Aktivitas Inhibisi Enzim α-Glukosidase dan Sitotoksisitas Ekstrak Kurkuminoid Rimpang Temulawak dari Berbagai Aksesi (In Vitro)

i

AKTIVITAS INHIBISI ENZIM α-GLUKOSIDASE DAN
SITOTOKSISITAS EKSTRAK KURKUMINOID
RIMPANG TEMULAWAK DARI BERBAGAI
AKSESI (IN VITRO)

GIA PERMASKU

DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

ii

iii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Aktivitas Inhibisi
Enzim α-Glukosidase dan Sitotoksisitas Ekstrak Kurkuminoid Rimpang
Temulawak dari Berbagai Aksesi (In Vitro) adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2014
Gia Permasku
NIM G84100001

ii

ABSTRAK
GIA PERMASKU. Aktivitas Inhibisi Enzim α-Glukosidase dan Sitotoksisitas
Ekstrak Kurkuminoid Rimpang Temulawak dari Berbagai Aksesi (In Vitro).
Dibimbing oleh WARAS NURCHOLIS dan LAKSMI AMBARSARI.
Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) merupakan salah satu tumbuhan

obat suku Zingiberaceae yang banyak tumbuh di Indonesia. Rimpang temulawak
mengandung kurkuminoid yang bermanfaat sebagai antidiabetes. Penelitian ini
bertujuan memperoleh aksesi temulawak dengan kemampuan yang tinggi
terhadap aktivitas inhibisi enzim α-glukosidase serta potensinya sebagai senyawa
yang bersifat toksik pada larva udang Artemia salina Leach. Aktivitas antidiabetes
diukur berdasarkan terbentuknya produk berupa p-nitrofenol dari reaksi enzim αglukosidase dan substratnya p-nitrofenil-α-D-glukopiranosida (p-NPG) yang
diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 410 nm. Hasil
pengujian kadar kurkuminoid dan bioaktivitas (Inhibisi enzim α-glukosidase dan
sitotoksisitas) menunjukkan bahwa aksesi temulawak terbaik adalah aksesi asal
Wonogiri. Nilai kadar kurkuminoid, IC50, dan LC50 ekstrak rimpang temulawak
aksesi Wonogiri berturut-turut sebesar 85.19±4.64 mg/g, 333±22.52 µg/mL, dan
82.78±7.70 g/mL. Aksesi Wonogiri memiliki potensi untuk diteliti lebih lanjut
dan dikembangkan sebagai varietas baru.
Kata kunci: Temulawak, antidiabetes, kurkuminoid, dan sitoksisitas

ABSTRACT
GIA PERMASKU. Inhibition Activity of α-Glukosidase Enzyme and Cytotoxicity
of Curcuminoid Extract of Temulawak Rhizome from different accession. (In
Vitro). Supervised by WARAS NURCHOLIS and Laksmi AMBARSARI.
Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) is one of the Zingiberaceae

family medicinal plants that grow in Indonesia. Temulawak rhizome contains
curcuminoid which useful as an antidiabetic. This research aims to get temulawak
accession with high capability of the inhibition activity of the α-glukosidase
enzyme and it’s potential as a compound that toxic to shrimp’s larval Artemia
salina Leach. Antidiabetic activity has been measured by formation of pnitrophenol from enzymatc reaction of nitrophenil-α-D-glucopyranose (p-NPG)
which is catalyze by α-glucosidase enzyme. The formation of p-nitrophenol was
measured by spectrophotometer at =410 nm. The results of curcuminoid content
and bioactivity assay (α-glukosidase enzyme inhibition and cytotoxicity) showed
that the best accession of temulawak is Wonogiri’s accession. The value of
curcuminoid content, IC50, LC50, from Wonogiri’s accession of temulawak
rhizome extract, respectively for 85.19±4.64 mg/g, 333±22.52 µg/mL, and
82.78±7.70 µg/mL. Wonogiri’s accesion has the potential to be further researched
and developed as a new variety.
Keywords: Curcuma xanthooriza, antidiabetic, curcuminoids, and cytotoxicity

iii

AKTIVITAS INHIBISI ENZIM α-GLUKOSIDASE DAN
SITOTOKSISITAS EKSTRAK KURKUMINOID
RIMPANG TEMULAWAK DARI BERBAGAI

AKSESI (IN VITRO)

GIA PERMASKU
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Biokimia

DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

iv

v

Judul Skripsi μ Aktivitas Inhibisi Enzim α-Glukosidase dan Sitotoksisitas Ekstrak

Kurkuminoid Rimpang Temulawak dari Berbagai Aksesi (In Vitro)
Nama
: Gia Permasku
NIM
: G84100001

Disetujui oleh

Waras Nurcholis, SSi,MSi
Pembimbing I

Dr Laksmi Ambarsari, MS
Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir I Made Artika, MAppSc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:


vi

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam usulan
penelitian yang akan dilaksanakan sejak bulan Januari 2014 hingga April 2014 ini
adalah antidiabetes, dengan judul Aktivitas Inhibisi Enzim α-Glukosidase dan
Sitotoksisitas Ekstrak Kurkuminoid Rimpang Temulawak dari Berbagai Aksesi
secara (In Vitro).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Waras Nurcholis, selaku
pembimbing pertama dan Ibu Laksmi Ambarsari selaku pembimbing kedua.
Terima kasih juga kepada Balai Penelitian PSB, Mas Endi, Mas Nio, Bu Nunuk,
Mba Laela, Mba Ina, Mba Wiwi, Aji, Ayu, Lidya, Emy, Dita, Sylvia, dan seluruh
staf PSB. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak, Mama, kaka,
adik, dan seluruh keluarga atas do’a dan kasih sayangnya, serta seluruh teknisi
dan teman-teman Biokimia 47 yang ikut mendukung dalam penelitian ini.
Penulis menyadari laporan ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran untuk memperbaiki penulisan
skripsi ini. Atas kritik dan saran penulis mengucapkan terima kasih. Semoga
penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi bidang biokimia dan masyarakat.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2014

Gia Permasku

vii

DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR

viii

DAFTAR LAMPIRAN

viii

PENDAHULUAN

1


METODE

2

Alat dan Bahan

2

Prosedur Analisis Data

2

HASIL

4

Kadar Air

4


Rendemen Ekstrak Temulawak

5

Kadar Kurkuminoid Ekstrak Temulawak

6

Nilai IC50 Ekstrak Temulawak terhadap Inhibisi Enzim α-Glukosidase

6

Sitotoksisitas Ekstrak Temulawak

7

PEMBAHASAN

8


Ekstrak Temulawak

8

Kadar Kurkuminoid Ekstrak Temulawak

9

Inhibisi Enzim α-Glukosidase

10

Sitotoksisitas Ekstrak Rimpang Temulawak

11

SIMPULAN DAN SARAN

12


DAFTAR PUSTAKA

12

RIWAYAT HIDUP

24

viii

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5

Kadar air simplisia temulawak
Rendemen ekstrak temulawak
Kadar kurkuminoid ekstrak temulawak
Nilai IC50 ekstrak temulawak
Nilai LC50 ekstrak temulawak

5
5
6
7
7

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8

Bagan alir penelitian
Kadar air simplisia
Rendemen hasil ekstraksi
Contoh kromatogram kadar kurkuminoid
Kadar kurkuminoid ekstrak temulawak kelima aksesi
Data absorbansi dan nilai IC50 ekstrak temulawak
Grafik pengaruh sampel terhadap % inhibisi
Nilai LC50 (sitoksisitas) ekstrak temulawak

14
15
15
16
17
18
21
23

1

PENDAHULUAN
Diabetes melitus (DM) atau kencing manis merupakan suatu penyakit yang
ditandai dengan tingginya kadar glukosa dalam darah (hiperglikemia) akibat
tubuh kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Dalimartha 2003). Menurut
survei yang dilakukan World Health Organization (WHO), Indonesia menempati
urutan ke-4 dengan jumlah penderita diabetes terbesar di dunia setelah India,
Cina, dan Amerika Serikat. Prevalensi diabetes melitus di Indonesia sebesar
18.8% dan sebanyak 17 provinsi memiliki prevalensi diatas 18.8%. Jumlah
penderita diabetes di Indonesia diperkirakan sebanyak 21.3 juta pada tahun 2030
(Depkes 2012).
Peningkatan jumlah penderita DM dapat dicegah dengan melakukan usaha
pengobatan, salah satunya berupa pemberian insulin maupun obat hipoglikemia
oral. Saat ini harga insulin dan obat hipoglikemia oral semakin mahal sehingga
sulit dijangkau. Selain itu, efek yang ditimbulkan dari obat kimia sintetik belum
diketahui sedangkan kebutuhan terhadap pengobatan merupakan sesuatu yang
harus dilakukan sehingga mendorong masyarakat berpaling pada obat tradisional
sebagai obat alternantif.
Indonesia merupakan negara agraris dengan megabiodiversitas, memiliki
keanekaragaman hayati flora dan fauna yang sangat melimpah. Hal ini tentu
membuat Indonesia memiliki berbagai tanam-tanaman yang memiliki berbagai
potensi, salah satunya sebagai obat. Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.)
merupakan salah satu tumbuhan obat suku Zingiberaceae yang banyak tumbuh di
Indonesia (Rukmana 2006). Temulawak telah banyak digunakan sebagai obat,
yaitu sebagai antidiabetes, hepatoproteksi, antiinflamasi, antikanker, antimikroba,
antihiperlipidemia, dan pencegah kolera (Hwang 2006). Selain itu, temulawak
juga berkhasiat sebagai antioksidan (Jayaprakasha et al. 2002) dan anti jamur
(Rukayadi et al. 2006). Salah satu senyawa yang memiliki respon biologis pada
temulawak adalah kurkuminoid (Jayaprakasha et al. 2002).
Kandungan kurkuminoid pada temulawak dapat berbeda untuk setiap
wilayah. Keadaan tersebut terjadi karena faktor genetik, iklim, ketinggian, jenis
tanah, perlakuan terhadap tanaman, dan cara pengolahannya. Hasil penelitian
dunia kedokteran modern diketahui bahwa khasiat temulawak terutama
disebabkan oleh fraksi kurkuminoid. Fraksi kurkuminoid merupakan komponen
yang memberikan warna kuning pada rimpang temulawak (Afifah 2003).
Rimpang temulawak telah banyak digunakan oleh masyarakat sebagai obat
tradisional dan memiliki bioaktivitas antidiabetes (Hwang 2006). Ketersediaan
rimpang temulawak yang berlimpah merupakan potensi besar bagi masyarakat
Indonesia yang dapat dikembangkan. Lokasi penanaman, suhu, dan tekstur tanah
memiliki pengaruh terhadap produksi kandungan kurkuminoid temulawak.
Semakin tinggi kurkuminoid yang terkandung maka akan semakin baik kualitas
simplisia temulawak untuk sediaan herbal.
Penelitian ini bertujuan mengukur aktivitas inhibisi enzim α-glukosidase
dan sitotoksisitas ekstrak kurkuminoid rimpang temulawak (Curcuma
xanthorrhiza Roxb.) dari aksesi BPTO (Karanganyar), Ciemas, Ngawi, dan
Wonogiri dengan pembanding varietas Balitro (Bogor). Penelitian ini diharapkan
mampu memperoleh aksesi temulawak dengan kemampuan yang tinggi terhadap

2

aktivitas inhibisi enzim α-glukosidase serta potensinya sebagai senyawa yang
bersifat toksik pada larva udang Artemia salina Leach. sehingga aksesi yang
terpilih berpotensi dieksplorasi lebih lanjut sebagai suatu varietas.

METODE
Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan adalah oven, neraca analitik, pipet volumetrik,
gelas piala, erlenmeyer, rotavapor merk BÜCHI, corong pemisah, labu takar,
sudip, corong plastik, sentrifus merk Scanspeed, sonikator merk BRANSON,
microplate reader merk EPOCH, microplate merk COSTAR, pipet mikro, tip
berbagai ukuran, bulb, multipipet, dan inkubator. Bahan-bahan yang digunakan
adalah simplisia rimpang temulawak dari aksesi BPTO (Karanganyar), Ciemas,
Ngawi, dan Wonogiri dengan varietas pembanding Balitro (Bogor), kertas saring,
etanol 96%, akuades, n-heksana, DMSO, Na2CO3, KH2PO4, K2HPO4, NaOH 5%,
air deionisasi, substrat p-NPG, enzim α-glukosidase, tablet akarbosa, dan HCl 2N.
Prosedur Analisis Data
Persiapan Sampel
Sampel rimpang temulawak yang digunakan diperoleh dari aksesi BPTO
(Karanganyar), Ciemas, Ngawi, dan Wonogiri dengan varietas pembanding
Balitro (Bogor). Rimpang temulawak yang diperoleh dikupas kulitnya, dicuci, dan
dikeringkan dalam oven pada suhu 50 oC selama 4-5 hari. Simplisia yang sudah
kering kemudian dihaluskan hingga berukuran 100 mesh dan berbentuk serbuk.
Penentuan Kadar Air (Depkes 2002)
Cawan porselin kosong yang telah bersih dikeringkan di dalam oven pada
suhu 105ºC selama 30 menit. Cawan tersebut kemudian didinginkan di dalam
eksikator dan ditimbang sebagai bobot cawan kosong. Sebanyak 3 g serbuk
simplisia yang juga sebelumnya telah dikeringkan ditimbang dan dimasukkan ke
dalam cawan, kemudian dikeringkan pada suhu 105ºC selama 3 jam di dalam
oven. Setelah itu, cawan yang berisi simplisia didinginkan dalam eksikator dan
ditimbang kembali sebagai bobot kering sampel. Penentuan kadar air sampel
dilakukan sebanyak tiga kali ulangan selama selang 30 menit sampai bobot
simplisia konstan.
Kadar air (%)
B
C
A

-( -A

x 100%
=
= Bobot sampel (gram)
= Bobot cawan + isi (gram)
= Bobot cawan kosong

Isolasi Kurkuminoid Modifikasi (Sutrisno et al. 2008)
Serbuk rimpang temulawak kering sebanyak 250 gram diekstraksi secara maserasi

3

dengan etanol 96% hasil dua kali distilasi selama 48 jam. Ekstrak disaring dan
filtratnya dikumpulkan dalam labu ekstraksi. Ekstrak etanol diekstraksi cair-cair
dengan n-heksana 1:1 (v/v). Fraksi etanol kemudian dipekatkan dengan
rotavapor.
Analisis Kurkuminoid Rimpang Temulawak dengan Kromatografi Cair
Kinerja Tinggi (KCKT) (Jayaprakasha et al. 2002)
Sebanyak 0.05 g sampel ditimbang dan dilarutkan ke dalam 50 mL metanol.
Larutan disaring dengan kertas saring 0.45 µm, kemudian dimasukkan ke dalam
vial KCKT merk HITACHI. Sebanyak 20 µL diinjeksikan ke dalam kolom
KCKT. Standar kurkuminoid dibuat dengan konsentrasi 0.5 ppm. Fase diam yang
digunakan adalah senyawa C18, sedangkan fase geraknya adalah metanol.
Panjang diameter kolom 25 x 4.6 mm, laju alir 1 mL/menit, panjang gelombang
254 nm, dan menggunakan detektor UV.
Rumus perhitungan kurkuminoid:
Luas area sampel
x [standar]
[Sampel] (ppm)
=
Luas area standar

Kadar Kurkuminoid (mg/g) =

[inject]x volume pelarut x FP
berat sampel x 1000

Aktivitas inhibisi α-glukosidase (Saraswaty 2010)
Uji inhibisi terhadap enzim α-glukosidase dilakukan dengan menggunakan
substrat p-nitrofenil-α-D-glukopiranosida (p-NPG). Dalam pengujian tersebut
enzim α-glukosidase akan menghidrolisis substrat p-NPG menjadi glukosa dan pnitrofenol yang berwarna kuning. Larutan enzim dibuat dengan melarutkan 1.0
mg enzim α-glukosidase dalam larutan bufer fosfat (pH 7) yang mengandung 200
mg serum bovin albumin (SBA). Larutan enzim kemudian diencerkan 25 kali
dengan bufer fosfat (pH 7). Campuran reaksi sampel terdiri atas 25 µL p-NPG 20
mM, 25 µL bufer fosfat (pH 7) 100 mM, dan 1 µL larutan ekstrak dalam DMSO.
Selanjutnya campuran tersebut ditambahkan larutan enzim sebanyak 25 µL dan
diinkubasi selama 30 menit di ruang gelap. Setelah itu reaksi enzim dihentikan
dengan menambahkan Na2CO3 200 mM sebanyak 100 µL. Selanjutnya larutan
diukur dengan microplate reader pada panjang gelombang 410 nm.
Larutan standar akarbosa dibuat dengan melarutkan tablet akarbosa dalam
bufer fosfat (pH 7) dan HCl 2N:akuades 1:1 (v/v) dengan konsentrasi 1% (b/v).
Larutan blanko dibuat dari 10 µL DMSO. Setelah itu, kontrol positif dan blanko
diambil sebanyak 1 µL, kemudian dimasukkan ke dalam campuran reaksi seperti
dalam sampel dan diukur dengan microplate reader pada panjang gelombang 410
nm. Percobaan dilakukan sebanyak tiga kali ulangan dan dihitung dalam inhibisi
dengan rumus:
% inhibisi = (C-S) / C x 100%
S adalah absorbansi sampel terkoreksi (SI-S0, dengan SI adalah absorbansi
sampel dengan pertambahan enzim dan S0 adalah absorbansi sampel tanpa
pertambahan enzim) dan C adalah absorbansi kontrol terkoreksi atau DMSO (C1C0, C1 adalah absorbansi DMSO dengan pertambahan enzim dan C0 adalah
absorbansi DMSO tanpa pertambahan enzim).

4

Penentuan IC50 (Udenigwe 2009)
Inhibition concentration 50 atau IC50 merupakan nilai konsentrasi minimal
ekstrak yang dapat menginhibisi enzim sampai 50%. Nilai IC50 diperoleh dari
masing-masing kurva ekstrak sampel dengan memasukkan nilai Y=50.
Y= a + bx (fungsi liniear)
Y= ax2 + bx + c (fungsi kuadratik)
Y= a + b (lnx) (fungsi lnx)
Keterangan:
Y
= Konsentrasi
a dan b = Konstanta
x
= IC50
Uji Sitotoksisitas LC50 Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) (Meyer et al. 1982)
Air laut yang sudah disaring dimasukkan dalam labu erlenmeyer yang diberi
aerator. Sebanyak 0.8 gram telur udang Artemia salina Leach. dimasukkan dalam
labu erlenmeyer yang berisi air laut. Labu erlenmeyer diberi lampu untuk menarik
udang sehingga larva udang yang telah menetas dapat bergerak menuju lampu.
Setelah dua hari, telur udang akan menetas menjadi udang kecil yang disebut
nauplii dan siap digunakan untuk melakukan pengujian. Ekstrak kental etanol
diuji sitotoksisitasnya dengan metode BSLT. Selanjutnya 10 ekor larva udang
dimasukkan dalam vial yang di dalamnya terdapat sampel uji dengan konsentrasi
10, 100, 500, dan 1000 g/mL, masing-masing dilakukan 3 kali ulangan. Setelah
24 jam, jumlah larva udang yang mati untuk tiap-tiap konsentrasi dihitung dan
dicatat. Nilai LC50 ditentukan dengan menggunakan analisis dengan probit
program SPSS.
Analisis Data (Matjik dan Sumertajaya 2000)
Data yang diperoleh dari masing-masing kelompok dianalisis secara statistik
menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL). Jika terdapat perbedaan
yang signifikan antara perlakuan yang diberikan maka analisis dilanjutkan dengan
uji Duncan pada taraf nyata 95%.

HASIL
Kadar Air
Hasil pengukuran kadar air simplisia rimpang temulawak dari aksesi Wonogiri,
Ciemas, Ngawi, BPTO (Karanganyar) dan varietas Balitro (Bogor) dapat dilihat
pada Gambar 1. Kadar air dari seluruh sampel simplisia yang diamati berkisar
antara 8.55±0.09 - 9.92±0.23%. Kadar air tertinggi dimiliki aksesi asal Ngawi dan
kadar air terendah dimiliki aksesi asal Wonogiri. Hasil uji statistik menunjukkan
bahwa kadar air simplisia rimpang temulawak aksesi Wonogiri dan Ciemas
berbeda signifikan dengan kadar air dari simplisia rimpang temulawak Ngawi,
Karanganyar, dan varietas Balitro. Kadar air simplisia rimpang temulawak aksesi
Ngawi juga berbeda signifikan dengan kadar air simplisia rimpang temulawak
Karanganyar dan varietas Balitro, sedangkan kadar air simplisia Karanganyar dan

5

varietas Balitro tidak terdepat perbedaan yang sangat signifikan pada taraf 95%.
12

Kadar air (%)

10

9,92c±0.23
8,55a±0.09

8,56a±0.52

8,94b±0.11 8,96b±0.31

8
6
4
2
0
Wonogiri

Ciemas
Ngawi
Balitro
Sampel temulawak

BPTO

Gambar `1 Kadar air simplisia temulawak
Keterangan: aAngka-angka pada data label yang diikuti oleh huruf kecil yang
berbeda menunjukkan berbeda nyata secara statistik pada selang
kepercayaan 95%.

Rendemen Ekstrak Temulawak
Hasil pengukuran rendemen ekstrak temulawak aksesi Wonogiri, Ciemas,
Ngawi, BPTO (Karanganyar) dan varietas Balitro (Bogor) dapat dilihat pada
Gambar 2. Rendemen ekstrak dari seluruh sampel berkisar antara 12.96-23.82%.
Rendemen tertinggi dimiliki aksesi Wonogiri sebesar 23.82%, sedangkan
rendemen terendah dimiliki aksesi BPTO sebesar 12.96%. Tinginya nilai
rendemen menunjukkan semakin banyak senyawa yang terekstrak di dalam
sampel.
30
25

23,82

Rendemen (%)

20,62
20

17,50
15,43

15

12,96

10
5
0
Wonogiri

Ciemas

Ngawi

Balitro

Sampel temulawak

Gambar 2 Rendemen ekstrak temulawak

BPTO

6

Kadar Kurkuminoid Ekstrak Temulawak
Hasil pengukuran kadar kurkuminoid ekstrak temulawak dari aksesi aksesi
Wonogiri, Ciemas, Ngawi, BPTO (Karanganyar) dan varietas Balitro (Bogor)
dapat dilihat pada Gambar 3. Kadar kurkuminoid dari seluruh sampel berkisar
antara 35.57±18.09 - 85.19±4.64 mg/g. Kadar kurkuminoid tertinggi dimiliki
aksesi Wonogiri sebesar 85.19±4.64 mg/g, sedangkan kadar kurkumnioid
terendah dimiliki aksesi Ngawi sebesar 35.57±18.09 mg/g. Hasil uji statistik
menunjukkan bahwa kadar kurkuminoid rimpang temulawak aksesi Ngawi
berbeda signifikan dengan ketiga aksesi lainnya dan varietas Balitro (Bogor) pada
taraf 95%, sedangka ketiga aksesi lainnya tidak menunjukkan perbedaan yang
signifikan.
100
Kadar kurkuminoid (mg/g)

90

85,19a±4.64

82,19a±6.84
74,2a±6.42

73,82a±5.87

80
70
60
50

35,57b±18.09

40
30
20
10
0
Wonogiri

Ciemas
Ngawi
Balitro
Sampel temulawak

BPTO

Gambar 3 Kadar Kurkuminoid ekstrak temulawak
Keterangan: Angka-angka pada data label yang diikuti oleh huruf kecil yang
berbeda menunjukkan berbeda nyata secara statistik pada selang
kepercayaan 95%.
a

Nilai IC50 Ekstrak Temulawak terhadap Inhibisi Enzim α-Glukosidase
Hasil pengukuran IC50 enzim α-glukosidase oleh ekstrak kurkuminoid
rimpang temulawak dari aksesi Wonogiri, Ciemas, Ngawi, BPTO (Karanganyar)
dan varietas Balitro (Bogor) dapat dilihat pada Gambar 4. Nilai IC50 dari seluruh
sampel berkisar antara 333±22.52 – 908.35±177.88 µg/mL. Hasil uji statistik
menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan antara ekstrak rimpang
temulawak aksesi Ngawi dan BPTO dengan ekstrak rimpang temulawak aksesi
Wonogiri, Ciemas, dan varietas Balitro pada taraf 95%, sedangkan IC50 ekstrak
temulawak Ngawi dan BPTO tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Nilai
IC50 tertinggi dimiliki aksesi Ngawi sebesar 908.35±177.9 µg/mL dan nilai IC50
terendah dimiliki aksesi asal wonogiri sebesar 333±22.52 µg/mL.

7

1200
908,35b±177.9

1000

891,97b±118

IC 50 (µg/mL)

800
600
400

333a±22.52

347,10a±223.9

438,04a±41

200
0
Wonogiri

Ciemas
Ngawi
Balitro
Sampel temulawak

BPTO

Gambar 4 Nilai IC50 ekstrak temulawak
Keterangan: aAngka-angka pada data label yang diikuti oleh huruf kecil yang
berbeda menunjukkan berbeda nyata secara statistik pada selang
kepercayaan 95%.

Sitotoksisitas Ekstrak Temulawak
Hasil pengukuran nilai LC50 dari ekstrak temulawak aksesi Wonogiri,
Ciemas, Ngawi, BPTO (Karanganyar) dan varietas Balitro (Bogor) dapat dilihat
pada Gambar 5.
120
100
LC 50 (µg/mL)

82,78ab±7.7
80

90,33b±23.9

88,51b±6.83
69,29ab±15.4
55a±15.6

60
40
20
0
Wonogiri

Ciemas
Ngawi
Balitro
Sampel temulawak

BPTO

Gambar 5 Nilai LC50 ekstrak temulawak
Keterangan: aAngka-angka pada data label yang diikuti oleh huruf kecil yang
berbeda menunjukkan berbeda nyata secara statistik pada selang
kepercayaan 95%.

8

Nilai LC50 dari pengujian toksisitas berkisar antara 55.00±15.6 - 90.33±23.9
g/mL. Nilai L 50 tertinggi dimiliki aksesi iemas sebesar λ0.33±23.λ g/mL
sedangkan nilai LC50 terendah dimiliki aksesi PTO sebesar 55.00±15.6 g/mL.
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ekstrak temulawak aksesi Ciemas dan
Balitro berbeda signifikan dengan aksesi Wonogiri, Karanganyar, dan Ngawi, tapi
tidak berbeda signifikan diantara aksesi Ciemas dan Balitro pada taraf 95%.

PEMBAHASAN
Ekstrak Temulawak
Temulawak sebagai sediaan herbal harus diketahui kualitas simplisianya.
Penggunaan temulawak sebagai tanaman obat perlu penanganan yang baik agar
kualitas dan kandungan bioaktif yang terdapat didalamnya tetap baik. Pengeringan
bertujuan menguapkan kadar air bahan terutama air kapiler yang memiliki sifat air
bebas dan mudah diuapkan. Adanya air kapiler dapat meningkatkan pertumbuhan
mikroorganisme sehingga mengganggu ketahanan suatu bahan dalam
penyimpanan. Selain itu, pengeringan dapat menghilangkan aktivitas enzim yang
dapat menguraikan lebih lanjut kandungan zat aktif (Mahapatra dan Nguyen
2009).
Rimpang temulawak yang sudah kering dibuat menjadi serbuk. Serbuk
simplisia temulawak diukur kadar airnya untuk mengetahui kualitas suatu bahan.
Hasil pengukuran kadar air simplisia temulawak menunjukkan bahwa setiap
aksesi memiliki respon yang berbeda terhadap mekanisme penyerapan air dari
lingkungan, sehingga kadar air yang dihasilkan berbeda dari setiap aksesi. Kadar
air rerata yang diperoleh pada penelitian ini kurang dari 10%. Hasil ini berbeda
dengan hasil penelitian yang telah dilakukan Wijayanto (2013) yaitu 16.14% dan
20.44%. Menurut Kusnandar (2011) Kadar air yang baik dari suatu bahan yang
telah dikeringkan ialah kurang dari 10%, karena pada tingkat tersebut waktu
simpannya relatif lama dan sampel terhindar dari kontaminasi mikroorganisme.
Selain itu, tingginya kandungan air suatu bahan akan menurunkan kandungan
padatannya, sehingga mempengaruhi jumlah rendemen ekstrak yang dihasilkan
(Wijayanto 2013).
Metode ekstraksi yang digunakan untuk mengekstrak kurkuminoid dari
simplisia temulawak adalah maserasi. Simplisia temulawak diekstraksi dengan
menggunakan pelarut etanol 96% teknis selama 24 jam. Pemilihan pelarut etanol
mengacu pada Khopkar (2003) bahwa etanol merupakan pelarut yang memiliki
dua gugus fungsi yang berbeda tingkat kepolarannya, yaitu gugus hidroksil (OH)
yang bersifat polar dan gugus alkil (-R) yang bersifat non polar. Adanya kedua
gugus tersebut diharapkan agar senyawa-senyawa kimia dengan tingkat kepolaran
berbeda dalam simplisia sampel akan terekstrak ke dalam etanol.
Menurut Faraouq (2003) menyatakan bahwa etanol merupakan pelarut
terbaik untuk ekstraksi simplisia tumbuhan untuk tujuan herbal dan mudah
diuapkan. Selain itu, etanol juga merupakan pelarut yang dapat mengekstrak
kurkuminoid dalam kondisi yang optimal (Photitirat dan Gritsanapan 2004)
karena etanol bersifat cenderung polar sehingga mampu mengekstrak

9

kurkuminoid yang bersifat semipolar. Selain faktor pelarut dan lamanya proses
maserasi, optimalisasi ekstraksi secara maserasi ini dipengaruhi oleh ketebalan
dinding sel dan membran sel dari masing-masing aksesi temulawak, sehingga
besar kecilnya rendemen yang dihasilkan bergantung pada kemampuan pelarut
untuk menembus dinding sel dan mengekstrak senyawa aktif (Nurcholis 2008).
Faktor genetik dari kelima aksesi temulawak ini yang akan menentukan ketebalan
dinding sel dan membran sel sehingga akan menentukan besarnya rendemen yang
dihasilkan. Filtrat yang diperoleh dari hasil maserasi lalu dipartisi dengan nheksana teknis. Penggunaan n-heksana teknis bertujuan agar komponen nonpolar
yang ikut terekstrak dapat dihilangkan. Adanya komponen lain dalam suatu bahan
aktif dapat meningkatkan atau menurunkan bioaktivitas kurkuminoid terhadap
aktivitas inhibisi enzim α-glukosidase. Nilai rendemen ekstrak yang tinggi
menunjukkan semakin banyak kandungan senyawa yang terekstrak dalam sampel
(Wijayanto 2013).

Kadar Kurkuminoid Ekstrak Temulawak
Kurkuminoid merupakan salah satu metabolit sekunder utama golongan
flavonoid. Kandungan kurkuminoid rimpang temulawak terdiri atas dua
komponen yaitu kurkumin dan demetoksikurkumin serta tidak mengandung
bisdemetoksikurkumin (Afifah 2003). Produktivitas metabolit kurkuminoid
merupakan perkalian biomassa temulawak dengan kadar kurkuminoid (Nurcholis
2008).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar kurkuminoid ekstrak rimpang
temulawak yang dihasilkan berkorelasi positif dengan nilai rendemen, kecuali
sampel asal Ngawi. Perbedaan ini dikarenakan bioaktif yang diukur adalah suatu
senyawa tunggal dari ekstrak kasar yang diperoleh yaitu kurkuminoid. Hasil
penelitian menunjukkan, aksesi Wonogiri memiliki nilai rendemen ekstrak
rimpang temulawak dan kadar kurkuminoid tertinggi dibandingkan aksesi Ngawi,
BPTO (Karanganyar), dan Ciemas, serta lebih tinggi dibandingkan varietas
Balitro (Bogor). Kadar kurkuminoid dari keempat aksesi lebih tinggi
dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan Kusuma (2012) dan Sari (2012)
yaitu berturut-turut sebesar 20.04 dan 31.27 mg/g.
Produksi metabolit sekunder pada suatu tanaman dipengaruhi oleh banyak
faktor diantaranya, genetik, enzim, umur tanaman, dan interaksi lingkungan baik
biotik maupun abiotik. Faktor-faktor tersebut yang mempengaruhi suatu
mekanisme biokimiawi komplek dalam memproduksi bioaktif kurkuminoid
sehingga kadar kurkuminoid berbeda dari setiap aksesi. Produksi suatu bioaktif
dalam tanaman dapat terjadi melalui proses metabolisme normal maupun
metabolisme tidak normal. Metabolisme normal dapat terjadi melalui peningkatan
metabolit primer, sedangkan metabolisme tidak normal merupakan mekanisme
biokimia tertentu akibat respon dari lingkungannya, misalnya cekaman
lingkungan (Nurcholis 2008).
Cekaman lingkungan dapat meningkatkan produksi bioaktif tertentu dalam
tanaman, dalam hal ini kurkuminoid (Nurcholis 2008). Hal ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Khaerana et al. (2007) yang menunjukkan bahwa
cekaman kekeringan menyebabkan meningkatnya kandungan metabolit sekunder

10

(minyak atsiri) dalam temulawak. Tingginya produktivitas kurkuminoid rimpang
temulawak aksesi Wonogiri diduga karena pengaruh cekaman lingkungan.
Kondisi geografis di daerah Wongiri sedikit lebih ekstrim dibandingkan ketiga
aksesi lainnya, dengan suhu 24-32˚ dan curah hujan yang rendah sehingga
menyebabkan sebagian besar tanahnya bebatuan, kering, dan tidak subur untuk
pertanian (Pemkab 2014). Kadar kurkuminoid yang tinggi dalam ekstrak
temulawak diharapkan menunjukkan bioaktivitas yang tinggi dalam menginhibisi
enzim α-glukosidase dan sitotoksisitas.

Inhibisi Enzim α-Glukosidase
Enzim α-glukosidase dengan nama α-D-glukosida glukohidrolase berperan
dalam memecah karbohidrat dalam usus halus. Enzim α-glukosidase terlibat
dalam degradasi glikogen dan memiliki pH optimum 7. Degradasi lanjutan dari
glikogen oleh fosforilase dapat terjadi hanya setelah kerja α-glukosidase, yang
mengkatalisis dua reaksi. Reaksi pertama, enzim memindahkan trisakarida yang
tersisa ke ujung cabang lainnya sedangkan reaksi kedua enzim akan
menghidrolisis ikatan α-1,6 pada titik percabangan. Terhambatnya kerja αglukosidase akibat suatu inhibitor dapat menyebabkan kerja fosforilase tidak
dapat berlangsung sehingga monosakarida (glukosa) yang dihasilkan menjadi
rendah (Murray 2003).
Uji inhibisi terhadap enzim α-glukosidase dilakukan untuk mengetahui
aktivitas antidiabetes dari setiap ekstrak temulawak. Inhibisi enzim dapat diuji
dengan menggunakan substrat p-nitofenil-α-D-glukopiranosida (p-NPG). Substrat
yang terhidrolisis akan menghasilkan α-D-glukosa dan p-nitrofenol berwarna
kuning (Sutedja 2003). Kemampuan inhibitor α-glukosidase dapat ditunjukkan
melalui warna kuning yang dihasilkan. Menurut Sugiwati (2005), produk yang
dihasilkan akan berbanding lurus dengan warna kuning yang dihasilkan dan
berbanding terbalik dengan kemampuan inhibitor dalam menghambat produk.
Data absorbansi dan persen inhibisi dari hasil uji inhibisi α-glukosidase
dapat dilihat pada lampiran 5. Tinggi rendahnya bioaktivitas inhibisi enzim αglukosidase dapat diketahui dengan melihat IC50 (Lampiran 7). Nilai IC50 yang
semakin rendah (dibawah 200 µg/mL) menunjukkan bioaktivitas semakin kuat
(Blois 1958;Kusuma 2012). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak rimpang
temulawak dari seluruh aksesi memiliki bioaktivitas yang rendah karena memiliki
nilai IC50 diatas 200 µg/mL, namun jika dibandingkan diantara keempat aksesi,
ekstrak rimpang temulawak aksesi Wonogiri yang memiliki aktivitas inhibisi
tertinggi diikuti Balitro (Bogor), Ciemas, BPTO (Karanganyar), dan Ngawi.
Hasil penelitian yang dilakukan Irwan (2011) dengan menggunakan ekstrak
etanol 70% dan λ6% daun wungu terhadap daya inhibisi enzim α-glukosidase,
diperoleh aktivitas inhibisi berturut-turut sebesar 61.09% dan 66.11% pada
konsentrasi 10000 µg/mL. Nilai ini jauh berbeda jika dibandingkan dengan
seluruh ekstrak rimpang temulawak yang menghasilkan aktivitas inhibisi sebesar
50% pada konsentrasi dibawah 900 µg/mL. Hal ini menunjukkan ekstrak rimpang
temulawak memiliki potensi sebagai inhibitor enzim α-glukosidase, terutama
ekstrak rimpang temulawak aksesi Wonogiri yang memiliki IC50 paling rendah
diantara ketiga aksesi lainnya dan varietas Balitro (Bogor).

11

Menurut Nurcholis (2008), bioaktivitas dari suatu ekstrak tanaman obat
berbanding lurus dengan kandungan bioaktif dari ekstrak tersebut. Hasil penelitian
menunjukkan temulawak aksesi Wonogiri memiliki kandungan bioaktif
kurkuminoid yang tinggi serta bioaktivitas inhibisi enzim α-glukosidase yang
tinggi diantara ketiga aksesi lainnya, sedangkan aksesi Ngawi memiliki
kandungan bioaktif yang rendah serta bioaktivitas inhibisi enzim α-glukosidase
yang rendah, sehingga sesuai bahwa kurkuminoid memiliki bioaktiitas sebagai
inhibitor enzim α-glukosidase.
Pada penelitian ini, aktivitas inhibisi terhadap enzim α-glukosidase juga
dilakukan menggunakan larutan standar Akarbosa (tablet Glucobay). Nilai IC50
dari Akarbosa sebesar (1.46±1.6) x10-4 g/mL (Lampiran 6). Nilai ini jauh lebih
rendah jika dibandingkan dengan ekstrak temulawak. Meskipun begitu, pencarian
obat-obatan dengan bahan herbal tetap menjadi perhatian utama karena bahan
obat yang berasal dari kimia sintetik banyak menimbulkan efek samping. Selain
itu, untuk bahan obat yang berasal dari teknik rekayasa genetik juga masih belum
dapat diterima secara umum (Kumulawati 2005).

Sitotoksisitas Ekstrak Rimpang Temulawak
Pengujian sitoksisitas berbagai ekstrak rimpang temulawak dilakukan
menggunakan metode BSLT dengan larva udang Artemia salina Leach. Alasan
penggunaan metode BSLT ini adalah mudah, murah, hasilnya teruji dengan
tingkat kepercayaan 95% untuk mengamati sitotoksisitas suatu ekstrak kasar
tanaman, dan sebagai metode penapisan untuk pencarian senyawa antikanker dari
tanaman (Colegete et al. 1993).
Pengujian sitotoksisitas kepada larva udang Artemia salina Leach. ini
dilakukan untuk menduga kemampuan bahan aktif yang diuji untuk membunuh
sel kanker, hama penyakit, dan untuk menduga efek farmakologi dari bahan
tersebut (Mc Laughin et al. dalam Attaur-Rahman 1991). Hal ini dikarenakan
bahan obat herbal harus memenuhi persyaratan yang meliputi mutu, keamanan
dan khasiat (BPOM 2005). Senyawa aktif yang memiliki daya sitoksisitas tinggi
diketahui berdasarkan nilai Lethal Concentration 50% (LC50), yaitu konsentrasi
zat toksik yang dapat mengakibatkan kematian organisme sampai 50%. Menurut
Meyer et al. (1982), senyawa kimia dikatakan memiliki daya sitotoksisitas yang
kuat bila mempunyai nilai LC501000 µg/mL.
Menurut Nurcholis (2008), nilai LC50 rendah (dibawah 1000 µg/mL)
menunjukkan daya sitotoksisitas yang tinggi. Hasil penelitian menunjukkan nilai
LC50 dari seluruh ekstrak rimpang temulawak dibawah 100 µg/mL. Hal ini
menggambarkan seluruh ekstrak rimpang temulawak berpotensi sitotoksik kepada
larva udang Artemia salina Leach. Nilai LC50 yang diperoleh hampir sama dengan
penelitian Nurcholis (2008), yaitu 63.60, 77.81, dan 69.05 µg/mL dari ekstrak
etanol 70% rimpang temulawak. Nilai LC50 dari seluruh ekstrak rimpang
temulawak tidak berkorelasi positif dengan kadar kurkuminoid. Hal ini
dikarenakan adanya bioaktif lain yang memiliki nilai sitoksisitas seperti bioaktif
xanthorizol, karena sampel temulawak yang digunakan untuk uji sitotoksisitas ini
masih dalam bentuk ekstrak kasar.

12

SIMPULAN DAN SARAN
Hasil pengujian kadar kurkuminoid dan bioaktivitas (Inhibisi enzim αglukosidase dan sitotoksisitas) menunjukkan bahwa aksesi temulawak terbaik
adalah aksesi asal Wonogiri. Nilai kadar kurkuminoid, IC50, dan LC50 aksesi
Wonogiri berturut-turut sebesar 85.19±4.64 mg/g, 333±22.52 µg/mL, dan
82.78±7.70 g/mL. Tingginya kadar kurkuminoid pada rimpang temulawak
berbanding lurus dengan bioaktivitas inhibisi enzim α-glukosidase dan
sitotoksisitas. Saran dari penelitian ini yaitu perlunya dilakukan pengujian terkait
jenis dan mekanisme inhibisi yang dilakukan oleh kurkuminoid terhadap enzim αglukosidase.

DAFTAR PUSTAKA
Afifah E. 2003. Khasiat dan Manfaat Temulawak. Jakarta: Agromedia Pustaka.
Attaur-Rahman. 1991. Studies In Natural Product Chemistry. Volume 9B.
London: Elsevier.
Basalmah RS. 2006. Optimalisasi kondisi ekstraksi temulawak: waktu, suhu, dan
nisbah [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
[BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2005. Peraturan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.00.05.41.1384 Tahun 2005 tentang
Kriteria dan Tata Laksana Pendaftaran Obat Tradisional, Obat Herbal
Terstandar, dan Fitofarmaka. Jakarta (ID): BPOM.
Coma P et al. 1λλ2. α-glucosidase and N-acetyl-β-D-glucosaminidase isoenzymes
in serum. Clin Chem 38(2):223-226.
Dalimartha S. 2003. Ramuan Tradisional untuk Pengobatan Diabetes Melitus.
Jakarta: Penebar Swadaya.
[Depkes] Departemen Kesehatan. 2002. Uji Makanan dan Minuman SNI 012891-1992. Jakarta (ID): Depkes.
[Depkes] Departemen Kesehatan. 2005. Jumlah Penderita Diabetes Indonesia
Ranking ke-4 Di Dunia. Jakarta (ID): Depkes.
Fahry Irwan. 2011. Aktivitas antidiabetes dan analisis fitokimia ekstrak air dan
etanolndaun wungu (Graptophyllum pictum (L.) Griff) [skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Faraouq. 2003. Ekstrak sebagai salah satu pengembangan bentuk obat tradisional.
Dalam: Prosiding Seninar Nasional Tumbuhan Obat Indonesia XXIII. Jakarta.
Hal: 45-52.
Hwang JK. 2006. Xanthorrizol; A New Bioactive Natural Compound. Yonsei:
Departemen of Biotechnology, Yonsei University.
Jayaprakasha GK, Rao LJ, Sakariah KK. 2002. Improved HPLC method for
determination of curcumin, demethoxycurcumin, and bisdemethoxycurcumin.
Food Chemistry 50:3668-3672.
Khaerana M, Ghulamahdi ED, Purwakusumah. 2008. Pengaruh cekaman
kekeringan dan umur panen yang berbeda terhadap kandungan xanthorrhizol
tanaman temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.). Bul Agron 36:241-247.
Khopkar M. 2003. Konsep Dasar Kimia Analitik. Penerjemah: Sapto Raharjo

13

A. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Terjemahan dari: Analytical Chemistry
Basic Concept.
Kumulawati
E.
2005.
Peningkatan
daya
guna
tanaman
obat.
[http://www.kompas.com/kompas/rubrik/ilmupengetahuan.html.
[10
Feb
2014].
Kusuma WR. 2012. Aktivitas antioksidan dan antiinflamasi in vitro serta
kandungan kurkuminoid dari temulawak dan kunyit asal Wonogiri [skripsi].
Bogor: fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian
Bogor.
Kusnandar F. 2011. Kimia Pangam: Komponen Makro. Jakarta: Dian Rakyat.
Mahapatra AK, Nguyen CN. 2009. Drying of Medical Plants. ISHS Acta
Horticulture. 756: International Symposium on Medical and Nutraceautical
Plants.
Matjik AA, M. Sumertajaya. 2000. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS
dan Minitab. Jilid 1. Ed ke-1. Bogor (ID): IPB Press.
Meyer BN et al. 1982. Brine shrimp: a convecient general bioassay for active
plant constituents. J Medical Plants Res 45: 31-34.
Murray RK, Granner DK, Mayes PA, Rodwel VW. 2003. Biokimia Harper.
Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Nurcholis W. 2008. Profil senyawa penciri bioaktivitas tanaman kunyit pada
agrobiofisik berbeda [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
[Pemkab] Pemerintah Kabupaten Wonogiri. 2014. Kondisi geografis daerah
Wonogiri. Wonogiri (ID): Pemkab Wonogiri.
Pothitirat W, Gritsanapan W. 2006. Variation of biactive components in Curcuma
longa in Thailand. Current Science 91: 1397-1400.
Rukayadi Y, Yong D, Hwang JK. 2006. In vitro anticandidal activity of
xanthorrizol isolated from Curcuma xantorrhiza Roxb. J Antimicrob
Chemother 132:1-4.
Rukmana. 2006. Temulawak: Tanamana Rempah dan Obat. Yogyakarta:
Kanisius.
Saraswaty V. 2010. Alpha glucosidase inhibitory activity from Syzigium sp.
Teknologi Indonesia 33(1):33-37.
Sugiwati S. 2005. Aktivitas Antihiperglikemik dari Ekstrak Buah Mahkota Dewa
(Phaleria macrocarpa (Scheff
oerl. sebagai Inhibitor α-Glukosidase In
Vitro dan In Vivo pada Tikus Putih [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.
Sutrisno, Sukarianingsih D, Saiful M, Putrika A, Kusumaningtyas DI. 2008.
Curcuminoids from Curcuma xanthorriza Roxb: isolation, characterization,
identification, and analysis of antioxidant activity. Procedding of the First
International Symposium on Temulawak, Bogor, 27-29 Mei 2008. Bogor (ID):
Biopharmaca Research Center Bogor Agricultural University, hlm. 225-230.
Udenigwe et al. 2009. Flax seed protein-derived peptide fractions: antioxidant
properties and inhibiton of lipopolysaccharide-induced nitric oxide production
in murine machrophages. Food Chem 116(1):277-284.
Wijayanto EA. 2013. Kandungan kurkuminoid dan daya antioksidan aksesi
temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) asal Sukabumi. Bogor: Institut
Pertanian Bogor.

14

Lampiran 1 Bagian alir penelitian

Preparasi sampel

Ekstraksi dengan etanol 96%

Ekstraksi cair-cair dengan nheksana

Pemekatan dengan Rotavapour
(Fraksi etanol)

Ekstrak
Kurkuminoid

Pengukuran
kadar
kurkumin
(HPLC)

Uji inhibisi αglukosidase

Uji BSLT

15

Lampiran 2 Kadar air simplisia temulawak
Sampel temulawak
Wonogiri
Ciemas
Ngawi
Balitro
Karanganyar
(BPTO)

Ulangan
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3

Kadar air (%)
8.66
8.47
8.53
8.49
8.67
8.53
9.69
10.15
9.92
8.97
9.03
8.82
8.73
8.85
9.30

Rata-rata (%)
8.55±0,09
8.56±0,52
9.92±0,23
8.94±0,11
8.96±0,31

Lampiran 3 Rendemen hasil ekstraksi
Sampel temulawak
Wonogiri
Ciemas
Ngawi
Balitro
Karanganyar (BPTO)

Contoh perhitungan:
Rendemen temulawak (%) =
=
= 17.4964 %

Rendemen (%)
23.8176
20.6192
15.4268
17.4964
12.9628

16

Lampiran 4 Contoh Kromatogram kadar kurkuminoid standar kurkuminoid,
aksesi Wonogiri dan Ngawi

17

Lampiran 5 Kadar kurkuminoid ekstrak temulawak kelima aksesi
Sampel

Senyawa

Ciemas 1

Bisdemetoksi
Demetoksi
Kurkumin
Bisdemtoks
Demetoksi
Kurkumin
Bisdemtoks
Demetoksi
Kurkumin
Total rata-rata
Bisdemtoks
Demetoksi
Kurkumin
Bisdemtoks
Demetoksi
Kurkumin
Bisdemtoks
Demetoksi
Kurkumin
Total rata-rata
Bisdemtoks
Demetoksi
Kurkumin
Bisdemtoks
Demetoksi
Kurkumin
Bisdemtoks
Demetoksi
Kurkumin

Ciemas 2
Ciemas 3

Ngawi 1
Ngawi 2
Ngawi 3

Balitro 1
Balitro 2
Balitro 3

Kurkuminoid
(mg/g)
1.8654
20.9166
44.2609
1.8139
24.2242
51.3785
2.2748
24.1526
50.5710
kurkuminoid
1.2692
15.7685
32.2927
1.0383
1.4976
13.8598
1.4216
11.6153
24.9513
kurkuminoid
2.1612
26.3091
55.0155
2.1956
28.5542
57.2576
2.3036
24.7509
48.6149

Total kurkuminoid
(mg/g)

Sampel
Karanganyar 1

67.0429
Karanganyar 2
77.4166
Karanganyar 3
76.9984
(73.82±5.87)
Wonogiri 1
52.3304
Wonogiri 2
16.3957
37.9882
(35.57±18.09)
83.4858
88.0074
75.0694

Wonogiri 3

Senyawa
Total rata-rata
Bisdemetoksi
Demetoksi
Kurkumin
Bisdemtoks
Demetoksi
Kurkumin
Bisdemtoks
Demetoksi
Kurkumin
Total rata-rata
Bisdemtoks
Demetoksi
Kurkumin
Bisdemtoks
Demetoksi
Kurkumin
Bisdemtoks
Demetoksi
Kurkumin
Total rata-rata

Kurkuminoid
(mg/g)
kurkuminoid
2.0952
24.7045
54.8046
1.8707
22.7526
46.2616
1.4998
22.8961
45.7206
kurkuminoid
2.7456
29.6502
57.9924
2.2441
28.5365
52.9594
2.1501
27.9789
51.3199
kurkuminoid

Total kurkuminoid
(mg/g)
(82.19±6.84)
81.6043
70.8885
70.1166
(74.20±6.42))
90.3881
83.7399
81.4489
(85.19±4.64)

18

Lampiran 6 Data absorbansi dan nilai IC50 ekstrak temulawak
Sampel
Wonogiri
1

Wonogiri
2

Wonogiri
3

Ciemas 1

Ciemas 2

Konsentrasi
( g/mL
50
100
250
500
1000
Blanko
50
100
250
500
1000
Blanko
50
100
250
500
1000
Blanko
50
100
250
500
1000
Blanko
50
100
250

% Inhibisi
-6,50
39.47
40.73
55.55
71.25

IC50
(µg/mL)
331.87

IC50 rerata
(µg/mL)

Sampel

Ciemas3

10.34
21.36
34.78
65.68
75.31

356.87

23.39
12.11
41.87
54.66
84.55

311.07

48.84
2.87
13.63
45.42
77.21

189.73

59.48
51.37
30.98

248.12

333±22.5
Ngawi 1

Ngawi 2

Ngawi 3

347.10±23
2.92

Konsentrasi
(µg/mL)
500
1000
Blanko
50
100
250
500
1000
Blanko
50
100
250
500
1000
Blanko
50
100
250
500
1000
Blanko
50
100
250
500
1000
Blanko

% Inhibisi

IC50
(µg/mL)

IC50 rerata
(µg/mL)

37.19
71.76
7.18
69.48
35.29
54.16
77.46

603.45

-0.28
2.33
14.62
31.42
55.89

802.42

0.08
8.24
16.99
35.91
62.87

1113.71

3.51
11.08
25.50
34.49
61.33

808.92

908.35±177.88

19

Lampiran 6 (lanjutan)
Sampel
Balitro1

Balitro 2

Balitro 3

Karang
-anyar 1

Karang
-anyar 2

Konsentrasi
( g/mL
50
100
250
500
1000
Blanko
50
100
250
500
1000
Blanko
50
100
250
500
1000
Blanko
50
100
250
500
1000
Blanko
50
100
250

% Inhibisi
4.10
9.54
23.73
51.99
79.07

IC50
(µg/mL)
479.07

IC50 rerata
( g/mL

Sampel

Karanganyar
3

3.86
24.67
25.62
51.87
78.89

437.98

10.01
5.75
26.80
51.52
72.80

397.07

-1.81
0.20
9.18
34.61
57.90

891.97

8.24
6.70
20.77

793.91

438.04±41
Akarbos 1

Akarbos 2

Akarbos 3
891.97±118.
02

Konsentra-si
(µg/mL)
500
1000
Blanko
50
100
250
500
1000
Blanko
50
100
250
500
1000
Blanko
50
100
250
500
1000
Blanko
50
100
250
500
1000
Blanko

% Inhibisi

IC50
(µg/mL)

IC50 rerata
(µg/mL)

49.86
54.12
6.7
7.17
22.19
33.66
61.92

859.65

75.81
85.82
90.00
94.30
92.66

5.20x10-5

80.37
85.06
88.10
96.07
97.72

5.81x10-5

76.57
83.66
89.36
96.96
96.96

3.29x10-4

1.46±1.51)x 10-4

20

Lampiran 6 (lanjutan)
Contoh perhitungan:
% Inhibisi

=

[

[

=
= 9.076 %
Ket:

]

]

C = Absorbansi blanko terkoreksi (blanko-kontrol)
S0 = Absorbansi sampel tanpa penambahan enzim
S1 = Absorbansi sampel dengan penambahan enzim

21

Lampiran 7 Grafik pengaruh sampel terhadap % Inhibisi. Grafik presentase
inhibisi berturut-turut menunjukkan aksesi Wonogiri, Ciemas, Ngawi, varietas
Balitro, Karanganyar dan Akarbos.
100

y = 22,828ln(x) - 82,511
R² = 0,9585

Ulangan 1

60

Ulangan 2

40

Ulangan 3
y = 21,701ln(x) - 74,564
R² = 0,8519

20

Log. (Ulangan 1)
Log. (Ulangan 2)

0
0

500

% Inhibisi

-20

1000

1500

Log. (Ulangan 3)

Konsentrasi µg/mL

100
y = 12,785ln(x) - 31,858
R² = 0,2677
y = 0,8367ln(x) + 45,611
80
R² = 0,0037 Ulangan 1
60
Ulangan 2
Ulangan 3

40
y = 15,787ln(x) - 37,048
R² = 0,4522

20
0

Log. (Ulangan 1)
Log. (Ulangan 2)
Log. (Ulangan 3)

0

500

1000

1500

Konsentrasi µg/mL

70
y = 18,174ln(x) - 71,541
y = 18,447ln(x) - 79,414
60
R² = 0,9367
R² = 0,9093
50
Ulangan 1
% Inhibisi

% Inhibisi

y = 22,353ln(x) - 81,327
80
R² = 0,8559

40
30
20
10
0
-10 0
-20

Ulangan 2
y = 19,931ln(x) - 83,452
R² = 0,9134

Ulangan 3
Log. (Ulangan 1)
Log. (Ulangan 2)

500

1000

Konsentrasi µg/mL

1500

Log. (Ulangan 3)

22

% Inhibisi

Lampiran 7 (lanjutan)
90
y = 22,469ln(x) - 88,675
80
R² = 0,9038
y = 25,093ln(x) - 102,62
70
R² = 0,9228
Ulangan 1
60
Ulangan 2
50
40
30
20
10
0
-10 0

y = 23,218ln(x) - 88,939
R² = 0,9075

Ulangan 3
Log. (Ulangan 1)
Log. (Ulangan 2)
Log. (Ulangan 3)

500
1000
Konsentrasi µg/mL

1500

% Inhibisi

70
y = 20,014ln(x)
- 88,706
60
y = 17,723ln(x) - 68,336

=
0,8806
50
R² = 0,8847
Ulangan 1
40
Ulangan 2
30
y = 17,881ln(x) - 70,801
R² = 0,8861

20
10

Log. (Ulangan 1)
Log. (Ulangan 2)

0
-10 0
-20

% Inhibisi

Ulangan 3

500

1000

1500

Log. (Ulangan 3)

Konsentrasi µg/mL

120
y = 3,7534ln(x) + 87,028y = 3,9715ln(x) + 88,736
R² = 0,987
R² = 0,8718
100
Ulangan 1
80
Ulangan 2
60 y = 4,7183ln(x) + 87,839
Ulangan 3
R² = 0,972
40
Log. (Ulangan 1)
20
Log. (Ulangan 2)
Log. (Ulangan 3)

0
0

5

10

Konsentrasi µg/mL

15

23

Lampiran 8 Nilai LC50 ekstrak temulawak
Aksesi
Wonogiri

Ciemas

Ngawi

Balitro

Karanganyar

Ulangan
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3

LC50 μg/mL
88.488
80.473
73.059
80.473
73.059
117.688
73.059
73.059
46.374
80.473
88.488
94.069
46.374
45.676
73.059

LC50 rata-rata μg/mL
82.78±7.70

90.33±23.90

69.29±15.40

88.51±6.83

55.00±15.60

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Serang, Banten pada tanggal 19 Maret 1991 dari ayah
M. Ali Anang dan ibu Siti Asyiah. Penulis merupakan anak ketiga dari lima
bersaudara. Tahun 2010 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Kramatwatu, Serang
dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB dan diterima di Departemen
Biokimia, Fakultas Ilmu dan Pengetahuan Alam.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah melakukan Praktik Lapangan
(PL) di Lembaga Eijkman, Jakarta Pusat selama periode Juli 2013 hingga Agustus
2013 dengan judul “Identifikasi Polimerfisme T1618λ pada d-loop DNA
Mitokondria dengan Teknik PCR-RFLP”. Penulis juga pernah menerima dana
hibah dari DIKTI untuk Program Kreativitas Mahasiswa dalam bidang Penelitian
dengan judul Efektivitas Alelopati Alang-Alang Ekstrak Trichoderma Sp.
Sebagai Bioherbisida Pengendali Gulma Teki. Sejak tahun 2011 hingga sekarang
penulis aktif mengajar mahasiswa di tempat Bimbingan Belajar. Adapun mata
kuliah yang diajarkan yaitu Kimia Praktikum, Kimia Dasar, Kimia Organik,
Fisika
Praktikum