Daya Saing Dan Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Komoditas Kedelai Di Kecamatan Sukaluyu Kabupaten Cianjur.

DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH
TERHADAP KOMODITAS KEDELAI
DI KECAMATAN SUKALUYU KABUPATEN CIANJUR

NASTITI WINAHYU

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Daya Saing dan
Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Komoditas Kedelai di Kecamatan
Sukaluyu Kabupaten Cianjur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada

Institut Pertanian Bogor.
Bogor, September 2015
Nastiti Winahyu
H351140366

RINGKASAN
NASTITI WINAHYU. Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap
Komoditas Kedelai di Kecamatan Sukaluyu Kabupaten Cianjur. Dibimbing oleh
RITA NURMALINA dan AMZUL RIFIN.
Kedelai merupakan tanaman pangan yang berkontribusi sebagai bahan
baku pembuatan produk olahan pangan seperti tahu, tempe, kecap serta pakan
ternak. Komoditas ini diperlukan masyarakat untuk mencukupi kebutuhan gizi
dengan harga yang lebih terjangkau. Seiring dengan meningkatnya jumlah
penduduk Indonesia setiap tahunnya, maka jumlah permintaan kedelai juga
semakin meningkat. Namun, permintaan kedelai belum mampu tercukupi oleh
produksi kedelai dalam negeri sehingga pemerintah menerapkan kebijakan impor
kedelai. Pemberlakuan kebijakan impor membuat kedelai domestik bersaing
dengan kedelai impor. Hal ini tidak menguntungkan bagi produsen kedelai
domestik sehingga pemerintah perlu menerapkan kebijakan yang mendukung
kedelai domestik mencakup kebijakan harga output dan input.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat keuntungan, daya
saing, dan dampak kebijakan pemerintah terhadap produksi kedelai di Kecamatan
Sukaluyu Kabupaten Cianjur sebagai dalah satu daerah yang memiliki potensi
dalam pengusahaan kedelai. Responden sebanyak 60 orang dipilih dengan
menggunakan teknik purposive sampling. Data yang telah diperoleh dianalisis
dengan metode Policy Analysis Matrix (PAM) untuk mengetahui tingkat
keuntungan, daya saing, dan dampak kebijakan. Kebijakan yang diterapkan
memiliki sifat dinamis sehingga dilakukan analisis lanjutan menggunakan analisis
sensitivitas untuk meramalkan pengaruh kebijakan terhadap daya saing komoditas
kedelai.
Berdasarkan hasil analisis menggunakan tabel PAM, komoditas kedelai di
Kecamatan Sukaluyu Kabupaten Cianjur tidak memiliki keuntungan secara privat
maupun sosial. Namun, keuntungan privat yang lebih kecil dibandingkan dengan
keuntungan sosial mengindikasikan bahwa kebijakan yang diterapkan oleh
pemerintah tidak menguntungkan petani kedelai. Hasil keuntungan akan
berpengaruh pada daya saing pada komoditas kedelai. Nilai PCR dan DRCR yang
lebih dari satu berarti komoditas kedelai tidak memiliki keunggulan kompetitif
dan komparatif. Nilai PCR dan DRCR pada usahatani kedelai di Kecamatan
Sukaluyu sebesar 1.05 dan 1.01. Keunggulan komparatif yang lebih tinggi dari
keunggulan kompetitif menandakan bahwa kebijakan yang diterapkan pemerintah

tidak mendukung peningkatan daya saing kedelai.
Dampak kebijakan pemerintah terhadap output kedelai terhadap transfer
output bernilai positif serta NPCO > 1 yang menandakan terdapat proteksi dari
pemerintah untuk output kedelai. Hasil ini diperoleh dengan diberlakukannya
kebijakan subsidi BBM yang dapat meminimalisir akses penjualan output ke
konsumen. Kebijakan pemerintah terhadap input kedelai membuat biaya input
tradable yang diterima petani lebih rendah dari harga dunia. Hal ini disebabkan
pula dengan kebijakan pemerintah untuk menetapkan Harga Eceran Tertinggi
pada input pupuk yang digunakan petani dalam pengusahaan usahatani kedelai
yang ditunjukkan oleh nilai NPCI < 1.

Secara keseluruhan, kebijakan input-output belum berjalan dengan efektif.
Nilai EPC sebesar 1.03 menunjukkan bahwa pemerintah menaikkan harga output
tradable diatas harga efisiensinya. Transfer bersih bernilai negatif yang
menandakan tidak terdapat tambahan surplus produsen yang disebabkan
penerapan kebijakan pada input dan output. Sedangkan nilai SRP sebesar negatif
0.04 menunjukkan produsen mengeluarkan biaya lebih besar daripada opportunity
cost.
Analisis sensitivitas menunjukkan bahwa peningkatan produktivitas dan
harga output akan menaikkan daya saing kedelai. Sedangkan kenaikan UMR dan

BBM menyebabkan daya saing kedelai domestik semakin menurun. Kebijakan
yang sensitif terhadap perubahan daya saing dari nilai elastisitas yaitu kebijakan
produktivitas dan harga output. Berdasarkan analisis switching value didapatkan
hasil bahwa kedelai akan berdaya saing apabila produktivitas meningkat sebesar
95.18 persen dan harga output naik 77.55 persen dengan batas PCR dan DRCR
0.5.
Kata kunci : daya saing, kedelai, Policy Analysis Matrix, sensitivitas

SUMMARY
Nastiti Winahyu. Competitiveness and Impact of Government Policies on
Soybean Commodity in District Sukaluyu Cianjur Regency. Guided by RITA
NURMALINA and AMZUL RIFIN.
Soybean is a crop that contributes as raw material for food Products
processed such as tofu, tempeh, soy sauce, and fodder. This commodity is needed
to meet the nutritional needs of the community with more affordable price. Along
with the increasing number of Indonesian population each year, then the amount
of soybean demand is also increasing. However, soybean demand has not been
able to be fulfilled by domestic soybean production, so the government implement
soybean impor policy. Import policy enforcement makes domestic soybean
compete with imported soybean. It is not profitable for the domestic soybean

producers, so the government needs to implement policy that support domestic
soybean include output and input price policy.
This study aimed to analyze the level of profitability, competitiveness, and
the impact of government policy on soybean production in the district of Cianjur
Regency Sukaluyu as an area that has potential for the development of soybean.
Respondents are 60 farmers selected by using purposive sampling technique. The
data have been analyzed by the method of the Policy Analysis Matrix (PAM) to
determine the level of profit, competitiveness, and the impact of the policy.
Policies applied have dynamic properties that do advanced analysis using
sensitivity analysis to predict the effect of the policy on the competitiveness of
commodity soybeans.
Based on the PAM analysis, soybean in the Sukaluyu district of Cianjur
Regency did not has the private and social benefits. However, private profits less
than the social benefits indicates that the policies did not adopted by the
government benefit soybean farmers. Results will gain influence on the
competitiveness of the commodity soybeans. PCR and the DRCR value of more
than 1 means the soybean did not have competitive and comparative advantage.
DRCR and PCR value on soybean farming in the district Sukaluyu of 1.05 and
0.01.
The impact of government policy on soybean output to transfer output is

positive and NPCO > 1 which indicates there is protection from the government
for soybean output. These results were obtained with the implementation of
subsidy policy to minimize access to the output of consumer sales. Government
policies to create a soybean input costs of tradable inputs received by farmers is
lower than the world price. This is due also to the government's policy to assign
the highest retail price on fertilizer inputs used by farmers in the business of
soybean farming is indicated by the NPCI < 1.
Overall, the policy input-output siding not effective. EPC value of 1.03
shows that the government raised the price of output tradable or above the price
of efficiency. Negative value indicates net transfer did not additional producer
surplus caused by the implementation of policies on the input and output. While
the value of SRP of negative 0.04 indicates producers spend more than the
opportunity cost.

The sensitivity analysis showed that the increase in productivity and
pricing of output weakened to raise competitiveness of soybean. While the
increase in minimum wages and fuel led to the competitiveness of domestic
soybeans decreased. Overall, it can be concluded that the government's policy has
not done to benefit soybean farmers in the Sukaluyu district. Based on sensitivity
analysis, the policy that increase of competitiveness are productivity and price of

output. Based on switching value analysis, soybean have a greater
competitiveness if productivity has increase 95.18 percen and price of output
increase 77.55 percen with PCR and DCRC 0.5.
Keywords: competitiveness, Policy Analysis Matrix, sensitivity, soybeans

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH
TERHADAP KOMODITAS KEDELAI
DI KECAMATAN SUKALUYU KABUPATEN CIANJUR

NASTITI WINAHYU


Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Magister Sains Agribisnis

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Ujian Tesis Luar Komisi

: Dr Ir Ratna Winandi, MS

Penguji Program Studi

: Dr Ir Netti Tinaprilla, MM


Judul Tesis

: Daya

Saing dan

Dampak

Kebijakan

Pemerintah

terhadap

Komoditas Kedelai di Kecamatan Sukaluyu Kabupaten Cianjur
Nama

: Nastiti Winahyu

NIM


: H351140366

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

---



Dr Amzul Rifin, SP MA

Prof Dr r Rita Nurmalina, MS

Anggota

Ketua

Diketahui oleh


Ketua Program Studi
Magister Sains Agribisnis


Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS

Tanggal Ujian: 24 Agustus 2015

Tanggal Lulus:

2 B S-P 20 15

PRAKATA
Alhamdulillahirobbil’alamin. Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas
segala kasih sayang, rahmat, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan tesis. Sholawat serta salam kepada junjungan besar Nabi
Muhammad SAW dan para sahabat yang telah menjadi suri tauladan bagi penulis.
Tesis yang berjudul Daya Saing dan Kebijakan Pemerintah terhadap Komoditas
Kedelai di Kecamatan Sukaluyu Kabupaten Cianjur berhasil dilaksanakan pada
bulan Oktober tahun 2014 - Juni tahun 2015.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS
dan Bapak Dr Amzul Rifin SP MA selaku pembimbing yang telah dengan sabar
memberikan saran, arahan, dan waktu kepada penulis selama penyelesaian tesis
ini. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Dr Ir Ratna Winandi, MS selaku
dosen penguji luar komisi dan Dr Ir Netti Tinaprilla, MM selaku dosen penguji
program studi yang telah banyak memberikan saran dan masukan kepada penulis
untuk perbaikan tesis ini. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada
responden penelitian, Bapak Jaelani, Bapak Dedi dan Bapak Nurul dari Badan
Penyuluh Pertanian Kecamatan Sukaluyu, Bapak Karno dari Gabungan Kelompok
Tani telah banyak membantu selama pengumpulan data dan informasi.
Selanjutnya, ucapan terima kasih penulis kepada Ibu Prof Dr Ir Rita Nurmalina,
MS selaku Ketua Program Studi Magister Sains Agribisnis atas bimbingan, saran
dan bantuan yang telah diberikan. Kepada seluruh staf sekretariat MSA yang
memfasilitasi penulis dalam tahapan penelitian, penulis ucapkan terima kasih.
Terima kasih penulis ucapkan pula kepada Ibu Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS
selaku ketua tim Penelitian Unggulan Departemen (PUD) Agribisnis yang telah
mengikut sertakan penulis sebagai enumerator dalam penelitian PUD 2014 yang
berjudul “Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Kedelai : Pendekatan Domestic
Resource Cost (DRC)”. Terima kasih penulis sampaikan pula kepada Papa,
Mama, Mbak, dan Adik serta seluruh keluarga atas segala doa, dukungan, dan
kasih sayangnya. Teruntuk teman-teman Fasttrack angkatan 2, penulis sampaikan
terimakasih atas doa, saran, dukungan dan semangat kebersamaan selama
sebelum, sedang, dan setelah perkuliahan. Terakhir penulis sampaikan terima
kasih untuk sahabat, teman-teman satu bimbingan tesis, MSA 4, KAMAJAYA,
UKM Panahan IPB dan penghuni wisma kos putri Salsabila yang selalu
memberikan doa dan dukungan selama ini. Doa terbaik penulis haturkan untuk
seluruh pihak yang telah mendukung.
Semoga tesis ini bermanfaat.

Bogor, September 2015

Nastiti Winahyu

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian

xv
xvi
1
1
4
7

2 TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Daya Saing
Analisis Daya Saing dengan Metode Policy Analysis Matrix (PAM)
Pengaruh Kebijakan terhadap Daya Saing
Studi Empiris Kedelai
Keterkaitan Penelitian

8
8
9
10
10
11

3 KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Kerangka Pemikiran Operasional

11
11
21

4 METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Metode Penentuan Sampel
Metode Analisis Data

24
24
24
24
25

5 GAMBARAN UMUM DAN KEBIJAKAN KOMODITAS KEDELAI
Gambaran Umum Wilayah Penelitian
Karakteristik Petani Responden
Keragaan Usahatani
Pemasaran dan Kegiatan Penyuluhan
Kebijakan Pemerintah terhadap Komoditas Kedelai

35
35
38
40
41
42

6 HASIL DAN PEMBAHASAN
47
Analisis Daya Saing Kedelai di Kecamatan Sukaluyu Kabupaten Cianjur 47
Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Komoditas Kedelai
58
7 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

65
65
66

DAFTAR PUSTAKA

66

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24

Kandungan protein kedelai dan beberapa bahan makanana
Luas panen, produktivitas, dan produksi kedelai di Indonesia tahun
2010 – 2014
Negara eksportir kedelai ke Indonesia tahun 2013
Luas panen, produktivitas, dan produksi kedelai di Jawa Barat tahun
2012a
Tipe alternatif kebijakan pemerintah
Policy Analysis Matrix (PAM)
Penentuan harga bayangan komponen ouput daninput usahatani kedelai
di Kecamatan Sukaluyu Kabupaten Cianjur
Perhitungan standar convertion factor shadow price kedelai tahun 2013
Alokasi biaya komponen domestik dan asing pada usahatani kedelai
Luas panen, produksi, dan total produksi komoditas pertanian di
Kecamatan Sukaluyu tahun 2012
Luas wilayah dan jumlah penduduk menurut desa di Kecamatan
Sukaluyu tahun 2012
Karakteristik petani responden di Kecamatan Sukaluyu
Tujuan pemasaran kedelai di Kecamatan Sukaluyu Kabupaten Cianjur
Pupuk Subsidi dengan penerapan Harga Eceran Tertinggi (HET)
Evaluasi kebijakan input dan kebijakan output di lokasi penelitian
Penerimaan usahatani kedelai per hektar di Kecamatan Sukaluyu
Perhitungan harga bayangan output
Rata-rata penggunaan tenaga kerja pada usahatani kedelai di Kecamatan
Sukaluyu Kabupaten Cianjur
Biaya penyusutan peralatan pada usahatani kedelai di Kecamatan
Sukaluyu Kabupaten Cianjur
Keuntungan privat dan keuntungan sosial usahatani kedelai di
Kecamatan Sukaluyu Kabupaten Cianjur
Indikator dampak kebijakan pemerintah terhadap usahatani kedelai di
Kecamatan Sukaluyu Kabupaten Cianjur
Dampak perubahan input dan output terhadap keuntungan privat dan
sosial usahatani kedelai di Kecamatan Sukaluyu Kabupaten Cianjur
Dampak perubahan input dan output terhadap daya saing usahatani
kedelai di Kecamatan Sukaluyu Kabupaten Cianjur
Tingkat kepekaan perubahan kebijakan pemerintah naik 1 persen
terhadap daya saing kedelai di Kecamatan Sukaluyu Kabupaten Cianjur

2
4
5
7
14
20
26
28
31
36
37
38
42
44
46
48
48
52
54
55
59
63
64
65

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5

Pemenuhan kebutuhan konsumsi kedelai Indonesia
Perbandingan harga kedelai lokal dan impor
Dampak Subsidi Positif terhadap Konsumen dan Produsen pada
Barang Impor
Restriksi Perdagangan pada Komoditas Impor
Kebijakan Subsidi dan Pajak terhadap Input Tradable

3
5
15
16
18

6
7
8

Kebijakan Subsidi dan Pajak terhadap Input Non tradable
Kerangka Operasional
Sebaran persentase penduduk diatas 15 tahun berdasarkan mata
pencaharian di Kecamatan Sukaluyu
9 Rata-rata penggunaan pupuk pada usahatani kedelai per hektar
permusim tanam 2013 Kecamatan Sukaluyu Kabupaten Cianjur
10 Rata-rata penggunaan pestisida pada usahatani kedelai per hektar per
musim tanam 2013 Kecamatan Sukaluyu Kabupaten Cianjur
11 Sebaran persentase petani yang mengalokasikan biaya kegiatan
pemanenan sesuai mekanisme upah
12 Nilai keunggulan komparatif dan kompetitif usahatani kedelai

19
23
37
49
50
53
57

DAFTAR LAMPIRAN
1

Budget privat dan sosial usahatani kedelai di Kecamatan Sukaluyu
Kabupaten Cianjur pada tahun 2013

71

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sektor pertanian merupakan sektor utama dalam pembangunan Indonesia.
Sektor ini menjadi sangat penting dengan peran sebagai penyedia pangan yang
merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia. Ketersediaan pangan harus
dipenuhi secara berkelanjutan mengingat pangan adalah salah satu hak asasi
manusia seperti yang tertuang pada Undang-Undang Dasar 1945 pasal 27 yang
mendasari terbitnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 terkait pangan. Selain
itu, pertanian menjadi sumber masyarakat dalam penciptaan produk olahan
pangan/pakan, lapangan tenaga kerja, dan sumber devisa negara. Menurut data
BPS (2013), sektor pertanian secara keseluruhan menyumbang Produk Domestik
Bruto Indonesia sebesar 14.44 persen dan menyerap tenaga kerja 35.09 persen
pada tahun 2012. Devisa negara yang tercermin dari neraca perdagangan
khususnya pada sektor pertanian yang bernilai positif. Hal ini menunjukkan
bahwa sektor pertanian menjadi sektor yang menguntungkan.
Salah satu sektor pertanian penyedia pangan utama adalah tanaman
pangan. Menurut Kementrian Pertanian (Kementan 2012), tanaman pangan
berperan strategis dalam perekonomian nasional dan menopang 60 persen pelaku
usaha pertanian di Indonesia. Namun, laju pertumbuhan sektor tanaman pangan
mengalami penurunan dibandingkan sub sektor lainnya (Kementan 2012). Hal ini
disebabkan karena orientasi pembangunan ekonomi yang bergeser pada
penggunaan sumberdaya non-lokal. Oleh karena tanaman pangan merupakan
pangan pokok bagi masyarakat Indonesia, maka kebijakan yang menempatkan
pemanfaatan sumberdaya lokal dalam rangka peningkatan ketersediaan pangan
nasional secara berkelanjutan penting untuk menjadi salah satu faktor kunci.
Kedelai merupakan salah satu tanaman pangan penting setelah padi dan
jagung. Menurut Rahayu dan Riptanti (2010), kedelai merupakan salah satu jenis
kacang-kacangan yang mengandung protein nabati yang tinggi, sumber lemak,
vitamin, dan mineral. Rata-rata konsumsi protein penduduk Indonesia per kapita
per tahun pada komoditas kacang-kacangan menurut Badan Pusat Statistik (2014)
pada tahun 2013 sebesar 4.72 gram. Rata-rata tersebut menempati urutan tertinggi
kedua setelah komoditas padi-padian sebesar 20.49 gram per kapita per tahun
sebagai bahan pangan utama di Indonesia.
Kedelai memiliki kadar protein yang lebih tinggi daripada padi dan
jagung. Kadar protein nabati pada kedelai, padi dan jagung secara berturut-turut
yaitu 40.40 gram, 6.80 gram, dan 9.80 gram. Sedangkan protein hewani yang
biasa dikonsumsi yaitu ikan segar dan daging sapi memiliki kandungan protein
sebesar 17.00 gram dan 18.80 gram. Selain itu, kedelai sebagai sumber protein
nabati yang mengandung kolesterol rendah menyebabkan peningkatan minat
masyarakat pada komoditas ini (Damanik et al. 2013). Kandungan protein kedelai
dan beberapa bahan makanan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Kandungan protein kedelai dan beberapa bahan makanana
Jenis Makanan
Kadar Protein (gram)
Persentase (%)
Kacang kedelai
40.40
43.53
Daging sapi
18.80
20.26
Ikan segar
17.00
18.32
Jagung kuning
9.80
10.56
Beras giling
6.80
7. 33
a

Sumber : Depkes 2012 (diolah)

Pemenuhan kebutuhan protein dapat dicapai dengan mengonsumsi
komoditas kedelai dan bahan makanan lainnya. Berdasarkan Tabel 1, kandungan
protein tertinggi berada pada bahan makanan kacang kedelai dan daging sapi
sebesar 43.53 persen dan 20.26 persen. Kedelai dapat diperoleh dengan harga Rp
4 000 – Rp 12 000 per kilogram (Winahyu 2014). Harga daging sapi per kilogram
berada pada rentang Rp 85 000 – Rp 110 0001. Hal ini menunjukkan kedelai dapat
menjadi bahan makanan utama dalam pemenuhan protein tubuh dengan harga
yang lebih terjangkau.
Penggunaan kedelai di Indonesia diutamakan sebagai bahan konsumsi yang
diolah menjadi produk turunan meliputi tahu, tempe, dan produk turunan lain
untuk memenuhi kebutuhan protein yang diperlukan oleh tubuh. Selain itu,
kedelai dapat dikonsumsi langsung dengan cara direbus atau dijadikan bahan baku
pakan ternak. Produk turunan yang dihasilkan menggunakan input yang berasal
dari kedelai polong tua dan polong muda. Kedelai akan digunakan sebagai input
pengolahan industri berbahan baku kedelai. Sedangkan kedelai polong muda yang
telah direbus dapat dikonsumsi bersama bajigur dan makanan olahan seperti
gorengan. Pengolahan kedelai menjadi produk turunan akan meningkatkan nilai
tambah dan menguntungkan untuk diusahakan. Sifat kedelai yang multiguna
menyebabkan permintaan kedelai semakin meningkat (Sari 2011).
Seiring meningkatnya laju pertumbuhan penduduk Indonesia, kebutuhan
pemenuhan protein dan bahan baku produk turunan kedelai akan terus bertambah
sehingga permintaan akan kedelai meningkat setiap tahunnya. Menurut data
Badan Pusat Statistik (2014), laju pertumbuhan penduduk Indonesia sebesar 1.49
persen pada tahun 2000 – 2010 dengan total penduduk Indonesia pada tahun 2010
sebanyak 237 641 326 jiwa. Laju pertumbuhan tersebut saat diproyeksikan
terhadap jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2035 akan menghasilkan angka
sebesar 305 652 400 jiwa (BPS 2014). Berdasarkan data Susenas (2013),
konsumsi bahan makanan yang mengandung kedelai memiliki rata-rata 7.01
kilogram per kapita per tahun pada tahun 2010 sehingga apabila diproyeksikan
pada tahun 2035 akan mencapai 9.02 kilogram perkapita per tahun.
Peningkatan kebutuhan kedelai mendorong pemerintah untuk mengeluarkan
kebijakan dalam memenuhi ketersediaan kedelai nasional. Menurut Kementrian
Pertanian (2013), kebutuhan kedelai setiap tahun ± 2 300 000 ton biji kering pada
tahun 2010 – 2014. Kemampuan produksi kedelai dalam negeri sebesar 851 286
ton (ATAP Tahun 2011, BPS) belum mampu memenuhi permintaan kedelai
1

Pasokan Daging Sapi dipastikan Aman Saat Ramadan. http://bisnis.liputan6.com/read/2055682/
pasokan-daging-sapi-aman-saat-ramadan [Diakses 20 Desember 2014]

3

nasional. Produksi kedelai dalam negeri masih mencapai 37.01 persen dari
permintaan yang ada. Sedangkan pada ARAM II tahun 2012, pemenuhan kedelai
dari produksi dalam negeri baru mencapai 34 persen. Oleh karena itu, pemenuhan
kebutuhan kedelai nasional dipenuhi melalui mekanisme impor. Pemenuhan
kebutuhan konsumsi kedelai Indonesia dapat dilihat pada Gambar 1.
3500000
Jumlah (kg)

3000000
2500000
2000000
1500000
1000000
500000
0

1
Tahun
2010
Produksi
907031,00
Konsumsi 2644194,01
Impor
1737528,09

2
2011
851286,00
2938749,44
2087985,99

3
2012
843153,00
2761327,82
1920490,31

4
2013
779992,00
2564288,62
1785326,99

5
2014
953956,00
2878463,66
1965811,20

Sumber : BPS 2015 (diolah)

Gambar 1 Pemenuhan kebutuhan konsumsi kedelai Indonesia
Berdasarkan Gambar 1, jumlah produksi kedelai dalam negeri berada jauh
dibawah konsumsi masyarakat Indonesia. Hal ini menyebabkan pemerintah
mengeluarkan kebijakan impor untuk memenuhi permintaan dan menjaga
stabilitas ketersediaan kedelai. Ketersediaan pangan dari dalam negeri yang lebih
kecil dibandingkan kebutuhannya dapat menciptakan ketidakstabilan ekonomi
serta dapat mengakibatkan berbagai gejolak sosial dan politik (Abubakar 2008).
Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah menetapkan upaya khusus dalam
percepatan swasembada kedelai 2014 yang diatur dalam Permentan No 14 Tahun
2015.
Konsumsi kedelai yang meningkat namun tidak disertai dengan
peningkatan produksi dalam negeri menyebabkan permintaan semakin tidak
terpenuhi. Menurut Kementan (2013), upaya yang dapat dilakukan meliputi
peningkatan produktivitas, perluasan areal, pengelolaan lahan, pengamanan
produksi, serta penyempurnaan manajemen melalui kebijakan pasar, perbaikan
sistem kredit pertanian, dan penguatan sistem. Beberapa program yang
direncanakan oleh Kementan (2013) antara lain program Sekolah Lapang
Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT), swadaya, pengembangan model
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) kedelai, Perluasan Areal Tanam Baru
(PATB) kedelai, perluasan di lahan Perhutani dan kegiatan pendukung lainnya.
Pelaksanaan program-program tersebut diharapkan dapat meningkatkan produksi
dalam negeri secara berkelanjutan sehingga pemenuhan kebutuhan masyarakat
Indonesia dan kemandirian pangan tercapai.

Penerapan kebijakan pertanian yang dicanangkan pemerintah memberikan
dampak yang positif. Hal ini terlihat dari peningkatan luas panen, produktivitas,
maupun produksi pada tahun 2013 ke tahun 2014 secara berturut-turut sebesar
11.66 persen, 9.53 persen, dan 22.30 persen. Produksi kedelai yang dapat
dihasilkan, dipengaruhi oleh luas panen dan produktivitas. Luas panen,
produktivitas, dan produksi kedelai di Indonesia tahun 2010 – 2013 dapat dilihat
pada Tabel 2.
Tabel 2 Luas panen, produktivitas, dan produksi kedelai di Indonesia tahun 2010
– 2014
Tahun
Luas panen (ha)
Produktivitas (ku/ha) Produksi (ton)
2010
660 823.00
13.73
907 031.00
2011
622 254.00
13.68
851 286.00
2012
567 624.00
14.85
843 153.00
2013
550 793.00
14.16
779 992.00
2014
615 019.00
15.51
953 956.00
Pertumbuhan
11.66
9.53
22.30
2013 – 2014
(persen)
Sumber : Badan Pusat Statistik 2013 (diolah)

Peningkatan luas panen yang dikelola melalui kebijakan Perluasan Areal
Tanam Baru (PATB) kedelai berhasil dilakukan pada lahan-lahan yang belum
atau sudah ditanami kedelai namun tidak ditanami kembali. Selain itu, program
Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) yang merupakan
sekolah non-formal bagi petani dalam negeri membantu peningkatan kualitas
kedelai yang dihasilkan. Hal ini tercermin dari peningkatan produktivitas pada
tahun 2014 (Tabel 2). Berdasarkan hal tersebut, pemerintah pada tahun 2015
menerapkan sasaran kebijakan untuk meningkatkan produktivitas minimal sebesar
15.7 ku/ha (Permentan No 14 Tahun 2015). Kebijakan-kebijakan diatas
diharapkan dapat meningkatkan produksi kedelai dalam negeri sehingga
kesenjangan antara permintaan dan penawaran dapat diminimalisir.

Perumusan Masalah
Pemenuhan kebutuhan pangan yang berasal dari dalam negeri menjadi
penting karena impor dapat melemahkan ketahanan pangan dan mengancam
ketersediaan komoditas apabila negara pengekspor tidak bersedia menjual
komoditas tersebut (Rouf 2014). Ketergantungan impor kedelai juga
menyebabkan pemborosan devisa yang dapat digunakan untuk tujuan strategis
pada sektor pertanian seperti industri pertanian yang dapat menyerap tenaga kerja,
infrastruktur, dsb. (Sari 2011). Beberapa negara pengimpor kedelai ke Indonesia
tahun 2013 dapat dilihat pada Tabel 3.

5

Tabel 3 Negara eksportir kedelai ke Indonesia tahun 2013
Negara
Jumlah (ton)
Persentase (%)
USA
1 988 750.71
96.64
Canada
41 919.19
2.04
Argentina
24 394.94
1.19
Ukraine
1 785.40
0.09
China
903.00
0.04
Mozambique
170.34
0.01
Total
2 057 923.59
100.00
Sumber : UnComtrade (2015)

Berdasarkan Tabel 3, negara eksportir kedelai terbesar ke Indonesia yaitu
negara USA sebesar 96.64 persen. Persentase impor yang sangat besar dari negara
USA menunjukkan adanya ketergantungan impor pada negara tersebut. Adanya
ancaman apabila negara USA tidak dapat menjamin keberlanjutan ekspor kedelai
ke Indonesia menjadi penting untuk ketersediaan kedelai dalam negeri. Hal ini
terjadi pada tahun 2008 disaat USA mengalami krisis ekonomi. Ketergantungan
impor ini mempengaruhi kenaikan harga kedelai yang sangat tinggi sebesar Rp 7
500 per kilogram atau 120.58 persen dari tahun sebelumnya (Yoga dan Saskara
2013).
Ketergantungan impor yang semakin besar dapat merugikan industri
pengolahan kedelai apabila harga pangan dunia meningkat yang disebabkan
menurunnya ketersediaan kedelai. Hal ini terjadi karena harga yang berlaku pada
kedelai impor mengikuti harga yang berlaku pada harga kedelai dunia (Sari 2011).
Besarnya ketergantungan terhadap kedelai impor menyebabkan harga kedelai
dipasaran sulit untuk dikendalikan oleh instansi terkait sehingga harga kedelai
cenderung fluktuatif. Perbandingan harga kedelai lokal, impor, dan dunia dapat
dilihat pada Gambar 2.
12000
10000
8000
Kedelai
Impor
(Rp/kg)

6000
4000
2000

2013

2014

Triwulan 2

Triwulan 1

Triwulan 4

Triwulan 3

Triwulan 2

Triwulan 1

Triwulan 4

Triwulan 3

Triwulan 2

Triwulan 1

0

2015

Sumber : Kemendag (2015)

Gambar 2 Perbandingan harga kedelai lokal dan impor

Kedelai
Lokal
(Rp/kg)

Ketergantungan ini tentunya sangat merugikan Indonesia karena harga dari
kedelai impor sangat fluktuatif. Jika kondisi ini berlanjut tentunya ketergantungan
impor kedelai yang semakin tinggi juga akan menyebabkan pemborosan devisa,
karena devisa dapat digunakan untuk tujuan strategis pada sektor pertanian
lainnya seperti pengembangan industri pertanian yang dapat menyerap tenaga
kerja. Selain itu keberadaan kedelai impor murah yang kini mendominasi pasar
kedelai di Indonesia membuat kedelai lokal semakin tersaingi. Kedelai lokal tidak
hanya harus bersaing harga namun juga harus bersaing dari segi kualitas dengan
kedelai impor.
Beberapa kebijakan telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia mulai dari
penetapan tarif impor hingga subsidi terhadap input produksi usatani kedelai.
Tarif impor kedelai yang ditetapkan pada saat ini sebesar nol persen
mengakibatkan gap antara permintaan dan penawaran semakin besar. Selain itu,
kondisi ini tidak menguntungkan bagi petani dalam negeri terkait harga kedelai
yang cenderung lebih rendah dibandingkan kedelai impor. Pemerintah
menerapkan pula kebijakan subsidi terhadap input benih dengan program Bantuan
Langsung Benih Unggul (BLBU) dan pupuk guna meningkatkan produksi dan
pendapatan usahatani. Namun, hal tersebut belum menunjukkan peningkatan yang
signifikan seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.
Di Indonesia, Jawa Barat merupakan provinsi kelima penghasil kedelai
dengan produksi terbesar setelah Jawa Timur, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat,
dan Aceh. Dari data BPS (2013), produksi kedelai di Jawa Barat lebih kecil bila
dibandingkan provinsi lainnya namun produktivitas yang dimiliki tertinggi kedua
setelah Jawa Tengah sebesar 14.94 ku/ha. Produksi yang masih sedikit
mengindikasikan perlu adanya pengembangan potensi usahatani kedelai secara
berkelanjutan. Potensi dapat dikembangkan secara berkelanjutan apabila
pendapatan yang dihasilkan oleh petani kedelai menguntungkan. Keuntungan
membuat petani tertarik dalam pengusahaan kedelai.
Pengembangan potensi kedelai di Jawa Barat terdapat beberapa daerah
sentra yaitu Garut, Cianjur, Sumedang, Ciamis, dan Sukabumi. Kabupaten Cianjur
menempati urutan kedua setelah Kabupaten Garut dalam segi luas panen dan
produksi tertinggi pada tahun 2012. Produktivitas yang dihasilkan lebih rendah
dibanding beberapa kabupaten lainnya sehingga diperlukan pengelolaan intensif
dalam usahatani. Berdasarkan data BPS Jawa Barat (2013), produksi kedelai
berfluktuatif dari tahun ke tahun. Pada tahun 2009, Kabupaten Cianjur dapat
melampaui produksi yang dihasilkan oleh Kabupaten Garut sebesar 12 364 ton.
Namun pada tahun 2010, produksi yang dihasilkan di Kabupaten Cianjur
menurun menjadi 9 424 ton. Hal ini terjadi karena luas panen di Kabupaten
Cianjur mengalami penurunan dari 8 351 hektar pada tahun 2009 menjadi 6 407
hektar pada tahun 2010. Sedangkan Kabupaten Garut melakukan perluasan lahan
panen yang diusahakan untuk kedelai sebesar 30 persen dari tahun sebelumnya.
Pada tahun 2011, luas panen, produktivitas, dan produksi kedelai di Kabupaten
Cianjur mengalami peningkatan dan menurun kembali pada tahun 2012. Tabel 4
menunjukkan luas panen, produktivitas, dan produksi kedelai di Jawa Barat pada
tahun 2012.

7

Tabel 4 Luas panen, produktivitas, dan produksi kedelai di Jawa Barat tahun
2012a
Kabupaten
Luas Panen
Produktivitas
Produksi
(ku/ha)
(ha)
(ton)
Garut
13 087
16.51
21 610
Cianjur
5 202
13.43
6 984
Sumedang
2 104
18.08
3 802
Ciamis
2 075
17.35
3 601
Sukabumi
2 356
16.11
3 797
a

Sumber : BPS Jawa Barat 2013 (diolah)

Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Cianjur
(2014), produksi kedelai dan luas panen tertinggi Kabupaten Cianjur terletak pada
Kecamatan Sukaluyu. Produksi dan luas panen yang tinggi mengindikasikan
terdapat potensi besar terhadap pengembangan usahatani kedelai. Luas panen dan
produksi kedelai di Kecamatan Sukaluyu secara berturut-turut adalah 825 hektar
dan 1 190 ton pada tahun 2013. Produktivitas kedelai pada Kecamatan Sukaluyu
sebesar 14.42 ku/ha masih rendah bila dibandingkan kecamatan lainnya.
Berdasarkan hal-hal di atas, terlihat kondisi persaingan kedelai lokal
dengan kedelai impor yang semakin ketat. Produksi yang belum mampu
memenuhi permintaan yang ada secara berkelanjutan akan menyebabkan
ketergantungan impor. Hal ini memerlukan kajian yang menghasilkan informasi
mengenai gambaran umum agribisnis kedelai di Indonesia, untuk kemudian
dilakukan analisis daya saing serta dampak kebijakan pemerintah terhadap
agribisnis kedelai lokal di Indonesia yang berlokasi di Kecamatan Sukaluyu
Kabupaten Cianjur. Berdasarkan uraian diatas, dirumuskan permasalahan yang
akan diteliti antara lain:
1. Bagaimana tingkat keuntungan pada usahatani kedelai Kecamatan Sukaluyu
Kabupaten Cianjur?
2. Bagaimana daya saing kedelai pada usahatani kedelai Kecamatan Sukaluyu
Kabupaten Cianjur?
3. Bagaimana dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing usahatani
kedelai Kecamatan Sukaluyu Kabupaten Cianjur?

Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang dikemukakan
diatas, maka tujuan dari penelitian ini antara lain :
1. Menganalisis tingkat keuntungan pada usahatani kedelai Kecamatan
Sukaluyu Kabupaten Cianjur.
2. Menganalisis daya saing usahatani kedelai Kecamatan Sukaluyu Kabupaten
Cianjur melalui keunggulan komparatif dan kompetitif.
3. Menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing usahatani
kedelai Kecamatan Sukaluyu Kabupaten Cianjur

2 TINJAUAN PUSTAKA
Daya saing merupakan kemampuan suatu produsen dalam memproduksi
suatu komoditas yang dapat berkompetisi dengan komoditas lain dalam kegiatan
ekonomi (Vozarova 2013). Pada dasarnya cakupan daya saing tidak hanya pada
suatu negara, melainkan dapat diterapkan pada suatu komoditas, sektor atau
bidang, dan wilayah (Szerb dan Jozsef 2009). Daya saing juga memiliki potensi
dan kapabilitas pada sektor pertanian setiap waktu (Cetindamar dan Hakan 2013)
yang dapat diukur. Pendekatan yang sering digunakan untuk mengukur daya saing
suatu komoditas adalah tingkat keuntungan yang dihasilkan dan efisiensi dalam
pengusahaan komoditas tersebut. Adegbite O et al. (2014) mengemukakan bahwa
efisiensi pengusahaan komoditas dapat dilihat dari dua indikator yaitu keunggulan
komparatif dan keunggulan kompetitif.
Daya Saing Komoditi Pertanian
Pertanian Indonesia memiliki beberapa komoditi utama yang diperlukan
untuk ketersediaan pangan dan bersaing dengan komoditi impor. Penelitian
Agustian (2015) membuktikan bahwa secara nasional komoditas padi dan jagung
Indonesia memiliki daya saing kompetitif dan komparatif yang baik. Namun,
komoditi kedelai secara nasional tidak memiliki daya saing dan tidak efisien
(Agustian 2015). Salah satu sebab usahatani tidak efisien yaitu penggunaan input
yang belum tepat (Ajao et al. 2012). Selain itu, pemberian penyuluhan dapat
dilakukan untuk meningkatkan hasil output secara signifikan pada usahatani
kedelai di Nigeria (Ajao et al. 2012).
Beberapa tanaman hortikultura juga memiliki tingkat daya saing yang
berbeda-beda. Buah apel berdaya saing karen dapat memanfaatkan sumberdaya
domestik dan menghemat satu satuan devisa dibandingkan dengan komoditas apel
impor (Agustina 2008). Komoditas kentang pada penelitian Kiloes et al. (2015)
memiliki daya saing secara kompetitif dan komparatif serta intervensi terhadap
penyetabilan harga output kentang perlu diupayakan. Penelitian Priastuti et al.
(2014) menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
peningkatan daya saing sayuran organik adalah modal, SDA dan lingkungan,
infrastruktur, serta kekuatan pemasok. Strategi yang diterapkan yaitu
pembangunan citra yang positif untuk meningkatkan kepercayaan dan loyalitas
konsumen (Priastuti et al. 2014).
Komoditas perkebunan juga menjadi komoditas yang bersaing di pasar
impor. Hal ini terjadi pada komoditi kelapa sawit dan kakao. Kelapa sawit di
Kabupaten Lampung berdaya saing tinggi namun sensitif pasa penurunan harga
output yang tajam dan sedikit kenaikan harga input (Hermayanti et al. 2013).
Penelitian Haryono et al. (2011) menyatakan bahwa kakao di Jawa Timur
memiliki daya saing kompetitif dan komparatif. Peningkatan daya saing dapat
dilakukan dengan penurunan tarif bea masuk pupuk dan penghapusan bea ekspor
Haryono et al. (2011). Daya saing komoditas seperti teh dan karet. Teh memiliki
pertumbuhan ekspor yang negatif (Suprihatini 2005). Hal ini disebabkan karena
komposisi teh yang kurang mengikuti kebutuhan pasar serta negara tujuan ekspor
bukan negara yang memiliki jumlah ekspor yang tinggi. Sedangkan daya saing

9

ekspor karet berbeda nyata dengan negara Thailand dimana daya saing Thailand
lebih tinggi dibandingkan Indonesia (Rakhmadina et al. 2013).
Analisis Daya Saing dengan Metode Policy Analysis Matrix (PAM)
Metode Policy Analysis Matrix (PAM) merupakan metode yang
menggunakan tiga analisis ukuran yakni keuntungan privat dan sosial, analisis
daya saing berupa keunggulan komparatif dan kompetitif dan analisis dampak
kebijakan pemerintah terhadap komoditas (Olowa O.W. 2014). Pendekatan untuk
meningkatkan daya saing suatu komoditas adalah tingkat keuntungan yang
dihasilkan dan efisiensi dalam pengusahaan komoditas. Efisiensi dapat dilakukan
dengan mengurangi distorsi pada penggunaan input produksi (Fang dan John
2000. Mobasser et al 2012). Keuntungannya dapat dilihat dari dua hal, yakni
keuntungan privat dan keuntungan sosial. Keunggulan komparatif dan keunggulan
kompetitif dengan analisis perbedaan harga finansial dan ekonomi dapat diketahui
nilai daya saing suatu komoditas dan bagaimana dampak kebijakan yang
dilakukan pemerintah terhadap penerimaan petani (Ugochukwu dan Ezedinma
2011).
Metode PAM membantu mengambil kebijakan baik di pusat, maupun di
daerah untuk menelaah tiga isu sentral analisis kebijakan pertanian (Pearson et al.
2005). Isu pertama berkaitan dengan pertanyaan apakah sebuah sistem usahatani
memiliki daya saing pada tingkat harga dan teknologi yang ada, isu kedua ialah
dampak investasi publik, isu ketiga berkaitan dengan dampak investasi baru
dalam bentuk riset atau teknologi pertanian terhadap tingkat efisiensi sistem
usahatani (Akramov dan Mehrab 2012).
Isu pertama berkaitan dengan pertanyaan apakah sebuah sistem usahatani
memiliki daya saing pada tingkat harga dan teknologi yang ada, yakni apakah
petani, pedagang dan pengolah mendapatkan keuntungan pada tingkat harga
aktual. Isu kedua ialah dampak investasi publik, dalam bentuk pembangunan
infrastruktur baru, terhadap tingkat efisiensi sistem usahatani. Isu ketiga berkaitan
erat dengan isu kedua, yaitu dampak investasi baru dalam bentuk riset atau
teknologi pertanian terhadap tingkat efisiensi sistem usahatani (Zimmer 2010).
Tiga tujuan utama dari metode PAM pada hakekatnya ialah memberikan
informasi dan analisis untuk membantu pengambilan kebijakan pertanian dalam
ketiga isu tersebut.
Penelitian Hai dan Franz (2004) yang menganalisis daya saing padi
dengan adanya liberisasi pemerintah di Vietnam menyebutkan bahwa kebijakan
tersebut memberikan dampak yang positif dan memiliki keunggulan komparatif
yang tinggi. Kemungkinan lain yang dapat terjadi pada daya saing dengan
menggunakan metode PAM adalah ditemukannya sebuah komoditas yang dapat
berdaya saing dalam pasar domestik di suatu negara akan tetapi tidak dapat
berdaya saing di pasar internasional. Dugaan ini diperkuat oleh penelitian yang
dilakukan oleh Najarzadeh et al. (2011) yang menyatakan bahwa komoditas yang
berdaya saing dalam pasar domestik di suatu negara belum tentu memiliki daya
saing dalam pasar internasional.
Penelitian terdahulu yang menggunakan PAM memberikan gambaran
yang jelas bahwa metode analisis ini digunakan pada komoditas yang dapat
melihat kebijakan pemerintah mulai dari input, output usahatani serta kebijakan

pada perdagangan domestik maupun internasional dalam menganalisis daya saing
suatu komoditas. Beberapa metode lainnya yang dapat digunakan untuk
menghitung maupun menilai daya saing suatu komoditas pertanian yang telah
dilakukan pada penelitian-penelitian sebelumnya antara lain Revealed
Comparative Adventage (RCA) pada penelitian Ferto dan Hubbard (2001) dan
Berlian Porter (Sari 2011).

Pengaruh Kebijakan terhadap Daya Saing
Pendapatan finansial usahatani memberikan keuntungan kepada petani
karena adanya dampak proteksi pemerintah terhadap input tradable dari indikator
EPC, mempunyai arti bahwa secara umum petani diuntungkan dengan adanya
intervensi pemerintah dan kebijakan yang ada juga membuat komoditas yang
diusahakan memiliki daya saing. Penelitian lain mengenai kebijakan pemerintah
juga telah dilakukan oleh Rooyen, et al. (2001) yang menyatakan bahwa terjadi
keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif industri bunga Afrika selatan
bersaing di pasar lokal dan internasional, demikian halnya dengan penelitian
Sabaoni, et al. (2011), Muthoni dan Nyamongo (2009) yang menyatakan bahwa
adanya intervensi pemerintah dapat membantu suatu komoditas memiliki daya
saing di sebuah negara.
Penelitian yang dilakukan oleh Rooyen dan Kirsten (2001) menyatakan
bahwa kebijakan pemerintah mempengaruhi pasar input untuk produksi kentang
di Afrika Selatan dan menghambat industri kentang sehinga dengan adanya
kebijakan pemerintah maka pasar kentang di Afrika selatan tidak memiliki
keunggulan komparatif. Hasil yang sama diperoleh pada penelitian Joubert et al.
(2010) yang menganalisis keunggulan komparatif kentang di Afrika selatan
menghasilkan bahwa adanya kebijakan pemerintah terhadap kegiatan produksi
kentang justru menyebabkan kentang tidak memiliki keunggulan komparatif di
Afrika Selatan.

Studi Empiris Kedelai
Daya saing kedelai di Indonesia bermula karena adanya gap antara
permintaan yang belum mampu dipenuhi oleh produksi dalam negeri. Susilowati
et al. (2013) membahas bahwa produksi kedelai di Indonesia yang memiliki trend
menurun memerlukan usaha untuk membuat kedelai Indonesia dapat menjadi
subtitusi impor dengan cara memperbaiki aturan dan mekanisme kontrol pada
Bulog dan Koperasi Tahu Tempe Indonesia (KOPTI). Berbeda halnya dengan
kebijakan pada usahatani kedelai di negara lainnya. Usahatani kedelai di Ghana
tidak menjadikan jumlah penggunaan pupuk menjadi faktor yang menghambat
peningkatan produksi kedelai. Hal ini menunjukkan bahwa subsidi yang diberikan
pemerintah Ghana tidak berpengaruh cukup besar terhadap profit yang diperoleh
petani karena presentase penggunaan pupuk dibandingkan input lain jauh lebih
rendah (Akramov dan Mehrab 2012).
Perbedaan daya saing pada komoditas kedelai di berbagai tempat salah
satunya disebabkan oleh adanya kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah.

11

Kebijakan tarif terhadap impor kedelai Indonesia pada tahun 2005 sebesar 10
persen memberikan dampak yang baik bagi kesejaheraan produsen kedelai dalam
negeri (Darsono 2009). Namun, kebijakan tidak hanya didekati dengan
penggunaan input atau output namun kekuatan pasar juga dijadikan pertimbangan.
Song et al. (2009) membahas bahwa importir kedelai Cina memiliki kekuatan
pasar yang relatif lebih kuat terhadap eksportir kedelai AS. Namun kekuatan
pasar Cina ini dapat diimbangi oleh AS dan perusahaan-perusahaan Amerika
Selatan melalui pengembangan dan perluasan pasar yang ada untuk kedelai di
seluruh dunia dan investasi pada mekanisme penyimpanan kedelai China dan
kapasitas penghancuran.

Keterkaitan Penelitian
Daya saing sangat erat kaitannya dengan kualitas dan produktivitas suatu
komoditas, hal ini tidak terlepas dari peranan pemerintah. Untuk menunjukkan hal
tersebut maka penelitian tentang daya saing dan dampak kebijakan pemerintah
khususnya pada komoditas kedelai memiliki peran yang sangat penting bagi
perekonomian nasional. Sebagian besar peneliti yang menganalisis daya saing
suatu komoditas dengan mengakomodasi kebijakan pemerintah mulai dari input,
output usahatani serta kebijakan pada perdagangan domestik maupun
international. Dengan pertimbangan tersebut, peneliti memilih menggunakan
Policy Analysis Matrix (PAM) untuk menganalisis daya saing dan kebijakan pada
agribisnis kedelai di Kecamatan Sukaluyu Kabupaten Cianjur sebagai sentra
produksi kedua terbesar di Provinsi Jawa Barat serta mengukur perubahan yang
terjadi akibat kebijakan pemerintah dengan analisis sensitivitas.

3 KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Teori Daya Saing
Konsep daya saing suatu komoditas berawal dari teori keunggulan
komparatif yang diutarakan oleh David Ricardo dalam Model Ricardian. Konsep
ini muncul untuk menjawab pertanyaan dari teori Adam Smith apabila suatu
negara tidak memiliki keunggulan absolut pada dua barang atau lebih. Oleh
karena itu, teori keunggulan komparatif menjelaskan bahwa suatu negara tetap
akan memperoleh manfaat perdagangan internasional dengan konsentrasi pada
komoditas yang memiliki usaha terkecil (Cho dan Moon 2003). Ricardo
menggunakan faktor produksi tenaga kerja sebagai suatu yang menentukan nilai
dari komoditas yang diusahakan oleh suatu negara.
Model Ricardian dikembangkan oleh Heckser dan Ohlin pada tahun 1993
dengan teori yang dikenal dengan Model H-O. Keunggulan komparatif muncul
berdasarkan adanya perbedaan faktor endowment dari suatu negara. Model H-O
menyatakan bahwa suatu negara akan memiliki keunggulan pada barang yang
secara intensif memproduksi faktor yang dimiliki. Negara dengan keunggulan

tersebut akan memiliki keuntungan dengan cara ekspor (Cho dan Moon 2003).
Namun, keunggulan bersifat dinamis sehingga suatu negara harus
mempertahankan dan bersaing dengan negara lain supaya komoditas yang
dihasilkan tidak dapat digantikan oleh produk subtitusi (Salvatore 1996).
Negara Indonesia sebagai negara berkembang memerlukan beberapa
hambatan atau distorsi untuk dapat mempertahankan keunggulan komoditas yang
diusahakan. Hambatan yang diterapkan akan mendorong suatu negara untuk tetap
bersaing. Kondisi tersebut membutuhkan suatu indikator selain keunggulan
komparatif yang merupakan ukuran daya saing komoditas dalam perekonomian
bebas atau tanpa adanya distorsi. Ukuran daya saing yang digunakan pada kondisi
perekonomian secara aktual dapat didekati dengan teori keunggulan kompetitif.
Teori keunggulan kompetitif dikemukakan oleh Michael Porter yang
didasarkan pada keadaan perekonomian dengan adanya distorsi dari pemerintah.
Porter menyatakan bahwa keunggulan kompetitif dapat dicapai melalui
peningkatan produktivitas dari sumberdaya yang dimiliki oleh suatu negara.
Perhitungan keunggulan kompetitif akan memperhatikan harga pasar dan nilai
tukar resmi yang berlaku. Dengan demikian, keunggulan ini dapat digunakan
untuk menganalisis perekonomian secara finasial dengan melihat manfaat dari
proyek atau usaha yang dijalankan.
Monke dan Pearson (1989) menambahkan bahwa ukuran pasar yang kecil
mendorong industri baru untuk bersaing dari pasar internasional. Namun,
perusahaan dari negara lain cenderung lebih efisien dalam memproduksi suatu
komoditas. Sehingga untuk mempertahankan kelangsungan perusahaan,
konsumen dalam negeri harus membayar dengan harga yang lebih tinggi dari
harga dunia. Pemerintah negara berkembang akan memanfaatkan kebijakan
subsidi harga untuk melindungi konsumen. Hal ini menyebabkan beban anggaran
konsumen dan pemerintah meningkat serta beralihnya pemanfaatan tenaga kerja
kedalam industri sehingga produksi pertanian akan menurun.
Negara berkembang cenderung memilih impor bahan makanan
dibandingkan input industri (Monke dan Pearson 1989). Pendapatan yang
meningkat akan terkonsentrasi di perkotaan. Hal ini menyebabkan pendapatan
desa semakin jauh tertinggal. Masyarakat pedesaan akan berpindah sehingga
pertanian akan semakin tertinggal. Berjalannya waktu, pemerintah menyadari hal
tersebut menerapkan kebijakan untuk pembangunan pertanian. Pasar internasional
memberikan kesempatan dalam pertumbuhan pertanian yang kompetitif. Bagi
negara berkembang, pengolahan pertanian yang padat karya mendominasi ekspor
secara potensial.
Pada negara maju, depopulasi pedesaan juga akan terjadi secara bertahap
yang menjadikan sedikitnya masyarakat pedesaan harus menyediakan bahan
makanan bagi masyarakat perkotaan yang terus meningkat (Wiggins et al. 2013).
Hal ini menyebabkan berkembangnya teknologi bagi pertanian pedesaan pada
sebagian besar negara-negara maju. Namun, proses transisi berjalan secara
bertahap. Kebijakan pemerintah diperlukan dengan tujuan kesejahteraan
masyarakat pada kedua sisi yaitu masyakarakat perkotaan dan khususnya
pedesaan. Menurut Wiggins et al. (2013), kebijakan untuk melindungi masyarakat
pedesaan dimulai dengan kebijakan melindungi hak, investasi, pola urbanisasi,
transportasi, desentralisasi, pengembangan wilayah, dan upah.

13

Pembangunan pertanian dapat dicapai dengan menerapkan kebijakan yang
mempengaruhi komoditas pertanian tertentu. Monke dan Pearson (1989)
menyatakan bahwa terdapat dua kebijakan yang digunakan untuk meningkatkan
pembangunan di sektor pertanian. Kebijakan yang pertama merupakan kebijakan
investasi terhadap bidang pendidikan, kesehatan, sanitasi, dan infrastruktur
transportasi untuk sektor pertanian. Kebijakan kedua yang diterapkan meliputi
pajak, subsidi, dan kontrol pada input serta output secara kuantitatif. Kebijakan
secara makro juga diberlakukan pad