Dinamika populasi dan keragaman Bakteri Asam Laktat (BAL) dan khamir selama produksi tempe

DINAMIKA POPULASI DAN KERAGAMAN BAKTERI
ASAM LAKTAT (BAL) DAN KHAMIR SELAMA PRODUKSI
TEMPE

EFRIWATI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Dinamika Populasi
Bakteri Asam Laktat (BAL) dan Khamir Selama Produksi Tempe adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2013

Efriwati
NIM:G361080041

RINGKASAN
EFRIWATI. Dinamika Populasi dan Keragaman Bakteri Asam Laktat (BAL) dan
Khamir Selama Produksi Tempe. Dibimbing oleh ANTONIUS SUWANTO,
GAYUH RAHAYU dan LILIS NURAIDA
Tempe adalah makanan fermentasi tradisional Indonesia. Sebagian besar
tempe dibuat dari kedelai melalui fermentasi kapang (Rhizopus oligosporus). Di
Indonesia tempe diproduksi dalam skala kecil oleh pengrajin tempe. Beberapa
inovasi telah mengubah cara membuat tempe. Metode produksi tempe, berbeda
antara satu daerah dengan daerah lainnya dan antara pengrajin satu dengan
pengrajin lainnya.
Bakteri asam laktat (BAL) dan khamir pada tempe telah lama dilaporkan
menjadi bagian mikro-flora tempe selain R. oligosporus. Namun informasi
tentang BAL dan khamir yang berasosiasi dengan proses produksi tempe kedelai
masih sedikit. Dinamika populasi BAL dan khamir yang berasosiasi selama

proses produksi tempe di pengrajin Indonesia belum pernah dilaporkan.
Keragaman BAL dan khamir yang berasosiasi selama proses produksi tempe
terbatas pada beberapa BAL dan khamir yang pernah ditemukan pada tempe.
Hingga saat ini keragaman BAL dan khamir dianalisis belum berdasarkan
pendekatan molekular, terutama pendekatan molekular metagenom komunitas
mikrob langsung dari sampel. Oleh sebab itu penelitian ini bertujuan untuk
memperoleh informasi dinamika populasi BAL dan khamir selama proses
produksi tempe di pengrajin Indonesia dan keragamannya. Penelitian ini juga
ditujukan untuk menganalisis pengaruh perbedaan metode produksi tempe yang
diterapkan antara pengrajin terhadap kehadiran mikrob ini.
Pada penelitian ini, analisis dinamika populasi dan keragaman BAL dan
khamir dilakukan terhadap sampel yang diambil dari lima tahap proses produksi
tempe pada produksi tempe metode A dan B di pengrajin Indonesia. Analisis
dilakukan dengan metode perhitungan koloni pada media selektif yang dilanjutkan
dengan analisis Terminal Restriction Fragment Length Polymorphism (T-RFLP)
terhadap total koloni. Analisis T-RFLP metagenom (langsung dari sampel) juga
dilakukan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) BAL dan khamir merupakan
bagian komunitas mikrob yang umum selama produksi tempe dan tetap ada pada
produk tempe segar, baik pada produksi tempe metode A maupun B. (2) Populasi

BAL dan khamir selama produksi tempe berubah dari satu tahap ke tahap lainnya
selama produksi tempe dan berbeda pada kedua metode. Metode produksi tempe
mempengaruhi kehadiran BAL dan khamir dalam jumlah koloni pada cawan. (3)
Populasi maksimun BAL dan khamir ditemukan pada tempe segar, yaitu berturut
turut 7.91 log cfu/g dan 9.70 log cfu/g pada produksi tempe metode A serta 6.54
log cfu/g dan 6.58 log cfu/g pada metode B. (4) Amplikon kompleks ITS khamir
dapat mengambarkan keragaman khamir selama produksi tempe, namun filotipe
hasil analisis T-RFLPnya menggambarkan keragaman yang lebih baik. (5) Jumlah
filotipe BAL dan khamir berubah dari satu tahap ke tahap lainnya dan berbeda
pada kedua metode produksi tempe. Metode produksi tempe mempengaruhi
keragaman BAL dan khamir yang tumbuh pada cawan dalam hal jumlah filotipe
setiap tahap, jumlah filotipe selama produksi tempe, jumlah filotipe tertinggi dan
jumlah filotipe spesifik metode. (6) Selama produksi tempe 82 filotipe BAL dan

88 filotipe khamir terdeteksi setelah pencawanan. Jumlah filotipe BAL tertinggi
terjadi pada tahap T3 produksi tempe metode A yaitu 54 BAL dan 55 filotipe
khamir pada tahap T2 metode B. (7) Jumlah filotipe BAL dan khamir berubah
dari satu tahap ke tahap lainnya dan berbeda pada kedua metode produksi tempe
juga terdeteksi pada analisis metagenom sampel. Metode produksi tempe selain
mempengaruhi keragaman BAL dan khamir dalam hal jumlah filotipe setiap tahap,

jumlah filotipe selama produksi tempe, jumlah filotipe tertinggi dan jumlah
filotipe spesifik metode, juga mempengaruhi filotipe spesifik tahapan, filotipe
unik metode dan kelimpahan masing-masing filotipe. (8) Tiga filotipe BAL unik
metode A (64, 121 dan 264 bp) hadir dominan dengan kelimpahan > 50% pada
tahap T1, dan > 80% pada tahap T2 hingga T5 produksi tempe metode A. Dua
filotipe unik metode B (50 dan 178 bp) hadir dengan kelimpahan > 40% pada
tahap T1 hingga T4 dan kelimpahan rendah di tahap T5 produksi tempe metode B.
Filotipe-filotipe unik dan dominan ini kemungkinan memiliki karakter khusus
untuk tempe yang dihasilkan. (9) Filotipe khamir umum tahapan dan metode (114
bp) hadir dominan dengan kelimpahan relatif pada tahap T1, T3 dan T5 metode
A berturut turut 47%, 41% dan 83% dan tahap T1, T2, T3 dan T4 metode B
berturut-turut 71%, 70% , 51% dan 1%. Filotipe khamir umum tahapan dan
metode yang lain yaitu filotipe 161 bp, hanya dominan dengan kelimpahan
relatif 41% dan 42% di tahap T3 dan T4 metode B dan < 25% di 4 tahap lainnya.
Kedua filotipe ini adalah khamir umum di komunitas tempe dan mungkin adalah
filotipe khamir utama yang memiliki fungsi fisiologis tertentu pada proses
produksi tempe. (10) Penerapan kedua analisis T-RFLP (setelah pencawanan dan
langsung dari sampel) saling melengkapi dan meningkatkan profil BAL dan
khamir yang hadir selama produksi tempe dan mendeteksi 100 filotipe BAL dan
104 filotipe khamir yang terdiri dari 82 filotipe culturable BAL dan 18 filotipe

unculturable BAL serta 88 filotipe culturable khamir dan 16 filotipe unculturable
khamir. (11) Identifikasi filotipe menemukan selama produksi tempe terdapat
beberapa spesies dan galur BAL yang termasuk dalam genera Aerococcus,
Enterococcus, Lactobacillus, Leuconostoc Streptococcus, dan Weissella.
Informasi mengenai struktur, komposisi dan keragaman BAL dan khamir
selama produksi tempe ini dapat digunakan sebagai dasar penelitian lainnya.
Sebagian besar filotipe belum teridentifikasi dan filotipe-filotipe yang diperoleh
perlu diidentifikasi serta dieksplorasi lebih lanjut.
Kata Kunci: Tempe, Bakteri Asam Laktat (BAL), Khamir, Terminal Restriction
Fragment Length Polymorphism (T-RFLP), Filotipe.

SUMMARY
EFRIWATI. Population Dynamics and Diversity of Lactic Acid Bacteria (LAB)
and Yeast during Tempe Production. Supervised by ANTONIUS SUWANTO,
GAYUH RAHAYU and LILIS NURAIDA
Tempeh is an Indonesian traditional fermented food. Mostly, tempeh is
made from soybeans and fermented by mold (Rhizopus oligosporus). In Indonesia,
tempeh produced by traditional home industry. Several innovations have applied
to tempeh making. Method of tempeh making varies amongst regions and home
industries.

Lactic acid bacteria (LAB) and yeasts as the part of micro-flora in tempeh
beside R.oligosporus have long been reported. However, information of LAB and
yeasts associated during production process of soybean tempeh is still limited to
those made at laboratory. Population dynamics of LAB and yeast associated
during tempeh production process at home industry in Indonesia has not been
reported. The diversity of LAB and yeasts associated during tempeh production
process is limited to a few LAB and yeasts found in tempeh. Until now the
diversity of LAB and yeasts have not analyzed based on molecular approaches,
particularly metagenome approach from microbial community directly from
samples. Therefore, this research was aimed to obtain the information of LAB and
yeast population dynamics and diversity during tempeh production process at
home industries in Indonesia. This research was also aimed to evaluate the effect
of different methods applied in tempeh production at home industries on the
presence of these microbes.
Observations were carried out by employing colony counting on selective
media followed by Terminal Restriction Fragment Length Polymorphism (TRFLP) on five stages of two tempeh production methods (A and B). Analysis of
T-RFLP metagenome (directly from the sample) was also performed.
The research found that (1) LAB and yeasts were common microbial
community during tempeh production as well as at fresh tempeh of production
methods A and B. (2) The population of LAB and yeast during tempeh production

changes from one to other stages and different between the methods. Tempeh
production methods affected the presence of LAB and yeasts in colonies number
grew on plates. (3) The maximum population of LAB and yeasts were found in
fresh tempeh, i.e. respectively 7.91 log cfu/g and 9.70 log cfu/g in tempeh
production methods A and 6.54 log cfu/g and 6.58 log cfu/g in method B. (4)
Amplicon of complex yeast ITS was able to detect the diversity of yeast during
tempeh production, but phylotype analysis by T-RFLP were better for diversity
analysis (5) The LAB and yeasts phylotype number changes from one stage to
other stages and different on both methods. Tempeh production methods affect the
diversity of LAB and yeasts grew on plates in terms of phylotype number at each
stage, phylotype number during tempeh production, the highest number and
phylotypes specific methods (6) The 82 BAL phylotypes and 88 yeasts phylotypes
during tempeh production, were detected after plating. The highest of BAL
phylotype number occurred in T3 stage of tempeh production method A that is 54
BAL and 55 yeast phylotype at T2 stage of tempeh production method B. (7) The
number of LAB and yeasts phylotype change from one stage to other and differ in
two tempeh production methods was also detected in metagenome analysis.

Tempeh production methods also affected the specific phylotype stages, unique
phylotype methods and the abundance of each phylotype, besides affecting on the

diversity of LAB and yeasts in term of the number of phylotype at each stage, the
number of phylotype during tempeh production, and the highest number of
phylotypes, number of specific phylotype methods. (8) Three unique LAB
phylotypes in method A (64, 121 and 264 bp) predominantly present with an
abundance > 50% in stage T1, and > 80% at stage T2 to T5 tempeh production
method A. Two unique LAB phylotype in method B (50 and 178 bp) present with
an abundance > 40% in stage T1 to T4 and low abundance at T5 stage in tempeh
production method B. The unique and dominant phylotypes is possible as special
character to tempeh. (9) The common yeast phylotype at all stages and both
methods (114 bp) is present predominantly in the relative abundance respectively
at T1, T3 and T5 stages in method A are 47%, 41% and 83% and at T1, T2, T3
and T4 stages method B are 71%, 70%, 51% and 1%. The other common yeast
phylotype at all stages and both methods was 161 bp with a relative abundance
only 41% and 42% in stage T3 and T4 methods B and < 25% in 4 other stages.
The common yeast phylotype in tempeh community is probably the main yeast
phylotype and has certain physiological functions in tempeh production process.
(10) Application T-RFLP analysis both directly from metagenome and after
plating process complemented each and other and improved LAB and yeast
profiling and were able to detect 100 LAB and 104 yeast phylotypes that consists
of 82 BAL phylotype culturable and 18 BAL phylotype unculturable and 88 yeast

phylotype culturable and 16 yeast phylotype unculturable. (11) Identification of
phylotype found during tempeh production revealed that there were several
species and strains of LAB included in the genera Aerococcus, Enterococcus,
Lactobacillus, Streptococcus Leuconostoc, and Weissella.
Structure, composition and diversity information of LAB and yeast during
tempeh production can be use as baseline data for future research. Some
phylotypes were unable to be identified and needed to identify and explore on the
further.
Keywords: Tempeh, Lactic Acid Bacteria (LAB), Yeasts, Terminal Restriction
Fragment Length Polymorphism (T-RFLP), Phylotype.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


i

DINAMIKA POPULASI DAN KERAGAMAN BAKTERI
ASAM LAKTAT (BAL) DAN KHAMIR SELAMA PRODUKSI
TEMPE

EFRIWATI

Disertasi ini
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Mikrobiologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013


ii

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr Nisa Rachmania Mubarik, MSi
: Prof Dr Ir Betty Sri Laksmi Jenie, MS

Penguji pada Ujian Terbuka : Prof Dr Ir Made Astawan, MS
Prof Dr Suyanto Pawiroharsono, DEA

iii

Judul Tesis
Nama
NIM

: Dinamika Populasi dan Keragaman Bakteri Asam Laktat (BAL)
dan Khamir Selama Produksi Tempe
: Efriwati
: G361080041

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Antonius Suwanto, MSc
Ketua

Dr Ir Gayuh Rahayu
Anggota

Prof Dr Ir Lilis Nuraida, MSc
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Mikrobiologi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Anja Meryandini, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr

Tanggal Ujian: 24 Juli 2013

Tanggal Lulus:

iv

PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2010 ini adalah
Bakteri Asam Laktat dan Khamir pada Tempe dengan judul Dinamika Populasi
dan Keragaman Bakteri Asam Laktat (BAL) dan Khamir Selama Produksi Tempe.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Antonius Suwanto,
MSc, Dr Ir Gayuh Rahayu dan Prof Dr Ir Lilis Nuraida, MSc selaku ketua dan
anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberi saran, arahan dan
bimbingan hingga penelitian, penulisan ilmiah dan disertasi ini dapat selesai
dengan baik.
Ucapan terima kasih penulis ucapkan pada Dr Nisa Rachmania Mubarik,
MSi dan Prof Dr Ir Betty Sri Laksmi Jenie, MS selaku selaku penguji penguji luar
komisi saat sidang tertutup yang telah banyak memberi masukan dan saran untuk
penulisan disertasi lebih baik dan kepada Prof Dr Ir Made Astawan MS dan Prof
Dr Suyanto Pawiroharsono DEA selaku penguji luar komisi saat sidang terbuka
yang telah banyak memberi maksukan dan saran agar penulisan disertasi ini lebih
baik.
Ucapan terima kasih penulis ucapkan pada Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Republik Indonesia, melalui tim Program Akselerasi
Doktor Indonesia yang telah memberi kesempatan penulis untuk mendapat
beasiswa dan bimbingan selama perkuliahan.
Ucapan terima kasih kepada suami tercinta, Ir Sabron dan putra-putri kami
tersayang, Muhammad Obdal Amfa, Derefita Fitri dan Caila Karennina atas doa,
pengorbanan, pengertian, ketabahan dan dorongan semangat yang tiada pernah
putus. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada keluarga besar Mustafa
Jalil dan Amir Jamin atas segala doa, dorongan semangat dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat, Amin.

Bogor, Juni 2013

Efriwati

v

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN

vi
vii
viii

PENDAHULUAN __________________________________________ 1
Latar Belakang _____________________________________________ 1
Perumusan Masalah _________________________________________ 3
Tujuan Penelitian ___________________________________________ 3
Hipotesis _________________________________________________ 4
Manfaat Penelitian __________________________________________ 4
Ruang Lingkup Penelitian ____________________________________ 5
TINJAUAN PUSTAKA _________________________________________ 7
Tempe ___________________________________________________ 7
Proses Pembuatan Tempe ____________________________________ 7
Mikrob pada Tempe _________________________________________ 8
Mempelajari Keragaman BAL _______________________________ 10
Mempelajari Keragaman Khamir. ____________________________ 13
METODE __________________________________________________ 15
Bahan ___________________________________________________ 15
Alat ____________________________________________________ 15
Prosedur Analisis __________________________________________ 15
HASIL DAN PEMBAHASAN ___________________________________ 20
Hasil ____________________________________________________ 20
Pembahasan ______________________________________________ 36
SIMPULAN DAN SARAN _____________________________________ 48
Simpulan ________________________________________________ 48
Saran ___________________________________________________ 49
DAFTAR PUSTAKA _________________________________________ 49
LAMPIRAN ________________________________________________ 55

vi

DAFTAR TABEL
Dinamika jumlah filotipe BAL setelah pencawanan selama produksi tempe metode
A dan metode B

23

Dinamika jumlah filotipe khamir setelah pencawanan selama produksi tempe
metode A dan metode B

23

Dinamika jumlah filotipe BAL pada metagenom sampel selama produksi tempe
metode A dan metode B

27

Dinamika jumlah filotipe khamir pada metagenom sampel selama produksi tempe
metode A dan metode B

27

Dua puluh filotipe BAL yang spesifik pada satu tahap dan metode produksi tempe
tertentu.

28

Enam belas filotipe khamir yang spesifik pada satu tahap dan metode produksi
tempe tertentu.

30

Identifikasi filotipe BAL di setiap tahap produksi tempe metode A

35

vii

DAFTAR GAMBAR
Alur penelitian dinamika populasi bakteri asam laktat (BAL) dan khamir selama
produksi tempe
6
Tahap pembuatan tempe yang dilakukan oleh pengrajin tempe EMP dan pengrajin
tempe WJB.
8
Proses analisis T-RFLP
12
Organisasi genomik 18S rRNA, ITS1, 5.8S rDNA,ITS2, dan 26S rDNA.
14
Alur proses produksi tempe (metode A dan metode B) di dua pengrajin, sub kultur
laru komersial tempe EMP dan saat pengambilan sampel
17
Dinamika jumlah koloni BAL dan khamir pada 5 tahap produksi tempe metode
A dan metode B
21
Hasil amplifikasi PCR daerah V1-V3 16S rRNA BAL dan hasil amplifikasi PCR
daerah ITS1-5.8S rRNA-ITS2 khamir setelah pencawanan selama
produksi tempe metode A dan metode B
21
Dinamika jumlah filotipe BAL dan khamir setelah pencawanan selama produksi
tempe metode A dan metode B
22
Perbandingan jumlah filotipe BAL dan khamir pada produksi tempe metode A
dan metode B, jumlah filotipe BAL dan khamir spesifik metode
tertentu dan filotipe umum di kedua metode.
24
Hasil amplifikasi PCR daerah V1-V3 16S rRNA BAL pada metagenom sampel
selama produksi tempe
24
Hasil amplifikasi PCR daerah ITS1-5.8S rRNA-ITS2 khamir pada metagenom
sampel selama produksi tempe pada metode A dan metode B
25
Dinamika jumlah filotipe BAL dan khamir pada metagenom sampel selama
produksi tempe metode A dan metode B
26
Perbandingan jumlah filotipe BAL dan khamir pada tempe metode A dan metode
B, jumlah filotipe BAL dan khamir spesifik metode tertentu dan
filotipe umum pada kedua metode.
28
Sembilan belas filotipe BAL yang tersebar di dua atau lebih tahap produksi tempe,
disalah satu metode dan/atau dikedua metode produksi tempe
29
Dua puluh tujuh filotipe khamir yang tersebar di dua atau lebih tahap produksi
tempe, disalah satu metode atau dikedua metode produksi tempe.
29
Analisis cluster komunitas BAL pada berbagai tahap dan metode produksi tempe 30
Analisis cluster komunitas khamir pada berbagai tahap dan metode produksi
31
Kelimpahan relatif masing-masing filotipe BAL yang terdapat di setiap tahap dan
di kedua metode produksi tempe
32
Kelimpahan relatif masing-masing filotipe khamir yang terdapat di setiap tahap
dan di kedua metode produksi tempe
33
Perbandingan jumlah filotipe BAL culturable dan unculturable selama produksi
tempe
34
Perbandingan jumlah filotipe khamir culturable dan unculturable selama
produksi tempePerbandingan jumlah filotipe khamir culturable dan
unculturable selama produksi tempe
34

viii

DAFTAR LAMPIRAN
Dendrogram TRF pada analisis pemilihan enzim restriksi pada BAL

56

Dendrogram TRF pada analisis pemilihan enzim restriksi pada khamir

56

Data TPC dan log cfu/g populasi BAL selama produksi tempe

56

Data TPC dan log cfu/g populasi khamir selama produksi tempe

57

Jumlah filotipe BAL selama produksi tempe metode A

57

Jumlah filotipe BAL selama produksi tempe metode B

57

Jumlah filotipe khamir selama produksi tempe metode A

57

Jumlah filotipe khamir selama produksi tempe metode B

58

Keragaman filotipe BAL dengan analisis T-RFLP metagenom

58

Total keragaman filotipe BAL dengan analisis T-RFLP metagenom dan T-RFLP
setelah pencawanan
59
Keragaman filotipe khamir dengan analisis T-RFLP metagenom

61

Total keragaman filotipe khamir dengan analisis T-RFLP metagenom dan TRFLP setelah pencawanan

62

Riwayat Hidup

64

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tempe atau dalam bahasa asing sering ditulis sebagai tempeh untuk
membedakannya dengan kota Tempe di Arizona, adalah makanan fermentasi
tradisional utama Indonesia. Sebagian besar tempe dibuat dari kedelai melalui
fermentasi kapang (terutama Rhizopus oligosporus). Menurut sejarah, tempe
kedelai dibuat pertama kali oleh masyarakat Jawa Tengah sekitar tahun 1700-an.
Sekarang, tempe dibuat dan dikonsumsi oleh multi-etnis masyarakat Indonesia
(Shurtleff and Aoyagi 2011).
Tempe juga dikenal kaya nutrisi. Pada tempe terdapat protein, lemak,
karbohidrat yang mudah dicerna tubuh. Tempe juga kaya vitamin, mineral dan
komponen aktif, dan populer sebagai makanan sehat dan menyehatkan. Tempe
dapat menyembuhkan diare kronik pada balita. Isoflavon pada tempe lebih aktif
dan lebih mudah diabsorpsi tubuh sehingga sangat efektif untuk mengatasi
sindrom osteoporosis setelah monopause (Astuti et al. 2000; Nout and Kiers 2005;
Nakajima et al. 2005; Shurtleff and Aoyagi 2011).
Di Indonesia tempe diproduksi dalam skala kecil oleh pengrajin tempe.
Beberapa inovasi telah mengubah cara membuat tempe. Metode produksi tempe,
berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya dan antara pengrajin satu
dengan pengrajin lainnya. Kualitas tempe juga bervariasi dalam hal tekstur, rasa
dan aroma (Astuti et al. 2000). Berdasarkan penelitian.sebelumnya terdapat dua
pengrajin tempe yang menerapkan metode produksi tempe berbeda di Bogor,
yaitu pengrajin tempe EMP dan WJB. Intensitas rasa pahit tempe serta jumlah dan
jenis bakteri yang terlibat dalam proses produksi tempe yang dihasilkan pengrajin
EMP lebih tinggi dibandingkan yang dihasilkan pengrajin WJB (Barus et al.
2008).
Rhizopus oligosporus merupakan mikrob utama dalam fermentasi tempe,
tetapi mikrob yang terlibat dalam fermentasi sangat kompleks dan berkembang
mulai perendaman kedelai (Nout and Rombouts 1990; Nout dan Klers 2005).
Kehadiran bakteri asam laktat (BAL) telah dilaporkan pada tempe oleh Nout et al.
(1985) dan khamir oleh Samson et al. (1987). Setelah itu, BAL dan khamir pada
tempe dipelajari dan dilaporkan oleh beberapa peneliti lainnya. Umumnya, BAL
dan khamir dipelajari pada tahap tertentu dan dalam proses produksi tempe di
laboratorium. Kehadiran mikrob ini pada sampel tempe komersial sudah
dilaporkan, tetapi hanya berdasarkan keberadaannya pada produk akhir (tempe
pasar) dan tidak melaporkan secara komprehensif selama proses produksi tempe.
Penelitian mengenai BAL dan khamir pada tempe ini, umumnya berdasarkan
pendekatan konvensional yang membutuhkan waktu dan usaha yang besar serta
memiliki keterbatasan untuk analisis mikrob yang belum dapat dikultur (Aslam et
al. 2010). Hingga saat ini studi populasi BAL selama produksi tempe, terbatas
pada nilai colony forming unit (cfu). Populasi BAL selama produksi tempe telah
diteliti selama proses produksi tempe di pengrajin tempe Malaysia (Moreno et al.
2002) dan selama produksi tempe di laboratorium Indonesia (Nuraida et al. 2008).
Baik Moreno et al. (2002) maupun Nuraida et al. (2008) tidak mempelajari
populasi khamir secara spesifik, populasi khamir ini termasuk dalam nilai cfu

2
kapang. Studi mengenai keragaman populasi BAL dan khamir selama produksi
tempe belum pernah ada, kecuali daftar beberapa jenis BAL dan khamir yang
pernah ditemukan pada tempe (Samson et al. 1987; Mulyowidarso et al. 1990;
Ashenafi 1991; Ashenafi and Busse 1991).
Pendekatan molekular berbasis PCR telah dikembangkan dan digunakan
untuk mempelajari komunitas bakteri pada tempe (Barus et al. 2008, Stefania
2009, Sari 2009, Hanjaya 2011 dan Seumahu et al. 2012), dan keragaman kapang
pada sejumlah sampel tempe (Seumahu et al. 2012). Pada penelitian-penelitian ini,
populasi BAL dan khamir selama produksi tempe belum pernah diteliti, kecuali
Lactobacillus dan Streptococcus diduga terdapat pada perendaman kedelai dan
Lactobacillus sp. merupakan salah satu bakteri dominan pada salah satu produk
tempe (Barus 2008; Seumahu 2012).
Analisis Terminal restriction fragment length polymorphism (T-RFLP) (Liu
et al. 1997) merupakan salah satu pendekatan molekular berbasis PCR. Analisis
ini dapat digunakan untuk memantau perubahan struktur dan komposisi
komunitas mikrob. Analisis T-RFLP sangat populer, banyak digunakan dan lebih
komprehensif. Pendekatan molekular T-RFLP ini menawarkan kompromi antara
informasi yang diperoleh dan intensitas tenaga kerja (Rappe and Giovannoni
2003; Schutte et al. 2008). Analisis T-RFLP ini relatif sederhana dan telah
diterapkan pada analisis peran komunitas bakteri pada pembentukan rasa pahit
tempe (Barus et al. 2008).
Seperti pendekatan molekular berbasis PCR lainnya, analisis T-RFLP juga
memiliki keterbatasan. Beberapa bukti memperlihatkan bahwa analisis T-RFLP
tidak efektif untuk menentukan kekayaan filotipe pada komunitas yang sangat
kompleks. Analisis T-RFLP, lebih baik diterapkan pada komunitas sederhana
(Dunbar et al. 2001). Menurut Schutte et al. (2008), keterbatasan analisis T-RFLP
dapat diatasi dengan pemilihan primer spesifik untuk kelompok taksonomi target.
Primer spesifik ini dapat digunakan untuk studi keragaman kelompok bakteri
spesifik yang terdapat dalam jumlah rendah pada suatu ekosistem (Heilig et al.
2002). Selain itu, pemilihan enzim restriksi, perbedaan antara sinyal yang
sebenarnya dengan sinyal palsu, dan penyelarasan profil T-RFLP pada analisis TRFLP sangat perlu dilakukan. Tahapan tersebut diperlukan untuk dapat
mengidentifikasi dan memantau perubahan mikrob dalam komunitas (Schutte et al.
2008).
Primer spesifik reverse SG-Lab-0677 telah dirancang dan dikembangkan
untuk mengamplifikasi secara selektif gen 16S ribosomal DNA (rDNA) anggota
Lactobacillus dan bakteri asam laktat lainnya. Primer ini telah digunakan oleh
Randazzo et al. (2002), Heilig et al. (2002), Jernberg et al. (2005) dan Dicksved et
al. (2007). Sementara itu, sepasang primer forward ITS1 dan primer reverse ITS4
khamir, secara luas telah digunakan untuk mengamplifikasi daerah gen ITS1 5.8S rRNA - ITS2. Primer ini telah digunakan oleh Zarzoso et al. (1999),
Carvalho et al. (2005), Vazquez et al. (2003), Hamby et al. (2012). Pada kasus
enzim, Engebretson and Moyer (2003) telah mengevaluasi 18 enzim restriksi
untuk bakteri dan menemukan bahwa MspI adalah salah satu dari empat enzim
restriksi yang paling sering dapat membedakan suatu populasi dalam komunitas
model mereka. Sementara untuk gen ITS1 - 5.8S rRNA - ITS2 khamir, enzim
restriksi HaeIII dan HinfI lebih populer digunakan (Zarzoso et al. 1999; Carvalho
et al. 2005; Hamby et al. 2012).

3
Pendekatan paling sederhana untuk membedakan antara sinyal yang
sebenarnya dan sinyal palsu, dapat dilakukan berdasarkan nilai terminal fragmen
restriksi (TRF) dan unit fluoresen (FU) terkecil (Dunbar et al. 2001; Blackwood
et al. 2003). Cara ini secara luas telah digunakan untuk normalisasi produk TRFLP. Selanjutnya semua data T-RFLP dapat diselaraskan dengan mudah dan
cepat dengan menggunakan program T- align (Smith et al. 2005; Schutte et al.
2008 ).
Hingga saat ini, studi mengenai populasi BAL dan khamir selama proses
produksi tempe di pengrajin tempe Indonesia belum pernah diteliti. Dinamika
populasi BAL dan khamir dari satu tahap ke tahap lainnya selama produksi tempe
belum pernah dilaporkan, baik sebagai nilai kelimpahan koloni (nilai cfu) maupun
keragaman koloni yang tumbuh setelah proses pencawanan, termasuk pengaruh
metode produksi antara pengrajin terhadap komunitas mikrob ini. Analisis
keragaman populasi BAL dan khamir pada tempe masih dianalisis dengan metode
tergantung kultur. Metode ini hanya dapat menggambarkan keragaman mikrob
yang terkultur (culturable) dan belum dapat menggambarkan keragaman seluruh
BAL dan khamir pada tempe. Keragaman dan dinamika seluruh populasi BAL
dan khamir dari satu tahap ke tahap lainnya selama produksi tempe (baik
culturable maupun yang belum dapat terkultur/ unculturable) juga belum pernah
dilaporkan. Perubahan struktur dan komposisi masing-masing anggota BAL dan
khamir, baik sebagai jumlah kehadiran filotipe maupun kelimpahan masingmasing filotipe dari satu tahap ke tahap lainnya selama produksi tempe belum
pernah diteliti, termasuk pengaruh metode produksi tempe antara pengrajin
terhadap perubahan struktur dan komposisi mikrob ini. Sebab itu analisis T-RFLP
dengan menggunakan primer spesifik dan enzim restriksi yang telah banyak
digunakan oleh peneliti selama ini digunakan dalam penelitian ini, termasuk cara
normalisasi produk T-RFLP dan penyelarasan data yang diperoleh.

Perumusan Masalah
Pertanyaan yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah: 1) Apakah BAL
dan khamir merupakan bagian dari komunitas mikrob yang terdapat selama
produksi tempe pada metode produksi berbeda di pengrajin tempe Indonesia. 2)
Bagaimana perubahan struktur dan komposisi masing-masing anggota BAL dan
khamir selama produksi tempe, baik sebagai jumlah total koloni dan keragaman
koloni yang tumbuh dicawan maupun kehadiran filotipe dan kelimpahan masingmasing filotipe dari satu tahap ke tahap lainnya selama produksi tempe, termasuk
ditemukannya filotipe spesifik, filotipe umum, filotipe unik dan filotipe dominan
yang mungkin berbeda akibat perbedaan metode produksi di pengrajin tempe
Indonesia.

Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi dinamika populasi dan
keragaman BAL dan khamir selama proses produksi tempe di pengrajin Indonesia

4
dan menganalisis pengaruh perbedaan metode produksi tempe yang diterapkan
antara pengrajin terhadap kehadiran mikrob ini.
Tujuan Khusus
1. Analisis populasi BAL dan khamir selama proses produksi tempe di dua
pengrajin Indonesia yang menerapkan metode produksi yang berbeda,
termasuk pengaruh perbedaan metode produksinya terhadap kehadiran
populasi mikrob ini dari satu tahap ke tahap lainnya selama produksi tempe
melalui teknik perhitungan koloni.
2. Analisis keragaman BAL dan khamir culturable dengan metode analisis TRFLP setelah pencawanan.
3. Analisis keragaman BAL dan khamir total baik culturable dan unculturable
dengan metode analisis T-RFLP metagenom.
4. Mengungkap filotipe spesifik dan filotipe umum pada tahap dan metode
produksi tempe, termasuk filotipe unik dan filotipe dominan selama produksi
tempe.
5. Identifikasi filotipe yang ditemukan dengan database.

Hipotesis.
1.

2.
3.
4.

5.

BAL dan khamir merupakan bagian dari komunitas mikrob yang terdapat
selama produksi tempe di pengrajin tempe Indonesia dengan populasi dan
keragaman dinamis selama produksi tempe.
Metode produksi tempe mempengaruhi kehadiran BAL dan khamir selama
produksi tempe.
BAL dan khamir bersifat culturable dan unculturable merupakan bagian dari
komunitas mikrob selama produksi.
Penggunaan kombinasi metode tergantung kultur dan tidak tergantung kultur
dapat memberikan informasi populasi BAL dan khamir yang lebih baik dan
saling melengkapi.
Beberapa BAL dan khamir umum terdapat selama tahap produksi dan metode
produksi tempe, tetapi beberapa BAL dan khamir lainnya spesifik pada tahap
dan metode tertentu.

Manfaat Penelitian
Tersedianya informasi mengenai dinamika populasi BAL dan khamir
selama proses produksi tempe dan pengaruh perbedaan metode produksi tempe
terhadap kehadiran mikrob ini, baik kelimpahan maupun keragaman dapat
menjadi dasar penelitian yang lebih spesifik dan mendalam untuk pengembangan
metode standar yang lebih baik dalam memproduksi tempe, serta pengembangan
kultur starter tempe yang unggul di masa datang. Informasi mengenai keragaman
populasi BAL dan khamir selama proses produksi tempe dapat menjadikan tempe
sebagai sumber plasma nutfah keragaman hayati mikrob ini untuk keperluan yang
lebih luas.

5
Ruang Lingkup Penelitian
Metode produksi tempe yang diterapkan pengrajin tempe di Indonesia
berbeda antara pengrajin atau daerah satu dan lainnya. Penelitian ini dibatasi
hanya pada dua metode produksi tempe yang berbeda yaitu metode atau alur
proses produksi yang dilakukan oleh dua pengrajin tempe di Bogor dan telah
diteliti sebelumnya oleh Barus et al. (2008), yaitu pengrajin tempe EMP dan
WJB. Alur proses produksi yang dilakukan pengrajin EMP selanjutnya disebut
produksi tempe metode A dan yang dilakukan pengrajin WJB disebut produksi
tempe metode B (Gambar 5).

6

Dua Pengrajin Tempe yang Menerapkan Metode Produksi Berbeda dan
Telah Dipelajari Sebelumnya oleh Barus et al. (2008)

Produksi Tempe Metode B

Produksi Tempe Metode A

Sampel Berupa @ 5 tahap Produksi Tempe

Metode Tergantung Kultur

Metode Tidak Tergantung Kultur
Simpan di -20oC(hingga isolasi)

Proses Pencawanan

(
TPC

Sumber DNA

Sumber DNA

VValuealue
Nilai
CFU

Analisis T-RFLP

Analisis T-RFLP

Keragaman
Filotipe di
Setiap Tahap

VVal
Keragaman BAL dan
Khamir Culturable

Keragaman BAL dan Khamir
Culturable dan Unculturable

Keragaman
Filotipe
Selama
Produksi
Tempe

cess

Total Keragaman BAL dan
Khamir Culturable

Total Keragaman BAL dan
Khamir Unculturable

Total Keragaman BAL dan Khamir
Identifikasi BAL dan Khamir

Gambar 1 Alur penelitian dinamika populasi dan keragaman bakteri asam laktat
(BAL) dan khamir selama produksi tempe

7

TINJAUAN PUSTAKA

Tempe
Tempe dalam ejaan Indonesia atau dalam bahasa asing dikenal
sebagai ”tempeh” adalah suatu nama kolektif untuk suatu massa kacang-kacangan
yang dimasak dan difermentasi oleh kapang (umumnya Rhizopus sp.) hingga
membentuk suatu massa yang kompak dan dapat diiris. Selain berbahan baku
kacang-kacangan atau biji-bijian, tempe juga dibuat dari hasil samping
pengolahan makanan, seperti ampas tahu dan ampas lainnya. Kedelai kuning
adalah bahan baku paling umum dan lebih disukai untuk membuat tempe (Nout
and Kiers 2005).
Tempe merupakan bahan pangan penting di Indonesia. Sebagai makanan
tradisional tempe telah lama dikonsumsi dan konsumsi tempe meningkat dari
tahun ke tahun. Peningkatan konsumsi tempe ini antara lain disebabkan faktor
rasanya yang enak, memiliki gizi yang tinggi, harga yang murah dan mudah
dibuat (Pawiroharsono 1995). Tempe juga merupakan makanan fungsional yang
menyehatkan, mengandung Vitamin B12 dan senyawa aktif (Keuth and Bisping
1994; Astuti et al. 2000; Nout and Kiers 2005; Nakajima et al. 2005; Shurtleff and
Aoyagi 2011). Kepopuleran tempe sebagai makanan sehat dan menyehatkan
mengakibatkan tempe tidak saja dikonsumsi oleh rakyat Indonesia, melainkan
telah banyak dikonsumsi di banyak negara seperti Belanda, Jepang dan Amerika
(Karyadi 1996; Shurtleff and Aoyagi 2011).

Proses Pembuatan Tempe
Teknologi untuk membuat tempe sangat sederhana. Seperti teknologi
fermentasi tradisional lainnya, teknologi untuk membuat tempe berkembang
secara turun menurun dan sangat beragam di antara pengrajin. Cara pengolahan
tempe di antara pengrajin, berbeda antara satu daerah dengan daerah lain dan
antara satu pengrajin dengan pengrajin lainnya (Astuti et al. 2000; Shurtleff and
Aoyagi 2011). Selain perbedaan, beberapa persamaan proses produksi tempe juga
terdapat di antara pengrajin, antara lain pemasakan kedelai, pengelupasan kulit
dan pengasaman biji kedelai, pencucian, pencampuran dengan laru/inokulum,
pengemasan dan inkubasi (Hermana dan Karmini 1996).
Berdasarkan hasil penelitian Barus et al. (2008), diketahui bahwa di Bogor
terdapat dua cara pembuatan tempe berbeda. Cara yang sangat berbeda tersebut
(Gambar 2) diterapkan oleh dua pengrajin tempe berbeda. Pengrajin tersebut yaitu
pengrajin tempe EMP yang melakukan pemasakan satu kali dan pengrajin tempe
WJB yang melakukan pemasakan dua kali (pemasakan kedua) selama proses
produksi tempe. Menurut Barus et al. (2008), intensitas rasa pahit yang sangat

8
signifikan berbeda ditemukan pada tempe yang dihasilkan pengrajin tersebut.
Intensitas rasa pahit tertinggi, dengan skor 2.3 terdapat pada tempe yang
dihasilkan oleh pengrajin EMP, sedangkan tempe yang dihasilkan oleh pengrajin
WJB memiliki intensitas rasa pahit rendah dengan skor 1.3.

Gambar 2 Tahap pembuatan tempe yang dilakukan oleh pengrajin tempe
EMP(A) dan pengrajin tempe WJB (B) (Barus et al. 2008)
Mikrob pada Tempe
Mikrob yang berperan selama proses pembuatan tempe sangat kompleks
dan berkembang mulai selama perendaman kedelai mentah (Nout and Rombouts
1990; Nout dan Klers 2005). Komposisi mikrob pada tempe tradisional ditentukan
oleh faktor ekologi, seperti pengasaman oleh bakteri asam laktat selama
perendaman, efek letal proses pemasakan, pencemaran selama penanganan dan
pendinginan, komposisi dan vitalitas inokulum, panas dan perpindahan massa,
pembatasan-pembatasan selama fermentasi kapang, kondisi inkubasi dan selama
penyimpan (Nout dan Klers 2005). Kelompok kapang yang paling berperan
dalam pembuatan tempe adalah Rhizopus. Beberapa spesies dari genus ini
memiliki kemampuan mendegradasi substrat yang berbeda. Beberapa spesies yang
penting untuk pembuatan tempe, antara lain R. oligosporus, R. arrhizus, R.
stolonifer dan R. oryzae (Pawiroharsono 1994). Genus Rhizopus ini diberikan
dalam
bentuk
yang
telah
diformulasikan
dan
disebut
dengan
laru/ragi/usar/inokulum atau starter. Laru atau inokulum tempe paling banyak
dipergunakan pengrajin tempe di Indonesia ialah laru LIPI dan dapat ditemukan di
pasaran dengan merek RAPRIMA yang diproduksi oleh PT. Aneka Farmasi,
Bandung.
Bakteri terlibat pada proses pembuatan tempe, seperti dilaporkan oleh
beberapa peneliti. Populasi bakteri viabel sebesar 103-109 cfu/g yang tumbuh
bersama-sama R. oligosporus, ditemukan selama fermentasi kedelai menjadi
tempe (Mulyowidarso et al. 1990). Klebsiella pneumominae terlibat selama
fermentasi tempe dalam menghasilkan vitamin B12 (Steinkraus 1987; Keuth &
Bisping 1994). Bakteri asam laktat (BAL) terlibat dalam proses pengasaman
selama perendaman dan menjamin keamanan konsumsi tempe (Ashenafi and
Busse 1989; Pawiroharsono 1994; Feng et al. 2005) dan bakteri berperan pada
pembentukan rasa pahit tempe (Barus et al. 2008).

9
Populasi BAL ditemukan dalam jumlah cukup tinggi pada biji kedelai
mentah, air dan kedelai yang direndam, kedelai yang direbus kurang dari 4 jam,
dan tempe segar, pada proses produksi tempe pada pengrajin tempe di Malaysia.
Pada bahan baku kedelai, air dan kedelai yang direndam, kedelai yang direbus
kurang dari 4 jam, dan tempe segar ditemukan populasi BAL berturut-turut
sebesar < 2, 7.9-9.3 dan 7.8-9.2, 3.2 - 4 dan 6.8-9.9 cfu/g(ml) (Moreno et al.
2002). Populasi BAL juga ditemukan pada tempe yang diproduksi pada
laboratorium di Indonesia (Nuraida et al. 2008). Jumlah populasi BAL tertinggi
ditemukan pada kedelai direndam pada hari pertama yaitu 4.3 x 109 cfu/ml dan
turun apabila perendaman dilanjutkan ke hari kedua yaitu 2.6 x 106 cfu/ml.
Populasi BAL selama inkubasi tempe relatif stabil yaitu berturut – turut dari 2.4
x 106 , 2.6 x 106 , 2.6 x 106 cfu/g pada hari ke 0, ke 1 sampai ke 3 inkubasi tempe
(Nuraida et al. 2008). Produksi tempe yang dilakukan oleh Nuraida et al. (2008)
ini menerapkan dua kali pemasakan.
Beberapa spesies BAL telah ditemukan dan dimanfaatkan dalam proses
produksi tempe. Lactobacillus plantarum dapat menghambat pertumbuhan bakteri
patogen selama perendaman kedelai (Ashenafi and Busse, 1989). Kehadiran
spesies BAL dipengaruhi oleh suhu. Kedelai yang direndam pada suhu 20o C
didominasi oleh L. casei dan Staphylococcus epidermidis, sedangkan pada suhu
30o C didominasi oleh L. casei, Streptococcus faecium, S. dysgalactiae dan S.
epidermidis (Mulyowidarso et al. 1989). BAL juga dapat ditemukan saat inkubasi
tempe. Lactobacillus casei ditemukan hingga + 6 log dan Streptococcus jaecium
+ 7 log pada jam ke 1, 6, 12, 36 dan 48 inkubasi tempe. Populasi tertinggi
ditemukan pada jam 36 inkubasi tempe (Mulyowidarso et al. 1990). Empat
spesies BAL yaitu L. plantarum, L. fermentum, L. reuteri dan Lactococcus lactis
sudah diinokulasikan pada tempe barley dan ditemukan mikrob ini dapat tumbuh
dari + 4.8 hingga 7.4 log cfu/g dan tidak mengganggu pertumbuhan R.
olygosporus (Feng et al. 2005).
Khamir hadir dalam air rendaman kedelai dan tempe segar dilaporkan oleh
Samson et al. (1987) dan Mulyowidarso et al. (1989). Khamir hampir selalu ada
pada 110 sampel tempe komersial Netherlands yang diperiksa. Kamir dalam
jumlah lebih dari 107 adalah normal. Khamir dalam jumlah lebih tinggi ditemukan
pada air rendaman kedelai yang tidak diasamkan yaitu sekitar 109 cfu/g dibanding
air rendaman kedelai yang diasamkan yaitu 106 cfu/g (Ashenafi and Busse 1991).
Kebanyakan penelitian tidak meneliti khamir secara spesifik, khamir merupakan
bagian dari penelitian kapang, seperti Moreno et al. (2002) menghitung kehadiran
koloni khamir dengan melakukan proses pencawanan khamir dan kapang dengan
menggunakan media dichloran rose bengal chloramphenicol agar (DRBC).
Nuraida et al. (2008) juga menghitung kehadiran khamir dan kapang secara
bersamaan pada sampel selama produksi tempe.
Menurut Samson et al. (1987) khamir tumbuh secara spontan pada tempe.
Beberapa spesies khamir yaitu Trichosporon beigelii, Clavispora (Candida)
lusitaniae, C. maltosa, C. intermedia, Yarrowia lipolytica, Lodderomyces
elongisporus, Rhodotorula mucilaginosa, C. sake, Hansenula fabiani, C.
tropicalis, C. parapsilosis, Pichia membranaefaciens, Rhodotorula rubra, C.
rugosa, C. curvata, Hansenula anomola ditemukan pada tempe komersial di
Belanda. di antara spesies khamir tersebut, T. beigelii adalah yang paling banyak
terdeteksi. Menurut Han et al. (2000), khamir ini ditemukan secara luas pada air

10
dan tanah, namun berpotensi menimbulkan mikosis pada manusia dan hewan
(Gonzalez et al. 2001). Dilain hal Feng et al. (2007) telah menginokulasikan tiga
galur Saccharomyces cerevisiae dan masing-masing satu galur S. boulardii,
Pichia anomala dan Kluyveromyces lactis bersama-sama dengkan R. oligosporus
dan khamir ini dapat tumbuh bersama-sama dengkan R. oligosporus selama
fermentasi tempe barley. Spesies khamir yang memenuhi status GRAS ini tidak
tumbuh pada tempe disimpan pada suhu rendah (Feng et al. 2007).
Mempelajari Keragaman BAL
Secara umum BAL adalah bakteri Gram positif, tidak berspora, tidak
berespirasi oksidatif, bentuk sel bulat atau batang dengan asam laktat sebagai
produk akhir utama pada fermentasi karbohidrat (Salminem and Wrigght 1998).
Menurut Holzapfel et al. (2001), BAL terdiri atas genus: Bifidobacterium,
Lactobacillus, Lactococcus, Carnobacterium, Enterococcus, Lactosphaera,
Leuconostoc, Melissococcus, Microbacterium, Oenococcus, Pediococcus,
Propionibacterium, Streptococcus, Tetragenococcus, Vagococcus dan Weissella.
Karakter penting untuk membedakan genus BAL yaitu fermentasi glukosa
dibawah kondisi standar dan terbebas oksigen. Berdasarkan kondisi ini BAL dapat
dibagi menjadi dua group yaitu homofermentatif dan heterofermentatif. Bakteri
asam laktat homofermentatif mengubah hampir semua glukosa menjadi asam
laktat, sedangkan BAL heterofermentatif memfermentasi glukosa menjadi asam
laktat, etanol/asam asetat dan CO2. Leuconostoc, Oenococcus, Weissella dan sub
group Lactobacilli termasuk dalam BAL heterofermentatif, sedangkan yang lain
termasuk dalam BAL homofermentatif (Salminem and Wrigght. 1998). Selain itu
beberapa uji konvensional lain juga banyak dilakukan, seperti pewarnaan Gram
setelah di inkubasi 24 jam pada MRS agar, analisis aktivitas katalase, produksi
gas dari fermentasi glukosa maupun berdasarkan karakteristik morfologi,
metabolik dan fisiologi lainnya (Salminem and Wrigght 1998).
Populasi beberapa BAL sering ditemukan dalam proses industri seperti pada
pabrik susu, pembuatan roti, pembuatan bir atau kilang anggur. Pemeriksaan yang
tepat terhadap populasi BAL yang hadir pada suatu reaktor diperlukan agar
kondisi agen fermentasi terkontrol. Metode konvensional seperti perhitungan total
koloni pada cawan (total plate counts), jumlah yang paling mungkin (most
probable number/MPN) atau jumlah sel merupakan cara yang biasa digunakan
untuk tujuan ini (Pintado et al. 2003).
Media yang sering digunakan sebagai media pertumbuhan BAL ialah De
Man-Rogosa-Sharp (MRS), baik dalam bentuk kaldu maupun agar. Penambahan
natrium azida 0,2% pada MRS agar banyak dilakukan untuk menghambat
pertumbuhan khamir, bakteri aerobik dan jamur pada media. Media MRS agar
modifikasi ini dapat digunakan untuk memperkiraan jumlah populasi BAL pada
makanan fermentasi. Perhitungan koloni pada agar cawan (plate count agar) pada
sampel dengan pengenceran dalam larutan NaCl 0.85% dan selanjutnya disebar
pada media MRS agar modifikasi, telah dilakukan untuk analisis populasi BAL
pada sauerkraut. Inkubasi BAL dilakukan dalam kondisi aerobik (Plengvidhya et
al. 2007).
Metode yang cukup sederhana untuk membedakan BAL telah
dikembangkan oleh bioMe´rieux, Tokyo, Japan. Metode ini merupakan cara

11
identifikasi genus atau spesies spesifik berdasarkan asimilasi dan fermentasi 49
campuran karbohidrat berbeda dan satu kontrol. Metode ini telah tersedia dalam
bentuk komersil yang disebut dengan API 50 CH strips (bioMe´rieux, Tokyo,
Japan). Pada metode ini sampel diinkubasi pada suhu 30°C selama 3 sampai 6 hari
dan diidentifikasi dengan menggunakan APIBAL Plus software versi 3.3.3 dari
BioMe´rieux dan database untuk perbandingan asimilasi atau pola fermentasinya.
Sistem identifikasi API 50 CH ini juga telah dievaluasi untuk mengidentifikasi 97
galur komersil Lactobacili (Boyd et al. 2005).
Metode isolasi berdasarkan pada pengkulturan yang padat karya ini belum
memperoleh hasil apapun hingga inkubasi selesai. Selain itu, beberapa media
selektif perlu dikembangkan untuk masing-masing galur. Secara umum beberapa
media tertentu hanya dapat digunakan untuk populasi tertentu. Lebih lanjut, pada
beberapa kasus, metode perhitungan tergantung kultur ini dapat menghasilkan
penyimpangan perhitungan suatu populasi (Ampe et al. 1999), membutuhkan
waktu dan usaha yang besar serta memiliki keterbatasan untuk mikrob yang belum
dapat dikultur (Aslam et al. 2010).
Teknik biologi molekular untuk memperoleh gambaran komunitas mikrob
dengan tidak melalui metode kultur, telah berkembang. Teknik ini telah
digunakan untuk mempelajari dinamika populasi mikrob pada ekosistem
makanan fermentasi (Randazzo et al. 2002). Kombinasi teknik konvensional dan
molekular telah dilakukan untuk mempelajari keragaman BAL pada fermentasi
sauerkraut. Kombinasi teknik ini medeteksi kehadiran jenis BAL yang lebih
beragam dibandingkan yang telah dilaporkan sebelumnya. Penelitian ini juga
mampu mengidentifikasi spesies Leuconostoc fallax. Penelitian ini juga
menghasilkan suatu pemahaman yang lebih baik tentang pengembangan
fermentasi rendah garam untuk mengubah mikroflora dan karakteristik sensoris
sauerkraut komersial (Randazzo et al. 2002).
Salah satu teknik biologi molekular itu ialah Terminal Restriction Fragment
Length Polimorphism (TRFLP atau T-RFLP). Teknik ini mampu membuat profil
komunitas mikrob berdasarkan pada posisi pemotongan terdekat di ujung berilabel
dari gen yang diamplifikasi. Metode ini berdasarkan pada campuran variasi
fragmen gen tunggal hasil PCR, dipotong dengan satu atau dua enzim restriksi,
kemudian hasil ukuran masing-masing fragmen terminal dideteksi dengan
menggunakan DNA sequenser. Metode ini pertama kali digambarkan oleh Liu et
al. (1997) terhadap gen target 16S rDNA. Beberapa DNA bakteri telah diisolasi
sama baiknya dengan sampel dari lingkungan. Hasil T-RFLP ini merupakan suatu
gambaran grafik, di mana Sumbu X mewakili ukuran fragmen dan Sumbu Y
mewakili intensitas fluoresennya (Gambar 3).
Analisis T-RFLP (Liu et al. 1997) merupakan salah satu pendekatan
molekular berbasis PCR yang dapat digunakan untuk memantau perubahan
struktur dan komposisi komunitas mikrob. Analisis T-RFLP sangat populer,
banyak digunakan dan lebih komprehensif dari analisis dengan metode tergantung
kultur. Pendekatan molekular T-RFLP ini menawarkan kompromi antara
informasi yang diperoleh dan intensitas tenaga kerja. (Rappe and Giovannoni
2003; Schutte et al. 2008). Analisis T-RFLP ini relatif sederhana dan telah
diterapkan pada analisis dua sampel tempe yang diproduksi oleh dua pengrajin
tempe di Bogor. Analisis T-RFLP ini telah digunakan pada sampel tempe yang
dihasilkan oleh pengrajin EMP dan WJB yang terbukti menghasilkan tempe

12
dengan intensitas berbeda (Barus et al. 2008). Penelitian ini menemukan bahwa
kelimpahan bakteri pada air rendaman dan tempe segar pada tempe yang
dihasilkan pengrajin tempe EMP lebih tinggi dibanding yang dihasilkan pengrajin
WJB. Penelitian ini juga menemukan bahwa pada tempe terdapat bakteri yang
bersifat culturable dan unculturable. Bakteri unculturable lebih dominan dari
bakteri culturable (Barus et al. 2007). Namun penelitian ini tidak meneliti BAL
secara spesifik, walau spesies yang diduga sebagai Lactobacillus dan
Streptococcus ditemukan pada rendaman kedelai.

Gambar 3 Proses analisis T-RFLP, yaitu: Hasil ekstraksi DNA dari suatu
komunitas yang dim