PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PERILAKU MEROKOK PADA PETUGAS KESEHATAN PUSKESMAS DI KOTA DENPASAR TAHUN 2016.

(1)

UNIVERSITAS UDAYANA

PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU

MEROKOK PADA PETUGAS KESEHATAN

PUSKESMAS DI KOTA DENPASAR TAHUN 2016

I MADE RUMADI PUTRA

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA


(2)

ii

UNIVERSITAS UDAYANA

PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU

MEROKOK PADA PETUGAS KESEHATAN

PUSKESMAS DI KOTA DENPASAR TAHUN 2016

I MADE RUMADI PUTRA

NIM. 1220025054

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA


(3)

iii

UNIVERSITAS UDAYANA

PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU MEROKOK PADA

PETUGAS KESEHATAN PUSKESMAS DI KOTA DENPASAR

TAHUN 2016

Skripsi ini diajukan sebagai

Salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT

I MADE RUMADI PUTRA

NIM. 1220025054

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA 2016


(4)

iv

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui dan diperiksa di hadapan

Tim Penguji Skripsi

Program Studi Kesehatan Masyarakat

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Denpasar, 14 Juli 2016

Pembimbing

I Made Kerta Duana, SKM, MPH.

NIP. 19791117 200604 1 005


(5)

v

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui dan diperiksa di hadapan

Tim Penguji Skripsi

Program Studi Kesehatan Masyarakat

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Oleh:

I Made Rumadi Putra

NIM. 1220025054

Menyetujui,

Denpasar, 24 Juni 2016

Pembimbing

I Made Kerta Duana, SKM, MPH.

NIP. 19791117 200604 1 005

Mengetahui,

Kepala Bagian Kesehatan Kerja

I Made Kerta Duana, SKM, MPH.

NIP. 19791117 200604 1 005


(6)

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas karunia-Nya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan penyusunan proposal penelitian yang berjudul “Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Merokok pada Petugas Kesehatan Puskesmas di Kota Denpasar Tahun 2016” sesuai dengan jadwal waktu yang ditentukan. Rampungnya penulisan proposal penelitian ini tidak terlepas dari bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karenanya penulis mohon diberikan kesempatan mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada: 1. dr. I Made Ady Wirawan, M.P.H., Ph.D sebagai Ketua PS. KM FK Unud dan

Ketua Tim Penguji Skripsi.

2. Dr. dr. Partha Muliawan, M.Sc (OM) selaku Penguji II dalam sidang skripsi. 3. I Made Kerta Duana, S.K.M., M.P.H., sebagai kepala Bagian Kesehatan Kerja

dan pembimbing.

4. Keluarga, sahabat, dan orang terkasih yang telah membantu dan memberikan motivasi dan semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Semua pihak lain yang telah membantu pengambilan data dan penyusunan skripsi ini yang penulis tidak dapat disampaikan satu persatu.

Proposal penelitian ini masih memerlukan masukan dan koreksi dari berbagai pihak yang sifatnya membangun, sehingga proposal penelitian ini dapat lebih disempurnakan. Akhir kata, semoga proposal penelitian ini dapat memberikan manfaat.

Denpasar, Juni 2016 Penulis


(7)

vii

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

PEMINATAN KESEHATAN KERJA Skripsi, Juni 2016

Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Merokok Pada Petugas Kesehatan Puskesmas di Kota Denpasar Tahun 2016

I Made Rumadi Putra ABSTRAK

Perilaku merokok saat ini mudah ditemui di berbagai kelompok masyarakat, salah satunya pada petugas kesehatan. Perilaku merokok pada petugas kesehatan perlu mendapat perhatian serius karena petugas kesehatan harusnya menjadi contoh hidup sehat bagi masyarakat terutama mengenai perilaku bebas rokok. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pengetahuan, sikap, dan perilaku merokok pada petugas kesehatan puskesmas di Kota Denpasar.

Penelitian ini merupakan penelitian crossectional deskriptif yang dilaksanakan di Kota Denpasar mulai Bulan Maret sampai Mei 2016. Terdapat 212 populasi penelitian dan sampel penelitian berjumlah 107 petugas kesehatan. Data pengetahuan, sikap, dan perilaku merokok dikumpulkan melalui kuesioner terstruktur. Data dianalisis univariat serta bivariat menggunakan chi square dan

fisher exact.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui sebanyak 21,50% responden laki-laki dan 78,50% responden perempuan. Prevalensi perokok yang diperoleh dalam penelitian ini adalah 9,35%, yang seluruhnya laki-laki. Terdapat 47,06% perokok pada responden berpengetahuan kurang dan terdapat 100% perokok pada responden yang bersikap tidak baik. Pada kelompok responden berpengetahuan kurang, 47,06% adalah perokok. Pada kelompok responden yang memiliki sikap tidak baik, 100% adalah perokok.

Adanya petugas kesehatan puskesmas yang merokok perlu mendapat pembinaan yang serius dari pihak pimpinan puskesmas untuk membantu menghentikan perilaku merokok pada petugas kesehatan puskesmas dengan memanfaatkan klinik berhenti merokok sehingga diharapkan dapat menjadi contoh yang baik bagi masyarakat.


(8)

viii

Knowladge, Attitude, andSmoking Behavior Among Primary Health Care Workers in the City of Denpasar 2016

I Made Rumadi Putra ABSTRACT

Smoking behavior is now easily found in various groups of people, one of them on health care workers. Smoking behavior of health care workers needs serious attention because they are should be an example of healthy living for society, especially regarding non-smoking behavior. The purpose of this study is to describe the knowledge, attitudes, and smoking behaviors among health care worker in primary health centers in the city of Denpasar.

This research is a descriptive cross-sectional study conducted in Denpasar began in March to May 2016. The samples included 107 health care workers. Data of knowledge, attitudes and smoking behavior was collected through a structured questionnaire. Data were analyzed by descriptive, bivariate analysis using chi-square and Fisher exact.

Based on the results of research known as much as 21,50% of respondents are male and 78,50% respondents are female. The prevalence of smokers obtained in this study was 9,35%, which is entirely male. The pattern of smoking behavior of the respondent smokers are as much as 60% of respondents started smoking at age ≥17 years, 50% of respondents started smoking on the grounds of trial and error, 90% of respondents have never tried to quit smoking, and 50% of respondents are not ready to quit smoking. There are 47,06% of smokers in the less knowledgeable respondents and there are 100% of smokers in the bad attitudes respondents.

There are primary health care workers who smoke and all smokers were men so it needs serious attention of the leadership of the primary health centers to help stop the smoking behavior of health care workers.


(9)

ix

DAFTAR PUSTAKA

HALAMAN SAMPUL ... i

PERNYATAAN PERSETUJUAN ... iii

KATA PENGANTAR ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

DAFTAR LAMBANG DAN SINGKATAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Pertanyaan Penelitian ... 5

1.4 Tujuan Penelitian ... 6

1.4.1 Tujuan Umum... 6

1.4.2 Tujuan Khusus ... 6

1.5 Manfaat Penelitian ... 6

1.5.1 Manfaat Teoritis ... 6

1.5.2 Manfaat Praktis ... 7

1.6 Ruang Lingkup Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1 Merokok dan Kesehatan Kerja ... 8

2.2 Teori Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku (PSP) ... 11

2.3 Petugas Kesehatan ... 13

2.4 Perilaku Merokok pada Petugas Kesehatan ... 14

BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 17

3.1 Kerangka Konsep ... 17

3.2 Variabel dan Definisi Operasional Variabel ... 18


(10)

x

3.2.2 Definisi Operasional Variabel ... 19

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ... 22

4.1 Desain Penelitian ... 22

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 22

4.3 Populasi Penelitian ... 22

4.4 Sampel Penelitian ... 22

4.4.1 Perhitungan Besar Sampel ... 23

4.4.2 Teknik Pengambilan Sampel ... 23

4.4.3 Kriteria Inklusi ... 24

4.4.4 Kriteria Eksklusi ... 24

4.5 Instrumen Penelitian ... 25

4.6 Metode Pengumpulan Data ... 26

4.7 Metode Pengolahan Data ... 26

4.8 Analisis Data ... 28

4.9 Etika Penelitian ... 29

BAB V HASIL PENELITIAN ... 30

5.1 Karakteristik Responden ... 31

5.2 Distribusi Tingkat Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Merokok Responden ... 34

5.3 Distribusi Tingkat Pengetahuan Tentang Rokok berdasarkan Karakteristik Responden ... 36

5.4 Distribusi Sikap Anti Rokok berdasarkan Karakteristik Responden ... 38

5.5 Distribusi Status Merokok berdasarkan Karakteristik ... 39

5.6 Distribusi Status Merokok berdasarkan Tingkat Pengetahuan Tentang Rokok pada Responden ... 40

5.7 Distribusi Status Merokok berdasarkan Sikap Anti Rokok Responden .. 41

BAB VI PEMBAHASAN ... 42

6.1 Perilaku Merokok pada Petugas Kesehatan ... 42

6.2 Tingkat Pengetahuan tentang Rokok pada Petugas Kesehatan ... 51

6.3 Sikap Anti Rokok pada Petugas Kesehatan ... 53

6.4 Kelemahan Penelitian ... 54

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ... 56


(11)

xi

7.2 Saran... 57 DAFTAR PUSTAKA ... 58


(12)

xii

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel...19 Tabel 5.1 Karakteristik Responden Penelitian...33 Tabel 5.2 Distribusi Tingkat Pengetahuan, Sikap, dan Status Merokok

Responden...34 Tabel 5.3 Pola Perilaku Merokok pada Perokok Saat Ini (Current Smoker)....35 Tabel 5.4 Distribusi Tingkat Pengetahuan berdasarkan Karakteristik

Responden...36 Tabel 5.5 Distribusi Sikap berdasarkan Karakteristik Responden...38 Tabel 5.6 Distribusi Status Merokok berdasarkan Karakteristik

Responden...39 Tabel 5.7 Distribusi Status Merokok berdasarkan Tingkat Pengetahuan

Responden...40 Tabel 5.8 Distribusi Status Merokok berdasarkan Sikap Responden...41


(13)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Jadwal Rencana Penelitian...65 Lampiran 2. Lembar Persetujuan Responden Penelitian (Inform Consent)...66 Lampiran 3. Kuesioner Penelitian...67 Lampiran 4. Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner (Cronbach Alpha

Coefficient)...73 Lampiran 5. Output STATA...76 Lampiran 6. Dokumentasi Penelitian...89


(14)

xiv

DAFTAR LAMBANG DAN SINGKATAN

Daftar Lambang

% : Persen

> : Lebih besar

< : Lebih kecil

≥ : Lebih besar sama dengan

≤ : Lebih kecil sama dengan.

= : Sama dengan

: : Titik dua

Daftar Singkatan

AROL : Asap Rokok Orang Lain

BTCI : Bali Tobacco Control Initiative

CO : Karbon monoksida

HCN : Hidrogen Sianida

ILO : International Labor Organization

KTR : Kawsan Tanpa Rokok

NNAL : 4-(methylnitrosamino)-1-(3-pyridyl)-1-butanol NNK : 4-(methylnitrosamino)-1-(3-pyridyl)-1-butanone Perda : Peraturan Daerah

RSJ : Rumah Sakit Jiwa

RSUD : Rumah Sakit Umum Daerah


(15)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Merokok tampaknya telah menjadi gaya hidup yang luas di masyarakat yang dibuktikan dengan tingginya jumlah perokok tiap tahun di berbagai negara. Indonesia merupakan negara penyumbang jumlah perokok terbesar ketiga di dunia setelah Cina dan India (WHO, 2011). Menurut Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, peningkatan jumlah perokok di Indonesia, yaitu dari 34,2% tahun 2007 menjadi 36,3% pada tahun 2013 (64,9% laki-laki dan 2,1% perempuan). Di Bali prevalensi perokok adalah 31% (55% pada pria dan 7% pada wanita) dengan jumlah batang rokok yang dihisap per hari mencapai 12 batang (Kemenkes RI, 2013).

Kebiasaan merokok merupakan perilaku yang tidak sehat, karena kandungan zat berbahaya yang terdapat pada asap rokok saat dikonsumsi mampu memicu berbagai macam penyakit. Dalam satu batang rokok mengandung 4000 bahan kimia beracun dan sebanyak 69 diantaranya bersifat karsinogenik atau menyebabkan kanker (Benowitz & Fu, 2007). Perilaku merokok menjadi penting untuk diperhatikan karena bahaya rokok tidak hanya mengancam para perokok aktif tetapi juga perokok pasif, yaitu orang lain di sekitar perokok yang ikut menghirup asap rokok.

Dalam upaya menanggulangi masalah rokok di masyarakat, petugas kesehatan memiliki peran penting, yaitu sebagai contoh (role model) kesehatan


(16)

2

bagi masyarakat. Segala perilaku petugas kesehatan cenderung menjadi acuan bagi masyarakat tidak hanya perilaku di tempat pelayanan kesehatan tetapi juga perilaku yang ditampilkan dalam kehidupan di masyarakat umum (Bahar dkk, 2012). Perilaku merokok merupakan salah satu hal yang harusnya dihindari petugas kesehatan, mengingat pengalaman dan pengetahuannya tentang bahaya rokok lebih mendalam dibanding masyarakat biasa. Ng et al (2008) menyatakan petugas kesehatan merupakan kunci efektif untuk usaha berhenti merokok karena dianggap sebagai panutan dan model dalam bidang kesehatan, serta nasihatnya akan sangat diperhatikan oleh pasien dan masyarakat. Tingkat kepercayaan pasien terhadap petugas kesehatan sangatlah penting, menurut Liliweri (2008) kepercayaan dan moral dari seorang komunikator bisa terbentuk apabila petugas kesehatan itu sendiri bisa menjadi contoh dalam berperilaku tidak merokok.

Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 7 Tahun 2013 juga telah melarang aktivitas merokok di areal fasilitas kesehatan, sehingga seharusnya tidak ada alasan untuk melakukan aktivitas merokok di areal fasilitas kesehatan oleh masyarakat maupun petugas kesehatan. Bali Tobacco Control

Initiative (BTCI) tahun 2014 dalam penelitiannya tentang penerapan Perda

Provinsi Bali nomor 10 tahun 2011 terkait KTR di fasilitas kesehatan menyatakan bahwa fasilitas kesehatan memiliki tingkat kepatuhan yang tinggi dalam menerapkan perda KTR, yaitu mencapai 88%. Hal ini menunjukan bahwa fasilitas kesehatan telah berkomitmen dalam mengendalikan perilaku merokok di lingkungannya. Namun, hal ini justru bertolak belakang jika dibandingkan dengan


(17)

3

data prevalensi perokok pada petugas kesehatan berdasarkan beberapa hasil penelitian yang menyatakan petugas kesehatan masih banyak yang merokok.

Berdasarkan penelitian Aryda & Sundari (2015) diketahui, sebanyak 36,4% petugas kesehatan di RSJ Bali merokok dan 18% di antaranya merokok di kawasan rumah sakit. Hasil serupa juga diperoleh (Bahar dkk, 2012), yaitu sebanyak 33,4% dokter dan dokter gigi di Kota Makasar adalah perokok (perokok tiap hari = 24% dan kadang-kadang merokok = 9,4%). Penelitian lain menyebutkan sebanyak 94% pegawai kesehatan laki-laki di RSUD Tebo, mempunyai kebiasaan merokok di tempat kerja (Apriwal, 2009). Menurut Giuseppe et al (2014) di Itali terdapat 20,9% petugas kesehatan yang merokok. Penelitian Stojanovic et al (2013) menyatakan 45,60% (n=1383) petugas kesehatan di Serbia adalah perokok. Jiang et al (2007) menyatakan sebanyak 23% dokter di Cina adalah perokok (n=3552).

Data tersebut menunjukan bahwa masih banyak petugas kesehatan yang merokok. Terbentuknya perilaku merokok dipengaruhi banyak faktor, beberapa di antaranya adalah pengetahuan dan sikap seseorang terhadap rokok. Notoatmodjo (2010) menyatakan bahwa tingkat pengetahuan seseorang diperoleh melalui beberapa tahap sehingga nantinya dapat terbentuk perilaku positif yang berpengaruh pada kepatuhan dalam menerapkan sesuatu secara maksimal. Pendapat tersebut didukung oleh hasil penelitian Ceraso et al (2009) yang menyatakan kebiasaan merokok dokter pria di Cina berhubungan dengan rendahnya pengetahuan tentang risiko rokok terhadap kesehatan. Sikap juga diketahui berpengaruh terhadap perilaku seseorang. Menurut Azwar (2011), sikap individu memegang peranan dalam menentukan perilaku seseorang. Interaksi


(18)

4

antara situasi lingkungan dengan sikap dan berbagai faktor di dalam maupun diluar individu akan membentuk suatu proses kompleks yang akhirnya menentukan bentuk perilaku seseorang. Pendapat ini didukung oleh hasil penelitian Zhou et al (2010) yang menyatakan bahwa perilaku merokok pada dokter di Cina dipengaruhi oleh sikap tentang perilaku merokok, yaitu 80% dokter yang meyakini bahwa teladan dari tenaga kesehatan tidak berhubungan dengan upaya berhenti merokok pasien. Bahkan menurut penelitian Surg (2010), diketahui sebanyak 31,4% ahli bedah di Cina menentang larangan merokok dalam ruangan di rumah sakit, hal ini berarti sikap tentang rokok juga mempengaruhi perilaku merokok pada petugas kesehatan.

Berdasarkan data penelitian tersebut diketahui perilaku merokok pada petugas kesehatan ini sangat dipengaruhi oleh pengetahuan dan sikap tentang rokok, sehingga informasi mengenai pengetahuan dan sikap untuk menelusuri perilaku merokok pada petugas kesehatan sangatlah diperlukan. Di Kota Denpasar, saat ini belum ada data yang membahas tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku merokok pada petugas kesehatan di fasilitas kesehatan terutama puskesmas. Perilaku merokok pada petugas kesehatan di puskesmas menjadi hal penting untuk ditelusuri karena petugas kesehatan puskesmas berada pada fasilitas kesehatan yang menjadi ujung tombak dan garda terdepan dalam melayani kesehatan masyarakat. Perilaku merokok pada petugas kesehatan puskesmas ini perlu dikendalikan agar nantinya dapat menjadi contoh yang baik di masyarakat. Data tentang gambaran perilaku merokok pada petugas kesehatan ini juga dapat dimanfaatkan sebagai acuan dalam membuat program pengendalian rokok dan upaya promosi K3 di kawasan fasilitas kesehatan. Oleh karena itu, penulis merasa


(19)

5

perlu melakukan penelitian tentang perilaku merokok pada petugas kesehatan puskesmas di Kota Denpasar.

1.2Rumusan Masalah

Petugas kesehatan sebagai contoh (role model) kesehatan seharusnya bisa berperan penting dalam upaya menanggulangi masalah rokok ini. Namun, saat ini prevalensi perokok pada kalangan petugas kesehatan masih cukup tinggi. Di Indonesia diketahui sebanyak 33,4% tenaga kesehatan adalah perokok. Puskesmas sebagai fasilitas kesehatan yang menjadi garda terdepan dalam melayani masyarakat di bidang kesehatan seyogyanya diisi oleh petugas kesehatan yang mampu menjadi contoh yang baik terutama terbebas dari perilaku merokok. Tingkat pengetahuan dan sikap petugas kesehatan tentang rokok memiliki pengaruh dalam terbentuknya perilaku merokok pada petugas kesehatan, sehingga informasi mengenai pengetahuan, sikap, dan perilaku merokok sangat diperlukan. Saat ini belum ada data mengenai gambaran pengetahuan, sikap, dan perilaku merokok pada petugas kesehatan puskesmas khususnya di Kota Denpasar. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang pengetahuan, sikap dan perilaku merokok pada petugas kesehatan puskesmas di Kota Denpasar.

1.3Pertanyaan Penelitian

Bagaimana gambaran pengetahuan, sikap dan perilaku merokok pada petugas kesehatan puskesmas di Kota Denpasar?


(20)

6

1.4Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui gambaran pengetahuan, sikap, dan perilaku merokok pada petugas kesehatan puskesmas di Kota Denpasar.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui karakteristik petugas kesehatan puskesmas di Kota Denpasar.

2. Untuk mengetahui prevalensi perokok pada petugas kesehatan puskesmas di Kota Denpasar.

3. Untuk mengetahui gambaran perilaku merokok pada petugas kesehatan puskesmas di Kota Denpasar

4. Untuk mengetahui gambaran sikap tentang rokok pada petugas kesehatan puskesmas Kota Denpasar.

5. Untuk mengetahui gambaran pengetahuan tentang rokok pada petugas kesehatan puskesmas di Kota Denpasar.

1.5Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat menambah informasi di bidang promosi kesehatan dan keselamatan kerja (K3) terutama dalam hal pengetahuan, sikap, dan perilaku merokok pada petugas kesehatan puskesmas di Kota Denpasar tahun 2016.


(21)

7

1.5.2 Manfaat Praktis

1 Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan rujukan dalam upaya pengendalian perilaku merokok di puskesmas di Kota Denpasar. Kebijakan yang dihasilkan tersebut dapat melindungi petugas kesehatan puskesmas dan pasien dari bahaya asap rokok di puskesmas.

2 Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan rujukan dalam merancang strategi promosi K3 di puskesmas Kota Denpasar melalui peningkatan peran petugas kesehatan sebagai contoh (role model) perilaku bebas rokok bagi masyarakat.

1.6Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian bidang kesehatan dan keselamatan kerja khususnya berkaitan dengan promosi K3 yang membahas pengetahuan, sikap, dan perilaku merokok pada petugas kesehatan puskesmas di Kota Denpasar.


(22)

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Merokok dan Kesehatan Kerja

Merokok adalah kegiatan mengonsumsi tembakau dengan cara membakar olahan tembakau kemudian menghisap asap yang dihasilkan (Sitepoe, 2011). Munculnya bahaya yang diakibatkan rokok ini disebabkan oleh zat-zat beracun yang dihasilkan rokok saat dikonsumsi. Asap rokok terdiri atas campuran substansi-substansi kimia dalam bentuk gas dan partikel-partikel terdispersi di dalamnya. Rokok mengandung lebih dari 4000 senyawa kimia dan sebagian besar bahan atau senyawa-senyawa tersebut bersifat toksik bagi berbagai macam sel dalam tubuh, seperti karbon monoksida (CO), hidrogen sianida (HCN), dan oksida nitrogen, nitrosamin, formaldehid. Zat-zat ini dapat memberikan efek toksiknya dengan mekanisme spesifik dan pada sel-sel atau unit-unit makromolekuler sel tertentu terutama pada sistem pernapasan (Kuschner & Blanc, 2007).

Salah satu efek tidak langsung dari kebiasaan merokok adalah menyebabkan mortalitas dengan meningkatkan berbagai penyakit degeneratif pada beberapa sistem organ, yaitu sistem pernafasan, sistem kardiovaskular, sistem gastrointestinal, sistem muskuloskeletal, kulit, sistem syaraf, dan sistem imun (Hukkanen dkk, 2005; McPhee & Pignone, 2007).


(23)

9

Data lain juga menyatakan hal serupa, yaitu telah dijumpai angka mortalitas terbesar akibat rokok adalah penyakit pada sistem kardiovaskular, yaitu sebesar 37%, kanker sebesar 28% dan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) sebesar 26% (Barber et al., 2008). Dampak negatif akibat asap rokok tersebut tidak hanya mengancam para perokok, namun juga orang di sekitar perokok yang ikut menghirup asap rokok yang disebut perokok pasif. Fenomena perokok pasif ini seringkali terjadi di tempat dengan oarng-orang yang berdiam secara rutin dan dalam waktu lama di suatu tempat, salah satunya adalah tempat kerja. Oleh karenanya telah banyak yang menghubungkan perilaku merokok dengan kesehatan kerja, sebab perilaku merokok terutama di tempat kerja ini tidak hanya membahayakan kesehatan perokok sendiri tapi juga berpotensi membahayakan kesehatan pekerja lain yang ikut menghirup asap rokok di tempat kerja.

Menurut Takala (2005) sebanyak 200.000 pekerja meninggal setiap tahun karena paparan asap rokok orang lain di tempat kerja. Kematian karena paparan asap rokok orang lain ini merupakan 1 dari 7 penyebab kematian akibat kerja. Stark et al (2007) menyatakan bahwa pekerja yang tidak terlindungi dari asap rokok orang lain (AROL) di tempat kerja telah diketahui mampu meningkatkan kadar 4-(methylnitrosamino)-1-(3-pyridyl)-1-butanol (NNAL) sebagai biomarker 4-(methylnitrosamino)-1-(3-pyridyl)-1-butanone (NNK) dalam urine. Senyawa NNK ini merupakan zat karsinogen berbahaya yang berperan penting sebagai penyebab kanker paru. Penelitian Nurjanah dkk (2014) tentang dampak paparan asap rokok orang lain (AROL) di tempat kerja, menemukan sebanyak 14 orang (20%) dari 70 pekerja telah mengalami gangguan restriksi (penyempitan) ringan, dan obstruksi ringan hingga sedang sebanyak 2 orang (2,9%).


(24)

10

Penelitian BTCI pada tahun 2014 menyatakan bahwa dari 200 pekerja bar dan restoran di Kabupaten Badung Bali, sebanyak 44% adalah perokok aktif dan 56% pekerja adalah perokok pasif. Selain itu juga diketahui sebanyak 30% pekerja mengalami gangguan fungsi paru akibat asap rokok di tempat kerja. Penelitian lain yang dilakukan Nurjanah dkk (2014) tentang paparan asap rokok di bar dan restoran Kota Semarang menemukan dari 70 orang sampel, sebanyak 81,4% pekerja adalah perokok pasif yang berarti 18,6% pekerja lainnya adalah perokok aktif. Selain itu dari 13 lokasi, terdapat 4 lokasi (30,8%) dengan kualitas udara PM2.5 yang tidak sehat dan 4 lokasi (30,8%) menunjukkan level PM2.5 yang sangat tidak sehat.

Menurut Cameron et al (2010), rata-rata PM2.5 akan meningkat sekitar 30% tiap ada penambahan orang merokok dalam jarak 1 meter dari monitor, dengan situasi tersebut diperkirakan rata-rata paparan orang yang berada setinggi atau di atas kepala perokok akan meningkat sekitar 50%. Hal ini berarti paparan asap rokok sangat berpengaruh dalam status kualitas udara di tempat kerja.

Dalam upaya mengontrol paparan asap rokok di tempat kerja, telah banyak upaya pengendalian yang dilakukan salah satunya dengan penerapan perda Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Di Propinsi Bali telah ditetapkan Perda Propinsi Bali Nomor 10 Tahun 2011 tentang kawasan tanpa rokok. Perda KTR ini mengatur pelarangan merokok di 7 kawasan meliputi tempat bermain anak, tempat ibadah, fasilitas kesehatan, angkutan umum, tempat kerja, dan tempat umum. Perda ini diterapkan dengan tujuan melindungi hak masyarakat untuk menghirup udara sehat yang bebas asap rokok (Pemerintah Daerah Provinsi Bali, 2011). Tiap kabupaten/kota di Propinsi Bali juga telah menerapkan perda


(25)

masing-11

masing tentang KTR, salah satunya Kota Denpasar yang telah mengeluarkan Perda Nomor 7 Tahun 2013 tentang KTR.

Banyak pemilik usaha yang takut mengalami pengeluaran tambahan dalam merealisasikan kebijakan ini, namun nyatanya kebijakan ini memberikan dampak positif yang jauh lebih besar bagi perusahaan. Lopez et al (2011) merilis hasil penelitian yang dilakukan di Meksiko, yaitu penerapan peraturan KTRtidak akan berdampak negatif terhadap keuangan restauran, melainkan justru berdampak positif. Menurut Scollo et al (2003) tidak terdapat dampak negatif penerapan KTR terhadap keuangan hotel, justru hal ini bisa melindungi para pekerja dan pengelola sendiri dari racun yang dihasilkan oleh asap rokok, di mana hal ini justru membantu untuk mencegah dari biaya kesehatan.

2.2 Teori Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku (PSP)

Pengetahuan adalah proses yang dihasilkan karena belajar tentang sesuatu hal, dari tidak tahu menjadi tahu. Proses belajar melalui panca indera meliputi, penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa dan peraba. Pengetahuan menjadi faktor penting dalam membentuk perilaku, karena perilaku terbentuk didahului oleh pengetahuan dan sikap yang positif (Notoatmodjo, 2003). Pengetahuan tentang rokok bisa didapat melalui penglihatan seperti melihat dan membaca berita tentang rokok melalui media massa. Selain itu bisa juga didapat melalui mendengarkan sosialisasi yang diberikan oleh petugas kesehatan. Dalam konteks petugas kesehatan, pengetahuan tentang rokok didapatkan dari proses di bangku pendidikan, keterpaparan informasi di fasilitas kesehatan dan lainnya.


(26)

12

Telah banyak penelitian yang dilakukan guna mengetahui tingkat pengetahuan petugas kesehatan tentang rokok. Selain itu telah banyak pula yang menghubungkan tingkat pengetahuan petugas kesehatan tentang rokok dengan perilaku merokok yang dilakukan. Behbehani et al (2004), menyatakan petugas kesehatan yang merokok memiliki pengetahuan yang kurang terhadap bahaya rokok dibanding petugas kesehatan yang tidak merokok. Ceraso et al (2009) menyatakan petugas kesehatan yang merokok memiliki pengetahuan yang terbatas mengenai hubungan merokok dengan penyakit dibandingkan petugas kesehatan yang tidak merokok.

Penelitian Naing et al (2004) menyatakan proporsi merokok pada lelaki dewasa yang memiliki pengetahuan baik tentang dampak buruk merokok 17,6% lebih rendah dibandingkan pada yang pengetahuannya kurang. Kemudian hasil penelitian Wahidien et al (2007) menyatakan perilaku merokok pengemudi ojek di Perumahan Taman Telkomas Kota Makassar dipengaruhi perilaku inisiasi merokok, ketergantungan merokok, persepsi dampak merokok dan usaha berhenti merokok. Semua ini merupakan faktor yang kompleks yang mana salah satu yang mempengaruhi adalah pengetahuan.

Sikap adalah respon seseorang terhadap adanya rangsangan, objek atau situasi tertentu. Sikap merupakan pendapat seseorang terhadap suatu keadaan atau situasi tertentu. Dalam konteks kesehatan, sikap dapat berupa pendapat seseorang terhadap program atau upaya kesehatan yang sedang diterapkan. Ungkapan pendapat dapat berupa pernyataan setuju atau tidak setuju, senang atau tidak senang dan mau atau tidak mau. Sikap juga merupakan kesiapan seseorang untuk berprilaku. Sikap yang positif terhadap sesuatu (setuju, senang, mau) akan


(27)

13

memicu prilaku yang postif pula (Notoatmodjo, 2010). Beberapa penelitian yang membahas mengenai sikap yang dikaitkan dengan perilaku merokok telah banyak dilakukan. Naing et al (2004) menyatakan bahwa proporsi merokok pada lelaki dewasa yang memiliki sikap setuju bahwa merokok berbahaya bagi kesehatan 13,6% lebih rendah dibandingkan pada yang tidak setuju bahwa merokok berbahaya bagi kesehatan.

Pada hakekatnya perilaku manusia adalah tindakan atau aktivitas dari manusia yang mempunyai rentangan yang sangat luas antara lain: berjalan, berbicara, menangis, tertawa, kuliah, bekerja, menulis, dan sebagainya.Benyamin Bloom dalam Notoatmodjo (2007), membagi perilaku ke dalam 3 domain (ranah/kawasan), yang terdiri dari ranah kognitif (cognitive domain), ranah afektif

(affective domain), dan ranah psikomotor (psychomotor domain). Terbentuknya

suatu perilaku baru, terutama pada orang dewasa dimulai pada domain kognitif, yang artinya, subjek tahu terhadap stimulus berupa materi atau objek di luarnya sehingga menimbulkan pengetahuan baru pada subjek tersebut dan selanjutnya menimbulkan respon batin dalam bentuk sikap pada subjek terhadap objek. Akhirnya rangsangan yakni objek yang telah diketahui dan disadari sepenuhnya akan menimbulkan respon yang lebih jauh lagi, yaitu berupa tindakan (action) terhadap stimulus atau objek. Namun dalam kenyataannya, stimulus yang diterima oleh subjek dapat langsung menimbulkan tindakan. Artinya seseorang dapat bertindak atau berperilaku baru tanpa mengetahui terlebih dahulu makna stimulus yang diterimanya. Dengan kata lain, tindakan (practice) seseorang tidak harus didasari oleh pengetahuan atau sikap (Notoatmodjo, 2007).


(28)

14

2.3Petugas Kesehatan

Petugas kesehatan (Health Worker) adalah semua orang yang bekerja di lingkungan fasilitas kesehatan. Secara umum petugas kesehatan dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu petugas medis dan non medis. Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014, tenaga medis terdiri dari dokter dan dokter gigi saja (Kemenkes RI, 2014). Profesi keperawatan dan bidan tidak termasuk kelompok profesi medis dan juga tidak dapat dikelompokkan pada profesi non medis, sehingga dikelompokkan pada profesi paramedis. Profesi lainnya, seperti tenaga kesmas, kefarmasian dan sebagainya tidak dikelompokan secara jelas sehingga kelompok profesi ini berada di luar kelompok medis atau bisa disebut kelompok profesi non medis.

Dalam fasilitas kesehatan, khususnya puskesmas terdapat beberapa profesi, yaitu dokter dan dokter gigi sebagai profesi medis, perawat dan bidan sebagai profesi paramedis, serta tenaga kesmas, ahli gizi, sanitarian, analis kesehatan, tenaga farmasi, rekam medis dan pegawai umum yang mecakup tenaga tata usaha, front office, petugas keamanan, dan petugas kebersihan sebagai tenaga non medis.

2.4Perilaku Merokok pada Petugas Kesehatan

Petugas kesehatan memiliki peran kunci dalam menyukseskan upaya penanggulangan masalah kesehatan salah satunya penanggulangan masalah rokok. Petugas kesehatan haruslah mampu menjadi contoh (role model) yang baik bagi pasien agar mampu mengarahkan pasien dalam upaya mencegah bahaya merokok.


(29)

15

Namun, saat ini masih banyak ditemukan petugas kesehatan yang merokok. Di berbagai negara prevalensi perokok masih cukup tinggi.

Di Amerika Serikat ditemukan sebanyak 16% dari 18,9 juta tenaga kesehatan adalah perokok (Syamlal et al, 2015). Canadian Collaborative Center

for Physicians Resources menyatakan terdapat 3% dokter merokok dan 10,8%

perawat merokok (laki-laki: 11,4% dan perempuan: 10,8%) (Yungblut, 2010). Kaetsu et al (2002) menyatakan bahwa terdapat 75% petugas kesehatan merokok lebih dari 10 batang per hari dan 97% di antaranya ingin berhenti merokok namun 74% di antaranya gagal berhenti merokok. Menurut Abdullah et al (2014) di beberapa negara ternyata masih banyak petugas kesehatan yang melakukan perilaku merokok di depan pasien, yaitu 70% di Senegal, 66% di Costa Rica, 50% di Mesir, lebih dari 30% di Cina. Penelitian lain yang dilakukan di Kroasia menyebutkan sebanyak 26,4% pekerja di fasilitas kesehatan adalah perokok (Gazdek dan Samardzic, 2013). Data-data ini mencerminkan bahwa perilaku merokok pada petugas kesehatan masih menjadi permasalahan yang perlu mendapat perhatian serius.

Beberapa penelitian juga menjelaskan faktor yang terkait dengan perilaku merokok pada petugas kesehatan. Penelitian di Jepang menyatakan bahwa terdapat 5 faktor utama petugas kesehatan memiliki perilaku merokok, yaitu jenis kelamin, kelompok umur, frekuensi kerja malam, kebiasaan minum alkohol, dan kebiasaan olah raga (Kaneita et al, 2013). Hasil penelitian Smith et al (2012) menyatakan jenis kelamin, umur, dan lama kerja berhubungan secara signifikan dengan perilaku merokok pada petugas kesehatan. Menurut Bahar dkk (2012) faktor yang berpengaruh signifikan terhadap perilaku merokok pada petugas


(30)

16

kesehatan adalah kepribadian, sikap terhadap pasien, lingkungan kerja, dan kesiapan menghentikan perilaku merokok.

Petugas kesehatan yang memiliki perilaku merokok ternyata berdampak negatif terhadap upaya penanggulangan bahaya rokok. Menurut Perrin et al

(2006) petugas kesehatan yang merokok cenderung kurang dalam memberikan nasehat untuk berhenti merokok kepada pasien. Parna et al (2005) menyatakan sebagian besar petugas kesehatan yang merokok telah gagal untuk menjadikan dirinya sebagai contoh (role model) yang baik kepada pasien. Gunes et al (2005) menyatakan petugas kesehatan laki-laki yang tidak merokok lebih sering melakukan konseling kepada pasien dibanding petugas kesehatan yang merokok. Ohida et al (2001) menyatakan petugas kesehatan yang tidak merokok memiliki lebih banyak sikap yang tidak baik mengenai perilaku merokok dan lebih aktif untuk menyemangati pasien agar tidak merokok dibanding petugas kesehatan yang merokok. Menurut Behbehani et al (2004) petugas kesehatan yang merokok memiliki sikap yang kurang baik mengenai upaya pengendalian rokok dibanding petugas kesehatan yang tidak merokok. Menurut Huang et al (2013), petugas kesehatan yang merokok di areal kerjanya terbukti lebih rendah dalam menyediakan pelayanan konseling berhenti merokok kepada pasien dibandingkan petugas kesehatan yang tidak merokok di tempat kerja.


(1)

masing tentang KTR, salah satunya Kota Denpasar yang telah mengeluarkan Perda Nomor 7 Tahun 2013 tentang KTR.

Banyak pemilik usaha yang takut mengalami pengeluaran tambahan dalam merealisasikan kebijakan ini, namun nyatanya kebijakan ini memberikan dampak positif yang jauh lebih besar bagi perusahaan. Lopez et al (2011) merilis hasil penelitian yang dilakukan di Meksiko, yaitu penerapan peraturan KTR tidak akan berdampak negatif terhadap keuangan restauran, melainkan justru berdampak positif. Menurut Scollo et al (2003) tidak terdapat dampak negatif penerapan KTR terhadap keuangan hotel, justru hal ini bisa melindungi para pekerja dan pengelola sendiri dari racun yang dihasilkan oleh asap rokok, di mana hal ini justru membantu untuk mencegah dari biaya kesehatan.

2.2 Teori Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku (PSP)

Pengetahuan adalah proses yang dihasilkan karena belajar tentang sesuatu hal, dari tidak tahu menjadi tahu. Proses belajar melalui panca indera meliputi, penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa dan peraba. Pengetahuan menjadi faktor penting dalam membentuk perilaku, karena perilaku terbentuk didahului oleh pengetahuan dan sikap yang positif (Notoatmodjo, 2003). Pengetahuan tentang rokok bisa didapat melalui penglihatan seperti melihat dan membaca berita tentang rokok melalui media massa. Selain itu bisa juga didapat melalui mendengarkan sosialisasi yang diberikan oleh petugas kesehatan. Dalam konteks petugas kesehatan, pengetahuan tentang rokok didapatkan dari proses di bangku pendidikan, keterpaparan informasi di fasilitas kesehatan dan lainnya.


(2)

Telah banyak penelitian yang dilakukan guna mengetahui tingkat pengetahuan petugas kesehatan tentang rokok. Selain itu telah banyak pula yang menghubungkan tingkat pengetahuan petugas kesehatan tentang rokok dengan perilaku merokok yang dilakukan. Behbehani et al (2004), menyatakan petugas kesehatan yang merokok memiliki pengetahuan yang kurang terhadap bahaya rokok dibanding petugas kesehatan yang tidak merokok. Ceraso et al (2009) menyatakan petugas kesehatan yang merokok memiliki pengetahuan yang terbatas mengenai hubungan merokok dengan penyakit dibandingkan petugas kesehatan yang tidak merokok.

Penelitian Naing et al (2004) menyatakan proporsi merokok pada lelaki dewasa yang memiliki pengetahuan baik tentang dampak buruk merokok 17,6% lebih rendah dibandingkan pada yang pengetahuannya kurang. Kemudian hasil penelitian Wahidien et al (2007) menyatakan perilaku merokok pengemudi ojek di Perumahan Taman Telkomas Kota Makassar dipengaruhi perilaku inisiasi merokok, ketergantungan merokok, persepsi dampak merokok dan usaha berhenti merokok. Semua ini merupakan faktor yang kompleks yang mana salah satu yang mempengaruhi adalah pengetahuan.

Sikap adalah respon seseorang terhadap adanya rangsangan, objek atau situasi tertentu. Sikap merupakan pendapat seseorang terhadap suatu keadaan atau situasi tertentu. Dalam konteks kesehatan, sikap dapat berupa pendapat seseorang terhadap program atau upaya kesehatan yang sedang diterapkan. Ungkapan pendapat dapat berupa pernyataan setuju atau tidak setuju, senang atau tidak senang dan mau atau tidak mau. Sikap juga merupakan kesiapan seseorang untuk berprilaku. Sikap yang positif terhadap sesuatu (setuju, senang, mau) akan


(3)

memicu prilaku yang postif pula (Notoatmodjo, 2010). Beberapa penelitian yang membahas mengenai sikap yang dikaitkan dengan perilaku merokok telah banyak dilakukan. Naing et al (2004) menyatakan bahwa proporsi merokok pada lelaki dewasa yang memiliki sikap setuju bahwa merokok berbahaya bagi kesehatan 13,6% lebih rendah dibandingkan pada yang tidak setuju bahwa merokok berbahaya bagi kesehatan.

Pada hakekatnya perilaku manusia adalah tindakan atau aktivitas dari manusia yang mempunyai rentangan yang sangat luas antara lain: berjalan, berbicara, menangis, tertawa, kuliah, bekerja, menulis, dan sebagainya. Benyamin Bloom dalam Notoatmodjo (2007), membagi perilaku ke dalam 3 domain (ranah/kawasan), yang terdiri dari ranah kognitif (cognitive domain), ranah afektif (affective domain), dan ranah psikomotor (psychomotor domain). Terbentuknya suatu perilaku baru, terutama pada orang dewasa dimulai pada domain kognitif, yang artinya, subjek tahu terhadap stimulus berupa materi atau objek di luarnya sehingga menimbulkan pengetahuan baru pada subjek tersebut dan selanjutnya menimbulkan respon batin dalam bentuk sikap pada subjek terhadap objek. Akhirnya rangsangan yakni objek yang telah diketahui dan disadari sepenuhnya akan menimbulkan respon yang lebih jauh lagi, yaitu berupa tindakan (action) terhadap stimulus atau objek. Namun dalam kenyataannya, stimulus yang diterima oleh subjek dapat langsung menimbulkan tindakan. Artinya seseorang dapat bertindak atau berperilaku baru tanpa mengetahui terlebih dahulu makna stimulus yang diterimanya. Dengan kata lain, tindakan (practice) seseorang tidak harus didasari oleh pengetahuan atau sikap (Notoatmodjo, 2007).


(4)

2.3Petugas Kesehatan

Petugas kesehatan (Health Worker) adalah semua orang yang bekerja di lingkungan fasilitas kesehatan. Secara umum petugas kesehatan dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu petugas medis dan non medis. Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014, tenaga medis terdiri dari dokter dan dokter gigi saja (Kemenkes RI, 2014). Profesi keperawatan dan bidan tidak termasuk kelompok profesi medis dan juga tidak dapat dikelompokkan pada profesi non medis, sehingga dikelompokkan pada profesi paramedis. Profesi lainnya, seperti tenaga kesmas, kefarmasian dan sebagainya tidak dikelompokan secara jelas sehingga kelompok profesi ini berada di luar kelompok medis atau bisa disebut kelompok profesi non medis.

Dalam fasilitas kesehatan, khususnya puskesmas terdapat beberapa profesi, yaitu dokter dan dokter gigi sebagai profesi medis, perawat dan bidan sebagai profesi paramedis, serta tenaga kesmas, ahli gizi, sanitarian, analis kesehatan, tenaga farmasi, rekam medis dan pegawai umum yang mecakup tenaga tata usaha, front office, petugas keamanan, dan petugas kebersihan sebagai tenaga non medis.

2.4Perilaku Merokok pada Petugas Kesehatan

Petugas kesehatan memiliki peran kunci dalam menyukseskan upaya penanggulangan masalah kesehatan salah satunya penanggulangan masalah rokok. Petugas kesehatan haruslah mampu menjadi contoh (role model) yang baik bagi pasien agar mampu mengarahkan pasien dalam upaya mencegah bahaya merokok.


(5)

Namun, saat ini masih banyak ditemukan petugas kesehatan yang merokok. Di berbagai negara prevalensi perokok masih cukup tinggi.

Di Amerika Serikat ditemukan sebanyak 16% dari 18,9 juta tenaga kesehatan adalah perokok (Syamlal et al, 2015). Canadian Collaborative Center for Physicians Resources menyatakan terdapat 3% dokter merokok dan 10,8% perawat merokok (laki-laki: 11,4% dan perempuan: 10,8%) (Yungblut, 2010). Kaetsu et al (2002) menyatakan bahwa terdapat 75% petugas kesehatan merokok lebih dari 10 batang per hari dan 97% di antaranya ingin berhenti merokok namun 74% di antaranya gagal berhenti merokok. Menurut Abdullah et al (2014) di beberapa negara ternyata masih banyak petugas kesehatan yang melakukan perilaku merokok di depan pasien, yaitu 70% di Senegal, 66% di Costa Rica, 50% di Mesir, lebih dari 30% di Cina. Penelitian lain yang dilakukan di Kroasia menyebutkan sebanyak 26,4% pekerja di fasilitas kesehatan adalah perokok (Gazdek dan Samardzic, 2013). Data-data ini mencerminkan bahwa perilaku merokok pada petugas kesehatan masih menjadi permasalahan yang perlu mendapat perhatian serius.

Beberapa penelitian juga menjelaskan faktor yang terkait dengan perilaku merokok pada petugas kesehatan. Penelitian di Jepang menyatakan bahwa terdapat 5 faktor utama petugas kesehatan memiliki perilaku merokok, yaitu jenis kelamin, kelompok umur, frekuensi kerja malam, kebiasaan minum alkohol, dan kebiasaan olah raga (Kaneita et al, 2013). Hasil penelitian Smith et al (2012) menyatakan jenis kelamin, umur, dan lama kerja berhubungan secara signifikan dengan perilaku merokok pada petugas kesehatan. Menurut Bahar dkk (2012) faktor yang berpengaruh signifikan terhadap perilaku merokok pada petugas


(6)

kesehatan adalah kepribadian, sikap terhadap pasien, lingkungan kerja, dan kesiapan menghentikan perilaku merokok.

Petugas kesehatan yang memiliki perilaku merokok ternyata berdampak negatif terhadap upaya penanggulangan bahaya rokok. Menurut Perrin et al (2006) petugas kesehatan yang merokok cenderung kurang dalam memberikan nasehat untuk berhenti merokok kepada pasien. Parna et al (2005) menyatakan sebagian besar petugas kesehatan yang merokok telah gagal untuk menjadikan dirinya sebagai contoh (role model) yang baik kepada pasien. Gunes et al (2005) menyatakan petugas kesehatan laki-laki yang tidak merokok lebih sering melakukan konseling kepada pasien dibanding petugas kesehatan yang merokok. Ohida et al (2001) menyatakan petugas kesehatan yang tidak merokok memiliki lebih banyak sikap yang tidak baik mengenai perilaku merokok dan lebih aktif untuk menyemangati pasien agar tidak merokok dibanding petugas kesehatan yang merokok. Menurut Behbehani et al (2004) petugas kesehatan yang merokok memiliki sikap yang kurang baik mengenai upaya pengendalian rokok dibanding petugas kesehatan yang tidak merokok. Menurut Huang et al (2013), petugas kesehatan yang merokok di areal kerjanya terbukti lebih rendah dalam menyediakan pelayanan konseling berhenti merokok kepada pasien dibandingkan petugas kesehatan yang tidak merokok di tempat kerja.