Sistem Tenurial Hutan Rakyat Di Desa Purasari Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor

SISTEM TENURIAL HUTAN RAKYAT DI DESA PURASARI
KECAMATAN LEUWILIANG KABUPATEN BOGOR

TENDY SETYO NOVELIYONO

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Sistem Tenurial Hutan
Rakyat di Desa Purasari, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, April 2016

Tendy Setyo Noveliyono
E14110050

ABSTRAK
TENDY SETYO NOVELIYONO. Sistem Tenurial Hutan Rakyat di Desa Purasari
Kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh SONI TRISON.
Semakin banyaknya masyarakat yang merasakan manfaat dari hutan rakyat
menyebabkan terjadi peningkatan luas hutan rakyat di Kabupaten Bogor. Desa
Purasari merupakan salah satu desa yang sebagian kepemilikan hutan rakyatnya
dimiliki oleh investor. Penguasaan lahan didominasi oleh masyarakat golongan
atas/investor yang bermodal menyewa dan membeli lahan, sehingga masyarakat
miskin tidak dapat memiliki lahan dan mengakibatkan masyarakat miskin hanya
bekerja sebagai buruh tani. Tujuan penelitian adalah mendeskripsikan pengelolaan
hutan rakyat serta perubahannya dan mengkaji dampak sosial dari tenurial.
Masyarakat desa memperoleh lahan dengan cara membuka hutan, kemudian turun–
temurun. Memasuki tahun 1980, sistem jual beli lahan banyak dilakukan oleh

investor. Banyak investor yang memiliki kebun di desa sehingga saat ini. Telah
terjadi perubahan pengelolaan yang dilakukan oleh petani pemilik dan petani
pengelola pada subsistem produksi dan sub sistem pengolahan hasil. Adanya
perubahan tenurial dapat berdampak terhadap keadaan sosial petani. Dampak yang
dirasakan petani pemilik ialah menyempitnya lahan garapan (56.67%) dan
kecemburuan sosial terhadap pengelola (26.67%). Dampak yang dirasakan petani
pengelola antara lain menambah lapangan pekerjaan (90.00%), dan berubahnya
model penanaman yang dilakukan oleh petani pengelola (30.00%).
Kata kunci: dampak, pengelolaan hutan rakyat, perubahan, sistem tenurial

ABSTRACT
TENDY SETYO NOVELIYONO. Private Forest Tenure System in the Purasari
Village Leuwiliang District of Bogor Regency. Supervised by SONI TRISON.
Increasing number of people who benefit from private forests led to an
increase in forest area people in Bogor. Purasari village is a village that most people
forest holdings owned by investors. Land tenure is dominated by upper class
people/investors who have capital hire and purchase of land, so that the poor can
not have land and resulted in poor communities only works as a laborer. The
purpose of research is to describe the management of private forests as well as the
changes and assess the social impact of tenure. Villagers acquire land by clearing

forests, then hereditary. Entering 1980, the system of land selling is mostly done by
the investor. Many investors who have a garden in the village so today. Have been
changes in the management carried out by the farmer owners and managers of
farmers in the production subsystem and processing sub-system. The change of
tenure may impact social condition. The impact on farmers owners is narrowing of
arable land (56.67%) and social jealousy to managers (26.67%). Meanwhile, the
impact on farmers manager increase employment (90.00%), and change in model
of planting undertaken by farmers managers (30.00%).
Keywords: impact, private forest management, changes, tenure system

SISTEM TENURIAL HUTAN RAKYAT DI DESA PURASARI
KECAMATAN LEUWILIANG KABUPATEN BOGOR

TENDY SETYO NOVELIYONO

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Manajemen Hutan


DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia–
Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini berjudul Sistem
Tenurial Hutan Rakyat di Desa Purasari, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor.
Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan September hingga Oktober 2015 di Desa
Purasari, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Soni Trison, S.Hut, MSi
selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran, Bapak Ishak, Bapak
Sukron, Bapak Kandi serta seluruh responden yang telah membantu demi
kelancaran penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada papa,
mama, adik, dan seluruh keluarga, serta Novi N Lestari atas doa , dukungan, dan
kasih sayangnya yang selalu memberi dukungan hingga penulis berhasil
menyelesaikan karya ilmiah ini.

Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih banyak kekurangan karena
keterbatasan yang dimiliki. Oleh karena itu kritikan dan saran yang membangun
untuk perbaikan penelitian ini sangat penulis harapkan. Semoga penelitian ini
memberikan manfaat bagi pihak–pihak yang membutuhkan.

Bogor, April 2016

Tendy Setyo Noveliyono

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN


vi

KATA PENGANTAR

ix

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

1

Tujuan Penelitian


2

Manfaat Penelitian

2

METODE

3

Waktu dan Lokasi Penelitian

3

Alat dan Bahan Penelitian

3

Pengambilan Data


3

Penentuan Responden

3

Prosedur Analisis Data

3

HASIL DAN PEMBAHASAN

4

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

4

Karakteristik Responden


4

Sejarah Tenurial Hutan Rakyat

8

Perubahan Pengelolaan Hutan Rakyat

10

Dampak Sosial dari Aspek Tenurial Hutan Rakyat

14

SIMPULAN DAN SARAN

16

Simpulan


16

Saran

17

DAFTAR PUSTAKA

17

LAMPIRAN

19

RIWAYAT HIDUP

22

DAFTAR TABEL
1

2
3
4
5
6
7

Sebaran umur responden
Tingkat pendidikan responden
Jumlah anggota keluarga responden
Luas hutan rakyat milik dan garapan responden
Mata pencaharian responden
Klasifikasi kesejahteraan responden
Asal bibit tanaman

5
5
6
6
7
7
11

DAFTAR GAMBAR
1 Alasan penebangan petani pemilik dan petani pengelola

13

DAFTAR LAMPIRAN
1 Peta Administratif Desa Purasari

21

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Keberadaan hutan rakyat telah menjadi tradisi atau kebiasaan masyarakat
desa untuk menanam pohon di lahan yang dimilikinya. Tujuan dari berbagai
penanaman tidak hanya berorientasi kepada manfaat lingkungan semata, tetapi juga
mengarah kepada manfaat ekonomi dan sosial. Manfaat tersebut dapat dirasakan
oleh pemiliknya maupun masyarakat sekitar. Semakin banyaknya masyarakat yang
merasakan manfaat dari hutan rakyat menyebabkan terjadi peningkatan luas hutan
rakyat di Kabupaten Bogor. Selain itu, menurut Nugraha (2014) penambahan luas
hutan rakyat disebabkan disebabkan juga oleh adanya kepastian kepemilikan lahan,
ketertarikan menanam jenis tanaman kehutanan, dan kepastian akses pasar.
Hutan rakyat di Jawa memiliki luas lahan yang relatif sempit dengan status
kepemilikan lahan serta tata batas yang lebih jelas, pasar, informasi, dan
aksessibilitas yang relatif lebih baik (Darusman dan Hardjanto 2006). Ariwijayanti
(2011) menjelaskan bahwa sebagian besar petani yang memiliki lahan dengan
luasan kecil berusaha untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dengan cara menjual
kepada masyarakat luar/investor. Para investor memanfaatkan keadaan tersebut
untuk membeli lahan dan mengusahakan hutan rakyat di desa bukan tempat
tinggalnya. Hal tersebut mengakibatkan masyarakat setempat yang dahulu
mengelola dan memiliki lahan, kini hanya menjadi pengelola atau buruh tani dan
terjadi ketidakmerataan distribusi kepemilikan lahan antara petani setempat dan
investor.
Sekretaris Desa Purasari yaitu Bapak Endang menyatakan bahwa, Desa
Purasari merupakan salah satu desa yang sebagian kepemilikan hutan rakyatnya
dimiliki oleh investor. Investor dapat menanamkan modal untuk membangun hutan
rakyat di desa–desa bukan tempat tinggalnya dengan tujuan untuk memperoleh
keuntungan untuk dirinya sendiri. Selain itu, sebagian investor hanya membeli dan
membiarkan lahan tersebut terbengkalai menjadi lahan tidur. Perubahan tenurial
hutan rakyat dapat mengubah pengelolaan hutan rakyat dan menimbulkan dampak
sosial masyarakat. Maka dari itu, penelitian perlu dilakukan untuk melakukan
kajian sistem tenurial hutan rakyat di Desa Purasari Kecamatan Leuwiliang,
Kabupaten Bogor.
Perumusan Masalah
Keberadaan hutan rakyat tidak hanya tumbuh semata–mata akibat interaksi
alami antar komponen botani, mineral, mikroorganisme, air, dan udara melainkan
peran manusia dan kebudayaannya. Kreasi budaya yang dikembangkan dalam
interaksinya dengan hutan memiliki perbedaan antar kelompok masyarakat
(Awang 2005). Suharjito (2000) menyatakan bahwa hutan–hutan yang tumbuh
diatas lahan hak milik dan diusahakan oleh orang–orang kota yang menyewa atau
membeli lahan masyarakat setempat masih dapat dikategorikan sebagai hutan
rakyat. Penguasaan atas lahan oleh masyarakat luar dapat menyebabkan
ketidakmerataan distribusi kepemilikan lahan serta mengalami kesulitan dalam
menggarap lahan dan hanya bisa menjadi buruh tani. Fenomena penguasaan lahan
sebelumnya telah di teliti di beberapa lokasi di Kabupaten Bogor wilayah barat.

2

Berdasarkan penelitian Nuroni (2006) dan Iriani (2008), penguasaan lahan
didominasi oleh masyarakat golongan atas/investor yang bermodal menyewa dan
membeli lahan, sehingga masyarakat miskin tidak dapat memiliki lahan dan
mengakibatkan masyarakat miskin hanya bekerja sebagai buruh tani atau bagi hasil
yang dalam bahasa sunda disebut maparo.
Perubahan tenurial hutan rakyat dapat mengubah pola pengelolaan hutan
rakyat yang semula sebagai petani pemilik menjadi petani pengelola, seluruh
kontrol pengelolaannya diatur oleh pemilik lahan. Pengelolaan hutan rakyat dengan
didasari kepemilikan lahan memungkinkan pengelolaan yang lebih baik dan
mengedepankan kelestarian, serta lebih kreatif dalam pemilihan jenis tanaman dan
pemanenan. Perubahan tenurial hutan rakyat dapat juga berdampak terhadap
keadaan sosial masyarakat. Beberapa dampak sosial yang dapat ditimbulkan,
diantaranya lahan garapan semakin sempit, berubahnya model penanaman yang
dilakukan oleh petani pengelola, kecemburuan sosial terhadap pengelola, dan
ketimpangan ekonomi meningkat antar petani dengan pengelola (Afianto 2002).
Berkaitan dengan masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, terdapat
beberapa pertanyaan yang merupakan ruang lingkup kajian dalam penelitian, yaitu:
1. Bagaimana kegiatan pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan petani Desa
Purasari, serta perubahan pengelolaan hutan rakyatnya?
2. Bagaimana sistem tenurial dan dampak sosial yang terjadi dari perubahan
tenurial hutan rakyat?
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan dan mengkaji pengelolaan hutan rakyat serta perubahan
pengelolaanya.
2. Mengkaji sistem tenurial dan dampak sosialnya
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini diharapkan memberi kontribusi, sebagai berikut:
1. Untuk akademisi, diharapkan tulisan ini menjadi referensi dalam melakukan
penelitian–penelitian terkait tenurial hutan rakyat.
2. Untuk masyarakat, penelitian ini diharapkan mampu memberikan wawasan dan
pemahaman kepada masyarakat mengenai pentingnya tenurial hutan rakyat.
3. Untuk Pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan berupa
kritik dan saran kepada pemerintah sebagai pembuat kebijakan.

3

METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada Bulan September sampai Bulan Oktober 2015.
Lokasi penelitian terletak di Desa Purasari, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten
Bogor.
Alat dan Bahan Penelitian
Alat yang digunakan dalam pengambilan data adalah alat tulis, camera
digital, dan laptop yang dilengkapi dengan Microsoft Excel dan Microsoft Word
untuk mengolah data. Bahan yang digunakan adalah kuesioner penelitian.
Pengambilan Data
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Jenis data yang dikumpulkan
dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer
diperoleh dari responden terpilih melalui wawancara dengan menggunakan daftar
pertanyaan/kuesioner. Wawancara dilakukan untuk mengumpulkan data lapang
mengenai pengelolaan hutan rakyat dan keadaan yang dirasakan petani setempat
terhadap perubahan serta sistem tenurial yang terjadi di desa. Data sekunder
diperoleh dari data Desa Purasari yang berbentuk monografi desa dan data statistik
pertanian dan kehutanan Kabupaten Bogor.
Penentuan Responden
Pemilihan responden dilakukan melalui metode purposive sampling, yaitu
pengambilan sampel berdasarkan pertimbangan sesuai tujuan penelitian. Jumlah
responden ditentukan sebanyak 64 responden. Responden tersebut dipilih dari dua
populasi petani berbeda. Populasi pertama, dipilih 30 responden yang merupakan
petani pengelola lahan sendiri (petani pemilik). Populasi kedua, dipilih 30
responden yang merupakan petani pengelola lahan milik orang lain (petani
pengelola). Selain itu, empat orang informan yang merupakan tokoh kunci di desa
tersebut dan ditentukan secara sengaja guna menggali informasi sejarah tenurial
desa tersebut dengan cara wawancara mendalam.
Prosedur Analisis Data
Analisis yang pertama kali dilakukan adalah mengolah dan mentabulasikan
data berdasarkan pengelompokan responden, petani pemilik dan responden petani
pengelola. Selanjutnya, data dengan menggunakan analisis statistika deskriptif
sederhana yang disajikan dalam bentuk persentase, diagram/pie chart/tabel ataupun
kalimat deskriptif.

4

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Desa Purasari adalah salah satu desa yang berada di Kecamatan Leuwiliang,
Kabupaten Bogor. Luas wilayahnya 632.12 ha dengan terdiri atas 37.5 ha lahan
rumah dan pekarangan, 158.844 ha lahan hutan rakyat, 105.896 ha lahan sawah,
326.33 ha lahan perkebunan negara, dan 3.55 ha lahan penggunaan lain. Pembagian
wilayah administratif desa terbagi 5 Kepala Dusun, 12 RW, dan 50 RT. Dusun I, II,
II, IV masing–masing terdiri dari 2 RW, sedangkan Dusun V terdiri dari 4 RW.
Kemudian, Desa Purasari memiliki wilayah dengan batas–batas sebagai berikut:
1. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Karyasari
2. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Cibitung Wetan Kecamatan Pamijahan
3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi
4. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Puraseda
Berdasarkan data monografi Desa Purasari tahun 2015, jumlah penduduk
Desa Purasari sebanyak 12.279 jiwa yang terdiri dari 6.393 jiwa laki–laki, 5.886
jiwa perempuan, dan sebanyak 3.032 kepala keluarga. Penduduk di Desa Purasari
589 jiwa tidak tamat SD, 1.876 jiwa tamatan SD/sederajat, 868 jiwa tamatan
SMP/sederajat, 819 jiwa tamatan SMA/sederajat, dan 210 jiwa tamatan Diploma 1,
2, 3 juga Strata 1, 2. Mata pencaharian penduduk di desa ini sebagai buruh tani
(2.370 jiwa), petani (751 jiwa), dan karyawan perusahaan (250 jiwa), sedangkan
yang lainnya bermata pencaharian sebagai buruh harian, pedagang, tukang ojek,
dan sebagainya. Wilayah Desa Purasari umumnya merupakan daerah datar hingga
berbukit dan memiliki ketinggian tempat 600–950 mdpl. Sebagian besar wilayah
Desa Purasari adalah tanah berbukit dengan kemiringan antara 200–800. Suhu rata–
rata antara 24°C–28°C dan curah hujan rata–rata 1.200 mm/tahun. Prasarana
perhubungan di Desa Purasari berupa jalan kabupaten, yang menghubungkan
Kabupaten Bogor dengan Kabupaten Sukabumi, dan jalan desa. Sarana transportasi
yang tersedia antara lain kendaraan umum seperti angkutan desa dan ojek.
Karakteristik Responden
Umur
Klasifikasi umur berdasarkan UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003
menyatakan bahwa umur produktif (tenaga kerja), yaitu antara 15 – 64 tahun. Umur
responden diklasifikasikan berdasarkan BPS–Jabar. Berdasarkan data yang
diperoleh, persentase petani pemilik yang termasuk usia produktif sebanyak
76,67%, sedangkan petani pengelola 90.00% (Tabel 1). Hal ini menunjukan bahwa,
hutan rakyat di Desa Purasari banyak dikelola oleh petani dengan usia produktif
kerja. Sesuai dengan pernyataan Sultika (2010) bahwa kemampuan dalam
mengelola hutan rakyat oleh petani yang masih berusia produktif dapat semakin
baik. Selain itu, menurut data penelitian tentang umur petani hutan rakyat Desa
Purasari yang masih melakukan kegiatan bertani berada direntang umur 30 tahun
hingga 74 tahun. Rentang umur tersebut sejalan dengan penelitian Ermayanti
(2002) yang menyatakan bahwa, rentang umur petani hutan rakyat yang masih
melakukan kegiatan bertani berada direntang umur 33 – 75 tahun (Desa Karyasari),

5
31 – 72 tahun (Desa Purasari), 29 – 71 (Desa Curug Bitung), dan 32 – 92 tahun
(Desa Bantar Karet).
Interval umur
(tahun)
30 – 34
35 – 39
40 – 44
45 – 49
50 – 54
55 – 59
60 – 64
65 – 69
70 – 74

Tabel 1 Sebaran umur responden
Petani pemilik
Petani pengelola
(%)
(%)
6.67
3.33
10.00
6.67
10.00
13.33
20.00
16.67
23.33
13.33
3.33
33.33
3.33
3.33
16.67
3.33
6.67
6.67

Sumber : data olahan

Tingkat Pendidikan
Sebagian besar tingkat pendidikan kedua kelompok responden adalah tingkat
Sekolah Dasar (Tabel 2). Rendahnya tingkat pendidikan disebabkan oleh kendala
biaya dan fasilitas pendidikan tingkat lanjut belum tersedia di desa. Tingkat
pendidikan petani dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan tentang pengelolaan
hutan rakyat dan tingkat adopsi yang diterima oleh responden. Hal ini sejalan
dengan pernyataan Putri et al. (2015) bahwa tingkat pendidikan sebagian besar
petani hutan rakyat masih tergolong rendah, yaitu hingga tingkat Sekolah Dasar
karena keadaan ekonomi yang terbatas dan kurangnya kesadaran orang tua untuk
mengarahkan pendidikan formal.
Tabel 2 Tingkat pendidikan responden
Petani pemilik
Petani pengelola
Tingkat pendidikan
(%)
(%)
Tidak sekolah
33.33
33.33
SD
66.67
66.67
SMP
6.67
6.67
Sumber : data olahan

Jumlah Anggota Keluarga
Menurut BKKBN (1998), besar keluarga diklasifikasikan dalam tiga
kategori, yaitu keluarga kecil (≤ 4 orang), keluarga sedang (5 – 7 orang), dan
keluarga besar (> 7 orang). Berdasarkan data yang diperoleh, sebesar 50.00% kedua
kelompok responden termasuk ke dalam kategori keluarga sedang (Tabel 3).
Semakin besar jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan petani dapat
mempengaruhi kesejahteraan rumah tangga. Pengaruh tersebut dapat berupa
meningkatnya biaya hidup rumah tangga atau sebaliknya dapat mengurangi biaya
produksi dalam usaha tani karena tersedianya tenaga kerja (gratis) dalam keluarga.
Hal ini sesuai dengan Palmolina (2015) yang menyatakan bahwa, sebagian besar
jumlah anggota keluarga petani hutan rakyat di daerah penelitiannya berada di
tingkat keluarga sedang.

6

Tabel 3 Jumlah anggota keluarga responden
Petani pemilik
Petani pengelola
Interval Anggota Keluarga
(%)
(%)
≤4
16.66
26.67
5–7
50.00
50.00
≥7
33.33
23.33
Sumber : data olahan

Luas Hutan Rakyat
Hutan rakyat yang dikelola terbagi menjadi dua jenis, yaitu lahan milik dan
lahan garapan. Lahan milik ialah lahan milik sendiri, sedangkan lahan garapan
adalah lahan milik investor yang dikelola oleh petani pengelola. Persentase terbesar
(46.67%) petani pemilik memiliki luas lahan milik antara 0.2 ha – 0.49 ha (Tabel.4).
Hal ini sesuai dengan penelitian Hardjanto (2003) yang menyatakan bahwa luasan
hutan rakyat yang dimiliki oleh petani relatif sempit (kurang dari 1 ha). Persentase
terbesar lahan garapan milik investor ialah 36.67% dengan luas lahan sekitar
1 – 1.99 ha. Daerah asal investor sebesar 93.33% berada di luar Kabupaten Bogor
yang meliputi Bogor kota, Jakarta, dan Depok.
Tabel 4 Luas hutan rakyat milik dan garapan responden
Lahan garapan per daerah asal
(%)
Interval luas
Lahan milik
lahan (ha)
(%)
Luar
Luar
Luar pulau
kecamatan
kabupaten
≤ 0.1
13.33
0.00
0.00
0.00
0.1 – 0.19
20.00
0.00
0.00
0.00
0.2 – 0.49
46.67
0.00
0.00
0.00
0.5 – 0.99
10.00
0.00
20.00
0.00
1.0 – 1.99
10.00
3.33
33.33
0.00
2.0 – 2.99
0.00
0.00
16.67
0.00
≥ 3.0
0,00
0.00
23.33
3.33
Jumlah
3.33
93.33
3.33
Sumber : data olahan

Mata Pencaharian
Seluruh responden petani pemilik bermata pencaharian utama sebagai petani
dilahannya sendiri dan bermata pencaharian sampingan beragam. Responden petani
pengelola memiliki pekerjaan utama bukan hanya sebagai petani pengelola, tetapi
juga bekerja sebagai petani di lahannya sendiri (Tabel 5). Hal ini menjelaskan
bahwa kedua kelompok responden petani masih memiliki waktu luang untuk
bekerja meski telah mengelola lahan miliknya sendiri. Hal tersebut mendorong para
petani untuk melakukan pekerjaan sampingan. Sejalan dengan Sanudin dan Fauziah
(2015) yang menjelaskan bahwa, responden petani hutan rakyat di daerah
penelitiannya sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani.

7
Tabel 5 Mata pencaharian responden
Petani pemilik
Petani pengelola
Mata pencaharian
(%)
(%)
Utama
1. Petani
100.00
36.67
2. Pengelola
0.00
63.33
Sampingan
1. Buruh tani
50.00
20.00
2. Pedagang
16.67
26.67
3. Tidak ada
23.33
20.00
4. Supir angkutan
0.00
13.33
5. Guru
0.00
6.67
6. Lainnya
10.00
10.00
Sumber : data olahan

Kesejahteraan
Kesejahteraan petani pemilik dan petani pengelola dapat dilihat pada
Tabel 6, yang menunjukkan sebaran pendapatan total per kapita dari perhitungan
berdasarkan klasifikasi Sajogyo dan dinyatakan dalam nilai tukar beras
(kg/jiwa/tahun). Nilai tukar beras di Desa Purasari yaitu Rp.10.000/kg. Sajogyo
(1996) menyatakan bahwa klasifikasi kesejahteraan meliputi, sangat miskin (< 180
kg/jiwa/tahun), miskin (180 – 239 kg/jiwa/tahun), cukup (240 – 319 kg/jiwa/tahun),
dan kaya (≥ 320 kg/jiwa/tahun). Klasifikasi kesejahteraan rata–rata pendapatan per
kapita responden petani pengelola sebesar 323.6 kg/orang/tahun dan termasuk ke
dalam golongan kaya. Berbeda dengan petani pengelola, rata–rata pendapatan per
kapita responden petani pemilik hanya sebesar 280 kg/orang/tahun, yaitu termasuk
ke dalam golongan diambang cukup. Hal tersebut menunjukan bahwa terjadi
ketimpangan pendapatan rata-rata responden antara petani pemilik dan petani
pengelola yang disebabkan oleh ketimpangan luas lahan yang dikelola dan
pekerjaan sampingan. Sejalan dengan Pratama et al. (2015) yang menyatakan
bahwa, di desa penelitiannya rata-rata pendapatan rumah tangga per kapita pemilik
hutan rakyat berada diatas garis kemiskinan, artinya pemilik hutan rakyat berada di
tingkat kecukupan.
Tabel 6 Klasifikasi kesejahteraan responden
Petani pemilik
Petani pengelola
Klasifikasi kesejahteraan
(%)
(%)
Kaya
26.67
43.33
Cukup
40.00
40.00
Miskin
16.67
13.33
Sangat miskin
16.67
3.33
Sumber : data olahan

8

Tenurial Hutan Rakyat Desa Purasari
Sebelum masuknya investor (sebelum tahun 1980)
Menurut sesepuh di Desa Purasari Bapak Odih, pemilikan lahan di desa ini
secara garis besar diperoleh dengan cara membuka hutan. Lahan yang dimiliki
dikelola secara perseorangan kemudian diwariskan secara turun–temurun. Pada
masa penjajahan lahan dikuasai oleh tuan tanah. Tuan tanah merupakan masyarakat
pribumi yang memihak kepada penjajah. Tuan tanah bertugas memungut upeti dari
masyarakat setempat yang mengelola lahan. Upeti tersebut merupakan pengganti
dari pajak berupa hasil tani berupa padi, jagung, singkong, pisang, kelapa, dan
lainnya. Pertanian yang diusahakan pada zaman penjajahan masih sangat
sederhana, yaitu hanya menanam tanaman yang dapat digunakan untuk kebutuhan
sehari-hari.
Memasuki masa kemerdekaan, istilah tuan tanah mulai tidak berlaku.
Menurut seorang tokoh setempat yaitu Bapak Tata, pada tahun 1952 terdapat
kegiatan klasiran yaitu pendataan lahan yang dikelola masyarakat setempat.
Pendataan tersebut berupa pengukuran dan penetapan lahan yang telah dikelola
oleh masing–masing warga secara turun–temurun dari masa penjajahan. Selang
lima tahun dari klasiran, pemerintah melakukan pengesaahan lahan (girik) yang
dimiliki masyarakat setempat dari hasil klasiran. Girik mewajibkan masyarakat
setempat membayar pajak atas lahan yang dikuasainya.
Setelah terjadinya girik, masyarakat sekitar mulai mengusahakan lahan
keringnya dengan menanam dominasi tanaman kayu keras yang biasa disebut hutan
rakyat atau kebun. Sampai pada tahun 1970, komoditas tanaman karet dan sengon
mendominasi di desa ini. Menurut penuturan Bapak Isak, dahulu luas kebun karet
di desa ini seluas 10 ha dan seluruhnya merupakan milik petani setempat,
sedangkan sisanya diusahakan menjadi kebun campuran ataupun hanya menjadi
lahan tidur. Kurang lebih 50% lahan pertanian kering tidak diusahakan oleh
pemiliknya (masyarakat setempat). Hal tersebut disebabkan oleh, penduduk yang
masih sedikit sehingga kebutuhan penggunaan lahan tidak terlalu banyak.
Memasuki pertengahan tahun 70–an, harga karet menurun dan menyebabkan
tanaman karet tidak lagi diminati oleh petani setempat dan banyak yang ditebang.
Seorang warga desa yang bernama H. Abung mulai mencoba menanam tanaman
cengkih di lahan miliknya. Tanaman tersebut cocok ditanam di desa ini dan berhasil
berbuah. Hal tersebut akhirnya diikuti pula oleh beberapa petani setempat. Namun,
para petani belum mengetahui bahwa harga cengkih sangat diperhitungkan di
pasaran dan dapat terus meningkat. Menurut Bapak Tata hingga akhir tahun 70–an
kebun cengkih di desa ini seluas kurang lebih 9 ha.
Setelah masuknya investor (tahun 1980)
Jual beli lahan pertanian mulai terjadi saat masyarakat luar desa/investor
masuk ke Desa Purasari. Menurut Sekretaris Desa (Sekdes) Endang, sebelum
masuknya para investor, transfer kepemilikan lahan hanya melalui sistem waris.
Pada tahun 1980, seorang ahli tanaman cengkih yang berasal dari luar desa
(H. Gober) membeli lahan seluas 1 ha di Desa Purasari. H. Gober menjadi investor
pertama yang membeli lahan di desa ini. H. Gober juga mengajarkan dan
memberikan penyuluhan kepada para petani setempat tentang tata cara menanam
dan memelihara tanaman cengkih yang baik dan benar. Hal tersebut mengakibatkan

9
semakin bertambahnya para petani setempat yang menanam cengkih. Petani
pemilik menanam tanaman cengkih dengan mencampurkan dengan tanaman
lainnya di kebun campuran miliknya tanpa merubah menjadi kebun sejenis. Hal
tersebut disebabkan oleh, harga bibit tanaman cengkih yang cukup mahal yaitu
Rp10/bibit.
Cocoknya tanaman cengkih ditanam di desa ini mengundang lebih banyak
para investor untuk membeli lahan. Para investor mendapatkan informasi tersebut
berdasarkan cerita dari teman maupun kerabat di Desa Purasari dan membeli lahan
melalui aparat desa. Investor hanya membeli lahan–lahan yang tidak ditanami
/diusahakan oleh pemiliknya. Dahulu, harga lahan relatif cukup murah, yaitu
sebesar Rp2.000/m2. Menurut penuturan Bapak Tata pada tahun 80–an, terjadi
pembelian lahan secara besar–besaran oleh para investor. Lahan tidur milik petani
setempat hampir tidak ada karena berubah menjadi kebun, baik diusahakan sendiri
maupun diusahakan oleh investor dengan cara dijual.
Menurut Bapak Isak, pada awal tahun 90–an hampir seluruh lahan pertanian
kering Desa Purasari ditanami tanaman cengkih. Tidak ada data pasti mengenai
jumlah lahan cengkih yang diusahakan pada tahun 90–an. Tepatnya tahun 1998,
harga cengkih mengalami penurunan yang sangat drastis, disebabkan oleh
terjadinya kasus Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkih (BPPC). Pada saat itu,
banyak petani mengalami kerugian. Sebagian besar petani setempat menebang
seluruh tanaman cengkih dan mengubahnya kembali menjadi kebun campuran yang
didominasi oleh tanaman sengon. Para investor tetap mempertahankan kebun
cengkih dengan cara membiarkannya tidak terpelihara.
Hal yang terjadi pada akhir masa Orde Baru mengakibatkan hingga saat ini
petani setempat lebih sedikit yang mengusahakan kebun cengkih dibandingkan
dengan para investor. Petani setempat lebih memilih menebang ataupun menjual
lahannya daripada memanen buah cengkih yang tidak memiliki harga. Selain
menjual kebun cengkih, beberapa petani pemilik kembali mengusahakan hutan
rakyat campuran dengan didominasi tanaman sengon dan afrika. Hampir seluruh
petani setempat yang dahulu mengusahakan cengkih melakukan hal tersebut.
Akibatnya, hampir 50% lahan yang ditanami cengkih di Desa Purasari di konversi
menjadi kebun campuran.
Hingga saat ini, ara investor membeli lahan yang telah diusahakan oleh petani
setempat maupun investor yang tidak mengusahakan lahannya lagi. Proses
pembelian lahan malalui bantuan makelar tanah. Lahan hutan rakyat di daerah
Dusun II dan Dusun IV banyak menjadi target pembelian oleh para investor saat
ini. Hal ini disebabkan oleh akses menuju kedua dusun tersebut sangat mudah
dilalui jalan kabupaten. Investor dari luar tidak hanya membuat kebun cengkih,
namun juga membuat kebun sengon. Pemilik lahan memperoleh dan menetapkan
seorang pengelola sesuai pilihannya sendiri. Selain itu, terdapat pula yang
berdasarkan atas dasar masukan dari makelar yang telah membantu mendapatkan
lahan tersebut. Makelar akan mencari seorang pengelola sesuai dengan kriteria yang
diinginkan oleh pemilik lahan. Kriteria yang diinginkan oleh pemilik lahan adalah
seseorang yang jujur dalam segala hal yang dikerjakan, bertanggung jawab, ahli,
dan berpengalaman dalam pengelolaan hutan rakyat.

10

Perubahan Pengelolaan Hutan Rakyat
Perbedaan pengelolaan hutan rakyat disebabkan adanya perubahan
pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan petani pemilik dan petani pengelola.
Perubahan pengelolaan hutan rakyat hanya terjadi pada sub sistem produksi dan
pengolahan hasil.
Persiapan lahan
Perubahan pengelolaan hutan rakyat terjadi pada sub sistem produksi. Tahap
awal dari sub sistem produksi adalah persiapan lahan. Berdasarkan data yang
diperoleh, seluruh petani pemilik melakukan persiapan lahan sebelum penanaman
meliputi kegiatan pembersihan lahan dan pembuatan lubang tanam. Pembersihan
lahan yang dilakukan petani pemilik cenderung tidak secara keseluruhan, namun
hanya dilakukan pembersihan gulma pengganggu di sekitar lahan yang akan
ditanami. Lahan hutan rakyat yang akan ditanami umumnya berupa hutan rakyat
yang memiliki tanaman lain dan relatif jarang mengandung tumbuhan liar.
Pembuatan lubang tanam yang dilakukan petani pemilik hanya mencungkil
sebagian tanah dan langsung ditanami anakan, tanpa melakukan pengolahan tanah.
Sebagian besar petani pengelola melakukan kegiatan persiapan lahan meliputi
kegiatan pembersihan lahan, pembuatan lubang tanam, dan pengolahan tanah
(80.00%). Pembersihan lahan dengan cara menebang habis seluruh tanaman. Hal
tersebut disebabkan, para investor lebih tertarik mengusahakan kebun sejenis. Saat
pembuatan lubang tanam, petani pengelola membiarkan lubang tanam yang telah
dibuat terbuka dan terkena sinar matahari langsung untuk beberapa minggu.
Selain itu, pengolahan tanah dilakukan dengan cara mencampurkan tanah dengan
pupuk kandang. Hal tersebut, bertujuan untuk menyuburkan lubang tanam yang
akan ditanami anakan.
Kegiatan persiapan lahan 13.33% petani pemilik dan 30.00% petani
pengelola dilakukan dengan cara diburuhkan. Upah buruh tani dari kegiatan ini
sebesar Rp40.000/hari/orang. Alat yang digunakan oleh petani pemilik untuk
persiapan lahan, yaitu cangkul, garpu, dan parang. Petani pengelola pun
menggunakan alat yang sama seperti petani pemilik, tetapi memiliki alat tambahan
berupa mesin pemotong rumput.
Penanaman
Jenis hutan rakyat yang lebih banyak diusahakan petani pemilik adalah jenis
hutan rakyat campuran. Jarak antar tanaman kayu tidak menjadi hal utama karena
para petani pemilik ingin mengoptimalkan luasan lahan yang sempit. Petani pemilik
menggunakan jarak tanam hanya pada tanaman cengkih, yaitu dengan jarak
3×3 m dan 4×4 m. Jarak tanam tersebut tidak memenuhi kriteria dalam penanaman
cengkih yang seharusnya. Jarak tanam yang harus digunakan dalam penanaman
cengkih adalah 7×8 m atau 8×8 m untuk topografi yang bergelombang
(Distanhut Kab. Bogor 2014). Pemilihan jenis tanaman yang dilakukan petani
pengelola merupakan perintah dari pemilik lahan. Sebesar 73.33% pemilik lahan
memilih tanaman cengkih sebagai tanaman inti di lahan miliknya. Jarak tanam yang
digunakan petani pengelola dalam penanaman cengkih adalah 6×6 m hingga 8×8.m.
Hal ini berbeda dengan yang dilakukan petani pemilik karena luasan hutan rakyat
yang dimiliki setiap investor lebih luas daripada petani setempat. Jika petani

11
pengelola menanam sengon sebagai tanaman inti, maka jarak tanam yang
digunakan adalah 2m×2m. Kegiatan penanaman 13.33% petani pemilik dan petani
pengelola dilakukan dengan cara diburuhkan. Upah buruh tani dari kegiatan ini
sebesar Rp40.000/hari/orang. Alat yang digunakan oleh petani pemilik untuk
kegiatan ini, yaitu cangkul, garpu, dan parang dan begitu pula yang digunakan
petani pengelola.

Jenis tanaman

Tanaman
kayu

Tanaman
buah

Tabel 7 Asal bibit tanaman
Cara memperoleh bibit
Petani
tanaman
pemilik (%)
Usaha sendiri
100.00
1. Beli
13.33
2. Cabutan
56.66
3. Campuran
30.00
Pemberian
0.00
1. Bantuan pemerintah
0.00
2. Pemilik lahan sebelumnya
0.00
Usaha sendiri
63.33
1. Beli
33.33
2. Cabutan
20.00
3. Campuran
46.66
Pemberian
36.66
1. Bantuan pemerintah
100.00
2. Pemilik lahan sebelumnya
0.00

Petani
pengelola (%)
100.00
12.50
50.00
37.50
0.00
0.00
0.00
72.73
86.36
0.00
13.64
27.27
0.00
100.00

Sumber : data olahan

Petani pemilik dan petani pengelola dalam menyediakan bibit tanaman
terdapat dua sumber, yaitu berasal dari usaha sendiri dan pemberian. Usaha sendiri
terdiri dari membeli, cabutan, dan campuran keduanya. Jika bibit berasaal dari
pemberian, maka pemberian dari pemerintah dan pemilik lahan sebelumnya. Petani
pemilik (56.66%) dan petani pengelola (50.00%) lebih memilih cabutan anakan
alami dalam penyediaan bibit tanaman kayu (Tabel 7). Anakan alami tersebut
sangat memudahkan kedua kelompok petani karena tidak perlu mengeluarkan
modal untuk membeli bibit. Meskipun, petani pengelola memiliki modal yang
cukup dari pemilik lahan. Selain itu, bibit sengon dari hasil anakan alami lebih tahan
terhadap hama dan penyakit. Berbeda dengan bibit yang diperoleh dari hasil
membeli, bibit cenderung mudah terserang penyakit. Hal ini berbeda dengan
penelitian Fanuzia (2013) bahwa bibit yang diperoleh dengan cara membeli akan
lebih mudah dilakukan dan tidak memerlukan persemaian. Perbedaan cara
memperoleh bibit tanaman kayu antara petani pemilik dan petani pengelola ialah
ketika diharuskan membeli bibit tanaman. Petani pemilik membeli bibit dengan
modal sendiri, sedangkan petani pemilik membeli bibit dengan seizin pemilik
lahan. Harga bibit sengon dari pedagang keliling yaitu Rp1.000/bibit dengan ukuran
tinggi 30 cm.
Selain tanaman kayu, kedua kelompok petani juga menanam tanaman buah.
Proses dalam memperoleh bibit tanaman buah berasal dari usaha sendiri dan
pemberian. Petani pemilik (46.66%) memadukan campuran antara membeli dan
cabutan anakan alami dalam menyediakan bibit buah. Hal tersebut disebabkan,
modal petani pemilik yang terbatas untuk melakukan pembelian bibit tanaman buah

12

secara keseluruhan. Selain itu, harga bibit tanaman cengkih yang cukup mahal
sehingga kurang terjangkau oleh petani pemilik, yaitu Rp15.000/bibit dengan
ukuran 50 cm. Selain usaha sendiri, petani pemilik juga mendapatkan pemberian
bibit tanaman buah dari pemerintah. Bantuan tersebut dikhususkan untuk petani
pemilik setempat. Hal tersebut sangat membantu petani pemilik untuk menanam
cengkih, meskipun bantuan tersebut baru pertama kali terjadi di desa tersebut.
Petani pengelola memperoleh bibit tanaman buah terutama cengkih dari
proses membeli sebesar 86.36%, ditunjukan pada Tabel 7. Perbedaan dengan petani
pemilik adalah modal yang cukup dari pemilik lahan sehingga sebagian besar petani
pengelola memperoleh bibit dengan cara membeli. Selain itu, petani pengelola
memperoleh tanaman cengkih dari proses pemberian. Perbedaan proses pemberian
antara petani pemilik dan petani pengelola adalah subjek yang memberi. Petani
pemilik memperoleh tanaman cengkih dari pemerintah, sedangkan petani pengelola
merupakan warisan dari pemilik sebelumnya. Petani pengelola tidak memperoleh
bibit tanaman cengkih dari bantuan pemerintah karena bantuan tersebut hanya
diperuntukan bagi petani pemilik.
Pemeliharaan
Pemeliharaan tanaman yang dilakukan meliputi penyulaman, penyiangan,
pendangiran, pemupukan, dan pemberantasan hama penyakit. Kegiatan penyiangan
dan pendangiran dilakukan oleh kedua kelompok petani, baik petani pemilik dan
petani pengelola. Kegiatan tersebut dilakukan hanya di sekitar pangkal pohon
dengan cara memotong rumput liar dan membalikkan tanah. Kegiatan pemeliharaan
selanjutnya, yaitu penyulaman. Kegiatan ini dilakukan oleh petani pemilik dan
petani pengelola dengan cara mengganti anakan yang mati dengan anakan yang
baru.
Kegiatan pemupukan adalah kegiatan lain yang dilakukan oleh kedua
kelompok petani. Perbedaan pemupukan antara kedua kelompok petani diantaranya
adalah jumlah pupuk yang digunakan dan frekuensi pemupukan dalam satu tahun.
Petani pemilik biasanya menggunakan jenis pupuk kandang, NPK, TSP, Urea, dan
phonska dengan dosis bergantung pada modal yang dimiliki. Frekuensi pemupukan
rata–rata dua kali dalam satu tahun. Hal tersebut disebabkan oleh lahan hutan rakyat
yang banyak ditanami jenis tanaman terutama tanaman musiman sehingga perlu
pemberian pupuk yang teratur. Petani pengelola mengguanakan jenis pupuk yang
sama seperti petani pemilik. Kegiatan pemupukan oleh petani pengelola
menggunakan jumlah yang lebih banyak dari pada petani pemilik. Pemupukan rata–
rata dilakukan satu kali dalam satu tahun karena sebagian besar hutan rakyat milik
masyarakat luar didominasi tanaman cengkih. Pemupukan cengkih dilakukan setiap
satu bulan sebelum atau setelah dilakukannya pemanenan.
Pemeliharaan hutan rakyat yang terakhir dilakukan adalah pemberantasan
terhadap hama dan penyakit. Pemeliharaan ini dilakukan untuk menjaga agar
tanaman di hutan rakyat tidak terserang hama dan penyakit. Beberapa penyakit
seperti karat puru, yang disebabkan oleh jamur Uromycladium sp, dan penggerek
batang (uter–uter), disebabkan oleh ulat surendang (Xystrocera festiva), seringkali
menyerang tanaman dan sukar untuk diberantas sehingga mengganggu tanaman
petani. Pemberantasan terhadap hama dan penyakit yang dilakukan oleh kedua
kelompok petani, yaitu pemangkasan, pembedahan, dan penyemprotan
menggunakan insektisida. Tetapi, pemberantasan hama tersebut tidak terlalu efektif

13
sehingga hama dan penyakit tetap merusak tanaman, baik tanaman penghasil kayu
ataupun penghasil buah. Oleh karena itu, beberapa petani baik petani pemilik
maupun petani pengelola membiarkan dan tidak memberantasnya karena bingung
serta tidak mengetahui obat yang dapat memberantas hama dan penyakit tersebut.
Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan petani pemilik (6.66%) dan petani
pengelola (40.00%) dengan cara diburuhkan. Upah buruh tani dari kegiatan ini
sebesar Rp40.000/hari/orang. Alat yang digunakan oleh petani pemilik untuk
persiapan lahan, yaitu cangkul dan parang. Petani pengelola pun menggunakan alat
yang sama seperti petani pemilik, tetapi memiliki alat tambahan berupa mesin
pemotong rumput.
Pemanenan
Akhir dari sub sistem produksi adalah pemanenan. Sebesar 76.67% petani
pemilik melakukan pemanenan disebabkan oleh kebutuhan (Gambar 1). Sesuai
dengan penelitian Umam (2010) bahwa sebagian besar petani desa melakukan
penebangan dengan alasan kebutuhan ekonomi dan mendesak. Selain itu, terdapat
pula petani pemilik yang memanen ketika tanaman kayu telah masak tebang sekitar
lima tahun tanam (23.33%). Pemanenan saat telah masak tebang ini memiliki tujuan
dari sebagian petani, yaitu untuk memaksimalkan pendapatan dari kebun. Menurut
sebagian petani pemilik, pemanenan yang belum cukup waktu penebangan dapat
mengurangi pendapatan. Petani pengelola (73.33%) melakukan pemanenan pada
saat masak tebang atau panen (Gambar 1). Hal tersebut karena pemilik lahan
menginginkan hasil panen yang optimal dari kebun yang diusahakannya.
100.00%
80.00%

76.67%

73.33%

60.00%
40.00%

23.33%

20.00%

20.00%

6.67%

0.00%
Kebutuhan

Hama penyakit

Petani pemilik

Masak tebang/panen

Petani pengelola

Sumber : data olahan

Gambar 1 Alasan penebangan petani pemilik dan petani pengelola
Petani pengelola yang melakukan penebangan selain perintah pemilik lahan
merupakan pengecualian. Sebagian kecil petani pengelola (33.33%) diberi
kebebasan menanam tanaman di lahan kelolaannya selain tanaman inti, tetapi tidak
diberi gaji. Kebebasan tersebut sebagai imbalan pemilik lahan terhadap pekerjaan
yang dilakkan petani pengelola. Petani pengelola seperti ini diberi kebebasan
menanam tanaman selain tanaman inti sehingga dapat memanen sesuai keperluan
sendiri. Kemudian sebagian besarnya (76.66%) tidak diberi kebebasan sedikitpun
untuk menanamam tanaman di lahan kelolaannya selain tanaman inti, tetapi diberi
gaji rata-rata sebesar Rp1.000.000/bulan. Antara petani pengelola dan pemilik
lahan dalam hal ini tidak melakukan bagi hasil. Seluruh hasil dari tanaman inti
menjadi hak milik pemilik lahan.

14

Seluruh petani baik pemilik maupun pengelola melakukan penebangan pohon
kayu menggunakan jasa tengkulak. Jasa tersebut membeli kayu saat masih
berbentuk pohon berdiri. Jika petani melakukan penebangan sendiri dengan
menggunakan jasa buruh harian, maka biasanya menggunakan buruh dengan upah
Rp70.000/orang/hari. Upah tersebut merupakan upah untuk menebang, menyarad,
dan mengangkut. Beberapa petani pemilik dan petani pengelola menggunakan jasa
borongan atau jasa buruh panen saat memanen tanaman buah. Jika pemanenan
tanaman buah menggunakan bantuan jasa borongan, maka hasil panen langsung
menjadi hak milik pemborong. Jika pemanenan menggunakan jasa buruh panen,
maka buruh panen hanya bekerja sebagai buruh dengan diberi upah dan hasil panen
tetap dimiliki petani untuk dijual sendiri atau disetor ke pemilik lahan. Ketika
pemanenan cengkih menggunakan jasa buruh panen maka upah buruh panen, yaitu
sebesar Rp2.500/kg cengkih yang diperoleh.
Pengolahan hasil
Kegiatan setelah sub sistem produksi adalah sub sistem pengolahan hasil.
Petani pemilik tidak melakukan pengolahan hasil terhadap tanaman kayu. Petani
pemilik lebih memilih menjual langsung pohon berdiri kepada tengkulak. Pohon
yang dapat dijual ialah pohon yang telah berdiameter 15 cm ke atas. Jika pohon
yang dijual secara borongan maka harga berdasarkan sistem kubikasi. Harga untuk
kayu sengon dan afrika ialah Rp450.000/m³. Hasil panen dari tanaman buah
(cengkih) lebih banyak dijual sendiri dengan cara mengeringkan biji cengkih
sehingga menjadi cengkih kering guna meningkatkan harga jual. Harga cengkih
basah yaitu Rp30.000/kg, sedangkan harga cengkih kering rata–rata Rp120.000/kg.
Hanya sebagian petani yang menjual langsung kepada pemborong. Hal berbeda
dilakukan oleh petani pengelola, karena lahan yang digarap dan seluruh tanaman
inti (tanaman kayu atau tanaman cengkih) milik pemilik lahan maka petani
pengelola akan menyetorkan hasil panen kepada pemilik lahan. Hanya saja,
menyetorkan hasil panen kayu yang disetorkan berupa uang. Hal tersebut
disebabkan, petani pengelola langsung menjual ke tengkulak berupa pohon berdiri.
Hasil cengkih disetorkan kepada pemilik lahan berupa cengkih basah.
Dampak Sosial dari Aspek Tenurial Hutan Rakyat
Keberadaan hutan rakyat di Desa Purasari yang banyak dimiliki oleh
masyarakat luar/investor berdampak terhadap keadaan sosial masyarakat setempat.
Beberapa indikator dampak sosial yang dapat terjadi akibat perubahan tenurial
berdasarkan Afianto (2002) yaitu, lahan garapan semakin sempit, serta
kecemburuan sosial terhadap petani pengelola, berubahnya model penanaman yang
dilakukan oleh petani pengelola, dan menambah lapangan pekerjaan. Indikator
tersebut terjadi di lingkungan masyarakat khususnya petani Desa Purasari, baik
petani pemilik maupun petani pengelola.
Petani pemilik
a. Lahan garapan semakin sempit
Menyempitnya lahan garapan yang dirasakan petani pemilik dapat
disebabkan oleh adanya lahan milik investor. Selain itu, faktor pendukung lainnya
ialah adanya sistem waris. Lahan yang diwariskan dari suatu keluarga masyarakat

15
dibagi-bagikan kepada pihak-pihak yang memiliki hak waris. Oleh karena itu, lahan
yang dimiliki petani dari satu generasi ke generasi berikutnya akan semakin
menyempit. Pada saat-saat tertentu, petani berlahan sempit cenderung akan menjual
lahannya karena pendapatan yang diperoleh dari lahan yang dimiliki tidak
mencukupi kebutuhan rumah tangga mereka.
Sebagian besar pendapatan rumah tangga masyarakat Desa Purasari diperoleh
dari kegiatan usaha tani yang memerlukan lahan sebagai faktor produksi utama.
Hak menguasai atas lahan yang lemah menyebabkan para petani kecil kurang
mampu mencukupi kebutuhan hidup sehari–hari. Bagi masyarakat desa, luas lahan
garapan mencerminkan kesejahteraan. Peran lahan sangat penting bagi kehidupan
masyarakat desa, karena identik dengan status sosial rumah tangga. Iriani (2008)
menyatakan bahwa kepemilikan lahan di suatu desa oleh petani setempat dinilai
memiliki arti penting dalam sektor ekonomi dan sosial. Ketimpangan pemilikan dan
penguasaan lahan disebabkan oleh kepemilikan lahan oleh investor yang sangat
berlebihan. Ariwijayanti (2011) menyatakan bahwa kemiskinan di desa khususnya
bagi para petani disebabkan oleh ketidakmerataan penguasaan atas lahan pertanian
untuk dikelola. Situasi tersebut menjadikan lahan yang dimiliki petani asli setempat
menjadi semakin sempit. Akibatnya, rata-rata kontribusi hutan rakyat terhadap total
pendapatan responden petani pemilik hanya 36.9%. Hal itu lebih rendah
dibandingkan dengan rata-rata kontibusi hutan rakyat terhadap total pendapatan
responden petani pengelola yang sebesar 66.1%. Maka dari itu, sebesar 56.67%
responden petani pemilik merasakan dampak tersebut.
b. Kecemburuan sosial terhadap petani pengelola
Ketika terjadi pembelian lahan oleh masyarakat luar, sedikitnya terdapat satu
orang yang dikuasakan untuk mengelola lahan tersebut. Beberapa petani setempat
sebagai pemilik sebelumnya akan tersingkir dari pekerjaan produktifnya sebagai
petani di lahan tersebut. Dahulu, para petani pemilik sebelumnya dapat menggarap
lahan untuk menghidupi keluarga. Namun sekarang, para petani tidak dapat
menggarap lahan karena sebagian besar lahan hutan rakyat dibeli oleh masyarakat
luar dan dikelolakan kepada petani pengelola pilihannya. Maka dari itu, akan timbul
dampak kecemburuan sosial terhadap petani pengelola. Hal ini sesuai dengan
penelitian Afianto (2002), bahwa petani tersingkir dari pekerjaan produktifnya
karena terjadi alih fungsi lahan yang dikuasai oleh masyarakat luar. Hal inilah yang
menyebabkan kecemburuan terhadap pengelola. Padahal, menurut Ruswandi
(2005) menyatakan bahwa dengan menggarap lahan milik orang lain kontinuitas
usaha pada lahan milik orang lain kurang terjamin. Apabila suatu lahan dijual
pemiliknya atau diganti penggarapnya maka petani kehilangan lahan tersebut.
Kecemburuan petani pemilik terlihat pada sikap iri yang ditujukan kepada petani
pengelola. Sebesar 36.67% responden petani pemilik merasakan dampak tersebut.
Petani pengelola
a. Menambah lapangan pekerjaan
Kepemilikan lahan oleh masyarakat luar secara besar–besaran ternyata tidak
hanya berdampak negatif. Dampak positif pun dirasakan, tetapi hanya oleh petani
pengelola. Beberapa responden petani pengelola (90.00%) menyatakan bahwa
dengan adanya pemilikan lahan masyarakat luar dapat menambah lapangan
pekerjaan. Hal itu terjadi karena para petani pengelola merasa tertolong dengan

16

adanya lahan–lahan milik investor. Petani pengelola diberikan izin untuk menjaga
dan mengelolanya lahan tersebut. Dengan kata lain, para petani tersebut dapat
bekerja sebagai petani pengelola sehingga memperoleh penghasilan untuk
menghidupi keluarganya. Hal ini sejalan dengan Winarso (2012), menjelaskan
bahwa salah satu dampak positif adanya pemilikan lahan oleh masyarakat luar,
yaitu meningkatkan lapangan pekerjaan bagi petani tunakisma (petani yang tidak
memiliki lahan).
b. Berubahnya model penanaman yang dilakukan oleh petani pengelola
Selain itu, dampak yang terjadi ketika petani pemilik telah berubah menjadi
petani pengelola ialah model penanaman yang dilakukan. Dahulu, ketika masih
menjadi petani pemilik, penanaman yang dilakukan sesuai dengan keinginan
sendiri baik jenis hutan rakyat yang diinginkan. Tanaman yang ditanam merupakan
tanaman yang dibutuhkan untuk memenuhi keperluannya, baik untuk di jual
maupun konsumsi pribadi. Biasanya lahan yang dikelola petani pemilik berupa
kebun campuran, dengan jenis tanaman kayu, buah-buahan, dan juga tanaman
palawija sebagai tumpang sarinya. Namun saat menjadi petani pengelola, semua
tanaman yang ditanam di lahan mengikuti keinginan pemilik lahan. Afianto (2002)
menyatakan jika petani pengelola itu hanya memiliki kewajiban untuk mengolah
lahan hingga menghasilkan produksi tanpa bisa menentukan jenis tanaman yang
akan ditanam. Lahan yang dahulu berupa hutan rakyat campuran dibabat habis dan
diganti dengan tanaman satu jenis (sengon maupun cengkih). Model penanaman
tersebut akan berubah. Hal tersebut juga akan berakibat pada kurang
berkembangnya inisiatif dan inovasi dari petani pengelola. Data yang diperoleh
menunjukkan bahwa 30.00% petani pengelola merasakan dampak tersebut.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Lahan di Desa Purasari secara garis besar diperoleh dengan cara membuka
hutan kemudian diwariskan secara turun–temurun kepada generasi berikutnya.
Memasuki tahun 1980 mulailah para investor luar berdatangan dan mengusahakan
kebun cengkih. Oleh karena itu, pengelolaan hutan rakyat di Desa Purasari saat ini
terdiri dari dua kategori, yaitu pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan petani
pemilik dan pengelolaan yang dilakukan petani pengelola. Terdapat perbedaan
pengelolaan yang dilakukan antara kedua kelompok responden tersebut, terutama
pada sub sistem produksi dan sub sistem pengolahan hasil. Kegiatan persiapan
lahan terdapat perbedaan dalam penggunaan jasa buruh tani, 13.33% petani pemilik
dan 30.00% petani pengelola. Kegiatan penanaman petani pemilik menyediakan
bibit tanaman kayu sebanyak 56.66% dari cabutan an