Pengaruh Kebijakan Pemerintah Terhadap Daya Saing Komoditas Kakao Di Sulawesi Tengah

PENGARUH KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP
DAYA SAING KOMODITAS KAKAO
DI SULAWESI TENGAH

SITI YULIATY CHANSA ARFAH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengaruh Kebijakan
Pemerintah Terhadap Daya Saing Komoditas Kakao di Sulawesi Tengah adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2016
Siti Yuliaty Chansa Arfah
NIM H351130321

RINGKASAN
SITI YULIATY CHANSA ARFAH. Pengaruh Kebijakan Pemerintah Terhadap
Daya Saing Komoditas Kakao di Sulawesi Tengah. Dibimbing oleh HARIANTO
dan SUHARNO.
Provinsi Sulawesi Tengah adalah salah satu pemasok biji kakao Indonesia.
Oleh karena itu, perlu dikaji bagaimana daya saing komoditas kakao di Sulawesi
Tengah dan dampak kebijakan pada input dan output dari komoditas kakao.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Policy Analysis Matrix
(PAM) dan analisis sensitivitas. Yang dilihat dari nilai PCR dan DRC yang
kurang dari satu dan positif. Nilai PCR untuk Kabupaten Parigi Moutong adalah
0.589 dan Kabupaten Sigi 0.396. Sedangkan nilai DRC antara lain 0.387
(Kabupaten Parigi Moutong) dan 0.319 (Kabupaten Sigi). Hal tersebut
mengindikasikan bahwa usahatani kakao di Sulawesi Tengah memiliki daya saing
namun tidak menguntungkan secara ekonomi. Oleh karena itu, perlu adanya
peningkatan kualitas, produktivitas dan harga jual kakao ditingkat petani. Analisis

sensitivitas terhadap input, output dan nilai tukar dengan prediksi berdasarkan
skenario di daerah penelitian, masih memiliki daya saing.
Kata kunci : Daya Saing, Kakao, PAM

SUMMARY
SITI YULIATY CHANSA ARFAH. The Effect of Government Policies on
Competitiveness Commodities Cocoa in Central Sulawesi. Supervised by
HARIANTO and SUHARNO.
Central Sulawesi province is one of the suppliers of Indonesian cocoa.
Therefore, it is necessary to study how the competitiveness of cocoa in Central
Sulawesi and the impact of policy on the input and output of cocoa. The method
used in this study are Policy Analysis Matrix (PAM). As seen from the PCR value
and the DRC is less than one and positive. PCR value for Parigi Moutong district
is Sigi 0.589 and 0.396. While the value of DRC among others 0.387 (Parigi
Moutong) and 0.319 (Sigi). This indicates that cocoa farming in Central Sulawesi
are competitive but not economically profitable. Therefore, it is necessary to
improve the quality, productivity and sales price of cocoa farm level. The
sensitivity analysis against input, output and exchange rate with based perdictions
scene in research areas, still have competitiveness.
Keyword (s) : Competitiveness, Cocoa beens, Policy Analysis Matrix


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PENGARUH KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP
DAYA SAING KMODITAS KAKAO
DI SULAWESI TENGAH

SITI YULIATY CHANSA ARFAH

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains

pada
Program Studi Agribisnis

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Amzul Rifin, SP, MA

PRAKATA
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas
karunia ilmu, kekuatan dan kemauan untuk menjalankan proses penelitian dalam
rangka penyelesaian Program Magister pada Program Studi Agribisnis, Sekolah
Pascasarjana IPB. Tanpa izin dan karunia-Nya, tidak mungkin
rasanya penelitian ini dapat diselesaikan
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Harianto MS
selaku ketua komisi pembimbing, yang senantiasa memberikan arahan, motivasi
dan inspirasi serta ilmu yang sungguh luar biasa berharga kepada penulis. Terima
kasih juga penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Suharno MADev selaku

anggota komisi pembimbing yang senantiasa memberikan arahan, masukan,
semangat, dan dorongan motivasi untuk dapat menyelesaikan tesis ini.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada pihak-pihak yang membantu
dalam penyelesaian karya ilmiah, yaitu kepada:
1. Ibu Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS selaku Ketua Program Studi Agribisnis
IPB dan seluruh staf pengajar yang telah memberikan bimbingan dalam
proses pembelajaran selama penulis kuliah.
2. Bapak Dr Amzul Rifin, SP, MA selaku dosen evaluator pada kolokium
dan dosen penguji luar komisi pada ujian tesis yang telah memberikan
koreksi dan masukan yang konstruktif dalam penulisan tesis ini.
3. Bapak Dr Ir Burhanuddin, MM selaku dosen penguji wakil program studi
agribisnis dan pimpinan sidang.
4. Ibu Yuni Sulistyawati SAB, Ibu Dewi Martiawaty Utami SPi dan Bapak
Yusuf yang membantu proses administrasi tingkat program studi,
5. Bapak Ir Nahyun Biantong, M.Si selaku Kepala Dinas Perkebunan
Provinsi Sulawesi Tengah, Ibu Hilda, SP dan Bapak Ir. Moledon Rubi,
M.Si selaku Kasubag Perencanaan Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi
Tengah, serta staff Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi
Sulawesi Tengah, Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tengah, Badan
Pusat Stasistik Kabupaten Parigi Moutong, serta Asosiasi Kakao Indonesia

(ASKINDO) Provinsi Sulawesi Tengah yang telah membantu selama
pengumpulan data serta memberi izin selama melakukan penelitian.
6. Bapak Yani Adhyaksa Metubun, SP dan Bapak Armadu selaku penyuluh
yang senantiasa membantu penulis dalam penelitian lapang.
7. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan selaku pemberi Beasiswa
Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPP-DN) Direktorat Pendidikan
Tinggi,
8. Secara khusus kepada kedua orangtua Bapak Moh. Irfan Intje Ote, SE dan
Ibu
Dra
Ilmawati
Dja’afara,
M.Si
serta
kedua
adik
Moh. Syukran Irsyad, S.Ars dan Dewi Magfirah terima kasih atas
semangat, perhatian dan pengertian kepada penulis, semua nasihat adalah
motivasi dan inspirasi terbesar dalam hidup penulis, selalu bersyukur
kepada Allah SWT karena telah menghadirkan orang tua sebaik dan

seindah bapak dan ibu. Tak lupa kepada seluruh keluarga dan saudarasaudara khususnya kepada Bapak Dr Ujang Suwarna, S.Hut M.Sc dan
Ibu Andi Murniati Tombolotutu atas doa dan motivasinya. Tesis ini
penulis persembahkan sebagai salah satu wujud terima kasih dan tanggung

jawab penulis atas segala cinta, kasih sayang, dukungan, semangat,
pengorbanan, keikhlasan, kesabaran dan lantunan doa untuk hidup,
kebahagiaan, keberhasilan dan masa depan penulis. Kalian adalah
penyemangat yang mengajarkan arti sebuah perjuangan hidup berbekal
kesabaran dan rasa syukur.
9. Bapak (Alm) Dr Ir Marwan Yantu, MS dan Ibu Sisfahyuni, SP, M.Si
selaku dosen Universitas Tadulako yang banyak memberikan arahan dan
bantuan kepada penulis selama penelitian.
10. Kakak Angga Yudhistira dan Kakak Siti Maryam selaku senior yang
dengan sabar memberikan arahan kepada penulis serta memberikan
wawasan yang luas tentang dunia pendidikan.
11. Sahabat-sahabat Ihdiani Abubakar, Devi Agustia, Dewi Cahyanti
Wahyuningsih, Sartika Sari Utami, Hesti Nuryuliani, Venty Hardiyanti
Mas, Fitriani, Apriani, Illa Arifah, Nursyam, Khusnul Khatima, Yusran,
Zulkifli, Ardiyansyah, Irwansyah Simin, Moh. Taufik Hardian, dan Moh.
Rizki terima kasih telah memberikan dukungan motivasi dan semangat

kepada penulis dalam menyelesaikan tulisan ini.
12. Sahabat-sahabat Rumah Agribisnis Ratih Apri Utami, Dian Fauzi,
Khairum Rahmi, Amri Syahardi, Luthfi Nur’azkiya, dan Timbul Rasoki
kalian tempat berbagi keceriaan, melewati suka dan duka dalam
perkuliahan, menjadi penyemangat dan menemani setiap hari. Kalian
bukan hanya sekedar sahabat tapi sudah seperti saudara dalam perantauan.
13. Rekan-rekan Magister Sains Agribisnis (MSA) Angkatan 4 IPB, temanteman HIMPAST, dan teman-teman Forum Wacana Bersama terima kasih
atas segala dukungan dan motivasinya.
14. Seluruh pihak yang telah membantu dan tidak mungkin disebutkan satu
per satu.
Mudah-mudahan seluruh bantuan dan kebaikan yang telah diberikan
mendapat ridho dari Allah SWT.
Terlepas dari masukan berbagai pihak, segala kekurangan tetap menjadi
tanggung jawab penulis. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2016

Siti Yuliaty Chansa Arfah

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Konseptual Daya Saing
Metode Daya Saing
Studi Empiris Kakao di Indonesia
Perdagangan Internasional Kakao
Ukuran Keunggulan Komparatif dan Kebijakan Pemerintah
Pengaruh Kebijakan Pemerintah terhadap Daya Saing
3
KERANGKA PENELITIAN
Kerangka Teoritis

Konsep Daya Saing
Konsep Keunggulan Komparatif
Konsep Keunggulan Kompetitif
Konsep Efisiensi
Konsep Kebijakan Pemerintah
Kebijakan Pemerintah pada Harga Output
Kebijakan Pemerintah pada Harga Input
Policy Analysis Matrix (PAM)
Harga Bayangan (Social Opportunity Cost)
Teori Sensitivitas
Kerangka Pemikiran Operasional
4
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Metode Pengambilan Responden
Metode Analisis Data
Policy Analysis Matrix
Alokasi Komponen Biaya Domestik dan Asing
Analisis Sensitivitas

5
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Gambaran Umum Wilayah Penelitian
Kabupaten Parigi Moutong
Kabupaten Sigi
Karakteristik Petani Responden
Gambaran Umum Usahatani Kakao di Lokasi Penelitian
Varietas Kakao dan Cara Tanam
Pemberantasan Hama dan Penyakit

1
1
6
8
8
9
9
9
11
15
18
19
20
22
22
22
24
25
25
25
29
30
32
34
35
35
38
38
38
38
39
39
45
46
47
47
47
47
48
51
52
53

Pemeliharaan
Panen
Gambaran Umum Pemasaran Komoditas Kakao di Lokasi Penelitian
6
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Daya Saing Kakao di Kabupaten Parigi Moutong dan Sigi
Analisis Keunggulan Kompetitif
Analisis Keunggulan Komparatif
Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Daya Saing Kakao
di Kabupaten Parigi Moutong dan Kabupaten Sigi
Dampak Kebijakan Output
Dampak Kebijakan Input
Dampak Kebijakan Input-Output
Analisis Sensitivitas
Dampak Perubahan Nilai Tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika
yang Melemah Sebesar Enam Persen
Dampak Perubahan Nilai Tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika
yang Menguat Sebesar Enam Persen
Dampak Penngkatan Harga Kakao Domestik Sebesar 19 Persen
Dampak Penurunan Harga Kakao Domestik Sebesar 19 Persen
Dampak Kenaikan Harga Pupuk Urea Sebesar 33 Persen dan
Pupuk SP-36 Sebesar 29 Persen
Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Petani
7
SIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

54
55
55
57
60
60
61
63
63
65
67
68
68
70
71
72
73
74
75
75
75
76
82
91

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

26

Produksi biji kakao dunia
Luas areal dan produksi perkebunan kakao Indonesia tahun 2000-2015
Nilai ekspor kakao dan produk kakao Indonesia tahun 2000-2011
Harga kakao dunia
Luas lahan dan produksi kakao berdasarkan provinsi, 2013
Luas panen, produksi dan produktivitas kakao di Sulawesi Tengah
Kualitas kakao berstandar internasional
Tipe alternatif kebijakan pemerintah
Policy analysis matrix (PAM)
Luas lahan dan produksi kakao berdasarkan kabupaten di Sulawesi Tengah
Tabulasi matrix analisis kebijakan
Sebaran responden berdasarkan usia di Kabupaten Parigi Moutong
dan Kabupaten Sigi
Sebaran responden berdasarkan tingkat pendidikan di Kabupaten
Parigi Moutong dan Kabupaten Sigi
Sebaran responden berdasarkan pengalaman berusahatani di Kabupaten
Parigi Moutong dan Kabupaten Sigi
Sebaran responden berdasarkan luas lahan di Kabupaten
Parigi Moutong dan Kabupaten Sigi
Sebaran responden berdasarkan umur tanaman di Kabupaten
Parigi Moutong dan Kabupaten Sigi
Luas wilayah daratan, areal tanam menghasilkan dan produksi kakao
Sulteng menurut kabupaten dan kota
Policy AnalysisMatrix (PAM) pada usahatani komoditas kakao
Di Kabupaten Parigi Moutong dan Kabupaten Sigi
Rasio biaya privat dan keuntungan privat usahatani komoditas kakao
Di Kabupaten Parigi Moutong dan Kabupaten Sigi
Rasio biaya sumberdaya domestik dan keuntungan sosial usahatani
Komoditas kakao di Kabupaten Parigi Moutong dan Kabupaten Sigi
Transfer output dan koefisien proteksi output nominal usahatani
komoditas kakao di Kabupaten Parigi Moutong dan Kabupaten Sigi
Harga privat dan sosial biji kakao di Kabupaten Parigi Moutong dan
Kabupaten Sigi
Transfer input dan koefisien proteksi input nominal usahatani
komoditas kakao di Kabupaten Parigi Moutong dan Kabupaten Sigi
Biaya tenaga kerja usahatani kakao di Kabupaten Parigi Moutong dan
Kabupaten Sigi pada harga privat
Koefisien proteksi efektif, transfer bersih, koefisien keuntungan dan
rasio subsidi produsen pada usahatani komoditas kakao di Kabupaten
Parigi Moutong dan Kabupaten Sigi
Perubahan Indikator Keuntungan Privat dan Keuntungan Sosial Bila
nilai Tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Melemah Sebesar Enam
Persen, di Kabupaten Parigi Moutong dan Kabupaten Sigi

1
2
3
4
5
6
7
26
34
39
41
49
49
50
51
51
45
57
60
61
63
64
65
66

67

69

27 Perubahan Indikator Keuntungan Privat dan Keuntungan Sosial Bila
Nilai Tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Menguat Sebesar Enam
Persen, di Kabupaten Parigi Moutong dan Kabupaten Sigi
28 Perubahan Indikator Keuntungan Privat dan Keuntungan Sosial Bila
Harga Kakao Domestik Meningkat Sebesar 19 Persen, di Kabupaten
Parigi Moutong dan Kabupaten Sigi
29 Perubahan Indikator Keuntungan Privat dan Keuntungan Sosial Bila
Harga Kakao Domestik Menurun Sebesar 19 Persen, di Kabupaten Parigi
Moutong dan Kabupaten Sigi
30 Perubahan Indikator Keuntungan Privat dan Keuntungan Sosial Ketika
Terjadi Kenaikan Harga Pupuk Urea Sebesar 33 Persen dan Pupuk SP-36
Sebesar 29 Persen, di Kabupaten Parigi Moutong dan Kabupaten Sigi
31 Nilai Net Present Value pada Usahatani kakao

70

71

72

73
74

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5

Aliran perdagangan internasional
Dampak subsidi positif terhadap produsen dan konsumen barang impor
Pajak dan subsidi pada input tradable
Pajak dan subsidi pada input non tradable
Kerangka pemikiran operasional

23
29
31
32
37

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8

Analisis keuntungan usahatani kakao di Kabupaten
Parigi Moutong dan Kabupaten Sigi
Alokasi biaya komponen domestik dan asing pada sistem
Usahatani kakao
Perhitungan standar convertion factor dan shadow price exchange rate
Perhitungan harga bayangan biji kakao di Kabupaten Parigi Moutong
Perhitunagan harga bayangan biji kakao di Kabupaten Sigi
Perhitungan harga bayangan pupuk
Budget privat dan budget sosial usahatani komoditas kakao
di Kabupaten Parigi Moutong
Budget privat dan budget sosial usahatani komoditas kakao
di Kabupaten Sigi

82
83
84
85
85
86
87
89

1

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Sub sektor perkebunan merupakan subsektor pendukung utama yang
berperan penting bagi perekonomian nasional, antara lain sebagai penyedia
lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi petani, sumber bahan baku industri,
dan sumber kebutuhan pokok serta penyumbang devisa bagi Negara. Komoditas
perkebunan Indonesia yang cukup potensial adalah kakao. Kakao merupakan
salah satu komoditas andalan perkebunan yang peranannya cukup penting bagi
perekonomian nasional sebagai sumber devisa negara terbesar ketiga dari
subsektor perkebunan setelah karet dan minyak sawit dengan nilai sebesar
US Dollar 667 juta pada tahun 2005.
Dalam konteks dunia, kakao diproduksi oleh lebih dari 50 negara yang
berada di kawasan tropis yang secara geografis dapat dibagi dalam tiga wilayah
yaitu Afrika, Asia Oceania dan Amerika Latin. Pada tahun 2013 komoditi kakao
tercatat memberikan sumbangan devisa sebesar US$ 794.8 juta. Kondisi ini
menempatkan Indonesia sebagai negara produsen kakao terbesar ketiga didunia
setelah Pantai Gading dan Ghana dengan luas areal 1852.9 ribu ha dan produksi
777.5 ribu ton (BPS 2014 dan ICCO 2014).
Tabel 1 Produksi Biji Kakao Dunia (ribu ton)
Negara
AFRIKA
Kamerun
Pantai Gading
Ghana
Nigeria
Lainnya
AMERIKA
Brazil
Ekuador
Lainnya
ASIA DAN OCEANIA
Indonesia
Papua Nugini
Lainnya
TOTAL DUNIA

2011/2012
2920
207
1486
879
235
113
654
220
198
236
511
440
39
32
4085

2012/2013
2823
225
1449
835
225
89
622
185
192
245
484
410
37
37
3929

2013/2014
2981
205
1610
850
230
86
676
210
210
256
505
425
40
40
4162

Sumber : International Cocoa Organization (2014)

Tahun 2011 sampai tahun 2013, Indonesia tetap menjadi produsen kakao
terbesar ketiga setelah Pantai Gading dan Ghana. Dan saat ini Indonesia menjadi
produsen bahan baku kakao kedua setelah Pantai Gading dengan menguasai 6
persen pasar dunia (ICCO 2014).
Pengembangan kakao tidak terlepas dari perannya sebagai salah satu
komoditas perkebunan yang menjadi fokus tujuan ekspor. Pengembangan kakao
merupakan upaya yang dilaksanakan untuk mengembangkan dan meningkatkan

2

mutu tanaman ekspor dalam rangka mempertahankan pangsa pasar internasional
yang sudah ada serta penetrasi pasar yang baru. Sesuai dengan tujuan pemerintah
yang menjadikan kakao sebagai komoditas ekspor andalan, produksi kakao yang
tinggi menjadikan Indonesia sebagai salah satu produsen dan eksportir biji kakao
terbesar di dunia. Ekspor kakao didorong dari sisi permintaan, yakni adanya
pertumbuhan konsumsi dunia akan kakao selama sepuluh tahun terakhir, yaitu
sebesar rata-rata 3 persen per tahun (Damayanti 2012). Jika konsumsi dunia
meningkat, maka ekspor kakao Indonesia juga meningkat karena adanya
peningkatan permintaan di negara importir. Permintaan konsumen akan produk
kakao meningkat sejalan dengan peningkatan ekspornya (Gilber dan Varangis
2003). Alasan peningkatan permintaan kakao antara lain banyaknya hasil studi
yang menunjukkan dampak positif mengkonsumsi dark chocolate yang kaya
antioksidan, yaitu menurunkan resiko penyakit jantung, kanker kolon, dan
diabetes, dapat menurunkan tekanan darah, serta menunda penuaan (Carnésecchi
et al. 2001; Engler dan Engler 2004; Fisher et al. 2004).
Produksi kakao yang relatif meningkat dari tahun ke tahun didorong oleh
adanya peningkatan konsumsi kakao dunia. Hal ini disebabkan oleh adanya
peningkatan jumlah penduduk dunia dan pengaruh perbaikan ekonomi atau
tingkat kesejahteraan masyarakat. Produksi kakao yang terus meningkat dapat
dilihat pada tabel berikut :
Tabel 2 Luas Areal dan Produksi Perkebunan Kakao Indonesia Tahun 2000-2015
Tahun
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014*)
2015**)

Luas Areal (Ha)
641 133
710 044
798 628
861 099
1 003 252
1 081 102
1 219 633
1 272 781
1 326 784
1 491 808
1 558 421
1 638 329
1 693 337
1 660 767
1 636 877
1 622 600

Produksi (Ton)
363 628
476 924
511 379
634 877
636 783
693 701
702 207
671 370
740 681
741 981
772 771
644 688
687 247
665 401
651 618
641 997

Produktivitas
0.56
0.67
0.64
0.73
0.63
0.64
0.57
0.52
0.55
0.49
0.49
0.39
0.40
0.40
0.39
0.39

Sumber : Ditjenbun, 2015

Negara tujuan utama ekspor kakao dari Indonesia adalah Malaysia,
Singapura, Amerika, China dan Brazil yang menguasai sebesar 93.1 persen. Nilai
ekspor komoditas kakao sepuluh tahun terakhir yaitu dari tahun 2002 sampai
dengan tahun 2011, terus mengalami peningkatan. Walaupun nilai impor juga
terus mengalami peningkatan sebagaimana terlihat pada Tabel 3.
Selama sepuluh tahun rata-rata ekspor kakao dari Indonesia sebesar hampir
US$ 999.6 juta sedangkan rata-rata impor sepersepuluh nilai ekspor yaitu US$

3

105 juta. Pada tahun 2011 nilai ekspor kakao Indonesia terjadi penurunan.
Tercatat juga bahwa total nilai ekspor dunia juga mengalami penurunan dari tahun
2010 cukup besar. Hal ini terjadi karena permintaan negara-negara Eropa
menurun sebagai akibat krisis ekonomi di kawasan tersebut. Hal ini juga berimbas
pada permintaan negara-negara lainnya sebagai mitra dagang Eropa seperti Cina.
Dengan menurunnya permintaan dari Cina maka berarti menurun pula permintaan
kakao dari Indonesia. Tahun 2011 nilai ekspor kakao Malaysia lebih tinggi
dibanding nilai ekspor kakao Indonesia (Ragimun 2012).
Tabel 3

Uraian

Nilai Ekspor Kakao dan Produk Kakao Indonesia Tahun 2002-2011
(juta US$)
2002
701

2003
624

Ekspor
Indonesia
Ekspor
239
330
Malaysia
Ekspor
2 297
2 251
Pantai
Gading
*)
840
Ekspor
Ghana
207
321
Ekspor
Brazil
Total
14 375
17 965
Ekspor
Dunia
Sumber : Ragimun (2012)

Tahun
2006
2007
855
924

2004
549

2005
668

2008
1 269

2009
1 413

2010
1 644

2011
1 345

445

514

568

757

1 003

918

1 303

1 378

2 182

2 060

2.035

2 205

2 807

3 724

3 827

4 159

1 071

892

1 241

1 053

1 042

1 158

976

2 294

320

387

362

365

401

352

417

421

20 166

20 805

22 984

27 287

32 233

33 865

37 815

33 334

Nilai ekspor kakao terbesar masih dikuasai oleh negara Pantai Gading dan
Ghana. Pada umumnya ekspor kakao negara-negara ini sudah melalui fermentasi
sehingga harganya lebih tinggi dibanding dengan yang belum difermentasi.
Artinya kualitas ekspor kakao Indonesia perlu ditingkatkan guna meningkatkan
nilai tambah ekspor, salah satunya melalui fermentasi. Diperkirakan bila melalui
fermentasi nilai tambah ekspor kakao per kg bertambah Rp 3 000. Saat ini di
dalam negeri harga kakao berkisar antara Rp 15 000 per kg sampai dengan
Rp 24 000 per kg (Ragimun 2012).
Hambatan ekspor saat ini yang banyak dikeluhkan para pelaku kakao adalah
diterapkannya Bea Keluar. Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu)
menyantumkan tarif bea keluar ekspor biji kakao bila harga 2 000-2 750 dollar AS
per ton dikenai pajak 5 persen. Untuk harga 2 750-3 500 dollar AS per ton,
dikenai pajak 10 persen, sedangkan harga diatas 3 500 dollar AS per ton maka bea
keluarnya 15 persen. Harga ekspor ini disesuaikan dengan fluktuasi tarif
internasional dari bursa berjangka di New York (Syadullah 2012).
Selama belum terbentuk Bursa Komoditi Indonesia, harga jual komoditi
mengacu pada bursa yang ada di luar negeri. Tetapi setelah terbentuk bursa
komoditi Indonesia, diharapkan Indonesia bisa menjadi price maker dalam
perdagangan global komoditi. Disamping itu, penetapan harga di bursa juga harus
memperhatikan informasi pasar perdagangan fisik. Hingga saat ini bursa komoditi
Indonesia masih menghadapi kendala mendasar yaitu harga komoditas masih
mengacu pada harga transaksi di bursa luar negeri, misalnya harga CPO mengacu
kepada Malaysia, harga timah mengacu ke Singapura, harga kopi mengikuti harga
di London, sementara itu harga kakao masih ditentukan oleh bursa komoditi New

4

York. Hal tersebut mengakibatkan posisi Indonesia sebagai Negara penghasil 5
komoditi hanya menjadi penerima harga (price taker). The London Financial
Futures Exchange (LIFFE) dan The New York Board of Trade (NYBOT)
merupakan lantai bursa perdagangan berjangka utama untuk komoditi kakao.
Perdagangan pada bursa tersentralisasi ini dipercaya dapat meningkatkan
transparansi pasar. Semua pedagang baik aktual maupun potensial memiliki akses
yang sama kepada harga yang terbentuk (Danil 2012).
Tabel 4 Harga Kakao Dunia
BULAN
September 2013
Oktober 2013
November 2013
Desember 2013
Januari 2014
Februari 2014
Maret 2014
April 2014
Mei 2014
Juni 2014
Juli 2014
Agustus 2014

US$/TON
2616.05
2730.70
2755.17
2824.54
2819.43
2994.36
3041.67
3050.61
3030.00
3174.33
3196.04
3270.27

Sumber : International Cocoa Organization (2014)

Hal yang sangat menentukan tingkat harga di pasar internasional adalah
mutu biji kakao. Oleh karena itu perlu adanya perhatian produsen kakao Indonesia
terhadap kualitas biji kakao yang diekspor. Harga biji kakao Indonesia relatif
rendah dan dikenakan potongan harga dibandingkan dengan harga produk sama
dari negara produsen lain. Pokok utama permasalahan rendahnya nilai mutu kakao
Indonesia di pasar internasional disebabkan antara lain hama dan umur tanaman
yang sudah sangat tua. Di pasar dunia terutama Eropa, mutu kakao Indonesia
dinilai rendah karena mengandung keasaman yang tinggi, rendahnya senyawa
prekursor flavor, dan rendahnya kadar lemak, sehingga harga kakao Indonesia
selalu mendapatkan potongan harga cukup tinggi sekitar 15 persen dari rata- rata
harga kakao dunia (Danil 2012).
Sulawesi Tengah merupakan salah satu provinsi pemasok kakao biji
Indonesia. Sebagai contoh pada tahun 2013 produksinya mencapai sekitar
149 071 ribu ton dengan luas areal 284 125 ribu hektar (Ditjenbun 2015).

5

Tabel 5 Luas lahan dan produksi kakao berdasarkan provinsi, 2015
Provinsi
Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Kepulauan Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Kepulauan Bangka
Belitung Bengkulu
Lampung

Luas Lahan (ribu
ha)
102 034
62 893
148 012
4 218
9
2 082
10 218
816
13 517
59 833

Produksi
(ribu ton)

Produktivitas
26 396
15 597
56 047
684
1
512
2 837
151
4 672
22 067

0.25
0.24
0.37
0.16
0.11
0.24
0.27
0.18
0.34
0.36

DKI Jakarta
Jawa Barat
Banten
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur

6 465
7 045
6 699
5 012
34 401

803
1 887
1 341
853
9 262

0.12
0.26
0.20
0.17
0.26

Bali
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur

10 746
7 846
53 953

3 925
1 166
11 755

0.36
0.14
0.21

Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur

11 754
929
757
22 455

2 032
205
74
6 927

0.17
0.22
0.09
0.30

Sulawesi Utara
Gorontalo
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Barat
Sulawesi Tenggara

16 725
13 462
284 125
250 670
172 858
251 730

3 733
3 826
149 071
116 650
71 823
119 510

0.22
0.28
0.52
0.46
0.41
0.47

24 666
31 684
32 491
10 662
1 660 767

7 495
10 656
9 757
3 687

0.30
0.33
0.30
0.34

Maluku
Maluku Utara
Papua
Papua Barat
Indonesia
Sumber : Ditjenbun, 2015

665 401

8.64

Tahun 2012 pasokan kakao biji Sulawesi Tengah mencapai 181 523 ton
dengan luas panen 295 874 ha (BPS 2013). Adapun luas areal, produksi dan
produktivitas kakao Sulawesi Tengah dalam lima tahun terakhir disajikan dalam
Tabel 6.

6

Tabel 6

Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Kakao di Sulawesi Tengah
2008-2012

No.

Tahun

1.
2.
3.
4.
5.

2009
2010
2011
2012
2013
Rata-rata

Luas Panen (Ha)

Produksi (Ton)

224 113
224 471
195 725
295 874
284 124
197 052

137 651
186 875
168 859
181 523
195 846
155 638

Produktivitas
(Ton/Ha)
0.61
0.83
0.86
0.61
0.68
0.815

Sumber : Provinsi Sulawesi Tengah dalam Angka 2013.

Data pada Tabel 6 menunjukkan bahwa produksi kakao mengalami
fluktuasi, kondisi ini disebabkan oleh adanya perubahan peningkatan luas panen
tiap tahun, faktor cuaca, dan iklim yang tidak menentu, gangguan hama dan
penyakit yang menyerang tanaman kakao dan teknik budidaya yang masih rendah.
Selain itu, harga-harga input produksi yang fluktuatif juga mempengaruhi
penyebab produksi yang fluktuatif.
Kualitas sebagai indikator dayasaing sangat memengaruhi tingkat harga.
Oleh karena itu, ketika kakao Indonesia dinilai berkualitas rendah secara otomatis
harga yang ditetapkannya pun akan berada di bawah harga kakao yang berlaku di
tingkat dunia. Rendahnya kualitas kakao Indonesia yaitu 85 persen dari total
produksi adalah kakao yang tidak terfermentasi. Kualitas yang rendah dicirikan
oleh kandungan asam yang tinggi, rendahnya senyawa prekursor flavour, dan
rendahnya kadar lemak. Hal ini juga yang menjadi alasan utama mengapa harga
biji kakao Indonesia dikenakan potongan yang cukup tinggi yaitu sekitar 10
sampai dengan 15 persen dari harga pasar dunia atau terkena diskon sampai
USD 200 per ton (Syadullah 2012).

Perumusan Masalah
Sistem perdagangan internasional menghadapkan dunia pada banyak
pilihan. Produk atau komoditas yang memiliki daya sainglah yang akan terpilih
oleh konsumen dunia. Daya saing sangat identik dengan kualitas sedangkan harga
merupakan indikator utama dari kualitas. Oleh karena itu, komoditas yang
berkualitas tinggi akan dinilai dengan harga yang tinggi dan begitu juga
sebaliknya.
Kualitas biji kakao yang diekspor oleh Indonesia dikenal sangat rendah
(berada di kelas 3 dan 4). Hal ini disebabkan oleh, pengelolaan produk kakao
yang masih tradisional (85 persen biji kakao produksi nasional tidak difermentasi)
sehingga kualitas kakao Indonesia menjadi rendah. Kualitas rendah menyebabkan
harga biji dan produk kakao Indonesia di pasar internasional dikenai diskon
USD200/ton atau 10 persen-15 persen dari harga pasar. Selain itu, beban pajak
ekspor kakao olahan (sebesar 30 persen) relatif lebih tinggi dibandingkan dengan

7

beban pajak impor produk kakao (5 persen), kondisi tersebut telah menyebabkan
jumlah pabrik olahan kakao Indonesia terus menyusut (Suryani 2007). Selain itu
para pedagang (terutama trader asing) lebih senang mengekspor dalam bentuk biji
kakao (non olahan). Berdasarkan fakta tersebut, komoditas-komoditas Indonesia
yang berorientasi ekspor harus memiliki daya saing agar dapat diterima oleh
konsumen dunia. Kakao merupakan salah satu komoditas Indonesia yang
berorientasi ekspor sehingga akan menghadapi persaingan di pasar internasional.
Oleh karena itu perlu adanya pengkajian mengenai daya saing kakao Indonesia.
Pengusahaan kakao di Indonesia dilaksanakan oleh tiga pihak yaitu
Perkebunan rakyat, Perkebunan Negara, dan Perkebunan Swasta. Perkebunan
rakyat merupakan perkebunan penghasil kakao terbesar di Indonesia dengan luas
lahan mencapai 92 persen dari total keseluruhan luas areal perkebunan Indonesia,
sedangkan sisanya merupakan perkebunan swasta dan perkebunan Negara.
Perkebunan rakyat sebagai produsen kakao dengan luas lahan terbesar
dibandingkan perkebunan Negara dan swasta tentu akan menghasilkan kakao
dalam jumlah yang paling besar. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kakao
Indonesia yang dinilai berkualitas rendah di pasar dunia karena tidak terfermentasi
secara
sempurna
(unfermented)
berasal
dari
perkebunan
rakyat
(Aliyatillah dan Kusnadi 2011).
Di sisi lain, kakao Indonesia ternyata tidak keseluruhannya berkualitas
rendah. Kakao yang telah terfermentasi dengan sempurna bahkan memiliki
kualitas berstandar internasional mampu dihasilkan oleh produsen kakao
Indonesia yaitu perkebunan negara. Hal ini tidak terlepas dari teknik budidaya
kakao yang benar serta adanya teknologi pengolahan terutama fermentasi yang
sempurna. Tabel 7 menunjukkan kualitas kakao yang berstandar Internasional.
Tabel 7 Kualitas Kakao Berstandar Internasional
No.
1
2
3
4
5
6
7
8

Karakteristik
Jumlah Biji/100 gr maks
Kadar air, %(b/b)
Berjamur, %(b/b) maks
Tak Terfermentasi %(b/b) maks
Berserangga, hampa, berkecambah,
%(b/b) maks
Biji pecah, %(b/b) maks
Benda asing, %(b/b) maks
Kemasan kg, netto/karung

Mutu A
100
7.5
3
3
3
3
0
62.5

Mutu B Standar
110
>120
7.5
>7.5
4
>4
8
>8
6
>6
3
0
62.5

3
0
62.5

Sumber: Kadin Indonesia (2007)

Sulawesi Tengah merupakan salah satu produsen penghasil kakao terbesar
di Indonesia. Oleh karena itu, perlu dikaji mengenai daya saing pengusahaan
komoditas kakao di Sulawesi Tengah serta mengetahui posisi spesialisasi
Indonesia sebagai negara spesialisasi importir atau eksportir kakao serta
mengetahui kerentanan terhadap pasar atau ketergantungan pada negara tertentu.
Selanjutnya dapat ditentukan upaya-upaya strategis peningkatan daya saing kakao
Indonesia di pasar internasional melalui dukungan kebijakan fiskal.
Mengingat kakao merupakan komoditas perkebunan Indonesia yang
berorientasi ekspor, perdagangannya tidak terlepas dari kebijakan pemerintah

8

seperti tarif, kuota, subsidi, dan pajak. Kebijakan tersebut erat kaitannya dengan
output dan input pengusahaan komoditas kakao. Penurunan secara signifikan oleh
ekspor biji kakao Indonesia sebesar 48.4 persen terutama disebabkan oleh
pelaksanaan pajak ekspor biji kakao pada bulan April 2010 (Rifin 2013).
Kebijakan pemerintah yang ada juga akan mempengaruhi daya saing
komoditas kakao di Sulawesi Tengah sebagai produsen terbesar kakao biji
Indonesia. Kebijakan tersebut akan berpengaruh terhadap input dan output
pengusahaan komoditas kakao di Sulawesi Tengah. Kebijakan yang
mengakibatkan biaya input menurun dan menambah nilai guna output akan
meningkatkan daya saing komoditas kakao, sedangkan kebijakan yang
mengakibatkan biaya input menjadi naik dan nilai guna output menurun akan
menurunkan juga daya saing. Oleh karena itu, maka diperlukan analisis kebijakan
pemerintah yang mempengaruhi daya saing pengusahaan komoditas kakao di
Sulawesi Tengah.
Berdasarkan uraian di atas, maka timbul pertanyaan yang akan di kaji dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana keuntungan (profitabilitas) dari kegiatan usahatani komoditas
kakao?
2.
Bagaimana daya saing komoditas kakao di pasar internasional ?
3.
Adakah divergensi dan dampak kebijakan (distorsi pasar) pada input dan
output dari komoditas kakao?

Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan kegiatan penelitian ini
terdiri dari tujuan umum dan khusus yang saling mendukung. Secara umum tujuan
penelitian ini adalah :
1.
Mengidentifikasi daya saing komoditas kakao di pasar internasional.
2.
Sebagai bahan pertimbangan kepada pemerintah untuk menyusun rencana
aksi (action plan) dalam pengembangan komoditas kakao di Sulawesi
Tengah.
Untuk mencapai tujuan umum tersebut didekati melalui tujuan khusus
sebagai berikut :
1.
Mengkaji keuntungan (profitabilitas) dari kegiatan usahatani komoditas
kakao.
2.
Mengkaji daya saing komoditas kakao di pasar internasional.
3.
Mengkaji divergensi dan dampak kebijakan (distorsi pasar) pada input dan
output dari komoditas kakao.

Manfaat Penelitian

1.

Manfaat yang diharapkan dengan adanya penelitian ini adalah :
Bagi peneliti, sarana dalam peningkatan kompetensi diri, baik pengetahuan
maupun keterampilan dalam menganalisis potensi serta permasalahan yang

9

2.

3.

terjadi pada daya saing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap
komoditas kakao di Kabupaten Parigi Moutong dan Kabupaten Sigi,
Sulawesi Tengah.
Bagi pelaku agribisnis, penelitian ini dapat menambah referensi mengenai
daya saing komoditas kakao dan pengambilan keputusan pengembangan
usaha.
Bagi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, hasil analisis dampak
kebijakan pemerintah diharapkan dapat menjadi acuan dan bahan
pertimbangan dalam merumuskan dan mengimplementasikan instrumen–
instrument kebijakan yang lebih efektif dan efisien bagi pengembangan
agribisnis kakao di Kabupaten Parigi Moutong dan Kabupaten Sigi,
Sulawesi Tengah.

Ruang Lingkup Penelitian
Lingkup penelitian dari studi mengenai “Pengaruh Kebijakan Pemerintah
terhadap Daya Saing Komoditas Kakao di Sulawesi Tengah” ini adalah sebagai
berikut :
1.
Penelitian ini hanya sebatas menganalisis tingkat keuntungan finansial dan
ekonomi usahatani pada agribisnis kakao di Sulawesi Tengah.
2.
Penelitian ini hanya sebatas menganalisis daya saing dan dampak kebijakan
pemerintah terhadap komoditas kakao di Sulawesi Tengah.
3.
Analisis dilakukan pada tingkat usahatani di Kabupaten Parigi Moutong
yang merupakan kabupaten dengan jumlah produksi kakao terbesar di
Sulawesi Tengah.
2

TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan Konseptual Daya Saing
Daya saing suatu komoditas dapat diukur dengan menggunakan pendekatan
keunggulan komparatif dan kompetitif. Keunggulan komparatif merupakan suatu
konsep yang dikembangkan oleh David Ricardo untuk menjelaskan efisiensi
alokasi sumberdaya di suatu negara dalam sistem ekonomi yang terbuka (Warr,
1992; Lembaga Penelitian IPB, 1997/1998 dalam Saptana et.al, 2006). Hukum
keunggulan komparatif dari Ricardo menyatakan bahwa sekalipun suatu negara
tidak memiliki keunggulan absolut dalam memproduksi dua jenis komoditas jika
dibandingkan negara lain, namun perdagangan yang saling menguntungkan masih
bisa berlangsung, selama rasio harga antar negara masih berbeda jika
dibandingkan tidak ada perdagangan (Lindert dan Kindleberger, 1993 dalam
Saptana et.al, 2006). Ricardo menganggap keabsahan teori nilai berdasar tenaga
kerja (labor theory of value) yang menyatakan hanya satu faktor produksi yang
penting menentukan nilai suatu komoditas, yaitu faktor tenaga kerja. Nilai suatu

10

komoditas adalah proporsional (secara langsung) dengan jumlah tenaga kerja
yang diperlukan untuk menghasilkannya.
Teori keunggulan komparatif Ricardo disempurnakan oleh teori biaya
imbangan (theory opportunity cost). Argumentasi dasarnya adalah bahwa harga
relatif dari komoditas yang berbeda ditentukan oleh perbedaan biaya. Biaya di sini
menunjukkan produksi komoditas alternatif yang harus dikorbankan untuk
menghasilkan komoditas yang bersangkutan. Selanjutnya teori Heckscer Ohlin
tentang pola perdagangan menyatakan bahwa Komoditi-komoditi yang dalam
produksinya memerlukan faktor produksi (yang melimpah) dan faktor produksi
(yang langka) diekspor untuk ditukar dengan barang-barang yang membutuhkan
faktor produksi dalam produksi yang sebaliknya. Jadi secara tidak langsung faktor
produksi yang melimpah diekspor dan faktor produksi yang langka diimpor
(Ohlin,1933: hal. 92 dalam Lindert dan Kindleberger, 1993 dalam Saptana et.al,
2006).
Keunggulan komparatif suatu produk sering dianalisis dengan Domestic
Resource Cost (DRC) atau Biaya Sumberdaya Domestik (BSD). Biaya
Sumberdaya Domestik adalah ukuran biaya imbangan sosial dari penerimaan satu
unit marginal bersih devisa, diukur dalam bentuk faktor-faktor produksi domestik
yang digunakan baik langsung maupun tidak langsung dalam suatu aktivitas
ekonomi. Pendekatan ini sangat umum digunakan pada komoditas pertanian
seperti yang dilakukan oleh Suryana (1980); Rosegrant et.al (1987); Saptana
(1987); Simatupang (1990); Warr (1992); Kasryno (1990); Saptana et.al (2001);
Rachman et.al (2004); Rusastra et.al (2004); Saliem et.al (2003) dan Saptana et.al
(2004). Guna memperoleh indikator pengukur daya saing yang lebih lengkap
digunakan Policy Analysis Matrix yang dikembangkan oleh Monke dan Pearson
(1995). Menurut Simatupang (1991) maupun Sudaryanto dan Simatupang (1993),
konsep keunggulan komparatif merupakan ukuran daya saing (keunggulan)
potensial dalam arti daya saing yang akan dicapai pada perekonomian tidak
mengalami distorsi sama sekali. Aspek yang terkait dengan konsep keunggulan
komparatif adalah kelayakan ekonomi, dan yang terkait dengan keunggulan
kompetitif adalah kelayakan finansial dari suatu aktivitas. Sudaryanto dan
Simatupang (1993) mengemukakan bahwa konsep yang lebih cocok untuk
mengukur kelayakan finansial adalah keunggulan kompetitif atau Revealed
Competitive Advantage (RCA) yang merupakan pengukur daya saing suatu
kegiatan pada kondisi perekonomian aktual.
Penggunaan metode DRC untuk mengetahui keunggulan komparatif
pertama kali oleh Bruno dalam Saptana et.al (2006) yang diterapkan pada studi
kasus di Israel. Bruno mengusulkan bahwa negara tersebut dapat mampunyai
keunggulan komparatif pada suatu aktivitas ekonomi apabila biaya sumberdaya
domestik per unit devisa yang diperoleh lebih kecil dibanding shadow price of
foreign exchange (SER) atau DRC < SER. Secara mendasar dikatakan bahwa
DRC adalah ukuran total biaya oportunitas riil dalam menghasilkan tambahan
bersih devisa untuk komoditi ekspor atau suatu ukuran penggunaan sumberdaya
domestik dalam menghemat tambahan bersih devisa dalam substitusi impor.
Dengan demikian, konsep ini sangat berhubungan erat dengan teori keunggulan
komparatif dalam teori perdagangan internasional.

11

Metode Daya Saing
Beberapa metode yang dapat digunakan untuk menghitung maupun menilai
daya saing suatu komoditas pertanian yang telah dilakukan pada penelitianpenelitian sebelumnya antara lain Revealed Comparative Adventage (RCA),
Berlian porter, Export Product Dynamic (EPD), An Almost Ideal Demand System
(AIDS) dan Policy Analysis Matrix (PAM). Beberapa metode ini dapat digunakan
sesuai dengan tujuan penelitian yang dilakukan.
Revealed Competitive Adventage (RCA) dapat digunakan untuk mengukur
keunggulan kompetitif suatu komoditas dalam kondisi perekonomian aktual,
(Karim dan Ismail 2007). Banyak penelitian yang berkaitan dengan penetapan
komoditas di daerah tertentu untuk meningkatkan daya saing karena banyak
manfaat yang dihasilkan, terutama untuk meningkatkan perekonomian daerah
berbasiskan sumberdaya lokal (Sembiring 2009). Beberapa penelitian yang telah
dilakukan untuk melihat pentingnya penetapan komoditas daerah dalam
meningkatkan daya saing seperti daerah Brebes Jawa Tengah yang memiliki
potensi tanaman kakao (Purmiyanti 2002). Semakin tinggi nilai indeks RCA maka
negara atau komoditas tersebut semakin berdayasaing (Arifin 2013). Pengukuran
dayasaing komoditas pertanian di berbagai negara dengan menggunakan metode
RCA ini telah dilakukan oleh beberapa peneliti di antaranya Arifin (2013),
Amirteimoori dan Chizari (2008), Lakra et al. (2014), dan Sahinli (2012). Arifin
(2013) dan Lakra et al. (2014) mengukur dayasaing beberapa komoditas pertanian
yang menjadi unggulan di negaranya. Arifin (2013) menganalisis keunggulan
komparatif beberapa komoditas unggulan ekspor pertanian Indonesia di antaranya
kakao, karet alam, kopi, kacang mete, dan mangga. Sementara itu, Lakra et al.
(2014) menganalisis keunggulan komparatif beberapa komoditas pertanian
unggulan di India seperti beras, teh, tembakau, rempah-rempah, kacang tanah,
kopi, buah segar, sayuran, kapas dan gula. Hasil penelitian Arifin (2013)
menunjukkan semua komoditas berdayasaing, sedangkan penelitian Lakra et al.
(2014) menunjukkan tidak semua komoditas tersebut memiliki keunggulan
komparatif.
Amirteimoori dan Chizari (2008) mengukur keunggulan komparatif ekspor
pistachio di Iran dari tahun 2000-2004. Dari hasil analisis diketahui bahwa ekspor
pistachio memiliki keunggulan komparatif sepanjang tahun 2000-2004, namun
setiap tahunnya indeks RCA berubah-ubah. Menurut Amirteimoori dan Chizari
(2008) perubahan indeks RCA dikarenakan terjadi penurunan pada nilai ekspor.
Desain penelitian yang berbeda ditunjukkan oleh Sahinli (2012). Sahinli (2012)
membandingkan keunggulan komparatif 420 komoditas pertanian dari dua negara
yaitu Turki dan Uni Eropa dengan menggunakan RCA. Hasil penelitian
menunjukkan Uni Eropa memiliki keunggulan komparatif lebih tinggi daripada
Turki.
Metode RCA memiliki beberapa keunggulan yaitu mudah dilakukan karena
menggunakan data yang berasal dari neraca perdagangan suatu negara yang
mudah untuk diamati (Mzumara et al. 2012). Metode RCA dapat digunakan untuk
menentukan kunggulan komparatif dari produk unggulan ekspor suatu negara
pada periode tertentu yang dapat menjadi indikator dayasaing suatu negara.
Namun, ada beberapa kelemahan yang dimiliki pada metode RCA ini yaitu
bersifat statis sehingga nilainya bisa berubah-ubah dan mengasumsikan setiap

12

negara mengekspor komoditas yang sama dengan yang diamati (Saptana 2010).
Nilai RCA ini bisa berubah-ubah setiap tahunnya karena nilainya bergantung pada
volume atau nilai ekspor negara atau komoditas tersebut. Aplikasi RCA juga
terbatas pada komoditas ekspor saja. Mzumara et al. (2012) menambahkan bahwa
RCA tidak dapat menunjukkan darimana keunggulan komparatif tersebut berasal.
Berbeda dengan metode Revealed Competitive Adventage (RCA), metode
Berlian Porter (Porter’s Diamond) digunakan untuk mengukur dan menganalisis
keunggulan kompetitif suatu komoditas, Berlian Porter (Porter’s diamond) adalah
model yang diciptakan oleh Michael Porter untuk membantu dalam memahami
konsep keunggulan kompetitif (competitive advantage) suatu negara, berbeda
dengan konsep keunggulan komparatif (comparative advantage) yang
menyatakan bahwa suatu negara tidak perlu menghasilkan suatu produk apabila
produk tersebut telah dapat dihasilkan oleh negara lain dengan lebih baik, unggul,
dan efisien secara alami, konsep keunggulan kompetitif adalah sebuah konsep
yang menyatakan bahwa kondisi alami tidaklah perlu untuk dijadikan penghambat
karena keunggulan pada dasarnya dapat diperjuangkan dan dikompetisikan
dengan berbagai perjuangan dan keunggulan suatu negara bergantung pada
kemampuan perusahaan-perusahaan di dalam negara tersebut untuk berkompetisi
dalam menghasilkan produk yang dapat bersaing di pasar.
Suatu komoditas mungkin saja dinyatakan berdaya saing dengan analisis
deskriptif kualitatif atau kuantitatif, akan tetapi jika dianalisis dengan metode
Berlian Porter ternyata tidak berdaya saing, seperti penelitian yang dilakukan oleh
Fadillah (2011) yang menggunakan metode Teori Berlian Porter untuk
menganalisis daya saing komoditas unggulan perikanan tangkap di Kabupaten
Sukabumi. Selain menggunakan Metode Berlian Porter yang digunakan untuk
analisis deskriptif kualitatif, peneliti juga menggunakan Analisis Location
Quotient (LQ) untuk menganalisis data secara kuantitatif. Hasil perhitungan nilai
LQ menunjukkan bahwa ikan Kuwe, Tembang, Lisong, Cakalang, Albaroka,
Madidihang, Tuna Mata Besar, Layu Kakap Putih, dan Belanak memiliki
keunggulan secara komparatif di Kabupaten Sukabumi. Sedangkan berdasarkan
Metode Berlian Porter disimpulkan bahwa komoditas unggulan perikanan tangkap
di Kabupaten Sukabumi belum memiliki daya saing yang optimal karena masih
terdapat kendala dalam tiap komponen daya saing yang diteliti. Oleh karena itu
manfaat penggunaan metode berlian porter dalam menilai daya saing sebuah
komoditas dapat memberikan gambaran yang lebih jelas karena analisis yang
dilakukan terhadap komoditas tersebut lebih komprehensif.
Pengukuran dayasaing dengan metode Export Product Dynamic (EPD)
memiliki pendekatan yang sama dengan metode RCA. Pengukuran dayasaing
dengan metode EPD juga menggunakan pendekatan pangsa pasar relatif ekspor
komoditas pertanian suatu negara terhadap pasar dunia. Export Product Dynamic
(EPD) merupakan metode analisis yang digunakan untuk menganalisis dayasaing
suatu produk yang memiliki daya kompetitif tinggi dan pertumbuhan produk yang
cepat pada arus perdagangan ekspor dalam suatu negara (Pradipta dan Firdaus
2014). Metode EPD berfungsi sebagai penentu apakah produk ekspor dari suatu
negara memiliki performa yang baik atau tidak di pasar dunia atau di negara
tujuan tertentu (Kanaya dan Firdaus 2014). Berbeda dengan metode RCA, metode
EPD ini lebih menunjukkan bagaimana posisi dayasaing suatu produk ekspor di
pasar dunia atau pasar tujuan tertentu. Posisi dayasaing produk tersebut ditentukan

13

kedalam empat kategori. Kategori tersebut adalah rising star, lost opportunity,
falling star dan retreat. Posisi pasar yang paling diharapkan suatu negara adalah
posisi rising star karena menunjukkan dayasaing yang tinggi. Pada posisi ini
jumlah ekspor produk mengalami peningkatan dan pangsa pasar (permintaan)
ekspor produk di pasar dunia atau pasar negara tujuan juga sedang mengalami
peningkatan. Pengukuran dayasaing komoditas pertanian di berbagai negara
dengan menggunakan metode EPD ini telah dilakukan oleh beberapa peneliti di
antaranya Hasibuan et al. (2012), Kanaya dan Firdaus (2014) dan Pradipta dan
Firdaus (2014).
Hasibuan et al. (2012) meneliti mengenai dayasaing perdagangan biji kakao
dan produk kakao olahan Indonesia di pasar internasional. Hasibuan et al. (2012)
menunjukkan bahwa biji kakao, kakao pasta, kakao butter dan kakao bubuk tanpa
tambahan memiliki dayasaing yang tinggi karena berada pada posisi pasar rising
star. Sementara itu, kakao bubuk dengan tambahan dan kelompok bahan makanan
yang mengandung coklat masuk pada posisi pasar lost opportunity dimana terjadi
kehilangan pagsa pasar produk tersebut di pasar dunia. Berbeda dengan Hasibuan
et al. (2012), Kanaya dan Firdaus (2014) meneliti mengenai dayasaing ekspor
produk biofarmaka Indonesia pada beberapa negara tujuan tertetentu. Hasil
penelitian Kanaya dan Firdaus (2014) menunjukkan bahwa setiap komoditas
biofarmaka yang diteliti memiliki posisi pasar yang berbeda-beda di setiap negara
tujuan ekspor. Sebagai contoh, posisi terbaik pasar kunyit dari Indonesia
berdasarkan indikator rising star berada pada pasar India, Singapura, Malaysia,
Belanda, dan Korea. Sedangkan posisi pasar kunyit dari Indonesia di negara
Jepang, Hong Kong dan Saudi Arabia berada pada posisi falling star. Senada
dengan Kanaya dan Firdaus (2014), Pradipta dan Firdaus (2014) juga
menunjukkan posisi pasar ekspor buah-buahan dari Indonesia ke beberapa negara
tujuan ekspor berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi oleh pertumbuhan ekspor buahbuahan di Indonesia dan pertumbuhan permintaan ekspor buah-buahan di negara
tujuan.
Penggunaan metode EPD sebagai indikator untuk menentukan dayasaing
suatu produk memiliki keunggulan dan kelemahan. Keunggulan dari penggunaan
metode EPD untuk pengukuran dayasaing yaitu dapat menentukan posisi pasar
produk ekspor dari suatu negara di pasar dunia atau di pasar tujuan tertentu.
Produk ekspor yang diakomodasi dalam metode ini tidak hanya untuk satu jenis
produk ekspor saja akan tetapi dapat digunakan untuk lebih dari satu produk
ekspor. Akan tetapi, metode EPD ini memiliki beberapa kelemahan yaitu tidak
dapat menunjukkan interaksi atau hubungan persaingan antar negara eksportir
untuk produk yang sama di pasar tujuan. Suatu produk yang diimpor oleh suatu
negara sangat memungkinkan diperoleh dari lebih dari satu negara eksportir.
Metode EPD ini tidak mengakomodasi bagaimana pola persaingan antar negara
eksportir tersebut. Selain itu pada metode EPD ini, produk yang dianalisis juga
hanya terbatas pada produk yang berorientasi ekspor.
Metode lain yang dapat digunakan untuk pengukuran dayasaing suatu
komoditas yaitu model An Almost Ideal Demand System (AIDS). Model AIDS
dikembangkan oleh Deaton dan Muellbauer (1980) sebagai analisis untuk
permintaan. Model ini telah banyak diaplikasikan pada penelitian mengenai
analisis dayasaing komoditas pertanian seperti yang dilakukan oleh Chang dan
Nguyen (2002), Rifin (2010), dan Rifin (2013). Pendekatan dengan menggunakan

14

model AIDS ini dapat memperlihatkan hubungan persaingan perdagangan
komoditas pertanian antar negara yaitu saling bersubstitusi atau komplementer.
Contoh dari hubungan substitusi adalah hubungan antara Australia dengan
Amerika Serikat pada pasar ekspor kapas di Jepang (Chang dan Nguyen 2002).
Hubungan substitusi menggambarkan adanya persaingan antar kedua negara di
pasar tujuan. Selain hubungan s