Kandungan Kurkuminoid, Inhibisi a-Glukosidase dan Sitotoksisitas Ekstrak dari Beberapa Aksesi Kunyit (Curcuma domestica Val.)

KANDUNGAN KURKUMINOID, INHIBISI α-GLUKOSIDASE,
DAN SITOTOKSISITAS EKSTRAK DARI BEBERAPA
AKSESI KUNYIT (Curcuma domestica Val.)

AYU KARTIKA

DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

 

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Kandungan
Kurkuminoid, Inhibisi α-Glukosidase, dan Sitotoksisitas Ekstrak dari Beberapa
Aksesi Kunyit (Curcuma domestica Val.) benar karya saya dengan arahan komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal dari atau dikutip dari karya yang

diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
Ayu Kartika
NIM G84100040

 

ABSTRAK
AYU KARTIKA. Kandungan Kurkuminoid, Inhibisi α-Glukosidase, dan
Sitotoksisitas Ekstrak dari Beberapa Aksesi Kunyit (Curcuma domestica Val.).
Dibimbing oleh WARAS NURCHOLIS dan POPI ASRI KURNIATIN.
Kunyit (Curcuma domestica Val.) merupakan salah satu tanaman obat
famili Zingiberaceae dengan kandungan kurkuminoid pada rimpangnya.
Penelitian ini bertujuan menentukan kandungan kurkuminoid, aktivitas inhibisi αglukosidase, serta menguji sitotoksisitas ekstrak kurkuminoid kunyit dari
beberapa aksesi. Analisis kandungan kurkuminoid dilakukan menggunakan
HPLC. Inhibisi α-glukosidase dilakukan secara in vitro dengan substrat p-NPG.
Sitotoksisitas ekstrak kurkuminoid kunyit dilakukan dengan metode BSLT. Kadar

kurkuminoid tertinggi dimiliki oleh aksesi Ngawi, disusul oleh aksesi Ciemas,
Wonogiri, dan Nagrak. Kadar kurkuminoid Ngawi sebesar 24.50%. Bioaktivitas
ekstrak rimpang kunyit tertinggi sebagai penghambat kerja α-glukosidase adalah
aksesi Nagrak dengan nilai IC50 sebesar 207.093 µg/mL. Hasil uji sitotoksisitas
menunjukkan bahwa seluruh sampel memiliki bioaktivitas dan aksesi yang
memiliki nilai LC50 terbaik adalah Karanganyar sebesar 19.090 µg/mL. Aksesi
Nagrak, Wonogiri, dan Ngawi, memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi
varietas kunyit baru dengan bioaktivitas tinggi dalam menginhibisi α-glukosidase
dengan tingkat kekuatan IC50 sedang.
Kata kunci: α-glukosidase, kunyit, kurkuminoid, sitotoksisitas

ABSTRACT
AYU KARTIKA. The contens of curcuminois, Inhibition of α-Glucosidase, and
Cytotoxicity of Some Accession Turmeric Extract (Curcuma domestica Val.).
Supervised by WARAS NURCHOLIS and POPI ASRI KURNIATIN.
Turmeric (Curcuma domestica Val.) is a medicinal plant family
Zingiberaceae with curcuminoid content of the rhizome. This study aims to
determine the content of curcuminoid, α-glucosidase inhibitory activity, and
cytotoxicity test curcuminoids of turmeric extracts from several accessions.
Curcuminoid content analysis was performed using HPLC. Inhibition of αglucosidase performed in vitro with the substrate p-NPG. The cytotoxicity of

curcuminoid extract of turmeric using BSLT method. The highest levels of
curcuminoid owned by Ngawi, followed by Ciemas, Wonogiri, and Nagrak.
Levels curcuminoids Ngawi of 24.50%. Turmeric extract the highest bioactivvity
as α-glucosidase inhibitor activity is Nagrak accession with IC50 values of
207.093 µg/mL. Cytotoxycity test results showed that all samples have bioactivity
and accession have the best LC50 value is Karanganyar at 19.090 µg/mL. Nagrak,
Wonogiri, and Ngawi, has the potential to be developed into new varieties of
turmeric with high bioactivity in inhibition α-glucosidase with IC50 moderate
level.
Keywords : α-glucosidase, curcuminoids, cytotoxicity, turmeric

 

KANDUNGAN KURKUMINOID, INHIBISI α-GLUKOSIDASE,
DAN SITOTOKSISITAS EKSTRAK DARI BEBERAPA
AKSESI KUNYIT (Curcuma domestica Val.)

AYU KARTIKA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Biokimia

DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

 

 

Judul Skripsi: Kandungan Kurkuminoid, Inhibisi a-Glukosidase dn Sitotoksisitas
Ekstrk dari Beberapa Aksesi Kunyit (Curcuma domestica Val.)
Nama

: Ayu Krtika


NIM

: 084100040

Disetujui oleh

fWrs Nurcholis, SS. MSi
Pembimbing I

·

·· :JMade Artika, MpSc
Keua Deprtemen

Tnggal Lulus: 2 S

1 ! I('

2014


 

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala limpahan
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian ini adalah inhibisi enzim α-glikosidase dan sitotoksisitas. Karya
ilmiah ini berjudul Kandungan Kurkuminoid, Inhibisi α-Glukosidase, dan
Sitotoksisitas Ekstrak dari Beberapa Aksesi Kunyit (Curcuma domestica Val.).
Karya ilmiah ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains
di Departemen Biokimia, FMIPA, IPB. Karya ilmiah ini memberikan deskripsi
mengenai topik penelitian yang telah dilakukan penulis sejak Februari-Mei 2014
di Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka, Institut Pertanian Bogor.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Waras Nucholis, SSi, MSi
selaku pembimbing utama dan Popi Asri Kurniatin SSi Apt, MSi selaku
pembimbing kedua atas arahan, bimbingan, serta motivasi yang telah diberikan.
Ungkapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada ayah, ibu, Rizki Aulia
Nuzullina, dan seluruh keluarga atas doa, semangat, serta kasih dan sayangnya.
Tidak lupa kepada seluruh teman-teman Biokimia 47, khususnya Hermanto, Gia,
Aji, Lidya, Dita, dan Sisil yang selama ini memberikan bantuan dan semangat

sehingga penelitian ini dapat diselesaikan. Tidak lupa penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada seluruh staf Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka yaitu
Bapak Taufik, Mas Endi, Mba Lela, Bu Nunuk, Mba Ina, Mas Nio, dan seluruh
pihak di Pusat Studi Biofarmaka yang telah membantu dalam menyelesaikan
penelitian ini.
Penulis menyadari bahwa masih ada kekurangan dalam penulisan karya
ilmiah ini, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar
tulisan ini dapat berguna bagi penulis sendiri dan pembaca. Atas kritik dan saran
yang diberikan penulis ucapkan terima kasih. Semoga penelitian ini dapat
memberikan manfaat bagi bidang biokimia dan masyarakat, serta dalam kemajuan
ilmu pengetahuan.
Bogor, Agustus 2014

Ayu Kartika

 

DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR


x

DAFTAR LAMPIRAN

x

PENDAHULUAN

1

METODE

2

Bahan

2

Alat


3

Prosedur Penelitian

3

HASIL

6

Kadar Air Simplisia Kunyit

6

Ekstrak Simplisia Rimpang Kunyit

6

Kadar Kurkuminoid Ekstrak Kunyit


7

Nilai IC50 Ekstrak Kunyit terhadap Enzim α-Glukosidase

8

Sitotoksisitas Ekstrak Kunyit

9

PEMBAHASAN

10

Ekstrak Kunyit

10

Kadar Kurkuminoid Ekstrak Kunyit


11

Bioaktivitas Ekstrak Kunyit dalam Inhibisi Enzim α-Glukosidase

13

Sitotoksisitas Kunyit

14

SIMPULAN DAN SARAN

14

Simpulan

14

Saran

15

DAFTAR PUSTAKA

15

LAMPIRAN

18

RIWAYAT HIDUP

35

 

DAFTAR GAMBAR
1. Kadar air simplisia rimpang kunyit
2. Rendemen ekstrak rimpang kunyit
3. Kadar kurkuminoid ekstrak kunyit
4. Nilai IC50 ekstrak kunyit dari beberapa aksesi dan akarbosa
5. LC50 ekstrak kunyit dari beberapa aksesi

6
7
7
9
9

DAFTAR LAMPIRAN
1. Diagram alir penelitian
2. Kadar air simplisia rimpang kunyit
3. Rendemen hasil ekstraksi
4. Absorbansi ekstrak kunyit dalam inhibisi enzim α-glukosidase
5. Pengaruh sampel terhadap % inhibisi enzim α-glukosidase
6. Nilai IC50 ekstrak kunyit terhadap enzim α-glukosidase
7. Kadar kurkuminoid ekstrak kunyit (ulangan 1)
8. Rata-rata kadar kurkuminoid ekstrak kunyit
9. Nilai LC50 ekstrak kunyit

18
19
19
20
23
27
28
32
33 

 

PENDAHULUAN
Gaya hidup yang tidak sehat, konsumsi makanan cepat saji, dan merokok
dapat menyebabkan berbagai penyakit, antara lain diabetes melitus. American
Diabetes Association (ADA) mendefinisikan diabetes melitus sebagai penyakit
metabolik yang ditandai dengan kondisi hiperglikemia akibat gangguan sekresi
insulin, kerja insulin, atau keduanya. Diabetes melitus juga dapat disebabkan
adanya peningkatan radikal bebas yang dipicu oleh stress oksidatif dan adanya
peningkatan kerja enzim α-glukosidase. Prevalensi penderita diabetes melitus di
Indonesia sebesar 8.6% dan diperkirakan oleh World Health Organization (WHO)
penderita diabetes pada tahun 2030 akan mencapai 21.3 juta jiwa. Hal ini akan
menjadikan Indonesia menduduki peringkat ke-4 jumlah penderita diabetes
terbanyak di dunia setelah Amerika Serikat, Cina, dan India (Depkes 2013).
Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi penyakit diabetes
melitus tipe II adalah diet, olahraga, dan pemberian obat seperti sulfonilurea,
biguanida, inhibitor α-glukosidase, thiozolidindion, dan miglitinida. Salah satu
obat diabetes melitus adalah inhibitor α-glukosidase (AGI) yang menghambat
kerja enzim α-glukosidase. Enzim α-glukosidase adalah enzim yang memecah
karbohidrat menjadi glukosa di dalam usus halus yang menyebabkan kondisi
hiperglikemia pada penderita diabetes melitus. Oleh karena itu, perlu adanya
penghambatan kerja enzim α-glukosidase yang dapat membantu mengatasi
kondisi hiperglikemia dengan mengurangi penyerapan glukosa di usus (Febrinda
et al. 2013). Akarbosa merupakan salah satu obat sintetik golongan AGI yang
dihasilkan dari proses fermentasi mikroorganisme yang bekerja secara kompetitif.
Akarbosa ini telah banyak digunakan untuk mengatasi diabetes tipe II, namun
obat ini menyebabkan berbagai efek samping (Feng et al. 2011). Oleh karena itu,
banyak usaha yang dilakukan untuk menemukan AGI dari sumber alami untuk
mengobati diabetes seperti bioaktif dari suatu tanaman.
Kunyit (Curcuma domestica Val.) merupakan salah satu tanaman famili
Zingiberaceae yang potensial untuk dikembangkan sebagai obat herbal (Bermawie
et al. 2006). Kriteria tanaman sebagai obat dapat dilihat dari kualitas tanaman obat
dan khasiatnya. Kualitas tanaman sebagai obat dilihat dari kandungan bioaktifnya,
sedangkan khasiatnya dilihat dari efek farmakologi serta pengujian terhadap
kandungan bioaktif tanaman tersebut (Biofarmaka 2013). Khasiat kunyit sebagai
obat herbal dikarenakan adanya kandungan bioaktif dalam rimpangnya yaitu
kurkuminoid. Kurkuminoid merupakan senyawa golongan flavonoid yang
memberikan warna kuning pada rimpang kunyit dan temulawak. Kurkuminoid
terdiri atas tiga komponen penyusun yaitu kurkumin, demetoksikurkumin, dan
bisdemetoksikurkumin (Anand et al. 2008). Kandungan kurkuminoid rimpang
kunyit memiliki khasiat sebagai antikolesterol, antioksidan, antibakteri,
antihepatotoksik, antidiabetes, antikanker, inhibitor HIV-1 (antiinfeksi virus),
imunostimulan, dan antiinflamasi (Bermawie et al. 2006).
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa kurkuminoid kunyit berpotensi
sebagai obat antidiabetes. Kurkuminoid yang diberikan pada tikus yang
mengalami diabetes melitus dapat meningkatkan enzim penting untuk mengubah
glukosa menjadi glikogen dan menghambat peningkatan glukosa setelah makan.
Kurkuminoid juga dapat meningkatkan reseptor insulin dengan aktivitasnya
terhadap peroxisome proliferator-activated receptor gamma (PPAR-γ) dan dapat


 

menurunkan produksi glukosa di hati dengan mengaktivasi AMP kinase dan
menghambat aktivitas glucosa-6-phosphatase dan phosphoenolpyruvate
carboxykinase (Kuroda et al. 2005; Nishiyama et al. 2005; Fujiwara et al. 2008).
Khasiat kurkuminoid sebagai inhibitor enzim α-glukosidase belum diketahui.
Kandungan kurkuminoid pada rimpang kunyit dimanfaatkan sebagai obat,
sehingga perlu dilakukan pengujian sitotoksisitas untuk mengetahui sifat
sitotoksik. Senyawa yang bersifat sitotoksik dikaitkan dengan kemampuan
senyawa dalam menghambat pembelahan sel kanker. Uji sitotoksisitas merupakan
uji hayati untuk menduga suatu ekstrak dapat berfungsi sebagai penghambat
pembelahan sel kanker. Pengujian dilakukan dengan metode BSLT (Brine Shrimp
Lethality Test) menggunakan Artemia salina L. (Meyer et al. 1982).
Ketersediaan rimpang kunyit di Indonesia cukup melimpah dengan berbagai
aksesi yang berpotensi dikembangkan menjadi varietas kunyit baru. Pemanfaatan
rimpang kunyit sebagai obat tradisional dan industri obat dikarenakan kandungan
kurkuminoidnya. Pengaruh kualitas dan khasiat dari berbagai aksesi kunyit
dipengaruhi oleh lokasi penanaman, tekstur tanah, suhu, dan umur panen. Oleh
karena itu, diperlukan pemilihan aksesi kunyit yang memiliki kandungan
kurkuminoid rimpangnya sekitar 2.5-6% (Krishnamurthy et al. 1976).
Penelitian ini menggunakan lima aksesi kunyit (Karanganyar, Ngawi,
Nagrak, Wonogiri, dan Ciemas) dan dua varietas pembanding asal Balitro, Bogor
(Turina-1 dan Turina-2) yang ditanam pada kondisi dan lokasi yang sama.
Penanaman dilakukan di kebun budidaya kecamatan Nagrak, Sukabumi. Rimpang
kunyit dipanen sembilan bulan setelah masa tanam dengan metode penanaman
sesuai Standart Operational Procedure (SOP) budidaya kunyit dari Pusat Studi
Biofarmaka LPPM IPB. Kelima aksesi kunyit tersebut belum diuji kandungan
kurkuminoid ekstraknya, daya inhibisi terhadap α-glukosidase, serta sifat
sitotoksik ekstrak tersebut. Oleh karena itu, dilakukan penelitian kandungan
kurkuminoid ekstrak kunyit dengan HPLC, inhibisi α-glukosidase oleh ekstrak
kunyit, serta sitotoksisitasnya.
Penelitian ini bertujuan menentukan kandungan kurkuminoid, aktivitas
inhibisi α-glukosidase, serta menguji sitotoksisitas ekstrak kurkuminoid kunyit
dari beberapa aksesi. Penelitian ini diharapkan mampu memperoleh aksesi kunyit
dengan kandungan kurkuminoid yang tinggi yang memiliki daya inhibisi enzim
α-glukosidase sebagai obat antidiabetes. Pengujian sitotoksisitas ekstrak kunyit
diharapkan dapat memberikan informasi tentang penggunan rimpang kunyit
sebagai antikanker dengan nilai sitotoksisitas yang tinggi.

METODE
Bahan
Bahan-bahan yang digunakan adalah rimpang kunyit dari lima aksesi
koleksi dari Pusat Studi Biofarmaka LPPM IPB antara lain Karanganyar, Ngawi,
Nagrak, Wonogiri, dan Ciemas, serta dua varietas unggul dari Balitro yaitu
Turina-1 dan Turina-2, akuades, etanol 96%, n-heksan, standar kurkuminoid
(kurkumin, demetoksikurkumin, bisdemetoksikurkumin), metanol, tablet

3
 

glukobay (akarbosa), DMSO (dimethyl sulfoxide), KH2PO4, K2HPO4, NaOH 1 N,
bufer fosfat pH 7, HCl 2N, enzim α-glukosidase, Na2CO3 200 mM, substrat pnitrofenil-α-D-glukopiranosida (p-NPG), alumunium foil, larva udang Artemia
salina L., air laut, dan tween-80.

Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah neraca analitik
Sartorius, oven Memmert, pisau, penggiling 100 mesh, mikropipet, tip, pipet
volumetrik, vorteks, rotary evaporator Buchi Syncore, ultrasonikator, sudip, pipet
tetes, gelas ukur, corong, kertas saring, corong pisah, cawan porselen, aerator,
inkubator 37°C, pH meter, freezer, gelas piala, labu Erlenmeyer, tabung reaksi,
cawan, pipet tetes, kaca pembesar, bulb, microplete reader Epoch BioTek, dan
HPLC (High Performance Liquid Chromatography) Hitachi.
Prosedur Penelitian
Preparasi Sampel
Sebanyak lima aksesi rimpang kunyit (Nagrak, Wonogiri, Karanganyar,
Ngawi, Ciemas), dan dua varietas unggul asal Balitro (Turina-1 dan Turina-2)
diambil dari kebun koleksi Kecamatan Nagrak, Kabupaten Sukabumi. Rimpang
kunyit dibersihkan dan dicuci menggunakan air mengalir sampai semua tanah dan
kotoran yang menempel pada rimpang kunyit hilang. Semua rimpang kunyit yang
telah dibersihkan, dipotong tipis, selanjutnya dikeringkan dibawah sinar matahari
selama 5 hari. Simplisia kering yang diperoleh kemudian digiling sehingga
dihasilkan simplisia serbuk dengan ukuran 100 mesh.
Pengukuran Kadar Air Simplisia Kunyit
Penentuan kadar air simplisia kunyit dilakukan dengan metode SNI (1992)
yang telah dimodifikasi. Cawan porselen dikeringkan selama 3 jam dalam oven
pada suhu 105°C, lalu didinginkan dalam eksikator selama 1 jam kemudian bobot
cawan ditimbang (a). Sebanyak 3 g sampel ditimbang (b), lalu dimasukkan ke
dalam cawan porselen dan dikeringkan dalam oven selama 4-6 jam pada suhu
105°C. Setelah itu, didinginkan dalam eksikator dan ditimbang kembali (c).
Pengukuran kadar air diulang sampai 3 kali, hingga dicapai bobot konstan, dan
dihitung kadar airnya. Adapun rumus penentuan kadar air sebagai berikut:
% Bahan kering (BK)
x 100%
% Kadar air = 100 - %BK
Isolasi Kurkuminoid
Isolasi kurkuminoid dilakukan dengan metode Mujib (2011) yang telah
dimodifikasi. Serbuk rimpang kunyit sebanyak 25 g diekstraksi secara maserasi
dengan pelarut etanol 96% dengan perbandingan simplisia dengan pelarut 1:10.
Simplisia direndam dengan pelarut sambil sesekali diaduk selama 6 jam,
kemudian didiamkan selama 24 jam. Ekstrak disaring dan filtratnya dikumpulkan
dalam labu ekstraksi. Hasil maserasi kemudian diekstraksi cair-cair dengan

 
 

4
 

pelarut n-heksan dengan perbandingan 1:1. Fraksi etanol kemudian dipekatkan
dengan rotary evaporator sehingga diperoleh pasta. Rendemen ekstrak dihitung
dengan rumus sebagai berikut :
Rendemen ekstrak
 x 
%
 

Keterangan : a = bobot ekstrak
b = bobot contoh

   

Pengukuran Kandungan Kurkuminoid Ekstrak Kunyit menggunakan HPLC
(High Performance Liquid Chromatography)
Kandungan kurkuminoid ekstrak kunyit diukur menggunakan metode
Jayaprakasha et al. (2002). Sebanyak 5 mg masing-masing ekstrak kunyit
ditimbang, dilarutkan ke dalam 50 mL metanol, kemudian disaring dengan kertas
saring, diencerkan 100x, dan ditempatkan ke dalam vial HPLC. Sebanyak 10 μL
dari larutan ekstrak kunyit dari masing-masing sampel diinjeksikan ke dalam
kolom HPLC. Standar kurkuminoid yang digunakan dengan konsentrasi 0.5 ppm.
Kondisi HPLC yang digunakan adalah HPLC kolom C18 dengan fase gerak
metanol, laju alir 1 mL/menit, panjang dan diameter kolom yaitu 25 cm x 4.6 mm,
pressure limit 200 kg/cm2, volume injeksi 10 μL, suhu kolom 48°C. Kurkuminoid
kunyit dianalisis pada panjang gelombang 245 nm dengan detektor Uv-Vis. Hasil
running dianalisis data dengan menggunakan rumus perhitungan:
[inject] (ppm) 

L

L

[sampel] (mg/g) )
[sampel] (%)

 

 

 

 

 

 

 V

 x 

 x  standar
   

   FP



 

Total kurkuminoid (%) = [sampel]kurkumin + [sampel]desmetoksikurkumin +
[sampel]bisdesmetoksikurkumi
Uji Inhibisi α-Glukosidase
Pengujian inhibisi α-glukosidase dilakukan dengan modifikasi metode
Saraswaty (2010) secara in vitro. Pengujian inhibisi aktivitas enzim α-glukosidase
menggunakan substrat p-nitrofenil-α-D-glukopiranosida (p-NPG) dan enzim αglukosidase. Dalam pengujian tersebut enzim α-glukosidase akan menghidrolisis
substrat p-NPG menjadi α-D-glukosa dan p-nitrofenol yang berwarna kuning.
Warna kuning yang dihasilkan menjadi indikator kemampuan inhibitor untuk
menghambat reaksi yang terjadi. Semakin besar kemampuan inhibitor
menghambat α-glukosidase, warna kuning yang dihasilkan akan lebih pudar
dibandingkan dengan larutan tanpa inhibitor.
Larutan enzim dibuat dengan melarutkan 1.0 mg enzim α-glukosidase dalam
larutan bufer fosfat (pH 7) yang mengandung 200 mg serum bovin albumin
(SBA). Larutan enzim kemudian diencerkan 25 kali dengan bufer fosfat (pH 7).
Campuran reaksi sampel terdiri atas 25 µL p-NPG 20 mM, 25 µL bufer fosfat
(pH7) 100 mM, dan 1 µL larutan ekstrak dalam DMSO. Selanjutnya campuran
tersebut ditambahkan larutan enzim sebanyak 25 µL dan diinkubasi selama 30
menit di ruang gelap. Setelah itu reaksi enzim dihentikan dengan menambahkan
Na2CO3 200 mM sebanyak 100 µL. Selanjutnya larutan diukur dengan microplate
reader pada panjang gelombang 410 nm.

5
 

Larutan kontrol positif dibuat dengan melarutkan tablet akarbosa dalam
bufer fosfat (pH 7) dan HCl 2N:akuades (1:1) dengan konsentrasi 1% (b/v).
Larutan blanko dibuat dari 10 µL DMSO. Setelah itu, kontrol positif dan blanko
diambil sebanyak 10 µL, kemudian dimasukkan ke dalam campuran reaksi seperti
dalam sampel dan diukur dengan microplate reader pada panjang gelombang 410
nm. Percobaan dilakukan sebanyak tiga kali ulangan dan dihitung dalam inhibisi
dengan rumus:
C S
% inhibisi =
 x 
%
C
Keterangan: C = absorban larutan blanko terkoreksi
S = absorban sampel terkoreksi
Uji Sitotoksisitas dengan Metode BSLT
Pengujian sitotoksisitas pada sampel dilakukan dengan menggunakan
metode Meyer (1982). Air laut disaring untuk mengurangi pengotor. Telur larva
udang Artemia salina L. ditimbang sebanyak 0.5 g dan dimasukkan ke dalam labu
Erlenmeyer yang berisi air laut yang telah disaring sebanyak 400 mL. Telur larva
udang ditetaskan selama 48 jam dengan bantuan aerator. Larutan uji ekstrak
kurkuminoid kunyit, sebanyak 0.02 mg ekstrak kurkuminoid kunyit ditimbang,
dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan 1 tetes tween-80, kemudian
dilarutkan dalam 10 mL air laut sehingga konsentrasinya 2000 µg/mL sebagai
stock. Setelah itu, larutan diultrasonikator untuk membantu melarutkan ekstrak.
Setelah 48 jam inkubasi, sebanyak 1000 μL air laut (berisi 10 ekor larva udang)
dimasukkan ke dalam masing-masing sumur. Larutan uji ditambahkan ke dalam
masing-masing sumur dengan konsentrasi dalam tiap sumur 10, 100, 500, dan
1000 µg/mL. Campuran tersebut didiamkan selama 24 jam. Setelah didiamkan
selama 24 jam, larva udang yang masih hidup dan sudah mati dihitung jumlahnya
dengan bantuan kaca pembesar dan dicatat hasilnya.
Data hasil pengujian BSLT dianalisis berdasarkan perhitungan jumlah larva
yang mati dan yang masih hidup. Tingkat kematian atau % mortalitas diperoleh
dengan cara membandingkan antara jumlah larva yang mati dengan jumlah total
larva. Nilai LC50 diperoleh dengan melakukan analisis probit menggunakan
software SPSS 16. Ekstrak dinyatakan aktif apabila nilai LC50 lebih kecil dari
1000 µg/mL.
Analisis Data
Data yang diperoleh kemudian dinalisis secara statistik menggunakan
software SPSS 16 dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dan
metode ANNOVA (Analysis of Variance) untuk menganalisis data (Matjik 2002)
serta uji lanjut Duncan. Model rancangan tersebut adalah Yij = μ + τi + εij pada
selang kepercayaan 95%.
Keterangan:
i
= 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 7
j
= 1, 2, dan 3
Yij = pengamatan aksesi kunyit ke-i dan ulangan ke-j
μ
= pengaruh rataan umum
τi
= pengaruh rataan ke-i
εij = pengaruh galat pengamatan aksesi ke-i dan ulangan ke-j

 
 

6

HASIL
Kadar Air Simplisia Kunyit
Kadar air simplisia kunyit dari dua varietas unggul Balitro (Turina-1 dan
Turina-2) serta lima aksesi (Karanganyar, Ngawi, Nagrak, Wonogiri, dan Ciemas)
ditentukan dengan menghitung bobot bahan sebelum dan sesudah dikeringkan pada
suhu diatas titik didih air. Pengeringan dilakukan pada kondisi yang sama
menggunakan oven pada suhu 105°C selama 4-6 jam sampai diperoleh bobot yang
konstan. Perbedaan antara bobot sebelum dan sesudah dikeringkan adalah kadar air.
Kadar air seluruh simplisia rimpang kunyit yang diamati berkisar antara 6.14-14.10%
(Gambar 1). Kunyit yang berasal dari Ngawi memiliki kadar air tertinggi
dibandingkan dengan kunyit aksesi yang lain dengan nilai kadar air sebesar 14.10%
dan kunyit yang berasal dari Karanganyar memiliki nilai kadar air terendah dengan
nilai kadar air sebesar 6.14% (Lampiran 2).

Kadar air (%)

16

14.10 ± 0.16

11.69 ± 0.29
14
10.88 ± 0.03
12

10.28 ± 0.17
8.89 ± 0.17
8.54 ± 0.17

10
8

6.14 ± 0.30

6
4
2
0

Kunyit
Gambar 1 Kadar air simplisia rimpang kunyit
Ekstrak Simplisia Rimpang Kunyit
Hasil ekstraksi rimpang kunyit yang berasal dari lima aksesi dan dua
varietas unggul Balitro menghasilkan rendemen berkisar antara 8.46-13.71%.
Hasil rendemen ekstrak rimpang kunyit dapat dilihat pada Gambar 2. Semakin
tinggi nilai rendemen suatu ekstrak menunjukkan semakin banyak senyawa
bioaktif yang terekstrak dalam ekstrak tersebut. Ekstrak rimpang kunyit yang
dihasilkan masih berupa ekstrak kasar. Rendemen tertinggi ekstrak kasar
kurkuminoid rimpang kunyit dimiliki oleh aksesi Ngawi sebesar 12.34% diikuti
oleh aksesi Ciemas, Karanganyar, Nagrak, dan Wonogiri (Lampiran 3). Hasil
rendemen kelima aksesi kunyit (Karanganyar, Ngawi, Nagrak, Wonogiri, dan
Ciemas) ini tidak jauh berbeda dengan rendemen dua varietas unggul Balitro,
Bogor (Turina-1 dan Turina-2).

7

Rendemen (%)

 

16
14
12
10
8
6
4
2
0

13.71
11.67

12.34
10.36

9.77

10.42
8.46

Kunyit
Gambar 2 Rendemen ekstrak rimpang kunyit
Kadar Kurkuminoid Ekstrak Kunyit

Kandungan kurkuminoid (%
b/b)

Hasil penentuan kadar kurkuminoid ekstrak kunyit dari lima aksesi dan dua
varietas unggul menggunakan HPLC disajikan pada Tabel 1 dan Gambar 3. Kadar
kurkuminoid dari ketujuh ekstrak kunyit berkisar antara 19.47-24.50%. Kadar
kurkuminoid kunyit dari seluruh sampel tidak berbeda nyata dengan uji Duncan
pada taraf nyata 95%. Aksesi Ngawi memiliki kadar kurkuminoid tertinggi diikuti
oleh aksesi Ciemas, Wonogiri, Nagrak, dan Karanganyar. Kadar kurkuminoid
(bisdemetoksikurkumin, demetoksikurkumin, dan kurkumin) tertinggi dimiliki
oleh aksesi Ngawi sebesar 24.50%, sedangkan kadar kurkuminoid terendah
dimiliki oleh aksesi Karanganyar sebesar 19.47% (Lampiran 7). Kelima aksesi
kunyit tersebut memiliki kadar kurkuminoid yang tidak kalah baiknya dengan dua
varietas unggul Balitro (Turina-1 dan Turina-2).
30

22.53 ± 3.70
24.50 ± 3.74
22.02 ± 2.85
21.92 ± 2.55
19.47 ± 3.87
25 21.20 ± 0.45
21.20 ± 1.66
20
15
10
5
0

Kunyit
Gambar 3 Kadar kurkuminoid ekstrak kunyit. (*) aksesi dengan kandungan
kurkuminoid tertinggi
 
 

8

Tabel 1 Kadar kurkuminoid ekstrak kunyit dari beberapa aksesi
Kunyit
Turina-1

Turina-2

Karanganyar

Ngawi

Nagrak

Wonogiri

Ciemas

Senyawa
Bisdemetoksi**
Demetoksi*
Kurkumin
Bisdemetoksi**
Demetoksi*
Kurkumin
Bisdemetoksi**
Demetoksi*
Kurkumin
Bisdemetoksi**
Demetoksi*
Kurkumin
Bisdemetoksi**
Demetoksi*
Kurkumin
Bisdemetoksi**
Demetoksi*
Kurkumin
Bisdemetoksi**
Demetoksi*
Kurkumin

Sampel (mg/g)
37.66
57.82
116.32
33.49
54.22
132.48
35.61
44.86
114.23
37.61
57.62
149.80
38.02
49.04
124.93
41.35
50.68
127.14
41.94
53.27
130.12

Total kurkuminoid
(mg/g)
212.04

220.19

194.70

245.03

211.98

219.16

225.33

Keterangan: * senyawa turunan pertama kurkumin
** senyawa turunan kedua kurkumin

Nilai IC50 Ekstrak Kunyit terhadap Inhibisi Enzim α-Glukosidase
Kemampuan ekstrak rimpang kunyit dalam menghambat kerja enzim αglukosidase dinyatakan dengan nilai IC50. Nilai IC50 ekstrak rimpang kunyit
terhadap enzim α-glukosidase dapat dilihat pada Gambar 4. Nilai IC50 dari seluruh
aksesi kunyit berkisar antara 207.093-350.659 µg/mL, sedangkan nilai IC50
akarbosa sebagai obat penghambat kerja enzim α-glukosidase sebesar 0.0485
µg/mL. Hasil uji statistik, uji Duncan pada taraf 95% menunjukkan bahwa aksesi
Ngawi, Nagrak, dan Wonogiri tidak berbeda nyata, sedangkan aksesi Ciemas dan
Karanganyar berbeda nyata dengan aksesi lainnya. Nilai IC50 dari dua varietas
pembanding (Turina-1 dan Turina-2) tidak berbeda nyata dengan aksesi Ngawi,
Nagrak, dan Wonogiri. Nilai IC50 ekstrak kunyit yang tertinggi dimiliki oleh
aksesi Ciemas sebesar 350.659 µg/mL, sedangkan nilai IC50 terendah adalah
aksesi Nagrak sebesar 207.093 µg/mL (Lampiran 6). Daya inhibisi enzim αglukosidase terbaik dimiliki oleh aksesi Nagrak, diikuti dengan aksesi Wonogiri,
Ngawi, dan Karanganyar. Hasil penentuan nilai IC50 tersebut menunjukkan bahwa
aksesi Nagrak memiliki bioaktivitas yang tinggi dalam menghambat kerja enzim
α-glukosidase. Semakin rendah nilai IC50 dari suatu sampel menunjukkan
tingginya bioaktivitas sampel dalam menghambat enzim α-glukosidase dan
sebaliknya.

9

IC50 (μg/mL)

 
c
450
271.20b ± 8.3
223.67a ±350.66
21.4 ± 34.2
400 225.44a ± 18.4
231.01a ± 14.5
350
a
234.66 ± 23.4
300
207.09a ± 24.6
250
200
150
0.05 ± 0.04
100
50
0

Sampel
Gambar 4 Nilai IC50 ekstrak kunyit dari beberapa aksesi dan akarbosa dalam
menghambat enzim α-glukosidase. Angka-angka yang diikuti huruf
yang sama tidak berbeda nyata dengan aksesi lain pada taraf nyata
95% dengan uji Duncan, (*) aksesi terbaik dalam menghambat kerja
enzim α-glukosidase
Sitotoksisitas Ekstrak Kunyit

LC50 (µg/mL)

Aksesi Ngawi memiliki nilai LC50 tertinggi sebesar 84.19 µg/mL, diikuti
oleh aksesi Wonogiri, Nagrak, dan Ciemas. Nilai LC50 terendah dimiliki oleh
aksesi Karanganyar. Nilai LC50 dari ekstrak kunyit berkisar antara 19.90-84.19
μg/mL (Gambar 5). Hasil pengukuran nilai LC50 terhadap ekstrak kunyit disajikan
pada Gambar 5. Hasil uji statistik pada taraf 95% menunjukkan bahwa aksesi
Ngawi, Nagrak, dan Wonogiri tidak berbeda nyata, dan aksesi Ciemas tidak
berbeda signifikan dengan aksesi Ngawi, Nagrak, Wonogiri. Varietas Turina-1
tidak berbeda signifikan dengan kelima aksesi, sedangkan varietas Turina-2 tidak
berbeda signifikan dengan aksesi Karanganyar dan Ciemas. Aksesi Karanganyar
memiliki nilai LC50 yang terendah sebesar 19.90 µg/mL. Nilai LC50 yang rendah
menunjukkan tingginya sitoksisitas pada suatu sampel.
140
120
100
80
60
40
20
0

79.39b ± 51.92
48.04abc ± 7.78

84.19b ± 13.54

79.69b ± 12.45
67.88bc ± 5.21

33.49ab ± 22.28
19.90a ± 8.58

Kunyit
Gambar 5 LC50 ekstrak kunyit dari beberapa aksesi. Angka-angka yang diikuti
huruf yang sama tidak berbeda nyata dengan aksesi lain pada taraf
nyata 95% dengan uji Duncan, (*) aksesi dengan nilai LC50 terbaik
 
 

10

PEMBAHASAN
Ekstrak Kunyit
Rimpang kunyit yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari lima
aksesi (Karanganyar, Ngawi, Nagrak, Wonogiri, dan Ciemas) dan dua varietas
dari Bogor (Turina-1 dan Turina-2) sebagai pembanding. Ketujuh sampel ditanam
di tempat yang sama yaitu di Kecamatan Nagrak, Kabupaten Sukabumi. Rimpang
kunyit yang sudah dipanen kemudian dibersihkan, dicuci dengan air mengalir,
diiris dengan ketebalan 5-7 mm, dan dikeringkan dibawah sinar matahari.
Pengeringan bertujuan mengurangi kadar air dan mencegah pembusukan sampel
oleh mikroorganisme. Menurut Pramono (2005), proses pengeringan bertujuan
menghentikan reaksi enzimatik dan tidak terjadi penguraian bahan kimia dalam
sampel yang memungkinkan sampel tidak lagi memiliki efek farmakologi seperti
senyawa aslinya. Pengeringan sampel merupakan tahapan terpenting dalam
menjaga kestabilan senyawa yang dikandung simplisia (Winangsih et al. 2013).
Rimpang kunyit yang sudah dikeringkan dibawah sinar matahari selanjutnya
digiling hingga menjadi serbuk. Serbuk simplisia kunyit diukur kadar airnya
untuk mengetahui kualitas mutu simplisia. Kandungan air yang baik pada
simplisisa kunyit berkisar antara 10-12% (Bermawie et al. 2006). Hasil
pengukuran kadar air rerata simplisia kunyit varietas Turina-1, Turina-2,
Karanganyar, Ngawi, Nagrak, Wonogiri, dan Ciemas berturut-turut sebesar 10.88,
11.69, 6.14, 14.10, 8.89, 8.54, dan 10.28% (Lampiran 2). Tingginya kadar air
pada aksesi Ngawi ini disebabkan oleh lama waktu penyimpanan simplisia serta
kelembaban tempat penyimpanan simplisia, sehingga mempengaruhi kandungan
air simplisia tersebut. Menurut Kiso (1985) tingginya kadar air tersebut dapat
memperpendek masa simpan simplisia kunyit. Perbedaan kadar air dari setiap
aksesi menunjukkan perbedaan masa simpan simplisia pada beberapa aksesi.
Nilai rendemen ekstrak kurkuminoid kunyit dari ketujuh sampel (Turina-1,
Turina-2, Karanganyar, Ngawi, Nagrak, Wonogiri, dan Ciemas) secara berurutan
sebesar 11.67, 13.71, 10.36, 12.34, 9.77, 8.46,10.42% (Gambar 2 dan Lampiran
3). Nilai rendemen yang tinggi menunjukkan semakin banyak senyawa bioaktif
yang terekstrak yang mempengaruhi tingginya bioaktivitas suatu ekstrak.
Perbedaan rendemen dari ketujuh sampel ini kemungkinan disebabkan oleh
perbedaan aksesi rimpang kunyit, komposisi penyusun rimpang kunyit yang
diperoleh dari berbagai aksesi, serta kandungan kurkuminoidnya.
Ekstraksi dilakukan pada ketujuh sampel kunyit bertujuan mengambil
senyawa bioaktif berupa kurkuminoid yang bersifat semi polar. Ekstraksi
simplisia kunyit menggunakan pelarut etanol 96% dengan metode maserasi
selama 24 jam. Maserasi merupakan metode ekstraksi dengan merendam sampel
ke dalam pelarut tertentu. Hal ini menyebabkan terjadinya pemecahan dinding sel
dan membran sel akibat perbedaan tekanan antara di dalam dan di luar sel
sehingga metebolit sekunder yang ada dalam sitoplasma akan terlarut dalam
pelarut yang digunakan (Nurcholis 2008).
Pemilihan etanol sebagai pelarut dalam ekstraksi rimpang kunyit ini
disebabkan kemampuan etanol dalam mengekstrak sebagian besar kandungan
kimia dari simplisia dan sifat kepolaran etanol yang semi polar, sehingga
kurkuminoid dapat terekstrak (Salamah dan Barokati 2013). Isolasi kurkuminoid

11

menggunakan pelarut etanol 96% karena pelarut ini terbukti efektif mengekstrak
kurkuminoid (Photitirat 2004; Jayaprakasha 2005) yang kemudian filtratnya
dilakukan partisi atau pemisahan menggunakan n-heksan.
Pemurnian ekstrak kurkuminoid rimpang kunyit dilakukan dengan ekstraksi
cair-cair menggunakan pelarut n-heksan dengan pemisahan pada corong pisah.
Ekstraksi cair-cair akan memisahkan n-heksan dan etanol, n-heksan dipisahkan
karena dapat mengekstrak resin dan terpenoid penyusun minyak atsiri dari
rimpang kunyit (Salamah dan Barokati 2013). Filtrat etanol hasil partisi kemudian
diuapkan sehingga diperoleh ekstrak kurkuminoid kunyit yang masih berupa
ekstrak kasar, sehingga kemungkinan ekstrak tersebut mengandung senyawa
bioaktif lain yang dapat mempengaruhi bioaktivitas ekstrak.
Menurut Ramdja et al. (2009) yang mempengaruhi kadar kurkuminoid yang
terekstrak adalah pengadukan, rasio simplisia dan pelarut, waktu ekstraksi, tekstur
simplisia, dan konsentrasi etanol. Pengadukan dengan kecepatan semakin tinggi
memperoleh kurkuminoid semakin banyak. Rasio simplisia dan pelarut yang baik
adalah 1:2. Waktu yang terbaik untuk ekstraksi kurkuminoid adalah selama 4 jam,
lebih dari 4 jam tidak akan terjadi perubahan lagi karena pelarutnya telah jenuh.
Simplisia halus lebih banyak menghasilkan kurkuminoid dengan luas permukaan
yang besar dan pelarut yang terbaik untuk mengekstrak kurkuminoid adalah
etanol 80%. Ekstraksi kunyit dilakukan dengan maserasi 24 jam menggunakan
pelarut etanol 96% (1:10) dalam penelitian menghasilkan ekstrak dalam bentuk
ekstrak kasar. Hal ini dapat mempengaruhi kadar kurkuminoid ekstrak serta
kemungkinan masih terkandungnya senyawa bioaktif lain yang mempengaruhi
bioaktivitas ekstrak.
Pelarut dalam metode ekstraksi juga mempengaruhi senyawa bioaktif yang
terekstrak, sehingga mempengaruhi bioaktivitasnya. Menurut Sovia et al. (2011)
menyebutkan bahwa ekatraksi kunyit dengan tiga pelarut yaitu etanol, n-heksan,
dan etil asetat akan menghasilkan kurkuminoid dan seskuiterpen dengan pelarut
etanol, sedangkan pelarut n-heksan menghasilkan seskuiterpen. Ekstraksi dengan
etil asetat belum diteliti senyawa yang dihasilkannya, namun kemungkinan
konsentrasi kurkuminoid ekstrak etil asetat lebih tinggi karena sifat kepolarannya
dan merupakan ekstrak yang paling efektif meningkatkan sensitivitas insulin.
Kadar Kurkuminoid Ekstrak Kunyit
Metabolit sekunder merupakan senyawa-senyawa hasil biosintesis turunan
dari metabolit primer yang umumnya diproduksi untuk pertahanan tanaman dari
cekaman lingkungan. Tanaman menghasilkan beberapa senyawa metabolit
sekunder diantaranya alkaloid, terpenoid, dan flavonoid. Kurkuminoid merupakan
senyawa metabolit sekunder yang termasuk ke dalam golongan flavonoid
berdasarkan struktur dasarnya dan merupakan senyawa turunan dari heptanoid
(Sidik et al.1995). Kurkuminoid terdiri atas tiga komponen penyusunnya, yaitu
kurkumin dan dua senyawa turunannya, yaitu demetoksikurkumin dan
bisdemetoksikurkumin (Anand et al. 2008).
Analisis kadar kurkuminoid ekstrak kunyit dapat dilakukan dengan
menggunakan instrumen kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) atau disebut
juga HPLC (Bong 2000). Hasil analisis kadar kurkuminoid dengan HPLC berupa
kromatogram dengan mengamati luas area sampel yang dipengaruhi oleh waktu

12

retensi. Waktu retensi diukur berdasarkan waktu injeksi sampel sampai sampel
menunjukkan ketinggian puncak maksimum. Analisis kadar kurkuminoid
menghasilkan tiga puncak (peak) (kurkumin, demetoksikurkumin, dan
bisdemetoksikurkumin) dengan tiga waktu retensi yang berbeda pada
kromatogram (Jeffery et al. 1989). Waktu retensi bisdemetoksikurkumin lebih
pendek dibandingkan dengan waktu retensi kurkumin dan demetoksikurkumin,
dan waktu retensi demetoksikurkumin lebih pendek dibandingkan dengan
kurkumin. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa seluruh sampel memiliki luas
area sampel yang berbeda-beda. Perbedaan luas area sampel tersebut dapat
mempengaruhi kadar kurkuminoid yang dikandung oleh ekstrak kunyit. Analisis
kadar kurkuminoid kunyit ini dilakukan dengan menggunakan standar
kurkuminoid 0.5 μg/mL
Hasil pengukuran kadar kurkuminoid kunyit dari tujuh sampel (Turina1,Turina-2, Karanganyar, Ngawi, Nagrak, Wonogiri, dan Ciemas) secara
berurutan sebesar 21.20, 22.02, 19.47, 24.50, 21.20, 21.92, dan 22.53% (Lampiran
7). Perbedaan kadar kurkuminoid dari setiap aksesi ini dipengaruhi oleh luas area
masing-masing sampel. Hasil pengukuran kadar kurkuminoid ini merupakan %b/b
total kurkuminoid yang terdiri atas kurkumin, demetoksikurkumin, dan
bisdemetoksikurkumin. Kadar kurkuminoid ekstrak kunyit yang paling tinggi
dimiliki oleh aksesi Ngawi dan disusul oleh aksesi Ciemas, Wonogiri, Nagrak,
dan Karanganyar. Kadar kurkuminoid seluruh sampel tidak berbeda nyata
berdasarkan uji Duncan pada taraf nyata 95%. Kadar kurkuminoid kelima aksesi
kunyit tidak jauh berbeda dengan kadar kurkuminoid kedua varietas unggul
Balitro (Turina-1 dan Turina-2).
Menurut penelitian Febriananto (2013) kandungan tertinggi kurkuminoid
dari ketujuh simplisia kunyit (Turina-1,Turina-2, Karanganyar, Ngawi, Nagrak,
Wonogiri, dan Ciemas) adalah aksesi Ciemas sebesar 5.793%. Kunyit
mengandung kurkuminoid dengan kadar 3-4%, terdiri atas kurkumin 94%,
demetoksikurkumin 6%, dan bisdemetoksikurkumin 0.3% (Chattopahyay et al.
2004). Kadar kurkuminoid yang dihasilkan ekstrak lebih tinggi dibandingkan
dengan kurkuminoid simplisia. Kadar kurkuminoid yang tinggi diharapkan dapat
memberikan bioaktivitas yang tinggi terhadap inhibisi enzim α-glukosidase dilihat
dari nilai IC50.
Perbedaan aksesi rimpang kunyit menyebabkan perbedaan kadar
kurkuminoid yang terkandung oleh masing-masing ekstrak. Hal ini dikarenakan
beberapa faktor yang mempengaruhi produksi metabolit sekunder tanaman
diantaranya adalah genetik, enzim, nutrisi, umur tanaman, dan interaksi antara
lingkungan baik biotik maupun abiotik. Setiap tanaman memiliki suatu
mekanisme biokimiawi kompleks tertentu yang menyebabkan ketujuh sampel
kunyit memiliki kandungan bioaktif yang berbeda. Akumulasi metabolit sekunder
dipengaruhi oleh musim dan tahap perkembangan tanaman (Nurcholis 2008).
Produksi suatu senyawa bioaktif juga dipengaruhi adanya prekursor hasil
metabolisme primer. Metabolit primer akan tinggi jika terdapat CO2 sebagai
sumber karbon untuk fotosintesis, molekul CO2 tersebut dapat meningkatkan suhu
udara. Suhu udara di Nagrak berkisar antara 18-26°C berbeda dengan suhu udara
di daerah aksesi seperti Ciemas 23-32°C, Karanganyar 22-25°C, Wonogiri 2432°C, dan Ngawi 26-38°C (Tumova et al. 2006; Soon et al. 1999) yang
menyebabkan perbedaan kandungan senyawa bioaktif masing-masing ekstrak.

13

Bioaktivitas Ekstrak Kunyit dalam Inhibisi Enzim α-Glukosidase
Bioaktivitas ketujuh ekstrak rimpang kunyit (Turina-1, Turina-2,
Karanganyar, Ngawi, Nagrak, Wonogiri, dan Ciemas) dapat dilihat dari nilai IC50
(Gambar 4 dan Lampiran 5). Semakin rendah nilai IC50, semakin baik
penghambatan ekstrak terhadap kerja enzim α-glukosidase. Nilai IC50 dari ketujuh
ekstrak kunyit (Turina-1, Turina-2, Karanganyar, Ngawi, Nagrak, Wonogiri, dan
Ciemas) secara berurutan sebesar 225.439, 234.663, 271.197, 231.012, 207.093,
223.669, 350.659 µg/mL. Hasil uji statistika pada taraf 95% menyatakan bahwa
aksesi Ngawi, Nagrak, dan Wonogiri tidak berbeda nyata, aksesi Karanganyar dan
Ciemas berbeda nyata dengan aksesi lain. Aksesi Ngawi, Nagrak, dan Wonogiri
tidak berbeda nyata dengan dua varietas unggul Balitro, sehingga ketiga aksesi ini
berpotensi dikembangkan menjadi varietas kunyit baru yang mampu menghambat
kerja enzim α-glukosidase.
Nilai IC50 merupakan bilangan yang menunjukkan konsentrasi ekstrak
(µg/mL) yang mampu menghambat 50% aktivitas enzim α-glukosidase. Menurut
Reddy et al. (1999), senyawa dikatakan sangat aktif jika mempunyai nilai IC50
dibawah 50 µg/mL. Senyawa dinyatakan aktif jika memiliki nilai IC50 50-100
µg/mL, sedang nilai IC50-nya 101-250 µg/mL. Senyawa dinyatakan lemah jika
nilai IC50-nya 250-500 µg/mL, dan tidak aktif jika nilainya lebih dari 500 µg/mL.
Nilai IC50 dari seluruh ekstrak kasar kurkuminoid rimpang kunyit berkisar antara
207.093-350.659 µg/mL yang menunjukkan bahwa ekstrak kurkuminoid kunyit
termasuk ke dalam golongan sedang sampai lemah tingkat kekuatan IC50-nya.
Nilai IC50 yang tertinggi dimiliki oleh aksesi Ciemas, sedangkan nilai IC50
terendah dimiliki oleh aksesi Nagrak. Hasil pengujian inhibisi enzim αglukosidase menunjukkan bahwa aksesi Nagrak memiliki bioaktivitas yang tinggi.
Uji bioaktivitas ekstrak rimpang kunyit dalam menghambat kerja enzim αglukosidase ini tidak berkorelasi dengan kadar kurkuminoid yang dikandung oleh
masing-masing ekstrak. Kadar kurkuminoid tertinggi dimiliki oleh aksesi Ngawi,
namun yang memiliki bioaktivitas tinggi dalam menghambat enzim α-glukosidase
adalah aksesi Nagrak. Menurut Tadera et al. (2006) telah membuktikan secara in
vitro, flavonoid merupakan suatu senyawa yang berpotensi menghambat αamilase dan α-glukosidase.
Hal ini kemungkinan disebabkan oleh adanya senyawa flavonoid atau
fenolik lain yang berpotensi menghambat kerja enzim α-glukosidase, selain
kurkuminoid yang dikandung oleh aksesi Nagrak. Senyawa bioaktif lain yang
dikandung tersebut berpengaruh terhadap inhibisi α-glukosidase. Hal ini
disebabkan ekstrak kurkuminoid kunyit ini masih dalam bentuk ekstrak kasar,
sehingga masih memungkinkan adanya senyawa lain yang terkandung. Menurut
penelitian Annisas (2013), kadar senyawa fenolik pada kelima aksesi kunyit
menunjukkan bahwa aksesi Nagrak memiliki kadar fenolik tertinggi dan memiliki
bioaktivitas tinggi sebagai antioksidan.
Inhibisi enzim α-glukosidase dalam penelitian ini juga menggunakan
akarbosa (tablet Glukobay). Akarbosa mengikat enzim secara reversibel dan
kompetitif. Prinsip kerja akarbosa adalah menghambat kerja enzim yang
menghidrolisis polisakarida di dalam usus halus (Febrinda et al. 2013). Nilai IC50
dari akarbosa sebesar 0.0485 µg/mL. Nilai IC50 yang diperoleh tersebut jauh lebih
kecil dibandingkan dengan ekstrak kunyit. Meskipun penghambatan akarbosa
terhadap enzim α-glukosidase lebih baik dibandingkan dengan ekstrak

14

kunyit, pencarian dan upaya penggunaan obat-obatan herbal tetap menjadi
perhatian. Hal ini disebabkan penggunaan obat-obatan herbal dapat digunakan
sebagai alternatif obat kimia (sintetik) yang memberikan efek samping yang
dirasakan oleh kebanyakan penderita diabetes melitus tipe II seperti diare,
flatulensi, dan sakit perut (Hollander et al. 1997).
Sitotoksisitas Kunyit
Uji sitotoksisitas kunyit dilakukan terhadap larva udang Artemia salina L.
sebagai panduan atau pendahuluan dalam isolasi metabolit sekunder yang
memiliki aktivitas sitotoksik terhadap sel kanker. Menurut Anderson (1991), hasil
uji sitotoksisitas dengan BSLT ini memiliki korelasi positif dengan potensi
ekstrak senyawa metabolit sekunder sebagai antikanker. Larva udang Artemia
salina L. digunakan sebagai objek percobaan dikarenakan memiliki kulit yang
tipis dan peka terhadap lingkungannya. Senyawa asing yang terdapat di
lingkungan akan terserap ke dalam tubuh larva udang secara difusi dan langsung
mempengaruhi kehidupan larva tersebut (Hamburger & Hostettmann 1991).
Sifat sitotoksik diketahui berdasarkan jumlah kematian larva udang pada
konsentrasi tertentu. Hasil yang diperoleh dihitung sebagai nilai LC50 (lethal
concentration) ekstrak uji, yaitu jumlah dosis atau konsentrasi yang dapat
menyebabkan kematian larva udang sejumlah 50% setelah inkubasi 24 jam. Suatu
ekstrak dinyatakan sitotoksik bila memiliki nilai LC50 kurang dari 1000 µg/mL
yang memilki aktivitas hayati dan dinyatakan nonsitotoksik bila nilai LC50 lebih
dari 1000 µg/mL (Meyer et al. 1992).
Nilai LC50 yang rendah menunjukkan bahwa suatu ekstrak memiliki
sitotoksisitas yang tinggi. Nilai LC50 dari ketujuh ekstrak kunyit (Turina-1,
Turina-2, Karanganyar, Ngawi, Nagrak, Wonogiri, dan Ciemas) secara berurutan
sebesar 48.04, 33.49, 19.90, 84.19, 79.39, 79.69, 67.88 µg/mL (Lampiran 8).
Hasil uji statistik pada taraf 95% menunjukkan bahwa aksesi Ngawi, Nagrak, dan
Wonogiri tidak berbeda nyata, dan aksesi Ciemas tidak berbeda signifikan dengan
aksesi Ngawi, Nagrak, Wonogiri. Varietas Turina-1 tidak berbeda signifikan
dengan kelima aksesi, sedangkan Turina-2 tidak berbeda signifikan dengan aksesi
Karanganyar dan Ciemas. Nilai LC50 tertinggi dimiliki oleh aksesi Ngawi,
sedangkan nilai LC50 terendah dimiliki oleh aksesi Karanganyar. Nilai LC50 dari
seluruh sampel menunjukkan bahwa ekstrak kurkuminoid rimpang kunyit bersifat
sitotoksik dan memiliki aktivitas hayati. Perbedaan aksesi dan kandungan
kurkuminoid dalam masing-masing ekstrak mempengaruhi nilai sitotoksisitasnya.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Kadar kurkuminoid tertinggi dimiliki oleh aksesi Ngawi, disusul oleh
aksesi Ciemas, Wonogiri, dan Nagrak. Kadar kurkuminoid Ngawi sebesar
24.50%. Bioaktivitas ekstrak rimpang kunyit tertinggi sebagai penghambat kerja
enzim α-glukosidase adalah aksesi Nagrak dengan nilai IC50 sebesar 207.093
µg/mL. Hasil uji sitotoksisitas menunjukkan bahwa seluruh sampel memiliki

15
 

bioaktivitas dan aksesi yang memiliki nilai LC50 terbaik adalah Karanganyar
sebesar 19.090 µg/mL. Aksesi Nagrak, Wonogiri, dan Ngawi, memiliki potensi
untuk dikembangkan menjadi varietas kunyit baru dengan bioaktivitas tinggi
dalam menginhibisi enzim α-glukosidase dengan tingkat kekuatan IC50 sedang.
Saran
Perlu adanya penelitian lebih lanjut untuk dapat menghasilkan ekstrak murni
kurkuminoid rimpang kunyit. Perlu dilakukan juga penelitian lebih lanjut
mengenai senyawa flavonoid atau fenolik lain yang terkandung dalam rimpang
kunyit yang memiliki aktivitas inhibisi enzim α-glukosidase.
 
 

DAFTAR PUSTAKA
Anand et al. 2008. Biological activities of curcumin and its analoguen
(Congeners) made by man and Mother Nature. Biochemical pharmacology
76 : 1590-1611.
Anderson JE. 1991. A blind comparison of simple bench-top biossays and human
tumour cell cytotoxicities as antitumor prescreens. Phytochem J Anal 2: 4247.
Annisas J. 2013. Kadar Fenolik dan Aktivitas Antioksidan Lima Aksesi tanaman
Kunyit (Curcuma domestica) pada Lokasi Budidaya Kecamatan Nagrak,
Sukabumi [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Bermawie N, Mono R, Dono W, Ma’mun. 2006. Status teknologi budidaya dan
pasca panen tanaman kunyit dan temulawak sebagai penghasil kurkumin.
EDSUS Littro 2 (4): 84-89
[Biofarmaka] Pusat Studi Biofarmaka. 2013. Quality of herbal medicine plants
and traditional medicine. [Internet]. [diunduh pada 2014 Juni 16]. Tersedia
pada: http://biofarmaka.ipb.ac.id/brc-news/brc-article/587-quality-of-herbalmedicine-plants-and-traditional-medicine-2013.
Bong PH. 2000. Spectral and Phophysical Behaviors of Curcumin and
Curcuminoids. Bull. Korean Chem. 21:81–86.
Chattopadhyay I, Biswas K, Bandyopadhyay U, Banerjee RK. 2004. Tumeric an
curcumin: Biological actions and medicinal aplication. Current Science
87(1): 44-53.
[Depkes RI] Departemen kesehatan Republik Indonesia. 2013. Diabetes Melitus
Penyebab kematian Nomor 6 di Dunia: Kemenkes Tawarkan Solusi Cerdik
Melalui Posbindu. Jakarta (ID): Depkes.
Febriananto E. 2013. Kandungan Pati dan Kurkuminoid Simplisia Kunyit
(Curcuma domestica Val.) sebagai Parameter Pemilihan Aksesi Terbaik
[skripsi]. Bogor (ID): Institiut Pertanian Bogor.
Febrinda AE, Made A, Tutik W, Nancy DY. 2013. Kapasitas antioksidan dan
inhibitor alfa glukosidase ekstrak umbi bawang dayak. J. Teknol. dan
Industri Pangan 24(2): 161-167.
Feng J, Yang XW, Wang RF. 2011. Bio-assay guide isolation and identification of
α-glucosidase inhibitors from the leaves of Aquilaria sinensis.
Phytochemistry 72: 242-247.
 
 

16

Fujiwara H, Hosokawa M et al. 2008. Curcumin inhibits glucose production in
isolated mice hepatocytes. Diabetes Reas Clin Pract 2(80): 185-191.
Hamburger M, Hostettmann K. 1991. Bioactivity in plant: The link between
phytochemistry and medicine. Phytochemistry 12:3864-3847.
Hollander P, Pi-Sunyer X, Conifff Rf. 1997. Acarbose in the treatment of type 1
diabetes. Diabetes Care 20: 248-253.
Jayaprakasha GK, Rao LJM, Sakariah KK. 2002. Improved HPLC method for
determination
of
curcumin,
demethoxycurcumin,
and
bisdemethoxycurcumin. Agric Food Chem 50: 3668-3672.
Jayaprakasha GK, Rao LJM, Sakariah KK. 2005. Chemistry and biological
activities of C. Longa. Trends in Food Science & Technology 12(16): 533548.
Jeffery GH, Bassett J, Mendham J, Denney RC. 1989. Vogel’s: Quantitative
Chemical Analysis.5th ed. New York (US): John Wiley & Sons, Inc.
Kiso. 1985.Antihepatotonic Principles of Curcuma Longa Rhizome [artikel].
Simposium Nasional Temulawak. Bandung (ID): UNPAD.
Kuroda M et al. 2005. Hypoglicemic effects of turmeric (Curcuma longa L.
rhizomes) on genetically diabetic KK-Ay mice. Biol Pharm Bull 28(5):
237-939.
Krishnamurthy NAG, Mathew ES, Nambudiri, S Shivashankar YS Lewis, CP
Natarajan. 1976. Oil and oleoresin of turmeric. Central Food tech. Es. Inst.
Mysore.
Matjik AA. 2002. Rancangan Percobaan. Bogor (ID): IPB Pr.
Meyer BN, Laughlin, Fergini. 1982. Brine Shrimp : A convenient general
biaoassay for active plant constituents. Planta Medica (45):31-34.
Mujib MA. 2011. Pencirian Nanopartikel Kurkuminoid Tersalut Lemak Padat
[tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Nishiyama T et al. 2005. Curcuminoids and sesquoiterpenoids in turmeric
(Curcuma longa L.) suppress an increase in blood glucose level in type 2
diabetic KK-Ay mice. J. Agric Food Chem 53(4): 959-963.
Nurcholis W. 2008. Profil Senyawa penciri dan Bioaktivitas Tanaman Temulawak
pada Agrobiofisik Berbeda [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Photitirat W, Supabphol R, Dritsanapan W. 2004. Comparision of free radical
scavenging act