Aktivitas Inhibisi Enzim Pengubah Angiotensin pada Hidrolisat Tempe Koro Pedang (Canavalia ensiformis L.) secara In Vitro

AKTIVITAS INHIBISI ENZIM PENGUBAH ANGIOTENSIN
PADA HIDROLISAT TEMPE KORO PEDANG (Canavalia
ensiformis L.) SECARA IN VITRO

IRMAN FADLY

DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Aktivitas Inhibisi
Enzim Pengubah Angiotensin pada Hidrolisat Tempe Koro Pedang (Canavalia
ensiformis L.) secara In Vitro adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Penelitian ini merupakan bagian dari kegiatan penelitian Teknologi
Pengolahan Kacang-kacangan sebagai Sumber Protein untuk Substitusi Impor
Kedelai dengan penanggung jawab Dr Ir Endang Yuli Purwani Msi, dkk.

Penelitian ini didanai oleh DIPA BB Pascapanen 2013 dengan nomor DOK-INTRE-3.2/032/2013. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2014

Irman Fadly
NIM G84090011

ABSTRAK
IRMAN FADLY. Aktivitas Inhibisi Enzim Pengubah Angiotensin pada Hidrolisat
Tempe Koro Pedang (Canavalia ensiformis L.) secara In Vitro. Dibimbing oleh
MARIA BINTANG dan ENDANG YULI PURWANI.
Tempe merupakan salah satu olahan pangan yang memiliki aktivitas inhibisi
ACE (Angiotensin Converting Enzyme). Penelitian ini bertujuan mengukur aktivitas
inhibisi ACE pada hidrolisat tempe koro pedang secara in vitro. Analisis proksimat
menggunakan metode AOAC (2005) dan dihidrolisis dengan gastrointestinal
simulation (GIS) digestions. Derajat hidrolisis mengacu pada modifikasi metode

Benjakul & Morrissesey. Pengukuran ACE inhibitor, berdasarkan laju pembentukan
asam hippurat dari hippuryl-L-histidyl-L-leusine (HHL). Analisis proksimat koro
pedang menunjukkan kadar lemak yang lebih rendah dan karbohidrat yang lebih
tinggi dari kedelai. Derajat hidrolisis dari tempe koro pedang menunjukkan hasil
baik yakni sebesar 10.62% untuk tempe mentah dan 16.24% untuk tempe kukus. Hal
ini sebanding dengan konsentrasi protein yang diperoleh antara tempe mentah dan
tempe kukus. Hasil tersebut berpengaruh terhadap inhibisi ACE. Nilai IC50
menunjukkan tempe mentah lebih efektif menghambat aktivitas ACE sebesar 0.26
mg/g sampel (bk), sedangkan tempe kukus diperoleh nilai IC 50 sebesar 1.11 mg/g
sampel (bk). Hasil IC50 kacang koro ini lebih kecil dibandingkan dengan kedelai dan
kaptropil (kontrol positif). Secara umum, tempe koro pedang mampu menghambat
aktivitas ACE dalam menurunkan tekanan darah secara in vitro

Kata kunci: ACE, inhibisi, HHL, in vitro, koro pedang, tempe

ABSTRACT
IRMAN FADLY. Inhibition of angiotensin-converting enzyme activity in the
hydrolyzate “Tempe” from Jack Bean (Canavalia ensiformis L.) in In Vitro.
Supervised by MARIA BINTANG and ENDANG YULI PURWANI.
Tempe is one of the processed food that has ACE (Angiotensin Converting

Enzyme) inhibitory activity. This study aims to measure the activity of ACE
inhibition in jack bean in vitro. Proximate analysis used AOAC method (2005)
and hydrolyzed by gastrointestinal simulation (GIS) digestions, and then tested
the degree of hydrolysis by Benjakul & Morrissesey modification method.
Measurement of ACE inhibitors, based on the rate of formation of hippuric acid
from substrate hippuryl-L-histidyl-L-leusine (HHL). Proximate analysis showed
fat value of jack bean is lower than soybean and carbohydrate value is higher than
soybean. Degree of hydrolysis (DH) of tempe from jack bean showed good results
which amounted to 10.62% for crude tempe and 16.24% for steamed tempe. Of
the IC 50 values obtained, crude tempe 50% more effective at inhibiting the
activity of ACE by 0.26 mg/g sample. However, for the steamed tempeh also
obtain poor results, because of the results obtained IC50 1:11 mg/g sample.
Keywords : ACE, HHL, jack bean, inhibition, in vitro, tempe

AKTIVITAS INHIBISI ENZIM PENGUBAH ANGIOTENSIN
PADA HIDROLISAT TEMPE KORO PEDANG (Canavalia
ensiformis L.) SECARA IN VITRO

IRMAN FADLY


Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Biokimia

DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Aktivitas Inhibisi Enzim Pengubah Angiotensin pada Hidrolisat
Tempe Koro Pedang (Canavalia ensiformis L.) secara In Vitro
Nama
: Irman Fadly
NIM
: G84090011

Disetujui oleh


Prof Dr drh Maria Bintang, MS
Pembimbing I

Dr Endang Yuli Purwani, MSi
Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir I Made Artika, MAppSc
Ketua Departemen Biokimia

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2013 ini ialah
diversifikasi pangan, dengan judul Aktivitas Inhibisi Enzim Pengubah
Angiotensin pada Hidrolisat Tempe Koro Pedang (Canavalia ensiformis L.)

secara In Vitro
Terima kasih penulis ucapkan kepada BB Pasca Panen yang telah mendanai
penelitian ini serta Ibu Maria Bintang dan Ibu Endang Yuli Purwani selaku
pembimbing yang telah banyak memberi masukan terhadap penelitian ini. Di
samping itu, penulis juga megucapkan terima kasih kepada pak Tri, Ibu Ika, Ibu
Mely, Pak Yudi, Wiwik, beserta staf dan teknisi lain BB Pasca Panen yang telah
membantu dalam pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga penulis
sampaikan kepada Bapak Mansyur Sarip dan Ibu Iriani serta seluruh keluarga,
atas segala dukungan, doa, dan kasih sayangnya kepada penulis sehingga karya
ilmiah ini dapat diselesaikan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2014
Irman Fadly

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi


DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1

METODE

2

Waktu dan Tempat Penelitian

2


Bahan

2

Alat

3

Prosedur Penelitian

3

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pembahasan
SIMPULAN DAN SARAN

7
7
11

16

Simpulan

16

Saran

17

DAFTAR PUSTAKA

17

LAMPIRAN

20

RIWAYAT HIDUP


29

DAFTAR TABEL
1 Hasil pengukuran aktivitas inhibisi ACE
2 Nilai IC 50 dari masing-masing sampel hidrolisat

10
11

DAFTAR GAMBAR
1 Visualisasi kacang koro pedang dan tempe koro pedang
2 Kadar proksimat sampel kedelai dan koro pedang
3 Perbandingan hasil pengukuran derajat hidrolisis
4 Kadar protein bobot kering sampel hidrolisat kedelai

7
8
9
9


DAFTAR LAMPIRAN
1 Diagram alir penelitian
2 Hasil pengukuran kadar air kedelai dan koro pedang
3 Hasil pengukuran kadar abu kedelai dan koro pedang
4 Hasil pengukuran kadar protein kedelai dan koro pedang
5 Hasil pengukuran kadar lemak kedelai dan koro pedang
6 Hasil pengukuran kadar karbohidrat (by difference) kedelai dan koro
pedang
7 Hasil pengukuran derajat hidrolisis
8 Hasil pengukuran konsentrasi standar BSA
9 Hasil Pengukuran analisis protein Bradford hidrolisat

20
21
22
23
24
25
26
27
28

PENDAHULUAN
Indonesia terkenal sebagai negara yang memiliki sumber daya hayati yang
melimpah, salah satunya tanaman kacang-kacangan. Kacang-kacangan merupakan
bahan pangan yang memiliki kandungan protein, mineral, vitamin, dan serat
pangan yang tinggi, serta telah lama dikenal sebagai sumber protein pelengkap.
Semua kandungan tersebut sangat dibutuhkan oleh tubuh, seperti protein. Protein
memiliki manfaat yang penting bagi tubuh, yakni: pembangun struktur, biokatalis,
pengatur pH, sebagai salah satu sumber energi, dan sebagai pembawa sifat
turunan. Kacang kedelai merupakan salah satu kacang-kacangan yang memiliki
protein yang tinggi. Kadar protein kedelai bisa mencapai 35% berdasarkan bobot
keringnya, bahkan pada varietas unggul kadar proteinnya mencapai 40% - 43%.
Selama ini kedelai digunakan sebagai bahan baku utama untuk pembuatan tempe.
Namun, beberapa tahun terakhir produksi kedelai Indonesia semakin merosot,
sedangkan permintaannya kian naik dari tahun ke tahun (BPS 2012).
Departemen Pertanian Indonesia pada tahun 2005, melaporkan tingkat
konsumsi kedelai nasional per tahun 2004 adalah 4.186.157 ton, sedangkan
kedelai yang tersedia adalah 1.311.196 ton, sehingga menyebabkan impor sebesar
2.874.961 ton. Sampai dengan tahun 2011 produksi kedelai nasional masih
mengalami penurunan sebesar 55.74 ribu ton (±6.15%) dibandingkan produksi
tahun 2010. Sementara perkiraan produksi di tahun 2012 hanya sebesar 779.74
ribu ton biji kering. Konsekuensi dari penurunan produksi adalah terjadinya
defisit kedelai yang terus bertambah, karena konsumsi nasional cenderung
meningkat dari tahun ke tahun. Penurunan ini disebabkan berkurangnya luas
panen kedelai sebanyak 19 ribu hektar (3.05%) serta terjadi penurunan
produktivitas sebesar 0.38 % (Sudaryanto dan Swastika 2007). Data lain
menyebutkan penurunan luas panen mencapai 55.56 ribu hektar, yang
diperkirakan terjadi di Jawa (BPS 2012). Untuk mengatasi kekurangan tersebut
perlu dicari alternatif pemanfaatan kacang-kacangan selain kedelai. Disamping
untuk menutup kekurangan produksi kedelai, juga meningkatkan kualitas tempe
(Edinur 2008).
Tempe adalah sumber protein yang penting dalam menu makanan Indonesia
yang merupakan bahan makanan lauk pauk nabati atau sebagai sumber protein
nabati. Di Indonesia sendiri sekitar 24% masyarakatnya mengkonsumsi tempe
setiap harinya. Selain mudah ditemui dan harganya murah, tempe memiliki
kandungan gizi yang baik untuk tubuh. Selain memiliki kandungan gizi dan
kandungan protein yang tinggi, tempe memiliki manfaat lain dari segi kesehatan.
Sebagai sumber nutrisi, tempe berperan sebagai sumber protein dan mineral,
sedangkan sebagai obat dan penunjang kesehatan, tempe berperan sebagai
antidiare, antibakteri dan antihipertensi. Wang dan Hesseltine (1981) menyatakan
bahwa Rhizopus oligosporus bahkan dapat mencegah akumulasi aflatoksin yang
ada pada kedelai dengan melakukan hidrolisis.
Tempe sebagai bahan pangan hasil fermentasi kedelai mengandung senyawa
isoflavon, yaitu genistein, daidzein, glisitein, dan 6,7,4’-trihidroksi-isoflavon yang
bermanfaat untuk kesehatan. Senyawa isoflavon tersebut bermanfaat sebagai
antioksidan, antikanker, antiosteoporesis dan hipokolesterolemik. Senyawa
bioaktif lain yang terdapat pada tempe adalah GABA (gamma-amino butyric acid)

2
yang berfungsi sebagai antihipertensi (Suarsana et al. 2008). Penelitian yang
dilakukan oleh Astawan et al. (1997), hidrolisat tempe kacang kedelai terbukti
memiliki aktifitas sebagai antihipertensi baik secara in vitro maupun secara in
vivo. Secara in vitro, hidrolisat tersebut mampu menghambat aktivitas Angiotensin
Converting Enzim (ACE) atau enzim pengubah angiotensin. Selain itu juga
dibuktikan melalui hewan coba dengan tikus hipertensi, bahwa tikus yang diberi
hidrolisat tempe terjadi penurunan tekanan darah, baik sistolik maupun diastolik
(Astawan et al. 1997). Hal ini berkaitan dengan peptida yang dimiliki tempe
sebagai hasil dari hidrolisis enzim protease yang mampu menghambat kerja enzim
pengubah angiotensin (Angiotensin Converting Enzyme (ACE)) yang dapat
meningkatkan tekanan darah.
Salah satu jenis kacang-kacangan yang dapat dijadikan alternatif pengganti
kedelai untuk bahan baku tempe adalah kacang koro pedang. Protein yang
terdapat pada kacang koro pedang lebih besar dibanding dengan kacang-kacangan
lain, yaitu sekitar 27.4 g. Menurut Windrati et al. (2010), PRF (protein rich flour)
koro pedang memiliki kandungan protein 37.61%, lemak 4.49%, dan pati 36.70%
(amilosa 31.12% dan amilopektin 68.88%). Asam amino terbesar dalam PRF
koro pedang yakni asam glutamate (5.47%) (Windrati et al. 2010). Penelitian
lainnya yang dilakukan oleh Suciati (2012) mengenai pembuatan tempe dari
kacang koro pedang, menyatakan bahwa tempe dari kacang koro pedang memiliki
tampilan dan rasa yang tidak berbeda dengan tempe kedelai. Kandungan gizi yang
terkandung didalamnya pun tidak menunjukkan hasil yang terlalu berbeda (Suciati
2012). Sampai saat ini belum ada yang melaporkan kemampuan tempe koro
pedang sebagai ACE inhibitor seperti tempe kedelai. Oleh sebab itu, dilakukan
penelitian untuk mengukur kemampuannya sebagai inhibitor terhadap aktivitas
enzim pengubah angiotensin (ACE).
Penelitian ini dilakukan untuk mengnalisis aktivitas inhibisi enzim
pengubah angiotensin dari hidrolisat tempe yang menggunakan bahan baku
kacang koro pedang. Peptida yang terdapat pada hidrolisat tempe koro pedang
memiliki aktivitas penghambatan terhadap enzim ACE seperti halnya pada tempe
kedelai. Kegiatan penelitian ini dilakukan sebagai langkah awal pemanfaatan
kacang koro pedang sebagai pangan fungsional serta diversifikasi kacang kedelai
khususnya untuk bahan baku tempe.

METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama 5 bulan (April-September 2013). Tempat
pelaksanaannya di laboratorium kimia, BB Pasca Panen; Laboratorium Balai
Tanah; dan Laboratorium Biologi Molekuler, BB Biogen.
Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian ini yakni kacang koro pedang
(Canavalia ensiformis L.) yang berasal dari pengumpul di daerah Salatiga, Jawa
Tengah, serta kacang kedelai untuk pembanding. Enzim yang digunakan ialah α-

3
amilase (A 6380), pepsin (P 6887), tripsin (T 0303), α-kemotripsin (C 4129), ACE
(A 6778), dan Hippuril-His-Leu (HHL) (H 1635). Bahan kimia lain yang
digunakan adalah NaOH, HCl, natrium sulfit, coomassie brilliant blue G-250,
2.4.6-trinitrobenzenesulphonic acid (TNBS), etil asetat, asam fosfat, protein BSA,
buffer glisin, buffer fosfat, NaCl, dan buffer borrat. Bahan lain yang digunakan,
yakni: ragi tempe, air destilata, dan aqua bidest (ddH2O) .

Alat
Peralatan yang digunakan adalah proofer untuk fermentasi tempe,
waterbath, sentrifuse Beckman GA-J20, sentrifuse Tomy High Speed Refrigerator
Micro TX-160, dan Spetrofotometer BIO-RAD SmartSpec Plus. Alat-alat lain
yang digunakan yakni alat gelas, pipet mikro, pipet tetes, pipet volumetrik, pH
meter, dan stirer.

Prosedur Penelitian
Secara keseluruhan alur penelitian dalam pengukuran aktivitas inhibisi
enzim pengubah angiotensin (ACE) pada hidrolisat tempe koro pedang
(Canavalia ensiformis L.) secara in vitro adalah pembuatan tempe, analisis
proksimat (kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, dan kadar
karbohidrat), hidrolisis protein, pengukuran kadar protein hidrolisat, pengukuran
derajat hidrolisis, dan pengukuran aktivitas enzim (Lampiran 1). Sampel yang
digunakan pada penelitian ini adalah kacang kedelai mentah, tempe kedelai
mentah, tempe kedelai kukus, kacang koro pedang mentah, tempe koro pedang
mentah, dan tempe koro pedang kukus. Kedelai dan kacang mentah digunakan
sebagai pembanding untuk melihat aktivitas inhibisi. Tahapan metode penelitian
secara lebih lanjut akan dibahas pada pemaparan dibawah ini :
Pembuatan Tempe Koro Pedang
Proses pembuatan tempe koro pedang dilakukan dengan modifikasi dari
metode Suciati (2012) yang dikembangkan oleh BB Pasca Panen. Sebanyak 300 g
kacang koro direndam selama 48 jam pada wadah plastik dengan air bersih. Koro
selanjutnya dikeringkan dengan oven pengering bersuhu 70 ˚C selama 24 jam.
Koro pedang kering dikupas dengan mesin pengupas kacang dan digiling dengan
disc mill. Setelah ukurannya kecil, kacang koro dicuci kembali dan direbus selama
20 menit dilanjutkan dengan perendaman kembali dengan air bersih selama 50
jam hingga pH-nya menjadi ±4.5. Setelah pH mencapai 4.5 kacang dicuci,
dikukus selama 15 menit dan ditiriskan. Setelah kacang dalam suhu ruang,
selanjutnya diberi ragi dengan perbandingan ragi 0.1% dari total berat bahan.
Kacang yang telah diberi ragi, dibungkus dengan plastik yang telah dilubangi lalu
dirapatkan. Kemudian dilakukan fermentasi dengan menyimpan bahan di dalam
proofer (alat untuk menginkubasi tempe) pada suhu 30 ˚C selama 48 jam. Setelah
proses fermentasi, tempe siap untuk dilakukan uji selanjutnya.
Pembuatan Tempe Kedelai
Proses pembuatan tempe kedelai dilakukan dengan modifikasi dari metode
van den Hil dan Nout (2011). Sebanyak 300 g kacang kedelai dicuci bersih

4
kemudian direndam selama 60 menit. Selanjutnya kacang direbus selama 50 menit
dilanjutkan dengan perendaman kembali dengan air bersih selama 24-36 jam
hingga pH-nya menjadi ±4.5. Setelah pH mencapai 4.5 kacang dicuci, dikukus
selama 20 menit dan ditiriskan. Setelah kacang dalam suhu ruang, selanjutnya
diberi ragi dengan perbandingan ragi 0.1% dari total berat bahan. Kacang yang
telah diberi ragi, dibungkus dengan plastik yang telah dilubangi lalu dirapatkan.
Kemudian dilakukan fermentasi dengan menyimpan bahan di dalam proofer (alat
untuk menginkubasi tempe) pada suhu 30 ˚C selama 48 jam. Setelah proses
fermentasi tempe siap untuk dilakukan uji selanjutnya.
Analisis Proksimat (AOAC 2005)
Analisis proksimat dilakukan melalui beberapa tahapan, meliputi preparasi
sampel, penentuan kadar air, penentuan kadar abu, penentuan kadar lemak,
penentuan kadar protein, dan penentuan kadar karbohidrat. Sampel terdiri dari 3
perlakuan yaitu kacang koro pedang mentah, tempe koro pedang mentah, dan
tempe koro pedang kukus. Sebagai pembanding dari kacang koro pedang
digunakan kedelai dengan perlakuan yang sama, yaitu kacang kedelai, tempe
kedelai mentah, dan tempe kedelai kukus. Sampel dihaluskan hingga menjadi
bubuk.
Pengukuran kadar air pada penelitian ini menggunakan metode sebagai
berikut: Cawan keramik yang akan digunakan untuk mengukur bobot sampel,
dioven terlebih dahulu selama 30 menit pada suhu 100-105oC, kemudian
didinginkan dalam desikator untuk menghilangkan uap air dan ditimbang. Sampel
ditimbang sebanyak 2 gram dalam cawan yang sudah dikeringkan kemudian
dioven pada suhu 100-105oC selama 6 jam lalu didinginkan dalam desikator
selama 30 menit dan ditimbang. Tahap ini diulangi hingga dicapai bobot yang
konstan. Kadar air dihitung dengan rumus:
C
x 00
adar air bb
adar air

bk

kadar air ( bb)
x 00
00 kadar air ( bb)

Keterangan :
A = bobot cawan kosong, B = bobot cawan + sampel , C = bobot cawan akhir

Pengukuran kadar abu pada penelitian ini menggunakan metode oven.
Cawan porselin yang akan digunakan untuk mengukur bobot sampel, dikeringkan
menggunakan oven selama 30 menit pada suhu 100-105 oC. Cawan yang sudah
dikeringkan tersebut kemudian didinginkan dalam desikator untuk menghilangkan
uap air dan ditimbang. Sampel ditimbang sebanyak 2 gram dalam cawan yang
sudah dikeringkan kemudian dibakar di atas nyala pembakar sampai tidak berasap
dan dilanjutkan dengan pengabuan di dalam tanur pada suhu 550-600 oC sampai
pengabuan sempurna. Sampel beserta cawan porselin di masukkan ke dalam
desikator, kemudian bobotnya ditimbang. Tahap pembakaran dalam tanur diulangi
sampai didapat bobot yang konstan. Kadar abu dihitung dengan rumus:
C
x 00
adar abu
bb
adar abu

bk

kadar abu ( bb)
x 00
00 kadar air ( bb)

Keterangan :
A = bobot cawan kosong, B = bobot cawan + sampel, C = bobot cawan akhir

5
Analisis kadar protein dilakukan dengan metode Kjeldahl. Sampel yang
akan diuji ditimbang sebanyak 0.1-0.5 gram dimasukkan ke dalam labu kjeldahl
100 ml, ditambahkan dengan ¼ buah tablet kjedahl, kemudian didekstruksi
(pemanasan dalam keadaan mendidih) sampai larutan menjadi hijau jernih dan
SO2 hilang. Larutan dibiarkan dingin dan dipindahkan ke labu 50 ml dan
diencerkan dengan akuades sampai tanda tera, dimasukkan ke dalam alat destilasi,
ditambahkan dengan 5-10 ml NaOH 30-33% dan dilakukan destilasi. Destilat
ditampung dalam larutan 10 ml asam borat 3% dan beberapa tetes indikator
(larutan bromcresol green 0.1% dan larutan metil merah 0.1% dalam alkohol 95%
secara terpisah dan dicampurkan antara 10 ml bromcresol green dengan 2 metil
merah) kemudian dititrasi dengan larutan HCl 0.02 N sampai larutan berubah
warnanya menjadi merah muda. Kadar protein dihitung dengan menggunakan
persamaan sebagai berikut:
ol. Cl ol. blanko
. Cl 4.007
00
adar protein bb
obot sampel (mg)
Keterangan :
FK = Faktor koreksi, 5.75 untuk kedelai dan 6.25 untuk koro pedang

Pengukuran kadar lemak menggunakan metode soxhlet. Labu lemak yang
akan digunakan dioven selama 30 menit pada suhu 100-105oC, kemudian
didinginkan dalam desikator untuk menghilangkan uap air dan ditimbang. Sampel
yang akan diukur kadar ditimbang sebanyak 2 gram lalu dibungkus dengan kertas
saring, ditutup dengan kapas bebas lemak dan dimasukkan ke dalam alat ekstraksi
sokhlet yang telah dihubungkan dengan labu lemak yang telah dioven dan
diketahui bobotnya. Pelarut heksan dituangkan sampai sampel terendam dan
dilakukan refluks atau ekstraksi lemakselama 5-6 jam atau sampai pelarut lemak
yang turun ke labu lemak berwarna jernih. Pelarut lemak yang telah digunakan,
disuling dan ditampung setelah itu ekstrak lemak yang ada dalam labu lemak
dikeringkan dalam oven bersuhu 100-105oC selama 1 jam, lalu labu lemak
didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Tahap pengeringan labu lemak
diulangi sampai diperoleh bobot yang konstan. Kadar lemak dihitung dengan
menggunakan persamaan berikut:
C
adar lemak bb
00
Keterangan:
A = bobot labu lemak kosong ,

B = bobot sampel,

C = bobot akhir labu lemak

Kadar karbohidrat dihitung sebagai sisa dari kadar air, abu, lemak dan
protein. Pada analisis ini diasumsikan bahwa karbohidrat merupakan bobot
sampel selain air, abu, lemak dan protein. perhitungan kadar karbohidrat dengan
metode by difference menggunakan persamaan sebagai berikut:
kadar karbohidrat
00 (kadar air kadar abu kadar protein kadar lemak)
Hidrolisis Protein (Metode Rui et al. 2012)
Protein hidrolisis secara in vitro dengan menggunakan gastrointestinal
simulation (GIS) digestions berdasarkan metode Rui et al. (2012). Garis besar
metode hidrolisis ini adalah sebagai berikut: Tempe (substrat) dihomogenkan
dengan bufer glisin (0.01 M, pH 7.0), dengan konsentrasi 2.5% (b/v, berdasarkan
kandungan protein). Substrat kemudian dihidrolisis dengan enzim α-amilase
solution (1 mg/mL, 0.01 M bufer glisin, pH 7.0) pada rasio di 1:12.5 (v/w) pada

6
suhu 37°C selama 3 menit. Hidrolisis dilanjutkan secara berturut-turut oleh
pepsin, tripsin dan α-kemotripsin dengan E/S: 1/250 (b/b, berdasarkan kandungan
protein). Hidrolisis berlangsung selama 10 menit dan selanjutnya enzim
diinaktivasi dengan pemanasan dalam air mendidih selama 10 menit. Campuran
disentrifugasi (12.000 g, 4°C selama 20 menit). Supernatan disimpan untuk uji
lebih lanjut.
Derajat Hidrolisis (DH) (Modifikasi Benjakul & Morrissesey 1997)
Derajat hidrolisis (DH, %) diukur berdasarkan perbandingan total leusin
dengan jumlah kadar protein total. Metode ini diacu dari modifikasi Benjakul and
Morrissesey (1997). Hidrolisat sebanyak 125 µl ditambahkan dengan 2.0 ml bufer
fosfat 0.2 M pH 8.2 dan 1 ml larutan TNBS (trinitrobenzenesulfonic acid) 0.01%.
Larutan dicampur seluruhnya dan diinkubasi pada water bath pada suhu 50 ˚C
selama 30 menit pada kondisi gelap. Untuk menghentikan reaksi, 2 ml natrium
sulfit 0.1 M ditambahkan. Campuran didinginkan selama 15 menit pada suhu
ruang. Absorbansi diukur pada panjang gelombang 420 nm dan kurva standar
yang digunakan yakni kurva standar L-leusin.
Analisis Protein (Bradford 1976)
Analisis konsentrasi protein hidrolisat dilakukan menggunakan metode
Bradford (1976). Larutan Bradford dibuat dengan cara sebagai berikut: sebanyak
100 mg coomassie brilliant blue (CBB) G-250 dilarutkan dalam 50 ml etanol
95%. Setelah itu 100 ml asam fosfat 85% ditambahkan. Terakhir larutan
diencerkan hingga 1 liter. Larutan disaring dengan kertas saring.
Larutan standar dibuat menggunakan protein BSA (bovine serum albumin).
Sebanyak 100 mg BSA ditimbang dan ditambahkan 25 ml akuades. Larutan
dikocok perlahan, setelah larut, diencerkan sampai 50 ml. Konsentrasi akhir
larutan stok untuk standar ini adalah 2 mg/ml. Sederetan larutan standar disiapkan
menggunakan stok.
Langkah selanjutnya adalah memipet masing-masing larutan dalam tiap
tabung sebanyak 0.1 ml dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi lain yang bersih.
Sebanyak 5 ml pereaksi Bradford ditambahkan ke dalam masing-masing tabung
reaksi. Blanko dibuat dengan cara mencampurkan 0.1 ml aquades dan direaksikan
dengan 5 ml pereaksi Bradford. Setelah sekitar 20 menit, masing-masing
campuran reaksi diukur absorbansinya pada
595 nm.
Penentuan Daya Inhibisi Terhadap Aktivitas ACE secara In Vitro
Aktivitas ACE inhibitor dari hidrolisat diukur dengan spektrofotometer UV
berdasarkan laju pembentukan asam hippurat dari hippuryl-L-histidyl-L-leusine
(HHL) (Chusman and Cheung 1971). Kaptropil digunakan sebagai kontrol positif.
Untuk setiap pengukuran, 20 l hidrolisat dan 160 l substrat (HHL 50 mM dalam
bufer borat 0.1 M pH 8.3 serta NaCl 4 M) diinkubasikan dengan 20 l ACE
(Sigma) 0.8 mU pada suhu 37 ˚C selama 45 menit. Reaksi dihentikan dengan
penambahan 200 l HCl, kemudian ditambahkan 1.2 ml etil asetat dan divorteks
selama 30 detik, lalu disentrifugasi pada kecepatan 300x g selama 10 menit.
Sebanyak 200 l filtrat (lapisan atas) diambil dan diuapkan pada suhu 20 ˚C
selama 15-20 menit. Residu yang diperoleh dilarutkan dengan 1.2 ml NaCl 1 M.
Kemudian divorteks dan diukur absorbansinya pada panjang gelombang 228 nm
menggunakan Spetrofotometer BIO-RAD SmartSpec Plus. Nilai IC50 diperoleh
dari kurva linier antara konsentrasi sampel dengan persentase (%) penghambatan
ACE.

7

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Tempe Koro Pedang
Hasil pembuatan tempe koro pedang dapat dilihat pada Gambar 1. Kacang
koro pedang memiliki ukuran yamg jauh lebih besar daripada kacang kedelai,
sehingga diperlukan pencacahan sebelum dijadikan tempe (Gambar 1). Tempe
koro pedang memiliki tampilan yang menyerupai tempe kedelai. Miselium dari
kapang menutupi permukaannya secara merata dengan warna putih. Tempe koro
pedang memiliki aroma tempe normal. Tempe ini memiliki tekstur yang hampir
mirip dengan tempe kedelai, padat dan kompak. Tekstur padat dan biji koro
kompak karena adanya miselia yang mengikat sehingga jika dipotong tempe tidak
terburai atau pecah.

a

b

c

Gambar 1 Visualisasi kacang koro pedang dan tempe koro pedang
Kacang koro mentah yang belum dikupas (a), kacang koro pedang yang telah
direndam, dikeringkan, dan dicacah (b), dan tempe koro pedang dengan waktu
fermentasi 48 jam (c)

Kadar Proksimat dari Sampel Kedelai dan Koro Pedang
Analisis proksimat merupakan analisis yang meliputi uji kadar air, abu,
protein, lemak, dan karbohidrat. Analisis ini dilakukan untuk memperoleh nilai
kandungan gizi dalam sampel kedelai dan koro pedang yang dianalisis, meliputi:
kacang mentah, tempe mentah, dan tempe kukus. Kedelai digunakan sebagai
pembanding dari kacang koro pedang. Hasil pengukuran kadar air ini
menunjukkan perbedaan antara kedelai dan koro pedang, yakni pengolahan
kacang menjadi tempe meningkatkan kadar air, baik tempe dari kacang kedelai
maupun kacang koro pedang (Gambar 2). Gambar 1 juga memperlihatkan bahwa
kandungan air kacang koro pedang lebih tinggi dari kacang kedelai. Sehingga,
saat diolah menjadi tempe pun memiliki kadar air yang jauh lebih tinggi dari
tempe kedelai. Dari hasil tersebut juga terlihat perubahan yang tetap dari kacang
mentah maupun olahannya.
Hasil pengukuran kadar abu menunjukkan bahwa kandungan senyawa
anorganik pada kedelai lebih besar dibandingkan dengan koro pedang. Hasil ini
juga memperllihatkan bahwa pengolahan bahan dasar kacang menjadi tempe,
menurunkan kadar abu (Gambar 2). Hasil kadar abu tertinggi diperoleh dari
kacang kedelai sebesar 5.01%, sedangkan kacang koro hanya memiliki kadar abu
sebesar 2.47 % (Gambar 2).

8

2.28 ± 0.45

35.12 ± 0.34

61.58 ± 0.20

69.27 ± 0.09
0.31 ± 0.06

41.41 ± 0.79

51.23 ± 0.19

5.27 ± 0.78

64.72 ± 0.23

0.74 ±0.07

59.99 ± 1.13
36.89 ± 0.45
2.56 ± 0.88

39.33 ± 0.75

53.37 ± 0.88

33.88 ± 0.30

17.54 ± 0.15

34.00 ± 0.26

67.02 ± 0.39
0.18 ± 0.11

10

5.24 ± 0.20

20

3.34 ± 0.19

30

2.47 ± 0.04

40

12.30 ± 0.42

50

17.72 ± 0.98

60

5.01 ± 0.13

Persentase kadar proksimat (%)

70

42.84 ± 0.98

80

63.69 ± 0.21

90

0.75 ± 0.02

65.21 ± 0.14

Hasil pengukuran kadar protein, kedelai memiliki kadar protein yang lebih
unggul dibandingkan dengan koro pedang. Saat bahan baku mentah berupa
kacang, kadar protein kedelai mencapai 34% dan kacang koro pedang 33.85 %.
Setelah diolah menjadi tempe, kedelai memiliki kadar protein total yang jauh
lebih tinggi dibandingkan koro pedang. Tempe kedelai memiliki kadar protein
sebesar 53.37% dan tempe koro pedang 36.89% (Gambar 2). Dari hasil ini,
kedelai memiliki kandungan protein yang lebih unggul dibandingkan koro
pedang.
Hasil analisis kadar lemak yang dilakukan pada sampel menunjukkan hasil
yang jauh berbeda antara kedelai dan koro pedang (Gambar 2). Kadar lemak pada
biji kacang kedelai sebesar 17.72% jauh lebih tinggi dibandingkan dengan biji
kacang koro yang hanya meperoleh 3.34%. Saat diolah menjadi tempe, kadar
lemak pada kedelai mengalami penurunan yang cukup drastis menjadi 5.24%,
sedangkan koro pedang tidak mengalami banyak penurunan. Analisis proksimat
yang terakhir adalah kadar karbohidrat. Analisis yang dilakukan berdasarkan
metode by difference, artinya jumlah karbohidrat yang terdapat pada sampel
diperoleh dari perbedaan antara jumlah kandungan air, protein, lemak dan abu
dengan rumus karbohidrat yaitu 100%-(protein+lemak+abu+air). Hasilnya
diperoleh jumlah karbohidrat koro pedang lebih tinggi dibandingkan dengan
kedelai (Gambar 2).

0
-10

Kacang
kedelai

Kacang koro
pedang

Tempe
kedelai
mentah

Tempe koro
Tempe
Tempe koro
pedang
kedelai kukus pedang kukus
mentah

Gambar 2 Kadar proksimat sampel kedelai dan koro pedang
Warna biru ( ) kadar air sampel, warna merah ( ) kadar abu sampel, warna
hijau ( ) kadar protein sampel, warna ungu ( ) kadar lemak sampel, dan
warna kuning ( ) kadar karbohidrat sampel

9

Derajat Hidrolisis
(%)

Derajat Hidrolisis
Hasil dari pengukuran derajat hidrolisis, sampel dari masing-masing kacang
mentah (kedelai dan koro pedang) memiliki derajat hidrolisis yang tinggi, yakni
18.86% untuk kedelai dan 16.19% untuk koro pedang (Gambar 3). Setelah kacang
tersebut diolah menjadi tempe, derajat hidrolisis mengalami penurunan. Secara
garis besar, tempe mentah memiliki derajat hidrolisis yang lebih rendah
dibandingkan dengan tempe kukus. Akan tetapi, tempe kacang koro pedang
memiliki persentase derajat hidrolisis yang lebih besar dibandingkan dengan
kacang kedelai, baik tempe mentah maupun tempe kukus. Perbandingan hasil
derajat hidrolisis ini dapat dilihat pada Gambar 3. Data derajat hidrolisis secara
lengkap disajikan pada Lampiran 7.
25

18.86 ± 0.05
16.19 ± 0.10

20

10.62 ± 0.32
7.85 ± 0.36

15
10

15.64 ± 0.09
11.41 ± 0.14

5
0
Kacang Mentah

Tempe Mentah

Tempe Kukus

Gambar 3 Perbandingan hasil pengukuran derajat hidrolisis
Warna biru ( ) merupakan sampel kedelai dan warna merah (
sampel koro pedang

) merupakan

konsentrasi protein
(mg/g sampel kering)

Kadar Protein Terlarut dari Sampel Hidrolisat
Penentuan kadar protein Bradford untuk mendapatkan konsentrasi protein
terlarut pada sampel hidrolisat. Hasil yang diperoleh, kacang kedelai memiliki
konsentrasi protein terlarut sebesar 165.30 mg/g sampel berat kering (bk). Setelah
diolah menjadi tempe, terjadi penurunan konsentrasi protein terlarut yakni 16.46
mg/g sampel bk untuk tempe kedelai mentah dan 26.22 mg/g sampel bk untuk
tempe kedelai kukus (Gambar 4). Kacang koro pedang hanya memperoleh
konsentrasi protein terlarut sebesar 37.52 mg/g sampel bk. Tempe koro pedang
memperoleh konsentrasi sebesar 0.67 mg/g sampel bk untuk tempe mentah dan
1.84 mg/g sampel bk (Gambar 4).
200

165.3 ± 8.85

150
100
50

37.52 ± 0.28

16.46 ± 0.34
0.67 ± 0.23

26.22 ± 1.20
1.84 ± 0.25

0
Kacang mentah

Tempe Mentah

Tempe Kukus

-50

Gambar 4 Kadar protein bobot kering sampel hidrolisat kedelai
Warna biru ( ) merupakan sampel kedelai dan warna merah (
sampel koro pedang

) merupakan

10
Aktivitas Inhibisi ACE
Hasil pengukuran aktivitas ACE Inhibitor tertera pada Tabel 1. Data
tersebut menunjukkan tempe koro pedang mentah memiliki range penghambatan
ACE dari 28.96%-75.06%. Sedangkan tempe koro pedang kukus mengalami
penurunan aktivitas penghambatan (Tabel 1). Kacang kedelai dan tempe kedalai
masih unggul dari hasil pengukuran tersebut. Aktivitas penghambatan tertinggi
pada kedelai ditemukan pada perlakuan sampel kacang kedelai dengan konsentrasi
41.33 mg/g sampel, dengan aktivitas penghambatan sebesar 79.08%. Sementara,
untuk koro pedang, diperoleh aktivitas penghambatan tertinggi pada tempe koro
mentah dengan konsentrasi 0.67 mg/g sampel, dengan aktivitas penghambatan
sebesar 75.06%.
Nilai IC50 yang diperoleh, kacang kedelai sebesar 10.36 mg/g sampel, tempe
kedelai mentah 1.69 mg/g sampel, dan tempe kedelai kukus 17.83 mg/g sampel.
Untuk koro pedang, kacang mentah memperoleh nilai IC50 sebesar 2.3 mg/g
sampel. Sementara untuk tempe koro pedang, tempe mentah memperoleh nilai
IC50 sebesar 0.264 mg/g sampel dan tempe kukus sebesar 1.11 mg/g sampel
(Tabel 2).
Tabel 1 Hasil pengukuran aktivitas inhibisi ACE
Sampel

Kaptropil

Kacang kedelai

Tempe kedelai mentah

Tempe kedelai kukus

Kacang koro pedang

Tempe koro pedang mentah

Tempe koro pedang kukus

Konsentrasi (mg/g)
0.025
0.050
0.075
0.100
5.17
10.33
20.66
41.33
0.51
1.03
2.06
4.12
0.81
1.64
3.28
6.56
1.19
2.38
4.76
9.52
0.08
0.17
0.34
0.67
0.23
0.46
0.92
1.84

% Penghambatan
Inhibisi ACE (%)
56.87
73.48
82.68
91.13
37.93
52.32
68.90
79.08
40.99
48.24
54.43
61.31
34.75
39.30
45.79
58.34
42.20
54.23
59.13
69.20
28.96
47.29
63.34
75.06
21.60
37.30
52.74
64.31

11
Tabel 2 Nilai IC 50 dari masing-masing sampel hidrolisat
Sampel
Nilai IC 50
Kaptropil
0.0044 mg/g
Kacang kedelai
10.36 mg/g sampel kering
Tempe kedelai mentah
1.69 mg/g sampel kering
Tempe kedelai kukus
17.83 mg/g sampel kering
Kacang koro pedang
2.30 mg/g sampel kering
Tempe koro pedang mentah
0.26 mg/g sampel kering
Tempe koro pedang kukus
1.11 mg/g sampel kering
Pembahasan
Tempe Koro Pedang
Bahan dasar yang digunakan adalah kacang koro pedang (Canavalia
ensiformis L.) yang berasal dari petani di daerah Temanggung. Biji kacang koro
pedang kemudian dilakukan perendaman selama 48 jam. Tujuan dari perendaman
ini untuk menghilangkan kandungan HCN pada kacang koro pedang. HCN pada
kacang koro pedang berupa glikosianida sianogenik, yang akan terurai menjadi
asam sianida saat teroksidasi (Suciati 2012). Di dalam proses pencernaan,
senyawa ini mudah terserap dan masuk ke dalam darah sehingga sangat berbahaya
apabila terdapat dalam konsentrasi yang tinggi. Menurut Mahendradatta (2007),
konsentrasi HCN yang berbahaya bagi tubuh berkisar antara 0.5-3.5 mg/kg berat
badan.
Pengolahan tempe koro pedang ini, berdasarkan pengembangan metode dari
BB Pascapanen. Pertama kacang koro pedang dikeringkan selama 24 jam untuk
mempermudah pengupasan kulitnya. Setelah itu, kacang digiling dan dicuci
kembali, kemudian dilakukan proses perebusan selama 20 menit. Proses
perebusan awal ini agar kacang tidak terlalu keras. Selanjutnya kacang direndam
kembali kurang lebih 2 hari untuk menurunkan pH sekitar 4.2 - 4.8. pH tersebut
merupakan pH optimum agar kapang pada tempe dapat tumbuh. Terakhir adalah
proses peragian, konsentrasi ragi yang digunakan 0.1% atau 0.15% dari berat
kacang yang diolah. Proses peragian ini harus merata, karena apabila tidak merata
miselium kapang yang tumbuh tidak menutupi semua bagian tempe. Proses
tersebut terjadi perubahan baik oleh proses fisik maupun proses enzimatik karena
adanya aktivitas mikroorganisme. Keterlibatan mikroorganisme pada proses
pembuatan tempe terutama terjadi pada proses perendaman oleh bakteri-bakteri
pembentuk asam dan proses fermentasi oleh kapang khususnya Rhizopus
oligosporus (Ariani 2001).
Akibat perubahan-perubahan tersebut tempe menjadi lebih enak, lebih
bergizi, dan lebih mudah dicerna. Salah satu faktor penting dalam perubahan
tersebut adalah terbebasnya senyawa-senyawa isoflavon dalam bentuk bebas
(aglikon) dan adanya 6,7,4’-trihidroksi-isoflavon, yang terdapat pada tempe tetapi
tidak terdapat pada kacang. Senyawa tersebut ternyata berpotensi tinggi sebagai
antioksidan (Gyorgy et al. 1964), antihemolitik, penurun tekanan darah, dan anti
kanker (Zilleken 1986) dibandingkan dengan jenis isoflavon yang lainnya.
Syarif et al. (1999) menyatakan bahwa tempe yang baik dicirikan oleh
permukaan yang ditutupi oleh miselium kapang secara merata, kompak, dan
berwarna putih. Antar butiran kacang dipenuhi oleh miselium dengan ikatan yang

12
kuat dan merata, sehingga bila diiris tempe tersebut tidak hancur. Tempe yang
kurang baik dicirikan dengan kondisi tempe yang terlalu basah, tidak kompak,
perrmukaan tempe bercak-bercak hitam, tempe berbau amoniak dan alkohol,
tempe pecah-pecah, pertumbuhan kapang tidak merata, dan tempe mengandung
racun. Faktor-faktor yang sangat mempengaruhi keberhasilan pembuatan tempe
adalah oksigen, suhu, jenis laru tempe, dan nilai pH (derajat keasaman) (Syarif et
al.1999).
Persentase Proksimat Sampel Kedelai dan Koro Pedang
Analisis proksimat meliputi analisis kadar air, kadar abu, kadar protein,
kadar lemak, dan kadar karbohidrat. Analisis ini dilakukan untuk memperoleh
nilai kandungan gizi pada kacang mentah serta olahannya (tempe) yang
dihasilkan.
Air dalam bahan pangan akan mempengaruhi penampakan, tekstur, serta
cita rasa makanan. Air juga akan mempengaruhi daya tahan bahan pangan
terhadap serangan mikroba (Fardiaz 1989). Semakin tinggi kadar air suatu bahan
pangan maka semakin rendah mutu bahan pangan tersebut. Penentuan kadar air
bertujuan sebagai data pendukung untuk menghitung kadar protein terhidrolisis
basis kering. Tingginya kadar air pada produk pangan dapat menyebabkan
kerusakan baik itu secara mikrobiologis, kimiawi, maupun enzimatis (Fardiaz
1989). Berdasarkan Gambar 1, kadar air tempe sangat meningkat dibandingkan
dengan kacang mentah. Hal ini disebabkan saat proses pembuatan tempe terjadi
hidrasi terutama pada saat perendaman dan perebusan, sehingga berat kacang
dapat meningkat karena air akan mudah berdifusi ke dalam dinding sel. Proses
perendaman yang lama untuk tempe koro pedang (sekitar 50 jam) menyebabkan
air yang berdifusi jauh lebih banyak daripada tempe kedelai yang hanya
mengalami perendaman 24-30 jam.
Abu adalah residu atau senyawa anorganik dari proses pembakaran atau
oksidasi komponen organik bahan pangan. Kadar abu dari suatu bahan pangan
menunjukkan total mineral yang terkandung dalam bahan tersebut (Faridah et al.
2008). Kadar abu kacang kedelai jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kacang
koro pedang. Hal ini berarti, kacang kedelai memiliki kandungan mineral yang
lebih banyak dibandingkan dengan koro pedang. Setelah kacang diolah menjadi
tempe, banyak mineral yang hilang sehingga kadar abunya menjadi menurun.
Penurunan ini dapat disebabkan proses yang terjadi pada pembuatan tempe,
karena pada proses pembuatan tempe terjadi pengupasan kulit kacang. Sebagian
besar mineral pada kacang terkandung dikulitnya. Kadar abu yang diperoleh dari
tempe kedelai dan tempe koro pedang sesuai dengan syarat mutu tempe
berdasarkan SNI (BSN 2009) yang tidak melebihi 1.5% (b/b).
Protein merupakan zat yang penting bagi tubuh karena zat ini disamping
berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh juga berfungsi sebagai zat pembangun
dan zat pengatur. Protein dapat digunakan sebagai bahan bakar apabila keperluan
energi tubuh tidak dipenuhi oleh karbohidrat dan lemak. Kedelai memiliki kadar
protein yang lebih tinggi dibandingkan dengan koro pedang (Gambar 2). Protein
koro pedang mengandung sebagian besar asam amino esensial, kecuali metionin
dan sistein. Saat menjadi tempe, maka terjadi kenaikan kadar protein. Hal ini
disebabkan fermentasi mampu meningkatkan kadar protein kasar (crude protein)
kacang. Pada proses tersebut, aktifitas enzim proteolitik yang dihasilkan oleh
kapang menyebabkan pemecahan komponen protein yang kompleks menjadi

13
bentuk yang lebih sederhana, seperti asam amino bebas, sehingga lebih banyak
lagi asam amino yang terukur (Syarif et al. 1999). Nitrogen terlarut juga
meningkat selama proses fermentasi. Peningkatan nitrogen terlarut akan turut
meningkatkan kadar protein kasar. Selain itu, Abu et al. (1999) juga menyatakan
bahwa selama tidak ada sumber nitrogen dari luar yang disediakan, peningkatan
protein kemungkinan diakibatkan oleh konversi beberapa protein tanaman atau
komponen nitrogen lain.
Hasil pengukuran kadar lemak, kacang kedelai memiliki kandungan lemak
tertinggi. Apabila dibandingkan dengan kacang koro pedang, kacang kedelai
memiliki kandungan lemak yang jauh lebih tinggi yakni 17.72% : 3.34%. Setelah
mengalami pengolahan, masing-masing kacang mengalami penurunan kandungan
lemak. Tempe kedelai hanya memperoleh kandungan lemak 5.24% dan tempe
koro pedang memperoleh 2.56%. Kasmidjo (1996) menyatakan bahwa proses
fermentasi pada pembuatan tempe dapat menurunkan kadar lemak.
Karbohidrat mempunyai peranan penting dalam menentukan karakteristik
bahan makanan, misalnya rasa, warna, tekstur, dan lain-lain. Sedangkan dalam
tubuh, karbohidrat berguna untuk mencegah timbulnya ketosis, pemecahan
protein tubuh yang berlebihan, kehilangan mineral, dan berguna untuk membantu
metabolisme lemak dan protein. Kacang mentah memiliki kandungan karbohidrat
yang lebih banyak dibandingkan dengan tempe. Data tersebut menunjukkan
bahwa proses fermentasi dapat menurunkan kadar karbohidrat kacang komak.
Selama perendaman kacang komak selama dua malam pada pembuatan tempe
kacang komak menyebabkan penurunan kadar karbohidrat karena karbohidrat
tersebut digunakan oleh bakteri asam laktat, terutama karbohidrat golongan
oligosakarida, seperti stakiosa, verbakosa, dan rafinosa. Hermana et al. (2001)
menyatakan bahwa penurunan kadar karbohidrat juga terjadi selama proses
fermentasi yang disebabkan oleh pemecahan gula-gula kompleks seperti pati,
stakiosa, dan rafinosa menjadi gula-gula yang mudah dicerna (digestible sugars)
oleh kapang.
Persentase Derajat Hidrolisis dari Sampel Hidrolisat
Hidrolisat protein merupakan protein yang mengalami proses hidrolisis atau
degradasi secara kimia maupun secara enzimatik. Derajat hidrolisis (DH)
menyatakan kemampuan suatu enzim untuk menghidrolisis atau menguraikan
protein (Lieske and Konkrad 1994). Derajat hidrolisis substrat bergantung pada
keadaan substrat dan kondisi lingkungan, disamping pada spesifikasi enzim.
Derajat hidrolisis merupakan salah satu parameter dasar yang perlu dikendalikan
karena sifat dari hidrolisat protein berhubungan erat dengan parameter tersebut
(Nielsen 1997). Pengendalian ini diperlukan karena daya hidrolitik suatu enzim
dapat bervariasi berdasarkan sumber dan substrat yang digunakan. Melalui teknik
hidrolisis, protein dari suatu bahan dapat diubah menjadi senyawa asam amino L,
nukleotida, dan berbagai ragam peptida.
Proses hidrolisis dapat dilakukan secara kimiawi maupun enzimatis. Proses
hidrolisis kimiawi, yaitu dengan salah satunya dengan penambahan asam klorida.
Akan tetapi, teknik hidrolisis secara kimiawi akhir-akhir ini mulai dihindari oleh
kebanyakan industri food ingredient di Indonesia. Hidrolisis secara enzimatis
merupakan pilihan metode paling aman. Hidrolisis secara enzimatis lebih
menguntungkan dibanding secara kimiawi, karena dapat menghasilkan asam-asam
amino bebas dan peptida dengan rantai pendek yang bervariasi. Hal ini akan lebih

14
menguntungkan karena memungkinkan untuk memproduksi hidrolisat fragmen
peptida yang berbeda. Menurut Kunts (2000), hidrolisat protein mempunyai range
aplikasi yang sangat luas terkait dengan sifat fungsional atau sifat nutrisinya.
Berdasarkan hasil dari Gambar 3, terlihat bahwa kacang mentah memiliki
derajat hidrolisis (DH) yang tinggi dibandingkan dengan produk tempe. Kacang
kedelai memiliki derajat hidrolisis (DH) sebesar 18.86% dan kacang koro pedang
sebesar 16.19% (Gambar 3). Pengolahan kacang menjadi tempe, ternyata dapat
menurunkan derajat hidrolisis (DH). Hal ini terlihat pada Gambar 3, tempe kedelai
maupun tempe koro pedang mengalami penurunan persentase derajat hidrolisis.
Tempe kukus memiliki persentase derajat hidrolisis lebih tinggi daripada tempe
mentah (Gambar 3). Nilai DH yang tinggi mengidentifikasikan bahwa protein
tersebut mudah untuk dihidrolisis. Hal ini dipengaruhi oleh masih banyaknya
ikatan peptida pada protein tersebut. Besarnya derajat hidrolisis terkait erat
dengan jumlah produk hidrolisat yang dihasilkan, atau dengan kata lain besarnya
derajat hidrolisis memiliki kecenderungan yang sama dengan jumlah protein
terlarut atau gugus amino bebas (Hernandez et al. 2011). Derajat hidrolisis ini
sebanding dengan konsentrasi terlarutnya. Semakin besar kadar protein terlarutnya
maka akan semakin besar pula derajat hidrolisis dari sampel tersebut (Hernandez
et al. 2011).
Protein pada tempe sudah didegradasi oleh enzim protease yang dihasilkan
kapang tempe saat proses fermentasi. Fermentasi tempe, memecah sebagian
protein menjadi peptida-peptida oleh enzim protease yang dihasilkan oleh kapang.
Pemecahan peptida tersebut dipengaruhi oleh konsentrasi enzim dan lamanya
waktu fermentasi. Hubungannya dengan hidrolisis protein ini, protein pada kacang
mentah resisten terhadap daya cerna enzim pencernaan (tripsin dan α-kemotripsin).
Hal inilah yang diduga menyebabkan tempe memiliki derajat hidrolisis yang lebih
rendah dari kacang mentah. Dugaan sementara, proses fermentasi ini dapat
meningkatkan resistensi, sehingga derajat hidrolisis yang dihasilkan dari tempe
lebih kecil daripada kacang mentah. Rui et al. (2012) menyatakan kacangkacangan memiliki protein dominan berupa phaseolin yang resisten terhadap
pencernaan enzim tripsin dan α-kemotripsin. Hal tersebut dipengaruhi oleh
struktur yang kompak serta tingginya konformasi lembar-β (Rui et al. 2012).
Peningkatan derajat hidrolisis setelah pengukusan tempe disebabkan proses
pemanasan saat tempe dikukus mampu mendegradasi protein. Saat tempe
mengalami pengukusan, protein terdenaturasi yang menyebabkan protein menjadi
terdegradasi sehingga derajat hidrolisisnya meningkat.
Konsentrasi Protein Terlarut dari Sampel Hidrolisat
Konsentrasi protein terlarut hidrolisat menggunakan metode Bradford. Hasil
yang diperoleh tertera pada Gambar 4. Hidrolisat kacang mentah memiliki
konsentrasi protein terlarut yang jauh lebih besar dari pada tempe. Hal ini
dikarenakan, kacang mentah belum mengalami proses pemanasan yang dapat
merusak protein di dalamnya. Lain halnya dengan tempe, saat proses
pembuatannya, kacang berkali-kali mengalami proses pemanasan seperti
perebusan dan pengukusan. Akan tetapi, saat tempe dikukus, konsentrasi protein
terlarutnya meningkat dari tempe mentah (Gambar 4).
Enzim protease bersifat memecah protein menjadi peptida pendek dan
asam-asam amino yang mudah larut. Menurut Nielsen (1997) semakin besar
konsentrasi protease akan semakin banyak ikatan peptida dari protein yang

15
terputus menjadi peptida-peptida sederhana sehingga kelarutan protein semakin
meningkat. Hal inilah yang terjadi pada kacang mentah. Protein pada kacang
mentah terputus menjadi peptida pendek yang menyebabkan kelarutannya
meningkat. Semakin lama reaksi hidrolisis, reaksi enzim dengan substrat juga
semakin lama, sehingga tingkat hidrolisis semakin tinggi dan dihasilkan molekulmolekul protein yang pendek dan kelarutannya meningkat.
Konsentrasi protein terlarut ini sebanding dengan derajat hidrolisis. Saat
kacang diolah menjadi tempe, derajat hidrolisisnya menurun begitu pula dengan
konsentrasi protein terlarutnya. Dari hasil ini dapat diketahui, peptida yang
dihasilkan dari fermentasi tempe sebagian besar protein tak terlarut. Hal ini
terbukti dari total protein meningkat setelah proses fermentasi (setelah menjadi
tempe) yang ditunjukkan dari hasil proksimat kadar protein (Gambar 2). Hal
inilah yang menyebabkan nilai derajat hidrolisis dan konsentrasi terlarut tempe
menurun.
Aktivitas Inhibisi ACE
Angiotensin Converting Enzyme (ACE) merupakan glikoprotein
peptidildipeptida hidrolase yang termasuk ke dalam kelas enzim hidrolase. enzim
ini membutuhkan senyawa zink dan klorida untuk mendapatkan bentuk aktifnya.
Jenis peptida ini pada dasarnya mengatalisis reaksi angiotensin I menjadi
angiotensin II, dengan memecah dipeptida histidil-leusina dari ujung˗C
angiotensin I menghasilkan angiotensin II dan asam hipurat. Ada dua bentuk dari
enzim ini pada manusia yaitu ubiquitous somatic ACE dan the sperm-specific
germinal ACE. ACE sudah lama dikenal sebagai bagian kunci pada sistem renin
angiotensin yang penting pada pengaturan tekanan darah. Pada saat terjadi
penurunan tekanan darah di arteriol ginjal (glomerulus), maka sel ginjal
membentuk renin. Renin dirilis dalam plasma dan membentuk kesetimbangan
berupa angiotensinogen yang diubah menjadi angiotensin I. Setelah terbentuk
angiotensin I, oleh ACE kemudian diubah menjadi Angiotensin II serta berikatan
dengan reseptor. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya tiga peristiwa yaitu
vasokonstriksi kuat, stimulasi sekresi hormon aldosteron, dan terjadi retensi
garam dan air (peningkatan absorbsi natrium oleh ginjal dan volume
intravaskular). Hasil akhirnya adalah tekanan darah meningkat (Bicket 2002).
ACE merupakan enzim multifungsi yang juga dapat mengkatalisis degradasi
bradikinin (vasodilator yang dapat melebarkan pembuluh darah) dan enkefalin.
Oleh karena itu, penghambatan aktivitas ACE dapat mengurangi peranan
angiotensin II tetapi dapat meningkatkan kadar bradikinin dan enkefalin, sehingga
akan menurunkan tekanan darah. Hasil dari pengukuran aktivitas inhibisi ACE,
diperoleh daya hambat yang cukup tinggi antara kaptropil, kedelai dan koro
pedang. Nilai aktivitas inhibisi kedelai masih lebih besar dibandingkan dengan
koro pedang (Tabel 1). Kaptropil digunakan sebagai kontrol positif terhadap
penghambatan aktivitas ACE, sedangkan kedelai digunakan sebagai pembanding
karena kedelai digunakan sebagai bahan baku tempe yang saat ini ada di pasaran.
Tabel 1 menunjukkan kacang kedelai memiliki aktivitas penghambatan
ACE yang lebih besar dibandingkan dengan kacang koro pedang. Berdasarkan
data tersebut terlihat kacang mentah memiliki aktivitas penghambatan yang lebih
tinggi dari pada temp

Dokumen yang terkait

Kajian Nutrisional Protein Rich Flour (PRF) Koro Pedang (Canavalia ensiformis L.)

0 3 18

Inhibisi Ekstrak Etanol Kumis Kucing, Pegagan, Sambiloto, dan Tempuyung terhadap Aktivitas Enzim Pengubah Angiotensin I secara In Vitro

3 16 29

Inhibisi Ekstrak Etanol Kumis Kucing, Pegagan, Sambiloto, dan Tempuyung terhadap Aktivitas Enzim Pengubah Angiotensin I secara In Vitro

0 3 56

Inhibisi Ekstrak Etanol Biji Boroco dan Akar Alang-alang terhadap Aktivitas Enzim Pengubah Angiotensin I secara In Vitro

2 5 47

Pengujian Aktivitas Antibakteri Ekstrak Tempe Koro Pedang (Canavalia ensiformis L.) terhadap Escherichia coli dan Staphylococcus aureus

1 7 40

Pemanfaatan Kacang Koro Pedang (Canavalia Ensiformis) Sebagai Bahan Subtitusi Dalam Pembuatan Tempe Kedelai

1 7 49

Fermentasi dan Pemanfaatan Produk Kacang Koro Pedang nxn (Canavalia ensiformis L)

0 4 76

PENGARUH SUBSTITUSI TEPUNG KORO PEDANG (Canavalia Pengaruh Substitusi Tepung Koro Pedang (Canavalia Ensiformis L) Terhadap Tingkat Pengembangan DanDaya Terima Donat.

0 2 17

PEMANFAATAN KORO PEDANG (Canavalia ensiformis) SEBAGAI BAHAN DASAR PEMBUATAN TEMPE DENGAN PENAMBAHAN Pemanfaatan Koro Pedang (Canavalia ensiformis) Sebagai Bahan Dasar Pembuatan Tempe Dengan Penambahan Konsentrasi Bahan Isi Dari Jagung Dan Bekat

0 2 15

PEMANFAATAN KORO PEDANG (Canavalia ensiformis) SEBAGAI BAHAN DASAR PEMBUATAN TEMPE DENGAN PENAMBAHAN Pemanfaatan Koro Pedang (Canavalia ensiformis) Sebagai Bahan Dasar Pembuatan Tempe Dengan Penambahan Konsentrasi Bahan Isi Dari Jagung Dan Bekatul Yang B

0 1 14