Struktur Agraria Masyarakat Desa Hutan Dan Implikasinya Terhadap Pola Pemanfaatan Sumberdaya Agraria (Studi Kasus: Masyarakat Kampung Pel Cianten, Desa Purasari, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)

(1)

STRUKTUR AGRAR

IMPLIKASINYA

SUM

(Studi Kasus: Masyarakat Kamp

Kabupa

DEPARTEMEN SAINS KOM FAKUL

INST

ARIA MASYARAKAT DESA HUTAN DA

A TERHADAP POLA PEMANFAATAN

UMBERDAYA AGRARIA

mpung Pel Cianten, Desa Purasari, Kecamatan Leu upaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)

SYIFA MAHARANI I34070082

MUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYA FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

NSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

DAN

N

euwiliang,


(2)

ABSTRACT

SYIFA MAHARANI. Agrarian Structure of Forest Community and its Implication to Agrarian Resources Utilization (Case: Kampung Pel Cianten, Desa Purasari, Leuwiliang Subdistric, Bogor Regency, West Java). Supervised by SATYAWAN SUNITO.

The village Pel Cianten is located within area of HGU PTP Nusantara VIII. From de jure sight, people do not really have the property right for the land. The people use the histories to legitimate the land use for their own. From the point of view of PTP Nusantara VIII and TNGHS, the people access to the land is included as an illegal access. The method used is a qualitative and quantitative approach. Factors that affecting people access to the land are: social relation, social identity, and capital. The land accesses still become a crucial factor to their mean of support although the research shows that there is a tendency of non-land resources relevancy movement as the mean of support. Key words: Land, Access, Means of Support


(3)

RINGKASAN

SYIFA MAHARANI. STRUKTUR AGRARIA MASYARAKAT DESA HUTAN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP POLA PEMANFAATAN SUMBERDAYA AGRARIA: Kasus Masyarakat Kampung Pel Cianten, Desa Purasari, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. (Dibawah bimbinganSATYAWAN SUNITO)

Sejarah politik agraria Indonesia sejak masa prakolonial menunjukkan bentuk penguasaan sumberdaya agraria yang sentralistik oleh Negara. Tipe penguasaan demikian diadopsi hingga saat ini. Masyarakat desa hutan, merupakan masyarakat yang berada pada margin forest. Kampung Pel Cianten merupakan salah satu yang termasuk dalam masyarakat desa hutan, yang berada di tengah kawasan HGU PTP. Nusantara VIII dan Taman Nasional Gunung Halimun Salak.

Tujuan Penelitian ini adalah: 1) Untuk mengetahui akses warga dalam kondisi penguasaan sumberdaya agraria yang didominasi Taman Nasional dan perusahaan perkebunan besar, 2) Untuk mengetahui bagaimana struktur akses warga terhadap sumberdaya agraria mempengaruhi penghidupan warga, 3) Untuk mengetahui mekanisme akses warga terhadap sumberadaya agraria, dan 4) Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi akses sumberdaya agraria oleh warga.

Penelitian dilaksanakan di Kampung Pel Cianten, Desa Purasari, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif yang didukung dengan pendekatan kuantitatif. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam, pengamatan berperan serta, analisis dokumen, dan didukung dengan kuisioner. Menurut hasil pendataan sensus penduduk tahun 2010, warga Kampung Pel Cianten terdiri atas 313 kepala rumah tangga. Unit analisis dalam penelitian ini adalah 33 kepala rumah tangga yang ditentukan dengan teknik stratified random sampling.

Distribusi penguasaan lahan diantara warga sangat timpang. Sebanyak 66,71 persen responden berada dalam kategori petani gurem dengan luas lahan garapan yang dikuasai hanya kurang dari 0,5 hektar. Bahkan 24,20 persen dari seluruh responden adalah tunakisma. Sedangkan 9,09 persen responden lainnya menguasai lahan garapan dengan luas lebih dari samadengan satu hektar. Rata-rata penguasaan lahan garapan pertanian oleh warga adalah 0,08 hektar per kepala rumah tangga. Kondisi tersebut menunjukkan akses warga terhadap sumberdaya agraria sangat terbatas di tengah penguasaan oleh pihak PTP. Nusantara VIII dan Taman Nasional Gunung Halimun Salak.

Secara de jure warga memang tidak memiliki hak milik untuk lahan garapan mereka. Warga menggunakan justifikasi sejarah sebagai legitimasi penguasaan lahan. Dalam sudut pandang PTP. Nusantara VIII dan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, penguasaan lahan oleh warga termasuk dalam mekanisme akses illegal. Faktor modal merupakan hal utama yang mempengaruhi akses warga terhadap tanah. Akses warga terhadap tanah sangatlah terbatas dan di tengah dominasi penguasaan faktor akses oleh Negara. Struktur penguasaan yang demikian menghasilkan masyarakat petani yang kental dengan budaya agraris, namun tanpa akses terhadap tanah.


(4)

STRUKTUR AGRARIA MAS TERHADAP POL (Kasus Masyarakat Kampun Kabupa

S Y

Sebagai Per Sarjana Komu

Fakultas Ekol

DEPARTEMEN SAINS KOM FAKUL

INST

ASYARAKAT DESA HUTAN DAN IMPLIKAS LA PEMANFAATAN SUMBERDAYA AGRARI ung Pel Cianten, Desa Purasari, Kecamatan Leuwili upaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)

S Y I F A M A H A R A N I

SKRIPSI

Persyaratan untuk Memperoleh Gelar munikasi dan Pengembangan Masyarakat

Pada

ologi Manusia, Institut Pertanian Bogor

MUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYA FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

NSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

ASINYA RARIA

wiliang,


(5)

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang ditulis oleh:

Nama Mahasiswa : Syifa Maharani

NRP : I34070082

Judul : Struktur Agraria Masyarakat Desa Hutan dan Implikasinya terhadap Pola Pemanfaatan Sumberdaya Agraria (Kasus: Masyarakat Kampung Pel Cianten, Desa Purasari, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)

Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Satyawan Sunito NIP: 19520326 199103 1 001

Mengetahui, Ketua Departemen

Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP: 19550630 198103 1 003 Tanggal Lulus:


(6)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL

“STRUKTUR AGRARIA MASYARAKAT DESA HUTAN DAN

IMPLIKASINYA TERHADAP POLA PEMANFATAAN SUMBERDAYA AGRARIA (KASUS: MASYARAKAT KAMPUNG PEL CIANTEN, DESA PURASARI, KECAMATAN LEUWILIANG, KABUPATEN BOGOR, PROVINSI JAWA BARAT)” ADALAH BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI MANAPUN. SEMUA DATA DAN INFORMASI YANG DIGUNAKAN TELAH DINYATAKAN DENGAN JELAS DAN DAPAT DIPERIKSA KEBENARANNYA.

Bogor, Februari 2011

Syifa Maharani I34070082


(7)

RIWAYAT HIDUP

SYIFA MAHARANI. Penulis dilahirkan di Kuningan, Jawa Barat pada tanggal 23 November 1989. Penulis merupakan anak tunggal dari pasangan Bapak Drs. Didi Sunardi (ALM) dan Ibu N. Iceu Syaharani. Penulis menamatkan pendidikannya di TK Aisyiyah II Jalaksana pada tahun 1995, SDN III Jalaksana pada tahun 2001, SMP Negeri 1 Kuningan tahun 2004, dan SMA Negeri 2 Kuningan pada tahun 2007. Kemudian pada tahun 2007 Penulis langsung diterima menjadi mahasiswi Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat.

Selama melaksanakan perkuliahan di kampus, penulis aktif dalam kegiatan mahasiswa, yaitu sebagai staf divisi Advertising and Multimedia Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (HIMASIERA) pada tahun 2008-2009. Penulis juga aktif sebagai anggota dan pengurus Organisasi Mahasiswa Daerah Himpunan Mahasiswa Aria Kamuning (HIMARIKA) Kuningan sejak tahun 2007 dan menjadi sekretaris II HIMARIKA pada kepengurusan tahun 2008-2009, serta kemudian menjadi sekretaris umum pada tahun 2009-2010. Penulis menjadi siswa Leadership and Entrepreneurship School (LES) angkatan II yang diselenggarakan BEM KM IPB pada tahun 2007-2008 dan kemudian menjadi staf akademik pada institusi tersebut pada tahun 2008-2009. Penulis pun aktif dalam berbagai kepanitian kegiatan kampus.

Selain itu, Penulis pun aktif dalam jalur akademik sebagai Asisten Dosen Mata Kuliah Sosiologi Umum selama dua semester berturut-turut pada tahun ajaran 2009/2010, Asisten Dosen Mata Kuliah Pengantar Ilmu Kependudukan pada tahun ajaran 2009/2010, Asisten Dosen Mata Kuliah Kajian Agraria pada tahun ajaran 2010/2011, serta termasuk dalam salah satu dari tiga anggota Tim Tutorial Mata Kuliah Sosiologi Umum untuk Mahasiswa Asing Institut Pertanian Bogor pada tahun ajaran 2009/2010.

Adapun prestasi yang pernah diraih selama menjalani pendidikan S1 di IPB, yaitu: Juara II Lomba Karya Tulis Ilmiah Tingkat Nasional mengenai Gender yang diselenggarakan Harian Jurnal Nasional tahun 2010, Juara III Debat Ekologi “Index 2010” Tingkat Nasional yang diselenggarakan BEM FEMA-IPB tahun 2010, Peserta Program Kreativitas Mahasiswa bidang Artikel Ilmiah (PKM-AI) yang didanai Dikti tahun 2010, Finalis Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) XXII di Universitas Brawijaya Malang untuk kategori Program Kreativitas Mahasiswa bidang Teknologi (PKM-T) tahun 2009, Juara 1 Lomba Jawara Debat Politik tingkat Mahasiswa TPB yang diselenggarakan BEM TPB tahun 2008, dan 3rd Best Opinion untuk bidang Politik tingkat Mahasiswa TPB yang diselenggarakan DPM TPB tahun 2008.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya yang telah dilimpahkan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Dr. Satyawan Sunito yang telah membimbing penulis dalam penulisan studi pustaka dan skripsi. Penulisan skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Judul skripsi ini adalah Struktur Agraria Masyarakat Desa Hutan dan Implikasinya terhadap Pola Pemanfaatan Sumberdaya Agraria (Kasus: Masyarakat Kampung Pel Cianten, Desa Purasari, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola pemanfaatan sumberdaya agraria oleh warga, faktor-faktor yang mempengaruhi akses masyarakat, dan mekanisme akses yang dilakukan warga dalam memanfaatkan sumberdaya agraria. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak yang bersangkutan yang berkaitan dengan bidang agraria dan ekologi politik, yaitu bagi akademisi terutama penulis, pihak pemerintah, dan masyarakat.

Bogor, Februari 2010


(9)

UCAPAN TERIMAKASIH

Penyelesaian penulisan skripsi ini tidak lepas dari nikmat dan rahmat yang dianugerahkan ALLAH SWT kepada penulis, serta bantuan dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian Skripsi ini, antara lain:

1. Dr. Satyawan Sunito sebagai Dosen Pembimbing Skripsi atas kesabarannya serta bimbingannya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

2. Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS dan Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS sebagai Dosen Penguji Utama dan dosen Penguji wakil Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat atas kesediannya untuk menguji dan memberikan saran yang berguna bagi penulisan skripsi ini. 3. Martua Sihaloho, SP, M.Si, yang senantiasa memotivasi penulis agar dapat

segera menyelesaikan penulisan skripsi ini.

4. Kedua orangtua, Drs. Didi Sunardi (ALM) dan N. Iceu Syaharani, serta seluruh keluarga besar yang senantiasa menjadi pemacu inspirasi dan motivasi penulis untuk terus berkarya.

5. Seluruh masyarakat Cianten Desa Purasari, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, staf PT. Perkebunan Nusantara VIII Cianten, dan staf Taman Nasional Gunung Gede Halimun Salak (TNGHS) atas partisipasi, keramahan, dan informasi yang sangat berguna bagi aktivitas penelitian skripsi penulis.

6. Teman satu bimbingan: Ka’ Nizar Burhanuddin, Ka’ Anindyajati Erintia Tresnani, , Ahmad “Bochad” Aulia Arsyad, Andra Dwiana Noviantri, Putri Rahmayanti, dan terutama Konny Rusdianti sebagai yang senantiasa saling memberi semangat dan berbagi informasi mengenai literatur.

7. Teman-teman Akselerasi Mayor Sains KPM’44, terutama Dina Nurdinawati, Navalinesia Relamareta, dan Bio Hafsari Larasati yang telah


(10)

berjuang bersama, saling berbagi informasi, dan saling memotivasi dalam pengerjaan Studi Pustaka dan Skripsi. Terimakasih ya teman-teman! =) 8. Teman-teman Mayor Sains KPM’44, terutama Konny Rusdianti, Alfian

Helmi, Turasih, Faris Priyanto, Utami Anastasia, dan semua teman-teman lainnya. Terimakasih untuk motivasi dan kebersamaan selama menjalani pendidikan S1 di Sains KPM IPB.

9. Teman-teman Pondok Nova, yaitu: Astri, Ashna, Rizky, Dina, Maulina, Yoshita, Fitri, Wika, Intan, dan Dewi. Terimakasih untuk motivasi dan dorongan kepasa penulis agar dapat menyelesaikan penulisan skripsi. 10. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Bogor, Februari 2011


(11)

DAFTAR

ISI

Halaman

DAFTAR ISI... x

DAFTAR TABEL... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN... xv

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 2

1.3 Tujuan ... 3

1.4 Manfaat ... 4

BAB II PENDEKATAN TEORITIS... 5

2.1 Tinjauan Pusataka ... 5

2.1.1 Ruang Lingkup dan Struktur Agararia ... 5

2.1.2 Masyarakat Desa Hutan ... 7

2.1.3 Akses ... 9

2.1.4 Taman Nasional ... 13

2.2 Kerangka Pemikiran ... 15

2.3 Hipotesa... 17

2.4 Definisi Konseptual ... 17

2.5 Definisi Operasional ... 18

BAB III PENDEKATAN LAPANG ... 19

3.1 Metode Penelitian ... 19

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian... 19

3.3 Teknik Penentuan Responden dan Informan ... 20

3.4 Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data... 21

3.5 Teknik Analisis Data... 22

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 23

4.1 Desa Purasari ... 24

4.1.1 Keadaan Geografis... 24


(12)

4.1.3 Sarana dan Prasarana... 24

4.2 PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII Kebun Cianten ... 25

4.2.1 Kondisi Geografis PTP Nusantara (PTPN) VIII Kebun Cianten ... 25

4.2.2 Tenaga Kerja Perkebunan... 27

4.2.3 Alokasi Penggunaan Lahan PTP Nusantara (PTPN) VIII ... 28

4.3 Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS) ... 30

4.3.1 Letak dan Luas Kawasan... 30

4.3.2 Aspek Ekologis ... 31

4.3.3 Aspek Sosial Budaya Masyarakat di dalam dan Sekitar Kawasan ... 32

4.4 Konteks Kampung Pel Cianten ... 34

4.4.1 Kondisi Fisik Kampung Cianten... 34

4.4.2 Aspek Sosial Masyarakat Kampung Pel Cianten ... 35

BAB V SEJARAH POLITIK AGRARIA KAMPUNG PEL CIANTEN .... 35

5.1 Politik Agraria Sektor Perkebunan ... 35

5.2 Politik Agraria Kehutanan Kawasan Halimun ... 37

5.3 Dampak Sejarah Politik Agraria terhadap Akses Masyarakat atas Lahan. 39 5.4 Kedudukan Warga dalam Kondisi Agraria Setempat... 42

5.5 Ikhtisar ... 48

BAB VI MEKANISME AKSES DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI AKSES WARGA TERHADAP LAHAN... 50

6.1 Cara Memperoleh Lahan Garapan... 50

6.1.1 Buka Sendiri ... 51

6.1.2 Waris ... 52

6.1.3 Ganti Rugi ... 52

6.1.4 Bagi Hasil ... 53

6.2 Faktor yang Mempengaruhi Akses Warga terhadap Tanah dan Tumbuhnya Relevansi Sumberdaya Non Tanah ... 53

6.3 Ikhtisar ... 61

BAB VII ARTI DAN PERAN TANAH BAGI MASYARAKATPERKEBUNAN DESA HUTAN ... 63

7.1 Kegiatan Pertanian Warga... 63


(13)

7.1.2 Arti Pertanian bagi Warga ... 65

7.1.3 Aktivitas Pengolahan Lahan Pertanian oleh Warga... 67

7.2 Penguasaan Tanah oleh Warga... 73

7.2.1 Lahan Pemukiman... 73

7.2.2 Tanah Garapan Pertanian ... 75

7.3 Ikhtisar ... 81

BAB VIII KESIMPULAN DAN IMPLIKASI: TERCIPTANYA MASYARAKAT TANI MARGINAL ... 82


(14)

DAFTAR TABEL

Nomor ... Halaman Teks

Tabel 1 Tabel Zonasi Taman Nasional ... 14 Tabel 2 Alokasi Luas Penggunaan Lahan PTP. Nusantara VIII

Kebun Cianten Tahun 2010 ... 29 Tabel 3 Jenjang Kepegawaian dan Jumlah Karyawan PTP Nusantara

VIII Kebun Cianten Bulan November 2010 ... 44 Tabel 4 Cara Perolehan Lahan Garapan Responden ... 50 Tabel 5 Kalender Umum Kegiatan Bercocok Tanam Warga... 67 Tabel 6 Spesifikasi Pekerjaan Pengolahan Tanah oleh Warga Kampung

Pel Cianten Tahun 2010 ... 69 Tabel 7 Jenis Komoditas Pertanian yang Diusahakan Warga di Lahan

Garapan Pertanian ... 71 Tabel 8 Distribusi Rumah Tangga Responden menurut Kelas Pemilikan

Lahan di Kampung Pel Cianten Tahun 2010... 77 Tabel 9 Distribusi Rumah Tangga Responden menurut Jenis Pekerjaan


(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor ... Halaman Teks

Gambar 1 Lingkup Struktur Agraria (Sitorus, 2002)... 6 Gambar 2 Kerangka Pemikiran ... 16 Gambar 3 RumahBedengbagi Karyawan Perkebunan ... 74


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor ... Halaman Teks

Lampiran 1 Kebutuhan Data dan Metode Pengumpulan Data... 88 Lampiran 2 Sketsa Pemukiman Warga Kampung Pel Cianten... 90 Lampiran 3 Peta Wilayah Desa Purasari, Kecamatan Leuwiliang,

Kabupaten Bogor ... 91 Lampiran 4 Contoh Surat Perjanijian Pinjam Pakai Lahan HGU antara PTP.


(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hutan merupakan kesatuan ekosistem berupa area luas yang didalamnya terdapat berbagai macam flora dan fauna. Undang-Undang No.5 tahun 1967 mengartikan hutan sebagai lapangan bertumbuhan pohon-pohon yang secara menyeluruh merupakan persekutuan hidup alam hayati berserta alam lingkungannya. Pengertian tersebut secara implisit menunjukkan hubungan antar komponen penyusun hutan dengan kondisi sekitar yang terkait dengan hutan baik secara langsung maupun tidak langsung, termasuk manusia sebagai aktor pemanfaat sumberdaya agraria hutan.

Menurut Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) luas hutan Indonesia adalah 140,4 juta hektar atau sekitar 70% dari total luas daratan Indonesia, yang terdiri atas kawasan hutan tetap seluas 113,8 juta hektar dan kawasan hutan produksi seluas 26,6 juta hektar. Selain cakupan wilayahnya yang luas, hutan Indonesia memiliki potensi keanekaragaman yang sangat tinggi. Didalamnya terdapat ribuan jenis flora dan ribuan spesies fauna. Keanekaragaman hutan merupakan sumberdaya yang memiliki nilai strategis bagi kehidupan manusia. Makna hutan dalam kehidupan masyarakat tidak hanya memberikan fungsi ekonomi, namun juga memberikan fungsi sosial, budaya, bahkan religi. Makna hutan yang tinggi sebagai sumber agraria potensial membuat akses terhadap hutan sebagai hal yang penting dan fundamental bagi masyarakat.

Penelusuran mengenai sejarah penguasaan hutan dari masa ke masa menunjukkan posisi yang tidak setimbang antara subyek-subyek agraria yang terlibat dalam penguasaan dan pemanfaatan hutan. Kuasa negara sangat dominan, terlihat dari kebijakan penguasaan hutan yang sentralistik dalam kerangka UU Agraria Nasional. Dominasi negara kemudian membatasi ruang gerak masyarakat dalam mengambil manfaat dari hutan.

Kebijakan politik agraria pertama adalahAgrarische Wetyang dikeluarkan tahun 1870 memberikan legitimasi mutlak kepada pemerintah (negara) untuk menguasai seluruh lahan yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya melalui asas Domeinverklaring. Secara implisit asas Domeinverklaring ini membatasi


(18)

masyarakat untuk melakukan kegiatan pemanfaatan, pemilikan, dan penguasaan lahan (termasuk hutan). Memasuki masa kemerdekaan, sistem penguasaan warisan kolonial ini diadaptasi dan diterapkan oleh pemerintahan Indonesia hingga saat ini. Inti dari setiap kebijakan politik agraria yang dikeluarkan pemerintah tetap sama yaitu: pembatasan akses dan kontrol masyarakat sebagai akibat relasi kekuasaan (power relation) antara negara dan petani (masyarakat) yang timpang.

Saat ini terdapat kurang lebih 19.410 desa yang digolongkan sebagai desa hutan yang tersebar di 32 propinsi di Indonesia. Data yang dikemukakan oleh CIFOR (2004) dan BPS (2000)1 menggambarkan bahwa kurang lebih 48,8 juta orang dari 220 juta penduduk Indonesia tinggal di kawasan hutan dan sekitar 10,2 juta diantaranya tergolong miskin. Salah satu penyebabnya adalah ketiadaan akses masyarakat sekitar hutan akibat pengaruh kekuasaan negara dan swasta di sektor kehutanan baik untuk kegiatan konservasi maupun kegiatan produksi.

1.2 Perumusan Masalah

Kondisi seperti itu ditemukan pula pada masyarakat yang berada di sekitar kawasan Halimun. Kawasan Halimun merupakan salah satu obyek agraria tua di Indonesia dan mencakup tiga wilayah, yaitu Sukabumi, Bogor, dan Banten. Pengelolaan kawasan Halimun tidak bisa dipisahkan dari intervensi kebijakan pemerintah yang berkuasa pada masanya melalui setiap kebijakan politik dan ekonominya. Sejarah kebijakan tata ruang Halimun telah dimulai sejak pemerintahan Hindia Belanda sampai sekarang. Kebijakaan tanah partikelir pada tahun 1700-an dan sistem tanam paksa pada tahun 1800-an telah membatasi akses masyarakat setempat untuk membuka lahan. Pembatasan ini juga diperparah oleh penetapan kawasan hutan dan kawasan pangan pada zaman pendudukan Jepang yang berlanjut hingga saat ini. Pemerintah menetapkan kawasan Halimun sebagai Taman Nasional dan kawasan perkebunan melalui Hak Guna Usaha (HGU).

Dalam konteks penguasaan lahan di Kawasan Halimun, Kampung Pel Cianten, Desa Purasari, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor menjadi salah satu lokasi pemanfataan lahan dan sumberdaya agraria. Desa ini berada tepat 1

Dikutip dari artikel“Pemantapan Kawasan Hutan(Kebijakan Prioritas Departemen Kehutanan)” dalam Warta Tenure edisi Januari 2006.


(19)

ditengah kawasan PT. Perkebunan Nasional (PTPN) VIII Cianten dan Taman Nasional Halimun Salak (TNGHS).

Mayoritas penduduk Desa Purasari, menggantungkan hidupnya secara langsung kepada pihak perkebunan dan taman nasional. Hampir seluruh penduduknya bermata pencaharian sebagai buruh petik perkebunan yang ditopang pula oleh kegiatan pertanian yang bersifat subsisten pada lahan yang berada pada kawasan Taman Nasional dan perkebunan. Hal yang menarik untuk diamati dan dikaji adalah mengenai penguasaan lahan, dimana masyarakat setempat tidak mempunyai hak milik untuk setiap lahan yang mereka usahakan. Kondisi ini berkaitan dengan lokasi Desa Purasari yang berada di tanah kuasa perkebunan dan taman nasional, sehingga setiap bentuk kegiatan penggunaan lahan dan pemanfatan sumberdaya akan sangat tergantung pada kebijakan perkebunan dan taman nasional.

Dari pemaparan tersebut, penulis memfokuskan pada kajian tema struktur agraria dan kemudian secara spesifik penelitian ini akan memusatkan perhatian pada permasalahan berikut:

1. Bagaimana akses warga terhadap sumberdaya agraria dalam struktur penguasaan yang didominasi taman nasional dan perusahaan perkebunan? 2. Bagaimana pengaruh struktur akses warga pada sumberdaya agraria terhadap

penghidupan warga?

3. Bagaimana mekanisme akses warga dan bentuk penguasaan sumberdaya agraria dalam kondisi struktur agraria setempat?

4. Faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi mekanisme akses warga dan bentuk penguasaan sumberdaya agraria yang terjadi pada warga setempat?

1.3 Tujuan

Mengacu pada perumusan masalah diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk memahami struktur akses sumberdaya agraria oleh masyarakat desa hutan dan pengaruhnya terhadap penghidupan warga setempat dalam kondisi struktur penguasaan yang didominasi oleh taman nasional dan perusahaan perkebunan. Selain itu untuk memahami mekanisme akses dan bentuk penguasaan sumberdaya agraria masyarakat desa hutan. Gambaran mengenai mekanisme akses dan bentuk


(20)

penguasaan sumberdaya agraria masyarakat desa hutan didukung dengan identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi aksesibilitas masyarakat dalam menguasai dan memanfaatkan sumberdaya agraria. Pemahaman terhadap hal-hal tersebut tersebut dapat membawa pada tujuan utama penelitian ini yaitu untuk memahami struktur agraria masyarakat desa hutan di Desa Purasari, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor.

1.4 Manfaat

Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitan yang telah dipaparkan, maka kegunaan dari penelitian ini antara lain:

1. Pihak Akademisi

Penelitian ini diharapkan mampu menambah khasanah dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Terutama yang terkait dengan struktur agraria dan pola pemanfaatan sumberdaya agraria pada masyarakat desa hutan.

2. Pihak Masyarakat

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan wawasan dan pemahaman kepada masyarakat mengenai struktur agraria dan pola pemanfaatan sumberdaya agraria pada masyarakat desa hutan.

3. Pihak Pemerintah

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan berupa kritik dan saran kepada pemerintah sebagai pembuat kebijakan agar lebih teliti dalam menetapkan kebijakan yang terkait dengan kegiatan pemanfaatan sumberdaya agraria dan keberadaan masyarakat sekitar hutan.


(21)

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS

2.1 Tinjauan Pusataka

2.1.1 Ruang Lingkup dan Struktur Agararia

Istilah “agraria” secara etimologis berasal dari bahasa Latin ager yang artinya lapangan, pedusunan, atau wilayah tanah negara (Prent et.al, 1969 & World Book Dictionary, 1982 dalam Wiradi 2008). Menurut Sitorus (2002) cakupan agraria lebih luas dari sekedar tanah, namun juga meliputi seluruh materi yang ada didalam dan diatasnya, yaitu: air, udara, bahan tambang, dan manusia. Agraria merupakan bentang alam yang mencakup keseluruhan kekayaan alami (fisik dan hayati) yang menjadi objek agraria serta kehidupan sosial antar subjek pemanfaat sumber agraria yang terdapat di dalamnya.

Undang-Undang Pokok Agraria No.5/1960 memetakan objek agraria sebagai “seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan yang ada didalamnya…” (Pasal 1 Ayat 2). Pengertian bumi selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi dibawahnya serta yang berada di bawah laut (Pasal 1 Ayat 4). Sedangkan ruang angkasa ialah ruang diatas bumi dan air tersebut (Pasal 1 Ayat 6). Selanjutnya dari pengertian tersebut, Sitorus (2002) menyimpulkan bahwa yang disebut sebagai objek agraria meliputi:

1. Tanah atau permukaan bumi, yang merupakan modal alami utama dari pertanian dan peternakan, yaitu sebagai lahan usaha tani dan padang rumput. 2. Perairan, yang merupakan modal alami dalam kegiatan perikanan, baik

perikanan sungai maupun perikanan danau dan laut. Pada dasarnya perairan merupakan arena penangkapan ikan(fishing ground)bagi komunitas nelayan. 3. Hutan, merupakan modal alami utama dalam kegiatan ekonomi komunitas

perhutanan yang hidup dari pemanfaatan beragam hasil hutan menurut tata kearifan lokal.

4. Bahan tambang, yang terkandung dalam “tubuh bumi”, seperti minyak, gas, emas, bijih besi, timah, intan, batu mulia, fosfat, pasir, batu, dan lain-lain.


(22)

5. Udara, yang termasuk juga materi “udara” sendiri. Arti penting materi udara sebagai sumber agraria baru semakin terasa belakangan ini setelah polusi asap mesin atau kebakaran hutan mengganggu kenyamanan, keamanan, dan kesehatan manusia.

Adapun pihak yang disebut sebagai subjek agraria adalah pihak yang terlibat dalam memanfaatkan sumber-sumber atau obyek agraria. Sitorus (2002) membedakan subyek agraria menjadi tiga kategori, yaitu: komunitas (sebagai kesatuan dari unit rumah tangga), pemerintah (sebagai representasi negara), dan swasta (private sector). Ketiga subyek tersebut memiliki ikatan dengan sumber-sumber agraria melalui institusi penguasaan/pemilikan(tenure institution).

Hubungan penguasaan/pemilikan/pemanfaatan akan membawa implikasi terbentuknya ragam sosial, sekaligus interaksi sosial diantara ketiga subyek. Setiap subyek akan saling berhubungan secara sosial dalam rangka penguasaan dan pemnfaatan sumber agraria. Sitorus (2002) membagi analisis agraria kedalam dua bentuk. Pertama: hubungan teknis, yaitu cara kerja ketiga subyek agraria dalam pemanfaatan obyek agraria.Kedua: hubungan sosial, yaitu hubungan ketiga subyek agraria yang satu sama lain berhubungan atau berinteraksi secara sosial dalam rangka penguasaan dan pemanfaatan obyek agraria tertentu. Hubungan ketiga subyek agraria berpangkal pada perbedaan akses dalam hal penguasaan lahan. Hubungan antar subyek agraria kemudian membentuk sebuah struktur yang digambarkan melaluiGambar.1.

Keterangan:

Hubungan teknis agraria (kerja) Hubungan sosial agraria

Hubungan yang melibatkan subyek agraria menyiratkan kepentingan sosial-ekonomi masing-masing subyek berkenaan dengan penguasaan dan

Pemerintah

Sumber Agraria

Swasta Masyarakat


(23)

pemilikan atas sumber-sumber agraria. Menurut Wiradi & White (2009), penguasaan tanah bertalian erat dengan kekayaan, pendapatan, kesempatan ekonomi, dan penguasaan politik. Konsekuensi logis dari hubungan antar subyek tersebut adalah sejumlah hak dan kewajiban yang saling memberi batasan kepada setiap subyek dalam rangka penguasaan sumber agraria. Jenis hak2merentang dari hak milik, hak sewa, hingga hak pakai, dan lainnya tergantung bagaimana masyarakat yang bersangkutan menentukannya.

Menurut Wiradi (2008) konsep “pemilikan” dan “penguasaan” berbeda satu sama lain. Pemilikan menunjukkan hak atas lahan yang diakui secara legal formal. Dalam praktiknya, pemilikan merupakan penguasaan tanah secarade jure yang diakui secara sah oleh hukum Negara. Sedangkan “penguasaan” merupakan bentuk penguasaande factoyang berarti penguasaan yang dikenal, digunakan, dan diberlakukan oleh masyarakat setempat secara efektif.

2.1.2 Masyarakat Desa Hutan

Desa menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan, merupakan suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat hukum, yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah, langsung dibawah camat dan berhak menyelenggarakan rumahtangganya sendiri dengan ikatan Negara Republik Indonesia. Rajati (2006) menjelaskan desa ditimbulkan oleh unsur-unsur fisiografi, sosial, ekonomi, politik, dan kultural dalam hubungannya dengan pengaruh timbal balik dengan daerah-daerah lain. Dengan demikian, desa merupakan suatu batasan daerah geografis yang merupakan tempat hidup sekelompok manusia yang saling terikat satu sama lain oleh nilai-nilai dan budaya tersendiri.

Masyarakat adalah sekelompok manusia yang hidup bersama dalam suatu cakupan geografis tertentu dan memiliki kesadaran sebagai satu kesatuan. Anggota masyarakat saling berinteraksi satu sama lain dengan intensitas dan waktu yang lama, serta memiliki nilai dan aturan yang disepakati bersama dan bersifat mengikat seluruh anggota yang tergabung.

2

Dikutip dari Artikel Kajian dan Opini “Memahami TerminologiTenure”,Warta Tenure No.1 Edisi Januari 2006, Oleh Emila dan Suwito.


(24)

Masyarakat desa hutan merupakan sekelompok manusia yang memiliki nilai/aturan yang disepakati bersama dan hidup bersama dalam suatu pemerintahan desa yang berlokasi disekitar areal hutan. Kawasan yang disebut dengan pinggir hutan (forest margin) adalah wilayah yang pada satu atau lebih sisinya berbatasan langsung dengan wilayah kehutanan. Pada wilayah demikian, terdapat areal pertanian dengan segenap infrastruktur pendukungnya yang menjadi basis sosial ekonomi kehidupan masyarakatnya (Syahyuti, 2002).

Masyarakat desa hutan memiliki karakteristik sosial ekonomi yang khas. Masyarakat sekitar hutan di Jawa secara sosial ekonomi sangat lemah dan tergantung kepada sumberdaya hutan (Katusubrata et al. ,1995 dalam Syahyuti,2002). Ketergantungan masyarakat desa hutan dengan hutan disekitarnya terjadi tidak hanya pada aspek ekonomi dimana hutan menjadi penyedia kebutuhan hidup semata, tapi juga pada aspek ekologi dan sosial. Masyarakat (terlebih masyarakat adat) terbiasa memiliki pembagian wilayah hutan secara tradisional yang memisahkan wilayah eksploitasi dan wilayah lindung dalam rangka menjaga kelestarian hutan. Misalnya, masyarakat di kawasan Halimun membagi hutan menjadi tiga kawasan, yaitu: Leuweung Kolot atau leuweueng geledegan, Leuweung Titipan,danLeuweung Sampalan.

Secara umum, proses pembentukan masyarakat hutan berdasarkan sejarah pembentukannya dikategorikan menjadi dua, yaitu masyarakat adat dan masyarakat pendatang atau masyarakat bentukan baru. Kongres Masyarakat Adat Nusantara I tahun 1999 3mendefiniskan masyarakat adat sebagai komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur secara turun temurun diatas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya, yang diatur oleh hukum adat dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupannya.

Syahyuti (2002) dan Sondakh (2002) mengemukakan bahwa masyarakat bentukan baru di kawasan pinggir hutan terjadi karena adanya migrasi akibat pertumbuhan penduduk yang cepat, faktor bencana alam ataupun juga intervensi kebijakan pemerintah dalam rangka pemerataan pembangunan yang bersifat

3

diakses dari http://www.aman.or.id/berita-aman/7/199.html?lang=en_GB.utf8pada tanggal 4 Desember 2010


(25)

sektoral. Selain itu alasan pendorong terjadinya masyarakat bentukan baru adalah kesempatan ekonomi yang berbeda, dimana kekayaan sumberdaya agararia di sekitar hutan menjadi daya tarik untuk mendiami daerah pinggir hutan .

2.1.3 Akses

Ribot & Pelusso (2003) mengartikan akses sebagai kemampuan untuk memperoleh manfaat dari sesuatu (tanah) atas dasar penguasaan. Definisi akses cenderung mengarah pada satu gugus kekuasaan (bundle of power) yang lebih menekankan pada “kemampuan memanfaatkan” daripada “sekumpulan gugus hak” (bundle of right) dalam arti propherty rights. Akses dapat dilihat pada tatanan hubungan sosial lebih luas yang membuat seseorang dapat memperoleh keuntungan/manfaat sumberdaya dari ada atau tidaknya hubungan property.

Kekuasaan yang dimaksud dalam akses terdiri dari komponen-komponen material, kultural, dan politik-ekonomi yang saling berhimpun menjadi sebentuk gugus kekuasaan(bundle of power) dan jejaring kekuasaan (web of power) yang menentukan akses terhadap sumberdaya. Kekuasaan yang terkandung dalam akses terwujud dalam dan dipertukarkan sesuai jarak kekuasaan, ragam mekanisme, proses dan relasi sosial yang mengakibatkan kemampuan aktor dalam mengambil manfaat/keuntungan dari sumberdaya alam.

Komponen material, kultural, dan politik-ekonomi tidak statis, senantiasa mengalami perubahan dalam setiap ruang dan waktu yang berbeda bergantung pada posisi individu dalam setiap jenis relasi sosialnya. Kekuasaan melekat pada setiap bentuk hubungan dan merupakan konsekuensi dari relasi sosial. Secara empiris, akses berfokus pada isu mengenai siapa yang mendapatkan, dengan cara seperti apa, dan kapan (dalam keadaan yang seperti apa).

Istilah “tenure”dan “property relation”(hubungan kepemilikan) awalnya digunakan untuk menerangkan hubungan kepemilikan sumberdaya dan pengakuan kontrol (dalam beberapa cara melalui beberapa kelembagaan sosial). Namun lebih sering digunakan untuk menjelaskan “property right” (hak kepemilikan) yang diakui oleh hukum negara. Konsep akses menempatkan property sebagai salah satu faktor dalam aras institusi, sosial, dan politik-ekonomi yang lebih besar, yang menentukan aliran manfaat/keuntungan. Dari sudut pendekatan akses, maka


(26)

property right merupakan bagian dari kelembagaan, hubungan-hubungan sosial/politik, serta diskursus strategis yang mengatur aliran kemanfaatan.

Analisis mengenai akses secara umum terdiri atas: (1) aliran manfaat dari sumberdaya alam, (2) identifikasi mekanisme dengan aktor yang berbeda, mencakup perolehan, kontrol, dan pemeliharaan aliran keuntungan dan distibusinya, (3) analisis mengenai hubungan kekuasaan antar aktor yang mendasari mekanisme akses.

Mekanisme Akses

Menurut Ribot & Pelusso (2003), analisis mengenai mekanisme akses merupakan proses untuk mengidentifikasi dan memetakan cara bagaimana akses tersebut diperoleh, dipelihara, dan dikontrol. Mekanisme akses dibagi menjadi dua, yaitu;

1. Akses Legal

Merujuk pada pengertian property yang merupakan hak terdefinisi oleh hukum, custom, dan konvensi (MacPherson, 1978 dalam Ribot&Pelusso,2003). Hak kepemilikan berdasarkan hukum berarti memberikan kemungkinan akses yang disahkan melalui bentuk lisensi pemanfaatan dari lembaga berwenang (negara). Akses berdasarkancustom dan konvensi didapat melalui penerimaan sosial. Pemegang hak dapat menyatakan pengakuan haknya dengan aturan formal untuk mengontrol haknya.

2. Akses Ilegal

Merupakan akses langsung yang berlawanan dengan hukum,custom, dan konvensi. Akses illegal berarti pengambilan manfaat darisumberdaya melalui cara yang tidak dikehendaki secara sosial oleh negara dan masyarakat. Akses illegal biasanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan tidak melalui kaidah karena keterbatasan dalam akses, contohnya melalui tindak kekerasan dan pencurian.

Struktur dan Relasi Mekanisme Akses

Kemampuan untuk memperoleh manafaat dari sumberdaya dibatasi oleh kerangka politik-ekonomi dan budaya. Blaiki (1985)dalamRibot & Pelusso (2003)


(27)

mendapat prioritas askses. Berangkat dari pemikiran ini, Ribot & Pelusso (2003) menjelaskan bagaimana teknologi, modal, pasar, pengetahuan, otoritas, identitas sosial, dan relasi sosial akan membentuk struktur askes.

1. Akses terhadap Teknologi

Bebarapa sumberdaya tidak bisa diekstraksi tanpa menggunakan teknologi. Kontrol dan akses seseorang terhadap teknologi dapat memberikan nilai manfaat yang lebih banyak sumberdaya.

2. Akses terhadap Modal

Akses terhadap modal merupakan salah satu faktor yang memnentukan siapa yang dapat memanfaatkan sumberdaya dengan cara mengontrol atau memlihara akses mereka. Akses terhadap modal secara umum merupakan akses terhadap kekayaan danperlengkapan yang dapat digunakan dalam ekstraksi, produksi, konversi, mobilisasi tenaga kerja, dan proses lainnya ynag diasosiasikan dengan perolehan manfaat dari benda dan orang. Akses terhadap modal dapat digunakan untuk mengontrol akses sumberdaya melalui perolehan hak. Dengan kata lain, dikarenakan status dan kekuasaan dapat menghasilkan kekayaan, kekayaan tersebut mungkin juga mempunyai akses khusus kepada produksi, kesempatan, pengetahuan, otoritas dan sebagainya.

3. Akses terhadap Pasar

Kemampuan untuk memperjualbelikan sumberdaya yang tergantung pada kemampuan pemiliknya untuk masuk kedalam pasar. Secara umum, akses terhadap pasar sebagai kemampuan individu atau kelompok untuk mendapatkan, mengontrol, atau memelihara jalurmasuk pertukaran. Pasar selalu membentuk akses dalam skala yang berbeda dan terjadi secara tidak langsung. Nilai dari sumberdaya mungkin saja berubah ketika sudah mengalami modifikasi bentuk. Perluasan kekuatan pasar dalam hal supply, demand, dan harga membentuk distribusi keuntungan dari suatu komoditas. 4. Akses terhadap Tenaga Kerja

Siapa yang mengontrol akses tenaga kerja dapat memanfaatkan sumberdaya dalam beberapa tahap dimana tenaga kerja diperlukan sepanjang sumberdaya tersebut diolah (Appadurai, 1986 dalam Ribot &Pelusso, 2003). Kelangkaan sumberdaya dan surplusnya akan mengakibatkan porsi relatif dari setiap


(28)

manfaat yang dinikmati oleh siapa yang menguasai sumberdaya, siapa yang mengontrol akses kesempatan kerja, dan siapa yang mempertahankan akses meraka. Meskipun seseorang tidak memiliki akses melaluiproperty rightsdan penguasaan teknologi, namun hubungan transaksi memungkinnya untuk mendapatkan akses sumberdaya melalui hubungan kerja dengan orang yang memiliki pemilikan sumberdaya melalui mekanisme akses tertentu.

5. Akses terhadap Pengetahuan

Kepercayaan, ideologi, dan tindakan diskursiv membentuk akses. Kontrol terhadap pengetahuan dan informasi mempunyai keuntungan langsung. Informasi mengenai teknologi mungkin saja disembunyikan untuk menjaga hubunganpatron-client.

6. Akses terhadap Otoritas

Merupakan hak khusus yang dimiliki melalui kewenangan yang dimiliki individu untuk memanfaatkan sumberdaya. Hukum legal membentuk akses terhadap sumberdaya, modal, pasar, dan tenaga kerja. Hukum legal, custom, dan konvensi saling tumpangtindih satu sama lain dalam kekuasaan dan membuka peluang bagi seseorang untuk mendapatkan identitas sosial yang berbeda dalam rangka mengakumulasi sumberdaya dengan menggunakan legitimasi yang berbeda.

7. Akses terhadap Identitas Sosial

Akses terhadap identitas sosial menentukan distribusi manfaat dari sumberdaya. Akses diketahui melalui pendekatan identitas sosial atau keanggotaan (membership) dalam sebuah komunitas, termasuk pengelompokkan berdasar umur, gender, etnik, dan agama.

8. Akses terhadap Relasi Sosial

Akses hubungan sosial merupakan akses melalui negosiasi hubungan sosial seperti pertemanan, saling percaya, timbal balik, patron, ketergantungan, dan obligasi merupakan poin-poin kritikal dalam jejaring akses.

Dari analisis mengenaiproperty rightdan akses, dapat disimpulkan bahwa kemampuan aktor dalam memanfaatkan sumberdaya tergantung dari penguasaannya atas struktur akses.


(29)

2.1.4 Taman Nasional

Taman Nasional merupakan salah satu jenis kawasan pelestarian alam. Kawasan pelestarian alam merupakan kawasan yang sangat luas dan relatif tidak terganggu. Kawasan ini memilki nilai alam dengan ciri yang menonjol atau ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan. Kawasan pelindung berfungsi sebagai pelindung sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dari ekosistemnya.

Menurut Arief (2001) Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli dan dikelola dengan sistem zonasi. Kawasan ini dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Sedangkan UU No 5 tahun 1990 mengenai Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya mendefinisikan Taman Nasional sebagai kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Wilayah taman nasional dibagi menjadi beberapa zonasi berdasarkan fungsi-fungsi tertentu. Pembagian zonasi Taman Nasional dapat dilihat padaTabel.1.

Penetapan suatu kawasan sebagai Taman Nasional, tak jarang memunculkan sejumlah permasalahan yang melibatkan actor pemanfaat sumberdaya yang terkandung didalamnya. Menurut Mc Neely (1995) dalam Prabowo (2010), secara umum terdapat sejumlah permasalahan yang sangat penting dalam pengelolaan kawasan konservasi, yaitu: lemahnya konstititusi nasional, konflik dengan penduduk local, konflik antar berbagai sector pemerintah (pertanian, kehutanan, perikanan, irigasi, dan pertambangan), ketidakmampuan dalam mengelola, serta ketidakmantapan dan ketidakmampuan dalam pendanaan.


(30)

Tabel 1.Tabel Zonasi Taman Nasional

NO Zonasi Kriteria Fungsi

1 Zona Inti 1. mengandung jenis tumbuhan > 200 spesies/1000 hektar; 2. mengandung jenis

tumbuhan endemic; 3. mengandung ekosistem

khas;

4. merupakan habitat/daerah jelajah satwa yang dilindungi;

5. mengandung tumbuhan langka/dilindungi;

Secara khusus diperuntukkan bagi upaya perlindungan dam pelestarian, maka dalam zona ini tidak diperbolehkan adanya kegiatan pengunjung kecuali kegiatan penelitian. Kedudukan zona ini sama dengan Cagar Alam atau Suaka Margasatwa.

2 Zona

Rimba

1. mengandung jenis tumbuhan > 200 spesies/1000 hektar; 2. mengandung tegakan

dengan kerapatan , 200 spesies/1000 hektar. 3. merupakan habitat/daerah

jelajah satwa liar;

Zona ini dapat dikunjungi dengan berbagai kegiatan rekreasi, tetapi dalam batas-batas tertentu. Kegiatan yang ada umunya suatu pengelolaan habitat dan pembuatan jalan setapak atau paling sedikit wisata alam terbatas.

3 Zona

Pemanfaat an

1. mengandung objek wisata menarik;

2. memungkinkan

dikembangkannya sebagai pusat kunjungan;

Zona ini dialokasikan untuk menampung bentuk kegiatan rekreasi dan penyediaan sarana untuk pengelolaan, misalnya kantor dan stasiun penelitian, bumi perkemahan, tempat parkir, dan yang lain-lain. Zona ini mudah dicapai oleh pengunjung dan memiliki manfaat yang jelas bagi wilayah tersebut. Zona ini sama dnegan Hutan Wisata/Taman Wisata atau Wana Wisata.

4 Zona

Pemanfaat an

Tradisional

1. lebih dari 25% kebutuhan pokok warga desa setempat bergantung pada kawasan Taman Nasional

2. berdekatan/berbatasan dengan wilayah desa 3. mempunyai ekosistem

yang tidak asli

Ditetapkan untuk kepentingan pemanfaatan tradsional oleh masyarakat yang karena kesejarahan mempunyai ketergantungan dengan sumberdaya alam.

5 Zona

Rehabilitas i

1. kandungan tegakan <100 batang/hektar;

2. merupakan daerah tangkapan air potensial; 3. merupakan koridor satwa

liar;

4. mempunyai ekosistem yang tidak asli

Bagian dari Taman Nasional yang mengalami kerusakan, sehingga perlu dilakukan kegiatan pemulihan komunitas hayati dan ekosistemnya yang mengalami kerusakan.


(31)

2.2 Kerangka Pemikiran

Masyarakat desa hutan yang berada pada bagian daerah dataran tinggi tidak dapat dipandang hanya sebagai kesatuan manusia tradisional semata yang bergabung secara fisik dalam suatu batas geografis tertentu yang jauh dari pusat dan tercipta begitu saja. Lebih jauh dari itu, masyarakat desa hutan merupakan suatu entitas sosial yang terbentuk melalui sejarah panjang dan memiliki keterlibatan politik, ekonomi, dan sosial dengan daerah dataran rendah (pusat) yang sudah lama dan masih terus berlangsung (Muray Li, 2002). Menurut Pelusso (2006), dalam sejarah penguasaan sumberdaya oleh negara, terdapat suatu kepentingan yang saling berbenturan dan ketegangan antara negara dan petani (warga lokal) dalam hal kepentingan-kepentingan yang berkaitan pemanfaatan sumberdaya hutan. Kebijakan negara dalam penguasaan hutan berhadapan langsung dengan akses dan kendali petani atas sumberdaya hutan.

Kebijakan negara dalam pengelolaan sunberdaya agraria (hutan) dituangkan dalam produk-produk kebijakan yang mengatur alokasi dan penguasaan sumberadaya agraria (hutan). Sedangkan akses warga terhadap sumberdaya dari sudut pandang teori akses Ribot dan Pelusso (2003) ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu: teknologi, modal, pasar, tenaga kerja, pengetahuan, otoritas, identitas sosial, dan relasi sosial.

Didalam kondisi dimana SDA dimonopoli perusahaan perkebunan dan Taman Nasional sebagai representasi Negara, maka ruang gerak warga bertambah sempit, dimana hampir semua faktor akses dikuasai oleh perusahaan perkebunan dan Taman Nasional. Dengan mengasumsikan bahwa masyarakat lokal sudah terdiferensiasi maka terdapat perbedaan diantara warga dalam mendapatkan akses pada sumberdaya. Keseluruhan proses tersebut kemudian akan memberikan implikasi terhadap kegiatan dan pola-pola pemanfaatan sumberdaya agraria oleh masyarakat. Dalam kondisi demikian, melalui mekanisme seperti apa warga mendapatkan bentuk akses terhadap sumberdaya, faktor apa saja yang mempengaruhi mekanisme akses tersebut, lalu bagaimanakah pengaruhnya terhadap penghidupan warga. Keseluruhan kerangka pemikiran tersebut digambarkan dalamGambar 2.


(32)

Keterangan : = saling mempengaruhi = mempengaruhi = dominasi

NEGARA

PTPN VIII

Orientasi Produksi Kebijakan

Konservasi TNGHS

SUMBER DAYA AGRARIA (Lahan)

Warga Kebutuhan Hidup

Struktur Akses Ribot&Pelusso (2003) 1. Teknologi 5. Pengetahuan 2. Modal 6. Otoritas 3. Pasar 7. Identitas Sosial 4. Tenaga Kerja 8. Relasi Sosial


(33)

2.3 Hipotesa:

1. Keberadaan TNGHS dan PTPN VIII mempengaruhi struktur penguasaan dan pengusahaan lahan.

2. Terdapat perbedaan kemampuan masyarakat desa hutan dalam memanfaatkan sumberdaya agraria.

3. Struktur penguasaan dan pengusahaan sumberdaya agraria akan mempengaruhi pola-pola pemanfaatan sumberdaya agraria.

2.4 Definisi Konseptual:.

1. Taman Nasional Gunung Halimun Salak adalah badan negara yang memiliki otoritas untuk mengelola hutan dalam tujuan konservasi. Taman Nasional ini ditetapkan sebagai salah satu Taman Nasional di Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 282/Kpts-II/1992 tanggal 28 Pebruari 1992 dengan luas 40.000 hektar dan resmi ditetapkan pada tanggal 23 Maret 1997 sebagai salah satu unit pelaksana teknis Departemen Kehutanan.

2. Kebijakan Konservasi adalah setiap produk kebijakan yang dikeluarkan TNGHS yang berkaitan dengan tujuan pengelolaan terhadap sumberdaya yang lestari dan berkelanjutan di wilayah hutan.

3. PT. Perkebunan Nusantara PTPN VIII adalah perusahaan BUMN milik pemerintah yang memiliki otoritas melalui Hak Guna Usaha (HGU) untuk mengelola sumberdaya secara komersil dalam rangka mencapai keuntungan sebesar-besarnya

4. Orientasi Produksi adalah tujuan utama kegiatan pengelolaan sumberdaya oleh PTPN VIII yang dituangkan dalam bentuk ketentuan yang berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya agararia dalam kegiatan produksi kebun teh untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-sebasarnya.

5. Sumberdaya agraria adalah kekayaan alam yang digunakan oleh aktor-aktor pemanfaat dan merupakan modal utama kegiatan pertanian, yaitu tanah. 6. Warga adalah anggota Komunitas Kampung Pel Cianten yang mempunyai

sejarah historis dalam pembukaan kawasan dan memanfaatkan sumberdaya agraria atas dasar penguasaan secara lisan.


(34)

7. Kebutuhan hidup adalah motivasi warga dalam pemanfaatan sumberdaya agararia yang berhubungan dengan pemenuhuan kebutuhan dasar.

8. Teknologi adalah alat dan cara yang digunakan warga dalam kegiatan mengolah tanah untuk menghasilkan produk pertanian.

9. Modal adalah faktor produksi berupa uang ataupun barang yang digunakan dalam menghasilkan produk pertanian

10. Pasar adalah jalur penyebaran hasil produksi pertanian

11.

Tenaga Kerja adalah orang yang mampu melakukan pekerjaan mengolah tanah guna menghasilkan barang dan/atau jasa pertanian

12.

Pengetahuan adalah keahlian dan ketrampilan-ketrampilan yang dimiliki warga mengenai pengolahan tanah yang didapat melalui pengalaman.

13.

Otoritas adalah kewenangan warga terhadap lahan yang dibuktikan dengan bentuk hak penguasaan yang diakui secara komunal

14.

Identitas Sosial adalah simbolisasi ciri khas warga yang membedakan posisinya dengan orang lain

15. Relasi Sosial adalah hubungan antar warga yang terlibat dalam penguasaan sumberadaya agararia.

16. Dominasi adalah bentuk hubungan antara Negara dan warga pada kedudukan yang tidak setimbang dalam kegiatan pemanfaatan sumberdaya agraria.

2.5 Definisi Operasional

1. Luas penguasaan lahan adalah besarnya lahan garapan pertanian yang dikuasai warga dinyatakan dalam ukuran baku hasil perkalian lebar dan panjangnya, dan dinyatakan dengan satuan hektar (ha). Dalam penelitian ini diklasifikasikan menjadi:

a) Sempit :≤0,5 ha. b) Sedang : 0,51 ha–1 ha. c) Luas :≥ 1 ha.

2. Pola penguasaan atas lahan adalah bentuk-bentuk penguasaan warga terhadap lahan secara efektif, meliputi: sewa, gadai, ataupun bagi hasil.

3. Pola pemanfataan adalah bentuk-bentuk pengolahan sumberdaya agraria (tanah) yang dilakukan warga, seperti: kegiatan bercocok tanam tanaman.


(35)

BAB III

PENDEKATAN LAPANG

3.1 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan kombinasi pendekatan kualitatif yang didukung pendekatan kuantitatif. Melalui paduan kedua pendekatan itu diharapkan adanya pemahaman terhadap bentuk-bentuk penguasaan, serta pengaruhnya terhadap pola-pola pemanfaatan sumberdaya agraria pada masyarakat desa hutan.

Pendekatan kualitatif dilakukan untuk menelusuri lebih jauh mengenai pola pemanfaatan sumberdaya agraria dalam kehidupan masyarakat desa hutan, mekanisme akses dan distribusi penguasaan sumberdaya agraria pada masyarakat desa hutan. Pendekatan kualitatif pada penelitian ini menggunakan strategi studi kasus, yaitu: suatu pendekatan untuk mempelajari, menerangkan, menginterpretasi suatu kasus (case) dalam konteksnya secara natural tanpa adanya intervensi dari pihak luar. Peneliti berusaha menemukan realitas sosial mengenai kajian struktur agraria dan pemanfaatan sumberdaya agraria pada konteks masyarakat desa hutan. Sedangkan, pendekatan kuantitatif menggunakan metode survei melalui instrumen kuesioner untuk mengetahui karakteristik masyarakat desa hutan yang terkait dengan pemilikan, penguasaan, pengusahaan sumberdaya agraria.

Penelitian ini bersifat menjelajah (exploratory), yaitu penelitian yang digunakan untuk mengenal pengetahuan mengenai suatu gejala tertentu yang masih baru, atau mendapatkan ide-ide baru mengenai gejala tersebut, dengan maksud untuk merumuskan masalahnya secara lebih terperinci atau untuk mengembangkan hipotesa (Wahyuni & Muljono: 2009).

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kampung Pel Cianten, Desa Purasari, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan dengan sengaja (purposive), sesuai dengan konteks masyarakat yang dibutuhkan dalam penelitian, yaitu mengenai masyarakat desa hutan. Adapun alasan khusus memilih Kampung Cianten, adalah:


(36)

1. Termasuk daerah yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Gunung Halimun Salak dan PT Perkebunan Nusantara VIII. Keduanya (selain masyarakat setempat) memiliki kepentingan yang berbeda terhadap objek agraria yang sama, dan memberikan pengaruh terhadap kegiatan pemanfaatan oleh masyarakat melalui berbagai kebijakan yang dibuatnya. Kondisi ini dapat mencitrakan struktur agraria yang lebih bervariatif dan pola pemanfaatan sumberdaya agraria yang beragam.

2. Mayoritas dan bahkan hampir seluruh penduduk kampung menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian dengan memanfaatkan lahan hutan dan perkebunan, baik itu menjadi tenaga kerja perkebunan ataupun kegiatan pengolahan pertanianon farm.

Kegiatan penelitian dilakukan sejak proses awal berupa survey awal, pemilihan responden, pelaksanaan, hingga penulisan laporan penelitian. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Oktober-Desember 2010. Pengolahan data dan hasil penulisan laporan dilakukan pada bulan Desember-Januari 2010. Selanjutnya, perbaikan laporan, konsultasi, dan sidang laporan dilakukan pada bulan Januari 2011–Februari 2011.

3.3 Teknik Penentuan Responden dan Informan

Pada penelitian kali ini terdapat dua subjek penelitian, yang terdiri dari responden dan informan. Unit analisis yang digunakan adalah rumah tangga. Responden adalah bagian dari kerangka sampling yang telah ditentukan sebelumnya. Populasi responden dari penelitian ini adalah masyarakat Kampung Pel Cianten, Desa Purasari, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat yang terdiri atas 313 kepala rumah tangga. Jumlah responden yang diambil adalah 33 Kepala Rumah Tangga. Penentuan responden dilakukan secara acak distratifikasi (stratified random sampling).

Penentuan dasar stratifikasi responden dilihat dari status responden sebagai pekerja perkebunan dan bukan pekerja perkebuan, kemudian di stratifikasi berdasarkan luasan pemilikan lahan garapan yang diambil dari data daftar peminjam lahan HGU perkebunan. Kerangka sampling kemudian dipilah dan


(37)

diklasifikan menjadi empat kategori responden, yaitu: 1) Responden yang bekerja di perkebunan dan memiliki lahan garapan, 2) responden yang bekerja di perkebunan dan tidak memiliki lahan garapan, 3) responden yang tidak bekerja di perkebunan dan memiliki lahan garapan, serta 4) responden yang tidak bekerja di perkebunan dan tidak memiliki lahan garapan.

Informan adalah pihak-pihak yang berpotensi untuk memberikan informasi mengenai diri sendiri, orang lain, dan pihak lain yang berkaitan dengan keperluan penelitian. Sedangkan penentuan informan dilakukan menggunakan teknik snowball sampling yang didasarkan pada informasi antar responden dan jumlahnya tidak ditentukan.

3.4 Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data

Jenis data dalam penelitian ini adalah data primer data sekunder. Data primer penelitian diperoleh dari responden, meliputi data: 1) gambaran luas penguasaan lahan responden, dan 2) gambaran cara perolehan lahan yang berkembang dimasyarakat. Sedangkan data sekunder merupakan data yang didapat dari dokumen tertulis berupa laporan ataupun data tertulis lainnya yang diterbitkan oleh: instansi pemerintahan desa mengenai potensi desa dan monografi desa, pihak PTP. Nusantara VIII berupa profil PTP. Nusantara VIII, dan pihak Balai TNGHS berupa profil TNGHS.

Pengumpulan data dilakukan dengan metode triangulasi data, yaitu: wawancara mendalam, studi literatur, dan observasi.Wawancara mendalam dilakukan terhadap responden yang merupakan warga Kampung Pel Cianten dan informan yang dianggap mampu menjelaskan berbagai realitas sosial yang berkaitan dengan penelitian. Wawancara mendalam dilakukan dalam rangka memahami pandangan tineliti mengenai pengalaman dan hal lainnya yang berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya agraria. Peneliti menggunakan panduan pertanyaan yang agar memudahkan peneliti dalam mendapatkan data. Panduan pertanyaan berisi tentang sejarah dan profil lokasi, kegiatan pemanfaatan sumberdaya agraria yang dilakukan warga, dan mekanisme akses warga terhadap sumberdaya agraria.


(38)

Observasi adalah suatu proses penelitian dengan melakukan interaksi sosial antara peneliti dan tineliti dalam lingkungan sosial warga setempat. Dalam kegiatan observasi yang dilaksanakan secara terbatas, peneliti akan mengamati pola perilaku warga dan respon warga terhadap berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh PTP. Nusantara VIII dan Balai TNGHS berkaitan dengan akses terhadap sumberdaya, serta peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan kegiatan pemanfaatan oleh warga. Pengamatan ini diharapkan dapat memberi pemahaman yang utuh terhadap kondisi warga. Adapun data yang dibutuhkan dalam penelitian ditampilkan padaLampiran 1.

3.5 Teknik Analisis Data

Data kuantitatif diolah dan disajikan dalam bentuk tabel frekuensi dan presentase, kemudian dipaparkan secara deskriptif. Pengolahan dan analisis data kualitatif dilakukan dengan pengkajian terhadap hasil wawancara mendalam dan pengamatan disajikan dalam bentuk catatan harian yang dianalisis`sejak pertama kali datang ke lapangan dan berlangsung terus menerus selama dalam penelitian.

Tahapan dalam pengolahan dan analisis data kualitatif meliputi reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan melalui verifikasi (Sitorus, 1998). Reduksi data dilakukan dengan tujuan untuk menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, dan mengeliminasi data-data yang tidak diperlukan juga diorganisir sehingga dapat menjawab perumusan masalah yang ada. Kemudian data akan disajikan dalam bentuk teks naratif maupun matriks yang menggambarkan dinamika konflik serta bentuk penyelesaiannya. Tahap terakhir yaitu menarik kesimpulan sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian. Analisis data kualitatif ini dipadukan dengan interpretasi data kuantitatif.


(39)

BAB IV

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Desa Purasari

4.1.1 Keadaan Geografis

Desa Purasari berada di pungungg gunung Halimun. Terletak pada ketinggian 600 m diatas permukaan laut dengan topografi berbukit, curah hujan 1200 mm per tahun, dan suhu rata-rata harian 24oC– 28oC. Desa ini termasuk dalam wilayah kerja Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Secara administratif batas Desa Purasari adalah sebagai berikut: sebelah utara dibatasi oleh Desa Karyasari, sebelah timur dibatasi oleh Desa Cibitung Wetan, sebelah selatan dibatasi oleh Kabupaten Sukabumi, dan sbelah barat dibatasi oleh Desa Puraseda.

Desa Purasari terbagi atas lima wilayah dusun, yaitu Dusun Babakan, Dusun Cikaret, Dusun Tanjungsari, Dusun Cisarua, dan Dusun Cianten. Kelima dusun tersebut kemudian terbagi kedalam duabelas rukun warga (RW) dan 50 wilayah rukun tetangga (RT). Letak setiap dusunnya berjauhan satu sama lain dengan posisi berjajar di sepanjang jalan penghubung yang menanjak dan menurun mengikuti kontur pegunungan. Dari kelima dusunnya, Dusun Cianten merupakan dusun yang paling jauh dengan akses yang paling sulit. Dusun ini berjarak kurang lebih 25 kilometer dari pusat pemerintahan Desa Purasari.

Total luas area Desa Purasari adalah 632,120 Ha, dengan komposisi tata guna lahan yang didominasi oleh perkebunan teh milik Negara PTP. Nusantara VIII, yaitu seluas 326,330 Ha (51,63 persen). Sebanyak 264,740 Ha (41,9 persen) dimanfaatkan untuk lahan sawah dan darat, serta hanya sebanyak 5,93 persen atau seluas 37,500 Ha yang digunakan sebagai pemukiman dan pekarangan. Sedangkan sisanya, yaitu sekitar 3,550 Ha digunakan untuk kepentingan prasaran umum.

4.1.2 Kondisi Demografi

Data monografi Desa Purasari tahun 2010, mencatat jumlah penduduk Desa Purasari sebanyak 12.260 jiwa, yang terdiri atas 6.314 jiwa penduduk


(40)

laki-laki dan 5.946 jiwa penduduk perempuan dan terbagi kedalam 3.030 KK. Kepadatan penduduk Desa Purasari adalaha 19,39/km2 dan pertumbuhan penduduk rata-rata sebanyak 215 jiwa/tahun.

Jumlah penduduk Desa Purasari yang termasuk pada kelompok angkatan kerja adalah sebanyak 5.739 orang. Pada kelompok tersebut, terdapat 2.081 orang (36,26%) diantaranya yang telah bekerja penuh dan 1.731 orang (30,16%) yang bekerja tidak tentu. Sumber mata pencaharian utama penduduk Desa Purasari adalah petani dan buruh (buruh tani dan buruh bangunan). Selain itu, terdapat 818 orang (14,28%) yang masih sekolah serta sisanya yang masih belum memiliki pekerjaan.

Aspek pendidikan di desa ini masih rendah, terlihat dari jenjang pendidikan yang berhasil diselesaikan oleh penduduk. Mayoritas penduduk Desa Purasari memiliki latar belakang pendidikan dasar SD/sederajat, yaitu sebanyak 1.776 orang. Hanya 768 orang yang berpendidikan SLTP/sederajat dan 819 orang yang mengenyam pendidikan SLTA/sederajat. Sedangkan penduduk yang mengenyam jenjang pendidikan tinggi diploma dan sarjana hanya 208 orang.

Rendahnya pendidikan yang berhasil diselesaikan oleh mayoritas penduduk Desa Purasari selain disebabkan oleh jarak lokasi institusi pendidikan lanjutan dan tinggi yang jauh juga dikarenakan factor ekonomi masyarakat yang masih terbatas. Dari total 3030 kepala keluarga, terdapat 1.339 Kepala Keluarga (KK) atau sebanyak 44,19% diantaranya yang tergolong dalam keluarga prasejahtera. Sebanyak 43,63% lainnya adalah keluarga sejahtera 1 dan sisanya adalah keluarga sejahtera 2.

4.1.3 Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasarana umum yang dimiliki Desa Purasari dapat dikelompokkan menjadi beberapa kategori, yaitu: gedung pemerintahan, sarana transportasi, sarana kesehatan dan pendidikan, sarana olahraga dan kesehatan, sarana irigasi desa, dan sarana ekonomi. Jenis sarana dan prasarana untuk menunjang kegiatan pemerintahan terdiri atas satu unit kantor desa, satu unit rumah dinas kepala desa dan satu unit aula GOR Desa yang terletak dalam satu komplek.


(41)

Infrastruktur yang yang menghubungkan tiap bagian desa ini meliputi: sepuluh unit jalan desa, empat unit jalan antar desa, satu unit jalan kabupaten, serta sepuluh unit jembatan. Adapun alat trasnportasi yang digunakan warga dalam mendukung kegiatannya adalah 185 unit angkutan rod adua (ojek) dengan tiga buah pangkalannya, serta empat puluh angkutan pedesaan yang didukung oleh dua unit pangkalan angkutan pedesaan.

Seratus persen masyarakat Desa Purasari beragama muslim. Sarana dan prasarana dalam bidang keagamaaan terdiri atas 23 unit masjid, 39 mushola, serta 30 unit majlis ta’lim yang letaknya tersebar disetiap rukun tetangga. Adapun sarana pendidikan yang terdapat di Desa Purasari adalah delapan unit pondok pesantren, 17 unit diniyah/TPA, tiga unit PAUD/TK, dua unit Tempat Bermain Anak yang terdapat di daerah perkebunan, 10 unit SD/MI, serta tiga unit SMP/sederajat.

4.2 PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII Kebun Cianten

4.2.1 Kondisi Geografis PTP Nusantara (PTPN) VIII Kebun Cianten

Perkebunan Cianten PTP Nusantara VIII (Persero) merupakan areal konsesi seluas 857,74 hektar, dengan topografi bergelombang dan terletak pada ketinggian 800m hingga 1000 m diatas permukaan laut. Kondisi iklim Perkebunan Cianten tergolong ke dalam daerah tipe B, dengan temperatur berkisar antara 19oC - 30oC, kelembaban nisbi antara 38 persen sampai 80 persen, serta curah hujan selama lima tahun terakhir rata-rata 5.238 milimeter per tahun.

Secara administratif PTP Nusantara kebun Cianten termasuk kedalam dua wilayah kerja desa di dua kecamatan yang berbeda, yaitu Desa Purasari di Kecamatan Leuwiliang dan Desa Purwabakti di Kecamatan Pamijahan. Perkebunan diberbatasan langsung dengan Kabupaten Sukabumi dan dikelilingi oleh Gunung Gagak, Gunung Keneng, dan Gunung Tanjungsari yang merupakan anak Gunung Halimun. Kebun Cianten relatif jauh dari perkampungan penduduk. Kebun Cianten relatif jauh dari perkampungan penduduk. Jarak terdekat dengan perkampungan penduduk kurang lebih tujuh kilometer, yaitu kampung Tanjungsari.


(42)

Jarak kebun Cianten ke Kecamatan Leuwiliang adalah sekitar 25 km. Sedangkan jarak ke kantor Desa Purasari sekitar 11 kilometer. Jaraknya yang jauh membuat Kepala Desa Purasari jarang berkunjung ke kampung di daerah kebun Cianten. Koordinasi hanya dilakukan melalui ketua RW yang sesekali berkunjung ke Kantor Desa Purasari. Terdapat empat RW yang termasuk dalam kampung Cianten, yaitu RW 8, RW 9, RW 10, dan RW 11.

Jalan yang menghubungkan kebun Cianten dan daerah lain sangat terjal dan mengikuti kontur perkebunan yang melingkari punggung bukit. Akses masyarakat keluar kampung menjadi sangat terbatas dan fasilitas transportasi yang tersedia minim. Angkutan umum yang digunakan sebagai alat transportasi adalah tiga buah mobil L300 milik salah satu warga kampung Cianten dengan rute kebun Cianten-Pasar Leuwiliang. Alat angkutan ini memiliki kapasitas maksimum 13 orang penumpang dan hanya beroperasi satu kali dalam sehari. Waktu pemberangkatan dari Kebun Cianten pukul 04.00 dan kembali lagi dari pasar Leuwiliang sekitar pukul 09.00 WIB. Tarif yang dikenakan untuk satu kali rute perjalanan adalah Rp 13.000,00 per orang. Selain itu, terdapat sarana transportasi roda dua (ojeg) dengan ongkos Rp 50.000,00 dengan rute yang sama.

Menurut penuturan supir angkutan, saat ini semakin banyak warga yang memiliki kendaraan roda dua pribadi. Dengan demikian, preferensi warga untuk menggunakan mobil angkutan semakin menurun. Tidak jarang mobil angkutan ini gagal beroperasi karena penumpang yang akan diberangkatkan tidak memenuhi kuota.

Kegiatan ekonomi masyarakat kebun di pasar hanya terjadi satu kali di Pasar kaget setiap bulannya yang terjadi pada saat gajian di PTPN VIII setiap tanggal empat atau lima setiap bulannya. Para pedagang berasal dari kampung sebelah atau bahkan dari pasar Leuwiliang. Pihak perkebunan menyediakan lapak di samping lapangan dekat kantor perusahaan. Paling tidak, terdapat kurang lebih 30 lapak yang menyediakan kebutuhan sembako, pakaian, sayuran ataupun lauk-pauk.


(43)

4.2.2 Tenaga Kerja Perkebunan

Didalam areal perkebunan terdapat perkampungan yang dihuni oleh sekitar 5000 jiwa yang sepenuhnya bekerja pada perkebunan, dimulai dari proses pembibitan, pemeliharaan, panen, hingga pengolahan teh. Perumahan dinas karyawan perkebunan tersebar dibeberapa komplek, yaitu:

1. Emplasemen : Pondok Pia, Pondok Asmara, Bunisari, dan Sindang Resmi.

2. Afdeling Cianten I : Pematang/Sarkawi/Taman Saat, Cirohani, Kampung Baru, Kampung Limus, Cianten Herang, Pel Girang, Pel Tengah, Pel Hilir, Sindang Sari, Kampung Saung, Pondok Lapang, Pondok Pasar, Pondok Cau, dan Pondok Pensiun.

3. Afdeling Cianten II : Sindang Reret, Cimapag, Pasirpari, Cisurupan, Garehong, Emplasmen, Padajembar, Padajaya, dan Cikandang.

Emplasemen, Afdeling Cianten I, serta sebagian besar area perkebunan berada di wilayah kerja Desa Purasari, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor. Sedangkan komplek Afdeling Cianten II berada di wilayah kerja Desa Purwabakti, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor.

Perkebunan Cianten PTP.Nusantara VIII (Persero) dipimpin langsung oleh seorang “Administratur” dan “Kepala Tanaman” sebagai wakilnya dan dibantu oleh bagian “Pengawas Intern Kebun” yang membantu mengawasi kinerja seluruh bagian. Pembagian kerja dibagi kedalam lima divisi, yaitu: Bagian Administrasi dikepalai oleh seorang “Kepala Administrasi”, Bagian teknik dikepalai “Kepala Teknik”, Bagian Pengolahan dikepalai “Kepala Pengolahan”, Bagian Afdeling Cianten I dikepalai “Kepala Afdeling Cianten I”, dan Bagian Afdeling Cianten II dikepalai “Kepala Afdeling Cianten II”. Masing-masing Kepala Bagian Afdeling membawahi beberapa “Mandor Besar” dan setiap “Mandor Besar” membawahi beberapa Mandor yang memiliki 20 sampai 40 anak buah. Dalam menjalankan tugasnya, masing-masing kepala bagian/afdeling dibantu oleh “JTU Kepala” yang menjamin kelancaran adminstrasi.


(44)

Tenaga kerja perkebunan di bagi menjadi dua bagian, yaitu pegawai tetap dan pegawai borongan. Pegawai tetap berhak mendapatkan fasilitas perkebunan berupa gaji, hari libur selama satu bulan setiap tahunnya, tunjangan/gaji penuh untuk setiap masa libur dan fasilitas kesehatan di balai pengobatan yang disediakan perusahaan. Sedangkan pegawai borongan hanya mendapatkan gaji dari hasil kegiatan pekerjaannya saja.

Sebagai contoh adalah penentuan besaran upah pada buruh petik perkebunan, besarnya upah yang didapatkan tergantung pada kualitas daun teh dan volume teh yang berhasil di petik. Penilaian harga berada pada otoritas mandor, rata-rata per kilogram daun teh yang telah dipetik buruh petik dihargai sekitar Rp 400,00 hingga Rp. 500,00 sehingga setiap bulannya penghasilan buruh petik adalah sekitar Rp 300.000,00 hingga Rp 500.000,00. Menurut pihak perusahaan, penetapan upah buruh kebun Cianten berada diantara UMR Kabupaten Bogor dan UMR Kabupaten Ciamis. Hal ini didasarkan pada kesamaan kondisi dan konteks perkebunan antara daerah Bogor dan Ciamis.

Pengaturan kepegawaian untuk karyawan tetap di Perkebunan Cianten dilakukan secara berjenjang. Proses kenaikan pangkat dan jabatan dilakukan tidak tentu. Menurut penuturan masyarakat yang juga menjadi karyawan diperkebunan, sudah hampir tiga tahun tidak ada pengangkatan karyawan lepas menjadi karyawan tetap. Hal ini disinyalir akibat hasil produksi perusahaan yang sedang menurun.

Lebih dari separuh pegawai perkebunan merupakan karyawan borong yang merupakan buruh tidak tetap. Menurut penuturan humas perusahaan, sebenarnya jumlah real dari golongan buruh tidak tetap ini lebih dari data yang ditampilkan dan selalu terjadi penambahan jumlah buruh. Penambahan terjadi dari sejumlah karyawan tetap yang telah memasuki masa pensiun namun tetap mencari pekerjaan di perusahaan dengan menjadi buruh perkebunan hal ini dikarenakan mereka tidak mempunyai pemasukan lagi setelah jabatannya berakhir

4.2.3 Alokasi Penggunaan Lahan PTP Nusantara (PTPN) VIII

Penataan ruang perkebunan berbentuk menjari dan dikelilingi oleh wilayah Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS) di sisi luarnya. Lahan yang


(45)

dikuasai PTP. Nusantara VIII merupakan area konsesi HGU seluas 857,74 ha yang akan berakhir pada tahun 2043. Menurut penuturan pihak perusahaan, masa HGU ini sempat tidak diperbaharui pada rentang waktu tahun 1998 hingga 2008.

Selain PTP. Nusantara VIII, terdapat aktor pemanfaat lahan lainnya, yaitu: masyarakat local dan perusahaan swasta Geothermal. Adapun alokasi penggunaan lahan perkebunan dapat dilihat padaTabel.2.

Tabel 2. Alokasi Luas Penggunaan Lahan PTP. Nusantara VIII Kebun Cianten Tahun 2010.

NO Areal Luas (Ha) Presentase

(%) 1 Areal Tanaman Teh

Tanaman Mengahsilkan (TM) 647,14 75,4

Tanaman Belum Menghasilkan (TBM) 0,00 0,0

Persemaian/Kebun Entrys 0,00 0,0

Lancuran 93,45 10,9

TOTAL 740,59 86,3

2 Areal Cadangan

Cadangan dari Lancuran 0,00 0,0

TOTAL 0,00 0,0

3 Lahan Tidak Produktif

Situ/Rawa 11,08 1,3

Hutan/Jurang/Sungai 8,86 1,0

Dipakai Warga untuk Bangunan 3,89 0,5

Dipakai Warga untuk Sawah 32,93 3,8

Dipakai Warga untuk Daratan 15,12 1,8

Dipakai Warga untuk Kolam 2,70 0,3

Dipakai pihak ketiga (Chevron Ltd) 4,63 0,5

TOTAL 79,21 9,2

4 Areal lain-lain

Emplasemen 15,20 1,8

Jalan PTPN VIII 18,24 2,1

Jalan Umum 0,00 0,0

Lapangan Olahraga 1,00 0,1

Kuburan 3,50 0,4

TOTAL 37,94 4,4

TOTAL AREA 857,74 100

Sumber: PTP Nusantara VIII Kebun Cianten, November 2010.

Keseluruhan komposisi pengggunaan lahan tersebut terbagi kedalam dua wilayah kerja desa dan kecamatan, yaitu Desa Purasari Kecamatan Leuwiliang


(46)

dan Desa Purwabakti Kecamatan Pamijahan. Adapun penggunaan lahan oleh PT. Chevron baru terjadi sejak tiga tahun lalu sejak ditemukan lokasi galian tambang baru sebanyak 25 lokasi yang tersebar di beberapa wilayah di dalam kawasan PTP. Nusantara VIII.

4.3 Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS) 4.3.1 Letak dan Luas Kawasan

Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) merupakan kawasan hutan hujan pegunungan terluas yang telah dikonservasi di Pulau Jawa. Taman Nasional ini terletak pada koordinat 106º12’58” BT - 106 º 45’ 50” BT dan 06º32’14” LS - 06 º 55’ 12” LS. Secara administratif, wilayah kerja Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) meliputi tiga wilayah kabupaten di dua Provinsi, yaitu: Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sukabumi di Provinsi Jawa Barat, serta Kabupaten Lebak di Provinsi Banten. Pada tingkat kecamatan dan desa, terdapat 26 kecamatan (sembilan kecamatan di Kabupaten Bogor, delapan kecamatan di Kabupaten Sukabumi, serta Sembilan kecamatan di Kabupaten Lebak) serta 110 desa yang tersebar dan berbatasan langsung dengan wilayah Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Berdasarkan survey kampung yang dilaksanakan oleh GHSNP MP-JICA pada tahun 2005, tercatat ada 314 kampung yang berada di dalam kawasan Taman Nasional dengan jumlah penduduk sekitar 99.982 jiwa.

Penunujukkan kawasan Gunung Halimun sebagai wilayah pelestarian telah dimulai sejak masa pendudukan Kolonial Belanda. Pada tahun 1924-1934 kawasan Gunung Halimun ditetapkan sebagai hutan lindung dengan luas 39.941 hektar yang kemudian diubah menjadi cagar alam setahun kemudian. Saat Indonesia merdeka, pengelolaan Cagar Alam Gunung Halimun berada di bawah Djawatan Kehutanan Jawa Barat.

Pada tahun 1979, kawasan Cagar Alam Halimun diperluas menjadi 40.000 hektar dan pengelolaannya diserahkan kepada PPA. Barulah pada 28 Februari 1992 kawasan pelestarian alam dengan luas 40.000 hektar ini ditetapkan sebagai Taman Nasional Gunung Halimun melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 282/Kpts-II/1992. Selanjutnya pada tahun 2003 terjadi perluasan kawasan


(47)

menjadi 113.375 ha yang didapat dari pengubahan fungsi kawasan hutan produksi terbatas dan hutan lindung yang dikelola Perum Perhutani menjadi satu kesatuan kawasan konservasi. Perluasan kawasan ini diperkuat oleh Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 175/Kpts-II/2003 tanggal 10 Juni 2003 sekaligus mengubah statunya menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS).

4.3.2 Aspek Ekologis

Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS) memiliki fungsi ekologis yang sangat tinggi, yaitu: sebagai habitat makhluk hidup dan penyedia plasma nuftah yang beragam, wilayah tangkapan air, menyediakan potensi panas bumi (geothermal). Menurut penelitian yang dilaksanakan oleh LIPI-PHPA-JICA (1998), ekosistem Halimun terdiri atas tiga ekosistem utama, yaitu: hutan hujan dataran rendah (lowland rainforest, 500-1000 m dpl); hutan hujan dataran tinggi (sub-montane forest, 1000-1500 m dpl); dan hutan hujan pegunungan(montane forest,1500-1929 m dpl).

Wilayah Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Di kawasan Gunung Halimun terdapat lebih dari 700 jenis tumbuhan berbunga hidup di hutan alam yang terbagi menjadi 391 marga dan 119 suku. Selain itu, terdapat tumbuhan bawah dan tumbuhan memanjat, seperti: beberapa jenis rotan, pandan memanjat(Freynicetia Javanica), paku andam(Glichenia Linearis), serta 75 jenis anggrek.

Keanekaragaman fauna di kawasan TNGHS pun cukup tinggi. Menurut penelitian terdapat 244 jenis burung di kawasan TNGHS yang merupakan setengah dari keseluruhan jenis burung di Jawa dan Bali. Selain itu ditemukan pula 61 jenis mamalia dan 77 jenis herpetofauna yang terdiri atas: 27 jenis amfibi, 49 jenis reptile, dan satu laba-laba. Ikan yang ditemukan di kawasan Halimun berjumlah 36 jenis spesies dari 13 famili dan 26 genus.

4.3.3 Aspek Sosial Budaya Masyarakat di dalam dan Sekitar Kawasan

Hasil survey GHSNP MP-JICA pad atahun 2005 menyebutkan bahwa didalam kawasan terdapat 314 kampung dan 29 kampung lainnya berada di sekitar perbatasan kawasan. Jumlah penduduk keseluruhan dikampung-kampung tersebut


(48)

adalah 99.782 jiwa. Menurut RMI (2010) masyarakat yang bermukim di kawasan Halimun-Salak terdiri atas masyarakat adat (Kanekes dan Kasepuhan Banten Kidul) dan masyarakat local. Aspek yang membedakan antara masyarakat adat dan non adat adalah keterikatan social dan budaya antar komunitas dalam menjalankan aktivitas kehidupannya.

Dari sisi etnografi, pegunungan Halimun dan sekitarnya dihuni oleh etnis Sunda dan beberapa kelompok masyarakat adat lainnya, yaitu masyarakat adat kasepuhan dan masyarakat adat Baduy Kanekes. Kelompok etnis Sunda mengenut agama Islam dan kelompok maksyarakat adat menjalankan relgi sinkretis antara Islam dan agama local. Komunitas Baduy relative terpisah dengan komunitas Sunda liannya. Seangkan masyarakat adat Kasepuhan relative lebih berbaur dengan komunitas Sunda lainnya.

Data statistic yang dimiliki Balai TNGHS pad athun 2006 menunjukkan angka kemiskinan masyarakat sekitar yang cukup tinggi. Wilayah Kabupaten Sukabumi jumlah RT miskin di desa dalam dan sekitar hutan kawasan TNGHS berjumlah 15. 699 RT (tidak termasuk Desa Cianaga), di Kabupaten Bogor berjumlah 27.908 RT, sedangkan di Kabupaten Lebak berjumlah 22.696 RT.

Sebanyak 86% masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan TNGHS meiliki mata pencaharian sebagai petani. Mereka menanam tiga komoditas yang memiliki masa panen yang tak sama, yaitu: tanaman semusim (padi, ketela, dan sayur mayur), tanaman jangka menengah (kopi dan sengon), dan tanaman jangka panjang (pete, durian, mangga, lainnya). Selain bertani sebagai mata pencaharian utama, para penduduk juga memiliki pekerjaan sampingan sebagai perajin, pedagang, buruh, pegawai negeri dan pekerjaan sector informal perkotaan.

Masyarakat di kawasan Halimun umumnya sangat menggantungkan hidupnya pada hasil bercocok tanam. Kegiatan bertani yang dominan adalah bersawah dan sebagian lainnya adalah huma. Lokasi sawah terletak pada daerah lereng, datar, dan depresi. Jenis sawah yang diusahakan adalah sawah tadah hujan yang airnya bersumber dari air sungai dan mata air. Sebagian petani di kawasan TNGHS masih menggunakan varietas padi local, sebagian lain telah menerapkan system pertanian revolusi hijau dengan menggunakan bibt unggul, pupuk buatan,


(1)

87

Masyarakat Desa Sekitar Hutan (Studi Kasus di Kabupaten Sumedang).

Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.

Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta:

LP3ES.

Sitorus, MT Felix. 1998.

Penelitian Kualitatif: Suatu Perkenalan.

Bogor:

Kelompok Dokumentasi Ilmu-Ilmu Sosial.

Sitorus, MT Felix. 2002.

Struktur Agraria, Proses Lokal dan Pola Penguasaan

dalam Menuju Keadilan Agraria: 70 Tahun Gunawan Wiradi. Bandung:

Yayasan Akatiga.

Sondakh, Joula Olvy Maya. 2002.

Pola Pengaturan Pemanfaataan

Sumber-Sumber AgrariaSerta Implikasinya pada Keberlanjutan Kelompok Sosial

dan Kelestarian Alam: Studi Kasus pada Masyarakat di Dua Desa di

Sekitar TNLL Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tenggara

. Tesis.

Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.

Syahyuti. 2002.

Pembentukan Struktur Agraria pada Masyarakat Pinggiran

Hutan: Studi Kasus di Desa Sintuwu dan Desa Berdikari, Kecamatan

Palolo, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tenggara

. Tesis. Pasaca Sarjana.

Institut Pertanian Bogor.

Wahyuni & Muljono. 2009.

Metode Penelitian Sosial.

Bahan Kuliah. Departemen

Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Institut Pertanian

Bogor, Bogor.

Wiradi. 2008.

Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria

dalam

Dua Abad

Penguasaan Tanah.

Jakarta: Gramedia

Wiradi & White. 2009.

Pola-Pola Penguasaan Tanah di DAS Cimanuk: Beberapa

Catatan Sementara

dalam

Ranah Studi Agraria: Penguasaan Tanah dan

Hubungan Agraris.

Yogyakarta: Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional.


(2)

Lampiran.1

Kebutuhan Data dan Metode Pengumpulan Data

NO Informasi Sub-topik

Metode Pengumpulan Data Sumber Data 1 Gambaran umum Desa Purasari

1. Keadaan umum dan letak geografis Desa Purasari 2. Topografi Desa 3. Sejarah Desa Purasari 4. Kondisi Demografi

 Analisa dokumen  Observasi  Wawancara mendalam  Data pemerinta han desa  Aparat desa  Informan kunci 2 Sarana dan

Prasarana fisik Desa

1. Fasilitas transportasi dan komunikasi

2. Fasilitas Listrik dan air 3. Kelembagaan masyarakat 4. Pasar  Analisa dokumen  Observasi  Wawancara mendalam  Data pemerinta han desa  Aparat desa  Informan kunci 3 Proses awal

pembentukan struktur agraria lokal (sejarah lokal)

1. Sejarah pembukaan lahan oleh komunitas

2. Cara memperoleh tanah, mekanisme akses, transaksi perolehan tanah

3. Kategori penduduk yg mempunyai hak istimewa

 Wawancara mendalam Responde n dan informan kunci 5 Struktur agraria lokal

1. Data kepemilikan lahan dan pengunaan wilayah 2. Jenis tanah, pemanfaatan

tanah, jenis flora dan fauna, sistem pertanian

3. Pemetaan stakeholder pemanfaat sumber agraria 4. Prosedur pemanfaatan

sumberdaya agraria  Analisa dokumen  Observasi  Wawancara mendalam  Survey  Data pemerinta han desa  Aparat desa  Pihak PTPN VIII  Pihak TNGHS  Informan kunci Mekanisme Akses terhadap SDA

1. Mekanisme akses: 2. Tanah desa

3. Tanah di kawasan hutan 4. Tanah Perkebunan

 Observasi  Wawancara mendalam Informan kunci 5 Faktor mempengaru hi akses

1. Faktor-produksi: Modal, Teknologi, tenaga-kerja. 2. Faktor-sosial/politik: Jaringan

kekerabatan, jaringan sosial-kekuasaan (status & jaringan wewenang, jaringan dengan TN & PTPN)

3. Faktor Budaya: status sosial tradisional, jaringan tradisional.  Observasi  Wawancara mendalam  Survey  Responde n dan informan kunci 6 Aspek budaya

Sistem religi, pengetahuan lokal, nilai dan aturan dalam 

Observasi  Wawancara

 Informan kunci


(3)

89

pemanfaatan sumberadaya agraria.

mendalam Tokoh masyarak at 8 Pola

Pemanfaatan Sumberdaya Agraria

1. Aktivitas pemanfaatan oleh masyarakat dikawasan hutan 2. Cara-cara & pola pemanfaatan

dari berbagai bentuk ekosistem dan di berbagai status tanah (tanah desa, kawasan BTN, PTPN VII) pola kegiatan bertani dan teknologinya 3. Cara pandang antar subyek

agraria terhadap obyek agraria (nilai tanah bagi masyrakat, PTPN, dan TNGHS) 4. Zonasi (sejarah zonasi dulu

dan sekarang)

 Observasi  Wawancara

mendalam

 Informan kunci (Pihak TNGHS dan PTPN VII)  Tokoh

masyarak at


(4)

(5)

Lampiran 3.

Peta Wila

Kabupaten

ilayah Desa Purasari, Kecamatan Leuwil

en Bogor

91


(6)

Lampiran 4. Contoh Surat

PTP. Nusantara VIII dan W

rat Perjanjian Pinjam Pakai Lahan HGU antara

n Warga