Analisis jarak genetik berdasarkan marka ssrs dan morfologi serta analisis daya gabung untuk pembentukan hibrida jagung manis

(1)

ANALISIS JARAK GENETIK BERDASARKAN MARKA SSRs

DAN MORFOLOGI SERTA ANALISIS DAYA GABUNG

UNTUK PEMBENTUKAN HIBRIDA JAGUNG MANIS

(Zea mays L. var. saccharata)

R. NENI IRIANY M

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi “Analisis Jarak Genetik Berdasarkan Marka SSRs dan Morfologi serta Analisis Daya Gabung untuk Pembentukan Hibrida Jagung Manis (Zea mays L. var. saccharata) ” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan tercantum dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, September 2011

R. Neni Iriany M NRP A263070011


(3)

ABSTRACT

R.NENI IRIANY M. Genetic Distance Analysis based on SSRs and Morphological

Marker and Combining Ability Analysis for sweet corn development (Zea mays L. var. saccharata) hybrid. Under supervised SRIANI SUJIPRIHATI (in

memoriam), MUHAMAD SYUKUR, JAJAH KOSWARA (in memoriam), and MUHAMAD YUNUS.

The objective of the research were to grouping sweet corn lines resistant to downy mildew, high specific and general combining ability and high heterosis to select parental line to breed single cross hybrid of sweet corn.

The first research was done to study genetic variability of 39 sweet corn lines based on SSR and morphological marker to select good parental lines of hybrid sweet corn. There were high genetic variability among genetic material, showed by genetic distance value about 0.18 to 0.78, indicates wide genetic variability of sweet corn. The results shows that among 20 lines having genetic similarity between 0.25 – 0.82 or genetic distance from 0.18 to 0.75; based on morphological trait 0.27 – 1.00. Correlation value between similarity matrix based on SSR and morphology was high on 0.88 of goodness of fit criteria.

The aim of second research was to study general combining ability of sweet corn lines for yield and resistant to downy mildew for hybrid varieties improvement. Six of 45 lines having high fresh ear yield per plot and best general combining ability, such as Mr4/SC/BC4-2-1B, Mr4/SC/BC4-6-1B, Mr11/SC/BC4-2-1B, Mr11/SC/BC4-4-1B, Mr12/SC/BC4-6-1B, and Mr12/SC/BC3-3-1B.

All of testing lines have resistance to downy mildew with severity about 0.0 to 7.1%. The lines having high GCA value would be good combiner to other lines to develop high yielding hybrid sweet corn and resistant to downy mildew.

The third research was done to study general and specific combining ability of sweet corn lines and higher heterosis of downy mildew resistance supporting the hybrid corn development. The combination of A x D lines (Mr12/SC/BC4-6-1B x Mr11/SC/BC4-2-1B) were medium genetic distance and having highest GCA, heterosis and heterobeltiosis for fresh ear yield per plot character. The D x C combination (Mr11/SC/BC4-2-1B x Mr4/SC/BC4-2-1B) have wide genetic distance and high fresh ear yield per plot, heterosis and heterobeltiosis, but have negative SCA value. The combination of E x C (Mr12/SC/BC3-3-1B x Mr4/SC/BC4-2-1B) have a wide genetic distance but low productivity.

The best hybrid is not always obtained from parents with the high genetic distance, but also can be obtained from the low or medium genetic distance as well.


(4)

RINGKASAN

R.NENI IRIANY M. Analisis Jarak Genetik Berdasarkan Marka SSRs dan Morfologi serta Analisis Daya Gabung untuk Pembentukan Hibrida Jagung Manis (Zea mays L. var. saccharata) Dibimbing oleh SRIANI SUJIPRIHATI (alm), MUHAMAD SYUKUR, JAJAH KOSWARA (alm)dan MUHAMAD YUNUS.

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh pengelompokan galur jagung manis yang tahan terhadap penyakit bulai, dengan nilai daya gabung umum, daya gabung khusus, serta nilai heterosis yang tinggi sehingga diperoleh jagung hibrida silang tunggal yang mempunyai potensi hasil tinggi.

Penelitian pertama untuk mengetahui keragaman genetik 39 galur jagung manis memanfaatkan marka SSRs dan karakter morfologi untuk seleksi tetua hibrida. Hasil percobaan menunjukkan keragaman genetik cukup tinggi dari materi yang diuji. Hal ini ditunjukkan dengan nilai jarak genetik berkisar dari 0,18 sampai 0,78 yang mengindikasikan variabilitas genetik galur jagung manis yang dikarakterisasi cukup luas. Hasil penelitian 20 galur berdasarkan SSRs menunjukkan koefisien kemiripan genetik pada galur yang diuji berkisar antara 0,25 – 0,82 atau pada jarak genetik 0,18 - 0,75; berdasarkan karakter morfologi menunjukkan nilai rata-rata koefisien kemiripan genetik 0,27 – 1,00. Nilai korelasi antara matrik kemiripan berdasarkan SSRs dengan matrik kemiripan berdasarkan morfologi tergolong baik berdasarkan kriteria goodness of fit (0,88).

Kegiatan pada penelitian kedua dilakukan untuk untuk mengetahui nilai daya gabung umum galur-galur jagung manis (Zea mays L. var. saccharata) untuk karakter hasil dan ketahanan terhadap penyakit bulai (downy mildew) dalam rangka perakitan varietas hibrida. Dari 45 galur yang diuji terpilih enam galur yang mempunyai hasil tongkol segar per petak dan nilai DGU tertinggi yaitu Mr4/SC/BC4-2-1B, Mr4/SC/BC4-6-1B, Mr11/SC/BC4-2-1B, Mr11/SC/BC4-4-1B, Mr12/SC/BC4-6-1B, dan Mr12/SC/BC3-3-1B.

Semua genotipe jagung manis yang diuji memiliki ketahanan terhadap penyakit bulai dengan presentase serangan 0,0 – 7,1%. Galur-galur yang bernilai DGU tinggi diharapkan mempunyai kemampuan berdaya gabung umum baik untuk menghasilkan genotip yang mempunyai potensi hasil tinggi dan tahan penyakit bulai.

Kegiatan ketiga bertujuan mengetahui nilai daya gabung umum (DGU), daya gabung khusus (DGK) galur jagung manis (sweet corn), heterosis hibrida terbaik tahan penyakit bulai (downy mildew) mendukung perakitan varietas hibrida. Persilangan galur A x D (Mr12/SC/BC4-6-1B x Mr11/SC/BC4-2-1B) mempunyai nilai DGK, heterosis, heterobeltiosis tertinggi untuk karakter hasil tongkol segar per petak, jarak genetik yang sedang dan produktivitas tinggi. Persilangan galur D x C (Mr11/SC/BC4-2-1B x Mr4/SC/BC4-2-1B) mempunyai hasil tongkol segar per petak tinggi, nilai heterosis dan heterobeltiosis tinggi serta memiliki jarak genetik yang cukup jauh, tetapi nilai DGK negatif. Persilangan galur E x C (Mr12/SC/BC3-3-1B x Mr4/SC/BC4-2-1B) mempunyai jarak genetik yang jauh, tetapi produktivitasnya rendah.

Hibrida terbaik tidak selalu diperoleh dari tetua-tetua yang mempunyai jarak genetik yang jauh, tetapi dapat juga diperoleh dari tetua-tetua yang mempunyai jarak genetik rendah maupun sedang.


(5)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(6)

ANALISIS JARAK GENETIK BERDASARKAN MARKA SSRs

DAN MORFOLOGI SERTA ANALISIS DAYA GABUNG

UNTUK PEMBENTUKAN HIBRIDA JAGUNG MANIS

(Zea mays L. var. saccharata)

R. NENI IRIANY M

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(7)

Judul Disertasi : Analisis Jarak Genetik Berdasarkan Marka SSRs dan Morfologi serta Analisis Daya Gabung untuk Pembentukan Hibrida Jagung Manis (Zea mays L. var. saccharata)

Nama : R. Neni Iriany M NIM : A263070011

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Sriani Sujiprihati, MSc.(alm) Dr. Muhamad Syukur, SP.,MSi

Ketua Anggota

.

Prof. Dr. Ir. Jajah Koswara (alm)

Anggota Anggota

Dr. Ir. Muhamad Yunus, MSi.

Mengetahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman

Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, MSc. Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr Tanggal Ujian: 20 September 2011 Tanggal Lulus:


(8)

PRAKATA

Segala puji dan syukur bagi Allah S.W.T., atas segala limpahan berkah, rahmat, hidayah dan inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi berjudul “Analisis Jarak Genetik Berdasarkan Marka SSRs dan Morfologi serta Analisis Daya Gabung untuk Pembentukan Hibrida Jagung Manis (Zea mays L. var. saccharata)” .

Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Prof. Dr. Ir. Sriani Sujiprihati MS. (alm), Dr. Muhamad Syukur,Sp., MSi., Prof. Dr. Ir. Jajah Koswara (alm), dan Dr. Ir. Muhamad Yunus, MSi, selaku pembimbing yang telah banyak memberi arahan, sumbangan pemikiran dan motivasi yang diberikan sejak penulis mengikuti pendidikan, penelitian dan penulisan hingga selesainya disertasi ini. Kepada Dr. Ir. Memen Surahman, MSc., Agr., Dr. Ir. Yudiwanti, MS., sebagai penguji luar komisi pembimbing pada ujian tertutup, serta Dr. Ir. Hajrial Aswidinnoor, MS., Dr. Ir. Firdaus Kasim MSc., sebagai penguji pada ujian terbuka. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Kepala Badan Litbang Pertanian dan Ketua Komisi Pembinaan Tenaga Badan Litbang Pertanian Departemen Pertanian beserta staf, Kepala Balai Penelitian Tanaman Serealia Maros beserta staf, Kepala KP. Cikeumeuh Balai Besar Penelitian Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik (BB Biogen) Bogor beserta staf, KP Maros, dan Koordinator Laboratorium Molekuler Balai Penelitian Tanaman Serealia beserta staf, yang telah membantu selama penelitian dan pengumpulan data. Penulis menyadari bahwa keberhasilan penyelesaian disertasi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari rekan-rekan teknisi dan peneliti. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada Sampara, Sunarto, Julaiha, Haryati SP., Hasnah SP., Rismayanti SP., Hariadi, Sirajudin, Usman, Hamzah, Abd. Haris, Stepanus Misi, Muzdalifah Isnaini SP.MP., Indria Wahyu Mulsanti SP., Dr. Indrastuti A. Rumanti., Dr. Rahmi Yunianti., Dr. Muhammad Azrai, Dr. Marcia Bunga Pabendon, Ir. Sumarni Singgih MS., dan Ir. Muh. Yasin HG. MS.,

Kepada Pimpinan dan Dosen SPs IPB, penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih atas segala bimbingan dan pembinaannya selama penulis menyelesaikan studi, terutama kepada Ketua Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman beserta staf yang telah membantu penulis selama mengikuti studi di IPB. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan mahasiswa Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman angkatan 2006 dan 2007 atas segala bantuan, dukungan dan kebersamaannya selama penulis mengikuti studi di SPs IPB.

Ungkapan rasa hormat, bangga, penghargaan setinggi-tingginya dan terima kasih penulis sampaikan kepada suami tercinta Dr. Andi Takdir Makkulawu SP.MP., dan anandaku A. Muhammad Fauzan atas curahan kasih sayang, perhatian dan pengorbanannya, kepada Ayahanda tercinta Massi Patittingi, Ibunda tercinta Hj. Siti Aminah (Almarhum), Mertua Andi Kessi Makkulawu SH., dan Andi Paiga BA. Kepada saudara-saudaraku, serta seluruh keluarga yang banyak memberikan bantuan


(9)

dan dukungannya, penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Secara khusus ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada keluarga Dr. Marsum Dahlan (alm) dan keluarga Prof. Dr. Ir. Djafar Baco, MS atas bimbingan dan arahannya selama ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat terhadap pengembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, September 2011


(10)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kaju Kabupaten Bone Sulawesi Selatan pada tanggal 1 April 1971 sebagai anak bungsu pasangan Massi Patittingi dan Hj. Siti Aminah (Almarhum). Pendidikan sarjana di Program Studi Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Hasanuddin Ujung Pandang, lulus pada tahun 1996. Pada tahun 2000, penulis diterima di Program Studi Pemuliaan Tanaman pada Program Pascasarjana UNPAD dan menamatkan pada tahun 2002. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman IPB diperoleh pada tahun 2007. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Badan Litbang Pertanian Departemen Pertanian Republik Indonesia.

Penulis bekerja sebagai peneliti pada Kelti Pemuliaan Tanaman di Balai Penelitian Tanaman Serealia sejak tahun 1999 sampai sekarang dan ditempatkan di Maros. Bidang penelitian yang menjadi tanggung jawab peneliti adalah pemuliaan tanaman jagung. Sebelas hibrida single cross adalah Bima 1, Bima 2 Bantimurung, Bima 3 Bantimurung, Bima 4, Bima 5, Bima 6, Bima 9, Bima 10, Bima 11, Bima 14 Batara, dan Bima 15 Sayang; tiga varietas jagung bersari bebas adalah Srikandi Kuning-1, Srikandi Putih-1 dan Anoman, dimana penulis sebagai salah seorang anggota Tim Pemulia, telah dirilis oleh Departemen Pertanian Republik Indonesia.


(11)

viii

BIODATA

N a m a : R. Neni Iriany M

Tempat/Tgl.Lahir : Kaju/1 April 1971

Instansi : Balai Penelitian Tanaman Serealia Maros Jabatan : Pemulia Tanaman Jagung

Alamat Kantor : Jl. Dr. Ratulangi No.274

Po.Box 1173 Makassar, Telp. 0411 371016, 371961. Fax. 0411 371961 E-mail: balitsereal@plasa.com,

balitser@yahoo.com

Maros 90514 Sulawesi Selatan.

Alamat Rumah : Jl. Kacang Hijau No.72 Komplek Balitsereal Maros Telp. 0411 371 764/081342749687 Kel: Allepolea Kec: LAU, Kab: Maros, Sulawesi Selatan 90511 Alamat E-mail : rn_iriany@yahoo.com

Riwayat Pendidikan:

1983 SD Negeri 241 Tellu Boccoe, Kab.Bone 1986 SMP Negeri 516 Mara, Kab.Bone 1989 SMA Negeri 372 Mara, Kab. Bone 1996 SSi. Universitas Hasanuddin (MIPA)

2002 MP. Universitas Padjadjaran (Pemuliaan Tanaman) Riwayat Kerja :

1999 – Sekarang : Peneliti Pemuliaan pada Balai Penelitian Tanaman Serealia.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 6

Hipotesis ... 6

Diagram Alir Penelitian ... 7

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 10

Genetika jagung manis (sweet corn)... 10

Penyakit bulai (downy mildew)... 11

Pengendalian penyakit bulai(downy mildew)... 13

Pemuliaan untuk ketahanan terhadap penyakit ... 14

Marka genetik ... 16

Keragaman genetik pada jagung ... 18

Korelasi marka DNA dengan marka fenotipik... 18

Metode dialel... 19

Daya gabung (combining ability) ... 20

Heterosis ... 22

BAB III Analisis keragaman genetik galur-galur jagung manis (Zea mays L. var. saccharata) berdasarkan marka SSRs (Simple Sequence Repeats) dan morfologi... 23

Abstrak ... 23

Pendahuluan ... 25

Bahan dan Metode ... 26

Hasil dan Pembahasan ... 33


(13)

xv

BAB IV Evaluasi daya gabung galur-galur jagung manis (Zea mays

L. var. saccharata) menggunakan silang puncak ... 43

Abstrak ... 43

Pendahuluan ... 45

Bahan dan Metode ... 46

Hasil Pembahasan ... 50

Kesimpulan ... 62

BAB V Evaluasi daya gabung galur jagung manis (Zea mays L. var. saccharata) dan heterosis hibridanya menggunakan persilangan diallel ... 63

Abstrak ... 63

Pendahuluan ... 65

Bahan dan Metode ... 67

Hasil Pembahasan ... 73

Kesimpulan ... 95

BAB VI. PEMBAHASAN UMUM ... 96

BAB VII. KESIMPULAN DAN SARAN ... 100

Kesimpulan ... 100

Saran ... 101

DAFTAR PUSTAKA ... 102


(14)

xv

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Kandungan nilai nutrisi dalam biji jagung manis ... 10 2. Perkembangan gejala penyakit bulai (downy mildew)………... 12 3. Materi tanaman yang digunakan dalam penelitian……… 26 4. Sekuen dari 20 marka mikrosatelit yang digunakan dalam

penelitian……… 28

5. Materi tanaman yang digunakan dalam analisis berdasarkan

marka SSRs dan morfologi……… 30

6. Data pengamatan morfologi galur jagung manis...……… 31 7. Kriteria goodness of fit berdasarkan nilai korelasi ……… 32 8. Profil data marka mikrosatelit hasil karakterisasi pada galur

jagung manis menggunakan 20 marka SSRs ……… 35 9. Deskripsi karakter morfologi 20 galur jagung manis …...……… 37 10. Materi genetik yang digunakan dalam persilangan top cross …... 47 11. Kriteria ketahanan tanaman jagung terhadap penyakit bulai... 49 12. Rata-rata hasil tongkol segar per petak, tinggi tanaman, dan

tinggi letak tongkol 45 galur jagung manis serta pembanding

………... 51 13. Nilai daya gabung umum hasil tongkol segar per petak, tinggi

tanaman dan tinggi letak tongkol 45 galur jagung manis

……… 53

14. Rata-rata panjang tongkol, jumlah baris biji per tongkol, diameter tongkol, dan 45 galur jagung manis serta

pembanding……… 56

15. Nilai daya gabung umum panjang tongkol, jumlah baris biji per tongkol, diameter tongkol, 45 galur jagung manis

………..………. 58

16 Rata-rata presentase serangan penyakit bulai 45 galur jagung manis dan pembanding, serta nilai DGU penyakit bulai

………... 60 17. Analisis ragam perbedaan genotipe……….. 70 18. Analisis ragam daya gabung metode I model 1 dari Griffing... 71


(15)

xv

19. Kuadrat tengah perbedaan antar genotipe karakter hasil tongkol segar per petak, panjang tongkol, diameter tongkol, dan jumlah baris biji per tongkol persilangan dialel (5 x 5) galur jagung

manis ………. 73 20. Kuadrat tengah perbedaan antar genotipe karakter tinggi

tanaman, tinggi letak tongkol, persentase serangan terhadap penyakit bulai dan kandungan gula persilangan dialel (5 x 5)

galur jagung manis ……… 73 21. Kuadrat tengah genotipe, DGU, DGK dan resiprokal pada

persilangan dialel (5 x 5) galur jagung manis ………. 74 22. Kuadrat tengah genotipe, DGU, DGK dan resiprokal pada

persilangan dialel (5 x 5) genotipe jagung manis ………... 75 23. Daya gabung umum lima galur jagung manis... 76 24. Nilai Daya Gabung Khusus 20 kombinasi persilangan galur

jagung manis... 77 25. Nilai rata-rata hasil tongkol segar per petak, P1, P2, dan F1 serta

nilai heterosis dan heterobeltiosis... 84 26. Nilai rata-rata panjang tongkol P1, P2, dan F1 serta nilai

heterosis dan heterobeltiosis ... ... 85 27. Nilai rata-rata diameter tongkol P1, P2, dan F1 serta nilai

heterosis dan heterobeltiosis ... ... 86 28. Nilai rata-rata jumlah baris biji per tongkol P1, P2, dan F1 serta

nilai heterosis dan heterobeltiosis... 87 29. Nilai rata-rata tinggi tanaman P1, P2, dan F1 serta nilai

heterosis dan heterobeltiosis ... ... 88 30. Nilai rata-rata tinggi letak tongkol P1, P2, dan F1 serta nilai

heterosis dan heterobeltiosis ... ... 89 31. Nilai rata-rata kandungan gula P1, P2, dan F1 serta nilai

heterosis dan heterobeltiosis………... 90

32. Nilai rata-rata persentase serangan penyakit bulai, P1, P2, dan


(16)

xv

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Bagan alir kegiatan penelitian ... 8 2. Daun tanaman jagung yang terserang bulai ... 13 3. Visualisasi pola pita DNA menggunakan marka SSRs

phi109188 melalui elektroforesis vertikal 4,5% PAGE

(Polyacrylamide Gel Electrophoresis)……… 34 4. Dendogram 39 galur jagung manis menggunakan 20 marka

SSRs dan dikonstruksi berdasarkan koefisien kemiripan

Jaccard ………. 36

5. Dendogram 20 galur jagung manis menggunakan 20 marka

SSRs berdasarkan koefisien kemiripan Jaccard……… 38 6. Dendogram 20 galur jagung manis menggunakan data

morfologi berdasarkan koefisien kemiripan Jaccard pada 11

karakter ………. 40

7. Dendogram 20 galur jagung manis menggunakan gabungan data genetik dan morfologi berdasarkan koefisien kemiripan


(17)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Nilai matriks kemiripan 39 galur jagung manis………... 112 2. Matriks kemiripan 20 galur jagung manis berdasarkan marka

SSRs……….. 113 3. Matriks kemiripan 20 galur jagung manis berdasarkan data

morfologi……….. 114

4. Matriks kemiripan 20 galur jagung manis berdasarkan marka

SSRs dan data morfologi………. 115


(18)

BAB. I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu tanaman pangan terpenting yang memiliki peranan strategis dalam pembangunan pertanian dan perekonomian Indonesia, mengingat komoditas ini mempunyai fungsi multiguna, baik untuk pangan, pakan, dan bahan baku industri. Sebagai sumber karbohidrat yang menempati peringkat ketiga di Asia setelah padi dan gandum, serta menempati peringkat kedua di Indonesia setelah padi sangat berperan dalam menunjang ketahanan pangan nasional. Penduduk beberapa daerah di Indonesia, misalnya di Madura dan Nusa Tenggara menggunakan jagung sebagai pangan pokok. Tongkol dan batangnya juga digunakan sebagai pakan ternak; biji jagung dapat diambil minyaknya dan dibuat tepung, yang dikenal dengan istilah tepung jagung atau maizena; dan bahan baku industri. Tongkol jagung kaya akan pentosa, yang dipakai sebagai bahan baku pembuatan furfural. Jagung yang telah direkayasa genetika juga sekarang ditanam sebagai penghasil bahan farmasi.

Kurun waktu lima tahun terakhir, kebutuhan jagung untuk bahan baku industri pakan, makanan, dan minuman terus meningkat berkisar antara 10% - 15% per tahun. Ditambah lagi akibat konsumsi jagung yang meningkat untuk pengembangan bioetanol terutama di Amerika Serikat (AS) yang juga produsen jagung dunia, harga jagung dunia melonjak mencapai 200 dolar AS per metrik ton atau naik sekitar 50%. Sumbangan jagung terhadap pendapatan domestikasi bruto (PDB) terus meningkat setiap tahun, sekalipun saat krisis ekonomi. Pada tahun 2000, kontribusi jagung sebesar 9,4 trilyun rupiah dan pada tahun 2003 meningkat secara tajam menjadi 18,2 trilyun rupiah. Kondisi demikian mengindikasikan besarnya peranan jagung dalam memacu pertumbuhan subsektor tanaman pangan dan pertanian serta perekonomian nasional secara umum (Departemen Pertanian, 2006).

Salah satu jenis jagung yang akhir-akhir ini permintaannya semakin meningkat adalah jagung manis (Zea mays L. var. saccharata) atau sweet corn. Jagung manis banyak disukai oleh konsumen karena rasanya yang manis, biasanya dipanen muda untuk dikonsumsi sebagai jagung rebus, bakar maupun jagung sayur. Kebutuhan


(19)

2

jagung manis terutama untuk konsumsi di daerah perkotaan, super market, dan daerah pinggiran perkotaan yang mendukung pariwisata, sementara limbah jagung segar setelah panen sangat bermanfaat bagi petani sebagai tambahan hijauan pakan ternak. Di pasaran lokal permintaan terhadap jagung manis terus meningkat mencapai 1-1,5 ton/hari, sedangkan permintaan dari pasar di wilayah Jakarta dan Batam bahkan bisa lebih dari 1,5 ton/hari. Permintaan jagung manis terus meningkat baik permintaan dalam negeri juga permintaan untuk ekspor ke luar negeri. Peningkatan ini dikarenakan pemanfaatan jagung manis sebagai makanan selingan, jagung sayur maupun untuk bahan baku industri. Pengembangan bioetanol membawa dampak pada peningkatan kebutuhan jagung dunia. Bahan baku bioetanol menggunakan amylase dan glukoamilase dari jagung manis. Peningkatan permintaan pasar jagung manis juga karena adanya perbaikan kadar gula dalam kultivar-kultivar jagung manis. Adanya peningkatan kadar gula karena hasil dari perbaikan gen-gen yang menyebabkan rasa manis pada jagung.

Jagung manis diperoleh dari jagung biasa yang mengalami mutasi resesif secara spontan, mutasi ini dapat mengendalikan konversi gula menjadi pati dalam endosperm. Karakter biji berkerut dan transparan, dengan kandungan gula yang tinggi dan kandungan pati yang rendah pada endosperm (Tracy, 1997). Jagung manis mengakumulasi gula sekitar dua kali (sekitar 12%) dan 8-10 kali lebih dapat larut dalam air dibanding jagung normal yang masih muda.

Jagung manis mengandung kadar gula yang relatif tinggi, rasa manis disebabkan oleh tiga gen utama yaitu gen sugary (su), sugary enhancer (se), dan shrunken (sh2). Kultivar jagung manis yang mengandung gen su, menghasilkan jumlah gula yang tinggi, tetapi terjadi perubahan gula menjadi pati secara cepat setelah panen jika tongkol tidak berada dalam temperatur yang dingin. Kultivar jagung manis yang mengandung gen se, menghasilkan jumlah gula lebih tinggi dibanding kultivar yang mengandung gen su. Kultivar yang mengandung gen se juga akan mengkonversi gula menjadi pati seperti jagung manis normal, tetapi prosesnya lebih lama setelah panen karena kandungan gulanya lebih tinggi. Kultivar jagung manis yang mengandung gen sh2, tidak langsung mengkonversi gula menjadi pati dan oleh karena itu setelah panen rasa manisnya bertahan untuk suatu waktu yang sangat panjang. Sekarang ini, beberapa Pemulia jagung sedang meneliti


(20)

3

kombinasi-kombinasi gen mana yang memberikan kandungan gula yang lebih tinggi (Cobbledick – OMAF, 1997).

Jagung manis belum ditanam secara luas di Indonesia, padahal permintaan jagung manis semakin meningkat setiap tahun. Namun demikian, menurut Data Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa produksi jagung manis Indonesia periode 2001-2005 belum dapat mencukupi kebutuhan konsumsinya (BPS, 2006). Hal ini dikarenakan jumlah varietas jagung manis yang beredar di Indonesia masih terbatas sehingga harga benihnya mahal, dan umumnya tidak tahan penyakit bulai. Harga benih yang mahal tersebut disebabkan karena umumnya varietas yang beredar dirilis oleh perusahaan swasta, dimana materi genetiknya merupakan hasil introduksi, dan belum ada pesaing dalam negeri. Varietas jagung manis yang beredar diantaranya adalah Manis Madu, Biji Mas, Chia Thai Seed (varietas bersari bebas), Sweet Boy, Bonansa, S & G, Thai Super Sweet (Hibrida).

Berdasarkan uraian di atas tampak bahwa permintaan jagung manis akan terus meningkat, sementara itu kemampuan produksi masih rendah dan mahalnya harga benih jagung manis. Oleh karena itu produksi jagung manis perlu ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan jagung manis tiap tahunnya. Namun upaya peningkatan produksi jagung selama ini menghadapi beberapa kendala, di antaranya adalah gangguan hama dan penyakit. Di negara-negara tropik dan sub tropik selain kekeringan, hama dan penyakit tanaman jagung merupakan salah satu penghambat utama yang mengganggu stabilitas produksi.

Pengaruh suatu penyakit terhadap hasil jagung cukup bervariasi, ada yang serangannya berat sampai menimbulkan puso (100% terserang) dan ada yang serangannya ringan. Selain itu intensitas dan keberadaan penyakit bervariasi dari waktu ke waktu dan dari satu ekosistem ke ekosistem lainnya, serta tergantung pula pada sifat patogen. Salah satu penyakit yang banyak menurunkan hasil tanaman jagung adalah penyakit bulai atau downy mildew. Penyakit ini disebabkan oleh jamur Peronosclerospora maydis yang menyerang daun jagung, dan dapat menimbulkan kehilangan hasil sampai 100% (Shurtleff 1980; Subandi et al. 1996). Epidemi penyakit bulai yang disebabkan oleh P. maydis di daerah Lampung pertama kali terjadi tahun 1973, mengakibatkan penurunan hasil jagung cukup drastis pada


(21)

4

tahun-tahun berikutnya. Dari tahun 1973 sampai 1979 terjadi penurunan produksi berturut-turut sebesar 115, 92, 19, 44, 62, 55, dan 70 ribu ton (Sudjadi 1992).

Usaha-usaha pengendalian penyakit pada dasarnya adalah cara-cara mengendalikan perkembangan patogen, memanfaatkan inang dan lingkungan untuk memperkecil akibat yang ditimbulkan patogen sehingga mencapai suatu titik di bawah ambang ekonomi dengan kerugian yang dapat diabaikan (Sudjadi 1992). Beberapa cara pengendalian penyakit bulai adalah penanaman kultivar tahan, pengaturan waktu tanam, sanitasi dan perlakuan benih dengan metalaksil. Perakitan kultivar unggul yang tahan terhadap penyakit dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain dengan melakukan hibridisasi atau persilangan. Persilangan merupakan salah satu upaya untuk menambah variabilitas genetik dan memperoleh genotipe baru.

Genotipe baru yang telah diperoleh diseleksi lagi untuk memperoleh genotipe yang lebih baik dan lebih unggul. Sejauh ini, para pemulia tanaman menggunakan marka morfologi dalam seleksi maupun persilangan. Namun ekspresi marka morfologi dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan kadang-kadang juga dipengaruhi oleh adanya interaksi epistatik dan pleiotropik. Hal ini mengakibatkan sulitnya memperoleh data yang bisa dipercaya. Oleh karena itu data karakterisasi secara morfologi harus didukung oleh karakterisasi secara molekuler.

Kemajuan yang pesat di bidang biologi molekular tanaman akhir-akhir ini telah memecahkan permasalahan di atas. Marka molekuler yang terkait erat dengan sejumlah karakter yang memiliki nilai ekonomi penting telah berhasil dikembangkan. Keadaan ini memungkinkan adanya seleksi tidak langsung dari suatu sifat yang diinginkan yaitu dengan hanya menguji pada tingkat bibit. Hal ini memberikan efisiensi dari segi waktu, sumber daya maupun energi yang sebenarnya dibutuhkan untuk memelihara suatu populasi yang besar selama beberapa generasi dan juga untuk memperkirakan parameter-parameter yang digunakan dalam proses seleksi secara langsung.

Pemanfaatan marka DNA sebagai alat bantu seleksi Marker Assisted Selection (MAS) lebih menguntungkan dibandingkan dengan seleksi secara fenotipik. Seleksi dengan bantuan marka molekuler didasarkan pada sifat genetik tanaman saja, tidak dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Dengan demikian, kegiatan pemuliaan tanaman


(22)

5

menjadi lebih tepat, cepat, dan relatif lebih hemat biaya dan waktu. Seleksi berdasarkan karakter fenotipik tanaman di lapang memiliki beberapa kelemahan seperti yang disarikan oleh Lamadji et al. (1999), di antaranya memerlukan waktu yang cukup lama, kesulitan memilih dengan tepat gen-gen yang menjadi target seleksi untuk diekspresikan pada sifat-sifat morfologi atau agronomi, rendahnya frekuensi individu yang diinginkan yang berada dalam populasi seleksi yang besar, dan fenomena pautan gen antara sifat yang diinginkan dengan sifat tidak diinginkan sulit dipisahkan saat melakukan persilangan.

Dari sejumlah marka molekuler, marka mikrosatelit atau SSRs (Simple Sequence Repeats) telah dikenal secara luas banyak memberikan harapan dalam studi keragaman genetik dan penampilannya yang kodominan sehingga dapat mengidentifikasi genotipe homozigot dan heterozigot dalam populasi.

Selama ini Balai Penelitian Tanaman Serealia (Balitsereal) belum pernah merilis varietas jagung manis, oleh karena itu untuk memperoleh varitetas jagung manis hasil rakitan Balitsereal maka dilakukan persilangan antara jagung manis

varietas ‘Thai supersweet’ dengan galur-galur koleksi Balitseral yaitu Mr4, Mr11, Mr12 dan Mr14. Keempat galur diketahui tahan terhadap penyakit bulai, mempunyai daya gabung yang baik dan berasal dari populasi yang beda. Galur-galur tersebut disilangkan dengan jagung manis melalui silang balik (back cross) sebanyak empat generasi dan silang diri (selfing) selama empat generasi. Persilangan dilakukan untuk memasukkan gen kemanisan dan mengembalikan karakter-karakter unggul yang ada pada masing-masing galur.

Galur-galur jagung manis yang sudah diperoleh dilakukan analisis kekerabatan berdasarkan karakter genotipe memanfaatkan marka SSRs, berdasarkan karakter morfologi, dan korelasinya untuk mengetahui apakah galur-galur tersebut mempunyai kemiripan genetik yang rendah atau jauh. Menurut Pabendon et al. (2005), galur Mr4 mempunyai kemiripan genetik yang rendah dengan galur Mr14 yaitu sekitar 0,27, yang berarti kedua galur memiliki hubungan genetik yang jauh sehingga jika disilangkan akan berpotensi menghasilkan turunan yang baik. Penelitian mengenai analisis korelasi kekerabatan berdasarkan data genotipe memanfaatkan marka SSRs dan morfologi pada jagung belum banyak dilakukan di Indonesia, terutama pada jagung manis.


(23)

6

Galur-galur jagung manis yang diperoleh juga dilakukan analisis daya gabung sebagai penyaringan untuk mendapatkan calon tetua dalam persilangan dialel. Penelitian mengenai daya gabung pada jagung telah dilaksanakan oleh (Beck et al. 1990; Crossa et al. 1990; Vasal et al. 1992; Kang et al. 1995; Kim dan Ajala 1996; Wang et al. 1999; Mickelson et al. 2001; Betrán et al. 2002; Revilla et al. 2002; Betrán et al. 2003; Bhatnagar et al. 2004; Long et al 2004; Menkir dan Ayodele 2005) dan tanaman yang lain (Boye-Goni and Marcarian 1985; Nienhuis dan Singh 1986; Borges 1987; Tenkouano et al. 1998; Hartman and St. Clair 1999) pada berbagai karakter yang berbeda.

Berdasarkan uraian di atas dipandang perlu untuk melakukan penelitian Analisis Jarak Genetik Berdasarkan Marka SSRs (Simple Sequence Repeats) dan Morfologi serta Analisis Daya Gabung untuk Pembentukan Hibrida Jagung Manis (Zea mays L. var. saccharata) sebagaimana bagan alir penelitian pada Gambar 1. Tujuan Penelitian

1. Mendapatkan galur-galur jagung manis tahan terhadap penyakit bulai,

2. Memperoleh informasi kekerabatan galur jagung manis berdasarkan keragaman genetik memanfaatkan marka SSRs, dan korelasinya dengan penampilan morfologi.

3. Memperoleh informasi nilai daya gabung umum galur-galur jagung manis, yang akan dijadikan tetua dalam persilangan dialel.

4. Mendapatkan informasi nilai daya gabung umum, daya gabung khusus galur jagung manis, dan nilai heterosis hibrida jagung manis.

5. Mendapatkan satu atau lebih calon hibrida silang tunggal yang mempunyai potensi hasil tinggi dan tahan penyakit bulai

Hipotesis

1. Jarak genetik berdasarkan karakter genotipe berkorelasi dengan jarak taksonomi berdasarkan karakter morfologi jagung manis.

2. Terdapat galur jagung manis yang memiliki jarak genetik cukup jauh dan tingkat keragaman genetik cukup besar berdasarkan marka SSRs.


(24)

7

3. Terdapat galur jagung manis yang memiliki nilai daya gabung, nilai heterosis tinggi, dan tahan terhadap penyakit bulai (downy mildew) sebagai kandidat tetua pembentukan hibrida.

4. Hibrida potensial diperoleh dari pasangan tetua kelompok heterotik yang berbeda

Diagram Alir Penelitian

Kegiatan penelitian secara keseluruhan meliputi beberapa tahapan yaitu:

1. Analisis keragaman genetik galur-galur jagung manis (Zea mays L. var. saccharata) berdasarkan marka SSRs (Simple Sequence Repeats) dan morfologi.

2. Evaluasi daya gabung umum galur-galur jagung manis (Zea mays L. var. saccharata) menggunakan silang puncak.

3. Evaluasi daya gabung galur jagung manis (Zea mays L. var. saccharata) dan heterosis hibridanya menggunakan persilangan diallel.


(25)

8

Mr4 x JM Mr11 x JM Mr12 x JM Mr14 x JM

Mr4 x F1 Mr11 x F1 Mr12 x F1 Mr14 x F1

BC4F4 BC4F4 BC4F4 BC4F4

Keterangan:

- JM = varietas jagung manis.

- P. Bulai = Penyakit bulai

Gambar 1 Bagan alir kegiatan penelitian POPULASI DASAR

Penelitian 1. Analisis Keragaman Genetik

Penelitian 2. Analisis Daya Gabung Umum - Marka SSRs

- Morfologi

- Gabungan SSRs dan morfologi

- Daya hasil - Ketahanan

Penyakit Bulai

Penelitian 3. Analisis Daya gabung dan Heterosis

- Daya hasil

- Ketahanan Penyakit Bulai

Informasi DG, Galur JM Tahan P. Bulai,

Calon Tetua Hibrida harapan


(26)

9

Dari peneltian 1 diperoleh pengelompokan galur jagung manis berdasarkan karakter genotipe memanfaatkan marka SSRs, dan pengelompokan galur berdasarkan kemiripan morfologi. Galur jagung manis yang terseleksi memiliki jarak genetik jauh digunakan pada percobaan 3.

Pada penelitian 2 dilakukan evaluasi daya gabung umum galur-galur jagung manis (Zea mays L. var. saccharata) menggunakan silang puncak. Informasi yang diperoleh pada percobaan ini adalah nilai efek daya gabung umum (DGU), dan galur jagung manis yang tahan penyakit bulai. Galur jagung manis yang terseleksi, dibandingkan dengan hasil percobaan 1 yang memiliki jarak genetik yang jauh. Hasil percobaan digunakan pada percobaan 3.

Pada penelitian 3 dilakukan evaluasi daya gabung galur jagung manis (Zea mays L. var. saccharata) dan heterosis hibridanya menggunakan persilangan diallel. Informasi yang diperoleh pada percobaan ini adalah nilai efek daya gabung khusus galur jagung manis sebagai tetua pembentukan varietas hibrida jagung manis dan nilai heterosisnya.

Secara keseluruhan, sasaran yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah diperoleh informasi mengenai daya gabung pada galur jagung manis, galur jagung manis yang tahan penyakit bulai, dan hibrida silang tunggal yang mempunyai hasil tinggi dan tahan terhadap penyakit bulai yang disebabkan oleh Peronosclerospora maydis.


(27)

BAB. II

TINJAUAN PUSTAKA

Genetika Jagung Manis (Sweet Corn)

Jagung manis (Zea mays L. var. saccharata) merupakan salah satu sayur-mayur yang populer di negara-negara maju seperti Amerika, Brasil, Prancis dan di negara-negara berkembang. Jagung ini dikonsumsi dalam bentuk jagung muda yang direbus atau dibakar, dibuat sayur, perkedel, cream atau susu, sirup, dan bahan baku pembuatan permen karena rasanya manis dan enak. Di Europa, Cina, Korea, dan Jepan, digunakan untuk topping pizza. Rasa manis disebabkan oleh kandungan gula yang tinggi pada endosperm, mengkilap, dan tembus pandang ketika belum masak, dan bila kering berkerut. Jagung manis selain rasanya manis dan enak juga bermanfaat bagi kesehatan seperti mengurangi resiko terkena penyakit jantung dan kanker terutama jika dikonsumsi dalam bentuk jagung rebus. Kandungan nutrisi jagung manis diperlihatkan pada Tabel 1 (Larson 2003).

Tabel 1 Kandungan nilai nutrisi dalam biji jagung manis Nilai nutrisi dalam biji jagung manis per 100 g

(3,5 oz)

Energy 90 kkal 360 kJ

Karbohidrat 19 g

- Gula 3.2 g

- Dietary fiber 2.7 g

Lemak 1.2 g

Protein 3.2 g

Vitamin A equiv. 10 μg 1% Asam Folat (Vit. B9) 46 μg 12%

Vitamin C 7 mg 12%

Besi 0.5 mg 4%

Magnesium 37 mg 10%

Kalium 270 mg 6%

Sumber: database nutrisi USDA

Jagung manis diperoleh dari field corn (jagung biasa) yang mengalami mutasi resesif secara alami dalam gen yang mengontrol konversi gula menjadi pati dalam endosperm biji jagung. Saat ini telah ditemukan 13 gen mutan yang dapat memperbaiki tingkatan gula pada jagung manis. Gen yang utama mempengaruhi


(28)

11

kemanisan jagung ada tiga yaitu : (1) gen sugary (su); (2) gen sugary enhancer (se); dan (3) gen shrunken (sh2). Ketiga gen tersebut merupakan gen resesif

sehingga harus ditanam terpisah dari varietas jagung biasa. Penyakit Bulai (Downy Mildew)

Penyebab penyakit bulai pada tanaman jagung Peronosclerospora dilaporkan ada lima spesies (Renfro 1980 dikutip Wakman 2001). Namun di Indonesia hanya ada dua spesies yang dilaporkan yaitu P. maydis dan P. philippinensis, tetapi umumnya P. maydis terdapat dimana-mana, sedangkan P. philippinensis khusus terdapat di daerah Sulawesi Utara.

Penyakit bulai atau embun berbulu (downy mildew) memiliki banyak nama setempat, antara lain di Jawa Tengah dikenal dengan nama omo putih, omo londo, dan omo bule, di Jawa Timur, omo putih, dan potehan, sedangkan di Jawa Barat dikenal sebagai omo bodas dan hama lieur (Semangun 1996).

Serangan penyakit bulai dapat dilihat pada permukaan daun terdapat garis-garis sejajar tulang daun berwarna putih sampai kuning diikuti dengan garis-garis klorotik sampai coklat. Bila infeksi makin lanjut, tanaman terlihat kerdil dan tidak berproduksi, tetapi jika infeksinya terlambat tanaman masih ada kemungkinan untuk berproduksi, hanya saja biji yang dihasilkan sudah terinfeksi patogen. Jamur berkembang secara sistemik, sehingga bila patogen mencapai titik tumbuh maka seluruh daun muda yang muncul mengalami klorotik, sedangkan daun pertama sampai ke empat masih terlihat sebagian hijau. Ini merupakan ciri-ciri dari infeksi patogen melalui udara. Bila biji jagung sudah terinfeksi, maka bibit muda yang tumbuh memperlihatkan gejala klorotik pada seluruh daun dan tanaman cepat mati. Di permukaan bawah daun yang terinfeksi dapat dilihat banyak terbentuk tepung putih yang merupakan spora patogen tersebut (Agrios 1988).

Menurut Semangun (1996), tanaman yang terinfeksi terdapat benang-benang jamur dalam ruang antar selnya, daun-daun tampak kaku, agak menutup, dan daun lebih tegak dari biasa. Akar kurang terbentuk dan tanaman mudah rebah. Tanaman yang terinfeksi pada waktu masih sangat muda biasanya tidak membentuk buah. Bila terinfeksi pada tanaman yang lebih tua, tanaman dapat tumbuh terus dan membentuk tongkol buah. Tongkol buah sering mempunyai tangkai yang panjang,


(29)

12

dengan kelobot yang tidak menutup pada ujungnya, dan hanya membentuk sedikit biji.

Kajiwara (1974) dari hasil penelitiannya dengan menggunakan daun jagung kultivar Harapan menggambarkan proses perkembangan gejala penyakit bulai yang tercantum dalam Tabel 3.

Tabel 2 Perkembangan gejala penyakit bulai (downy mildew) Hari setelah

inokulasi Gejala

2 5 6 7 9 14-25

Muncul bintik-bintik hijau pucat (1-2 mm). Muncul garis-garis berwarna hijau kekuningan.

Garis-garis tadi semakin jelas. Beberapa daun berubah warna menjadi kuning.

Seluruh daun berwarna kuning dan beberapa diantaranya mulai layu.

Daun pertama sampai daun ke tiga mati. Garis-garis kuning yang jelas muncul pada daun ke empat.

Gejala serangan sistemik mulai terlihat pada daun-daun yang baru terbentuk.

Jamur dapat bertahan hidup sebagai mycelium dalam embrio biji yang terinfeksi jika kondisi biji lembab. Bila biji ditanam, jamurnya ikut berkembang dan menginfeksi bibit, selanjutnya dapat menjadi sumber inokulum. Infeksi terjadi melalui stomata daun jagung muda umur di bawah satu bulan jika pada permukaan daun terdapat air gutasi atau tetesan air serta jamur berkembang secara sistemik. Sporangia (konidia) dan sporangiofora dihasilkan pada permukaan daun yang basah dalam gelap. Sporangia berperan sebagai inokulum sekunder. Pembentukan spora patogen membutuhkan udara yang lembab (lebih dari 90%) dan hangat pada suhu sekitar 220 C serta gelap. Produksi sporangia (sporulasi) sangat banyak terjadi pada dini hari antara pukul 03.00 sampai 05.00 (Semangun 1996). selanjutnya oleh tiupan angin di pagi hari, spora tersebut tersebar sampai jarak jauh dan bila spora menempel pada daun jagung muda yang basah, maka dalam waktu satu jam spora tersebut sudah mulai berkecambah dan menginfeksi daun melalui stomata jika ada air gutasi atau embun (Subandi 1996).

Penyakit bulai pada jagung terutama terdapat di dataran rendah dan jarang terdapat di tempat-tempat yang lebih tinggi dari 900-1.200 m (Rutgers 1916 dikutip Semangun 1996). Ini sesuai dengan penelitian Bustamam dan Kimigafukuro (1981)


(30)

13

yang dilakukan di Bogor menunjukkan bahwa konidium berkecambah paling baik pada suhu 20C. Varietas-varietas jagung berbeda ketahanannya terhadap penyakit bulai, ada yang tahan dan rentan. Hal ini ditentukan oleh gen-gen penyusun yang terdapat dalam tanaman jagung. Gambar 1 menunjukkan penampilan daun tanaman jagung yang terinfeksi penyakit bulai.

Gambar 2 Daun tanaman jagung yang terserang bulai Pengendalian Penyakit Bulai (Downy Mildew)

Pemberantasan penyakit bulai harus dilakukan secara terpadu diantaranya penggunaan varietas resisten, penanaman serentak, tanaman yang sakit dicabut dan dikubur dalam tanah atau dibakar agar tidak menjadi sumber penyakit, pengaturan pola tanam, dan penggunaan fungisida (Fagi et al. 1997). Pergiliran tanaman merupakan salah satu cara menekan tingkat serangan penyakit bulai. Karena tidak terbentuknya oospora memungkinkan patogen dapat bertahan di dalam daun, batang, kelobot, bunga jantan, bunga betina ataupun tongkol yang masih muda sehingga dapat bertahan dalam waktu yang cukup lama. Dengan demikian pertanaman jagung terus menerus sepanjang tahun akan menyebabkan patogen dapat bertahan terus.

Perlakuan biji dengan metalaksil, kerugian dapat dikurangi. Tetapi pemberantasan penyakit bulai dengan memakai fungisida biasanya terdapat masalah karena beberapa alasan yaitu (a) serangan patogen terhadap tanaman bersifat sistemik ; (b) Infeksi serangan terjadi pada malam hari; dan (c) Serangan terjadi pada saat tanaman berusia muda, pada waktu stadia pertumbuhan. Oleh karena itu


(31)

14

fungisida yang dapat digunakan untuk menekan serangan bulai adalah fungisida sistemik. Namun cara yang paling baik untuk memberantas serangan penyakit dan hama adalah dengan merakit kultivar resisten (Singh 1986; Mochizuki 1974).

Penanganan pemberantasan penyakit bulai selain penggunaan fungisida sistemik juga diusahakan mendapatkan varietas baru yang resisten. Hal ini telah dilakukan karena dengan penggunaan fungisida akan membutuhkan biaya tambahan kepada petani.

Pemuliaan untuk Ketahanan terhadap Penyakit

Program pemulian untuk menghasilkan varietas resisten terhadap penyakit harus melalui beberapa tahapan yakni mendapatkan sumber ketahanan dan menentukan pola pewarisan karakter ketahanan tanaman inang serta karakter genetik dari interaksi antara inang dengan patogen (Allard 1960). Hal tersebut dapat terlaksana dengan baik apabila pengkajian dilakukan pada lingkungan epidemik bagi patogen, baik di laboratorium, rumah kaca, maupun di lapangan. Beberapa kendala yang sering ditemukan adalah penentuan dan penilaian ketahanan, identifikasi genetik dari karakter ketahanan yang melibatkan interaksi gen yang tidak sealel, dan kaitan gen.

Untuk mengantisipasi hal tersebut di atas maka pada setiap pelaksanaan pengujian dan seleksi ketahanan tanaman perlu diusahakan terciptanya lingkungan epidemik yang mampu memberikan kondisi epifitotik patogen. Langkah yang harus dilaksanakan untuk menciptakan kondisi seluruh tanaman yang diuji terinfeksi patogen penyakit adalah dengan melakukan inokulasi buatan. Beberapa hal penting untuk keberhasilan inokulasi buatan tersebut adalah inokulum harus tetap bermutu tinggi, penerapan inokulasi diusahakan homogen untuk setiap tanaman, dan kondisi lingkungan pada saat inokulasi sesuai bagi pertumbuhan patogen, serta tanaman inang yang akan diuji harus bebas dari penyakit lain dan harus dalam keadaan fisiologik yang cocok untuk terjadinya serangan patogen.

Tanaman resisten dan tanaman rentan dapat dibedakan dengan mudah apabila dikendalikan oleh satu atau dua gen mayor. Pada keadaan tersebut varians ketahanan akan menunjukkan sebaran terputus atau diskontinyu. Sering pada ketahanan yang dikendalikan oleh banyak gen tidak ada perbedaan jelas antara individu tanaman


(32)

15

resisten dan tanaman rentan dalam populasi yang bersegregasi. Varians ketahanan tersebut bersifat kontinyu dengan perubahan perbedaan ketahanan yang kecil (Herison 2002).

Pegetahuan tentang adanya gen-gen pengendalian karakter ketahanan terhadap penyakit bulai akan memudahkan pemulia tanaman untuk merakit varietas resisten. Pamin (1980) menyimpulkan bahwa terdapat keragaman genetik yang cukup luas terbukti dari pembentukan varietas sintetik yang tahan penyakit bulai, dengan pembentukan intercross S1 dan S2 telah berhasil diturunkan tingkat serangan

penyakit bulai dari 60.8 persen pada bahan asal menjadi 22.4 persen pada intercross S1 dan 16.8 persen pada intercross S2.

Aday (1974) meringkas bahwa program pemuliaan yang dilakukan di Philipina guna menekan serangan bulai berlangsung dalam empat tahap yaitu:

a. isolasi dan seleksi galur-galur murni yang resisten terhadap bulai (DMR) (1953 – 1963).

b. skrening varietas lokal untuk ketahanan penyakit bulai pada areal yang luas dan introduksi plasmanutfah yang memiliki hasil tinggi (1964 – 1968).

c. pembentukan varietas hibrida persilangan antara varietas lokal tahan bulai dengan varietas introduksi plasmanutfah produksi tinggi (1967 – 1973).

d. perbaikan dalam populasi untuk ketahanan terhadap bulai dan seleksi karakter argonomi yang baik.

Dengan melaksanakan program di atas dewasa ini telah berhasil dirilis varietas-varietas seri Phil DMR dengan tingkat serangan rata-rata sebesar 34.63 persen dibandingkan dengan bahan asal sebesar 44.40 persen. Dekade sepuluh tahun terakhir sekarang ini juga telah dilaksanakan program Asian Maize Biotechnology Network (AMBIONET) berhasil melaksanakan pemetaan gen ketahanan penyakit bulai di Philipina, Cina, dan India, sedangkan di Indonesia sampai sekarang ini masih belum menghasilkan. Melihat kemajuan yang telah dicapai dengan pemberantasan melalui pemuliaan maka pencarian varietas baru yang resisten penyakit bulai masih dilanjutkan.


(33)

16 Marka Genetik

Marka genetik merupakan bagian kecil dari materi genetik yang mudah diidentifikasi. Menurut Liu (1998) penanda genetik ada tiga tipe (a) marka morfologi, protein (biokimia) dan DNA (molekuler). Marka morfologi mudah dilakukan tetapi sulit mengidentifikasi gen dalam jumlah besar jika populasi spesiesnya sedikit. Marka protein yang biasa digunakan adalah isozim, marka DNA dengan mengisolasi sebagian kecil daerah DNA. Menurut Tanksley dan McCouch (1997), marka morfologi merupakan secara visual dikarakterisasi secara fenotipik seperti warna bunga, bentuk biji, tipe tumbuh atau pigmentasi. Marka isozim adalah marka yang dapat membedakan enzim yang dideteksi melalui elektroforesis dan merupakan penanda spesifik. Keterbatasan dari marka-marka biokimia dan morfologi terbatas dalam jumlah dan dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan atau fase perkembangan dari tanaman.

Marka molekuler pada awal perkembangannya diperkenalkan untuk mengatasi kesulitan seleksi secara konvensional. Apabila marka molekuler yang terpaut dengan gen-gen yang dimaksud sudah diidentifikasi, maka marka tersebut dapat membantu mengurangi ukuran populasi dan waktu yang dibutuhkan dalam program pemuliaan per siklus seleksi. Beberapa kelebihan marka molekuler, khususnya memiliki kemampuan menyeleksi tanaman pada tahap pembibitan untuk sifat yang baru bisa diamati setelah tanaman tumbuh menjadi besar dan kemampuan menyeleksi sifat yang sangat sulit bila menggunakan seleksi fenotipe saja yang membutuhkan waktu relatif panjang (Couch et al. 1991).

Marka SSRs (Simple Sequence Repeats) atau biasa disebut mikrosatelit, telah menjadi sistem marka yang sering digunakan pada tanaman jagung (Smith et al. 1997). Simple Sequence Repeats (SSRs) terdiri dari susunan DNA dengan motif 1 - 6 pasang basa, berulang sebanyak lima kali atau lebih secara tandem (Vigouroux et al. 2002). SSR polimorfis telah digunakan secara ekstensif sebagai marka genetik pada studi genetik jagung seperti pada konstruksi pemetaan keterpautan gen dan pemetaan QTL (Romero-Severson 1998; Frova et al. 1999) atau analisis keragaman genetik dan evolusi (Senior et al. 1998; Pejic et al. 1998; Lu dan Bernardo 2001; Matsuoka 2002).


(34)

17

Primer SSR dibentuk berdasarkan pada daerah pengapit konservatif (conserved flanking region). Variasi dalam jumlah pengulangan untuk suatu batasan lokus diantara genotip-genotip yang berbeda dengan mudah dapat dideteksi dengan teknik PCR (Polymerase Chain Reaction) (Hamada et al. 1982; Powell et al. 1996). Kemudahan SSR dalam mengamplifikasi dan mendeteksi fragmen-fragmen DNA (Deoxyribo Nucleic Acid), serta tingginya tingkat polimorfisme yang dihasilkannya menyebabkan metode ini ideal untuk dipakai dalam studi genetik, terutama pada studi dengan jumlah sampel yang banyak. Selain itu, teknik PCR pada SSR hanya menggunakan DNA dalam jumlah kecil dengan daerah amplifikasi yang kecil, sekitar 100 - 300 bp (base-pair) dari genom. Selain itu, SSR dapat diaplikasikan tanpa merusak bahan tanaman karena hanya sedikit saja yang digunakan dalam ekstraksi DNA atau dapat menggunakan bagian lain, seperti biji atau polen (Senior et al. 1996).

Marka SSRs juga bersifat multialelik dan mudah diulangi sehingga penggunaan marka SSRs lebih menarik dalam mempelajari keragaman genetik di antara genotip-genotip yang berbeda (Senior et al. 1998). Keunggulan lain adalah selain produk PCR dari SSR dapat dielektroforesis dengan gel agarose, juga dapat dielektroforesis dengan menggunakan gel akrilamid terutama pada alel suatu karakter memiliki tingkat polimorfis yang rendah, dimana gel agarose tidak mampu digunakan (Macaulay et al. 2001).

Beberapa pertimbangan lain sehingga marka mikrosatelit banyak digunakan dalam studi genetik diantaranya: terdistribusi secara melimpah dan merata dalam genom, variabilitasnya sangat tinggi (banyak alel dalam lokus), dan sifatnya yang kodominan dengan lokasi genom yang telah diketahui. Dengan demikian, marka mikrosatelit merupakan alat uji yang memiliki reproduksibilitas dan ketepatan yang sangat tinggi sehingga banyak digunakan dalam membedakan genotipe, evaluasi kemurnian benih, pemetaan gen, sebagai alat bantu seleksi, studi genetik populasi, dan analisis diversitas genetik. Akhir-akhir ini, mikrosatelit lebih banyak digunakan untuk karakterisasi dan pemetaan genetik pada tanaman, diantaranya pada tanaman jagung, padi, anggur, kedelai, jewawut, gandum, dan tomat (Gupta et al. 1996; Powel et al. 1996).


(35)

18 Keragaman Genetik pada Jagung

Dengan munculnya metode molekuler untuk menduga variasi genetik, berbagai studi mengenai keragaman genetik dan hubungannya dengan galur-galur inbrida jagung, hibrida dan bersari bebas. Keragaman molekuler pada jagung telah diteliti untuk berbagai kepentingan. Mum dan Dudley (1994) telah berhasil mengidentifikasi kelompok heterotik utama dan subgrup dalam set yang terdiri atas 148 galur inbrida Amerika Serikat (A.S.), menggunakan 46 marka RFLP.

Berdasarkan analisis molekuler dengan menggunakan 83 marka SSR, Lu dan Bernardo (2001) menyimpulkan bahwa keragaman genetik sejumlah galur inbrida A.S. terbaru telah menurun pada level genetik tetapi tidak pada level populasi jika dibandingkan dengan galur-galur penting yang telah lama digunakan. George et al. (2004) menduga keragaman genetik untuk penyakit bulai terhadap 102 galur inbrida Asia menggunakan 76 marka SSR dan menyimpulkan bahwa aktivitas pemuliaan jagung di Asia tidak menyebabkan penurunan keragaman genetik dalam skala besar pada daerah tertentu dimana aktivitas dilakukan.

Korelasi Marka DNA dengan Marka Fenotipik

Penelitian mengenai hubungan antara marka-marka dan karakter-karakter yang bernilai ekonomi, penting dalam kaitannya dengan pemanfaatan marka molekuler sebagai alat bantu dalam pemuliaan. Perhatian utama dalam pogram pemuliaan jagung hibrida adalah mengidentifikasi galur-galur murni dimana dari hasil persilangannya akan diperoleh tingkat heterosis yang optimal (Lee et al. 1989). Estimasi kedekatan genetik antara tanaman bermanfaat di dalam studi evolusi populasi atau spesies dan dalam perencanaan persilangan untuk hibrida atau dalam pengembangan kultivar homozigous (Cox et al. 1985).

Hubungan genetik dapat bermanfaat sebagai alat peramal dalam penampilan kombinasi genotipe untuk program pemuliaan sehingga dapat mengurangi biaya dan waktu yang dibutuhkan dalam pengujian hibrida. Eksploitasi secara komersial dari fenomena heterosis adalah salah satu kontribusi yang sangat penting dari pemanfaatan hubungan genetik dalam pemuliaan tanaman di abad ini (Barbosa-Neto et al. 1996).


(36)

19

Estimasi jarak genetik sejumlah galur murni jagung yang dilakukan oleh Lee et al. (1989) berdasarkan MRD (Modified Rogers’ Distance) menunjukkan bahwa hasil (ton/ha) dan kemampuan daya gabung khusus (DGK) mempunyai korelasi yang nyata dengan MRD pada enam dari 10 peta kromosom jagung. Oleh sebab itu, gerombolisasi galur-galur jagung ke dalam kelompok heterosis sebelum pengujian di lapangan akan memungkinkan bagi peneliti pemulia untuk mengurangi biaya karena dapat menghindari terjadinya persilangan di dalam kelompok heterosis.

Riday et al. (2003) membandingkan antara nilai jarak genetik dengan morfologi dan heterosis pada Medicago sativa sub sp. sativa dan subsp. Falcata, menemukan bahwa jarak genetik berdasarkan AFLP tidak berkorelasi dengan hasil daya gabung khusus (DGK) namun sebaliknya matriks jarak berdasarkan morfologi terhadap 17 karakter agronomik dan karakter kualitatif mempunyai korelasi yang nyata dengan heterosis.

Metode Dialel

Metode dialel merupakan cara analisis keturunan untuk daya gabung, baik daya gabung umum maupun daya gabung khusus (Hallauer and Miranda 1981). Analisis dialel membantu para pemulia menentukan pola heterosis antar populasinya serta memilih bahan dan metode yang akan digunakan dalam program pemuliaannya.

Persilangan dialel yakni persilangan yang melibatkan sejumlah genotip (varietas, galur atau klon) dalam semua kombinasi. Masing-masing genotip mempunyai kesempatan untuk disilangkan dengan genotip lain, bahkan dapat ditambah dengan persilangan sendiri genotip itu. Melalui persilangan dialel dapat diketahui kombinasi mana yang cocok dipasangkan sehingga dapat menghasilkan suatu varietas yang lebih baik.

Menurut Griffing (1956), terdapat empat macam metode percobaan yang digunakan untuk analisis dialel yakni:

1.Metode 1: kombinasi lengkap p2 , terdiri dari tetuanya, F1, dan persilangan

resiprokalnya

2.Metode 2 : 1/2p (p + 1) kombinasi, terdiri dari tetuanya dan F1


(37)

20

4.Metode 4: ½ p (p-1) kombinasi, terdiri dari F1 saja tanpa tetua dan

resiprokalnya.

Penggunaan salah satu metode dialel tergantung dari tujuan analisisnya atau dihubungkan dengan penyederhanaan analisisnya. Berdasarkan cara penentuan tetua-tetua yang dipakai dalam persilangan, interpretasi hasil analisis dialel dibedakan ke dalam dua model, yaitu :

1. Model I atau model tetap (fixed model), dengan menggunakan tetua-tetua tertentu yang merupakan genotip yang dimaksud (reference genotype). Estimasi yang diperoleh hanya berlaku untuk genotip yang dimasukkan dalam pengujian dan tidak berlaku untuk populasi lain.

2. Model II atau model acak, dengan menggunakan tetua-tetua yang merupakan contoh acak dari populasi tetua yang dimaksud (reference population). Estimasi yang diperoleh diinterpretasikan berkaitan dengan populasi tetua, dari mana genotip yang dievaluasi diambil secara acak (Griffing 1956).

Dalam model I, tetua-tetua yang dipelajari atau diteliti adalah populasi, maka cukup tepat untuk menganalisis galur-galur elit yang terpilih. Analisis model I digunakan untuk mengestimasi efek DGU dan DGK yang hasilnya berlaku hanya untuk tetua-tetua yang dievaluasi saja. Hasil akan berubah bila tetua-tetua tersebut dievaluasi bersama-sama dengan tetua lain yang berbeda. Sedangkan tujuan utama analisis model II adalah estimasi komponen varians populasi yang dimaksud (reference population) dan berkaitan dengan tipe aksi gen dalam populasi (Moentono 1985).

Daya Gabung (Combining Ability)

Daya gabung merupakan ukuran kemampuan suatu galur atau tetua, yang bila disilangkan dengan galur lain akan menghasilkan hibrida dengan penampilan superior. Konsep daya gabung sangat penting dalam pemuliaan, berkaitan dengan prosedur pengujian galur-galur berdasarkan penampilan kombinasi keturunannya. Nilai masing-masing galur terletak pada kemampuannya untuk menghasilkan keturunan unggul bila dikombinasikan dengan galur-galur lain (Allard 1960).


(38)

21

Daya gabung ada dua macam yakni daya gabung umum (general combining ability) dan daya gabung khusus (specific combining ability). Daya gabung umum (DGU) adalah nilai rata-rata dari galur-galur dalam seluruh kombinasi persilangan bila disilangkan dengan galur-galur lain. Daya gabung umum yang baik adalah nilai rata-rata kombinasi persilangan mendekati nilai rata-rata keseluruhan persilangan. Daya gabung khusus (DGK) adalah penampilan kombinasi pasangan persilangan tertentu. Bila nilai pasangan persilangan tertentu lebih baik daripada nilai rata-rata keseluruhan persilangan yang terlibat, dikatakan daya gabung khususnya baik (Poehlman dan Sleeper 1990).

Daya gabung umum merupakan simpangan dari nilai rata-rata seluruh persilangan, sehingga nilai daya gabung umum dapat positif atau negatif. Dengan demikian jumlahnya sama dengan nol. Jadi nilai daya gabung umum merupakan angka yang relatif terhadap nilai daya gabung umum yang lain. DGU yang besar menunjukkan tetua/galur yang bersangkutan mempunyai kemampuan bergabung dengan baik, sedangkan nilai DGU yang rendah menunjukkan bahwa tetua tersebut mempunyai kemampuan bergabung yang lebih jelek daripada tetua yang lain. Nilai positif atau negatif dari DGU tergantung pada karakter yang diamati dan bagaimana cara menilainya.

Daya gabung yang diperoleh dari suatu persilangan antar kedua tetua, dapat memberikan informasi tentang kombinasi-kombinasi yang dapat memberikan turunan yang berpotensi hasil tinggi. Hasil tinggi dapat diperoleh apabila kombinasi tersebut memiliki nilai heterosis dan daya gabung khusus yang besar. Galur yang mempunyai efek daya gabung umum yang tinggi tidak selalu memberikan efek daya gabung khusus yang tinggi pula (Silitonga et al. 1993).

Daya gabung umum dan daya gabung khusus yang bermakna untuk karakter yang dievaluasi berindikasi bahwa keragaman karakter disebabkan oleh efek gen aditif dan non aditif. Semua karakter dari suatu galur dapat diketahui efek DGU dan DGK-nya, diantaranya karakter hasil, tinggi tanaman, berat biji, ketahanan terhadap hama penyakit dan lain-lain.


(39)

22 Heterosis

Pada umumnya apabila dua tanaman yang berlainan (unrelated or distantly related individuals) disilangkan, maka turunannya sering memperlihatkan gejala heterosis atau umumnya disebut vigor hibrida (Hybrid Vigour) (North 1979 dikutip Baihaki 1989). Tanaman turunan pertamanya memperlihatkan pertumbuhan yang lebih subur dan terkadang lebih genjah daripada kedua tetuanya. Untuk persilangan yang melebar, misalnya persilangan antar species tanaman atau antar genera, dapat menghasilkan tanaman turunan pertamanya menunjukkan pertumbuhan yang lemah. Dengan demikian terlihat bahwa terdapat variasi penampilan gejala heterosis dan tergantung pada materi yang digunakan dalam persilangan.

Fenomena heterosis telah banyak dimanfaatkan secara intensif pada pemuliaan jagung dalam membentuk kultivar hibrida. Keberhasilan jagung dalam memanfaatkan heterosis mendorong pemulia menggunakannya pada jenis tanaman lain seperti pada tanaman terung, tomat, mentimum, sorgum, dan lain-lain. (Dahlan et al. 1998).

Terdapat tiga konsep heterosis yang dapat menjelaskan gejala heterosis. Konsep pertama adalah konsep yang berdasarkan hipotesis bahwa vigor hibrida merupakan hasil terkumpulnya gen-gen dominan yang baik (Favourable dominant genes) dalam satu genotip tanaman dan dikenal sebagai hipotesis dominan.

Menurut Shull dan East (1908) dikutip Sriani et al. 2007, Davenport merupakan orang pertama yang mengajukan hipotesis dominan dalam upaya menjelaskan secara genetik mengenai gejala heterosis. Konsep kedua didasarkan kepada hipotesis bahwa vigor hibrida merupakan hasil penampilan superioritas heterozigositas terhadap homozigositas, artinya bahwa individu yang penampilan superior adalah individu yang memiliki jumlah alil dalam keadaan heterosigos yang terbanyak, konsep ini dikenal sebagai hipotesis overdominan.

Konsep ketiga didasarkan pada teori epistasis. Peranan aksi gen epistasis berperan terhadap wujudnya heterosis. Sumbangan tindakan gen interlokus terhadap pembentukan suatu sifat jelas diketahui, namun sangat rumit. Pengertian terhadap tindakan gen epistasis ini masih kurang jelas dan belum ada bukti yang cukup untuk menunjukkan epistatsis adalah sumber heterosis yang utama (Sriani et al. 2007).


(1)

110

Sreeramasetty TA et al. 2001. Resistance to downy mildew in medium maturity

maize genotypes. Environ. Ecol 19:213 – 215.

Subandi MS, Sudjadi, Pasaribu D. 1996. Laporan hasil pemantauan penyakit bulai dan Benih pada pertanaman jagung hibrida.

Subekti NA, Salazar AM. 2007. Diallel analysis of resistance to Bacterial Stalk Rot

(Pectobacterium chrysanthemi pv. zeae Burk., McFad. and Dim.) in corn (Zea

mays L.) Indonesian J of Agric Sci 8:48-52.

Sudjadi MS. 1992. Pengaruh masa tanam, faktor cuaca dan penyakit utama terhadap

hasil jagung di lahan tadah hujan Lampung Tengah. Penelitian Pertanian 12:

104-110.

Sujiprihati S, Saleh GB, Ali ES. 2001. Combining ability analysis of yield and

related characters in Single Cross Hybrids of Tropical Maize (Zea mays L.).

Sabrao J Breed Genet 33:111-120.

Sujiprihati S, Yunianti R, Syukur M, Undang. 2007. Pendugaan Nilai Heterosis dan Daya Gabung Beberapa Komponen Hasil pada Persilangan Dialel Penuh Enam

Genotipe Cabai (Capsicum annuum L.). Bul Agron 35:28-35.

Sujiprihati S, Syukur M, Yunianti R. 2008. Pemuliaan Tanaman. Departemen

Agronomi dan Hortikultura, IPB. Bogor.

Susanto U, Baihaki A, Setiamihardja R, Haryanto DTA. 2001. Variabilitas genetik dan Daya gabung umum galur-galur murni jagung melalui analisis topcross.

Zuriat 12:1-6.

Tanksley SD, McCouch SR. 1997. Seed banks and molecular maps: Unlocking

genetic potential from the wild. Science 277: 1063-1066.

Tenkouano A, Ortiz R, Vuylsteke D. 1998. Combining ability for yield and plant

phenology in plantain-derived populations. Euphytica 104:151-158.

Tollenaar M, Ahmadzadeh A, Lee EA. 2004. Physiological basis of heterosis for

grain yield in maize. Crop Sci 44:1839-1847.

Tracy WF. 1997. History, genetics, and breeding of supersweet (shrunken 2) sweet

corn. Plant Breed Rev 14:189-236.

Uddin MN, Ellison FW, O’Brian L, Latter BDH. 1992. Heterosis in F1 hybrids

derived from crosses of adapted Australian Wheats. Aust J Agric Res

43:907-919.

Vacaro E et al. 2002. Combining ability of twelve maize populations Pesuisa

Gropecuria Brasilerira. Brasilia 37:67-72.

Vasal SK et al. 1992. Heterosis and combining ability of CIMMYT’s tropical late

white maize germplasm. Maydica 37:217-223.

Vaz Patto MC, Satovic Z, Pego S, Fevereiro P. 2004. Assessing the genetic diversity

of Portuguess maize germplasm using microsatellite markers. Euphytica 137:

63-72.

Viana JMS, Matta FP. 2003. Analysis of general and specific combining abilities of


(2)

111

Vigouroux Y et al. 2002. Rate and pattern of mutation at microsatellite loci in

maize. Mol Biol Evol 19:1251-1260.

Virmani SS. 1994. Heterosis and Hybrid Rice Breeding. Monographs on

Theoretical and Applied Genetics 22. Berlin:Springer Verlag.

Virmani SS. 1999. Exloitation of heterosis for shifting the yield frontier in rice. Di dalam: Coors, J.G., and S. Pandey (Eds.). Genetics and Exploitation of Heterosis

in Crops. Proceedings of the international Symposium on the Genetic and

Exploitation of Heterosis in Crops; Mexico City, 17-22 Aug 1997. American

Society of Agronomi and Crop Science. Wisconsin.

Wahyudi MH, Setiamihardja R, Baihaki A, Ruswandi D. 2006. Evaluasi daya gabung dan heterosis hibrida hasil persilangan dialel lima genotip jagung pada

kondisi cekaman kekeringan. Zuriat 17:1-9.

Wakman W. 2001. Perbedaan morfologi antara konidia cendawan

Peronosclerospora sp. penyebab penyakit bulai pada jagung asal Pemalang

(Jawa), Lanrang dan Maros (Sulawesi Selatan). Disajikan pada Lokakarya PFI

IPB, Bogor.

Walter RF. 1987. Principles of Cultivar Development. Vol.1. (Theory and

Technique). New York:Mac Millan Publishing Company A Division of Mac Millan, Inc.

Wang G, Kang MS, Moreno O. 1999. Genetic analyses of grain filling and duration

in maize. Field Crops Research 61:211-222.

Warburton ML et al. 2002. Genetic characteristization of CIMMYT inbred maize

lines and open-pollinated population using large-scale fingerprinting methods.

Crop Sci 42:1822-1840.

Weising K, Nybom H, Wolft K, Meyer W. 1995. DNA Finger Printing in Plants and

Fungi. Boca Raton:CRC Press. Inc.

Williams WP, Windham GL, Buckley PM. 2008. Diallel analysis of aflatoxin

accumulation in maize. Crop Sci 8:134-138.

Woyengo VW, Odongo OM, Ajanga SI. 2002. Combining ability analysis of 72 maize inbred lines and development of topcross hybrids resistant to foliar

diseases. Kakamega: KARI 308-311.

Xia X, Liu J, Gong-She L. 2004. The use ofSSRs for predictin the hybrid yield and

yield heterosis in 15 key inbred lines of Chinese maize. Hereditas 141:207-215.

Yu Y et al. 2007 Genetic diversity and structure of the core collection for maize

inbred lines in china. Maydica 52:181-194.

Zelleka H. 2000. Combining ability for grain yield and other agronomic characters in

inbred lines of maize (Zea mays L.). Indian J of Genet and Plant Breed


(3)

Lampiran 1. Nilai matriks kemiripan 39 galur jagung manis M r4/ S C /B C 4- 1-1B M r4/ S C /B C 4- 2-1B M r4/ S C /B C 4- 2-2B M r4/ S C /B C 4- 2-3B M r4/ S C /B C 4-1B M r4/ S C /B C 4- 5-1B M r4/ S C /B C 4- 6-1B M r4/ S C /B C 4- 6-2B M r4/ S C /B C 4- 6-3B M r4/ S C /B C 4- 7-1B M r4/ S C /B C 4- 8-1B M r4/ S C /B C 4- 8-2B M r4/ S C /B C 4- 8-3B M r4/ S C /B C 3- 8-2B M r11/ S C /B C 4- 1-1B M r11/ S C /B C 4- 1-2B M r11/ S C /B C 4- 2-1B M r11/ S C /B C 4- 3-1B M r11/ S C /B C 4- 3-2B M r11/ S C /B C 4-1B M r11/ S C /B C 4- 6-1B M r11/ S C /B C 4- 6-2B M r11/ S C /B C 4- 7-2B M r11/ S C /B C 4- 8-1B M r12/ S C /B C 4- 1-1B M r12/ S C /B C 4- 2-1B M r12/ S C /B C 4- 3-1B M r12/ S C /B C 4- 3-2B M r12/ S C /B C 4-1B M r12/ S C /B C 4-2B M r12/ S C /B C 4- 5-1B M r12/ S C /B C 4- 5-2B M r12/ S C /B C 4- 5-3B M r12/ S C /B C 4- 6-1B M r12/ S C /B C 4- 6-2B M r12/ S C /B C 3- 1-1B M r12/ S C /B C 3- 1-2B M r12/ S C /B C 3-1B M r12/ S C /B C 3-2B Mr4/SC/BC4-1-1B 1.00 Mr4/SC/BC4-2-1B 0.78 1.00 Mr4/SC/BC4-2-2B 0.82 0.78 1.00 Mr4/SC/BC4-2-3B 0.72 0.79 0.82 1.00 Mr4/SC/BC4-4-1B 0.54 0.54 0.60 0.57 1.00 Mr4/SC/BC4-5-1B 0.60 0.59 0.67 0.65 0.68 1.00 Mr4/SC/BC4-6-1B 0.76 0.72 0.76 0.69 0.58 0.67 1.00 Mr4/SC/BC4-6-2B 0.43 0.44 0.54 0.46 0.41 0.55 0.63 1.00 Mr4/SC/BC4-6-3B 0.40 0.41 0.45 0.59 0.47 0.63 0.50 0.47 1.00 Mr4/SC/BC4-7-1B 0.46 0.47 0.52 0.55 0.59 0.65 0.63 0.48 0.67 1.00 Mr4/SC/BC4-8-1B 0.43 0.48 0.48 0.57 0.56 0.62 0.50 0.41 0.57 0.65 1.00 Mr4/SC/BC4-8-2B 0.58 0.57 0.64 0.70 0.65 0.79 0.72 0.53 0.67 0.76 0.79 1.00 Mr4/SC/BC4-8-3B 0.56 0.56 0.63 0.78 0.64 0.78 0.71 0.57 0.65 0.62 0.64 0.83 1.00 Mr4/SC/BC3-8-2B 0.40 0.44 0.45 0.50 0.45 0.55 0.52 0.50 0.42 0.48 0.55 0.59 0.69 1.00 Mr11/SC/BC4-1-1B 0.33 0.34 0.33 0.40 0.35 0.39 0.43 0.44 0.34 0.42 0.31 0.38 0.45 0.48 1.00 Mr11/SC/BC4-1-2B 0.26 0.29 0.26 0.25 0.37 0.44 0.35 0.47 0.32 0.53 0.37 0.44 0.47 0.45 0.67 1.00 Mr11/SC/BC4-2-1B 0.38 0.39 0.38 0.45 0.45 0.45 0.40 0.36 0.42 0.54 0.50 0.43 0.46 0.45 0.64 0.56 1.00 Mr11/SC/BC4-3-1B 0.33 0.34 0.33 0.42 0.39 0.44 0.38 0.32 0.41 0.52 0.48 0.42 0.45 0.44 0.61 0.50 0.96 1.00 Mr11/SC/BC4-3-2B 0.28 0.29 0.28 0.36 0.39 0.39 0.35 0.28 0.32 0.42 0.43 0.38 0.40 0.39 0.68 0.50 0.87 0.88 1.00 Mr11/SC/BC4-4-1B 0.29 0.31 0.29 0.30 0.35 0.32 0.29 0.29 0.23 0.38 0.38 0.31 0.39 0.38 0.68 0.56 0.72 0.67 0.70 1.00 Mr11/SC/BC4-6-1B 0.27 0.29 0.27 0.30 0.29 0.29 0.28 0.27 0.28 0.36 0.33 0.29 0.34 0.34 0.66 0.65 0.63 0.60 0.67 0.84 1.00 Mr11/SC/BC4-6-2B 0.21 0.22 0.21 0.22 0.26 0.34 0.32 0.35 0.29 0.38 0.39 0.33 0.31 0.44 0.62 0.42 0.54 0.57 0.63 0.46 0.50 1.00 Mr11/SC/BC4-7-2B 0.22 0.23 0.22 0.28 0.36 0.41 0.43 0.36 0.43 0.48 0.41 0.39 0.39 0.55 0.59 0.53 0.42 0.43 0.45 0.44 0.39 0.72 1.00 Mr11/SC/BC4-8-1B 0.27 0.27 0.27 0.25 0.21 0.32 0.45 0.42 0.29 0.35 0.24 0.31 0.29 0.42 0.57 0.69 0.46 0.45 0.45 0.39 0.39 0.58 0.61 1.00 Mr12/SC/BC4-1-1B 0.19 0.21 0.19 0.21 0.32 0.29 0.27 0.30 0.28 0.35 0.25 0.28 0.26 0.30 0.48 0.47 0.50 0.48 0.48 0.35 0.31 0.44 0.38 0.48 1.00 Mr12/SC/BC4-2-1B 0.28 0.31 0.28 0.19 0.26 0.28 0.36 0.33 0.34 0.45 0.32 0.35 0.25 0.34 0.45 0.44 0.33 0.36 0.35 0.32 0.39 0.45 0.42 0.56 0.42 1.00 Mr12/SC/BC4-3-1B 0.32 0.38 0.32 0.26 0.34 0.30 0.47 0.40 0.41 0.54 0.39 0.38 0.31 0.35 0.48 0.47 0.48 0.45 0.43 0.35 0.37 0.45 0.48 0.52 0.50 0.76 1.00 Mr12/SC/BC4-3-2B 0.15 0.24 0.15 0.25 0.33 0.25 0.27 0.29 0.40 0.47 0.25 0.30 0.30 0.27 0.40 0.46 0.37 0.40 0.37 0.33 0.30 0.30 0.28 0.33 0.37 0.53 0.56 1.00 Mr12/SC/BC4-4-1B 0.35 0.41 0.35 0.30 0.47 0.38 0.38 0.34 0.33 0.50 0.42 0.45 0.39 0.42 0.41 0.43 0.42 0.41 0.36 0.37 0.35 0.32 0.36 0.40 0.47 0.72 0.64 0.56 1.00 Mr12/SC/BC4-4-2B 0.33 0.38 0.33 0.35 0.45 0.44 0.42 0.40 0.42 0.57 0.39 0.47 0.45 0.44 0.56 0.50 0.48 0.52 0.47 0.38 0.37 0.42 0.46 0.47 0.53 0.52 0.54 0.56 0.71 1.00 Mr12/SC/BC4-5-1B 0.26 0.31 0.26 0.29 0.41 0.37 0.30 0.26 0.45 0.56 0.37 0.40 0.38 0.33 0.41 0.47 0.58 0.61 0.50 0.43 0.43 0.31 0.32 0.40 0.42 0.54 0.52 0.79 0.65 0.63 1.00 Mr12/SC/BC4-5-2B 0.21 0.30 0.21 0.33 0.42 0.32 0.31 0.29 0.47 0.47 0.32 0.37 0.37 0.33 0.32 0.35 0.40 0.42 0.37 0.26 0.23 0.23 0.26 0.37 0.42 0.41 0.50 1.00 0.61 0.65 0.79 1.00 Mr12/SC/BC4-5-3B 0.32 0.28 0.32 0.40 0.41 0.35 0.31 0.50 0.52 0.48 0.35 0.39 0.45 0.42 0.40 0.44 0.45 0.42 0.33 0.37 0.33 0.22 0.29 0.36 0.32 0.38 0.41 0.67 0.50 0.46 0.61 0.71 1.00 Mr12/SC/BC4-6-1B 0.30 0.35 0.30 0.30 0.32 0.32 0.28 0.30 0.34 0.44 0.32 0.35 0.33 0.30 0.48 0.47 0.47 0.48 0.44 0.50 0.47 0.35 0.27 0.47 0.45 0.57 0.46 0.65 0.62 0.63 0.63 0.59 0.48 1.00 Mr12/SC/BC4-6-2B 0.27 0.32 0.27 0.26 0.33 0.33 0.35 0.31 0.39 0.45 0.38 0.36 0.39 0.34 0.41 0.42 0.42 0.45 0.45 0.40 0.39 0.36 0.32 0.40 0.42 0.54 0.58 0.53 0.53 0.55 0.62 0.63 0.50 0.57 1.00 Mr12/SC/BC3-1-1B 0.30 0.27 0.30 0.35 0.48 0.37 0.40 0.34 0.34 0.58 0.42 0.46 0.38 0.38 0.41 0.53 0.50 0.52 0.46 0.43 0.41 0.29 0.38 0.40 0.38 0.44 0.41 0.63 0.63 0.58 0.75 0.56 0.62 0.54 0.44 1.00 Mr12/SC/BC3-1-2B 0.23 0.21 0.23 0.32 0.34 0.34 0.30 0.31 0.41 0.48 0.39 0.38 0.33 0.27 0.34 0.41 0.46 0.48 0.43 0.36 0.28 0.33 0.39 0.42 0.50 0.31 0.36 0.47 0.41 0.54 0.48 0.56 0.52 0.56 0.52 0.64 1.00 Mr12/SC/BC3-3-1B 0.20 0.23 0.20 0.32 0.30 0.24 0.33 0.30 0.40 0.53 0.30 0.35 0.25 0.21 0.33 0.33 0.30 0.32 0.29 0.36 0.27 0.32 0.38 0.35 0.37 0.53 0.53 0.73 0.53 0.47 0.40 0.70 0.43 0.56 0.42 0.50 0.71 1.00 Mr12/SC/BC3-3-2B 0.28 0.35 0.28 0.33 0.48 0.31 0.30 0.24 0.36 0.52 0.42 0.40 0.35 0.28 0.37 0.38 0.48 0.48 0.46 0.44 0.38 0.32 0.35 0.29 0.42 0.48 0.50 1.00 0.67 0.61 0.75 0.71 0.59 0.67 0.50 0.74 0.59 0.69 1.00


(4)

113

Lampiran 2 Matriks kemiripan 20 galur jagung manis berdasarkan marka SSRs

M

r4/S

C

/B

C

4-

2-1B

M

r4/S

C

/B

C

4-

2-2B

M

r4/S

C

/B

C

4-

2-3B

M

r4/S

C

/B

C

4-1B

M

r4/S

C

/B

C

4-

5-1B

M

r4/S

C

/B

C

4-

6-1B

M

r4/S

C

/B

C

4-

6-2B

M

r4/S

C

/B

C

4-

7-1B

M

r4/S

C

/B

C

4-

8-1B

M

r4/S

C

/B

C

4-

8-2B

M

r4/S

C

/B

C

4-

8-3B

Mr

11/S

C

/B

C

4-

1-1B

M

r11/S

C

/B

C

4-

3-1B

M

r12/S

C

/B

C

4-

1-1B

M

r12/S

C

/B

C

4-

5-1B

M

r12/S

C

/B

C

4-

5-2B

M

r12/S

C

/B

C

4-

5-3B

M

r12/S

C

/B

C

4-

6-1B

M

r12/S

C

/B

C

4-

6-2B

M

r12/S

C

/B

C

3-

1-1B

Mr4/SC/BC4-2-1B 1.00

Mr4/SC/BC4-2-2B 0.78 1.00

Mr4/SC/BC4-2-3B 0.79 0.82 1.00

Mr4/SC/BC4-4-1B 0.54 0.60 0.57 1.00

Mr4/SC/BC4-5-1B 0.59 0.67 0.65 0.68 1.00

Mr4/SC/BC4-6-1B 0.72 0.76 0.69 0.58 0.67 1.00

Mr4/SC/BC4-6-2B 0.44 0.54 0.46 0.41 0.55 0.63 1.00

Mr4/SC/BC4-7-1B 0.47 0.52 0.55 0.59 0.65 0.63 0.48 1.00

Mr4/SC/BC4-8-1B 0.48 0.48 0.57 0.56 0.62 0.50 0.41 0.65 1.00

Mr4/SC/BC4-8-2B 0.57 0.64 0.70 0.65 0.79 0.72 0.53 0.76 0.79 1.00

Mr4/SC/BC4-8-3B 0.56 0.63 0.78 0.64 0.78 0.71 0.57 0.62 0.64 0.83 1.00

Mr11/SC/BC4-1-1B 0.34 0.33 0.40 0.35 0.39 0.43 0.44 0.42 0.31 0.38 0.45 1.00

Mr11/SC/BC4-3-1B 0.34 0.33 0.42 0.39 0.44 0.38 0.32 0.52 0.48 0.42 0.45 0.61 1.00

Mr12/SC/BC4-1-1B 0.21 0.19 0.21 0.32 0.29 0.27 0.30 0.35 0.25 0.28 0.26 0.48 0.48 1.00

Mr12/SC/BC4-5-1B 0.31 0.26 0.29 0.41 0.37 0.30 0.26 0.56 0.37 0.40 0.38 0.41 0.61 0.42 1.00

Mr12/SC/BC4-5-2B 0.30 0.21 0.33 0.42 0.32 0.31 0.29 0.47 0.32 0.37 0.37 0.32 0.42 0.42 0.79 1.00

Mr12/SC/BC4-5-3B 0.28 0.32 0.40 0.41 0.35 0.31 0.50 0.48 0.35 0.39 0.45 0.40 0.42 0.32 0.61 0.71 1.00

Mr12/SC/BC4-6-1B 0.35 0.30 0.30 0.32 0.32 0.28 0.30 0.44 0.32 0.35 0.33 0.48 0.48 0.45 0.63 0.59 0.48 1.00

Mr12/SC/BC4-6-2B 0.32 0.27 0.26 0.33 0.33 0.35 0.31 0.45 0.38 0.36 0.39 0.41 0.45 0.42 0.62 0.63 0.50 0.57 1.00


(5)

114

Lampiran 3 Matriks kemiripan 20 galur jagung manis berdasarkan data morfologi

M

R

4/S

C

/B

C

4-1B

M

R

4/S

C

/B

C

4-

2-1B

M

R

4/S

C

/B

C

4-

7-1B

M

R

4/S

C

/B

C

4-

5-1B

M

R

4/S

C

/B

C

4-

2-2B

M

R

4/S

C

/B

C

4-

8-2B

M

R

4/S

C

/B

C

4-

6-1B

M

R

4/S

C

/B

C

4-

2-3B

M

R

4/S

C

/B

C

4-

8-1B

M

R

4/S

C

/B

C

4-

8-3B

M

R

4/S

C

/B

C

4-

6-2B

M

R

11/S

C

/B

C

4-

3-1

M

R

11/S

C

/B

C

4-

1-1

M

R

12/S

C

/BC4

-6

-1

M

R

12/S

C

/B

C

4-

1-1

M

R

12/S

C

/B

C

4-

5-2

M

R

12/S

C

/B

C

4-

6-2

M

R

12/S

C

/B

C

4-

5-3

M

R

12/S

C

/B

C

3-

1-1

M

R

12/S

C

/B

C

4-

5-1

MR4/SC/BC4-4-1B 1.00

MR4/SC/BC4-2-1B 0.75 1.00

MR4/SC/BC4-7-1B 0.75 0.75 1.00

MR4/SC/BC4-5-1B 0.56 0.56 0.75 1.00

MR4/SC/BC4-2-2B 0.56 0.56 0.56 0.40 1.00

MR4/SC/BC4-8-2B 0.75 0.75 0.75 0.56 0.56 1.00

MR4/SC/BC4-6-1B 0.75 0.75 0.75 0.56 0.56 1.00 1.00

MR4/SC/BC4-2-3B 0.56 0.56 0.56 0.40 0.40 0.75 0.75 1.00

MR4/SC/BC4-8-1B 0.56 0.56 0.56 0.75 0.40 0.56 0.56 0.40 1.00

MR4/SC/BC4-8-3B 0.56 0.56 0.56 0.40 1.00 0.56 0.56 0.40 0.40 1.00

MR4/SC/BC4-6-2B 0.75 0.75 1.00 0.75 0.56 0.75 0.75 0.56 0.56 0.56 1.00

MR11/SC/BC4-3-1 0.40 0.40 0.40 0.27 0.56 0.56 0.56 0.75 0.27 0.56 0.40 1.00

MR11/SC/BC4-1-1 0.56 0.56 0.56 0.40 0.40 0.56 0.56 0.75 0.56 0.40 0.56 0.56 1.00

MR12/SC/BC4-6-1 0.56 0.40 0.40 0.56 0.27 0.40 0.40 0.56 0.56 0.27 0.40 0.40 0.56 1.00

MR12/SC/BC4-1-1 0.27 0.27 0.27 0.40 0.40 0.27 0.27 0.40 0.56 0.40 0.27 0.56 0.56 0.56 1.00

MR12/SC/BC4-5-2 0.56 0.56 0.56 0.40 0.75 0.56 0.56 0.40 0.56 0.75 0.56 0.56 0.56 0.27 0.56 1.00

MR12/SC/BC4-6-2 0.75 0.56 0.56 0.40 0.40 0.56 0.56 0.75 0.40 0.40 0.56 0.56 0.75 0.75 0.40 0.40 1.00

MR12/SC/BC4-5-3 0.56 0.56 0.56 0.75 0.40 0.60 0.56 0.40 1.00 0.40 0.56 0.27 0.56 0.56 0.56 0.56 0.40 1.00

MR12/SC/BC3-1-1 0.40 0.40 0.56 0.75 0.40 0.40 0.40 0.27 0.56 0.40 0.56 0.27 0.27 0.40 0.40 0.40 0.27 0.56 1.00


(6)

115

Lampiran 4 Matriks kemiripan 20 galur jagung manis berdasarkan marka SSRs dan data morfologi

Mr

4/S

C

/B

C

4-

2-1B

M

r4/S

C

/B

C

4-

2-2B

M

r4/S

C

/B

C

4-

2-3B

M

r4/S

C

/B

C

4-1B

M

r4/S

C

/B

C

4-

5-1B

M

r4/S

C

/B

C

4-

6-1B

M

r4/S

C

/B

C

4-

6-2B

M

r4/S

C

/B

C

4-

7-1B

M

r4/S

C

/B

C

4-

8-1B

M

r4/S

C

/B

C

4-

8-2B

M

r4/S

C

/B

C

4-

8-3B

M

r11/S

C

/B

C

4-

1-1

M

r11/S

C

/B

C

4-

3-1

M

r12/S

C

/B

C

4-

1-1

M

r12/S

C

/B

C

4-

5-1

M

r12/S

C

/B

C

4-

5-2

M

r12/S

C

/B

C

4-

5-3

M

r12/S

C

/B

C

4-

6-1

M

r12/S

C

/B

C

4-

6-2

M

r12/S

C

/B

C

3-

1-1

Mr4/SC/BC4-2-1B 1.00

Mr4/SC/BC4-2-2B 0.78 1.00

Mr4/SC/BC4-2-3B 0.79 0.82 1.00

Mr4/SC/BC4-4-1B 0.54 0.60 0.57 1.00

Mr4/SC/BC4-5-1B 0.59 0.67 0.65 0.68 1.00

Mr4/SC/BC4-6-1B 0.72 0.76 0.69 0.58 0.67 1.00

Mr4/SC/BC4-6-2B 0.44 0.54 0.46 0.41 0.55 0.63 1.00

Mr4/SC/BC4-7-1B 0.47 0.52 0.55 0.59 0.65 0.63 0.48 1.00

Mr4/SC/BC4-8-1B 0.48 0.48 0.57 0.56 0.62 0.50 0.41 0.65 1.00

Mr4/SC/BC4-8-2B 0.57 0.64 0.70 0.65 0.79 0.72 0.53 0.76 0.79 1.00

Mr4/SC/BC4-8-3B 0.56 0.63 0.78 0.64 0.78 0.71 0.57 0.62 0.64 0.83 1.00

Mr11/SC/BC4-1-1 0.34 0.33 0.40 0.35 0.39 0.43 0.44 0.42 0.31 0.38 0.45 1.00

Mr11/SC/BC4-3-1 0.34 0.33 0.42 0.39 0.44 0.38 0.32 0.52 0.48 0.42 0.45 0.61 1.00

Mr12/SC/BC4-1-1 0.21 0.19 0.21 0.32 0.29 0.27 0.30 0.35 0.25 0.28 0.26 0.48 0.48 1.00

Mr12/SC/BC4-5-1 0.31 0.26 0.29 0.41 0.37 0.30 0.26 0.56 0.37 0.40 0.38 0.41 0.61 0.42 1.00

Mr12/SC/BC4-5-2 0.30 0.21 0.33 0.42 0.32 0.31 0.29 0.47 0.32 0.37 0.37 0.32 0.42 0.42 0.79 1.00

Mr12/SC/BC4-5-3 0.28 0.32 0.40 0.41 0.35 0.31 0.50 0.48 0.35 0.39 0.45 0.40 0.42 0.32 0.61 0.71 1.00

Mr12/SC/BC4-6-1 0.35 0.30 0.30 0.32 0.32 0.28 0.30 0.44 0.32 0.35 0.33 0.48 0.48 0.45 0.63 0.59 0.48 1.00

Mr12/SC/BC4-6-2 0.32 0.27 0.26 0.33 0.33 0.35 0.31 0.45 0.38 0.36 0.39 0.41 0.45 0.42 0.62 0.63 0.50 0.57 1.00