Studi Kasus Granulosa-Theca Cell Tumor (Gtct) Pada Kuda Di Indonesia

STUDI KASUS GRANULOSA-THECA CELL TUMOR (GTCT)
PADA KUDA DI INDONESIA

LUSI PARWATI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini Saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Studi Kasus
Granulosa-Theca Cell Tumor (GTCT) pada Kuda di Indonesia adalah benar karya
Saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari Penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir skripsi ini.
Dengan ini Saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis Saya kepada
Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2015
Lusi Parwati
NIM B04110151

ABSTRAK
LUSI PARWATI. Studi Kasus Granulosa-Theca Cell Tumor (GTCT) pada Kuda
di Indonesia. Dibimbing oleh AMROZI dan LIGAYA ITA TUMBELAKA.
Granulosa-theca cell tumor (GTCT) adalah tumor yang paling sering
ditemukan pada kuda yang mengalami neoplastik. Beberapa perubahan perilaku,
seperti stallion like behaviour, nimfomania, dan anestrus dapat disebabkan oleh
tumor ini. Studi ini ditujukan untuk mengukur prevalensi GTCT pada kuda di
Indonesia. Pemeriksaan ultrasonografi dilakukan terhadap ovarium pada kudakuda yang diperiksa di Pulau Jawa dan Madura. Hasil ultrasonografi yang
ditemukan pada penderita berupa gambaran sarang lebah pada ovarium yang
terkena tumor dan hipofungsi ovarium kontralateralnya. Sebanyak 15 kuda
didiagnosa terkena GTCT dari 2913 kuda yang diperiksa dan prevalensi per tahun
kasus GTCT dari kuda yang diperiksa sebesar 0.51 %. Pada kuda yang terkena
GTCT, siklus reproduksinya akan normal kembali dengan ovariektomi.
Kebuntingan masih ditemukan pada beberapa penderita GTCT.
Kata kunci: granulosa-theca cell tumor, kuda betina, ovariektomi, prevalensi.


ABSTRACT
LUSI PARWATI. Case Study Granulosa-Theca Cell Tumor in Mares in
Indonesia. Supervised by AMROZI dan LIGAYA ITA TUMBELAKA.
Granulosa-theca cell tumor (GTCT) is the most common tumor case in
neoplastic mares. Behavioural changes like stallion-like behaviour, nymphomania,
and anestrous could be caused by this tumor. This study was conducted to
measure the prevalence of GTCT in mares in Indonesia. Ultrasound examination
of ovaries were performed on mares in Java and Madura Island. The result of
ultrasound showed that in affected ovary has a honeycomb appearance in affected
ovary and hipofunction of contralateral ovary. Fifteen mares out of 2913 were
diagnosed with GTCT and the prevalence is 0.51 %. Ovariectomy on GTCT
mares will bring to a normal reproductive cycle. It was found that gestation still
can be occurred on some GTCT mares.
Keywords: granulosa-theca cell tumor, mare, ovariectomy, prevalence.

STUDI KASUS GRANULOSA-THECA CELL TUMOR (GTCT)
PADA KUDA DI INDONESIA

LUSI PARWATI


Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA
Penulis memanjatkan syukur kepada Allah SWT atas berkah dan karuniaNya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Granulosa-theca cell tumor
pada kuda merupakan tema yang diangkat oleh Penulis sejak Maret 2015.
Berdasarkan tema tersebut, Penulis memberikan judul karya ilmiah GranulosaTheca Cell Tumor (GTCT) pada Kuda di Indonesia.
Ucapan terima kasih Penulis sampaikan kepada Bapak Drh Amrozi, PhD
dan Ibu Dr Drh Ligaya ITA Tumbelaka, SpMP, MSc selaku pembimbing, serta
Drh Budhy Jasa Widyananta, MSi selaku pembimbing akademik yang telah
memberikan saran. Apresiasi yang sebesar-besarnya juga Penulis berikan kepada
para staf Unit Rehabilitasi Reproduksi FKH IPB atas bantuannya dalam penulisan

karya ilmiah ini. Ungkapan terima kasih juga Penulis sampaikan kepada orang
tua, keluarga, beserta seluruh teman-teman atas segala doa beserta dukungannya
kepada Penulis.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2015
Lusi Parwati

DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR TABEL

vi

PENDAHULUAN

1


Latar Belakang

1

Tujuan Studi Kasus

1

Manfaat Studi Kasus

1

TINJAUAN PUSTAKA

2

Perkembangan Kuda (Equus cabalus)

2


Saluran Reproduksi Kuda Betina

2

Ovarium

3

Sel Granulosa dan Sel Teka

4

Granulosa-Theca Cell Tumor (GTCT)

4

Ultrasonografi

5


METODE

6

Tempat dan Waktu Studi Kasus

6

Materi dan Metode Studi Kasus

6

Analisis Data

7

HASIL DAN PEMBAHASAN
SIMPULAN DAN SARAN


7
13

Simpulan

13

Saran

13

DAFTAR PUSTAKA

13

RIWAYAT HIDUP

17

DAFTAR GAMBAR

1
2
3
4

5
6
7
8
9

Saluran reproduksi pada kuda betina
Bagian-bagian ovarium pada kuda betina secara skematis
Granulosa-Theca Cell Tumor (GTCT)
Hasil USG pada ovarium kuda penderita GTCT terlihat bentuk seperti
sarang lebah pada ovarium yang terkena dan hipofungsi pada ovarium
kontralateralnya
Grafik prevalensi GTCT pada kuda di Indonesia tahun 2006-2014
Tumor yang ruptur akibat GTCT tidak ditangani sehingga terjadi
internal bleeding yang menyebabkan kematian

Pasca operasi ovariektomi dengan penyayatan pada flank kanan secara
vertikal sepanjang 30 cm untuk pengangkatan GTCT
Ovarium yang terkena GTCT pasca ovariektomi dan potongan
melintang tumor terlihat adanya multikista
Hasil USG uterus kuda yang terdapat fetus dan ovariumnya yang
terkena GTCT dengan gambaran multikista

3
4
5

7
8
10
11
12
13

DAFTAR TABEL
1 Jumlah dan prevalensi kasus GTCT pada kuda di Indonesia tahun 20062014

2 Ringkasan kasus GTCT pada kuda di Indonesia tahun 2006-2014

8
10

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kegagalan kebuntingan pada kuda dapat disebabkan oleh berbagai faktor.
Salah satu penyebabnya adalah abnormalitas dari organ reproduksi, terutama pada
ovarium. Adanya abnormalitas pada ovarium menyebabkan sel ova tidak dapat
terbentuk sehingga fertilisasi tidak terjadi. Korpus luteum persisten, kista
ovarium, maupun tumor ovarium, seperti teratoma, kista adenoma, dan granulosatheca cell tumor (GTCT) merupakan beberapa contoh abnormalitas ovarium.
Tumor yang paling sering ditemukan pada kuda yang mengalami kegagalan
kebuntingan adalah GTCT dengan kejadian 2.5 % dari seluruh kasus neoplasma
(Sundberg et al. 1977). Granulosa-theca cell tumor merupakan tumor yang
berkembang pada sel-sel granulosa maupun sel-sel teka di folikel ovarium.
Keberadaannya menyebabkan ketidakseimbangan hormonal yang dapat
menghambat hormon lain yang dibutuhkan dalam masa bunting ataupun masa
estrus. Terlihat pula perubahan perilaku, seperti timbulnya perilaku “stallion like
behaviour”, nimfomania, dan anestrus (Samper et al. 2007). Kejadian tumor ini
biasanya hanya unilateral. Penanganan yang biasa dilakukan adalah insisi dan
pembuangan ovarium yang memiliki tumor.
Frekuensi kejadian yang tinggi pada GTCT sangat menghambat
perkembangbiakan kuda. Perilaku abnormal yang timbul dari kuda yang
menderita GTCT dapat menimbulkan masalah lainnya, seperti cedera pada kuda
tersebut maupun kuda yang sekandang dengan penderita. Apabila tidak dilakukan
penanganan, tumor akan ruptur sehingga terjadi internal bleeding yang
menyebabkan kuda mati akibat kehabisan darah. Kondisi tersebut tentunya sangat
merugikan bagi pemilik kuda. Berdasarkan hal diatas Penulis tertarik untuk
membahas kasus-kasus GTCT pada kuda yang terjadi di Indonesia khususnya
pada tahun 2006-2014. Diharapkan karya tulis ini dapat memberikan acuan
informasi mengenai prevalensi GTCT dan keberhasilan penanganannya pada kuda
betina.

Tujuan Studi Kasus
Studi kasus ini bertujuan untuk mengetahui rata-rata prevalensi kasus GTCT
pada tahun 2006-2014 pada kuda di Indonesia yang diperiksa di Pulau Jawa dan
Madura berdasarkan diagnosis secara ultrasonografi serta mengetahui
keberhasilan penanganan GTCT secara ovariektomi.

Manfaat Studi Kasus
Manfaat dari studi kasus ini sebagai informasi mengenai prevalensi GTCT
pada kuda betina di Indonesia dan metode penanganan yang dilakukan sehingga
kuda penderita GTCT akan mendapatkan penanganan yang lebih baik dan efektif.

2

TINJAUAN PUSTAKA
Perkembangan Kuda (Equus cabalus)
Kuda memiliki nama latin Equus caballus dalam Famili Equidae, yaitu
hewan berkuku satu. Semula kuda hidup liar dan berkelompok hingga suatu saat
dijinakkan bangsa nomade di Asia Tengah pada 3000 SM. Penjinakan ini
menghasilkan kuda tunggangan dan kuda penghela. Umumnya kuda tunggangan
akan dirawat dengan lebih baik dibandingkan dengan kuda penghela (Maswarni
dan Rachman 2014).
Kuda memiliki beragam ras. Ras yang digunakan pada studi kasus ini, yaitu
lokal, generasi (G), kuda pacu Indonesia (KPI), thoroughbred, dan warmblood.
Ras kuda lokal di Indonesia sangat beragam. Ukuran dari kuda lokal yang kecil,
sekitar 1.13-1.33 m mengklasifikasikan kuda Indonesia termasuk ke kuda poni
(Siregar 2011). Berdasarkan dari letak geografisnya, umumnya ras kuda lokal
disebut dari wilayah kuda tersebut berada. Contoh dari kuda lokal Indonesia
diantaranya, kuda gayo, batak, priangan, jawa, sandel, timor, flores, sumba,
padang, makassar, dan bima (Astari 2011; Siregar 2011).
Berdasarkan dari perkawinan antara kuda lokal dengan kuda thoroughbred,
didapatkan kuda generasi (G). Perkawinan antar kuda G3, G3 dan G4, serta antar
G4 akan menghasilkan kuda pacu Indonesia (KPI). Keturunan dari persilangan ini
diharapkan memiliki tinggi badan 1.50 m, bentuk tubuh yang serasi, daya tahan
yang kuat, dan dapat beradaptasi dengan lingkungan (Maswarni dan Rachman
2014).
Kuda thoroughbred merupakan kuda yang berasal dari Inggris, yang
merupakan percampuran dari kuda pejantan timur tengah mediterania dengan
kuda betina “royal mares”. Tinggi kuda thoroughbred rata-rata 152.40–172.72
cm dan memiliki berat 1000 sampai 1200 pon, berwarna abu-abu, coklat, hitam,
maupun coklat kemerahan. Temperamen dari kuda ini energik dan sangat
berperasaan. Kuda thoroughbred memiliki stamina dan kecepatan yang baik.
Fungsi lain dari kuda warmblood sebagai kuda pacu, jumping horse, dan dressage
horse (Siegal 1996).
Kuda warmblood merupakan percampuran antara kuda hotblood dan
coldblood (Price et al. 1998). Kuda ini sangat kuat tetapi memiliki konformasi
yang atraktif serta cukup temperamen. Tinggi dari kuda ini biasanya antara
162.56–172.72 cm. Kuda warmblood sering digunakan untuk dressage horse,
show jumping, maupun sebagai tunggangan rekreasi (Hunington et al. 2004;
Johnson dan Daniel 2008).

Saluran Reproduksi Kuda Betina
Saluran reproduksi kuda betina berbentuk tubular seperti huruf Y yang
terlihat pada Gambar 1 (Morel 2008). Organ reproduksi tersebut berada di daerah
pelvis dan ruang abdominal. Vulva merupakan organ luar pembuka dari saluran
reproduksi dan berada di ventral anus. Vagina merupakan bagian antara himen
dengan serviks yang berfungsi sebagai sistem proteksi pertama dan pembersih

3
(Reeder et al. 2009). Serviks terletak di mulut dari uterus yang memiliki otot
sfingter, dinding yang tebal, dan berfungsi sebagai sistem proteksi (Morel 2008).
Uterus merupakan organ muskular berongga dari serviks ke tuba fallopi.
Organ ini dibagi menjadi 2 daerah, yaitu bagian badan dan tanduk. Dinding uterus
terdiri dari tiga lapis, yaitu perimetrium, miometrium, dan endometrium.
Miometrium berfungsi dalam kebuntingan dan untuk kontraksi saat kelahiran,
sementara endometrium berfungsi untuk membantu perkembangan konsepsi dan
perkembangan serta penempelan plasenta. Endometrium juga memiliki glandula
yang berpengaruh pada siklus perubahan hormon (Morel 2008).
Tuba fallopi merupakan perpanjangan dari tanduk uterus yang biasanya
memiliki panjang 25-30 cm. Terbagi menjadi dua bagian yang sama rata pada
tuba fallopi, yaitu ismus dan ampula. Fertilisasi akan terjadi di ampula. Pada
bagian akhir dari tanduk uterus terdapat infundibulum yang dekat pula dengan
fosa ovulasi. Infundibulum berbentuk seperti corong yang akan menangkap dan
mengirimkan sel ova ke tuba fallopi (Morel 2008). GTCT terjadi di ovarium,
sehingga ovarium akan dibahas lebih jelas di subbab berikutnya.

Gambar 1 Saluran reproduksi pada kuda betina (Morel 2008)

Ovarium
Ovarium pada kuda dewasa berbentuk seperti ginjal, sedangkan pada kuda
neonatal dan sebelum pubertas ovariumnya berbentuk oval (Samper 2009; Riegel
dan Hakola 2002). Perubahan bentuk ovarium dimulai saat kuda mengalami
pubertas pada umur 5-7 bulan. Bentuk ovarium yang awalnya oval kemudian
terjadi invaginasi pada korteks sehingga membentuk seperti ginjal (Samper 2009).
Ovarium umumnya berada di dorsal abdomen pada sayap tulang iliaka dan
tulang lumbal kelima (Samper 2009). Struktur ovarium dari kuda, yaitu zona
parenkimatosa berada di bagian dalam dan zona vaskular berada di bagian luar.
Zona vaskular terdiri dari pembuluh darah, saraf pembuluh limfatik, serat otot
halus, dan jaringan ikat. Zona parenkimatosa terdiri dari berbagai folikel dan
korpus luteum pada berbagai tingkat perkembangan dan regresi (König dan
Liebich 2007). Zona parenkimatosa hanya mencapai permukaan pada fosa ovulasi,

4
yang merupakan tempat normal terjadinya ovulasi. Korpus luteum juga terlihat di
fosa ovulasi (Riegel dan Hakola 2002).

Gambar 2 Bagian-bagian ovarium pada kuda betina dewasa secara
skematis (König dan Liebich 2007)

Sel Granulosa dan Sel Teka
Sel granulosa merupakan lapis tipis dari folikel (Verma 2001). Berdasarkan
dari susunan sel granulosa, ukuran sel granulosa, dan tingkat maturasi dari oosit
folikel ovarium dapat dibedakan menjadi primordial, primer, sekunder, dan tersier
(Verma 2001). Menurut Heffner dan Schust (2005), sel granulosa akan mengubah
androgen yang diproduksi sel teka menjadi estrogen.
Saat folikel berkembang, sel teka terbentuk dari diferensiasi fibroblas
sehingga membentuk lapisan yang melingkari folikel (Peters dan McNatty 1980).
Menurut Verma (2001), sel stroma akan berdiferensiasi membentuk sel sekretori
dan sel nonsekretori. Sel yang terlebih dahulu tersusun di lapisan yang
mengelilingi folikel disebut sel teka interna, sementara yang mengelilingi lapisan
sel teka interna membentuk sel teka eksterna. Testosteron yang disekresikan oleh
sel teka secara keseluruhan akan menstimulasi sel granulosa pada hewan domestik
(Cupps 1991).

Granulosa-Theca Cell Tumor (GTCT)
Granulosa-theca cell tumor (GTCT) merupakan tumor tipe sex cordgonadostromal yang akan menyerang sel granulosa dan sel teka (Samper et al.
2007). Kemunculan dari tumor ini berasal dari sex cord stroma yang segaris
dengan fosa ovulasi (Hoque et al. 2003). Kista dan multikista umumnya akan
ditemukan pula pada ovarium yang terkena GTCT yang terlihat pada Gambar 2
(Samper 2009). Pada ovarium dari penderita akan ditemukan bagian yang
nekrohemoragi (Patrick et al. 2003).

5
Penanganan yang dapat dilakukan adalah insisi dan ovariektomi pada
ovarium yang terkena. Pembuangan ovarium yang terkena GTCT dapat
menyebabkan ovarium kontralateral yang sebelumnya tidak fertil menjadi fertil
kembali. Aktifitas siklus kembali normal dan dapat menyebabkan prognosis
fertilitas (Riegel dan Hakola 2002). Diagnosis banding dari GTCT adalah
hematoma ovarium, kista adenoma, teratoma, dan neoplasma ovarium lainnya,
seperti limfosarkoma/limfoma (Munroe dan Weese 2011).

Gambar 3 Granulosa-theca cell tumor (GTCT) (McAullife 2013)

Ultrasonografi
Ultrasonografi merupakan salah satu alat diagnostik dengan berprinsipkan
gelombang suara yang melewati jaringan yang kemudian direfleksi, direfraksi,
dan diabsorbsi. Transduser akan merubah gelombang suara yang kembali (echo)
menjadi bentuk gambar. Gelombang suara yang digunakan merupakan gelombang
suara frekuensi tinggi yang melebihi 20 KHz. Umumnya frekuensi yang
digunakan untuk diagnostik adalah 2-10 MHz (Mannion 2006). Frekuensi yang
digunakan untuk diagnostik pada ovarium, yaitu 5.0-7.5 MHz (Corley dan
Stephen 2008).
Skala abu-abu yang didapatkan sesuai dengan amplitudo atau kekuatan dari
echo yang kembali. Terdapat istilah untuk menggambarkan hasil USG, yaitu
anechoic, hyperechoic, hypoechoic, dan isoechoic (Mattoon dan Nyland 2015).
Anechoic akan terlihat hitam, yaitu di tempat dengan tidak ada echo yang biasanya
merupakan struktur yang berisi cairan. Hyperechoic akan berwarna abu-abu
hingga putih karena merupakan area dengan intenitas echo yang tinggi. Berbeda
dengan hyperechoic, hypoechoic akan berwarna abu-abu gelap karena
intensitasnya rendah. Sementara isoechoic merupakan organ atau jaringan yang
memiliki intensitas yang sama ketika dibandingkan pada kedalaman yang sama
dan pengaturan di mesin atau secara esensial akan sama dengan gambaran normal
parenkim.

6

METODE
Tempat dan Waktu Studi Kasus
Kajian ini dilaksanakan di Unit Rehabilitasi Reproduksi, Fakultas
Kedokteran Hewan IPB pada bulan Maret-Juli 2015 terhadap rekam medis yang
didapatkan pada tahun 2006-2014 dari kuda yang diperiksa di Pulau Jawa dan
Madura.

Materi dan Metode Studi Kasus
Dilakukan kajian terhadap data sekunder yang berasal dari rekam medis dari
kasus-kasus yang ditangani oleh Unit Rehabilitasi Reproduksi, Fakultas
Kedokteran Hewan IPB pada kuda-kuda yang berada di Pulau Jawa dan Madura
tahun 2006-2014. Pengambilan data ini dilakukan dalam rangka peningkatan
populasi kuda di Indonesia. Ras kuda yang digunakan adalah ras lokal,
warmblood, thoroughbred, G, dan KPI. Kuda tersebut berasal dari Pulau
Sumatera, Jawa, Madura, Bali, Lombok, Sumba, Sulawesi dan Maluku.
Pemeriksaan dilakukan dengan mendatangi istal-istal kuda yang berada di daerah
Jawa dan Madura. Pemeriksaan yang dilakukan berkaitan dengan pemeriksaan
kesehatan secara umum, terutama pemeriksaan kesehatan reproduksi. Pada
pemeriksaan reproduksi, ditemukan adanya GTCT pada beberapa kuda yang
diperiksa.
Data sekunder yang akan dikaji adalah pemeriksaan secara ultrasonografi
dan penanganan GTCT dengan ovariektomi. Alat yang digunakan untuk
pemeriksaan ultrasonografi adalah Sonoscape Vet A6 yang dilengkapi dengan
probe linear 7.5 MHz. Pemeriksaan ultrasonografi dilakukan secara perektal
dengan memasukkan probe ke dalam rektum untuk mengetahui kondisi
reproduksi. Ovariektomi dilakukan dengan pemberian xylazin 10 % (Ilium
Xylazil-100®) dengan dosis 1.1 mg/kg BB (100 mg/ml) untuk sedasi terlebih
dahulu, kemudian pemberian ketamin 10 % (Ketamil Injection®) 2.2 mg/kg BB
(100 mg/ml) untuk anastesi. Setelah itu, kuda dibaringkan dan diberikan lidokain
2 % (Lidocaine®) dengan dosis 20 mg/ml untuk anastesi lokal di bagian fosa
paralumbal. Penyayatan dilakukan pada bagian flank kanan sepanjang ± 30 cm.
Mesovarium dari ovarium yang terkena tumor diligasi dengan benang nilon
kemudian dilakukan penyayatan pada bagian dorsalnya untuk pengangkatan
tumor. Penjahitan antar otot menggunakan teknik simple suture interupted dan
antar kulit dengan teknik mattress suture. Benang yang digunakan untuk
penjahitan keduanya adalah benang nilon. Perawatan pasca operasi dilakukan
dengan pemberian antibiotik penisilin (2.0 x 105 IU/ml) dan streptomisin (2.5 x
105 IU/ml) (Pen-Duo-Strep®) dengan dosis 1 ml/25 kg BB dan antiinflamatori
deksametason (Dexamethason®) dengan dosis 5 mg/ml.

7
Analisis Data
Data ditabulasikan menggunakan Microsoft Excel 2010 kemudian diolah
dan dianalisis secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Seluruh kuda diperiksa menggunakan USG dan hasilnya digunakan untuk
mendiagnosa adanya kelainan pada ovarium. Hasil USG ovarium dari penderita
GTCT (Gambar 4A) terlihat seperti sarang lebah yang hipoechoic. Hal ini
disebabkan ovarium terisi beberapa area seperti kista yang berisi cairan. Jarak
antara multikista terlihat tidak teratur. Terlihat pula masa padat yang terlihat
hiperechoic. Hal ini seperti yang dilaporkan oleh Maurice (2005). Ovarium
lainnya mengalami hipofungsi (Gambar 4B) yang ditandai adanya bagian
hipoechoic yang merupakan ovarium dengan folikel yang inaktif dan terlihat
ukurannya yang mengecil. Hasil ini sesuai dengan hasil beberapa penelitian dari
Watson (1999), McCue et al. (2006), dan Gündüz et al. (2010) yang menyatakan
bahwa kuda dengan GTCT pada satu ovariumnya biasanya diikuti dengan
hipofungsi dari ovarium lainnya (kontralateral). Diagnosa dapat dilakukan
berdasarkan gejala klinis, palpasi transrektal, dan tes laboratorium, seperti analisis
hormon inhibin, hormon testosteron, dan histopatologi (Bailey et al. 2002).

A

B

Gambar 4 Hasil USG pada ovarium kuda penderita GTCT (A) terlihat
bentuk seperti sarang lebah pada ovarium yang terkena dan (B)
hipofungsi pada ovarium kontralateralnya
Berdasarkan dari diagnosa yang telah dilakukan, dihitung prevalensi kasus
GTCT setiap tahunnya (2006-2014). Prevalensi GTCT tahun 2006-2014 berturutturut sebesar 4.71 %, 11.11 %, 0.36 %, 0.00 %, 0.76 %, 0.25 %, 0.00 %, 0.16 %,
dan 0.45 % (Gambar 5). Prevalensi GTCT pada tahun 2007 mencapai angka
11.11 % sementara tahun 2009 dan 2012 hanya 0.00 % karena tidak
ditemukannya penderita GTCT. Adanya peningkatan prevalensi pada tahun 2007
diduga karena kurangnya pengetahuan pemilik terhadap perawatan kuda, terutama
penggunaan anabolic steroid sebagai penekan estrus yang tidak sesuai dengan
dosis dan digunakan terus menerus (Skelton et al. 1991). Berdasarkan pada

8
Gambar 5, terlihat bahwa GTCT dapat terjadi setiap tahunnya, walaupun dalam
jumlah yang sedikit.

Gambar 5 Grafik prevalensi GTCT pada kuda di Indonesia tahun 20062014
Kuda yang diperiksa dari tahun 2006-2014 sebanyak 2913 ekor dengan 15
ekor terkena GTCT. Kasus GTCT paling banyak ditemukan pada tahun 2006 dan
2007, yaitu sebanyak 4 ekor. Namun, tahun 2009 dan tahun 2012 tidak ada satu
ekor pun kuda yang ditemukan mengalami GTCT. Rata-rata prevalensi kasus
GTCT dari seluruh penyakit per tahun adalah sebesar 0.51 %. Menurut Sundberg
et al. (1977), insidensi kasus GTCT sebesar 2.5 % dari seluruh kasus neoplasma.
McCue et al. (2006) menyatakan kasus GTCT terjadi lebih dari 85 % dari seluruh
kasus tumor pada saluran reproduksi.
Tabel 1 Jumlah dan prevalensi kasus GTCT pada kuda di Indonesia tahun 20062014
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Tahun

2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
Jumlah
Rata-rata

Jumlah Populasi
yang diperiksa
85
38
280
371
394
408
506
608
223
2913
324

Jumlah Kasus GTCT

Prevalensi (%)

4
4
1
0
3
1
0
1
1
15
-

4.71
11.11
0.36
0.00
0.76
0.25
0.00
0.16
0.45
0.51

Umumnya penderita GTCT akan mengalami perubahan perilaku. Hal ini
disebabkan adanya ketidakseimbangan hormonal akibat adanya hormon yang
dikeluarkan oleh tumor. Tumor yang menyerang sel teka di ovarium akan
menyebabkan peningkatan sekresi hormon testosteron. Kegagalan ekspresi enzim

9
aromatase juga berpengaruh karena hal ini menyebabkan enzim aromatase tidak
dapat mengubah testosteron menjadi estradiol sehingga testosteron tertimbun
(Hoque et al. 2003). Hormon testosteron yang berlebihan ini akan mengakibatkan
perubahan perilaku “stallion like behaviour” yang khas pada penderita GTCT
(Stabenfeldt et al. 1979; Crabtree 2011). Pada studi ini diketahui bahwa 14 dari 15
penderita GTCT mengalami gejala “stallion like behavior”. Menurut Ball et al.
(2013), sebanyak 55 % dari penderita GTCT mengalami peningkatan testosteron.
Pemberian anabolic steroid jangka panjang sebagai penekan estrus juga dapat
menimbulkan gejala “stallion like behaviour” (Turner dan Irvine 1982). Namun,
belum ada penelitian yang mendukung bahwa pemberian anabolic steroid akan
menyebabkan tumor pada kuda.
Apabila tumor menyerang sel granulosa, maka hormon estrogen akan
diproduksi berlebihan. Peningkatan hormon estrogen ini menimbulkan gejala
nimfomania. Berdasarkan dari penelitian Yoshida et al. (2000) adanya sedikit
peningkatan level estradiol pada penderita akan menimbulkan gejala nimfomania.
Berbeda dengan Elleberger et al. (2007) dalam penelitiannya menyatakan bahwa
pada kasus malignan GTCT, level estradiol mengalami peningkatan yang
abnormal sehingga gejala nimfomania lebih jelas terlihat. Pada studi ini tidak
ditemukan penderita dengan gejala nimfomania.
Tumor juga mensekresikan hormon inhibin yang dapat menghambat
aktifitas reseptor FSH di ovarium kontralateralnya (Zelli et al. 2006). Hal tersebut
menyebabkan folikel tidak dapat tumbuh dengan optimal dan menyebabkan
penderita menjadi infertil yang ditandai dengan gejala anestrus. Kuda yang
menunjukkan gejala anestrus pada studi ini hanya 1 dari 15 kuda penderita.
Namun berdasarkan pemeriksaan USG (Gambar 4B), 13 dari 15 ekor kuda (Tabel
2) yang terkena GTCT mengalami hipofungsi ovarium kontralateral. Menurut Ball
et al. (2013), peningkatan level inhibin akan terjadi pada 85 % penderita GTCT.
Oleh sebab itu, folikel tidak dapat tumbuh optimal pada ovarium yang abnormal
dan menyebabkan penderita menjadi infertil.
Terjadinya GTCT tidak memiliki predileksi jenis, sehingga kuda lokal juga
dapat terserang tumor ini. Jenis kuda yang terkena GTCT pada studi kasus ini,
yaitu KPI, G, thoroughbred, dan warmblood. Kuda G merupakan kuda yang
paling banyak terserang tumor ini dengan jumlah 12 dari 15 ekor kuda. Telah
dilaporkan juga bahwa GTCT dapat menyerang kuda arab, thoroughbred cross,
hanoverian, dan miniatur (Ali et al. 2013; Crabtree 2011; Patrick et al. 2003).
Tumor ini juga dapat menyerang berbagai umur kuda termasuk anak kuda
neonatal dan pubertas serta kuda dara, kuda yang telah satu kali melahirkan, dan
kuda yang menyusui. Kasus GTCT pada studi ini ditemukan pada kuda berumur
4-18 tahun dengan median 14 tahun. Tumor ini banyak ditemukan pada kuda tua
(≥ 14 tahun) dengan persentase 53.85 % dibandingkan dengan kuda muda (< 14
tahun) dengan persentase 46.15 %. Menurut Crabtree (2011) dan Meagher (1977)
GTCT dapat terjadi pada kuda berumur 2-20 tahun dengan rata-rata berumur 11.7
tahun. Telah dilaporkan Patrick et al. (2003), bahwa kuda berumur 2 tahun
mengalami GTCT. Juvenil GTCT pada kuda thoroughbreed berumur 15 bulan
juga telah dilaporkan oleh Charman dan McKinnon (2007).

10
Tabel 2 Ringkasan kasus GTCT yang terjadi pada kuda di Indonesia tahun
2006-2014
Hipofungsi Ovarium
Kontralteral
1.
Ichiko
G
4
Ya
2.
Maker
G
4
Ya
3.
Katasa
G
4
Ya
4.
Safira Sion
G
5
Ya
5.
Again
G
8
Tidak
6.
Scarlet
G
12
Ya
7.
Okavanyo
THB
14
Tidak
8.
Surya Dinar
G
14
Ya
9.
Surya Dinar
G
14
Ya
10.
Phoenix
G
15
Ya
11.
Doa Ibu
G
16
Ya
12.
Doa Ibu
G
16
Ya
13.
Mutu Manikam
KPI
18
Ya
14.
Rusi
WB
18
Ya
15.
Ratu Matahari
G
18
Ya
Keterangan : (+) = positif bunting; (-) = tidak bunting.
No.

Nama Kuda

Ras

Umur

Bunting
(+/-)
+
+
-

Beberapa tahun sebelum dilakukan pengambilan data studi ini, terdapat
kasus GTCT yang menyebabkan kematian pada penderita. Hal tersebut akibat
rupturnya GTCT (Gambar 6) sehingga menyebabkan hemaperitoneum, seperti
yang dilaporkan Alexander et al. (2004). Selanjutnya, terjadi internal bleeding
dan mengakibatkan kematian karena kehilangan darah. Oleh sebab itu, kasus
GTCT harus segera dilakukan penanganan yang sesuai sehingga kematian dari
pasien dapat dihindari.

10 cm

Gambar 6 Tumor yang ruptur akibat GTCT tidak ditangani
sehingga terjadi internal bleeding yang menyebabkan
kematian
Penanganan GTCT dilakukan dengan ovariektomi. Kuda diberikan anastesi
general dengan pemberian sedasi terlebih dahulu menggunakan xylazin 10 %
dilanjutkan dengan pemberian anastesi ketamin 10 %. Kemudian kuda
dibaringkan lateral rekumbensi. Diberikan anastesi lokal, lidokain 2 % pada
sekitar fosa paralumbal. Penyayatan dilakukan dengan orientasi di fosa
paralumbal sepanjang ± 30 cm. Penyayatan pada bagian flank kanan atau kiri
ditentukan oleh adanya tumor. Pada Gambar 7 mengilustrasikan penyayatan yang
dilakukan di bagian flank kanan karena tumor yang terbentuk pada ovarium kanan.

11

Gambar 7 Pasca operasi ovariektomi dengan penyayatan pada flank
kanan secara vertikal sepanjang 30 cm untuk pengangkatan
GTCT
Pada flank bagian kanan juga lebih mudah menjangkau ovarium karena tidak
tertutupi oleh intestin. Perawatan pasca operasi dilakukan dengan pemberian
antibiotik pensilin dan streptomisin serta antiinflamatori, deksametason. Setelah 6
bulan pasca ovariektomi pada kuda penderita, estrus kembali terjadi sehingga
kuda dikawinkan. Kembalinya siklus estrus terjadi sendirinya setelah dilakukan
ovariektomi. Setelah itu, pada pengecekan kebuntingan setelah 30 hari pasca
perkawinan menggunakan USG menyatakan hasil yang positif bunting. Hal ini
sesuai dengan pernyataan dari Hoque et al. (2003) yang menyatakan bahwa
pengangkatan GTCT dapat mengakibatkan terjadinya kembali siklus dari ovarium
kontralateral.
Pengangkatan tumor dapat juga dilakukan dengan laparoskopi
menggunakan vessel sealing dan motorized morcellator serta dengan kolpotomi
(Bont et al. 2010; Kummer et al. 2009; Hubert et al. 2006; Bosu et al. 1982).
Kolpotomi dilakukan dengan penyayatan pada bagian vagina. Keuntungan dari
metode ini, yaitu waktu yang digunakan singkat dan fungsi atletik dapat kembali
dengan cepat. Metode ini juga memiliki kerugian, yaitu ovariektomi dilakukan
dengan visualisasi yang buruk, sehingga hemoragi tidak dapat dideteksi serta
rantai écraseur juga dapat menghancurkan mesovarium. Operator yang
melakukan operasi ini harus terlatih (Sebaugh dan Schumacher 2014). Kerugian
lainnya, yaitu terjadinya iatrogenik peritonitis, pada pasca operatif dapat terjadi
exsangunations, dan hernia intestin melalu sayatan tersebut (Packer dan McKane
2012).
Pengangkatan ovarium dengan cara laparoskopi dilakukan dengan
penyayatan pada tiga tempat antara kaudal dari tulang rusuk terakhir dengan
kranial dari tuber coxae (Lloyd et al. 2007). Penggunaan vessel sealing seperti
gunting dengan gagang panjang yang akan memotong mesovarium yang terkena
GTCT (Bont et al. 2010; Lloyd et al. 2007; Hubert et al. 2006). Pada motorized
morcellator dilakukan pemotongan jaringan ovarium GTCT dengan ujung pisau
kerucut yang berputar (Kummer et al. 2009). Penggunaan kedua alat ini biasanya
disertai dengan alat kauterisasi sehingga akan menghentikan pendarahan yang
terjadi. Namun, di Indonesia penggunaan laparoskopi untuk pengangkatan GTCT
belum dilakukan.

12

A

B

Gambar 8 (A) Ovarium yang GTCT pasca ovariektomi. (B)
Potongan melintang tumor terlihat adanya multikista
Ukuran tumor yang ditemukan pada studi ini berkisar 8.08-19.50 cm
(Gambar 8A). Bobot ovarium yang terkena GTCT bervariasi tergantung dari
ukuran tumor yang terbentuk. Kecepatan perkembangan dari GTCT sampai saat
ini belum diketahui. Namun, menurut Crabtree (2011), level inhibin berkorelasi
positif dengan bobot tumor. Ellenberger et al. (2007) telah melaporkan GTCT
yang sangat besar, yaitu berukuran 65 x 51 x 24 cm dan bobot sebesar 35.52 kg.
Menurut McCue et al. (2006) tumor akan bertambah beratnya secara perlahan.
Pada Gambar 8B terlihat potongan secara melintang dari tumor. Potongan ini
sesuai dengan diagnosa berdasarkan USG yang memperlihatkan adanya multikista
pada tumor yang sesuai dengan gambaran USG. Multiple hemoragi juga terlihat
jelas saat dilakukan penyayatan pada tumor, seperti yang dilaporkan Ellenberger
et al. (2007).
Kebuntingan dapat terjadi pada kuda dengan GTCT. Kasus ini ditemukan
pada pemeriksaan kesehatan reproduksi kuda tahun 2015. Hal ini dibuktikan pada
Gambar 9 merupakan hasil USG pada kuda bunting yang menderita GTCT. Pada
Gambar 9B yang menunjukkan adanya bentuk seperti sarang lebah hipoechoic
yang merupakan salah satu diagnosa dari GTCT. Uterus penderita menunjukkan
adanya kebuntingan (Gambar 9A). Kebuntingan ini dapat terjadi jika ovarium
kontralateral tidak mengalami hipofungsi. Ovarium mengalami fase folikuler
sehingga folikel akan berkembang dengan baik. Folikel yang matang kemudian
akan ovulasi, sehingga sel ova akan disalurkan ke bagian tuba Fallopi. Sel ova dan
sperma akan mengalami fertilisasi dan terjadi perkembangan fetus dalam uterus.
Kebuntingan ini bertahan hingga kuda partus dan tetap memiliki GTCT.
Telah dilaporkan juga oleh Gee et al. (2012) dan Murphy et al. (2005)
kejadian GTCT pada kuda bunting. Perubahan perilaku”stallion like behaviour”
juga ditunjukkan pada kedua penderita tersebut. Gee et al. (2012) telah melakukan
pengukuran level inhibin dan testosteron. Terjadi peningkatan level inihibin dan
testosteron pada kuda bunting penderita GTCT saat sebelum dilakukannya
pengangkatan ovarium GTCT dan mengalami penurunan setelahnya. Menurut
Daels et al. (1995) peningkatan level inhibin dan testosteron pada kuda bunting
merupakan peningkatan yang biologis pada awal kebuntingan dan akhir
kebuntingan. Kedua ovarium secara normal akan membesar pada awal
kebuntingan. Hal tersebut menyebabkan kesalahan penafsiran dengan GTCT pada
kuda di awal kebuntingan (Gee et al. 2012).

13

B

A

Gambar 9 Hasil USG (A) uterus kuda yang terdapat fetus dan (B)
ovariumnya yang terkena GTCT dengan gambaran multikista

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Rata-rata prevalensi kasus GTCT pada kuda di Indonesia tahun 2006-2014
sebesar 0.51 %. Penanganan GTCT dengan ovariektomi dapat mengembalikan
siklus normal dari penderita GTCT. Kebuntingan dapat terjadi bersamaan dengan
GTCT.

Saran
Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai mekanisme terjadinya
kebuntingan pada pasien yang terkena GTCT, terutama pada kuda.

DAFTAR PUSTAKA
Alexander GR, Tweedie MA, Lescun TB, McKinnon AO. 2004.
Haemaperitoneum secondary to granulosa cell tumour in two mares. Aust
Vet J. 82(8):481-484. doi: 10.1111/j.1751-0813.2004.tb11163x.
Ali A, Alamaary M, Al-Sobayil F, Mehana E, Fathy A. 2013. Ovarian tumours in
arabian mares. Comp Clin Pathol. 24(1):157-162. doi: 10.1007/s00580-0131877-3.
Astari D. 2011. Karakteristik karkas kuda dengan umur, jenis kelamin dan
pemanfaatan yang berbeda di kecamatan Binamu, kabupaten Jeneponto
Sulawesi Selatan [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

14
Bailey MT, Troedsson MHT, Wheaton JE. 2002. Inhibin concentrations in mares
with granulosa cell tumours. Theriogenology. 57(7): 1885-1895. doi:
10.1016/s0093-691x(02)00658-1
Ball BA, Conley AJ, Almeida J, Vico AE, Crabtree J, Munro C, Liu IKM. 2013.
A retrospective analysis of 2253 cases submitted for endocrine diagnosis of
possible granulosa cell tumors in mares. J Equine Vet Sci. 34(2):307-313.
doi: 10.1016_j.jevs.2013.07.005.
Bont MPD, Wilderjans H, Simon O. 2010. Standing laparoscopic ovariectomy
technique with intraabdominal dissection for removal of large pathologic
ovaries in mares. Vet Surg. 39(6):737-741. doi:10.1111/j.1532950X.2010.00695.x.
Bosu WTK, Camp SCV, Miller RB, Owen RR. 1982. Ovarian disorder: clinical
and morphological observations in 30 mares. J Can Vet. 23(1):6-14.
Charman RE, McKinnon AO. 2007. A granulosa-theca cell tumor in a 15-monthold thoroughbred fily. Aust Vet J. 85(3):124-125. doi: 10.1111/j.17510813.2007.00110.x.
Corley K, Stephen J. 2008. The Equine Hospital Manual. Oxford (GB): Blackwell
Publishing.
Crabtree J. 2011. Review of seven cases of granulosa cell tumour of the equine
ovary. Vet Rec. 169(10):251-258. doi: 10.1136/vr.d4635.
Cupps PT. 1991. Reproduction in Domestic Animal. California (US): Academic
Press.
Daels PF, Chang GC, Hansen B, Mohammed HO. 1995. Testosterone secretion
during pregnancy in mare. Theriogenology. 45(6):1211-1219. doi:
10.1016_0093-691x(96)00076-3.
Ellenberger C, Bartman CP, Hoppen HO, Kratzsch J, Aupperle H, Klug E,
Schoon
D,
Schoon
HA.
2007.
Histomorphological
and
immunohistochemical characterization of equine granulosa cell tumor. J
Comp Path. 136(2):167-176. doi :10.1016/j.jcpa.2007.01.011.
Gee EK, Dicken M, Archer RM, Herdan CL, Pauwels FET, Drayton BM. 2012.
Granulosa theca cell tumour in a pregnant mare: concentrations of inhibin
and testosterone in serum before and after surgery. New Zeal Vet J.
60(2):160-163. doi: 10.1080/00480169.2011.645776.
Gündüz MC, Kaşikçi G, Kiliçarslan R, Uçmak M, Düzgün O, Tek C. 2010.
Reproductive performance following unilateral ovariectomy for treatment of
ovarian tumors in 7 mares. Turk J Vet Anim Sci. 34(3):283-287. doi:
10.3906/vet-0812-20.
Heffner LJ, Schust DJ. 2005. At A Glance Sistem Reproduksi. Ed ke-2. Jakarta
(ID): Penerbit Erlangga.
Hoque SMD, Senba H, Tsunoda N, Derar RI, Watanabe G, Taya K, Osawa T,
Miyake YI. 2003. Endocronological change before and after removal of the
granulosa-theca cell tumor (GTCT) affected ovary in 6 mares. J Vet Med Sci.
65(8):887-891. doi: 10.1292/jvms.65.887.
Hubert JD, Burba DJ, Moore RM. 2006. Evaluation of a vessel-sealing device for
laparoscopic granulosa cell tumor removal in standing mares. Vet Surg.
35(4):324-329. doi: 10.1111/j.1532-950X.2006.00151.x
Hunington P, Myers J, Owen L. 2004. Horse Sense: The Guide to Horse Care in
Australia and New Zealand. Melbourne (AU): Landlinks Press.

15
Johnson S, Daniel J. 2008. Horse Breeds: 65 Popular Horse, Pony, & Draft
Horse Breeds. Minneapolis (US): Voyageur Press.
König HE, Libiech HG. 2007. Veterinary Anatomy of Domestic Mamals Textbook
and Colour Atlas. Stuttgart (DE): Schattauer.
Kummer M, Theiss F, Jackson M, Früst A. 2009. Evaluation of a motorized
morcellator for laparoscopic removal of granulosa-theca cell tumors in
standing mares. Vet Surg. 39(5):649-653. doi:10.1111/j.1532950X.2010.00688.x.
Lloyd D, Walmsey JP, Greet TRC, Payne RJ, Newton JR, Phillips. 2007.
Electrosurgery as the sole means of haemostatis during the laparoscopic
removal of pathologically enlarged ovaries in mares: a report case of 55
cases. Equine vet J. 39(3):210-214. doi: 10.2746/042516407X171165225.
Mannion P. 2006. Diagnostic Ultrasound in Small Animal Practice. Oxford (GB):
Blackwell Publishing.
Maswarni M, Rachman N. 2014. Kuda : Manajemen Pemeliharaan dan
Pengembangbiakan. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.
Mattoon S, Nyland G. 2015. Small Animal Diagnostic Ultrasound. Ed ke-3.
Missouri (US): Saunders Elsevier.
Maurice KT. 2005. Diagnosis and surgical removal of a granulosa-theca cell
tumor in a mare. Can Vet J. 46(7):644-646.
McAuliffe S. 2013. Color Atlas of disease and Disorders of The Horse. Liverpool
(GB): Saunders Elsevier.
McCue PM, Roser JF, Munro CJ, Liu IKM, Lasley BL. 2006. Granulosa cell
tumors of the equine ovary. Vet Clin Equine. 22(3):799-817. doi:
10.1016/j.cveq.2006.08.008.
Meagher DM, Wheat JD, Hughes JP, Stabenfeldt GH, Harris BA. 1977.
Granulosa cell tumors in mares-a review of 78 cases. Proc Am Assoc Equine
Pract. 23:133-143.
Morel MCCD. 2008. Equine Reproductive Physiology, Rasing, and Stud
Management. Wallingford (GB): CABI.
Munroe GA, Weese JS. 2011. Equine Clinical Medicine Surgery and
Reproduction. New York (US): CRC Press.
Murphy J, Hendrickson DA, Hendrix S. 2005. Right flank laparoscopic
ovariectomy of a regressing granulosa theca cell tumor of a pregnant mare:
case
review.
J
Equine
Vet
Sci.
25(7):309-311.
doi:10.1016/j.jevs.2005.06.009.
Packer M, McKane S. 2012. Case report granulosa theca cell tumour in a mare
causing hypertopic osteopathy. Equine Vet Educ. 24(7):1-6. doi:
10.1111/j.2042-3292.2011.00316.x
Patrick DJ, Kiupel M, Gerber V, Carr EA. 2003. Malignant granulosa-theca cell
tumor in a two years old miniature horse. J Vet Diagn Invest. 15(1):60-63.
doi: 10.1177/104063870301500114.
Peters H, McNatty KP. 1980. The Ovary: Correlation of Structure and Function
in Mamals. California (US): Univ of California Pr.
Price DP, Dolensek BB, Rentsch G, Spector DA, Rentsch W. 1998. The Whole
Horse Catalog. New York (US): Simon & Schuster.
Reeder D, Miller S, Wilfong DA, Leitch M, Zimmel D. 2009. AAVET’S Equine
Manual for Veterinary Technicians. Iowa (US): Willey-Blackwell.

16
Riegel RJ, Hakola SE. 2002. Illustrated Atlas of Clinical Equine Anatomy and
Common Disorder of the Horse, Volume Two: Reproduction, Internal, and
Skin. Ohio (US): Equistar Publications.
Seabaugh KA, Schumacher J. 2014. Urogenital surgery performed with the mare
standing. Vet Clin Equine. 30(1):191-209. doi: 10.1016/j.cveq.2013.11.007.
Samper JC, Pycock JF, McKinnon A. 2007. Current Therapy In Equine
Reproduction. Missipi (US): Saunders Elsevier.
Samper JC. 2009. Equine Rasing Management and Artificial Insemination.
Missouri (US): Saunders Elsevier.
Siegal M. 1996. UC Davis Book of Horses: A Complete Medical Refference Guide
For Horses and Foals. New York (US): Harper Collins Pub.
Siregar R. 2011. Kuda beban sebagai alat transportasi di kecamatan Saipar Dolok
Hole kabupaten Tapanuli Selatan provinsi Sumatera Utara [skripsi]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Skelton KV, Dowsett KF, McMeniman NP. 1991. Ovarian activity in fillies
treated with anabolic steroids prior to the onset of puberty. J Reprod Fertil.
44: 351–356.
Stabenfeldt GH, Hughes JP, Kennedy PC, Meagher DM, Neely DP. 1979.
Clinical findings, pathological changes and endocrinological secretory
patterns in mare with ovarian tumours. J Reprod Fertil Suppl.
1979(27):277-285.
Sundberg JP, Burnstein T, Page EH, Kirkham WW, Robinson FR. 1977.
Neoplasms of equidae. J Am Vet Med. 170(2):150-152.
Turner JE, Irvine CH. 1982. Effect of prolonged administration of anabolic and
androgenic steroid on reproductive function in the mare. J Reprod Fertil.
32:213-218.
Verma GP. 2001. Fundamental of Histology. New Delhi (IN): New Age
International Press.
Watson ED. 1999. Granulosa cell tumours in the mare: a review of 9 cases.
Equine Vet Educ. 11(3):136-142.
Yoshida G, Tsunoda N, Miyake YI, Shafiqul HMD, Osawa T, Nagamine N,
Taniyama H, Nambo Y, Watanabe G, Taya K. 2000. Endocrinological
studies of mares with granulosa-theca cell tumor. J Equine Sci. 11(2):35-43.
doi: 10.1294/jes.11.35.
Zelli R, Sylla L, Monaci M, Stradaidoli G, Sibley LE, Roser JF, Munro C, Liu
IKM. 2006. Gonadotropin secretion and ptuitary responsiveness to GnRH in
mares with granulosa theca cell tumor. Theriogenology. 66(5):1210-1218.
doi: 10.1016/j.theriogenology.2006.03.030.

17

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 13 September 1992
dari Ayah Eddy Partamihardja dan Ibu Eko Kelonowati. Penulis adalah putri
kedua dari dua bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri
Empang 4 Bogor tahun 2004, sekolah menengah pertama di SMP Taruna Andigha
Bogor tahun 2007, dan sekolah menengah atas di Sekolah Menengah Analis
Kimia Bogor (SMAKBo) pada tahun 2011.
Penulis masuk pendidikan sarjana di Institut Pertanian Bogor pada tahun
2011 melalui jalur Uji Talenta Mandiri (UTM). Selama mahasiswa, Penulis aktif
dalam Organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FKH IPB, Himpunan
Minat dan Profesi Hewan Kecil dan Satwa Akuatik Eksotik (HKSA), Komunitas
STERIL, dan Komunitas Vetzone.