta isteri (Nita Riswari),

putra-putri (Dian Ninditasari, Rianto Yuwono, Handaru Riswantoro, Reza Hanung
Pradipta) dan seluruh keluarga penulis atas doa dan kasih sayang serta pengertiannya
dalam banyak hal.
Akhirnya, penulis berharap semoga hasil peneltian ini bermanfaat bagi semua pihak
yang memerlukannya.

Bogor, Desember 2005

Penulis

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ………………………………………………...……………..…….

vi

DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………………….….

vii


DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………………….…..

viii

PENDAHULUAN
Latar Belakang ………………………………………………………….……… 1
Tujuan Penelitian ………………………………………………………………. 2
Hipotesis Penelitian………………………………………………………..……. 2
TINJAUAN PUSTAKA
Populasi Varietas Bisma ………………………………………………………..
Rancangan Persilangan …………………………………………………….….
Pendugaan Parameter Genetik ………………………………………….……
Metode Seleksi …………………………………………………………….…….
Lingkungan Seleksi ……………………………………………………..……...
Karakter TanamanToleran Cekaman ………………………………………....

4
4
5
6
7
9

BAHAN DAN METODE
Pembentukan S1, Persilangan antar S1 dan Evaluasi ...……………............
Seleksi Famili, Persilangan antar Famili dan Evaluasi ..........………….......
Analisis Data ………………………………………………………………..........

10
13
16

HASIL PERCOBAAN
Percobaan di Lingkungan Seleksi …………………………………………..….. 19
Percobaan di Lingkungan Evaluasi ………………………………………….… 29
PEMBAHASAN
Validitas Asumsi dalam Pendugaan Parameter Genetik ............................

Ragam Genetik ................................................................................

Heritabilitas dan Korelasi Genetik ...............................................................

33
35
36

Prediksi dan Realisasi Kemajuan Seleksi Bobot Biji di Lingkungan
Evaluasi ............................................................................................
Respon Terkorelasi Karakter Sekunder ...........................................

39
43

KESIMPULAN DAN SARAN ……………………………………..………………....

51

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………….……

52

LAMPIRAN ………………………………………………………………………..…..

56

DAFTAR TABEL
Halaman
1. Analisis ragam bagi rancangan persilangan NCD II untuk satu lingkungan.....
2. Nilai kuadrat tengah bobot biji (kg/plot) pada lingkungan seleksi pemupukan
rendah, sedang dan normal .............................................................................
3. Nilai penduga ragam bobot biji tetua jantan, betina dan interaksinya serta
kovarian famili halfsib dan fullsib pada lingkungan seleksi pemupukan
rendah, sedang dan normal………………..…................................................
4. Nilai dugaan ragam genetik bobot biji (kg/plot) populasi varietas Bisma (Co)
pada lingkungan seleksi pemupukan rendah, sedang dan normal........ .........
5. Nilai dugaan ragam galat percobaan, ragam antar plot, ragam dalam plot
dan ragam lingkungan mikro dalam plot dari bobot biji pada lingkungan
seleksi ..............................................................................................................
6. Nilai dugaan ragam fenotipik dan heritabilitas famili fullsib dan halfsib bobot
biji (kg/plot) populasi varietas Bisma (Co) pada lingkungan seleksi
pemupukan rendah, sedang dan normal..........................................................
7. Rata-rata famili FS dan HS serta diferensial seleksi pada lingkungan seleksi
pemupukan rendah, sedang dan normal .........................................................
8. Korelasi genetik bobot biji antar lingkungan pemupukan ...............................
9. Ragam aditif dan dominan karakter sekunder pada lingkungan seleksi
pemupukan rendah, sedang dan normal ........................................................
10. Hertabilitas karakter sekunder pada lingkungan seleksi pemupukan rendah,
sedang dan normal ..........................................................................................
11. Korelasi genetik bobot biji dengan karakter sekunder pada lingkungan
pemupukan yang sama atau berbeda .............................................................
12. Bobot biji hasil persilangan famili terpilih pada pemupukan
rendah, sedang dan normal .........................................................................
13. Rata-rata ASI, bobot 200 butir, klorofil, jumlah daun dan LAI saat
pembungaan pada lingkungan evaluasi pemupukan rendah, sedang dan
normal..............................................................................................................
14. Rata-rata jumlah daun,LAI , porsi daun menua saat panen dan jumlah biji
tiap tongkol pada lingkungan evaluasi pemupukan rendah, sedang dan
normal..... .........................................................................................................
15. Nilai prediksi dan realisasi persentase kemajuan seleksi bobot biji ................
16. Respon terkorelasi karakter sekunder pada lingkungan pemupukan rendah
akibat seleksi bobot biji pada lingkungan pemupukan rendah, sedang dan
normal ..............................................................................................................
17. Respon terkorelasi jumlah daun dan LAI saat pembungaan pada
lingkungan pemupukan rendah akibat seleksi bobot biji pada lingkungan
pemupukan rendah, sedang dan normal ........................................................
18. Respon terkorelasi jumlah daun dan LAI saat panen pada lingkungan
pemupukan rendah akibat seleksi bobot biji pada lingkungan pemupukan
rendah, sedang dan normal ............................................................................
19. Respon terkorelasi porsi daun menua dan jumlah biji pada lingkungan
pemupukan rendah akibat seleksi bobot biji pada lingkungan pemupukan
rendah, sedang dan normal ............................................................................

18
19
20
21
23
23
24
24
25
26
28
30
31

32
40
44
46
47
48

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1.

Diagram pelaksanaan kegiatan penelitian …………………..………………. 15

2.

Rata-rata heritabilitas terealisasi pada seleksi langsung dan tak langsung
(R-R, S-S, N-N menunjukkan seleksi langsung pemupukan rendah (R),
sedang (S) dan normal (N)) ....................................................................... 37
Prediksi dan realisasi kemajuan seleksi langsung dan tak langsung
famili fullsib (R-R, S-S, N-N menunjukkan seleksi langsung pemupukan
rendah (R), sedang (S) dan normal (N)) ................................................. 41
Prediksi dan realisasi kemajuan seleksi langsung dan tak langsung famili
halfsib (R-R, S-S, N-N menunjukkan seleksi langsung pemupukan
rendah (R), sedang (S) dan normal (N)) .................................................. 42

3
4.

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1. Nilai kuadrat tengah bobot biji/tanaman pada lingkungan seleksi
pemupukan rendah, sedang dan normal ...................................................... 57
2. Nilai kuadrat tengah ASI pada lingkungan seleksi pemupukan
rendah, seang dan normal ............................................................................ 57
3. Nilai kuadrat tengah bobot 200 butir bijipada lingkungan seleksi
seleksi pemupukan rendah, sedang dan normal ........................................... 57
4. Nilai kuadrat tengah klorofil pada lingkungan seleksi pemupukan
rendah, sedang dan normal ......................................................................... 58
5. Nilai kuadrat tengah jumlah daun saat pembungaan pada
lingkungan seleksi pemupukan rendah, sedang dan normal ....................... 58
6. Nilai kuadrat tengah LAI saat pembungaan pada lingkungan
seleksi pemupukan rendah, sedang dan normal ......................................... 58
7. Nilai kuadrat tengah jumlah daun saat panen pada lingkungan
seleksi pemupukan rendah, sedang dan normal ......................................... 59
8. Nilai kuadrat tengah LAI saat panen pada lingkungan seleksi
pemupukan rendah, sedang dan normal ...................................................... 59
9. Nilai kuadrat tengah porsi daun menua pada lingkungan
seleksi pemupukan rendah, sedang dan normal .......................................... 59
10. Nilai kuadrat tengah jumlah biji tiap tongkol pada lingkungan
seleksi pemupukan rendah, sedang dan normal .......................................... 59
11. Famili fullsib terpilih pada lingkungan seleksi pemupukan rendah,
sedang dan normal ........................................................................................ 60
12. Galur S1 terpilih berdasarkan penamplan famili HS pada
lingkungan seleksi pemupukan rendah, sedang dan normal ...................... 61
13. Respon terkorelasi ASI akibat seleksi bobot biji pada lingkungan
pemupukan yang sama atau berbeda ......................................................... 62
14. Respon terkorelasi bobot 200 butir akibat seleksi bobot biji pada
lingkungan pemupukan yang sama atau berbeda ................................... 63
15. Respon terkorelasi klorofil akibat seleksi bobot biji pada
lingkungan pemupukan yang sama atau berbeda .................................... 64
16. Respon terkorelasi jumlah daun saat pembungaan akibat seleksi
bobot biji pada lingkungan pemupukan yang sama atau berbeda
.........................................................................................
65
17. Respon terkorelasi LAI saat pembungaan akibat seleksi bobot
biji pada lingkungan pemupukan yang sama atau berbeda .................. .... 66
18. Respon terkorelasi jumlah daun saat panen akibat seleksi bobot
biji pada lingkungan pemupukan yang sama atau berbeda ...................... 67
19. Respon terkorelasi LAI saat panen akibat seleksi bobot biji pada
lingkungan pemupukan yang sama atau berbeda .................................... 68
20. Respon terkorelasi porsi daun menua akibat seleksi bobot biji pada
lingkungan pemupukan yang sama atau berbeda ...................................... 69
21. Respon terkorelasi jumlah biji tiap tongkol akibat seleksi bobot biji
pada lingkungan pemupukan yang sama atau berbeda ............................ 70
22. Iustrasi perhitungan penduga ragam ............................................................ 71
23. Ilustrasi perhitungan penduga ragam lingkungan mikro ................................ 72
24. Jumlah kuadrat tetua betina, janayan, interaksi betina x janan dan galat
percobaan ..................................................................................................... 74

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pemuliaan tanaman jagung pada umumnya dilakukan pada lahan yang dipupuk
dengan taraf optimal, baik pada fase seleksi, uji daya hasil pendahuluan maupun uji
daya hasil lanjutan. Proses pemuliaan pada lingkungan optimal ini berakibat varietas
unggul yang dihasilkan menjadi hanya adaptif pada lahan subur. Produktivitas tanaman
jagung yang rendah di antaranya disebabkan

oleh kemampuan petani dalam

memberikan pupuk dalam jumlah yang kurang memadai pada tanaman yang tumbuh di
lahan marjinal.

Varietas jagung yang dihasilkan oleh pemulia tanaman sebelumnya

yaitu varietas yang responsif terhadap pemupukan, sehingga apabila varietas tersebut
ditanam pada lahan yang kurang subur maka hasilnya akan rendah dan bahkan lebih
rendah daripada varietas lokal. Oleh karena itu, perlu diperoleh varietas jagung yang
toleran terhadap pemupukan rendah.

Untuk mendapatkan varietas

yang toleran

pemupukan rendah dapat diperoleh melalui perbaikan populasi tanaman.

Perbaikan

populasi tanaman dapat diduga berdasarkan informasi parameter genetik dari populasi
tanaman.
Komponen ragam genetik suatu populasi terdiri dari komponen ragam genetik
aditif dan non-aditif (dominan dan epistasis), dapat digunakan untuk menduga kemajuan
genetik dari metode seleksi yang akan digunakan. Suatu populasi yang memiliki ragam
genetik aditif tinggi dapat diperbaiki melalui seleksi intra-populasi, sedangkan seleksi
inter-populasi digunakan bila ragam genetik dominan

tinggi

(Malvar et al., 1996).

Besaran ragam genetik jagung berbeda antar lingkungan cekaman kekeringan (Hallauer
dan Miranda, 1985), hara N (Banziger et al., 1997) dan garam (Rao dan McNeilly, 1999).
Di samping itu, besaran parameter genetik juga berbeda antar populasi, sehingga untuk
memperbaiki suatu populasi jagung

yang sesuai dengan lingkungan target perlu

diketahui besaran parameter genetiknya.
CIMMYT (2001) telah berhasil mendapatkan varietas hibrida jagung tropis yang
beradaptasi baik, lebih responsif terhadap pemupukan dan lebih superior pada kondisi
tanpa pemupukan. Di Indonesia, perhatian pemuliaan tanaman jagung toleran pada
kondisi pemupukan rendah masih sedikit. Hasil penelitian yang berkaitan dengan pupuk
rendah yang telah dipublikasikan baru sampai menguji hibrida jagung yang berasal dari
luar negeri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hiibrida-hibrida yang menghasilkan

biji tinggi pada kondisi hara N cukup, ternyata hibrida-hibrida tersebut memberikan hasil
yang bervariasi pada kondisi hara N rendah (Yasin et al., 1998).
Telah banyak varietas jagung bersari bebas yang telah dilepas oleh pemulia
tanaman.

Varietas Bisma yang dilepas tahun 1995 telah populer

karena

keunggulannya dalam beberapa pengujian di lahan kering (Subandi et al.,1998).
Jagung varietas Bisma memiliki latar belakang genetik yang luas, sehingga masih
mungkin mendapatkan varietas yang toleran terhadap pemupukan rendah dengan cara
menyeleksi dari populasi varietas Bisma ini.

Parameter genetik tanaman jagung

varietas Bisma, sebagai populasi jagung yang akan diperbaiki sifat toleransinya
terhadap pemupukan rendah, perlu diketahui untuk menduga kemajuan genetik yang
diperoleh akibat seleksi.
Lingkungan seleksi menentukan keberhasilan pemuliaan untuk mendapatkan
varietas yang cocok dengan lingkungan yang menjadi target. Seleksi sering dilakukan
pada kondisi tanpa cekaman (lingkungan optimum) karena banyak pendapat yang
menyatakan pada kondisi optimum umumnya memiliki heritabilitas bobot biji yang lebih
tinggi daripada heritabilitas di lingkungan tanpa cekaman (Ceccarelli, 1994). Nampaknya
seleksi pada lingkungan yang mirip dengan lingkungan target akan menghasilkan
kemajuan seleksi yang lebih besar daripada seleksi tak langsung atau seleksi pada
lingkungan yang sangat berbeda dengan lingkungan target (Banziger et al., 1997).
Lebih lanjut Banziger et al. (1997) menyatakan masih terdapat perbedaan pendapat
pada lingkungan mana sebaiknya seleksi itu dilakukan.

Oleh karena itu, pada

lingkungan cekaman pemupukan yang mana seleksi selayaknya dilakukan agar
mendapatkan varietas yang toleran pemupukan rendah perlu diketahui.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menyediakan informasi bagi pemulia tanaman
dalam memilih lingkungan seleksi, berdasarkan nilai besaran ragam genetik sifat
kuantitatif tanaman dalam populasi jagung varietas Bisma untuk mendapatkan varietas
yang toleran lingkungan pemupukan rendah.

Hipotesis Penelitian
1. Ada perbedaan besaran parameter genetik
lingkungan seleksi yang berbeda.

sifat kuantitatif jagung di antara

2. Untuk mendapatkan tanaman toleran pemupukan rendah, lingkungan seleksi
pada kondisi pemupukan sedang lebih baik daripada kondisi pemupukan rendah
atau pemupukan tinggi.

TINJAUAN PUSTAKA
Populasi Varietas Bisma
Varietas jagung unggul dapat diperoleh melalui perbaikan populasi yang memiliki
latar belakang genetik yang luas. Varietas Bisma merupakan varietas yang

memiliki

latar belakang genetik sebagai persilangan antara Gen Pool-4 dengan bahan introduksi
yang disertai seleksi massa selama 5 generasi (Anonim, 1999). Gen Pool-4 merupakan
populasi dasar yang dibentuk dari sejumlah koleksi plasma nutfah jagung lokal dan
introduksi dengan biji yang berwarna kuning dan berumur lebih dari 100 hari (Subandi,
1984).
Varietas Bisma merupakan jagung bersari bebas telah meluas pengembangannya
selain berdaya hasil tinggi, juga tahan terhadap penyakit bulai, penyakit karat dan
bercak daun serta toleran terhadap kekeringan (Subandi et al., 1998).

Perbaikan

karakter tertentu dari populasi varietas Bisma yang memiliki latar belakang genetik yang
luas ini masih memungkinkan, seperti perbaikan varietas untuk sifat toleran terhadap
pemupukan rendah.

Rancangan Persilangan
Penduga parameter genetik populasi dapat diperoleh melalui serangkaian
persilangan antar individu tanaman.

Rancangan persilangan dimaksudkan untuk

membentuk kekerabatan di antara keturunan dari hasil persilangan.

Berdasarkan

peragam kekerabatan ini maka dapat diperoleh penduga ragam genetik yang terdiri dari
komponen ragam aditif (ó 2A), dominan (ó2D ) dan epistasis. Rancangan persilangan
yang dapat digunakan, di antaranya rancangan persilangan I, II dan III (Comstock dan
Robinson, 1952) atau North Carolina Design (NCD) I, NCD II dan NCD III (Hill et al.,
1998; Kearsey dan Pooni, 1996). Pada ketiga rancangan persilangan tersebut, tetua
yang digunakan adalah tanaman generasi F2 dari persilangan dua galur murni. Pada
NCD I, setiap tetua betina tidak

disilangkan dengan lebih dari satu tetua jantan,

sehingga NCD I disebut juga rancangan tersarang (Hallauer dan Miranda, 1985). Pada
rancangan persilangan II yang disebut juga rancangan persilangan faktorial, hasil
persilangan merupakan keturunan dari kombinasi persilangan tetua jantan dan tetua
betina yang digunakan dalam persilangan. NCD II tidak dapat digunakan pada tanaman
jagung bertongkol satu (Comstock dan Robinson, 1952) dan kebanyakan tanaman
jagung bertongkol satu. Agar NCDII dapat digunakan maka dilakukan modifikasi yaitu

dengan membuat galur S1 untuk mewakili So. Tongkol yang dihasilkan dari biji-biji galur
S1 dapat digunakan sebagai tetua betina dalam persilangan (Hallauer dan Miranda,
1985).

Berbeda dengan rancangan persilangan III, keturunan dihasilkan dari silang

balik antara turunan F2 dengan kedua tetua galur murni yang menghasilkan F2. Dalam
pengujian keturunan hasil persilangan dari NCD I, NCD II dan NCD III di lapangan,
maka untuk menghindari ukuran blok yang lebih luas, turunan dari sejumlah tetua (hallfsib dan full-sib) dapat dikelompokkan ke dalam set (Comstock, 1996) untuk mengurangi
galat percobaan.
Berdasarkan informasi genetik yang diperoleh dari ketiga rancangan ini, maka
informasi dari NCD III lebih banyak dari NCD II, dan NCD II lebih banyak dari NCD I.
Pada NCD I , ragam dari penduga ragam dominan (ó2D ) biasanya besar, karena
merupakan fungsi kuadrat tengah yang kompleks.

NCD I dan NCD II tidak dapat

digunakan untuk pengujian adanya epistasis (Hill et al., 1998). Pada tanaman jagung,
epistasis tidak mengakibatkan penyimpangan pendugaan ragam aditif dan dominan
yang serius (Hallauer dan Miranda, 1985). Selanjutnya

Hallauer dan Miranda (1985)

menyatakan bahwa NCD II efektif untuk menduga komponen ragam genetik populasi
jagung.

Dalam penelitian ini,

tetua-tetua S1 dipilih secara acak yang dibuat dari

populasi varietas Bisma sebagai populasi referen. Tanaman-tanaman dari galur S1 ini
digunakan sebagai tetua persilangan dalam NCD II untuk menduga parameter genetik
populasi jagung Bisma pada 3 taraf pemupukan.

Pendugaan Parameter Genetik
Parameter genetik suatu populasi terdiri dari komponen ragam genetik aditif
dominan dan epistasis.

Berdasarkan data hasil biji dan karakter tanaman jagung

lainnya seperti tinggi tanaman, ukuran biji dan

tongkol dari berbagai tipe populasi

tanaman jagung, komponen ragam genetik terbesar terutama berasal dari ragam aditif
(Hallauer dan Miranda, 1985). Demikian juga keragaman total kandungan nitrogen pada
batang jagung lebih banyak berasal dari pengaruh aditif daripada dominan (Rizzi et al.,
1991). Rata-rata dari 37 percobaan , penduga ragam aditif hasil biji (g/tanaman) dari
populasi jagung bersari bebas sebesar 303,8±178,9

dan penduga ragam dominan

245,8±320,8 dan nisbah ragam dominan-aditif (ó2D /ó2 A) 0,7619 (Halauer dan Miranda,
1985).

Berdasarkan nisbah ragam dominan-adidif tersebut maka terdapat pula suatu

populasi yang memiliki komponen ragam dominan lebih besar daripada ragam aditif.
Hasil penelitian Malver et al. (1996) yang menduga parameter genetik hasil biji (t/ha)

pada 2 populasi jagung Spanyol (Ribadumia yang berbiji warna putih dan Tuy yang
berbiji warna kuning) mendapatkan penduga ragam dominan lebih besar (0,90-1,11)
daripada ragam aditif (0,10-0,16) untuk kedua populasi tersebut, sehingga ragam
dominan lebih penting pada kedua populasi jagung tersebut.
Dalam pendugaan parameter genetik aditif dan dominan sering diasumsikan tidak
ada epistasis.

Hallauer dan Miranda (1985) menduga ragam epistasis

ó2AA dengan

menggunakan data hasil biji dari dua percobaan dalam NCD I dan NCD II pada populasi
BBBS. Dari dua persamaan Cov HS= ¼ ó2A + 1/16 ó2AA = 34,8 (berasal dari NCD I)
dan Cov HS= ½ ó2A + ¼

ó2AA

= 60.8 (berasal dari NCD II), maka diperoleh nilai

penduga ó2A A sebesar –70,8 dengan simpangan baku 223,5. Berdasarkan penduga
ragam bernilai negatif, maka ragam epistasis ó2AA dapat dianggap 0 (nol) atau tidak
nyata kontribusinya.

Eta-Ndu dan Openshaw (1999) yang menganalisis keberadaan

epistasis bagi hasil jagung pada famili F2

dari persilangan A679xW6005 dan

A679xFR902 menunjukkan adanya epistasis pada kedua populasi tersebut.
Pada umumnya lingkungan cekaman mengakibatkan perubahan terhadap
besaran ragam genetik. Dari hasil evaluasi pada lingkungan cekaman air, menunjukkan
bahwa cekaman menyebabkan penurunan keragaman genetik (Hallauer dan Miranda,
1985). Rao dan McNeilly (1999) yang menduga parameter genetik panjang akar jagung
pada 3 lingkungan cekaman garam menunjukkan bahwa ragam aditif konsisten lebih
besar daripada ragam non aditif pada ketiga cekaman garam. Nisbah ragam dominanaditif pada kondisi cekaman garam lebih besar daripada kondisi tanpa cekaman garam.
Nilai penduga parameter genetik berbeda dari populasi satu dengan populasi
lainnya.

Oleh karena itu, untuk memperbaiki suatu populasi tertentu diperlukan

informasi besaran parameter genetik bagi populasi yang akan diperbaiki karakternya.

Metode Seleksi
Metode seleksi intrapopulasi untuk perbaikan populasi jagung yang sering
digunakan (Hallauer dan Miranda, 1985) yaitu seleksi massa dan seleksi famili (half-sib,
full-sib, selfing S1 atau S2 dan seleksi kombinasi). Kemajuan seleksi tiap siklus sangat
bergantung pada karakteristik dari populasi dasar yang diseleksi dan intensitas seleksi,
serta metode seleksi yang digunakan.

Kemajuan seleksi hasil jagung dari beberapa

populasi bervariasi, seleksi melalui full-sib diperoleh antara 2,5-4,0 % tiap siklus, halfsib (ear-to-row) 2,2-13,6% tiap siklus dan
Eberhart, 1977; dan Gardner, 1978).

S1

1,1-7,2% tiap siklus (Sprague dan

Hasil seleksi full-sib dari varietas Penjalinan

sebagai populasi dasar dari siklus pertama dapat meningkatkan hasil 23,6% (Subandi,
1982), seleksi half-sib dengan varietas Arjuna sebagai pejantan dan 3 varietas
Penjalinan Y(C1), ICS2 Genjah Kretek, dan BC10 MS4 sebagai tetua betina dari siklus
satu ke silkus kedua meningkatkan hasil masing-masing berturut-turut 7,9%, 7,5% dan
0,5% (Subandi, 1987). Stojsin dan Kannenberg (1994) yang mengevaluasi 5 populasi
jagung menyatakan bahwa umumnya seleksi famili selfing merupakan prosedur seleksi
yang paling efektif lalu diikuti oleh seleksi famili half-sib. Respon seleksi famili selfing
terutama diakibatkan oleh perubahan frekuensi allel

yang memiliki pengaruh aditif,

sedangkan famili half-sib dari pengaruh aditif dan dominan. Populasi jagung toleran
kekeringan

La Posta Sequia dan Pool 26 Sequia yang diseleksi berdasarkan S1

memperoleh kemajuan genetik 12,4-12,7 % tiap siklus, sedangkan Tuxpeno Sequia
yang juga toleran kekeringan diseleksi dengan famili full-sib memperoleh kemajuan
genetik 3,8% tiap siklus pada kondisi kekeringan (Edmeades et al., 1999).
Seleksi massa nampaknya efektif pada dua silkus pertama pada populasi jagung
Perta dan Metro, karena siklus selanjutnya respon tidak menentu dan di antaranya
disebabkan ragam aditif yang relatif kecil (Subandi et al., 1980). Seleksi massa pada
jagung prolifik BC10 dapat meningkatkan bobot biji 4,4% tiap siklus, dan setelah 10
siklus bobot biji meningkat 32% dari populasi dasar (Subandi, 1990).

Lingkungan Seleksi
Varietas unggul yang telah dilepas, diperoleh melalui seleksi pada kondisi
pemupukan optimum dan dievaluasi dengan pemupukan yang optimum pula. Varietas
yang beradaptasi luas sebenarnya hanya secara geografis, karena dievaluasi dan
diseleksi pada lingkungan optimum. Oleh karena itu, keunggulan varietas pada kondisi
optimum tidak diekspresikan pada lingkungan sub-optimal (Ceccareli, 1994).
Lingkungan seleksi untuk memperbaiki hasil dalam populasi dapat dilakukan pada
lingkungan target atau lingkungan bukan target.

Seleksi jagung pada kondisi petani

yang umumnya memiliki kesuburan yang rendah dapat diperoleh varietas yang cocok
untuk lingkungan marjinal maupun subur. Varietas jagung lokal Sol da Manha dari
Brazil diperbaiki melalui seleksi 6 siklus dan selanjutnya diseleksi bersama dengan
sektor informal (kelompok tani) yang disebut sebagai participatory plant breeding (PPB)
dengan seleksi massa diperoleh varietas yang efisien dalam penggunaan N, baik pada
kondisi subur maupun marjinal (Machado dan Fernandes, 2001). Banziger dan Cooper

(2001) menyatakan strategi pemuliaan untuk memperoleh peningkatan produksi pada
kondisi masukan rendah dengan PPB lebih efektif dari pada pemuliaan formal, karena
langsung pada lingkungan target.
Pada populasi jagung toleran kekeringan, kemajuan seleksi dapat diperoleh pada
kondisi kekeringan maupun tanpa kekeringan. Kemajuan seleksi pada kekeringan lebih
tinggi dibandingkan dengan tanpa kekeringan. Populasi jagung DTP2-C2 yang toleran
kekeringan ternyata sangat baik pada kondisi tanpa cekaman air.

Hal ini memberi

petunjuk bahwa populasi jagung tersebut yang toleran kekeringan tidak berkurang
potensi hasilnya (Edmeades et al., 1999).

Seleksi hasil tinggi pada lingkungan subur

memacu hilangnya adaptasi spesifik untuk kondisi cekaman, sedangkan seleksi hasil
tinggi pada lingkungan cekaman tidak menghilangkan potensi hasil (Ceccareli et al.,
1998 dan Edmeades et al., 1999). Seleksi toleran kekeringan pada jagung dapat pula
mengarahkan suatu perubahan yang adaptif menguntungkan pada kondisi cekaman N
(Laffite dan Edmeades, 1995 dan Banziger et al., 1999).
Efisensi seleksi pada kondisi N tinggi lebih rendah dibandingkan dengan seleksi
pada kondisi N rendah, bila lingkungan target pada kondisi yang mengakibatkan hasil
jagung berkurang lebih dari 43% (Banziger et al., 1997). Hal ini memberi petunjuk
bahwa seleksi jagung pada N rendah dapat memperbaiki populasi jagung yang cocok
pada kondisi N rendah hingga sedang.

Korelasi genetik antara hasil jagung pada

kondisi N rendah dan N tinggi menurun dengan meningkatnya pengurangan hasil relatif
pada N rendah, sehingga seleksi tak langsung pada N tinggi menjadi kurang efisien
(Banziger et al. 1997).
Efisiensi seleksi langsung atau tak langsung pada lingkungan target tergantung
dari karakteristik populasi dan intensitas cekaman pada lingkungan target tersebut.
Pada penelitian ini akan diuji pengaruh lingkungan seleksi langsung dan tak langsung
pada lingkungan pemupukan rendah, sedang dan tinggi atau normal yang biasa
dilakukan oleh pemulia tanaman.

Karakter Tanaman Toleran Cekaman
Seleksi dengan menggunakan karakter sekunder dan hasil biji dibandingkan
dengan hasil biji saja dapat meningkatkan efisiensi seleksi sekitar 20% pada jagung
yang tumbuh pada kondisi kekurangan N (Banziger dan Lafitte, 1997).

Untuk

mendapatkan tanaman yang efisien dalam menggunakan hara dalam rangka
memperoleh varietas yang toleran masukan pupuk rendah dapat diperoleh bila

mempertimbangkan kriteria yang diperkirakan berhubungan dengan perbaikan respon
tanaman terhadap cekaman. Berdasarkan korelasi genetik hasil biji dengan ASI
(anthesis silking interval), jumlah tongkol tiap tanaman, konsentrasi klorofil, jumlah daun
hijau dan daun menua (senescence), maka karakter sekunder tersebut umumnya
berkaitan dengan toleran cekaman N dan kekeringan (Banziger et al., 1997; Chapman
dan Edmeades , 1999). Jumlah daun hijau saat panen berbeda antar genotip jagung
pada kondisi kekeringan dan dapat diturunkan secara moderat (Chapman and
Edmeades , 1999).
Akumulasi N sebelum fase pembungaan merupakan karakter penting pada
lingkungan N rendah, karena merupakan refleksi dari potensi varietas untuk mengambil
dan mengirimkan N untuk pengisian biji pada kondisi cekaman hara (Cox et al., 1991).
Tanaman jagung kekurangan P mengurangi laju penuaan daun yang berada di bawah
tongkol (Colomb et al., 2000).
Pemilihan karakter morfofisiologi tanaman sebagai karakter sekunder yang dapat
dijadikan sebagai indikator sifat tanaman toleran atau peka pada kondisi kesuburan
tanah yang rendah perlu dipertimbangkan cara pengukurannya, sehingga apabila
karakter tersebut digunakan sebagai indikator seleksi akan mudah pelaksanaannya.

BAHAN DAN METODE
Pembentukan S1, Persilangan antar S1 dan Evaluasi
Untuk menduga parameter genetik varietas Bisma sebagai populasi dasar
dilakukan 3 kegiatan yaitu pembentukan galur S1, persilangan antar galur S1 dan
evaluasi hasil persilangan.

Pembentukan galur S1
Pembentukan galur S1 dilakukan dengan menanam jagung varietas Bisma pada
bulan April 2001. Populasi varietas Bisma diperoleh dari Laboratorium Bank Gen, Balai
Penelitian Bioteknologi dan Sumber Daya Genetika Pertanian ditanam di Kebun
Percobaan Cikeumeuh, Bogor. Benih yang ditanam sebagai contoh acak dari populasi
Bisma, ditanam dengan jarak 75 cm x 20 cm dengan satu tanaman tiap lubang dan
dipupuk 300 Kg Urea, 100 kg SP36 dan 50 kg KCl per hektar. Selanjutnya setiap
tanaman dilakukan penyerbukan diri-sendiri (selfing) yaitu menyerbuki bunga betina
dengan pollen pada tanaman yang sama untuk memperoleh galur S1 untuk mewakili So
dari populasi varietas Bisma. Galur S1 yang dibentuk sebanyak 250 galur, namun yang
memiliki biji dalam jumlah cukup sebanyak 216 galur S1. Biji hasil panen tiap tongkol
(galur S1) dipipil, dikumpulkan dalam kantong dan dikeringkan lalu disimpan dalam
ruang dingin. Benih galur S1 selanjutnya akan digunakan untuk persilangan.

Persilangan antar galur S1
Persilangan antara galur S1 dilaksanakan pada bulan Mei 2002. Pertanaman
dipupuk dengan 300 kg Urea, 100 kg SP36 dan 50 kg KCl tiap hektar. Persilangan
antar galur S1 dilakukan menurut rancangan persilangan NCD II. Galur S1 yang telah
dibentuk dibagi menjadi 36 set, masing-masing set terdiri dari 6 galur S1 (3 galur
sebagai tetua jantan dan 3 galur sebagai tetua betina). Semua kemungkinan pasangan
tetua jantan dan betina dari setiap set disilangkan sehingga diperoleh 9 persilangan.
Tetua jantan atau betina digunakan sebagai salah satu tetua, jantan atau betina saja,
sehingga kombinasi persilangan (Xij) dapat disusun sebagai berikut:

Tetua jantan

Tetua betina

4

5

6

1

X14

X15

X16

2

X24

X25

X26

3

X34

X35

X36

Setiap galur S1 ditanam sebanyak 20 tanaman dan persilangan tetua jantan dan betina
di antara galur S1 dilakukan untuk mendapatkan 5-10 persilangan (Hallauer dan
Miranda, 1985). Dari 36 set persilangan akan dipilih 30 set yang memiliki kombinasi
persilangan yang lengkap dan akan dievaluasi pada 3 taraf pemupukan.

Evaluasi hasil persilangan
Biji hasil persilangan antar galur S1 yang telah dilakukan sebelumnya yang terdiri
dari

30 set persilangan ditanam dengan rancangan acak kelompok tak lengkap

(Incomplete randomized block design) dengan 3 ulangan yang dilakukan pada 3 taraf
pemupukan yaitu pemupukan rendah, sedang dan normal.

Pemupukan normal

diberikan dengan taraf yang biasa dilakukan oleh pemulia tanaman jagung.

Ketiga

taraf pemupukan tersebut adalah:
a. Pupuk dosis normal : 300 kg Urea- 100 kg SP36- 50 kg KCl tiap hektar.
b. Pupuk dosis sedang: 150 kg Urea – 50 kg SP36 tiap hektar.
c. Pupuk rendah: 75 kg Urea dan 25 kg SP36 tiap hektar.
Untuk mendapatkan data yang lebih baik, maka penempatan perlakuan (set)
menurut strip plot (set yang sama berdampingan pada kondisi pupuk normal, sedang
dan rendah). Setiap set persilangan ditambah varietas Bisma sebagai pembanding,
yang akan digunakan sebagai kriteria pemilihan full-sib dan half-sib terbaik pada
kegiatan penelitian berikutnya.
Percobaan telah dilaksanakan di Kebun Percobaan Cikeumeuh, Bogor.
Pelaksanaan tanam ketiga ulangan dilakukan pada waktu yang berbeda dan lahan yang
berbeda. Hal ini dilakukan karena adanya keterbatasan tenaga di kebun percobaan.
Pengelompokan dalam percobaan ini diusahakan sehingga variasi unit percobaan
dalam kelompok/ulangan lebih kecil daripada variasi antar kelompok/ulangan. Ulangan
pertama ditanam pada bulan November 2002, ulangan kedua pada bulan Desember
2002 dan ulangan ketiga pada bulan Februari 2003. Hasil analisis 2 contoh tanah
menunjukkan kandungan hara N, P dan K tersedia tergolong rendah, dari lahan bekas

pertanaman jagung sebelumnya adalah 0,127 % N, 0,408 mg P/100 g dan 0,432 me
K/100 g dan bekas pertanaman kedelai sebelumnya adalah 0,178 % N, 0,621 P mg/100
g dan 0,379 me K/100 g.
Jagung ditanam dengan jarak 80 cm x 20 cm dengan 1 tanaman tiap lubang.
Masing-masing progeni ditanam sebanyak 20 tanaman dalam satu baris/plot.

Biji

masing-masing progeni diambil sejumlah biji yang sama dari tiap tongkol (balance
composite) progeni yang diperoleh dari persilangan.

Sepertiga dosis pupuk Urea,

seluruh dosis pupuk SP36 dan KCl diberikan pada saat tanam dan sisanya dua-pertiga
pupuk Urea diberikan pada saat tanaman berumur 1 bulan. Pupuk diberikan sekitar 7
cm di samping tanaman dengan cara

ditugal.

Perlindungan tanaman terhadap

serangan hama-penyakit dan kompetisi dengan gulma dilakukan secara optimum.
Karakter sekunder tanaman jagung yang diamati adalah karakter yang diduga
dapat mempengaruhi peningkatan bobot biji jagung.

Karakter tersebut adalah ASI

(anthesis silking interval), jumlah daun dan LAI (leaf area index) pada saat pembungaan
dan panen, porsi daun menua, kadar klorofil, jumlah biji tiap tongkol dan bobot 200 butir.
ASI yang cepat dapat menghasilkan jumlah biji yang relatif lebih banyak, karena peluang
bunga betina diserbuki oleh polen lebih besar. Tanaman jagung yang memiliki jumlah
daun dan LAI serta klorofil yang tinggi diharapkan dapat memberikan hasil fotosintat
yang tinggi, yang selanjutnya ditranslokasikan ke dalam biji.
Karakter tanaman jagung diamati dengan cara sebagai berikut:
1. Umur berbunga jantan dan betina yang ditetapkan bila 50% dari pertanaman
telah muncul polen bunga jantan (anthesis) dan rambut bunga betina (silking).
Selanjutnya ASI = selisih umur munculnya polen dengan rambut bunga betina.
2. Jumlah dan luas daun hijau tiap tanaman pada fase pembungaan dan saat
panen. Luas daun fase pembungaan dan saat panen diduga menurut Sutoro
(1992) dan Sutoro (2003). LAI merupakan nisbah luas daun dengan luas lahan
tempat tanaman itu berada.
3. Luas daun menua dihitung dengan mengurangi luas daun pada fase
pembungaan dengan luas daun saat panen. Porsi daun menua merupakan
nisbah luas daun menua dengan luas daun pada fase pembungaan.
4. Kadar klorofil daun pada tongkol yang diukur dengan Chlorophylmeter Minolta
SPAD-502 pada saat 2 minggu setelah pembungaan (silking).
5. Jumlah butir biji tiap tongkol dan bobot 200 butir biji.
6. Bobot biji kering tiap plot pada kadar air 15% dari tanaman kompetitif.

Pengamatan karakter jumlah daun hijau dan luasnya tiap tanaman,

kadar

klorofil daun, jumlah bji tiap tongkol dilakukan pada 5 contoh acak tanaman yang
kompetitif.

Seleksi Famili, Persilangan antar Famili dan Evaluasi
Seleksi full-sib dan galur S1
Metode seleksi yang diplih berdasarkan efisiensi waktu pelaksanaan penelitian dan
ketersediaan benih untuk keperluan seleksi. Benih yang telah dimiliki yaitu benih full-sib
dan S1 yang telah dihasilkan dari kegiatan pembentukan galur S1 dan persilangan antar
galur S1.
Dari percobaan evaluasi hasil persilangan pada 3 taraf pemupukan yang
dilaksanakan sebelumnya, famili full-sib dan half-sib terbaik dipilih berdasarkan selisih
hasil biji yang terbesar dengan varietas Bisma pada setiap taraf pemupukan. Dari setiap
taraf pemupukan dipilih 10% full-sib (27 FS) dan galur S1 (18 S1) berdasarkan 10% halfsib terbaik menurut bobot bijinya. Full-sib dan S1 terpilih ini digunakan sebagai bahan
persilangan selanjutnya untuk membentuk populasi hasil seleksi siklus pertama (C1).

Persilangan antar FS dan antar S1 terpilih pada 3 taraf pemupukan
Persilangan antar famili/galur terpilih dilakukan pada kondisi pemupukan yang
sama dengan kondisi pemupukan sebelumnya.

Persilangan antar famili/galur-galur

terpilih pada kondisi pupuk rendah dilakukan pada kondisi pupuk yang rendah, demikian
pula persilangan antar famili/galur-galur terpilih pada kondisi pupuk sedang dan normal.
Persilangan dilaksanakan pada bulan Agustus 2003 pada lahan bekas pertanaman
jagung di Kebun percobaan Cikeumeuh, Bogor. Benih full-sib dan S1 yang digunakan
adalah benih sisa (remnant seeds dari full-sib dan S1) yang telah dibentuk sebelumnya.
Persilangan antar galur baik full-sib maupun galur S1 dilakukan dengan menanam
seluruh galur terpilih dalam satu plot . Setiap plot terdiri dari 10 baris tanaman. Dalam
setiap baris terdapat tanaman berasal dari 27 FS terpilih

atau 18 S1 terpilih.

Persilangan satu tetua jantan dan satu tetua betina dilakukan dalam baris tanaman.
Hasil persilangan antar FS dan antar S1 dikumpulkan
berikutnya.

sebagai bahan pengujian

Evaluasi hasil persilangan antar FS dan antar S 1 terpilih
Hasil persilangan antar FS dan antar S1 pada 3 taraf pemupukan yang telah
dibentuk sebelumnya dan varietas Bisma sebagai pembanding, selanjutnya dievaluasi
pada taraf pemupukan rendah, sedang dan normal.
rancangan acak kelompok dengan 5 ulangan.

Evaluasi dilakukan dalam

Kelima ulangan ditanam di kebun

percobaan Cikeumeuh, Bogor pada waktu yang berbeda antara bulan Februari hingga
Maret 2004 pada lahan bekas pertanaman jagung. Hasil analisis tanah dari 2 contoh
tanah menunjukkan kandungan hara tanah tergolong rendah dengan 0,14 % N, 0,35
mg /100 g, 0,35 me K/100 g dan 0,19 % N, 0,34 mg P/100 g, 0,16 me K/100 g.
plot tiap perlakuan 3.75 m x 5 m.
lubang.

Luas

Jarak tanam 75 x 20 cm dengan 1 tanaman tiap

Karakter tanaman yang diamati dan pemberian pupuk sesuai dengan

perlakuan dan dengan cara pemupukan yang sama dengan percobaan evaluasi hasil
persilangan antar S1 di atas.
Kombinasi perlakuan dari dua faktor yang diuji yaitu:
Faktor I :Varietas/populasi terdiri dari
1. Bisma
2. Hasil persilangan FS pada pupuk rendah (FS-r)
3. Hasil persilangan FS pada pupuk sedang (FS-s)
4. Hasil persilangan FS pada pupuk normal (FS-n)
5. Hasil persilangan S1 berdasarkan HS pada pupuk rendah (S1(HS)-r)
6. Hasil persilangan S1 berdasarkan HS pada pupuk sedang (S1(HS)-s)
7. Hasil persilangan S1 berdasarkan HS pada pupuk normal (S1(HS)-n)
Faktor II: Pemupukan terdiri dari 3 taraf pemupukan
1. Pemupukan rendah
2. Pemupukan sedang
3. Pemupukan normal
Diagram pelaksanaan kegiatan penelitian disajikan pada Gambar 1.

Varietas BISMA
Pembentukan

250 galur S1
pada kondisi pupuk normal

Pembentukan persilangan antar galur S1
270 persilangan (30 set, tiap set 9 persilangan)
pada kondisi pupuk normal
Evaluasi 30 set pada 3 taraf pemupukan

30 set + Kontrol (Bisma) 30 set + Kontrol (Bisma)
pada pupuk rendah
pada pupuk sedang
Seleksi 10% terbaik
1. 27 FS terbaik
2. 18 HS terbaik

Seleksi 10% terbaik
1. 27 FS terbaik
2. 18 HS terbaik

Persilangan pada
Persilangan pada
kondisi pupuk rendah
kondisi pupuk sedang
1.antar 27 FS terbaik
1. antar 27 FS terbaik
2.antar 18 S1 terbaik
2. antar 18 S1 terbaik
(berdasarkan HS terbaik) (berdasarkan HS terbaik)

Uji masing-masing
hasil persilangan
pada kondisi:
1. Pupuk Rendah
2. Pupuk Sedang
3. Pupuk Normal

Uji masing-masing
hasil persilangan
pada kondisi:
1. Pupuk rendah
2. Pupuk sedang
3. Pupuk normal

Gambar 1 Diagram pelaksanaan kegiatan penelitian.

30 set + Kontrol (Bisma)
pada pupuk normal
Seleksi 10% terbaik
1. 27 FS terbaik
2. 18 HS terbaik

Persilangan pada
kondisi pupuk normal
1. antar 27 FS terbaik
2. antar 18 S1 terbaik
(berdasarkan HS terbaik)

Uji masing-masing
hasil persilangan
pada kondisi:
1. Pupuk rendah
2. Pupuk sedang
3. Pupuk normal

Analisis Data
Untuk menduga ragam genetik

dapat diperoleh melalui nilai kuadrat tengah

dengan menggabungkan derajat bebas dan jumlah kuadrat yang berasal dari jantan dan
betina (Comstock dan Robinson, 1952). Tabel analisis ragam yang akan digunakan
untuk menduga besaran parameter genetik pada setiap taraf pemupukan disajikan
pada Tabel 1 (Subandi, 1972).
Penduga ragam σ2z

sebagai penduga peragam di antara half-sib dan σ2mf

sebagai selisih peragam full-sib dengan peragam half-sib (Hallauer dan Miranda, 1985).
Dalam rancangan NCD II