Daya Saing Komoditas Kakao Indonesia Dalam Perdagangan Internasional

DAYA SAING KOMODITAS KAKAO INDONESIA DALAM
PERDAGANGAN INTERNASIONAL

RIDWAN UMAR HANAFI

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Daya Saing Komoditas
Kakao Indonesia dalam Perdagangan Internasional adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2015

Ridwan Umar Hanafi
NIM H34110010

ABSTRAK
RIDWAN UMAR HAHAFI. Daya Saing Komoditas Kakao Indonesia dalam
Perdagangan Internasional. Dibimbing oleh NETTI TINAPRILLA
Indonesia perlu fokus pada produk kakao yang memiliki daya saing
tertinggi agar mampu terus bersaing dengan negara-negara kompetitor utama
dalam perdagangan internasional. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
daya saing biji kakao Indonesia dengan beberapa produk turunannya. Data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Penelitian dimulai dengan
menganalisis struktur pasar kakao dalam perdagangan internasional, hasilnya
menunjukkan bahwa struktur pasar biji kakao, lemak kakao, pasta kakao dan
bubuk kakao tergolong ke dalam oligopoli. Metode RCA (Revealed Comparative
Advantage) menunjukkan bahwa Indonesia memiliki keunggulan komparatif
untuk biji kakao, pasta kakao dan lemak kakao (RCA>1). Metode ISP (Indeks
Spesialisasi Perdagangan) menunjukkan bahwa Indonesia memiliki

kecenderungan sebagai negara net exporter untuk biji kakao, pasta kakao dan
lemak kakao. Metode EPD (Export Products Dynamic) menunjukkan bahwa
Indonesia memiliki keunggulan kompetitif yang tinggi untuk biji kakao, pasta
kakao, lemak kakao dan bubuk kakao. Menurut analisis EPD, Indonesia memiliki
keunggulan kompetitif yang tinggi untuk keseluruhan produk kakao yang diteliti
dalam penelitian ini.
Kata kunci: daya saing, ekspor, kakao, posisi perdagangan, struktur pasar

ABSTRACT
Indonesia needs to focus on cocoa products that have the highest
competitiveness, so it can constantly competing with the main competitor
countries in international trade. The purpose of this research is to analyze the
competitiveness of Indonesian cocoa beans and its some derivatives. Data used in
this research were secondary data. The research began with analyzing the market
structure of cocoa in international trade, the results indicate that the market
structure of the cocoa beans, cocoa butter, cocoa paste and cocoa powder
classified into an oligopoly. RCA method (Revealed Comparative Advantage)
shows that Indonesia has a comparative advantage for the cocoa beans, cocoa
paste and cocoa butter (RCA> 1). ISP method (Trade Specialization Index) shows
that Indonesia has a tendency as a net exporter country of cocoa beans, cocoa

paste and cocoa butter. EPD method (Export Products Dynamic) shows that
Indonesia has a high competitive advantage for cocoa beans, cocoa paste, cocoa
butter and cocoa powder. According to the EPD analysis, Indonesia has a high
competitive advantage for the entire cocoa products which researched in this
study.
Keywords: cocoa, competitiveness, export, market structure, trade specialization

DAYA SAING KOMODITAS KAKAO INDONESIA DALAM
PERDAGANGAN INTERNASIONAL

RIDWAN UMAR HANAFI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Skripsi ini
merupakan hasil penelitian yang dilaksanakan selama bulan Februari 2015-April
2015. Judul penelitian ini adalah Daya Saing Komoditas Kakao Indonesia dalam
Perdagangan Internasional.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Netti Tinaprilla, MM selaku
dosen pembimbing yang selalu membantu penulis dalam penyusunan tugas akhir
ini. Ungkapan terima kasih dan penghargaan juga penulis sampaikan kepada
kedua orang tua penulis, Bapak Sigit Wahyu Trijoko dan Ibu Siti Nuzuliyah, serta
seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Selain itu penulis juga
berterimakasih kepada pihak-pihak yang banyak membantu selama proses
penyusunan skripsi, teman-teman Dramaga Cantik S02, teman-teman fasttrack
Agribisnis angkatan 48, sahabat-sahabat terdekat, seluruh mahasiswa Agribisnis
angkatan 48 dan semua teman serta sahabat IPB yang tidak bisa saya sebutkan
satu persatu. Terima kasih atas dukungan dan bantuannya selama ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2015
Ridwan Umar Hanafi

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN


1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

6

Tujuan Penelitian

7

Manfaat Penelitian

7

Ruang Lingkup


7

TINJAUAN PUSTAKA
KERANGKA PEMIKIRAN

7
10

Kerangka Pemikiran Teoritis

10

Kerangka Pemikiran Operasional

14

METODE PENELITIAN

17


Jenis dan Sumber Data

17

Metode Analisis dan Pengolahan Data

17

GAMBARAN UMUM KAKAO INDONESIA

21

Luas Lahan dan Produksi Kakao Indonesia

21

Produk Olahan Kakao dan Industri Kakao Dalam Negeri

22


Negara Tujuan Ekspor Utama Kakao Indonesia

27

STRUKTUR PASAR DAN DAYA SAING KAKAO INDONESIA DI
PERDAGANGAN INTERNASIONAL

30

Struktur Pasar dan Daya Saing Kakao Indonesia

30

Struktur Pasar dan Daya Saing Biji Kakao Indonesia

35

Struktur Pasar dan Daya Saing Pasta Kakao Indonesia

38


Struktur Pasar dan Daya Saing Lemak Kakao Indonesia

42

Struktur Pasar dan Daya Saing Bubuk Kakao Indonesia

46

SIMPULAN DAN SARAN

50

Simpulan

50

Saran

51


DAFTAR PUSTAKA

52

LAMPIRAN

53

RIWAYAT HIDUP

62

DAFTAR TABEL
1 Perkembangan nilai ekspor komoditas primer perkebunan tahun 20092012
2 Perkembangan nilai ekspor biji kakao Indonesia ke dunia
3 Perkembangan nilai ekspor biji kakao di negara eksportir utama tahun
2008-2012
4 Nilai ekspor biji kakao Indonesia dan beberapa produk turunannya
5 Tingkat konsentrasi pasar
6 Matriks posisi daya saing dengan metode EPD
7 Luas areal perkebunan dan produksi kakao nasional tahun 2004-2013
8 Produksi kakao di daerah sentra produksi di Indonesia tahun 2009-2013
9 Luas areal kakao nasional di daerah sentra produksi kakao di Indonesia
tahun 2009-2013
10 Perkembangan industri kakao dalam negeri tahun 2009-2011
11 Perkembangan nilai ekspor beberapa komoditas kakao Indonesia dan
persentasenya terhadap total ekspor kakao Indonesia tahun 2004-2013
12 Struktur pasar kakao dalam perdagangan internasional
13 Struktur pasar biji kakao dalam perdagangan internasional
14 Struktur pasar pasta kakao dalam perdagangan internasional
15 Struktur pasar lemak kakao dalam perdagangan internasional
16 Struktur pasar bubuk kakao dalam perdagangan internasional

1
3
4
5
18
20
21
21
22
24
26
31
35
39
43
46

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7

Ekspor kakao Indonesia menurut 4 digit kode HS
Keseimbangan dalam perdagangan internasional
Kerangka pemikiran operasional
Posisi daya saing produk dengan metode EPD
Pohon industri kakao
Perkembangan harga kakao Indonesia (US$/kg)
Perkembangan nilai ekspor kakao Indonesia menurut negara tujuan
ekspor utama tahun 2004-2013 (dalam US$)
8 Perkembangan nilai ekspor biji kakao Indonesia menurut negara tujuan
ekspor utama tahun 2004-2013 (dalam US$)
9 Perkembangan nilai ekspor pasta kakao Indonesia menurut negara
tujuan ekspor utama tahun 2004-2013 (dalam US$)
10 Perkembangan nilai ekspor lemak Indonesia menurut negara tujuan
ekspor utama tahun 2004-2013 (dalam US$)
11 Perkembangan nilai ekspor bubuk Indonesia menurut negara tujuan
ekspor utama tahun 2004-2013 (dalam US$)
12 Pangsa pasar eksportir utama kakao dunia dan Indonesia
13 Nilai RCA eksportir utama kakao dunia dan Indonesia
14 Nilai ISP eksportir utama kakao dunia dan Indonesia
15 Nilai EPD eksportir utama kakao dunia dan Indonesia
16 Pangsa pasar eksportir utama biji kakao dunia dan Indonesia
17 Nilai RCA eksportir utama biji kakao dunia dan Indonesia
18 Nilai ISP eksportir utama biji kakao dunia dan Indonesia

2
12
16
20
23
27
27
28
29
29
30
31
32
33
34
36
37
37

19 Nilai EPD eksportir utama biji kakao dunia dan Indonesia
20 Pangsa pasar eksportir utama pasta kakao dunia dan Indonesia
21 Nilai RCA eksportir utama pasta kakao dunia dan Indonesia
22 Nilai ISP eksportir utama pasta kakao dunia dan Indonesia
23 Nilai EPD eksportir utama pasta kakao dunia dan Indonesia
24 Pangsa pasar eksportir utama lemak kakao dunia dan Indonesia
25 Nilai RCA eksportir utama lemak kakao dunia dan Indonesia
26 Nilai ISP eksportir utama lemak kakao dunia dan Indonesia
27 Nilai EPD eksportir utama lemak kakao dunia dan Indonesia
28 Pangsa pasar eksportir utama bubuk kakao dunia dan Indonesia
29 Nilai RCA eksportir utama bubuk kakao dunia dan Indonesia
30 Nilai ISP eksportir utama bubuk kakao dunia dan Indonesia
31 Nilai EPD eksportir utama bubuk kakao dunia dan Indonesia

38
39
40
41
42
43
44
45
45
47
48
48
49

DAFTAR LAMPIRAN
1 Nilai ekspor kakao (HS 18) Indonesia dan negara eksportir utama
dunia tahun 2004-2013
2 Pangsa pasar kakao (HS 18) Indonesia dan negara eksportir utama
dunia tahun 2004-2013
3 Nilai RCA kakao (HS 18) Indonesia dan negara eksportir utama dunia
tahun 2004-2013
4 Nilai ISP kakao (HS 18) Indonesia dan negara eksportir utama dunia
tahun 2004-2013
5 Nilai EPD kakao (HS 18) Indonesia tahun 2004-2013
6 Nilai ekspor biji kakao (HS 1801) Indonesia dan negara eksportir
utama dunia tahun 2004-2013
7 Pangsa pasar biji kakao (HS 1801) Indonesia dan negara eksportir
utama dunia tahun 2004-2013
8 Nilai RCA biji kakao (HS 1801) Indonesia dan negara eksportir utama
dunia tahun 2004-2013
9 Nilai ISP biji kakao (HS 1801) Indonesia dan negara eksportir utama
dunia tahun 2004-2013
10 Nilai EPD biji kakao (HS 1801) Indonesia tahun 2004-2013
11 Nilai ekspor pasta kakao (HS 1803) Indonesia dan negara eksportir
utama dunia tahun 2004-2013
12 Pangsa pasar pasta kakao (HS 1803) Indonesia dan negara eksportir
utama dunia tahun 2004-2013
13 Nilai RCA pasta kakao (HS 1803) Indonesia dan negara eksportir utama
dunia tahun 2004-2013
14 Nilai ISP pasta kakao (HS 1803) Indonesia dan negara eksportir utama
dunia tahun 2004-2013
15 Nilai EPD pasta kakao (HS 1803) Indonesia tahun 2004-2013
16 Nilai ekspor lemak kakao (HS 1804) Indonesia dan negara eksportir
utama dunia tahun 2004-2013
17 Pangsa pasar lemak kakao (HS 1804) Indonesia dan negara eksportir
utama dunia tahun 2004-2013

54
54
55
55
55
56
56
57
57
57
58
58
59
59
59
60
60

18 Nilai RCA lemak kakao (HS 1804) Indonesia dan negara eksportir
utama dunia tahun 2004-2013
19 Nilai ISP lemak kakao (HS 1804) Indonesia dan negara eksportir utama
dunia tahun 2004-2013
20 Nilai EPD lemak kakao (HS 1804) Indonesia tahun 2004-2013
21 Nilai ekspor bubuk kakao (HS 1805) Indonesia dan negara eksportir
utama dunia tahun 2004-2013
22 Pangsa pasar bubuk kakao (HS 1805) Indonesia dan negara eksportir
utama dunia tahun 2004-2013
23 Nilai RCA bubuk kakao (HS 1805) Indonesia dan negara eksportir
utama dunia tahun 2004-2013
24 Nilai ISP bubuk kakao (HS 1805) Indonesia dan negara eksportir utama
dunia tahun 2004-2013
25 Nilai EPD bubuk kakao (HS 1805) Indonesia tahun 2004-2013

61
61
61
62
62
63
63
63

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Menurut Kementerian Perdagangan (2015), neraca ekspor impor sektor nonmigas mengalami surplus sebesar US$ 70.49 milyar pada periode 2010-2014.
Berbeda dengan sektor migas yang mengalami defisit sebesar US$ 29.94 milyar
dalam rentang waktu yang sama. Jauhnya perbedaan nilai neraca ekspor ini
menunjukkan bahwa sektor non-migas memegang peranan penting dalam eksporimpor Indonesia. Oleh karena itu sektor ini perlu mendapat perhatian lebih dari
pemerintah agar mampu memberikan devisa negara lebih baik. Sektor non-migas
terdiri dari pertanian, indutri, pertambangan dan lainnya.
Sektor pertanian primer memiliki peranan penting dalam perekonomian dan
pembangunan bangsa Indonesia. Sektor ini terdiri dari beberapa subsektor yang
menyokongnya, yaitu tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan.
Subsektor perkebunan merupakan subsektor yang memiliki nilai ekspor paling
besar di antara subsektor lainnya, yaitu sebesar US$ 29.76 milyar pada 2014,
US$ 29.50 milyar pada 2013 dan US$ 32.48 milyar tahun 20121. Beberapa jenis
sektor perkebunan yang menjadi andalan antara lain minyak kelapa sawit (CPO),
karet, kopi, teh, lada, tembakau dan kakao.
Tabel 1 Perkembangan nilai ekspor komoditas primer perkebunan tahun 2009-2012
Nilai ekspor komoditas primer perkebunan (Juta US$)
No Komoditas perkebunan
2009
2010
2011
2012
1
Karet
3 241.5
7 326.6
11 135.9
7 861.9
2
Minyak sawit
10 368
13 469
17 261
17 602.2
-Minyak sawit (CPO)
6 710
9 085
10 961
6 676.5
-Minyak sawit lainnya
3 658
4 384
6 300
10 925.7
3
Kelapa
494.5
702.6
1 060.7
1 245.3
4
Kopi
824.0
814.3
963.4
1 249.5
5
Teh
171.6
178.5
152.1
156.8
6
Lada
140.3
245.9
195.9
423.5
7
Tembakau
172.6
195.6
137.5
159.6
8
Kakao
1 413.5
1 643.7
1 345.3
1 053.5
9
Jambu Mete
82.7
71.6
67.7
95.4
10
Cengkeh
5.6
12.6
15.1
24.8
11
Kapas
0.7
1.0
1.0
37.5
12
Tebu (molase)
61.8
69.2
60.1
46.2
Tebu (gula hablur)
0.6
Total
16 977.6
24 730.7
32 395.7
29 956.1
Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan (2015)

Tabel 1 menunjukkan bahwa nilai ekspor kakao Indonesia mengalami tren
pertumbuhan yang negatif, yaitu sebesar -0.079 persen, terendah kedua setelah
tebu yang mengalami tren pertumbuhan negatif sebesar -0.081 persen. Hal ini
seharusnya menjadi sesuatu yang perlu perhatian lebih bagi pemerintah, karena
meski nilai ekspornya memiliki kecenderungan untuk turun, kakao masih menjadi
1

http://database.deptan.go.id/eksim/index1.asp [Diakses pada 10 Februari 2015]

2
salah satu komoditas yang menyumbang devisa negara cukup besar. Terlebih
Indonesia juga merupakan salah satu negara produsen biji kakao terbesar dunia.
Data dari Kemenperin (2010) menunjukkan bahwa Indonesia merupakan
produsen kakao terbesar ketiga di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Tiga
negara besar penghasil kakao adalah Pantai Gading (1 421 000 ton), Ghana (747
000 ton), dan Indonesia (577 000). Luas tanaman kakao Indonesia ± 992 448 ha
dengan produksi biji kakao sekitar 577 000 ton per tahun dan produktivitas ratarata 900 kilogram/ha.
Menurut UN Comtrade, kakao dan produk turunan lainnya (cocoa and other
cocoa preparations), kode HS 18, dikelompokan menjadi beberapa bagian dengan
kode HS yang berbeda. Biji kakao (cocoa beans), kode HS 1801, adalah benih
yang terkandung dalam buah dari pohon kakao, termasuk keseluruhan atau
sebagiannya, mentah atau dipanggang. Sisa kakao (cocoa shells,husks,skins and
waste), kode HS 1802, adalah bagian kulit,sekam dan bagian kakao lain yang
terbuang selama pengolahan. Pasta kakao (cacao paste/liquor), kode HS 1803,
adalah bagian yang diperoleh setelah menggiling biji kakao panggang, bagian
lemaknya telah dihilangkan semuanya. Lemak kakao (cocoa butter), kode HS
1804, adalah bagian kakao yang diperoleh dari biji dan pastanya setelah melalui
proses pemerasan, termasuk lemak dan minyaknya. Bubuk kakao (cacao powder),
kode HS 1805, adalah keseluruhan atau sebagian pasta kakao yang telah
dihilangkan lemaknya, diubah menjadi bubuk, tanpa tambahan gula atau pemanis
lainnya. Cokelat dan makanan lain yang mengandung kakao (chocolate and other
food preparations containing cocoa), kode HS 1806, terdiri dari kakao bubuk
yang telah ditambah pemanis dan produk olahan kakao siap konsumsi lainnya.
Masing-masing komoditas memiliki nilai jual yang berbeda-beda tergantung dari
besar nilai tambah yang dihasilkan dari setiap proses pengolahan kakao.
1.8E+09

Nilai Ekspor ( US$)

1.6E+09
1.4E+09
1.2E+09
1E+09
800000000
600000000
400000000
200000000
0
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Tahun
18-Cocoa and cocoa preparations
1801-Cocoa beans, whole or broken, raw or roasted
1802-Cocoa shells,husks,skins and waste
1803-Cocoa paste
1804-Cocoa butter, fat, oil
1805-Cocoa powder, unsweetened
1806-Chocolate and other foods containing cocoa

Sumber : UN Comtrade 2015

Gambar 1 Ekspor kakao Indonesia menurut 4 digit kode HS

3
Ekspor kakao terbesar pada rentang 2004-2013 terjadi pada tahun 2010,
yaitu sebesar US$ 1 643 648 557 dan paling rendah pada tahun 2004 sebesar US$
549 347 769. Nilai ekspor kakao Indonesia sendiri masih didominasi oleh biji
kakao. Ekspor biji kakao terbesar pada rentang 2004-2013 terjadi pada tahun 2010,
yaitu sebesar US$ 1 190 739 688 dan paling rendah pada tahun 2004 sebesar US$
369 862 997 serta tahun 2012 sebesar US$ 384 829 793. Pada rentang 2004-2010,
kurang lebih 70 persen dari total keseluruhan ekspor kakao Indonesia disokong
oleh biji kakao. Produk turunan kakao lainnya masih belum memberikan
tambahan devisa sebesar nilai ekspor biji kakao, terutama pada produk sisa dan
produk olahan kakao siap konsumsi.
Tabel 2 Perkembangan nilai ekspor biji kakao Indonesia ke dunia
Tahun
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013

Nilai (US$)
369 862 997
467 827 362
619 016 755
622 600 378
854 584 783
1 087 484 653
1 190 739 688
614 496 350
384 829 793
446 094 720

Pertumbuhan
pertahun (%)
26.49
32.30
0.58
37.20
27.20
9.40
-48.30
-37.30
15.90

Persentase di
dunia (%)
9.33
1.80
14.87
13.62
15.24
13.58
14.93
6.54
3.83
5.99

Peringkat di
dunia
3
3
3
3
3
4
2
4
6
5

Sumber : UN Comtrade, 2014

Melihat pangsa pasar biji kakao Indonesia dalam perdagangan internasional,
peran Indonesia dalam struktur pasar biji kakao dunia menjadi penting (hanya
Pantai Gading, Nigeria, Ghana, Kamerun dan Belanda yang dalam kurun 20042013 memiliki pangsa pasar yang lebih besar dari Indonesia). Kesalahan yang
umumnya terjadi pada petani kakao Indonesia adalah tidak melakukan fermentasi
pada biji kakao yang baru dipanen. Untuk hasil terbaik seharusnya biji kakao yang
telah dipanen difermentasi terlebih dahulu sebelum dilakukan pengeringan,
umumnya petani kakao Indonesia langsung melakukan pengeringan tanpa melalui
proses fermentasi. Inilah yang membuat mutu kakao Indonesia di perdagangan
internasional menjadi rendah. Padahal biji kakao Indonesia memiliki keunggulan
melting point cocoa butter yang tinggi, serta tidak mengandung pestisida
dibanding biji kakao dari Ghana maupun Pantai Gading (Kemenperin 2010).
Hal yang perlu diperhatikan adalah meski secara umum nilai ekspor biji
kakao Indonesia mengalami pertumbuhan yang positif, pada rentang tahun 20102012 terjadi penurunan nilai ekspor yang cukup signifikan, meskipun kondisi ini
kemudian membaik pada tahun 2013. Penurunan nilai ekspor biji kakao
kemungkinan disebabkan oleh kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Sejak April
2010, pemerintah mengeluarkan Penetapan Barang Ekspor Yang Dikenakan Bea
Keluar dan Tarif Bea Keluar (BK) melalui Peraturan Menteri Keuangan Republik
Indonesia Nomor 67/PMK.011/2010. Barang ekspor yang dikenakan BK antara

4
lain berupa kelapa sawit, CPO dan produk turunannya, tandan buah segar dan
kernelnya serta biji kakao. Pengenaan Bea Keluar (BK) untuk biji kakao
dimaksudkan untuk menjamin ketersediaan bahan baku nasional serta peningkatan
nilai tambah dan daya saing industri pengolahan kakao dalam negeri.
Selain itu pemerintah melalui Kementerian Perindustrian memberikan
fasilitas Tax Allowance dalam PP No. 52 Tahun 2011 tentang Fasilitas Pajak
Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan atau
di Daerah-Daerah Tertentu serta pemberian Tax Holiday bagi industri pengolahan
kakao di daerah tertentu melalui PMK No. 130 Tahun 2011 tentang Pemberian
Fasilitas Pembebasan atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan guna
mengembangkan industri kakao. Adanya program ini diharapkan mampu
menggerakkan industri hilir makanan dan minuman berbasis cokelat agar
melakukan ekspansi karena memberikan nilai tambah kakao yang tinggi, selain itu
juga mampu menyerap tenaga kerja dan memberikan multiplier effect terhadap
industri pendukung seperti industri pengemasan (packaging), transportasi,
perbankan dan sektor lainnya.
Tabel 3 Perkembangan nilai ekspor biji kakao di negara eksportir utama tahun
2008-2012
No
1
2
3
4
5
6

Negara eksportir
Indonesia
Pantai Gading
Nigeria
Ghana
Belanda
Kamerun

2008
854 585
1 754 113
510 312
974 135
116 217
400 325

Nilai ekspor (Ribu US$)
2009
2010
2011
1 087 485
1 190 740
614 496
2 596 121
2 492 515
3 017 377
1 250 868
1 048 004
958 770
1 088 777
847 415
2 071 557
267 904
384 659
537 646
543 363
610 990
512 344

2012
384 830
2 953 355
3 033 000
1 971 660
417 124
394 829

Sumber : Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Kementan, 2014

Negara pesaing utama ekspor biji kakao Indonesia adalah Pantai Gading,
Ghana, Nigeria, Kamerun dan Belanda. Selama lima tahun terakhir (2008-2012)
tingkat pertumbuhan nilai ekspor biji kakao Indonesia berada pada nilai minus 12
persen, yang merupakan tingkat pertumbuhan terendah di antara negara-negara
kompetitor. Indonesia memiliki rata-rata nilai ekspor biji kakao sebesar US$ 826
427. Nigeria merupakan negara kompetitor yang memiliki tingkat pertumbuhan
nilai ekspor biji kakao terbesar sebesar 84 persen dengan rata-rata nilai ekspor
US$ 1 360 191. Besar tingkat pertumbuhan Nigeria lebih tinggi dibanding Pantai
Gading dan Ghana yang merupakan dua eksportir utama biji kakao dunia. Pantai
Gading memiliki tingkat pertumbuhan sebesar 16 persen sedangkan Ghana
sebesar 32 persen. Pantai Gading memiliki rata-rata nilai ekspor biji kakao sebesar
US$ 2 562 696 sedangkan Ghana seebsar US$ 1 390 709. Belanda memiliki
tingkat pertumbuhan sebesar 48 persen dan Kamerun sebesar 2 persen. Belanda
memiliki rata-rata nilai ekspor sebesar US$ 344 710 dan Kamerun sebesar
US$ 492 370. Melihat perkembangan negara kompetitor pengekspor biji kakao,
kebijakan-kebijakan yang diterapkan pemerintah diharapkan mampu
meningkatkan potensi daya saing kakao melalui produk turunannya.

5
Tabel 4 Nilai ekspor biji kakao Indonesia dan beberapa produk turunannya
Item

Cocoa beans
(HS 1801)

Cocoa butter
(HS 1804)

Cocoa paste
(HS 1803)

Cocoa
powder
(HS 1805)

Elemen item
Kuantitas (ton)
Nilai (1000
US$)
Prices (ton/1000
US$)
Kuantitas (ton)
Nilai (1000
US$)
Prices (ton/1000
US$)
Kuantitas (ton)
Nilai (1000
US$)
Prices (ton/1000
US$)
Kuantitas (ton)
Nilai (1000
US$)
Prices (ton/1000
US$)

2009
439 305

2010
432 427

Tahun
2011
210 067

2012
163 501

2013
188 420

1 087 490

1 190 740

614 496

384 830

446 095

2.48

2.75

2.93

2.35

2.37

41 606

46 687

82 535

94 345

86 807

230 056

236 808

304 581

236 138

356 764

5.53

5.07

3.70

2.50

4.11

1 640

6 253

11 538

58 385

65 338

5 666

22 712

43 528

208 668

186 434

3.45

3.63

3.77

3.57

2.85

27 540

36 354

41 494

43 749

44 188

45 208

103 183

157 998

165 177

110 445

1.64

2.84

3.81

3.78

2.50

Sumber : UN Comtrade (2015)

Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa harga jual komoditas kakao dan beberapa
produk turunannya asal Indonesia berfluktuasi dalam rentang 2009-2013. Produk
turunan kakao secara umum memiliki nilai jual rata-rata yang lebih tinggi
dibandingkan biji kakao mentah. Lemak kakao merupakan produk turunan yang
memiliki nilai jual rata-rata tertinggi, yaitu sebesar 4.18 US$/kilogram, lalu
kemudian pasta kakao sebesar 3.45 US$/kilogram, bubuk kakao sebesar 2.91
US$/kilogram dan biji kakao sebesar 2.58 US$/kilogram.
Pengembangan daya saing melalui pengolahan biji kakao menjadi produk
turunannya diperlukan untuk meningkatkan kemampuan penetrasi kakao dan
produk olahan kakao Indonesia di pasar ekspor, baik itu untuk memperluas atau
memperdalam pasar. Menurut Kemenperin (2010), pada tahun 2008 jumlah
industri pengolahan kakao di Indonesia sebanyak 16 perusahaan dengan hanya 3
perusahaan yang berjalan dengan pemanfaatan kapasitas terpasang produk
pengolahan sekitar 61% dari total kapasitasnya. Hal ini menunjukkan masih
besarnya peluang industri hilir kakao dalam negeri untuk berkembang. Nilai jual
produk turunan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan menjual produk
mentah juga seharusnya menjadi pemacu industri kakao dalam negeri untuk
semakin berkembang.
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa ekspor biji kakao Indonesia
cenderung menurun, meski masih merupakan sektor yang diandalkan sebagai
salah satu penghasil devisa yang cukup besar. Di sisi lain, ekspor produk turunan
kakao Indonesia perlahan mengalami peningkatan seiring kebijakan-kebijakan
yang dilakukan pemerintah. Mengekspor produk antara (intermediate products)
atau bentuk olahan kakao diap konsumsi akan memberikan devisa yang lebih
besar bagi negara jika dibandingkan dengan menjual biji kakao yang tanpa disertai
pengolahan lebih jauh. Lebih dari itu, pada saat era globalisasi ini hanya negara

6
yang memiliki daya saing tinggi yang akan menguasai pasar internasional. Oleh
karena itu, penelitian mengenai daya saing kakao Indonesia perlu dilakukan untuk
mengetahui posisi daya saing Indonesia dalam perdagangan komoditas kakao di
pasar internasional.
Perumusan Masalah
Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan yang diperdagangkan
secara internasional. Peranan kakao cukup penting bagi perekonomian nasional,
khususnya sebagai penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan dan devisa
negara. Kedepannya industri kakao diharapkan memiliki peranan penting terhadap
ketiga aspek tersebut karena memiliki keterkaitan yang luas baik ke hulu (petani
kakao) maupun ke hilirnya (intermediate industry/grinders). Disamping itu kakao
juga berperan dalam mendorong pengembangan wilayah dan pengembangan
agroindustri.
Melihat nilai jual produk turunan kakao yang lebih tinggi dibandingkan
dengan hanya menjual biji kakao tanpa diolah, ada potensi besar yang dapat
dimasuki oleh industri kakao dalam negeri untuk mengembangkan bisnisnya. Hal
ini kemudian didukung dengan kebijakan dan program-program yang telah
dilakukan oleh pemerintah. Meski begitu, biji kakao yang saat ini masih menjadi
komoditas kakao yang menjadi andalan ekspor tidak serta merta langsung
ditinggalkan. Perlu dilakukan secara bertahap agar proses peralihan menjadi fokus
kepada ekspor produk turunan kakao menjadi berjalan lancar. Saat ini Belanda
menjadi eksportir produk turunan kakao terpenting di dunia dari sisi nilai penjulan
yang dimilikinya. Indonesia juga merupakan salah satu eksportir produk turunan
kakao penting di dunia, namun perlu ada perbaikan di berbagai sektor jika ingin
menjadi eksportir produk turunan kakao terbesar di dunia melewati Belanda.
Liberalisasi perdagangan yang ada saat ini mendorong setiap negara untuk
mengembangkan produknya yang diperdagangkan di pasar internasional.
Indonesia sebagai salah satu negara yang aktif dalam melakukan kegiatan
perdagangan internasional juga perlu mengembangkan produknya, melalui
penambahan nilai tambah agar lebih siap bersaing di pasar internasional.
Pemberian nilai tambah kakao merupakan potensi besar untuk dikembangkan agar
meningkatkan devisa negara. Kecenderungan pertumbuhan ekonomi baik di dunia
maupun Indonesia membawa konsekuensi akan semakin meningkatnya
permintaan akan produk kakao, baik bijinya atau produk olahannya. Pada
akhirnya penting bagi Indonesia untuk tidak hanya melakukan pengembangan
pada produk turunan kakao, tetapi juga pada biji kakao itu sendiri agar
keseluruhan produk kakao Indonesia mampu bersaing dengan produk-produk
negara lain. Oleh karena itu rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
Bagaimana struktur pasar kakao dalam perdagangan internasional?
1. Bagaimana keunggulan komparatif yang dimiliki oleh komoditas kakao
Indonesia dalam perdagangan internasional?
2. Bagaimana posisi perdagangan komoditas kakao Indonesia dalam
perdagangan internasional?
3. Bagaimana keunggulan kompetitif yang dimiliki oleh komoditas kakao
Indonesia dalam perdagangan internasional?

7
Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan harapan dapat mencapai tujuan sebagai
berikut :
1. Menganalisis struktur pasar kakao dalam perdagangan internasional
2. Menganalisis pangsa pasar komoditas kakao yang dikuasai Indonesia dan
negara eksportir utama kakao dalam perdagangan Internasional
3. Menganalisis keunggulan komparatif yang dimiliki oleh komoditas kakao
Indonesia dan negara eksportir utama kakao dalam perdagangan
internasional
4. Menganalisis posisi perdagangan komoditas kakao Indonesia dan negara
eksportir utama kakao dalam perdagangan internasional
5. Menganalisis keunggulan kompetitif yang dimiliki oleh komoditas kakao
Indonesia dan negara eksportir utama kakao dalam perdagangan
internasional
Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari adanya penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Melatih kemampuan analisis penulis terutama terkait dengan
pengaplikasian konsep-konsep bisnis internasional yang telah didapatkan
selama masa perkuliahan
2. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah dalam menerapkan kebijakan
yang sesuai dengan potensi yang dimiliki kakao Indonesia
3. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai referensi akademik dan
bahan kajian untuk penelitian selanjutnya.
Ruang Lingkup
Penelitian ini fokus pada beberapa produk ekspor kakao Indonesia, yaitu
kakao secara umum (HS 18), biji kakao (HS 1801), pasta kakao (HS 1803), lemak
kakao (HS 1804) dan bubuk kakao tanpa pemanis (HS 1805). Negara-negara yang
dijadikan pembanding dengan Indonesia adalah negara-negara eksportir utama
pada setiap komoditas kakao dalam penelitian ini. Keseluruhan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, sehingga alat-alat analisis
yang digunakan dalam penelitian ini adalah CR4, HHI, RCA, ISP dan EPD

TINJAUAN PUSTAKA
Pengolahan hasil pertanian merupakan komponen kedua dalam kegiatan
agribisnis setelah komponen produksi pertanian. Banyak pula dijumpai petani
yang tidak melaksanakan pengolahan hasil yang disebabkan oleh berbagai sebab,
padahal disadari bahwa kegiatan pengolahan ini dianggap penting karena dapat
meningkatan nilai tambah. Komponen pengolahan hasil pertanian menjadi penting
karena mampu meningkatkan nilai tambah, meningkatkan kualitas hasil,

8
meningkatkan penyerapan tenaga kerja, meningkatkan keterampilan produsen dan
meningkatkan pendapatan produsen (Soekartawi 2010)
Daya saing komoditas suatu negara ditentukan oleh keunggulan komparatif
dan keunggulan kompetitifnya. Selama ini ekspor komoditas Indonesia
mengandalkan keunggulan komparatif sebagai penentu daya saingnya, terutama
daya saing harga, seperti upah buruh murah dan SDA berlimpah sehingga murah
biaya pengadaannya. Namun dalam era perdagangan bebas, keunggulan
kompetitif suatu negara juga penting sebagai penentu daya saing suatu negara
(Tambunan 2004).
Penelitian mengenai daya saing komoditas perkebunan telah banyak
dilakukan sebelumnya. Salah satunya dilakukan oleh Raharti (2013) yang
melakukan penelitian penelitian terhadap dayasaing dan faktor-faktor yang
memengaruhi aliran eskpor pala Indonesia. Alat analisis yang digunakan untuk
menganalisis dayasaing pala pada penelitian tersebut adalah RCA, EPD dan IIT.
Sedangkan untuk melihat faktor-faktor yang memengaruhi aliran ekspor pala
digunakan Gravity Model yang mempertimbangkan komponen jarak ekonomi,
PDB, harga riil dan nilai tukar riil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari
analisis keunggulan komparatif (RCA), komoditas pala Indonesia memiliki
keunggulan komparatif dan tujuan eksornya yaitu Belanda, Italia, Jerman,
Amerika Serikat dan Singapura. Dari analisis keunggulan kompetitif (EDP)
komoditas pala Indonesia yang diekspor ke Belanda, Italia, Amerika dan Jerman
berada pada posisi “Rising Star” dimana posisi ini menunjukkan bahwa komoditas
pala Indonesia memiliki keunggulan kompetitif dan berada pada pangsa pasar
yang ideal dimana terjadi peningkatan yang pesat dan kontinu pada pangsa ekspor
dan produknya. Hasil analisis IIT menunjukkan bahwa pala Indonesia berada pada
alur perdagangan inter industry trade untuk negara Belgia dan Jerman, dan pada
alur industri intra industry trade untuk Belanda, Singapura, Amerika Serikat dan
Italia. Hanya variabel harga riil dan jarak ekonomi yang signifikan memengaruhi
alran ekspor pala Indonesia pada taraf nyata lima persen.
Rifin (2013), dalam jurnalnya yang berjudul Competitiveness of Indonesia’s
Cocoa Beans Export in the World Market menjelaskan bahwa Indonesia memiliki
keunggulan komparatif dalam memproduksi biji kakao, meski di sisi lain negara
kompetitor seperti Pantai Gading, Ghana dan Nigeria juga memiliki keunggulan
komparatif serta memiliki memiliki nilai RCA yang lebih tinggi dibanding
Indonesia. Penelitian ini dilakukan menggunakan pendekatan Revealed
Comparative Advantage (RCA) dan Almost Ideal Demand System (AIDS). Masih
menurut Rifin, Indonesia dan Ghana merupakan pelengkap dalam pasar
internasional, oleh karena itu kerjasama antar kedua negara tersebut sangat
direkomendasikan. Peningkatan permintaan biji kakao dalam pasar dunia akan
memberikan manfaat yang lebih tinggi kepada Indonesia.
Firsya (2014), melakukan penelitian tentang analisis dayasaing dan faktorfaktor yang memengaruhi aliran ekspor komoditas kakao olahan Indonesia.
Berdasarkan ode HS 4 digit terdapat tiga jenis produk kakao olahan Indonesia
yang diekspor dalam jumlah yang relatif besar, diantaranya adalah kakao dalam
bentuk pasta, mentega (butter) atau lemak dan bubuk. Namun demikian masih
lebih lebih kecil dibandingkan dengan ekspor dalma bentuk biji. Hasil analisis
metode RCA menunjukkan bahwa dayasaing kakao olahan Indonesia dengan kode
HS 1804 yaitu mentega, lemak dan minyak kakao secara umum memiliki daya

9
saing yang terbaik dan tertinggi di negara tujuan utama ekspor kecuali di Cina. Di
Cina, produk kakao olahan Indonesia yang berdayasaing hanya kakao bubuk (HS
1805) dan nilai dayasaingnya tertinggi dibandingkan di negara tujuan ekspor
lainnya. Di Jerman, produk kakao olahan Indonesia yang berdayasaing tinggi
adalah dalam bentuk pasta (HS 1803) dan nilai dayasaingnya relatif lebih tingi
dibandingkan di negara tujuan ekspor lainnya. Nilai daya saing untuk semua jenis
kakao olahan dalam rentang waktu 2008-2012 berfluktuasi.
Hasibuan et al. (2012) dalam jurnalnya menjelaskan bahwa Indonesia
mengalami surplus dalam perdagangan kakao, hal ini ditujukkan oleh tren yang
meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Indonesia juga memiliki keunggulan
komparatif sebagai eksportir biji kakao dan intermediate product (kakao pasta,
bubuk dan butter) di pasar internasional. Hasil analisis EPD (Export Product
Dynamic) menunjukkan bahwa hampir semua produk kakao Indonesia memiliki
daya saing. Sedangkan hasil analisis menggunakan CMSA (Constant Market
Share Analysis) menunjukkan produk-produk kakao yang memiliki daya saing
hanya produk-produk olahan. Dengan demikian, dalam rangka peningkatan
dayasaing produk kakao, diperlukan upaya pengembangan industri hilir seperti
kegiatan fermentasi biji kakao (industri primer), pengembangan industri
intermediet (kakao pasta, bubuk, butter dan lain-lain) serta produk akhir berupa
makanan yang mengandung cokelat.
Ragimun (2012) menjelaskan kontribusi komoditas kakao Indonesia dalam
rentang tahun 2002-2011 terus mengalami kenaikan dan rata-rata kontribusi
terhadap ekspor nasional sebesar 1 persen, begitu juga dengan nilai impor
komoditas ini terus mengalami tren naik terutama dari produk-produk turunan
kakao. Dalam jurnalnya yang berjudul Analisis Daya Saing Komoditas Kakao
Indonesia menjelaskan bahwa antara tahun 2002-2011 daya saing kakao Indonesia
masih cukup bagus, terbukti dengan rata-rata nilai Revealed Comparative
Advantage (RCA) di atas 4. Demikian juga dengan hasil Indeks Spesialisasi Pasar
(ISP) rata-rata mendekati 1 yang menunjukkan bahwa spesialisasi Indonesia
merupakan negara pengekspor kakao. Hasil Indeks Konsentrasi Pasar (IKP)
sebesar 0,35 yang berarti konsentrasi pasar komoditas kakao tidak terkonsentrasi
pada negara-negara tujuan eskpor atau kerentanan terhadap negara tujuan ekspor
relatif rendah. Sebagai pendorong nilai tambah kakao maka perlu ada kebijakan
berupa penerapan bea keluar yang berjenjang, subsidi ke petani, perbaikan
insfrastruktur, riset dan pengembangan kakao nasional.
Is (2008), juga melakukan penelitian tentang daya saing kakao Indonesia di
pasar internasional. Berdasarkan analisis Herfindahl Index dan Ratio Konsentrasi,
struktur pasar dalam perdagangan kakao internasional adalah cenderung oligopoli
namun memiliki sedikit kekuatan monopoli. Meskipun Indonesia salah satu
eksportir terbesar kakao dunia, Indonesia merupakan penerima harga di pasar
kakao internasional karena tidak tergabung dalam International Coccoa
Organization (ICCO). Kakao Indonesia memiliki keunggulan komparatif dalam
perdagangan internasional yang ditunjukkan dengan nilai RCA yang dimiliki
Indonesia lebih dari satu. Meski begitu, Teori Berlian Porter malah meunjukkan
bahwa komoditas kakao Indonesia berdayasaing lemah karena kualitas kakao
Indonesia yang masih rendah dan belum memenuhi standar internasional. Dari
analisis SWOT diperoleh strategi yang diperlukan untuk meningkatkan daya saing,
di antaranya melalui optimalisasi lahan kakao (agar terjadi peningkatan produksi

10
dan produktivitas) dan peningkatan industri terkait sehingga mampu
meningkatkan kualitas kakao melalui pengadaan bibit unggul kakao.
Rifin dan Nauly (2013) dalam paper The Effect of Export Tax on
Indonesia’s Cocoa Competitiveness, menunjukkan bahwa adanya kebijakan bea
ekspor biji kakao uang dikeluarkan Kementerian Keuangan melalui UU
No.67/PMK.011/2010
yang
kemudian
direvisi
menjadi
UU
No.
75/PMK.011/2012 secara signifikan mengubah komposisi ekspor kakao Indonesia.
Pada tahun 2009, sebanyak 75,30% ekspor kakao dalam bentuk biji kakao.
Sedangkan pada tahun 201, kontribusinya turun menjadi 51,76. Di sisi lain
kontribusi ekspor lemak, pasta dan bubuk meningkat secara signifikan.
Implementasi kebijakan bea ekspor telah menurunkan keunggulan kompetitif
ekspor biji kakao dan produk olahan kakao Indonesia jika dibandingkan dengan
dua negar produsen kakao lain, yaitu Pantai Gading dan Ghana. Di masa depan,
Indonesia perlu meningkatkan ekspor produk olahan kakao dibandingkan biji
kakaonya.

KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Perdagangan Internasional
Asmarantaka (2012), menyatakan bahwa perdagangan internasional
merupakan pertukaran barang dan jasa yang dilakukan antar negara dan
merupakan bagian dari kegiatan ekonomi internasional. Perdagangan internasional
ini dicerminkan melalui aktivitas ekspor-impor suatu negara yang akan
memberikan kontribusi terhadap pendapatan negara (PDB).
Secara teoritis, perdagangan internasional terjadi karena dua alasan utama.
Pertama, negara-negara berdagang karena pada dasarnya mereka berbeda satu
sama lain. Setiap negara dapat memperoleh keuntungan dengan melakukan
sesuatu yang relatif lebih baik. Kedua negara-negara melakukan perdagangan
dengan tujuan untuk mencapai skala ekonomi (economies of scale) dalam
produksi. Maksudnya jika setiap negara hanya memproduksi sejumlah barang
tertentu, mereka dapat menghasilkan barang-barang tersebut dengan skala yang
lebih besar dan karenanya lebih efisien jika dibandingkan kalau negara tersebut
memproduksi segala jenis barang. Pola-pola perdagangan dunia yang terjadi
mencerminkan perpaduan dari kedua motif ini (Basri dan Munandar 2010)
Hady (2004), menurut teori klasik Adam Smith, suatu negara akan
memperoleh manfaat dari perdagangan internasional (gain from trade) dan
meningkatkan kemakmuran bila terdapat free trade (perdagangan bebas) dan
melakukan spesialisasi berdasarkan keunggulan absolut (absolute advantage)
yang dimiliki. Gonarsyah (1987) faktor-faktor yang mendorong terjadinya
perdagangan internasional suatu negara dengan negara lain adalah untuk
memperluas pemasaran komoditas ekspor, memperbesar penerimaan bagi
kegiatan pembangunan, adanya perbedaan antara permintaan dan penawaran suatu
negara, dan adanya perbedaan biaya relatif.

11
Ekspor (export) adalah berbagai macam barang dan jasa yang diproduksi di
dalam negeri lalu dijual di luar negeri (Mankiw 2003). Ekspor memiliki dua
tujuan utama, yaitu meningkatkan keuntungan dan penjualan dan melindungi
keuntungan dari penjualan dan keuntungan. Harga barang yang diekspor ke luar
negeri lebih mahal jika dibandingkan dengan di dalam negeri. Selisih nilai ini
yang kemudian diincar oleh ekportir untuk mendapatkan keuntungan. Dari
kegiatan ekpor negara akan memperoleh devisa (alat pembayaran luar negeri)
yang akan digunakan untuk kegiatan pembangunan bangsa. Secara garis besar,
barang-barang yang diekspor oleh Indonesia terdiri atas dua macam, yaitu minyak
bumi dan gas alam (migas) dan non-migas. Barang-barang yang termasuk
komoditas migas antara lain minyak tanah, bensin, solar dan elpiji. Adapun
komoditas non-migas dikelompokkan menjadi hasil pertanian dan perkebunan,
hasil laut, hasil industri dan hasil tambang non-migas. Kegiatan ekspor suatu
negara telah menjadi aktivitas perdagangan yang paling cepat pertumbuhannya
dan secara terus menerus tumbuh lebih cepat daripada tingkat pertumbuhan output
perekonomian dunia selama dua dekade terakhir.
Secara teroritis ekspor suatu barang dipengaruhi oleh suatu penawaran
(supply) dan permintaan (demand). Dalam teori perdagangan internasional
disebutkan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi ekspor dapat dilihat dari sisi
permintaan dan sisi penawaran (Salvatore 1996). Dari sisi permintaan, ekspor
dipengaruhi oleh harga ekspor, nilai tukar riil, pendapatan dunia dan kebijakan
devaluasi. Sedangkan dari sisi penawaran, ekspor dipengaruhi oleh harga ekspor,
harga domestik, nilai tukar riil, kapasitas produksi yang bisa diproduksi melalui
investasi, impor bahan baku dan kebijakan deregulasi.
Impor adalah kegiatan perserorangan atau badan hukum yang membeli
barang dari luar negeri untuk kemudian di jual lagi di dalam negeri. Bagi importir
perseorangan/swasta, impor dilakukan untuk memeroleh laba. Sedangkan bagi
pemerintah, impor dilakukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Kegiatan
impor dilakukan saat harga barang produk yang ingin diimpor lebih murah jika
dibandingkan dengan harga dalam negeri. Ada beberapa hal yang menyebabkan
harga luar negeri lebih murah, antara lain negara penghasil memiliki sumber daya
alam yang lebih banyak, negara penghasil mampu memproduksi barang dengan
biaya lebih rendah atau negara penghasil mampu memproduksi barang dengan
jumlah yang lebih banyak.
Impor dapat memberikan dampak positif maupun negatif. Dampak positif
yang mungkin ditimbulkan dari impor antara lain pemerolehan barang yang tidak
mampu atau kurang produksinya di dalam negeri dan memberikan produsen
dalam negeri kompetitor atau pesaing yang setara, sehingga membuat produsen
dalam negeri terus meningkatkan mutu produksi. Sedangkan dampak negatifnya
antara lain menyebabkan terganggunya pertumbuhan perekonomian dan membuat
produsen dalam negeri tidak memiliki pesaing.
Gambar 2 memperlihatkan proses terjadinya harga relatif komoditas yang
ekuilibrium dengan adanya perdagangan, ditinjau dari analisis keseimbangan
secara parsial. Sebelum terjadinya perdagangan internasional negara Y melakukan
produksi dan konsumsi di titik A dengan tingkat harga relatif P1. Jika negara Y
menetapkan harga relatif P2 maka akan terjadi kelebihan penawaran (excess
supply) untuk komoditas X sebesar BE. Kelebihan penawaran ini akan diekspor
negara Y pada harga relatif P2. Di sisi lain negara berlaku hal yang sama, jika

12
negara Z menetakan harga relatif komoditas di P2 maka akan terjadi kelebihan
permintaan (excess demand) sebesar B’E’. Kelebihan permintaan ini merupakan
jumlah komoditas yang akan diimpor oleh negara Z dengan harga relatif P2.
Jumlah impor negara Z sebesar B’E’ akan dipenuhi oleh ekspor negara Y sebesar
BE. Keseimbangan harga setelah adanya perdagangan internasional ditunjukkan
oleh perpotongan kurva Sw dan Dw di titik E*, harga keseimbangan untuk barang
X setelah perdagangan internasional adalah P2.
Px

Px

Px
Sw

Ekspor
B

E
A

Negara Y

Sz
A’

Sy
B’

E*
Dy

E’
Impor

Dw
X

Perdagangan

Dz
X

Negara Z

X

Sumber : (Salvatore 1997)

Gambar 2 Keseimbangan dalam perdagangan internasional
Daya Saing
Daya saing yang dimiliki oleh suatu komoditas atau kemampuan suatu
negara merupakan hal yang sangat penting dalam perdagangan internasional.
Daya saing terkait dengan keunggulan dalam menghasilkan produk yang lebih
efisien dibandingkan dengan negara lain sehingga produk tersebut dapat
memasuki pasar internasional dan dapat bertahan di pasar internasional. Daya
saing suatu komoditas sering diukur dengan menggunakan pendekatan
keunggulan absolut, keunggulan komparatif dan, keunggulan kompetitif.
Keunggulan absolut menunjukkan bahwa suatu daerah memiliki spesialisasi
produk tertentu, apabila produk tersebut secara absolut memberikan keuntungan
atau produktivitas tertinggi. Menurut Adam Smith, perdagangan akan
meningkatkan kemakmuran bila dilaksanakan melalui mekanisme perdagangan
bebas. Melalui perdagangan bebas, pelaku ekonomi diarahkan untuk melakukan
spesialisasi dalam upaya peningkatan efisiensi. Manfaat dari perdagangan
internasional akan dirasakan jika suatu negara melakukan spesialisasi produksi
dan mengekspor barang jika memiliki keunggulan mutlak terhadap barang terebut,
dan mengimpor barang yang dimana negara tersebut tidak memiliki keunggulan
mutlak terhadap barang tersebut.
Menurut David Ricardo (Oktaviani dan Novianti 2009), perdagangan dapat
dilakukan antar negara yang tidak memiliki keunggulan absolut pada kedua
komoditas yang diperdagangan dengan melakukan spesialisasi produk yang
kerugian absolutnya lebih kecil atau memiliki keunggulan komparatif. Hal ini
disebut Hukum Keunggulan Komparatif (Law of Comparative Advantage).
Keunggulan komparatif dibedakan atas cost comparative advantage (labor
efficiency) dan production comparative advantage (labor productivity). Cost
Comparative menekankan bahwa keunggulan komparatif jika suatu negara
memproduksi suatu barang yang membutuhkan sedikit jumlah jam tenaga

13
dibandingkan negara lain sehingga terjadi efisiensi produksi. Sedangkan
Production Comparative menekankan bahwa keunggulan komparatif akan
tercapai jika seorang tenaga kerja di suatu negara dapat memproduksi lebih
banyak suatu barang/jasa dibandingkan negara lain sehingga tidak memerlukan
tenaga kerja yang lebih banyak.
Keunggulan kompetitif secara umum merupakan keunggulan yang lebih
luas mencakup keunggulan harga, kualitas, strategi dan policy. Keunggulan
komparatif merupakan kunci dari efisiensi produksi, pemasaran, dan bagaimana
memprediksi apa yang diinginkan konsumen atau meingkatkan kepuasan
konsumen. Menurut Porter, dalam persaingan global suatu negara atau bangsa
disebut memiliki competititve advantage of nation dapat bersaing di pasar
internasional jika memiliki empat faktor utama, yaitu kondisi faktor (factor
contion), kondisi permintaan (demand condition), industri terkait dan industri
pendukung (related and supporting industry) dan persaingan dan strategi industri
(firm strategy, structure and rivalry). Di samping empat faktor utama tersebut,
terdapat dua faktor pendukung yang memengaruhi interaksi keempat faktor
tersebut, yaitu faktor kesempatan (chance event) dan faktor pemerintah
(government). Secara bersama-sama faktor-faktor tersebut membentuk sistem
dalam peningkatan keunggulan daya saing yang dikenal sebagai Porter’s
Diamond.
Struktur Pasar
Istilah struktur pasar (market structure) mengacu pada semua aspek
(feature) yang dapat memengaruhi perilaku dan kinerja perusahaan di suatu pasar
(misalnya, jumlah perusahana di pasar, atau jenis produk yang mereka jual).
Tingkat persaingan dari pasar mengacu pada sejauh mana perusahan-perusahaan
secara individual mempunyai pengaruh atas harga pasar atau atas syarat-syarat
penjualan produk mereka, hal ini dapat dilihat dari berapa besar pangsa pasar yang
diperoleh yang kemudian dapat diketahui struktur pasar yang ada (Lipsey 1997)
Struktur pasar juga diperlukan untuk mengetahui tingkat persaingan yang
ada di pasar. Struktur pasar biasanya mempengaruhi perilaku dari perusahaan.
Perilaku seperti kerjasama dengan pesaing, strategi melawan pesaing dan
advertensi sekaligus dapat mempengaruhi daya saing. Sementara kinerja
perusahaan seperti kemajuan teknologi, inovasi, pengalokasian yang efisien, harga
dan biaya dan pola keuntungan juga mempengaruhi daya saing. Apabila semua
faktor diatas dapat dilakukan dengan baik maka daya saing suatu perusahaan juga
akan tinggi. Struktur pasar diantarnya terdiri dari struktur pasar persaingan
sempurna, oligopoli, monopoli, dan monopolistik.
Pasar persaingan sempurna dibangun atas beberapa asumsi, yaitu semua
produsen yang ada di dalam pasar menjual produk yang homogen, pelanggan
mengetahui seluruh informasi yang ada di dalam industri (informasi sempurna),
terdapat banyak produsen (masing-masing memiliki kekuatan yang sama) dan
konsumen, tidak ada hambatan yang berarti untuk dapat keluar masuk pasar,
perusahaan merupakan penerima harga (price taker). Sebagai penerima harga
perusahaan dapat mengubah kapasitas produksi dan penjualannya tanpa
memengaruhi harga jual produk yang ada di pasar.
Pasar oligopoli adalah industri yang terdiri dari atas dua atau beberapa
perusahaan, sedikitnya satu diantaranya menghasilkan sebagian cukup besar dari

14
keluaran total industri. Struktur oligopoli juga menggambarkan keberadaan
beberapa perusahaan dominan, dimana masing-masing dari mereka cukup besar
untuk mempengaruhi harga akan tetapi tidak ada satu pun yang mampu meraih
status sebagai monopolis yang tidak memiliki pesaing sama sekali (Salvatore
1997). Berlawanan dengan monopoli (yang tidak memiliki pesaing) dan dengan
perusahaan persaingan monopolistik (yang menghadapi banyak pesaing)
perusahaan oligopoli menghadapi sedikit pesaing. Jumlah pesaing cukup sedikit
bagi masing-masing perusahaan untuk menyadari bahwa para pesaingnya
mungkin bereaksi terhadap apapun yang dilakukannya dan bahwa perusahaan
harus memperhitungkan reaksi tersebut. P