Latar Belakang PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PERILAKU MEROKOK PADA PETUGAS KESEHATAN PUSKESMAS DI KOTA DENPASAR TAHUN 2016.

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Merokok tampaknya telah menjadi gaya hidup yang luas di masyarakat yang dibuktikan dengan tingginya jumlah perokok tiap tahun di berbagai negara. Indonesia merupakan negara penyumbang jumlah perokok terbesar ketiga di dunia setelah Cina dan India WHO, 2011. Menurut Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, peningkatan jumlah perokok di Indonesia, yaitu dari 34,2 tahun 2007 menjadi 36,3 pada tahun 2013 64,9 laki-laki dan 2,1 perempuan. Di Bali prevalensi perokok adalah 31 55 pada pria dan 7 pada wanita dengan jumlah batang rokok yang dihisap per hari mencapai 12 batang Kemenkes RI, 2013. Kebiasaan merokok merupakan perilaku yang tidak sehat, karena kandungan zat berbahaya yang terdapat pada asap rokok saat dikonsumsi mampu memicu berbagai macam penyakit. Dalam satu batang rokok mengandung 4000 bahan kimia beracun dan sebanyak 69 diantaranya bersifat karsinogenik atau menyebabkan kanker Benowitz Fu, 2007. Perilaku merokok menjadi penting untuk diperhatikan karena bahaya rokok tidak hanya mengancam para perokok aktif tetapi juga perokok pasif, yaitu orang lain di sekitar perokok yang ikut menghirup asap rokok. Dalam upaya menanggulangi masalah rokok di masyarakat, petugas kesehatan memiliki peran penting, yaitu sebagai contoh role model kesehatan bagi masyarakat. Segala perilaku petugas kesehatan cenderung menjadi acuan bagi masyarakat tidak hanya perilaku di tempat pelayanan kesehatan tetapi juga perilaku yang ditampilkan dalam kehidupan di masyarakat umum Bahar dkk, 2012. Perilaku merokok merupakan salah satu hal yang harusnya dihindari petugas kesehatan, mengingat pengalaman dan pengetahuannya tentang bahaya rokok lebih mendalam dibanding masyarakat biasa. Ng et al 2008 menyatakan petugas kesehatan merupakan kunci efektif untuk usaha berhenti merokok karena dianggap sebagai panutan dan model dalam bidang kesehatan, serta nasihatnya akan sangat diperhatikan oleh pasien dan masyarakat. Tingkat kepercayaan pasien terhadap petugas kesehatan sangatlah penting, menurut Liliweri 2008 kepercayaan dan moral dari seorang komunikator bisa terbentuk apabila petugas kesehatan itu sendiri bisa menjadi contoh dalam berperilaku tidak merokok. Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Kawasan Tanpa Rokok KTR dan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 7 Tahun 2013 juga telah melarang aktivitas merokok di areal fasilitas kesehatan, sehingga seharusnya tidak ada alasan untuk melakukan aktivitas merokok di areal fasilitas kesehatan oleh masyarakat maupun petugas kesehatan. Bali Tobacco Control Initiative BTCI tahun 2014 dalam penelitiannya tentang penerapan Perda Provinsi Bali nomor 10 tahun 2011 terkait KTR di fasilitas kesehatan menyatakan bahwa fasilitas kesehatan memiliki tingkat kepatuhan yang tinggi dalam menerapkan perda KTR, yaitu mencapai 88. Hal ini menunjukan bahwa fasilitas kesehatan telah berkomitmen dalam mengendalikan perilaku merokok di lingkungannya. Namun, hal ini justru bertolak belakang jika dibandingkan dengan data prevalensi perokok pada petugas kesehatan berdasarkan beberapa hasil penelitian yang menyatakan petugas kesehatan masih banyak yang merokok. Berdasarkan penelitian Aryda Sundari 2015 diketahui, sebanyak 36,4 petugas kesehatan di RSJ Bali merokok dan 18 di antaranya merokok di kawasan rumah sakit. Hasil serupa juga diperoleh Bahar dkk, 2012, yaitu sebanyak 33,4 dokter dan dokter gigi di Kota Makasar adalah perokok perokok tiap hari = 24 dan kadang-kadang merokok = 9,4. Penelitian lain menyebutkan sebanyak 94 pegawai kesehatan laki-laki di RSUD Tebo, mempunyai kebiasaan merokok di tempat kerja Apriwal, 2009. Menurut Giuseppe et al 2014 di Itali terdapat 20,9 petugas kesehatan yang merokok. Penelitian Stojanovic et al 2013 menyatakan 45,60 n=1383 petugas kesehatan di Serbia adalah perokok. Jiang et al 2007 menyatakan sebanyak 23 dokter di Cina adalah perokok n=3552. Data tersebut menunjukan bahwa masih banyak petugas kesehatan yang merokok. Terbentuknya perilaku merokok dipengaruhi banyak faktor, beberapa di antaranya adalah pengetahuan dan sikap seseorang terhadap rokok. Notoatmodjo 2010 menyatakan bahwa tingkat pengetahuan seseorang diperoleh melalui beberapa tahap sehingga nantinya dapat terbentuk perilaku positif yang berpengaruh pada kepatuhan dalam menerapkan sesuatu secara maksimal. Pendapat tersebut didukung oleh hasil penelitian Ceraso et al 2009 yang menyatakan kebiasaan merokok dokter pria di Cina berhubungan dengan rendahnya pengetahuan tentang risiko rokok terhadap kesehatan. Sikap juga diketahui berpengaruh terhadap perilaku seseorang. Menurut Azwar 2011, sikap individu memegang peranan dalam menentukan perilaku seseorang. Interaksi antara situasi lingkungan dengan sikap dan berbagai faktor di dalam maupun diluar individu akan membentuk suatu proses kompleks yang akhirnya menentukan bentuk perilaku seseorang. Pendapat ini didukung oleh hasil penelitian Zhou et al 2010 yang menyatakan bahwa perilaku merokok pada dokter di Cina dipengaruhi oleh sikap tentang perilaku merokok, yaitu 80 dokter yang meyakini bahwa teladan dari tenaga kesehatan tidak berhubungan dengan upaya berhenti merokok pasien. Bahkan menurut penelitian Surg 2010, diketahui sebanyak 31,4 ahli bedah di Cina menentang larangan merokok dalam ruangan di rumah sakit, hal ini berarti sikap tentang rokok juga mempengaruhi perilaku merokok pada petugas kesehatan. Berdasarkan data penelitian tersebut diketahui perilaku merokok pada petugas kesehatan ini sangat dipengaruhi oleh pengetahuan dan sikap tentang rokok, sehingga informasi mengenai pengetahuan dan sikap untuk menelusuri perilaku merokok pada petugas kesehatan sangatlah diperlukan. Di Kota Denpasar, saat ini belum ada data yang membahas tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku merokok pada petugas kesehatan di fasilitas kesehatan terutama puskesmas. Perilaku merokok pada petugas kesehatan di puskesmas menjadi hal penting untuk ditelusuri karena petugas kesehatan puskesmas berada pada fasilitas kesehatan yang menjadi ujung tombak dan garda terdepan dalam melayani kesehatan masyarakat. Perilaku merokok pada petugas kesehatan puskesmas ini perlu dikendalikan agar nantinya dapat menjadi contoh yang baik di masyarakat. Data tentang gambaran perilaku merokok pada petugas kesehatan ini juga dapat dimanfaatkan sebagai acuan dalam membuat program pengendalian rokok dan upaya promosi K3 di kawasan fasilitas kesehatan. Oleh karena itu, penulis merasa perlu melakukan penelitian tentang perilaku merokok pada petugas kesehatan puskesmas di Kota Denpasar.

1.2 Rumusan Masalah