Identifikasi Bakteri Asam Laktat Dominan Selama Fermentasi Tempe dan Evaluasi Potensinya

IDENTIFIKASI BAKTERI ASAM LAKTAT DOMINAN
SELAMA FERMENTASI TEMPE DAN EVALUASI
POTENSINYA SEBAGAI PROBIOTIK

KARTIKA SARI TOUW

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Identifikasi Bakteri
Asam Laktat Dominan Selama Fermentasi Tempe dan Evaluasi Potensinya
Sebagai Proiotik adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus2014
Kartika Sari Touw
NIM F24100092

*Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama terkait

ABSTRAK
KARTIKA SARI TOUW. Identifikasi Bakteri Asam Laktat Dominan Selama
Fermentasi Tempe dan Evaluasi Potensinya Sebagai Probiotik. Dibimbing oleh
LILIS NURAIDA dan SULIANTARI.
Tempe merupakan makanan tradisional Indonesia yang berbahan dasar
kedelai. Pada proses pembuatan tempe, selain kapang Rhizopus sp., khamir dan
bakteri asam laktat (BAL) hadir selama proses fermentasi tempe. Penelitian ini
dilakukan untuk mengetahui profil BAL dominan selama fermentasi tempe yang
dibuat oleh dua industri rumah tangga dengan metode berbeda, yaitu tempe SDBR
yang dibuat dengan sekali perebusan kedelai, dan tempe WJB yang dibuat dengan
dua kali perebusan kedelai, serta mengetahui potensi probiotiknya. Kultur BAL

diisolasi dari laru tempe, setelah perendaman, setelah perebusan kedua (tempe
WJB), dan fermentasi tempe jam ke-0, 12, 24, 48, dan 72. Berdasarkan hasil
identifikasi awal, BAL yang dominan pada tempe SDBR adalah batang
heterofermentatif, sedangkan BAL yang dominan pada tempe WJB adalah kokus
homofermentatif, namun pada fermentasi jam ke-12 didominasi batang
heterofermentatif dan pada jam ke-24 didominasi batang homofermentatif. Hasil
identifikasi menggunakan kit API 50 CH menunjukkan bahwa BAL dominan
selama fermentasi tempe SDBR adalah Lactobacillus fermentum, namun pada
akhir fermentasi Lactobacillus plantarum 1 juga ikut mendominasi. BAL dominan
pada tempe WJB bervariasi pada tiap titik pengambilan sampel, pada awal
fermentasi lebih didominasi Pediococcus pentosaceus 1 dan Pediococcus
pentosaceus 2, jam ke-12, 24, 48 dan 72 didominasi berturut-turut oleh Weissella
confusa, Lactobacillus plantarum 1, Lactobacillus plantarum 2, Lactobacillus
delbrueckii ssp delbrueckii, dan Pediococcus pentosaceus 2. Perbedaan profil
BAL dikedua industri rumah tangga tempe ini diduga disebabkan perbedaan
metode pembuatan yang berinteraksi dengan sanitasi lingkungan produksi. BAL
isolat Lactobacillus fermentum memiliki ketahanan terhadap asam (pH 2.0) dan
garam empedu (oxgall 0.5%) yang baik, sehingga berpotensi sebagai probiotik.
Kata kunci : bakteri asam laktat, dominan, tempe, probiotik


ABSTRACT
KARTIKA SARI TOUW. Identification of Dominant Lactic Acid Bacteria
During Tempeh Fermentation and Evaluation of their potential as a probiotic.
Supervised by LILIS NURAIDA and SULIANTARI.
Tempeh is a traditional Indonesian food made from soybean. In the process
of making tempeh, besides Rhizopus sp., yeasts and lactic acid bacteria (LAB)
present during tempeh fermentation process. This study aims to know the
dominant LAB profile during tempeh fermentation that were made by two
industrial household with different methods. SDBR tempeh made with boiling
soybean once, and WJB tempeh made by boiling soybean twice, and also to
determine their potential to be probiotic. LAB culture isolated from laru of
tempeh, after soaking, after the second boiling (tempeh WJB), and fermented
tempeh hours 0, 12, 24, 48, and 72. Based on the results of the initial
identification, LAB dominant in tempeh SDBR is rod heterofermentatif, whereas
LAB dominant at WJB tempeh is coccus homofermentatif, but at the 12th hour of
fermentation dominated by rod heterofermentatif and at the 24th hour rod
homofermentatif dominated. The results of identification using the API 50 CH kit
showed that the dominant LAB during fermentation of tempeh SDBR is
Lactobacillus fermentum, but at the end of the fermentation of Lactobacillus
plantarum 1 also dominate. LAB dominant at WJB tempe were various at each

sampling point, at the beginning of fermentation was dominated by Pediococcus
pentosaceus1 and Pediococcus pentosaceus 2, at 12, 24, 48 and 72 hour of
fermentation, respectively dominated by Weissella confusa, Lactobacillus
plantarum 1, Lactobacillus plantarum 2, Lactobacillus delbrueckii delbrueckii
ssp, and Pediococcus pentosaceus 2. Differences LAB profiles in both tempe
production is presumably due differences in the method of making tempeh that
interacts with environmental sanitation production. LAB isolate Lactobacillus
fermentum has the resilience to acid (pH 2.0) and bile salts (oxgall 0.5%), so
Lactobacillus fermentum has potential as probiotic.
Keyword : dominant, lactic acid bacteria, tempeh, probiotic

IDENTIFIKASI BAKTERI ASAM LAKTAT DOMINAN
SELAMA FERMENTASI TEMPE DAN EVALUASI
POTENSINYA SEBAGAI PROBIOTIK

KARTIKA SARI TOUW

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian

pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : ldentifikasi Bakteri Asam Laktat Dominan Selama Fennentasi
Tempe dan Evaluasi Potensinya Sebagai Probiotik
: Karti ka Sari Touw
Nama
:F24100092
NIM

Disetujui olch

ProfDr lr Litis Nuraida, :'v1Sc
Pembimbing I


Tanggal Lulus:

Dr Dr Suliantari MS
Pembimbing II

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian ini adalah mikrobiologi pangan, dengan judul Identifikasi
Bakteri Asam Laktat Dominan Selama Fermentasi Tempe dan Evaluasi
Potensinya Sebagai Probiotik. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan November
2013 hingga Juli 2014.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof Dr Ir Lilis Nuraida, MSc dan
Ibu Dr Dra Suliantari, MS selaku dosen pembimbing skripsi, serta Ibu Dr Elvira
Syamsir, STp, MSi atas kesediaannya menjadi dosen penguji. Penghargaan
penulis sampaikan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi melalui Hibah
Kompetensi atas nama Prof Dr Ir Lilis Nuraida, MSc pada tahun 2013-2014, yang
telah mendanai penelitian penulis. Terima kasih kepada Ibu Ari dan Bapak Yerris
selaku teknisi laboratorium mikrobiologi SEAFAST Center, staff Departemen

Ilmu dan Teknologi Pangan, dan staff SEAFAST Center IPB yang telah
membantu penulis selama penelitian. Ungkapan terima kasih tak lupa penulis
sampaikan kepada keluarga tercinta, Papa (Ir. Diederik Willem Touw) (alm.),
Mama (Larsih Purwanti), Adik (Randa Prabowo Touw), serta seluruh keluarga
besar, atas segala do’a, dukungan, dan kasih sayangnya. Terima kasih juga kepada
sahabat-sahabat Aulia Frisca, Yessy Niarty, Qonita Muhlisa, Fitri S. Ginting, dan
Cony A. Putri, dan teman-teman seperjuangan ITP angkatan 47, serta Hari
Prasetyo yang senantiasa selalu memberi do’a, motivasi, dan inspirasi untuk
penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir dengan baik.
Semoga skripsi ini bermanfaat untuk perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi di Indonesia.

Bogor, September 2014
Kartika Sari Touw

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi


DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

3


Manfaat Penelitian

3

METODE

3

Bahan

3

Alat

3

Tahap Penelitian

4


Identifikasi Morfologi, Fisiologi, dan Biokimia Bakteri Dominan Isolat
Tempe SDBR dan WJB

4

Identifikasi Sifat Biokimia Isolat BAL Terpilih dengan Kit API 50 CH

5

Pengujian Ketahanan Isolat BAL terhadap Asam dan Garam Empedu

5

HASIL DAN PEMBAHASAN

6

Identifikasi Morfologi, Fisiologi, dan Biokimia Bakteri Domninan Isolat
Tempe SDBR dan WJB


6

Identifikasi Sifat Biokimia Isolat BAL Terpilih dengan Kit API 50 CH

9

Kemampuan Isolat BAL Menfermentasi Oligosakarida
Ketahanan Isolat BAL terhadap Asam dan Garam Empedu
SIMPULAN DAN SARAN

13
15
16

Simpulan

16

Saran

17

DAFTAR PUSTAKA

17

RIWAYAT HIDUP

21

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6

Jumlah isolat bedasarkan bentuk sel dan hasil uji produksi CO2
dari gula isolat tempe SDBR
Jumlah isolat bedasarkan bentuk sel dan hasil uji produksi CO2
dari gula isolat tempe WJB
Hasil identifikasi isolat BAL SDBR dengan kit API 50 CH
Hasil identifikasi iosolat BAL WJB dengankit API 50 CH
Keberadaan BAL selama fermentasi tempe SDBR dan WJB
Isolat BAL SDBR dan WJB yang dapat menfermentasi oligosakarida

7
7
9
10
11
14

DAFTAR GAMBAR
1

Pengaruh asam (pH 2.0) dan garam empedu (oxgall 0.5%)
terhadap pertumbuhan isolat BAL

15

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tempe merupakan salah satu makanan tradisional khas Indonesia yang
dihasilkan melalui proses fermentasi dengan mikroorganisme utamanya kapang
golongan Rhizopus sp. (Cahyadi 2009). Tempe dapat dibuat dari berbagai macam
bahan, namun kedelai merupakan bahan baku yang paling sering digunakan di
Indonesia, khususnya di daerah Jawa. Menurut Sarwono (2010), sebagian besar
kedelai di Indonesia dikonsumsi dalam bentuk tempe, yaitu 57%, bahkan Indonesia
merupakan negara penghasil tempe terbesar di dunia. Hanya sekitar 38% kedelai di
Indonesia dikonsumsi dalam bentuk tahu, dan sisanya dikonsumsi dalam bentuk
tauco, kecap, kembang tahu, dan lain-lain. Umumnya masyarakat Indonesia
mengonsumsi tempe sebagai makanan pendamping. Rata-rata konsumsi tempe per
kapita per tahun masyarakat Indonesia pada tahun 2013 mencapai 7.09 kg (Deptan
2013). Tahap pembuatan tempe dimulai dari penyortiran biji kedelai, pencucian
pertama, perebusan pertama, perendaman, pengupasan kulit, pencucian kedua,
perebusan kedua, penirisan dan pendinginan, pelaruan, pembungkusan,
pemeraman, dan tempe segar (Santoso 1993). Tempe umumnya diproduksi dalam
skala kecil oleh industri rumah tangga dengan cara yang tradisional. Produksi
tempe secara tradisional dengan sanitasi yang kurang baik dan metode pembuatan
tempe yang berbeda antar pengrajin tempe menyebabkan mutu dan keamanan
tempe yang diproduksi juga berbeda. Padahal dalam pemenuhan kebutuhan
makanan bergizi bagi rakyat Indonesia, tempe memiliki potensi dan manfaat yang
besar karena tempe merupakan sumber protein yang aman, murah, dan daya
cernanya tinggi. Tempe kaya serat pangan, protein, mineral, serta vitamin B,
seperti riboflavin, niasin, biotin, asam pantotenat, dan vitamin B6 (Cahyadi 2009).
Khamir dan BAL turut hadir dalam proses fermentasi tempe, selain kapang
Rhizopus sp. (Dewi dan‘Aziz 2011). Menurut Efriwati et al. (2013), BAL pada
tempe sudah ada sejak awal tahap fermentasi tempe, bahkan jumlahnya
maksimum saat produksi tempe segar. Populasi BAL pada tempe bervariasi di
berbagai tahap proses fermentasi tempe dan jumlahnya tergantung pada tahap
pembuatan tempe yang digunakan. BAL memiliki peran besar dalam fermentasi
tempe karena keberadaannya dalam fermentasi tempe mempengaruhi kualitas
tempe yang dihasilkan, seperti pada saat perendaman, pertumbuhan BAL
meningkat tajam menyebabkan terjadinya penurunan pH dalam biji menjadi
sekitar 4.5-5.3 (Hidayat et al. 2006). Berdasarkan penelitian Nuraida et al. (2008)
total BAL air rendaman pada hari ke-1 sebesar 1.2 x 107 cfu mL-1 dengan pH 4.84.
Efriwati et al. (2013) juga menyatakan bahwa total BAL meningkat tajam setelah
18 jam perendaman dan mencapai lebih dari 6 log cfu g-1. Penurunan pH tersebut
menyebabkan bakteri-bakteri kontaminan yang bersifat pembusuk terhambat,
namun tidak menghambat pertumbuhan kapang Rhizopus sp. Apabila proses
pengasaman tidak dilakukan, maka tempe yang diproduksi memiliki resiko tinggi
terkontaminasi bakteri penyebab penyakit (Hidayat et al. 2006).
BAL mampu menghambat pertumbuhan pertumbuhan bakteri yang tidak
diinginkan, sehingga dapat memperpanjang umur simpan produk. Mulyowidarso
et al. (1989) melaporkan beberapa bakteri dari famili Enterobacteriaceae seperti,

2
Citrobacter diversus, Enterobacter agglomerans, Enterobacter cloacae,
Klebsiella pneumonia, dan Klebsiella ozaenae terhambat pertumbuhannya selama
perendaman kedelai. Pada tempe Empang (EMP) air rendaman kedelai
mengandung Enterobacteria dalam jumlah tinggi dibanding air rendaman kedelai
pada proses Warung Jambu (WJB). Pada tempe segar EMP juga mengandung
jumlah Enterobacteria lebih tinggi dibanding jumlah Enterobacteria pada tempe
segar WJB. Tempe WJB diproduksi dengan merebus kembali kedelai yang sudah
direndam, sebelum inokulasi. Jenis Enterobacteria pada tempe EMP adalah
Acetobacter indonesiensis, Klebsiella pneumoniae, Bacillus subtilis, dan
Flavobacterium sp., sedangkan pada tempe WJB, terdapat jenis Enterobacteria,
yaitu Klebsiella sp., Brevundimonas sp., Bacillus sp., Pseudomonas putida, dan
Acinetobacter sp. Bacillus (Barus et al. 2008). Menurut Seumahu et al. (2013),
tempe WJB diproduksi dalam skala kecil, sehingga lebih menerapkan proses
pengolahan pada lingkungan yang lebih bersih. Seumahu et al. (2013) meneliti
bahwa bakteri yang ada tempe EMP didominasi oleh Acetobacter dan Klebsiella.
Kapang sebagai mikroba utama dalam fermentasi tempe memiliki aktivitas
proteolitik menyebabkan adanya deaminasi dan menghasilkan amonia. Amonia
tersebut menyebabkan pH naik hingga di atas pH 7.0. Tingginya kadar ammonia
dapat menghambat pertumbuhan kapang. Adanya proses fermentasi oleh BAL
pada saat perendaman dapat menurunkan pH awal sehingga waktu fermentasi oleh
kapang lebih lama (Steinkraus 1995). Pentingnya peranan BAL menyebabkan
beberapa produsen tempe menambahkan kedelai dengan BAL pada saat
perendaman untuk meningkatkan komposisi mikroba produk akhir (Nout and
Kiers 2005). Penggunaan mikroorganisme yang telah diisolasi dan dikarakterisasi
dapat menjaga proses fermentasi terkontrol, sehingga produk yang dihasilkan
lebih stabil dan sesuai dengan karakteristik yang diinginkan. Tujuan lain
penggunaan starter inokulum untuk meningkatkan rasa, aroma, aktivitas
proteolitik, aktivitas lipolitik, dan penghambatan mikroba yang tidak diinginkan
(Giraffa 2004).
BAL dengan strain tertentu juga memiliki sifat fungsional sebagai
probiotik. Probiotik merupakan mikroorganisme hidup yang bila dikonsumsi
dalam jumlah cukup dapat memberikan manfaat kesehatan bagi host atau
pengonsumsinya (FAO/WHO 2002). Menurut FAO/WHO (2001), manfaat
mengonsumsi probiotik antara lain dapat mencegah diare, kanker, mengatasi
konstipasi, menjaga kesehatan jantung, mencegah alergi, meningkatkan sistem
imun, dan kesehatan. Probiotik dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen
di dalam usus karena menghasilkan asam organik, komponen organik, hidrogen
peroksida, dan bakteriosin (Lahtinen et al. 2012). Syarat bakteri probiotik adalah
tidak bersifat patogenik dan toksigenik, juga mampu menempel dan kolonisasi di
saluran pencernaan, dapat memanfaatkan nutrien pada substrat yang ada, dapat
bertahan selama sistem pencernaan, memiliki viabilitas yang baik dalam bentuk
utuh di dalam tubuh pengonsumsi, memberikan efek menguntungkan kepada host
atau pengonsumsinya dengan mencegah infeksi atau peyakit, meningkatkan
kesehatan atau meningkatkan nutrisi (Hui et al. 2005). FAO/WHO (2002)
menyatakan uji in vitro untuk probiotik yang akan digunakan untuk pangan adalah
uji ketahanan terhadap asam dan garam empedu, uji penempelan di lendir dan sel
epitel manusia, uji aktivitas antimikroba terhadap bakteri patogen, uji kemampuan
mengurangi jumlah patogen yang menempel pada permukaan vili usus, dan uji

3
aktivitas hidrolase garam empedu. BAL perlu dievaluasi terhadap persyaratannya
karena tidak semua BAL bersifat probiotik. Contoh isolat BAL dari hasil
fermentasi yang berpotensi sebagai probiotik adalah L. casei yang diisolasi dari
sawi asin oleh Halim dan Zubaidah (2013). Sunaryato dan Marwoto (2012) juga
mengisolasi L. plantarum dari dadih susu kerbau yang berpotensi sebagai
probiotik.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui profil bakteri asam laktat
dominan pada laru dan berbagai tahap produksi tempe, yaitu laru tempe, setelah
perendaman kedelai, setelah perebusan kedua (WJB), fermentasi tempe jam ke-0,
12, 24, 48, dan 72, serta mengetahui potensinya sebagai probiotik. Proses
produksi tempe SDBR menerapkan satu kali perebusan sebelum perendaman,
sedangkan proses produksi tempe WJB dilakukan perebusan kembali setelah
perendaman, sebelum inokulasi.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai perbedaan
profil bakteri asam laktat yang dominan selama fermentasi tempe yang dibuat oleh
industri rumah tangga tempe tradisional SDBR dan WJB, serta informasi
mengenai potensi isolat BAL pada kedua tempe tersebut sebagai probiotik.

METODE
Bahan
Bahan-bahan yang digunakan adalah isolat kultur mikroba yang diisolasi
dari berbagai tahapan fermentasi, yaitu tempe SBDR 76 isolat dan tempe WJB 66
isolat koleksi SEAFAST center, media MRSA (de Man Rogosa and Sharpe
Agar), MRSB (de Man Rogosa and Sharpe Broth), NA (Nutrient Agar), kit API
50 CH, akuades, minyak imersi, susu skim, yeast extract, glukosa, HCl, NaOH,
H2O2 3%, pewarna kristal violet, iodin, alkohol 90%, garam oxgall, Phosphate
Buffer Saline (PBS), parafin cair, dan safranin.

Alat
Alat-alat yang digunakan adalah autoklaf, mikroskop, micropipet, bunsen,
pH meter, tabung reaksi, cawan petri, lemari pendingin, jangka sorong, inkubator,
alumunium foil.

4
Tahap Penelitian
Penelitian ini terdiri dari 3 tahap, yaitu 1) identifikasi morfologi, fisiologi,
dan biokimia bakteri yang dominan pada berbagai tahap fermentasi tempe SDBR
dan WJB; 2) identifikasi menggunakan kit API 50 CH dengan seleksi isolat BAL
berdasarkan aktivitas antimikroba terbesar berdasarkan penelitian terdahulu oleh
Nuraida (2014) (belum dipublikasikan); 3) mengevaluasi potensi probiotik isolat
BAL yang telah diidentifikasi dan mewakili masing-masing spesiesnya, dengan
menguji ketahanannya terhadap asam (pH 2.0) dan garam empedu (oxgall 0.5%).
Identifikasi Morfologi, Fisiologi, dan Biokimia Bakteri Dominan Isolat
Tempe SDBR dan WJB
Identifikasi bakteri asam laktat dilakukan dengan mengamati karakterisitik
morfologi, fisiologis, dan biokimia dari kultur isolat bakteri. Uji morfologi
meliputi uji pewarnaan gram dibawah mikroskop, uji fisiologis dan biokimia
meliputi uji katalase (Pisol et al. 2013), dan uji biokimia lainnya dengan uji
produksi CO2 dari glukosa (Wikandari et al. 2012). Kultur isolat tempe SDBR
berjumlah 76 isolat, sedangkan kultur isolat tempe WJB berjumlah 66 isolat.
Semua kultur isolat tersebut diidentifikasi bentuk, hasil pewarnaan gram, dan
sifatnya dalam menfermentasi gula, yaitu heteroferfmentatif atau
homofermentatif.
Pewarnaan Gram. Tahap awal identifikasi morfologi bakteri asam laktat
dilakukan dengan pewarnaan gram (Nikita and Hemangi 2012). Pengamatannya
dilakukan menggunakan mikroskop cahaya dengan lensa objektif minyak imersi,
perbesaran 1000x. Tahapan yang dilakukan adalah sebanyak satu loop bakteri
yang akan diamati diambil, kemudian diletakkan diatas kaca objek dan diberi
sedikit akuades steril. Selanjutnya kaca objek tersebut difiksasi diatas api bunsen
dan biarkan dingin. Setelah itu kaca objek ditetesi kristal violet sebagai pewarna
utama, tunggu hingga 10-30 detik. Setelah itu kristal violet dicuci dengan air
aquades dan hilangkan kelebihannya. Untuk mengeringkannya dapat juga
dilakukan dengan menempelkan kertas serap. Kaca objek ditetesi iodine untuk
meningkatkan afinitas pewarna utama yaitu kristal violet, biarkan sekitar 2 menit
lamanya, kemudian kembali dibilas dengan aquades. Setelah itu kaca objek
ditetesi dengan alkohol selama 10 detik, ulangi langkah ini hingga pewarna kristal
violet tidak mengalir lagi ketika ditetesi alkohol. Kaca objek kemudian dibilas
kembali dengan aquades. Kemudian kaca objek ditetesi dengan pewarna safranin,
lalu diamkan salama 30 detik. Setelah itu, kembali dibilas aquades dan
dikeringkan dengan kertas serap. Terakhir, kaca objek dapat diamati dengan
menggunakan mikroskop perbesaran 1000x yang telah diolesi minyak imersi
sebelumnya.
Uji Katalase (Nuryady et al. 2013). Bakteri asam laktat umumnya bersifat
katalase negatif (Hutkins 2006). Uji katalase dilakukan dengan mengambil satu
loop bakteri (umur 24 jam) yang akan diuji di atas kaca objek. Setelah itu diambil
satu tetes hidrogen peroksida (H2O2) 3% diteteskan ke bakteri. Hasil positif
ditandai dengan terbentuknya gelembung udara yang mengindikasikan
pembentukan gas CO2, sesaat setelah pencampuran H2O2 dengan bakteri asam
laktat.

5
Uji Produksi CO2 dari Gula (Pisol et al. 2013). Kultur isolat yang
memiliki ciri-ciri seperti BAL, yaitu gram positif dalam pewarnaan gram dan
katalase negatif akan diidentifikasi lanjut produksi CO2 dari fermentasi gula.
Media yang digunakan dalam uji ini adalah Gibson’s semi solid yang dibuat
sendiri (Harrigan 1998). Kultur isolat yang telah diinokulasi ke media MRSB
selama 24 jam, dipindahkan sebanyak 0.5 mL ke media Gibson’s semi solid, lalu
divortex. Setelah beberapa saat kemudian NA sebagai cover dituangkan ke dalam
media Gibson’s semi solid yang telah diinokulasikan kultur isolat sebanyak 1 mL.
Kemudian dilakukan inkubasi selama 2-5 hari pada suhu 30 ⁰C. BAL jenis
heterofermentatif ditandai dengan terangkatnya NA cover atau pecahnya media
gibson’s semi solid, sedangkan BAL jenis homofermentatif tidak.
Identifikasi Sifat Biokimia Isolat BAL Terpilih dengan Kit API 50 CH
Identifikasi dengan API dilakukan berdasarkan petunjuk pengunaan kit
API 50 CH. API 50 CH terdiri atas 50 cupule yang masing-masing cupulenya
mengandung berbagai jenis turunan karbohidrat, seperti galaktosa, glukosa,
fruktosa, manosa, dan lain-lain. Kultur bakteri yang diinokulasikan ke dalam kit
API 50 CH akan menfermentasi gula-gula tertentu, menghasilkan asam-asam
organik. Adanya asam akan menurunkan pH dan merubah warna media 50 CHL
dari ungu menjadi kuning yang mengandung indikator pH (BioMérieux 2007).
BAL yang diidentifikasi pada tahap sebelumnya diambil beberapa isolat
sebagai contoh untuk diidentifikasi dengan API 50 CH. BAL dipilih berdasarkan
aktivitas antimikroba terhadap EPEC yang terbesar. BAL terpilih kemudian
ditumbuhkan pada medium MRSA dan diinkubasi pada suhu 30 ⁰C selama 24
jam. Kemudian kultur yang telah tumbuh disuspensi ke dalam medium API 50
CHL untuk Lactobacillus spp. dan dihomogenisasi. Sekitar 8 mL air dialirkan ke
dalam baki inkubasi kemudian gallery diletakkan pada baki yang berisi air steril
sebagai pelembab. Media 50 CHL yang telah diinokulasi dengan kultur BAL
kemudian dipipet ke masing-masing cupule dan ditutup dengan parafin cair steril
untuk menciptakan suasana anaerob. Selanjutnya baki diinkubasi pada suhu 30 ⁰C
selama 2 hari. Hasil dari reaksi biokimia tersebut diamati secara visual dan
dianalisis menggunakan software APIwebTM API 50 CHLV5.1 (www.
apiweb.biomerieux.com). Kemampuan BAL untuk menfermentasi oligosakarida
rafinosa dan inulin dapat diamati pada kit API 50 CH. Hasil positif apabila warna
cupule yang berisi rafinosa dan inulin berubah warna dari ungu ke kuning.
Pengujian Ketahanan Isolat BAL terhadap Asam dan Garam Empedu
Uji Ketahanan terhadap pH 2.0 (Nuraida et al. 2011). Pengujian ini
dilakukan dengan metode hitungan cawan modifikasi pH medium. Kultur BAL
hasil identifikasi API 50 CH yang telah disegarkan dalam medium MRSB selama
24 jam, diinokulasikan sebanyak 0.1 mL ke dalam 10 mL medium MRSB kontrol
dan 10 mL MRSB ber-pH 2.0 diatur dengan menambahkan HCl 37%. Kemudian
inkubasi dilakukan pada suhu 37 ⁰C selama 5 jam. Selanjutnya dilakukan
pemindahan kultur dari MRSB ke MRSA dengan metode cawan tuang dan
diinkubasi lagi pada suhu 37 ⁰C selama 48 jam. Hitungan cawan dilakukan pada
medium MRSA. Ketahanan terhadap asam dihitung berdasarkan selisih unit log
jumlah koloni yang tumbuh pada kontrol dengan perlakuan. Semakin kecil
selisihnya, maka semakin tahan kultur BAL tersebut terhadap pH rendah.

6
Uji Ketahanan terhadap Garam Empedu (Nuraida et al. 2011).
Konsentrasi garam yang digunakan 0.5% sesuai dengan konsentrasi fisiologis
garam empedu didalam usus duodenum. Sebanyak 0.1 mL isolat kultur BAL hasil
identifikasi API 50 CHdalam MRSB berumur 24 jam dimasukkan ke dalam media
10 mL MRSB sebagai kontrol, dan 10 mL MRSB yang mengandung garam oxgall
0.5% diinkubasi pada suhu 37 ⁰C selama 5 jam. Jumlah BAL dihitung dengan
metode hitungan cawan menggunakan medium MRSA, yang diinkubasi pada
suhu 37 ⁰C selama 48 jam. Ketahanan BAL terhadap garam empedu dihitung
berdasarkan selisih unit log jumlah koloni yang tumbuh pada kontrol dengan
perlakuan. Semakin kecil selisihnya, maka semakin tahan kultur BAL tersebut
terhadap garam empedu.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifikasi Morfologi, Fisiologi, dan Biokimia Bakteri Domninan Isolat
Tempe SDBR dan WJB
Bakteri asam laktat memiliki ciri-ciri gram positif, tidak membentuk spora,
katalase negatif, tidak memiliki sitokrom, bersifat anaerob, toleran terhadap asam,
dan menghasilkan asam laktat sebagai produk akhir fermentasinya terhadap gula.
Identifikasi awal isolat BAL terdiri atas pewarnaan gram, reaksi katalase, dan
fermentasi karbohidrat (Hayes 1995). Bakteri dapat dikelompokkan menjadi dua
grup berdasarkan pewarnaan gram, dimana perbedaan tersebut didasarkan pada
struktur dinding selnya. Bakteri gram positif dapat mempertahankan warna kristal
violet sedangkan bakteri gram negatif tidak mampu mempertahankan warna ungu
setelah pemberian alkohol. Kultur bakteri yang memiliki ciri-ciri BAL, yaitu gram
positif dan katalase negatif, akan di uji produksi CO2 dari gula. Terdapat dua jenis
jalur fermentasi bakteri asam laktat, yaitu homofermentatif dan heterofermentatif.
BAL jenis homofermentatif menghasilkan sebagian besar asam laktat (>85%),
sedangkan BAL jenis heterofermentatif menghasilkan etanol dan CO2 selain asam
laktat (Dennis 2003).
Hasil identifikasi awal diperoleh 67 isolat SDBR diketahui sebagai gram
positif dan katalase negatif, sedangkan pada tempe WJB diperoleh 59 isolat yang
merupakan gram positif dan katalase negatif. Hasil uji produksi CO2 dari glukosa
pada bakteri asam laktat yang diisolasi dari tempe SDBR dan WJB pada laru
yang digunakan untuk fermentasi tempe SDBR, pada saat setelah perendaman,
dan pada fermentasi tempe jam ke-0, 12, 24, 48, dan 72 dapat dilihat pada Tabel
1 dan Tabel 2.
Tabel 1 dan Tabel 2 menunjukkan bahwa jenis BAL yang terdapat di
tempe SDBR dan WJB berbeda. Isolat BAL yang dominan selama proses
fermentasi tempe SDBR adalah batang heterofermentatif, kecuali pada laru yang
dominan adalah BAL berbentuk kokus homofermentatif, sedangkan pada Tabel 2

7
Tabel 1 Jumlah sel bedasarkan bentuk sel dan hasil uji produksi CO2 dari gula
isolat tempe SDBR
Kondisi Proses

Jumlah BAL (Buah)
D
E

A

B

C

F

G

H

Laru

1

10

-

-

-

-

-

-

Setelah perendaman

-

-

3

-

-

-

5

-

Fermentasi jam ke-0

-

-

5

-

3

1

-

-

Fermentasi jam ke-12

-

-

7

-

5

-

-

-

Fermentasi jam ke-24

-

-

5

-

2

-

-

-

Fermentasi jam ke-48

-

-

8

-

2

-

-

-

Fermentasi jam ke-72

-

-

2

3

4

1

-

-

Keterangan :
A:
B:
C:
D:

kokus heterofermentatif
kokus homo homofermentatif
batang pendek heterofermentatif
batang pendek homofermentatif

E: batang panjang heterofermentatif
F: batang panjang homofermentatif
G: Oval homofermentatif
H: Oval heterofermentatif

Tabel 2 Jumlah Isolat bedasarkan bentuk sel dan hasil uji produksi CO2 dari gula
isolat tempe WJB
A

B

Jumlah BAL (Buah)
C
D
E

Setelah Perendaman

1

7

2

-

-

-

-

-

Fermentasi jam ke-0

1

8

-

-

-

-

-

-

Fermentasi jam ke-12

1

-

12

-

-

-

-

-

Fermentasi jam ke-24

1

-

-

10

-

-

-

-

Fermentasi jam ke-48

1

3

-

-

1

2

-

-

Fermentasi jam ke-72

-

9

-

-

-

-

-

-

Kondisi Proses

F

G

H

Keterangan:
A:
B:
C:
D:

kokus heterofermentatif
kokus homo homofermentatif
batang pendek heterofermentatif
batang pendek homofermentatif

E: batang panjang heterofermentatif
F: batang panjang homofermentatif
G: Oval homofermentatif
H: Oval heterofermentatif

menunjukkan isolat BAL dominan di awal dan di akhir fermentasi tempe WJB
adalah kokus homofermentatif, namun pada jam ke-12 didominasi oleh BAL
batang heterofermentatif dan jam ke-24 didominasi batang homofermentatif. Hal

8
tersebut menandakan adanya suksesi dan dinamika jenis BAL selama fermentasi
tempe. Selain itu, dalam tempe WJB tidak terdapat isolat BAL setelah perebusan
kedua dan di larunya, diduga perebusan kedua menyebabkan BAL yang berasal
dari perendaman mati. Penanambahan laru Raprima dari LIPI di kedelai WJB pun
tidak menambah jumlah BAL karena laru Raprima mengandung lebih sedikit
kontaminan (Lusiawati 2013). Tempe SDBR menggunakan laru Raprima yang
dikulturkan kembali di onggok, sehingga diduga onggok berkontribusi pada
keberadaan BAL (Nurdini et al. 2013) (belum dipublikasi). Pada proses produksi
tempe SDBR, baik setelah perendaman hingga fermentasi ke-72 jam, isolat BAL
memiliki bentuk yang serupa, sehingga ada kemungkinan BAL yang berperan
dalam fermentasi tempe sama. Bentuk kokus tidak terdapat selama fermentasi
tempe SDBR, diduga BAL yang berasal dari laru tidak dominan karena jumlahnya
sedikit sekali.
Seumahu et al. (2013) melaporkan beberapa tempe yang berasal dari
berbagai produsen tempe mengandung profil mikroba yang berbeda. Jenis kultur
starter, proses pengolahan, varietas kedelai yang digunakan, bahan tambahan yang
digunakan, dan skala produksi tempe sangat mempengaruhi perbedaan profil
mikroba pada tempe. Tahapan proses dan kultur starter yang berbeda akan
memberi peluang masuknya mikroba yang berbeda. Perbedaan BAL dominan
pada tempe SDBR dan WJB diduga disebabkan perbedaan metode dan
lingkungan produksi. Pada tempe SDBR tidak dilakukan perebusan kedua,
sehingga memungkinkan BAL yang dominan saat perendaman kedelai ikut
terbawa ke tahap fermentasi kapang. Tahapan proses pembuatan Tempe WJB
setelah tahap perendaman dilakukan perebusan kedua dengan air rendaman.
Perebusan kedua tersebut menyebabkan BAL yang dominan saat perendaman
kedelai berkurang jumlahnya dan menjadi tidak dominan selama fermentasi
kapang. Efriwati et al. (2011) juga melaporkan pada metode dengan perebusan
kedua, jumlah BAL akan berkurang dibanding dengan jumlah BAL dengan
metode tanpa perebusan kedua.
BAL yang termasuk dalam genera Carnobacterium, Enterococcus,
Lactobacillus, Lactococcus, Leuconostoc, dan Pediococcus diketahui dapat
menghambat pertumbuhan bakteri patogen (Motarjemi et al. 2014). BAL
menghasilkan metabolit yang bersifat antimikroba, seperti asam organik,
komponen organik, hidrogen peroksida, dan bakteriosin. Bakteriosin yang
dihasilkan BAL termasuk pengawet yang aman, tidak mengubah nilai gizi, efektif
pada konsentrasi rendah, dan dipercayai dapat memberi efek kesehatan manusia
(Lahtinen et al. 2012). Feng (2006) melaporkan adanya pengasaman oleh BAL
menyebabkan bakteri patogen seperti Escherichia coli, Bacillus substilis,
Staphylococcus yang diinokulasikan pada pembuatan tempe barley tidak dapat
tumbuh dengan baik. Jumlah bakteri Enterobacteriaceae pada tempe WJB cukup
tinggi. Pada jam ke-12 fermentasi ditemukan juga adanya bakteri Escherichia coli
(Nurdini et al. 2013). Kondisi yang demikian ini mengindikasikan poses sanitasi
yang buruk pada produksi tempe dan pengupasan kulit kedelai masih dilakukan
secara tradisional.
Enteropathogenic Escherichia coli (EPEC) merupakan salah satu anggota
kelompok bakteri patogenik indikator fekal penyebab diare yang dapat melekat
pada dinding sel mukosa usus halus dan yang mengakibatkan diare cair berlendir
(Hauser 2011). Nuraida (2014) (belum dipublikasi) meneliti aktivitas antimikroba

9
BAL isolat SDBR dan WJB terhadap EPEC dengan metode difusi sumur,
diketahui isolat yang digunakan dalam penelitian ini memiliki aktivitas
antimikroba yang bervariasi. Isolat SDBR memiliki kisaran diameter
penghambatan terhadap EPEC antara 0–8.4 mm, sedangkan isolat tempe WJB
memiliki kisaran diameter penghambatan terhadap EPEC antara 3.0-6.7 mm.
Hasil dari pengujian aktivitas antimikroba tersebut kemudian dijadikan dasar
dalam pemilihan isolat BAL untuk diidentifikasi lanjut menggunakan kit API 50
CH. Isolat dipilih berdasarkan diameter penghambatan terhadap EPEC terbesar di
setiap kelompok atau tahapan proses fermentasi tempe. Hasil dari pemilihan
tersebut diperoleh 15 isolat BAL SDBR dan 13 isolat BAL WJB.

Identifikasi Sifat Biokimia Isolat BAL Terpilih dengan Kit API 50 CH
Isolat BAL yang dipilih untuk diidentifikasi lanjut menggunakan kit API
50 CH adalah isolat BAL yang memiliki aktivitas terbesar dan mewakili setiap
tahapannya. Pada Tabel 3 disajikan hasil identifikasi 15 isolat BAL SDBR terpilih
dengan kit API 50 CH dan pada Tabel 4 disajikan hasil identifikasi 13 isolat BAL
WJB dengan kit API 50 CH.
Tabel 3 Hasil identifikasi isolat BAL SDBR dengan kit API 50 CH
Asal
Isolat

Kode
Isolat

Hasil Identifikasi API 50 CH

Persentase Kesamaan
dengan Kultur Referensi

Laru

S2L02

Morfologi
Kokus

Kriteria Fermentasi
Homofermentatif

Species
P. acidilactici

99.9 %

Doubtful Profile

Laru

S2L04

Kokus

Homofermentatif

P. acidilactici

99.9 %

Doubtful Profile

Setelah
perendaman
Setelah
perendaman
Fermentasi
jam ke-0
Fermentasi
jam ke-0
Fermentasi
jam ke-12
Fermentasi
jam ke-12
Fermentasi
jam ke-12
Fermentasi
jam ke-24
Fermentasi
jam ke-024
Fermentasi
jam ke-48
Fermentasi
jam ke-48
Fermentasi
jam ke-72
Fermentasi
jam ke-72

S2SR07

Batang

Heterofermentatif

L. fermentum

99.4 %

S2SR08

Batang

Heterofermentatif

W. confusa

99.2 %

Good
Identification
Doubtful Profile

S201

Batang

Heterofermentatif

L. fermentum

97.7 %

S206

Batang

Heterofermentatif

L. fermentum

99.8 %

S21204

Batang

Heterofermentatif

L. fermentum

99.9 %

S21207

Batang

Heterofermentatif

L. fermentum

99.6 %

S21209

Batang

Heterofermentatif

L. fermentum

99.9 %

S22402

Batang

Heterofermentatif

L. fermentum

99.6 %

S22411

Batang

Heterofermentatif

L. fermentum

99.9 %

S24805

Batang

Heterofermentatif

L. fermentum

99.9 %

S24807

Batang

Heterofermentatif

L. fermentum

99.9 %

S27202

Batang

Homofermentatif

L. plantarum 1

99.9 %

S27206

Batang

Heterofermentatif

L. fermentum

99.9 %

Good
Identification
Very Good
Identification
Excellent
Identification
Very Good
Identification
Very Good
Identification
Very Good
Identification
Very Good
Identification
Very Good
Identification
Excellent
Identification
Excellent
Identification
Excellent
Identification

10
Hasil dari identifikasi lanjut menggunakan kit API 50 CH terhadap 15
isolat BAL SDBR terpilih menunjukkan derajat kesamaan dengan referensi diatas
99%, kecuali isolat kode S201, yaitu 97.7%, namun presentase tersebut masih
dapat dikategorikan tinggi. Dari 15 Isolat BAL SDBR yang diidentifikasi, 11
isolat diantaranya teridentifikasi sebagai Lactobaacillus fermentum, yaitu isolat
dengan kode S2SR07, S201, S206, S21204, S21207, S21209, S22402, S22411,
S24805, S2480, dan S27206. Hal ini menunjukkan bahwa L. fermentum
mendominasi tempe SDBR. Kemudian isolat W2SR08 diidentifikasi sebagai
Weissella confusa. Menurut Lahtinen et al. (2012), bakteri asam laktat L.
fermentum dan W. confusa merupakan bakteri heterofermentatif. Weissella
memiliki bentuk batang pendek dengan bulat sudutnya dan Lactobacillus
memiliki bentuk batang. Hal ini telah sesuai dengan identifikasi awal, bahwa
selama fermentasi tempe SDBR didominasi oleh BAL batang heterofermentatif.
Selain itu, ditemukan juga BAL Lactobacillus plantarum 1 dengan kode isolat
S27202, dan pada laru SDBR teridentifikasi Pediococcus acidilactici dengan kode
isolat S2L02 dan S2L04. Pediococcus dan L. Plantarum termasuk bakteri
homofermentatif (Salminen et al. 2004). Pediococcus memiliki bentuk kokus, hal
ini sesuai dengan identifikasi awal dimana isolat kultur BAL pada laru SDBR
didominasi BAL kokus homofermentatif.
Tabel 4 Hasil identifikasi isolat BAL WJB dengan API 50 CH
Asal Isolat
Setelah
perendaman
Setelah
perendaman
Fermentasi
jam ke-0
Fermentasi
jam ke-0
Fermentasi
jam ke-12
Fermentasi
jam ke-12
Fermentasi
jam ke-12
Fermentasi
jam ke-24
Fermentasi
jam ke-24
Fermentasi
jam ke-48
Fermentasi
jam ke-48
Fermentasi
jam ke-72
Fermentasi
jam ke-72

Kode
Isolat

Hasil Identifikasi API 50 CH

Persentase Kesamaan
dengan Kultur Referensi

Morfologi

Karakteristik
Fermentasi

Spesies

W2SR04

Kokus

Homofermentatif

P. pentosaceus 1

99.9 %

W2SR05

Kokus

Homofermentatif

P. pentosaceus 2

94.1 %

W207

Kokus

Homofermentatif

P. pentosaceus 1

99.9 %

W2010

Kokus

Homofermentatif

P. pentosaceus 1

99.9 %

W21203

Batang

Heterofermentatif

W. confusa

99.5 %

W21205

Batang

Heterofermentatif

W. confusa

98.8 %

W21213

Batang

Heterofermentatif

W. confusa

97.6 %

W22408

Batang

Homofermentatif

L. plantarum 1

92.4 %

W22409

Batang

Homofermentatif

L. plantarum 2

89.4 %

W24802

Batang

Homofermentatif

L. delbrrueckii ssp
delbrueckii

89.4 %

W24805

Kokus

Homofermentatif

P. pentosaceus 2

93.2 %

W27205

Kokus

Homofermentatif

P. pentosaceus 2

93.0 %

W27209

Kokus

Homofermentatif

P. pentosaceus 2

93.0 %

Excellent
Identification
Doubtful
Profile
Excellent
Identification
Excellent
Identification
Good
Identification
Good
Identification
Acceptable
Identification
Low
Discrimination
Acceptable
Identification
Acceptable
Identification
Good
Identification
Good
Identification
Low
Discrimination

11
Tabel 4 menunjukkan bahwa hasil identifikasi isolat BAL WJB lebih
bervariasi dengan presentase kesamaan dengan kultur referensi yang juga
bervariasi antara 89.4%-99.9%. Berdasarkan hasil identifikasi lanjut
menggunakan kit API 50 CH, ditemukan 3 isolat yang teridentifikasi sebagai
Pediococcus pentosaceus 1, yaitu isolat dengan kode W2SR04, W207, dan
W2010. Berdasarkan hasil identifikasi API 50 CH, juga ditemukan 4 isolat BAL
yang teridentifikasi sebagai Pediococcus pentosaceus 2, yakni isolat dengan kode
W2SR05, W24805, W27205, dan W27209. Weissella confusa teridentifikasi pada
3 isolat dalam satu seri kode, yaitu W21203, W21205, dan W21213. Selain itu,
diperoleh hasil identifikasi L. plantarum 1 dan L. plantarum 2 pada isolat dalam
satu seri kode juga, yaitu W22408 dan W22409. Kemudian isolat dengan kode
W24802 diidentifikasi sebagai L. delbrrueckii ssp delbrueckii. Sesuai dengan
identifikasi awal bahwa pada awal dan akhir fermentasi tempe WJB didominasi
oleh BAL kokus homofermentatif, namun pada jam ke-12 fermentasi kapang
didominasi oleh BAL batang heterofermentatif, sedangkan pada jam ke-24
didominasi oleh batang homofermentatif. P. acidilactici dan P. pentosaceus
banyak ditemukan pada tanaman, buah-buahan, dan sereal (Lahtinen et al. 2012).
Profil BAL tempe WJB lebih beragam dibanding tempe SDBR yang umumnya
didominasi oleh L. fermentum. Untuk melihat keberadaan isolat BAL dominan
hasil identifikasi kit API 50 CH selama fermentasi tempe SDBR dan selama
fermentasi tempe WJB disajikan pada Tabel 5
Tabel 5 Keberadaan BAL selama fermentasi tempe SDBR dan WJB
Sampel
Kultur
Tempe

SDBR

WJB

Isolat BAL
Pediococcus
acidilactici
Lactobacillus
fermentum
Weissella
confusa
Lactobacillus
plantarum 1
Pediococcus
pentosaceus 1
Pediococcus
pentosaceus 2
Weissella
confusa
Lactobacillus
plantarum 1
Lactobacillus
plantarum 2
Lactobacillus
delbrueckii ssp
delbrueckii

Laru

Setelah
Rendam

Fermentasi Kapang (Jam)
0

12

24

48

72



-

-

-

-

-

-

-













-



-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-



t.a





-

-

-

-

t.a



-

-

-





t.a

-

-



-

-

-

t.a

-

-

-



-

-

t.a

-

-

-



-

-

t.a

-

-

-

-



-

*keterangan : t.a : tidak dianalisis

12
Pada tempe SDBR, spesies BAL yang dominan mulai dari setelah
perendaman hingga fermentasi jam ke-0 bahkan hingga fermentasi ke-72 jam
adalah L. fermentum. Diduga L. fermentum yang muncul sejak perendaman, terus
bertahan dan ikut hadir selama fermentasi kapang. Tempe SDBR tidak melalui
perebusan kedua, sehingga BAL yang ada selama perendaman ikut masuk ke
tahap fermentasi kapang. Selain L. fermentum, selama perendaman juga terdapat
BAL dominan W. confusa, namun pada jam ke-0 fermentasi tidak terdeteksi lagi,
sedangkan pada laru SDBR didominasi oleh P. acidilactici, namun BAL ini juga
tidak terdeteksi selama fermentasi kapang. Hal ini diduga BAL yang dominan
selama fermentasi tempe berasal dari tahap perendaman. Nurdini et al. (2013)
(belum dipublikasi) melaporkan jumlah BAL tempe SDBR setelah perendaman
hanya turun sedikit, yaitu sekitar 1 log cfu g-1, kemudian jumlahnya naik hingga
melebihi 7 log cfu g-1. P. acidilactici yang terdapat di laru SDBR diduga tidak
mampu berkompetisi dengan mikroorganisme lain dan jumlahnya yang tidak
sebanyak BAL yang berasal dari perendaman, sehingga tidak dominan selama
fermentasi kapang. Barus et al. (2008) melaporkan BAL yang muncul pada tahap
perendaman tempe EMP yang diproses hampir sama dengan tempe SDBR adalah
Lactobacillus dan Acetobacter, kedua jenis bakteri ini diduga memberi rasa asam
pada kedelai. Hasil identifikasi BAL selama perendaman pada penelitian ini
sesuai dengan hasil identifikasi yang dilakukan Seumahu et al. (2013) bahwa
Lactobacillus mendominasi tahap perendaman. Fermentasi kapang jam ke-12, 24,
dan 72 tetap didominasi oleh L. fermentum, namun pada jam ke-72 jenis BAL
dominan lain muncul, yaitu L. plantarum 1.
Profil BAL dominan selama fermentasi tempe SDBR dan WJB sangat
berbeda. Pada tempe WJB, P. pentosaceus 1 dan P. pentosaceus 2 dominan di
awal fermentasi, yaitu selama perendaman. P. pentosaceus 1 kemudian ikut
terbawa ke fermentasi kapang hingga jam ke-0. P. pentosaceus 2 yang dominan
selama perendaman kemudian kembali muncul di akhir fermentasi pada jam ke-48
hingga jam ke-72 fermentasi kapang. P. pentosaceus 2 muncul kembali di akhir
fermentasi diduga keberadaannya tetap ada selama fermentasi tempe, namun tidak
dominan pada fermentasi kapang jam ke-0, 12 dan 24. Fermentasi ke-12 jam
tempe WJB didominasi oleh W. confusa dan fermentasi kapang jam ke-24
didominasi oleh L. Plantarum 1 dan L. Plantarum 2, serta pada jam ke-48 selain
P. pentosaceus 2, juga didominasi oleh L. delbrueckii ssp delbrueckii. Munculnya
BAL selain P. pentosaceus 1 dan P. pentosaceus 2 selama fermentasi tempe WJB
diduga berasal dari lingkungan. Hasil metabolit BAL dominan diduga merangsang
pertumbuhan BAL jenis lain. Menurut Katz (2012), bakteri-bakteri dominan dapat
mengubah kondisi, seperti pH dan lainnya, menyebabkan bakteri tertentu saja
yang dapat tumbuh dengan baik.
Jenis BAL pada metode WJB bervariasi selama fermetasi dapat
disebabkan lingkungan produksi tempe WJB yang kurang bersih, serta adanya
tahap perebusan kedua yang menyebabkan jumlah mikroorganisme selama
perendaman berkurang, sehingga BAL dari lingkungan muncul dan mendominasi.
Hal ini dipertegas oleh Nurdini et al. (2013) (belum dipublikasi) melaporkan total
BAL WJB menurun setelah perendaman, jumlahnya sangat sedikit sekali
terdeteksi, namun meningkat kembali setelah jam ke-0 atau pemberian laru,
diduga bakteri tersebut berasal dari lingkungan. Menurut Seumahu et al. (2013),
peluang munculnya mikroba secara spontan dari lingkungan lebih besar,

13
menyebabkan beragamnya profil bakteri selama fermentasi. Lingkungan
fermentasi tempe SDBR yang lebih bersih menyebabkan profil BAL dominannya
kurang beragam, sedangkan pada tempe WJB, lingkungan fermentasinya yang
kurang bersih menyebabkan profil BAL selama fermentasi lebih beragam.
Penelitian mengenai jenis BAL pada tempe terutama selama proses
perendaman sudah banyak dilakukan, namun belum ada yang meneliti jenis BAL
dominan pada berbagai tahap fermentasi tempe. Mulyowidarso et al. (1990)
berhasil mengidentifikasi BAL dominan selama perendaman kedelai, yaitu
Lactobacillus casei dan Enterococcus faecium, jumlahnya pada jam ke-48
fermentasi kapang mencapai 106 - 107 cfu g-1. Hal serupa juga dilaporkan Moreno
et al. (2002), dimana ditemukan Enterococcus faecium pada tempe Malaysia
selama perendaman. Penelitian berikutnya oleh Seumahu et al. (2013)
menunjukkan Acetobacter dan Lactobacillus mendominasi fermentasi tempe
EMP.
Penelitian yang dilakukan oleh Muhialdin dan Hassan (2011) yang
menguji antifungal BAL isolat tempe Malaysia, menunjukkan BAL yang dominan
adalah L. fermentum dan P. pentosaceus. Penelitian lainnya dilakukan oleh Feng
(2006) menunjukkan BAL yang dominan pada tempe barley adalah L. reteuri, L.
plantarum, dan L. fermentum. Liu et al. (2012) melaporkan bakteri asam laktat
pada douchi, yaitu makanan fermentasi kedelai tradisional Cina, didominasi L.
plantarum, Pediococcus, dan Weissella. Pada fermentasi berbasis sereal lainnya,
yaitu millet (Pennisetum glaucum) juga diidentifikasi dominasi L. fermentum yang
kemudian diikuti P. pentosaceus dan L. plantarum (Turpin et al. 2011). Perbedaan
hasil identifikasi profil isolat BAL SDBR dan WJB pada penelitian ini diduga
dipengaruhi perbedaan metode pembuatan tempe dan kondisi lingkugan produksi
tempe.
Kemampuan Isolat BAL Menfermentasi Oligosakarida
Tabel 6 disajikan data isolat BAL yang dapat menfermentasi oligosakaria
rafinosa dan inulin, dapat dilihat bahwa tidak ada satu isolat BAL pun yang
mampu menfermentasi inulin. Isolat BAL tempe SDBR dengan kode S2SR07,
S21204, S21207, S21209, S22402, S22411, S24807, S27202, S27206 dapat
menfermentasi rafinosa, yaitu 8 isolat L. fermentum dan 1 isolat L. plantarum 1.
Pada tempe WJB, juga tidak ada isolat yang mampu menfermentasi inulin. isolat
dengan kode W21203, W21213, W24805, W27205, W27209 dapat
menfermentasi rafinosa. Dua isolat tersebut adalah W. confusa, sedangkan tiga
lagi adalah P. pentosaceus 2. Lan et al. (2004) melaporkan bahwa oligosakarida
pada kedelai dapat meningkatkan populasi BAL genera Lactobacillus,
Pediococcus, Weissella, dan Leuconostoc. Hasil data diatas menunjukkan bahwa
tidak semua BAL dapat menfermentasi oligosakarida rafinosa dan inulin.
Perbedaan tersebut diduga disebabkan pengaruh dari keberadaan enzim αgalactosidase pada masing-masing BAL.
Pada kedelai, oligosakarida utamanya adalah rafnosa dan stakiosa. Wang
et al. (2007) mengidentifikasi oligosakarida pada kedelai mentah terdiri dari
rafinosa 7.52 g kg-1 dan stakiosa 41.32 g kg-1 (berat kering) pada kedelai. Pada
proses awal pembuatan tempe, seperti perendaman, pengupasan, dan penyucian
sekitar 50% rafinosa dan lebih dari 55%-60% sukrosa dan stakiosa berkurang.
Selama tahap fermentasi kapang Rhizopus oligosporus kadar oligosakarida

14
semakin berkurang melebihi 80% stakiosa dan 50% rafinosa. Semakin
berkurangnya oligosakarida pada tahap fermentasi kapang disebabkan hidrolisis
oligosakarida oleh enzim α-galactosidase (Egounlety and Arworh 2003).
Oligosakarida pada kedelai dan inulin berpotensi sebagai prebiotik karena dapat
merangsang pertumbuhan dan aktivitas mikroflora pada usus dan menurunkan
resiko penyakit (Zdunczyk et al. 2011). Pada galeri kit API 50 CH terdapat
berbagai macam turunan karbohidrat, termasuk salah satunya oligosakarida,
sehingga dapat dilihat kemampuan BAL isolat tempe SDBR dan WJB dalam
menfermentasi oligosakarida, namun hanya terdapat oligosakarida rafinosa dan
inulin dalam API 50 CH.
Tabel 6 Isolat BAL SDBR dan WJB yang dapat menfermentasi oligosakarida
Sampel
Kultur
Tempe

SDBR

WJB

Waktu

Oligosakarida
Kode Isolat

Spesies BAL

Laru
Laru
Setelah perendaman
Setelah perendaman
Fermentasi jam ke-0
Fermentasi jam ke-0
Fermentasi jam ke-12
Fermentasi jam ke-12
Fermentasi jam ke-12
Fermentasi jam ke-24
Fermentasi jam ke-24
Fermentasi jam ke-48
Fermentasi jam ke-48
Fermentasi jam ke-72
Fermentasi jam ke-72

S2L02
S2L04
S2SR07
S2SR08
S201
S206
S21204
S21207
S21209
S22402
S22411
S24805
S24807
S27202
S27206

Setelah perendaman
Setelah perendaman
Fermentasi jam ke-0
Fermentasi jam ke-0
Fermentasi jam ke-12
Fermentasi jam ke-12
Fermentasi jam ke-12
Fermentasi jam ke-24
Fermentasi jam ke-24
Fermentasi jam ke-48

W2SR04
W2SR05
W207
W2010
W21203
W21205
W21213
W22408
W22409
W24802

Fermentasi jam ke-48
Fermentasi jam ke-72
Fermentasi jam ke-72

W24805
W27205
W27209

Rafinosa

Inulin

P. acidilactici
P. acidilactici
L. fermentum
W. confusa
L. fermentum
L. fermentum
L. fermentum
L. fermentum
L. fermentum
L. fermentum
L. fermentum
L. fermentum
L. fermentum
L. plantarum 1
L. fermentum











-

P. pentosaceus 1
P. pentosaceus 2
P. pentosaceus 1
P. pentosaceus 1
W. confusa
W. confusa
W. confusa
L. plantarum 1
L. plantarum 2
L. delbrrueckii ssp
delbrueckii
P. pentosaceus 2
P. pentosaceus 2
P. pentosaceus 2



-

-





-

15
Ketahanan Isolat BAL terhadap Asam dan Garam Empedu
Isolat BAL yang telah diidentifikasi menggunakan API 50 CH dipilih 8
kultur isolat yang mewakili masing-masing spesiesnya berdasarkan aktivitas
antimikrobanya yang tertinggi (Nuraida 2014) (belum dipublikasi). Pada
pengujian ini digunakan pH 2.0 dan konsentrasi garam oxgall 0.5%. Konsentrasi
garam empedu yang digunakan disesuaikan dengan konsentrasi garam empedu
dalam duodenum (Zavaglia et al. 1998). Selain itu, penggunaan pH 2 juga
didasarkan oleh nilai asam lambung antara 2-3, dimana kerja enzim pepsin
bekerja baik pada pH tersebut (Sumardjo 2009). Derajat keasaman yang tinggi
dapat membunuh bakteri karena kondisi pH yang sangat rendah menyebabkan
membran sel bakteri rusak sehingga komponen intraselularnya keluar, dan
berujung pada kematian sel (Nannen and Hutkins 1991). Garam empedu mampu
menembus dan bereaksi pada sisi membran sitoplasma yang bersifat lipofilik,
sehingga membran sel menjadi rusak (Singhal et al. 2010)
10

Penurunan log (cfu/mL) asam

9
8
7
6
5
4
3
2
1
0
0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

Penurun log (cfu/mL) garam empedu

Gambar 1 Pengaruh asam (pH 2.0) dan garam empedu (oxgall 0.5%) terhadap
pertumbuhan isolat B