merupakan  suatu  mekanisme  pasip  yang  melibatkan  berbagai  maca  zat  pada permukaan  inang  dan  struktur  permukaan  konidia.  Pelekatan  konidia  pada
permukaan inang dipengaruhi oleh keadaan air di permukaan tubuh inang. b.
Penetrasi  jamur  entompatogen  melalui  inteumen,  kemudian  masuk  ke  dalam hemocall  serangga.  Pada  proses  ini  melibatkan  kerja  secara  fisik  dan  kimiawi.
Kombinas kerja dari kedua cara tersebut mengakibatkan jamur entomopatogen dapat masuk  ke  dalam  jaringan  hemocall  serangga.  Menurut  Robert  dan  Yendol  1971,
kerja  secara  fisik  dibantu  oleh  adanya  infection  peg  pada  bagian  tepi  apresorium yang  membantu  penghancuran  lapisan  tersebut.  Kerja  secara  kimiawi  menurut
Ratault  dan  vey  1977  dalam  Tanada  dan  Kaya  1993  terjadi  pada  saat  jamur entomopatogen  menmbus  kutikula  serangga.  Jamur  mengeluarkan  enzim  protlase,
lipase  aminopeptidase,  esterase  dan  N-acetyl-glukosamidase  Khitinase  untuk menguraikan kompanen penyusun kutikula serangga.
c. Perkembangan  jamur  entomopatogen  papa  tubuh  inang  sehingga  menyebabkan
kematian  inangnya.Kematian  inang  diawali  dari  pertumbuhan  hifa  dan  membentuk miselium  yang  menyebar  ke  segala  arah  dalam  hemocall  serangga  Robert  dan
Yendol, 1971.  Menurut Tanada dan Kaya  1993, terjadinya penyebaran misellium dalam  hemocall  serangga  mengakibatkan  kerusakan  jaringan  atau  organ  dalam
hemocall  secara  mekanis  pada  saluran  pencernaan,  otot,  sistem  syaraf  dan  sistem pernafasan.  Kerapkali  jamur  mengeluarkan  toksin  sehingga  terjadi  kenaikan  pH
darah,  penggumpalan  darah  dan  erhentinya  peredaran  darah.  Selanjutnya,  jamur akan  tumbuh  secara  sapropit  dalam  hemocall  membentuk  massa  hifa.  Hifa-hifa  dal
tubuh  serangga  terus  berkembang  akibatnya  serangga  mengalami  ”mumifikasi”. Menurut  Robert  dan  Yendol  1971,  tahap  pertumbuhan  Saprofit  berakhir  dengan
pembentukan  organ  reproduksi.  Mycelium  akan  menerobos  keluar  tubuh  serangga dan  membantu  spora  tahan  diluar  tubuh  inang.  Berdasarkan  keadaan  ini,  maka  kita
dapat memanfaatkan jamur entomopatogen sebagai agen pengendali serangga hama.
2.2.3. Gejala serangan Jamur P. Fumoso roseus
Tanda-tanda  terjadinya  infeksi  pada  inang  dapat  diperlihatkan  dengan  adanya kelainan  pada  morfologi  dan  struktur  tubuh  serangga,  perubahan  warna,  malformasi
integumen,  dll.  Inang  yang  terinfeksi  mengeksoresikan  adanya  gerakan  yang  abnormal, kurang  peka  terhadap  rangsangan,  gangguan  pencernaan,  dll.  Tannada  dan  Kaya,  1993.
Menurut  Widayat,  dkk  1996,  serangga  jamur  P.  fumoso roseus  menunjukkan  gejala  gerak yang  lamban,  aktifitas  makan  berkurang  dan  akhirnya  tidak  mau  makan,  kemudian  mati.
Tubuhnya  mengeras  dan  pada  kondisi  lembab  permukaan  tubuh  serangga  akan  diselimuti oleh  pertumbuhan  jamur  berwarna  putih  dan  tampak  seperti  bertepung  yaitu  kenampakan
dan massa konidia yang terbentuk.
2.2.4. Faktar-faktor yang Mernpengaruhi Pertumhuhan Jamur Entomopatogen
Pertumbuhan  jamur  entomopatogen  dipengaruhi  oleh  faktor  lingkungannya,  antara lain  suhu  udara,  kelembaban  udara,  radiasi  sinar  matahari,  pH  dan  senyawa  kimia  seperti
nutrisi  dan  pestisida  Muller  dan  Kogler,  1967  dalam  Robert  dan  Yendol,  1971.  Tanada 1959  dalam  Hill  1973  berpendapat,  suhu  dan  kelembaban  udara  berpengaruh  terhadap
ketahanan hidup  jamur  entomopatogen,  kemampuan  menginfeksi,  kerentanan  inang,  infeksi laten,  serta  mempengarurli  interaksi  antara  jamur  dengan  inangnya.  Menurut  Robert  dan
Yendol,  1971,  batas  suhu  ekstrim  untuk  pertumbuhan  jamur  entomopatogen,  antara  5 C  -
35 C.  Sedangkan  suhu  optimum  untuk  pertumbuhan,  patognisitas  dan  ketahanan  hidupnya,
menurut Mc Coy, et.al. 1988 dalam Tanada dan Kaya 1993 sekitar 20 C - 30
C. Kelembaban  udara  berpengaruh  terhadap  perkecambahan  dan  pembentukan  jamur
pada  tubuh  inang  yang  telah  mati  Robert  dan  Yendol  1971.  Menurut  Tanada  dan  Kaya 1993,  kelembaban  udara  yang  diperlukan  bagi  perkecambahan  konodia  dan  sporulasi
adalah 90 atau lebih. Robert  dan Yendol, 1971berpendapat, bahwa kelembaban tersebut, dapat berasal dari tubuh inang, embun, atau hujan.
Cahaya memengaruhi masa hidup  konidia dan sporulasi jamur entomopatogen pada inang  yang telah mati. Konidia  jamur  yang terkena langsung  sinar matahari dengan periode
yang  cukup  lama,  umumnya  akan  mai  karma  radiasi  oleh  sinar  ultra  violet  Tanada  dan Kaya,  1993.  Oki  Robert  dan  Yendol    1993  berpendapat  aplikasi  jamur  entomopatogen
sebaiknya  dilakukan  pada  sore  hari  untuk  menghindari  radiasi  sinar  ultra  violet.  Demikian pula  nutrisi  yang  ada  disekitar  jamur,  akan  berpengaruh  terhadap  perkecambahan  konidia.
Samson et.al. 1988 dalam Tanada dan Kaya 1993 menuliskan bahwa rendahnya kuantitas dan kualitas nutrisi akan mengurangi jumlah konidia yang berkecambah.
Mc  Coy  et.al  1988  dalam  Tanada  dan  Kaya  1993  mengemukakan  bahwa  dalam kondisi  yang  tidak  menguntungkan,  yaitu  kelembaban,  dan  suhu  udara  yang  rendah,  maka
jamur  akan  membentuk  unit  resisten  untuk  menjaga  kelangsungan  hidupnya  dalam  bentuk struktur  tahan  yakni  khlamidospora.  Struktur  tahan  ini  dapat  berada  pada  media  udara,
tanah, air, daun, dan inang.
2.2.6. Epizootik