Analisis daya saing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap komoditas susu sapi lokal di Jawa Barat

(1)

FERYANTO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

Saya menyatakan bahwa dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul:

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS

SUSU SAPI LOKAL DI JAWA BARAT

Merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan sumbernya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah menyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Maret 2010

Feryanto


(3)

FERYANTO. Analysis of Competitiveness and The Impact of Government’s Policy on Local Milk in West Java (M. PARULIAN HUTAGAOL as a chairman and NUNUNG NURYARTONO as a member of the advisory committee).

The supply capability of local milk producers at the present is only 25 – 30 percent of the total national milk demand. Importing large amount of milk has made Indonesia as the net importer. However, it also shows the prospect of big market for dairy to produce fresh milk as the import substitute product. Therefore, this study aims to (1) analyze the financial and economic efficiency of dairy that produces fresh milk in the dairy centre in West Java, (2) analyze the comparative and competitive advantages of milk in the dairy centre in West Java, (3) analyze the impact of government’s policy on the competitiveness of dairy in West Java, and (4) analyze the sensitivity of the output and input prices change on the competitiveness of dairy in the major producing centre in West Java. Policy Analysis Matrix (PAM) was employed in this study in order to calculate the private and social prices of revenue and cost of the dairy in which the social price was calculated from the Full Cream Milk Powder and private price from the farmgate price. Sensitivity analysis was also conducted in order to analyze the policy change on the dairy. The results showed that (1) the dairy in West Java was profitable (both privately and socially profitable), (2) it had competitive advantage (PCR<1) and comparative advantage (DRC<1), (3) government intervention or market failure would not give positive incentives for dairy cow producers, and (4) it suggested that the government would increase the milk production and determine the import tariff of milk to be 15 percent.


(4)

FERYANTO. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Komoditas Susu Sapi Lokal di Jawa Barat (M. PARULIAN HUTAGAOL sebagai Ketua, dan NUNUNG NURYARTONO sebagai Anggota Komisi Pembimbing).

Pengembangan usaha sapi perah merupakan salah satu alternatif dalam rangka pemenuhan gizi masyarakat serta pengurangan tingkat ketergantungan nasional terhadap impor susu. Kemampuan pasok susu peternak lokal saat ini baru mencapai 25-30 persen dari kebutuhan susu nasional, kondisi ini menyebabkan Indonesia menjadi negara pengimpor. Kondisi ini dikarenakan usaha ternak sapi perah di Indonesia didominasi oleh skala kecil dengan kepemilikan ternak kurang dari empat ekor (80 persen), empat sampai tujuh ekor (17 persen), dan lebih dari tujuh ekor (tiga persen). Konsekuensi dari keragaan usaha ternak sapi perah kita yang masih sangat kecil, akan menyebabkan ketidakmampuan untuk bersaing dengan produk impor. Hal tersebut menunjukkan bahwa peran kebijakan pemerintah dalam hal perdagangan sangat mempengaruhi dinamika perkembangan peternakan sapi perah di tengah kondisi perdagangan bebas dan persaingan dengan susu impor. Pasar produk susu segar di Indonesia cenderung memiliki struktur pasar oligopsoni dengan Industri Pengolahan Susu (IPS) sebagai konsumen utama, hal tersebut juga didukung bahwa koperasi susu dan peternak memiliki posisi tawar yang lemah dalam memasok dan menentukan harga susu kepada IPS. Lemahnya posisi tawar peternak terhadap IPS yang lebih cenderung untuk menggunakan bahan baku impor merupakan salah satu kendala utama.

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menganalisis tingkat efisiensi finansial dan ekonomi usahaternak yang memproduksi susu sapi segar di daerah sentra sapi perah Jawa Barat, (2) menganalisis dan mengukur keunggulan komparatif dan kompetitif komoditas susu sapi di daerah sentra sapi perah Jawa Barat, (3) menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing peternakan sapi perah di sentra Jawa Barat, dan (4) menganalisis sensitivitas perubahan harga output dan input terhadap daya saing peternakan sapi perah di daerah sentra Jawa Barat. Harga bayangan susu impor didasarkan pada harga satu kilogram Full Cream Milk Powder (FCMP) setara dengan delapan liter susu segar dalam negeri berdasarkan harga bordernya (cif) di pelabuhan impor (Tanjung Priuk). Sedangkan, harga susu privat disesuaikan dengan harga aktual yang ril diterima peternak. Jumlah responden dalam penelitian ini sebanyak 90 peternak.

Berdasarkan analisis PAM Secara keseluruhan, peternak di ketiga lokasi penelitian (Kecamatan Lembang, Kecamatan Pangalengan, dan Kecamatan Cikajang) memiliki keuntungan privat dan ekonomi, hal ini ditunjukkan keuntungan privat dan ekonomi yang besar dari nol untuk ketiga lokasi. Keuntungan privat tersebesar diperoleh peternak Kec. Lembang (Rp. 609.90 per liter susu), sedangkan keuntungan ekonomi terbesar terdapat di Kec. Cikajang sebesar Rp. 1 541 per liter susu. Berdasarkan nilai PCR dan DRC yang diperoleh ketiga lokasi memiliki keunggulan Kompetitif (PCR<1), yakni 0.79 (Kec.


(5)

komparatif dapat dilihat dari nilai DRC<1. Nilai DRC untuk Kec. Lembang sebesar 0.63, Kec. Pangalengan sebesar 0.75, dan 0.58 untuk Kec. Cikajang. Indikator DRC ini menunjukkan bahwa produk susu sapi segar akan lebih menguntungkan diproduksi di sentra produksi susu Provinsi Jawa Barat daripada harus mengimpornya.

Analisis dampak kebijakan dalam Tabel PAM ditunjukkan oleh hasil pengusahan susu sapi perah di ketiga lokasi penelitian yakni nilai OT bernilai negatif atau mengalami kerugian di Kec. Lembang (Rp. 622.80), Kec. Pangalengan (Rp. 610.75), dan Kec. Cikajang (Rp. 944.48) untuk setiap liter susu yang dihasilkan. Hasil ini menujukkan harga domestik susu lebih rendah dari harga internasionalnya, yang mengindikasikan adanya disinsentif terhadap output susu. Hasil IT usahaternak sapi perah menunjukkan nilai yang positif sebesar Rp. 91.30 (Kec. Lembang), Rp. 105.80 (Kec. Pangalengan), dan Rp. 27.79 per liter susu (Kec. Garut), dan nilai NPCI untuk ketiga lokasi yang lebih besar dari satu, hal ini mengkondisikan bahwa peternak yang menggunakan input tersebut mengalami kerugian, karena menanggung biaya input yang lebih mahal. Hasil analisis dampak kebijakan pemerintah terhadap input-output menunjukkan bahwa berdasarkan nilai Transfer bersih (TB), menunjukkan nilai yang negatif untuk ketiga lokasi penelitian yang berada pada kisaran negatif Rp. 741.80-Rp. 1 236.57 per liter susu, indikator ini memberikan informasi kebijakan yang diterapkan pemerintah memberikan kerugian bagi pengusahaan susu sapi perah. Sedangkan nilai koefisien proteksi efektif (EPC) sebesar 0.80 (Kec. Lembang dan Kec. Pangalengan), dan sebesar 0.74 (Kec. Cikajang) adanya kebijakan pemerintah tidak berdampak positif dan tidak memberikan insentif kepada peternak sapi perah karena nilai tambah keuntungan peternak menjadi lebih rendah dari yang seharusnya, karena peternak akan mengeluarkan dana ke konsumen (IPS) sebesar 80 persen dan 74 persen.

Berdasarkan analisis sensitivitas yang dilakukan, asumsi skenario yang digunakan yakni perubahan harga susu akibat penurunan tarif impor dan kenaikan harga pakan ternak secara umum pengusahaan susu sapi perah ternyata akan menurunkan daya saing pengusahan sapi perah di Provinsi Jawa Barat. Sehingga demikian untuk tetap memberikan keuntungan dan insentif bagi peternak sebaiknya pemerintah mengambil kebijakan untuk menetapkan tarif impor susu lebih besar dari lima persen (kondisi sekarang), yakni 15 persen. Penetapan subsidi pada input usahaternak, terutama pakan dan obat-obatan; (1) penetapan kembali BUSEP (Bukti Serap), dimana IPS memiliki kewajiban membeli dengan proporsi jumlah impor susu yang adil; (2) pengurangan atau penghapusan pajak dan biaya lainnya yang tidak terkait dengan pengusahaan susu segar sapi perah sehingga ekonomi biaya tinggi dapat dihilangkan; dan (3) memfasilitasi penelitian dan penyediaan teknologi yang mampu meningkatkan kualitas susu segar serta mampu melakukan pengolahan susu menjadi produk turunan yang memberikan nilai tambah bagi peternak.


(6)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2010 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(7)

FERYANTO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(8)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Heny K. Daryanto, M.Ec (Dosen Departemen Agribisnis,

Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor)

Penguji Wakil Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian dan Pimpinan Sidang: Dr. Ir. Ratna Winandi, MS

(Dosen Departemen Agribisnis,


(9)

Nama Mahasiswa : Feryanto Nomor Pokok : H353070111

Mayor : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing

Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, MS Dr. Ir. Nunung Nuryartono, MS Ketua Anggota

Mengetahui,

2. Kordinator Mayor 3. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Ekonomi Pertanian

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS


(10)

Puji syukur penulis panjatkan karena atas berkat rahmat dan karunia Allah SWT, penulis dapat menyelesaikan penelitian dengan judul “Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Komoditas Susu Sapi Lokal di Jawa Barat”. Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat daya saing pengusahaan susu sapi segar yang dijalankan oleh peternak di lokasi sentra pengusahaan susu segar di Provinsi Jawa Barat, serta melihat dampak kebijakan pemerintah terhadap pengembangan komoditi susu sapi perah khususnya di Provinsi Jawa Barat.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya terutama kepada Komisi Pembimbing Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, MS (ketua) dan Dr. Ir. Nunung Nuryartono, MS (anggota) yang telah membimbing, mengarahkan dan memberikan masukan dalam proses penelitian dan pelaksanaan penulisan tesis ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada:

1. Dirjen Dikti-Depdiknas, Rektor IPB, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Dekan FEM IPB, Ketua, dan Sekretaris Departemen Agribisnis FEM IPB yang telah memberikan kesempatan bagi penulis mendapatkan beasiswa (BPPS) untuk mengikuti Program Magister di Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian IPB.

2. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA. selaku Ketua Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian dan seluruh staf pengajar yang telah memberikan bimbingan dan proses pembelajaran selama penulis kuliah di Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian. 3. Dr. Ir. Heny K. Daryanto, M. Ec selaku Penguji Luar Komisi dan Dr. Ir. Ratna


(11)

4. Ir. Lukman M. Baga, MA. Ec yang telah membantu dalam hal bantuan dana penelitian bagi penulis. Mas Wai, Mba Etriya, Putri, Hastuti, Panji dan Khoirul Aziz yang membantu dalam hal pengumpulan data dan diskusinya. 5. Nia Rosiana, SP yang selalu membantu dan mengingatkan penulis untuk

segera menyelesaikan pendidikan Master ini. Terima kasih atas dorongan, semangat, kasih sayang dan curahan waktunya.

6. Ir. Dwi Rachmina, MS, Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS, dan Dr. Ir. Anna Fariyanti, MS yang senantiasa memberikan motivasi dan nasehat yang sangat berharga.

7. Teman-teman EPN angkatan 2007 (Zulkifli M, Narta, Ambar K, Suryadi, Adi S, Roni A, Dian H, D Asri, Desi A, Wiwik H dan Wanti), terima kasih atas kebersamaan dan kerjasamanya selama kuliah.

8. Seluruh staf Mayor EPN (Mba Rubi, Mba Yani, Aam, Angga, Ibu Kokom dan Pak Husein) yang senantiasa dan sabar membantu penulis selama perkulihan sampai akhir penulis menyelesaikan studi.

9. Pihak-pihak lain (terutama responden) yang namanya tidak dapat disebutkan satu-persatu namun telah banyak memberikan sumbang saran dan informasi selama penulisan tesis ini.

Secara khusus dengan penuh rasa hormat dan cinta, penulis mengucapkan terima kasih atas segala dukungan dan doa Ibunda Sabariah br Saragih, Wak

Mimah, Saudara-saudaraku (Bang Jimmy, Kak Anna, Kak Beby, dan Bang Roni) untuk keberhasilan penulis. Serta terima kasih disampaikan tak hingga bagi


(12)

pengembangan pendidikan dan sektor pertanian khususnya peternakan sapi perah di Indonesia. Semoga Allah SWT menerima karya ini sebagai amal kebaikan dan tanda syukur penulis. Amin.

Bogor, Maret 2010


(13)

Penulis dilahirkan di Kotamadya Pematang Siantar, Sumatera Utara pada tanggal 5 Januari 1984 dari Ibu Sabariah br Saragih dan Ayah Muhtar William. Penulis merupakan putra bungsu dari empat bersaudara.

Tahun 2002 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Berastagi, Kabupaten Karo dan pada tahun yang sama penulis diterima menjadi mahasiswa pada Program Studi Manajemen Agribisnis, Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian IPB melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Pendidikan sarjana tersebut diselesaikan pada tahun 2006. Penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang master pada Program Magister Sains di Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007 dengan Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) yang diperoleh dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.

Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor sejak tahun 2007 sampai sekarang. Bidang ilmu yang menjadi konsentrasi penulis adalah agribisnis, kebijakan dan pembangunan pertanian, serta ekonomi pertanian.


(14)

DAFTAR TABEL ... .. xvii

DAFTAR GAMBAR ... xix

DAFTAR LAMPIRAN ... xx

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 8

1.4. Manfaat Penelitian ... 9

1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 10

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 12

2.1. Pengertian dan Konsep Daya saing ... 12

2.2. Kebijakan Pemerintah terhadap Komoditas Susu di Indonesia ... 16

2.2.1. Kebijakan Pemerintah terhadap Pengadaan Input Susu di Indonesia ... 16

2.2.2. Kebijakan Pemerintah terhadap Produksi Susu di Indonesia ... 18

2.3. Struktur Pasar Susu Segar Dalam Negeri Indonesia ... 19

2.4.Kebijakan Negara Maju di Bidang Persusuan ... 22

2.5. Tinjauan terhadap Penelitian Terdahulu ... 24

III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 28

3.1. Teori Perdagangan Internasional ... 28

3.2. Teori Ekonomi Geografi ... 30

3.3. Analisis Dampak Kebijakan ... 33

3.3.1. Klasifikasi Kebijakan Harga Output ... 38

3.3.2. Klasifikasi Kebijakan Harga Input ... 41

3.4. Matriks Analisis Kebijakan ... 43

3.5. Kerangka Pemikiran Operasional ... 54


(15)

xv

IV. METODOLOGI PENELITIAN... 58

4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 58

4.2. Data dan Sumber Data ... 59

4.3. Metode Penentuan Sampel Penelitian ... 60

4.4. Metode Analisis ... 61

4.5. Metode Alokasi Komponen Biaya Domestik dan Asing ... 62

4.6. Metode Penentuan Harga Bayangan ... 62

4.6.1. Harga Bayangan Nilai Tukar ... . 64

4.6.2. Harga Bayangan Output ... 66

4.6.3. Penentuan Harga Bayangan Sarana Produksi dan Peralatan Ternak Sapi Perah ... 67

4.6.4. Harga Bayangan Tenaga Kerja ... 68

4.6.5. Harga Bayangan Lahan ... 69

4.6.6. Harga Bayangan Modal Kerja ... 70

4.7. Penentuan Biaya Tataniaga ... 69

4.8. Analisis Sensitivitas ... 71

V. AGRIBISNIS PERSUSUAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN ... 75

5.1. Agribisnis Persusuan Nasional ... 75

5.1.1. Produksi Susu ... 76

5.1.2. Pemasaran Susu ... 81

5.2. Kondisi Peternakan Sapi Perah di Jawa Barat ... 84

5.3. Kelembagaan Agribisnis Sapi Perah ... 89

5.4. Gambaran Umum Provinsi Jawa Barat... 94

5.5. Karakteristik Responden Penelitian ... 96

5.5.1. Status Usahaternak Sapi Perah ... 97

5.5.2. Umur Peternak Responden ... 98

5.5.3. Tingkat Pendidikan Peternak Responden ... 99

5.5.4. Pengalaman Beternak ... 101

5.5.5. Jenis dan Kepemilikan Sapi Laktasi ... 102

5.5.6. Pemeliharaan Ternak... 104

5.5.7. Pakan ... 104


(16)

xvi

5.5.9. Tenaga Kerja ... 106

VI. DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN TERHADAP PENGUSAHAAN SUSU SAPI LOKAL ... 108

6.1. Efisiensi dan Daya Saing Pengusahaan Susu Sapi lokal ... 108

6.1.1. Keunggulan Kompetitif ... 110

6.1.2. Keunggulan Komparatif ... 114

6.2. Dampak Kebijakan Pemerintah ... 119

6.2.1. Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Output ... 120

6.2.2. Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Input ... 122

6.2.3. Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Input- Output ... 127

6.3. Perubahan Keuntungan dan Daya Saing Pengusahaan Susu Sapi Perah Lokal Akibat Perubahaan Harga Output dan Input di Provinsi Jawa Barat ... 130

6.3.1. Perubahan Keuntungan Pengusahaan Susu Sapi Perah Lokal Akibat Perubahaan Harga Output dan Input di Provinsi Jawa Barat ... 131

6.3.2. Perubahaan Daya Saing Pengusahaan Susu Sapi Perah Lokal Akibat Perubahaan Harga Output dan Input di Provinsi Jawa Barat ... 136

6.4. Kebijakan Alternatif terhadap Peningkatan Daya Saing Pengusahaan Susu Sapi Perah ... 139

VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ... 149

7.1. Kesimpulan ... 149

7.2. Implikasi Kebijakan ... 151

DAFTAR PUSTAKA ... 154


(17)

xvii

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman 1. Perkembangan Ekspor dan Impor Susu Indonesia ... 2 2. Klasifikasi Kebijakan Pemerintah terhadap Harga Komoditi ... 34 3. Matriks Analisis Kebijakan ... 46 4. Daftar Harga Komponen Input Pengusahaan Susu Segar di

Provinsi Jawa Barat, Tahun 2009 ... 68 5. Struktur Biaya Produksi Susu Per Liter Susu, Tahun 2009 ... 73 6. Populasi Sapi Perah dan Produksi Susu Sapi Segar,

Tahun 2003-2007 ... 77 7. Produktivitas Sapi Perah di Pulau Jawa, Tahun 2008 ... 78 8. Perkembangan Harga Susu di Daerah Sentra Produksi,

Tahun 2008 ... 83 9. Perkembangan Populasi Ternak Sapi Perah di Provinsi

Jawa Barat, Tahun 2004-2008 ... 86 10. Perkembangan Produksi Susu di Provinsi Jawa Barat,

Tahun 2004-2008 ... 87 11. Status Usahaternak Sapi Perah Responden di Kecamatan Sentra

Provinsi Jawa Barat, Tahun 2009 ... 97 12. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur di Kecamatan Sentra

Provinsi Jawa Barat, Tahun 2009 ... 99 13. Karakteristik Pendidikan Peternak Responden di Kecamatan Sentra

Provinsi Jawa Barat, Tahun 2009 ... 100 14. Karakteristik Responden Berdasarkan Lama Berpengalaman

Beternak di Kecamatan Sentra Provinsi Jawa Barat,

Tahun 2009 ... 101 15. Karakteristik Responden Berdasarkan Jumlah Kepemilikan

Sapi Laktasi di Kecamatan SentraProvinsi Jawa Barat,


(18)

xviii

16. Penggunaan Tenaga Kerja dalam Usahaternak Sapi Perah 17. Responden di Kecamatan SentraProvinsi Jawa Barat,

Tahun 2009 ... 107 18. Matriks Analisis Kebijakan Pengusahaan Susu Sapi Perah

Lokal di Kecamatan Lembang, Kecamatan Pangalengan, dan

Kecamatan Cikajang ... 109 19. Keuntungan Privat dan Rasio Biaya Privat Pengusahaan Susu

Sapi Perah Lokal di Kecamatan Sentra Provinsi Jawa Barat ... 110 20. Keuntungan Sosial dan Rasio Biaya Sumberdaya Domestik

Pengusahaan Susu Sapi Perah Lokal di Kecamatan Sentra

Provinsi Jawa Barat. ... 114 21. Nilai Transfer Output dan Koefisien Proteksi Output Nominal

Pengusahaan Susu Sapi Perah Lokal di Kecamatan Sentra

Provinsi Jawa Barat ... 120 22. Nilai Transfer Input, Koefisien Proteksi Input Nominal,

dan Transfer Faktor Pengusahaan Susu Sapi Perah Lokal di

Kecamatan Sentra Provinsi Jawa Barat ... 123 23. Nilai Koefisien Proteksi Efektif, Transfer Bersih, dan Koefisien

Keuntungan, dan Rasio Subsidi bagi Produsen Pada Pengusahaan Susu Sapi Perah Lokal di Kecamatan Sentra

Provinsi Jawa Barat ... 127 24. Keuntungan Pengusahaan Susu Sapi Perah Berdasarkan

Analisis Sensitivitas di Kecamatan Lembang, Kecamatan

Pangalengan, dan Kecamatan Cikajang. ... 132 25. Indikator Daya Saing Pengusahaan Susu Sapi Perah

Berdasarkan Analisis Sensitivitas di Kecamatan Lembang,


(19)

xix

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman 1. Dampak Subsidi Positif terhadap Konsumen dan Produsen

Pada Barang Ekspor dan Impor... 39

2. Subsidi dan Pajak Pada Input ... 41

3. Dampak Subsidi dan Pajak Input Non Tradable ... 42

4. Kerangka Pemikiran Operasional ... 57

5. Jalur Pemasaran Susu di Indonesia ... 82


(20)

xx

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman 1. Perhitungan Standar Convertion Factor dan Shadow

Price Exchange Rate Tahun 2009 ... 160 2. Harga Full Cream Milk Powder Juli-September, Tahun 2009 . ... 161 3. Perhitungan Harga Bayangan/Sosial Komoditas Susu ... 161 4. Alokasi Biaya Input dan Output dalam Komponen

Domestik dan Asing ... 161 5. Proporsi Komponen Biaya Usahaternak di Tiga Lokasi

Penelitian ... 162 6. Rincian Penerimaan dan Biaya Pengusahaan Susu Segar

Dalam Komponen Domestik dan Asing di Kecamatan

Lembang, Kabupaten Bandung Barat ... 163 7. Nilai PAM Pengusahaan Susu Segar di Kecamatan

Lembang, Kabupaten Bandung Barat ... 164

8. Rincian Penerimaan dan Biaya Pengusahaan Susu Segar dalam Komponen Domestik dan Asing di Kecamatan

Pangalengan, Kabupaten Bandung ... 165 9. Nilai PAM Pengusahaan Susu Segar di Kecamatan

Pangalengan, Kabupaten Bandung ... 166 10. Rincian Penerimaan dan Biaya Pengusahaan Susu Segar

dalam Komponen Domestik dan Asing di Kecamatan

Cikajang, Kabupaten Garut ... 167 11. Nilai PAM Pengusahaan Susu Segar di


(21)

1.1. Latar Belakang

Subsektor peternakan merupakan salah satu sumber pertumbuhan baru khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada tahun 2006 Badan Pusat Statistik mencatat bahwa subsektor peternakan menyumbang Rp. 33 309.9 Milyar (12.75 persen) dari jumlah total Produk Domestik Bruto (PDB) sektor pertanian secara nasional. Permintaan terhadap komoditi peternakan sebagai sumber protein hewani diperkirakan akan semakin meningkat akibat peningkatan jumlah penduduk dan meningkatnya kesadaran akan gizi masyarakat.

Susu sebagai salah satu hasil komoditi peternakan merupakan bahan makanan yang menjadi sumber gizi atau zat protein hewani. Kebutuhan protein hewani masyarakat Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan tingkat kesadaran kebutuhan gizi masyarakat yang didukung oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini dapat ditunjukkan dengan meningkatnya konsumsi susu dari 6.80 liter/kapita/tahun pada tahun 2005 menjadi 7.70 liter/kapita/tahun pada tahun 2008 (setara dengan 25 gram/kapita/hari) yang merupakan angka tertinggi sejak terjadinya krisis moneter pada tahun 1997 (Ditjen Bina Produksi Peternakan, 2008). Pembangunan subsektor peternakan khususnya pengembangan usaha sapi perah, merupakan salah satu alternatif upaya peningkatan penyediaan sumber kebutuhan protein hewani dan sebagai upaya mendukung program revitalisasi putih untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesehatan masyarakat.


(22)

Permintaan terhadap komoditi susu dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan, walaupun bila dibandingkan dengan negara-negara lain tingkat konsumsi masyarakat Indonesia masih tergolong rendah. Namun produksi susu nasional belum mampu mencukupi kebutuhan konsumsi masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk melakukan impor susu dari luar negeri. Selain melakukan impor pemerintah juga melakukan ekspor susu dalam bentuk susu olahan.

Tabel 1. Perkembangan Ekspor, Impor dan Konsumsi Susu Indonesia, Tahun 2003-2007

No Tahun Ekspor Susu Olahan (000 ton)

Impor Susu Bubuk (000 ton)

Konsumsi Susu (000 ton)

1 2003 45.58 579.65 1 133.09

2 2004 40.93 497.68 957.63

3 2005 45.02 309.74 845.74

4 2006 - 1 238.44 1 854.94

5 2007 - 1 347.98 1 984.88

Pertumbuhan

(%) - 3.73 7.04

Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan, 2008. Keterangan: ’-’ data tidak tersedia.

Tabel 1 menjelaskan bahwa ekspor susu olahan dan impor susu bubuk mengalami fluktuasi, dan 2006 mengalami peningkatan yang sangat signifikan sejak tahun 2005 terlihat impor susu berada pada titik terendah. Pertumbuhan impor susu setiap tahun sebesar 3.73 persen, hal ini mengindikasikan bahwa jumlah susu yang diimpor setiap tahun meningkat. Tahun 2007 impor susu mencatat angka 1 347.98 ribu ton susu, angka tertinggi sejak tahun 2003. Tingginya volume impor disebabkan karena rendahnya produktivitas peternak dan tingginya konsumsi susu dalam negeri (termasuk susu olahan). Pertumbuhan konsumsi susu nasional sebesar 7.04 persen, hal ini menjelaskan bahwa pasar susu


(23)

nasional terus berkembang, nilai konsumsi susu nasional tahun 2003 sebesar 377.77 ribu ton dan naik menjadi 1 984.88 ribu ton tahun 2007. Sehingga kondisi ini yang memperkuat alasan (IPS) untuk memenuhi bahan bakunya dari luar negeri. Susu bubuk merupakan bahan baku utama yang digunakan oleh industri pengolah susu (IPS) yang, pada umumnya, perusahaan modal asing (PMA) untuk menghasilkan produk-produk susu olahan yang siap konsumsi. Negara pengimpor susu utama ke Indonesia antara lain adalah Australia, Perancis, dan Selandia Baru. Negara-negara tersebut merupakan penghasil susu dengan kualitas terbaik.

Pengembangan usaha sapi perah merupakan salah satu alternatif dalam rangka pemenuhan gizi masyarakat serta pengurangan tingkat ketergantungan nasional terhadap impor susu. Usaha persusuan di Indonesia sudah sejak lama dikembangkan. Usaha ternak sapi perah di Indonesia didominasi oleh skala kecil dengan kepemilikan ternak kurang dari empat ekor (80 persen), empat sampai tujuh ekor (17 persen), dan lebih dari tujuh ekor (tiga persen). Hal itu menunjukkan bahwa sekitar 64 persen produksi susu nasional disumbangkan oleh usaha ternak sapi perah skala kecil, sisanya 28 persen diproduksi oleh usaha ternak sapi perah skala menengah, dan delapan persen usaha ternak sapi perah skala besar Erwidodo (1998) dan Swastika (2005). Sehingga dengan keragaan usaha ternak sapi perah kita yang masih sangat kecil menyebabkan ketidakmampuan untuk bersaing dengan produk impor. Kondisi ini tentunya akan memperlemah daya saing usaha usaha ternak sapi perah di Indonesia.

Faktor pemicu daya saing terdiri dari teknologi, produktivitas, harga biaya input, struktur industri, kuantitas permintaan domestik dan ekspor. Faktor-faktor itu dapat dibedakan atas: (1) faktor yang dapat dikendalikan oleh unit usaha,


(24)

seperti strategi produk, teknologi, pelatihan, biaya riset dan pengembangan; (2) faktor yang dapat dikendalikan oleh pemerintah, seperti lingkungan bisnis (pajak, suku bunga, nilai tukar uang), kebijakan perdagangan, kebijakan riset dan pengembangan, serta pendidikan, pelatihan dan regulasi; (3) faktor yang semi terkendali, seperti kebijakan harga input dan kuantitas permintaan domestik; dan (4) faktor yang tidak dapat dikendalikan, seperti lingkungan alam. Oleh karena itu, apabila pemerintah mampu memperbaiki faktor-faktor pemicu di atas, maka diharapkan komoditas susu segar lokal dapat berkembang sebagai komoditas substitusi susu impor.

Pengembangan sektor peternakan khususnya usaha ternak sapi perah perlu terus dilakukan karena kemampuan pasok susu peternak lokal saat ini baru mencapai 25 persen sampai 30 persen dari kebutuhan susu nasional (GKSI, 2007). Besarnya jumlah impor susu nasional menjadikan Indonesia menjadi net importir

dan juga menunjukkan prospek pasar yang sangat besar dalam usaha peternakan sapi perah untuk menghasilkan susu segar sebagai produk substitusi impor. Mengingat kondisi geografis, ekologi, dan kesuburan lahan di beberapa wilayah Indonesia memiliki karakteristik yang cocok untuk pengembangan agribisnis persusuan serta besarnya kekurangan pasokan susu dalam negeri, terdapat kerugian yang diperoleh Indonesia akibat dilakukannya impor susu.

Bentuk kerugian tersebut ialah terkurasnya devisa nasional, hilangnya kesempatan terbaik (opportunity loss) yang berasal dari menganggurnya atau tidak dimanfaatkannya potensi sumberdaya yang ada untuk pengembangan agribisnis persusuan, dan hilangnya potensi pendapatan yang seharusnya diperoleh pemerintah dari pajak apabila agribisnis persusuan dikembangkan secara baik.


(25)

Perkembangan usaha sapi perah di Indonesia sangat signifikan, karena tidak terlepas dari upaya pemerintah untuk memenuhi kebutuhan konsumsi nasional akan susu.

Hal tersebut menunjukkan bahwa peran kebijakan pemerintah dalam hal perdagangan sangat mempengaruhi dinamika perkembangan peternakan sapi perah di tengah kondisi perdagangan bebas dan persaingan dengan susu impor. Pasar produk susu segar di Indonesia cenderung memiliki struktur pasar oligopsoni dengan Industri Pengolahan Susu (IPS) sebagai konsumen utama (Hutagaol dan Karo-Karo, 2009), hal tersebut juga didukung bahwa koperasi susu dan peternak memiliki posisi tawar yang lemah dalam memasok dan menentukan harga susu kepada IPS (Djohan, 2008).

Atien et al. (2004) menyebutkan lemahnya posisi tawar peternak terhadap IPS yang lebih cenderung untuk menggunakan bahan baku impor merupakan salah satu kendala utama. Hal ini menimbulkan resiko yang besar dalam usaha ternak sapi perah rakyat dan akan mempengaruhi daya saing usahaternak sapi perah dalam jangka panjang. Peternak tidak mendapat insentif dalam pengusahaan usahaternaknya, sehingga kemampuan untuk meningkatkan skala usaha dan produksi tidak bisa dilakukan.

1.2. Perumusan Masalah

Pengembangan usaha ternak sapi perah ternyata sangat banyak mengalami kendala dan hambatan. Berbagai tantangan yang dihadapi oleh usaha ini cukup berat baik di tingkat global dan regional, makro serta mikro. Tingkat global dan regional tantangan yang dihadapi adalah meningkatnya kegiatan ekspor dan


(26)

substitusi impor dalam upaya perolehan dan penghematan devisa negara (Yusdja, 2005). Sedangkan pada tingkat makro, tantangan yang dihadapi adalah meningkatkan ketahanan pangan nasional dalam hal ini, pangan protein asal ternak khususnya susu, meskipun sebagian besar (75 persen) masih merupakan komponen impor (Direktorat Jenderal Peternakan, 2008).

Tingkat mikro tantangan yang dihadapi adalah meningkatkan pendekatan kesejahteraan peternak melalui peningkatan efisiensi usaha yang terkait dengan upaya peningkatan populasi ternak dan skala usaha. Adanya tantangan-tantangan dan perkembangan tersebut, maka pembangunan peternakan, khususnya pengembangan usaha sapi perah ditujukan kepada satu visi yaitu terwujudnya masyarakat yang sehat dan produktif melalui pembangunan peternakan tangguh berbasis sumberdaya lokal (Mandaka dan Hutagaol, 2005). Visi tersebut mengandung arti bahwa usaha peternakan tangguh yang diidamkan harus memihak kepada rakyat, memanfaatkan potensi sumberdaya lokal dan memfasilitasi usaha peternakan rakyat. Salah satu yang menjadi program utama adalah meningkatkan konsumsi susu masyarakat, sehingga upaya yang dilakukan diantaranya adalah meningkatkan supply di dalam negeri dan secara bertahap mengurangi ketergantungan peternak terhadap industri pengolahan susu (IPS) dalam kaitannya dengan distribusi dan produksi. Sehingga upaya untuk meningkatkan daya saing susu lokal dapat dipenuhi.

Salah satu kebijakan pemerintah yang mempengaruhi daya saing komoditi susu lokal adalah upaya untuk melindungi peternak dan koperasi susu sapi perah Indonesia, pada tahun 1985 terdapat Instruksi Presiden No. 2 yang membuat kebijakan tentang susu impor. Instruksi tersebut disusun berdasarkan kesepakatan


(27)

tiga menteri (Pertanian, Perindustrian dan Perdagangan serta Koperasi) yang berisi bukti serap susu nasional. Apabila IPS membeli susu impor maka diwajibkan untuk membeli susu dari peternakan nasional, jika IPS impor susu sebanyak dua kilogram maka wajib membeli susu dari peternak atau koperasi sebanyak satu kilogram.

Saat Indonesia akan memasuki era perdagangan bebas (WTO/World Trade Organization) pemerintah mencabut Instruksi Presiden No. 2 tahun 1985 (diganti dengan Instruksi Presdien No. 4 tahun 1998). Pencabutan kebijakan tersebut tidak diimbangi dengan proteksi dari pemerintah terhadap para peternak nasional. Hal ini menyebabkan IPS leluasa untuk membeli susu impor dari luar negeri. Alasan lain yang digunakan oleh IPS untuk melakukan impor susu adalah, bahwa produksi susu nasional belum mampu memenuhi kebutuhan nasional yang sangat besar. Kendala terbatasnya produksi, disamping tingginya akan permintaan susu mengindikasikan bahwa usahaternak sapi perah sangat prospektif untuk dikembangkan karena dukungan pasar atau demand domestik.

Selain itu, sejak November tahun 2008 pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) No. 145/PMK.011/2008 tentang bea masuk ditanggung pemerintah atas impor barang dan bahan oleh industri pengolahan susu untuk tahun anggaran 2008, dengan nilai Rp 107 miliar untuk periode November-Desember 2008. Namun, pada 2009 pemerintah melalui Menteri Keuangan mengeluarkan Permenkeu No. 19/PMK.011/2009 yang menetapkan tarif impor nol persen untuk susu dan turunannya. Keputusan Menteri Keuangan tersebut akan mempengaruhi usahaternak sapi perah lokal yang ada di


(28)

sentra-sentra sapi perah, terutama keunggulan komperatif dan kompetitif susu segar terhadap susu impor.

Kondisi di atas menyebabkan posisi peternak terutama peternak rakyat yang berada pada kegiatan budidaya yang memberikan nilai tambah yang rendah. Hal ini diperparah pula oleh posisi peternak rakyat kecil yang terjepit karena harus menghadapi kekuatan monopoli di pasar input dan kekuatan monopsoni di pasar output usahaternak (Saragih, 1998 dan Saptana, 1999).

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas, dimana pada setiap tingkatan usahternak sapi perah ini memiliki tantangan dan kendala. Kendala-kendala tersebut, menjadi penyebab rendahnya produksi nasional sehingga IPS harus mengimpor susu untuk memenuhi susu nasional. Oleh karena itu, untuk memenuhi permintaan susu dalam negeri yang meningkat setiap tahun tersebut, apakah sebaiknya pemerintah mengimpor ataukah memproduksi sendiri dengan meningkatkan produktivitas usahaternak sapi perah dalam negeri?. Permasalahan penting lain yang menjadi perhatian dalam penelitian ini adalah, apakah usahaternak sapi perah tersebut memiliki daya saing (keunggulan komperatif dan kompetitif) dalam penggunaan sumberdaya domestik?.

1.3. Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis ’’Daya saing usahaternak sapi perah, dan dampak kebijakan pemerintah terhadap usaha ternak sapi perah di daerah sentra Jawa Barat”. Secara khusus penelitian ini bertujuan: 1. Menganalisis tingkat efesiensi finansial dan ekonomi usahaternak dalam


(29)

2. Menganalisis dan mengukur keunggulan kompetitif dan komparatif komoditas susu sapi di daerah sentra sapi perah Jawa Barat.

3. Menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing peternakan sapi perah di sentra Jawa Barat.

4. Menganalisis sensitivitas perubahan harga input dan output terhadap keuntungan dan daya saing peternakan sapi perah di daerah sentra Jawa Barat.

1.4. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah:

1. Bagi pemerintah pusat dan daerah dapat menjadi rujukan dan masukan serta bahan pertimbangan dalam menetapkan kebijakan yang berkaitan peternakan sapi perah, terutama dalam hal peningkatan daya saing.

2. Bagi koperasi susu sapi perah dan IPS dapat mengetahui informasi mengenai penetapan harga susu dan penentuan jumlah yang akan diserap oleh IPS. 3. Bagi peternak sapi perah dapat memperoleh informasi dan masukan dalam

upaya peningkatan efisiensi produksi dan daya saing susu yang dihasilkan. 4. Bagi kalangan akademisi seperti mahasiswa, dosen dan peneliti merupakan

bahan referensi maupun informasi bagi penelitian lanjut secara lebih mendalam pada pengembangan metodologi maupun pengembangan komoditas susu dan usaha peternakan yang efisien, produktif, berdaya saing dan berkelanjutan di Indonesia.


(30)

1.5. Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian

Pembangunan dan pengembangan sektor pertanian, terutama subsektor peternakan merupakan keharusan dalam menggerakan perekonomian berbasis ekonomi kerakyatan, oleh karena itu kebijakan pengembangan subsektor peternakan juga harus mampu menyusun kebijakan yang tepat dan memberikan kesejahteraan bagi peternak.

Penelitian ini dilakukan di lokasi sentra penghasil susu terbesar di Jawa Barat, dimana yang dijadikan lokasi unit penelitian adalah tingkat kecamatan utama penghasil susu terbesar di masing-masing kabupaten. Sehingga lokasi penelitian di setiap kabupaten hanya pada wilayah yang masuk dalam wilayah kecamatan tersebut.

Lingkup pembahasan dalam penelitian ini meliputi analisis komparatif dan kompetitif usaha ternak sapi perah yang meliputi perhitungan nilai sumberdaya domestik/Domestic Resource Cost Ratio (DRC), Private Cost Ratio (PCR), analisis efisiensi yang dilihat berdasarkan keuntungan baik sosial maupun privat dan aspek dampak kebijakan pemerintah yang mempengaruhi daya saing komoditas susu tersebut. Penelitian ini lebih difokuskan dan mengukur tingkat daya saing usaha peternakan pada tingkat usahatani peternakan dengan skala kecil dan sangat kecil (kepemilikan sapi perah/lakstasi sebanyak 1-3 ekor per peternak) dan bukan pada skala besar (industri) pengolahan. Adapun yang menjadi batasan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Penelitian ini difokuskan di kabupaten sentra penghasil susu terbesar di Jawa Barat yakni Kabupaten Bandung Barat, Bandung, dan Garut.


(31)

2. Pengukuran daya saing peternakan sapi perah atau komoditi susu hanya dilakukan pada level usahatani peternakan tersebut.

3. Dilihat dari ruang lingkup, studi ini terbatas pada data yang tersedia dari berbagai aspek ekonomi pada usaha ternak sapi perah yang ada di tingkat desa. Data ini juga terbatas pada penggunaan data cross section yang bersifat statis.


(32)

2.1. Pengertian dan Konsep Daya Saing

Daya saing adalah suatu konsep komparatif dari kemampuan dan pencapaian dari suatu perusahaan, subsektor atau negara untuk memproduksi, menjual dan menyediakan barang-barang dan jasa kepada pasar. Daya saing diterapkan pada pasar yang mengarah pada pasar persaingan sempurna. Konsep daya saing bisa juga diterapkan pada suatu komoditi, sektor/bidang, wilayah dan negara. Daya saing merupakan kemampuan suatu produsen untuk memproduksi suatu komoditi dengan biaya yang cukup rendah sehingga pada harga-harga yang terjadi di pasar internasional kegiatan produksi tersebut menguntungkan (Simanjuntak, 1992). Menurut Kadariah et al. (1978) keunggulan komparatif terlihat dari efisiensi atau tidaknya produksi dunia. Artinya, apakah biaya produksi riil yang terdiri dari pemakaian sumber-sumber domestik cukup rendah sehingga harga jualnya dalam rupiah tidak melebihi tingkat harga batas yang relevan (border price).

Pendekatan yang sering digunakan untuk mengukur daya saing suatu komoditi adalah tingkat keuntungan yang dihasilkan dan efisiensi dalam pengusahaan komoditi tersebut. Keuntungan dapat dilihat dari dua sisi yaitu keuntungan privat dan keuntungan sosial. Sementara itu, efisiensi pengusahaan komoditi dapat dilihat dari dua indikator yaitu keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Konsep daya saing yang menggunakan pendekatan keunggulan komparatif dan kompetitif digunakan untuk memberikan masukan dalam perencanaan dan pengembangan usaha ternak. Sapi perah dengan produk


(33)

susu sebagai komoditi komersial, dimana keunggulan untuk menganalisis efisiensi dari sisi ekonomi sedangkan keunggulan kompetitif untuk menganalisis efisiensi dari sisi finansial.

Konsep keunggulan komparatif seringkali digunakan untuk menerangkan spesialisasi suatu negara dalam memproduksi suatu barang dan jasa. Selain itu, konsep ini digunakan untuk wilayah yang lebih kecil seperti kabupaten atau provinsi. Konsep ini pertama kali diterapkan oleh David Ricardo yang dikenal dengan nama hukum keunggulan komparatif (the law of comparative advantage) atau disebut juga model Ricardian. Dalam model ini disebutkan bahwa sekalipun suatu negara mengalami kerugian atau ketidakunggulan absolut dalam memproduksi suatu komoditi jika dibandingkan dengan negara lain, namun perdagangan yang saling menguntungkan masih dapat berlangsung. Negara yang kurang efisien akan berspesialisasi dalam produksi dan mengekspor komoditi yang mempunyai keunggulan komparatif, sebaiknya negara tersebut akan mengimpor komoditi yang mempunyai kerugian absolut lebih besar. Melalui komoditi inilah negara tersebut akan mengalami kerugian komparatif (Salvator, 1994).

Model Ricardian ini mengasumsikan bahwa tenaga kerja merupakan satu-satunya faktor produksi. Teori nilai tenaga kerja ini menyatakan bahwa nilai atau harga dari suatu komoditi sama dengan atau dapat diperoleh dari jumlah waktu tenaga kerja yang dipakai untuk memproduksi komoditi. Hal ini secara tidak langsung menyatakan bahwa hanya tenaga kerja yang merupakan faktor produksi atau tenaga kerja digunakan dalam proporsi yang tetap sama dalam produksi semua komoditi, dan tenaga kerja homogen. Teori nilai tenaga kerja ini


(34)

merupakan kelemahan dari model Ricardian karena tenaga kerja bukan merupakan satu-satunya faktor produksi, juga tidak digunakan dalam proporsi yang tetap sama dalam produksi semua komoditi dan tenaga kerja tidak homogen.

Perbedaan dan perubahan pada sumberdaya yang dimiliki suatu negara atau daerah mengakibatkan keunggulan komparatif secara dinamis akan mengalami perkembangan. Pearson dan Gotsch (2004) menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi keunggulan komparatif, yaitu: (1) perubahan dalam sumberdaya alam, (2) perubahan faktor-faktor biologi, (3) perubahan harga input, (4) perubahan teknologi, dan (5) biaya transportasi yang lebih murah dan efisien.

Melihat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keunggulan komparatif di atas, maka keunggulan komparatif merupakan suatu hal yang tidak stabil dan dapat diciptakan. Keadaan ini mengacu pada kemampuan mengelola secara dinamis dari suatu wilayah yang mempunyai keterbatasan sumberdaya dengan dukungan tenaga kerja, modal dan dari segi pengolahannya.

Keunggulan kompetitif (competitive advantage) merupakan alat untuk mengukur daya saing suatu aktivitas berdasarkan pada kondisi perekonomian aktual. Adanya konsep keunggulan kompetitif didasarkan pada asumsi bahwa perekonomian yang tidak mengalami distorsi sama sekali yang sulit ditemukan di dunia nyata dan keunggulan komparatif suatu aktivitas ekonomi dari sudut pandang atau individu yang berkepentingan langsung (Salvator, 1994).

Pada awalnya konsep keunggulan kompetitif dikembangkan oleh Porter pada tahun 1980 dengan bertitik tolak dari kenyataan-kenyataan perdagangan internasional yang ada. Menurut Porter, keunggulan perdagangan antar negara didalam perdagangan internasional sebenarnya tidak ada. Pada kenyataannya ada


(35)

persaingan antara kelompok-kelompok kecil industri di satu negara dengan negara lainnya, bahkan antar kelompok industri yang ada dalam satu negara.

Sudaryanto dan Simatupang (1993) menyebutkan secara operasional keunggulan kompetitif dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk memasok barang dan jasa pada waktu, tempat dan bentuk yang diinginkan konsumen baik di pasar domestik maupun di pasar internasional, pada harga yang sama atau lebih baik dari yang ditawarkan pesaing, seraya memperoleh laba paling tidak sebesar ongkos penggunaan (opportunity cost) sumberdaya. Lebih lanjut Sudaryanto dan Simatupang (1993) menegaskan bahwa agribisnis dan pembangunan pertanian yang berorientasi pada peningkatan produksi dengan harga serendah mungkin atau pembangunan pertanian yang berwawasan produk sudah tidak sesuai dengan keadaan pasar global saat ini. Berdasarkan kondisi tersebut untuk mengantisipasi keadaan pasar, usaha produksi komoditi pertanian pada saat ini harus lebih berorientasi pada konsumen atau lebih berwawasan menjual.

Kondisi ini menyebabkan keunggulan kompetitif tidak saja ditentukan oleh keunggulan komparatif (menghasilkan barang lebih murah dari pesaing), tetapi juga ditentukan oleh kemampuan untuk memasok produk dengan atribut (karakter) yang sesuai oleh dengan keinginan konsumen (Sukirno, 1998). Analisis keunggulan kompetitif merupakan alat untuk mengukur keuntungan privat (private profitability) atau kelayakan dari suatu aktivitas yang dihitung berdasarkan harga pasar dan nilai tukar uang resmi yang berlaku. Dalam hal ini, suatu negara akan dapat bersaing dipasaran internasional jika negara terebut memiliki keunggulan kompetitif dalam menghasilkan suatu komoditi dengan asumsi adanya sistem pemasaran dari intervensi pemerintah.


(36)

Kondisi ini mengakibatkan suatu negara yang tidak memiliki keunggulan komparatif ternyata memiliki keunggulan kompetitif. Sehingga pemerintah memberikan proteksi terhadap komoditi yang diproduksi pada aktivitas ekonomi tersebut, misalnya melalui jaminan harga, kemudahan perizinan dan kemudahan fasilitas lainnya (Sudaryanto dan Simatupang, 1993). Walaupun demikian konsep keunggulan kompetitif ini bukan merupakan suatu konsep yang sifatnya saling menggantikan terhadap keunggulan komparatif, akan tetapi merupakan konsep yang sifatnya saling melengkapi.

2.2. Kebijakan Pemerintah terhadap Komoditas Susu di Indonesia 2.2.1. Kebijakan Pemerintah terhadap Pengadaan Input Susu di Indonesia

Kebijaksanaan pengadaan sarana produksi berupa penyediaan bibit sapi, pakan ternak, dan obat-obatan yang dikaitkan dengan sistem kredit yang layak dan mudah merupakan titik strategi dari pembangunan peternakan. Fungsi pengadaan sarana produksi sangat penting karena pada umumnya peternak sapi perah rakyat kurang berpengetahuan tentang jenis ternak, pakan ternak, disinfektan, dan obat-obatan yang baik, dalam arti cocok dengan kondisi sehingga diharapkan usaha sapi perah rakyat dapat menghasilkan atau berproduksi dengan hasil yang tinggi dan tentunya efisien. Sedangkan sistem kredit diberikan karena peternak rakyat umumnya berekonomi lemah. Oleh karena itu, peran atau fungsi yang sangat penting ini tidak dipercayakan kepada badan usaha yang semata-mata mencari keuntungan (Erwidodo dan Hassan, 1993).

Pelayanan terhadap kebutuhan sarana produksi ternak yang meliputi bibit, peralatan dan terutama pakan konsentrat dilakukan oleh koperasi. Pengadaan


(37)

sapronak dilakukan oleh koperasi yang bekerjasama dengan dinas terkait, GKSI, pihak perbankan, pemasok bahan baku, dan pabrik makanan ternak. Berdasarkan kebijakan pemasukan bibit ternak sapi perah, ada tiga suarat keputusan (SK) Menteri Pertanian, yaitu:

1. SK Menteri Pertanian Nomor 750/Kpts/Um/10/82 tentang syarat-syarat pemasukan bibit ternak dari luar negeri.

2. SK Menteri Pertanian Nomor 752/Kpts/Um/10/82 tentang syarat-syarat teknik bibit sapi perah yang dimasukkan dari luar negeri.

3. SK Menteri Pertanian Nomor 753/Kpts/Um/10/82 tentang kesehatan bibit sapi perah yang akan dimasukkan dari Australia dan Selandia Baru.

Inti dari kebijakan ini adalah menitikberatkan persyaratan teknis agar impor bibit sapi perah tidak berdampak negatif, terutama penyakit ternak atau mutu genetis sapi perah yang rendah. Hal ini dimaksudkan agar bibit sapi perah yang masuk ke Indonesia terjamin kualitasnya dan mempunyai standar kualifikasi tertentu. Sedangkan para peternak tersebut dilatih terlebih dahulu, agar memahami sepenuhnya apa yang harus dikerjakan untuk menghasilkan sapi-sapi prima. Apabila ada peternak berpotensi tetapi terhambat modal maka perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah.

2.2.2. Kebijakan Pemerintah terhadap Produksi Susu di Indonesia

Produksi susu di Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan masyarakat sehingga pemerintah mengambil kebijakan untuk melakukan Impor susu dari negara lain terutama dari negara Australia. Pemerintah melakukan impor susu dalam bentuk bubuk untuk memenuhi permintaan susu dalam negeri. Susu


(38)

tersebut diimpor dalam bentuk SMF (Skim Milk Powder) dan AMF (Anhydrous Milk Fat). Susu yang diimpor akan diolah kembali oleh Industri Pengolahan Susu (IPS) dan oleh non Industri Pengolahan Susu.

Perkembangan usaha sapi perah di Indonesia yang cukup signifikan itu tidak terlepas dari upaya pemerintah dalam bentuk dukungan kebijakan yang bersifat lintas sektoral, perlindungan atau proteksi terhadap usaha peternakan rakyat dan penyediaan fasilitas kredit serta permodalan dalarn meningkatkan skala usaha dan populasi sapi perah di tingkat keluarga peternak. Pemerintah melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga Menteri, yakni Menteri Koperasi, Menteri Pertanian, dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan yang selanjutnya dikukuhkan dengan INPRES Nomor 2 Tahun 1985 mengatur tentang pemasaran susu segar dari peternak ke IPS. Oleh karena itu, IPS wajib menerima susu segar dalam negeri (SSDN) dan bukti serap sebagai pengaman harga SSDN dan harga bahan baku impor.

Beberapa instrumen kebijakan yang diterapkan oleh Pemerintah selama ini adalah adanya: (1) rasio impor bahan baku susu yang dikaitkan dengan keharusan serap susu segar domestik, atau yang lebih dikenal dengan rasio bukti serap (BUSEP), dan (2) penerapan tarif impor untuk bahan baku susu impor maupun produk susu (susu bubuk, keju dan mentega). Namun, Sejak ditandatanganinya kesepakatan antara Pemerintah RI dengan International Monetery Fund (IMF) pada Januari 1998 tentang penghapusan tataniaga SSDN, maka sejak saat itu sistem rasio BUSEP juga telah dihapus. Ketentuan tersebut menjadikan komoditas susu telah memasuki era pasar bebas meskipun seharusnya baru akan dimulai pada tahun 2003. Hal ini berarti bahwa komoditas susu memasuki pasar bebas


(39)

lebih awal dari kesepakatan waktu yang telah ditetapkan sehingga harus memiliki daya saing kuat untuk mengantisipasi masuknya bahan baku susu impor. Oleh karena itu, harga SSDN yang berlaku harus merupakan harga pasar yang kompetitif, terutama jika dipertimbangkan ancaman dari produsen susu dunia dari negara tetangga seperti Australia dan New Zealand.

Sejak November tahun 2008, untuk mengatasi permasalahan kurangnya

supply susu serta tingginya harga susu di tingkat konsumen, pemerintah melakukan program peningkatan daya saing industri susu di dalam negeri yaitu dengan memberikan insentif fiskal berupa penanggungan bea masuk oleh pemerintah atas impor barang dan bahan olah industri pengolahan susu (Permenkeu No. 145/PMK.011/2008). Namun, hal tersebut juga diperparah dengan dikeluarkannya kebijakan terbaru mengenai penghapusan tarif impor

masuk dari lima persen menjadi nol persen berdasarkan Permenkeu No. 19/PMK.011/2009 pada April dan efektif diberlakukan sejak 1 Juni 2009.

Kondisi ini memberikan implikasi bahwa IPS memiliki pilihan yang kuat dalam menentukan harga kontra karena harga susu impor (bubuk) jauh lebih murah hingga 15 persen dari susu lokal, serta memperburuk kondisi peternak sapi perah, karena mendapatkan harga yang lebih rendah dan posisi tawar yang lemah.

2.3. Struktur Pasar Susu Segar Dalam Negeri Indonesia

Peta perdagangan internasional menyebutkan bahwa Indonesia merupakan

net consumer. Sampai saat ini industri pengolahan susu nasional masih sangat bergantung pada impor bahan baku. Apabila kondisi tersebut tidak dibenahi dengan membangun sebuah sistem agribisnis berbasis peternakan yang baik, maka


(40)

Indonesia akan terus menjadi negara pengimpor hasil ternak khususnya susu sapi (Daryanto, 2009). Permasalahan yang dihadapi oleh usahaternak sapi perah, tidak hanya akibat ketidakmampuan usahaternak untuk memenuhi permintaan dalam negeri. Setidaknya menurut Ilham dan Swastika (2001) konsumsi susu segar masyarakat masih terbatas, sehingga pemasaran susu segar tergantung pada IPS.

Penentuan harga yang dilakukan sepihak oleh IPS. Diperkirakan sekitar 88-91 persen produksi susu usahaternak sapi perah rakyat dipasarkan ke IPS. Harga jual susu tersebut ditentukan berdasarkan syarat teknis atau kualitas susu yang dicerminkan oleh kandungan total solid susu (11-12.5 persen). Fakta dilapangan menyebutkan hal tersebut dilakukan dengan mengukur Berat Jenis (BJ), kandungan lemak susu, dan kandungan bakteri (dibawah satu juta).

Mekanisme penentuan harga dilakukan secara sepihak IPS. Peternak hanya menerima harga yang telah ditentukan oleh IPS, berdasarkan kriteria yang disebutkan diatas. Bahkan koperasi primer maupun GKSI tidak mempunyai kekuatan dalam menentukan harga susu, karena keberadaannya hanya bersifat sebagai perantara yang memperoleh fee untuk tiap liter susu yang di pasarkan ke IPS. Saat ini IPS hanya akan membeli bila harga SSDN lebih murah dari bahan baku impor. Bila terjadi sebaliknya, dengan dicabutnya sistem rasio, diduga IPS akan lebih memilih untuk menggunakan bahan baku asal impor. Hingga saat ini belum ada upaya IPS menjalin kemitraan agar produksi SSDN dapat bersaing dengan produk impor. Hal ini disebabkan masih ada keterkaitan antara IPS sebagai usaha multinasional dengan industri persusuan di masing-masing negara investor/produsen (Ilham dan Swastika, 2001).


(41)

Kondisi tersebut menyebabkan struktur pasar susu segar dalam negeri cenderung mengarah ke oligopsoni. Hal ini dibuktikan bahwa jumlah persahaan yang tergabung dalam IPS terdapat 12 perusahaan. Adapun keduabelas perusahaan tersebut adalah: PT. Nestle Indonesia, PT. Foremost Indonesia, PT. Friesche Vlag Indonesia, PT. Indomlik, PT. Ultra Jaya, PT. Dafa, PT. Sari Husada, PT. Nutricia Indonesia, PT. Pantja Niaga, Ltd, PT. Sugizindo, PT. Mirota, dan PT. Indolakto (Direktorat Jenderal Peternakan, 2009).

Perusahaan-perusahaan tersebut bergabung dalam IPS, dimana fungsi IPS melakukan kordinasi dalam hal penentuan jumlah susu yang akan dibeli dan penentuan harga berdasarkan tingkat kualitas. Fenomena ini mengindikasikan adanya potensi anti persaingan berupa abuse of dominant position dari IPS sekaligus potensi praktek monopsoni yang tidak sehat, (Siregar, 2009). Walaupun pada dasarnya peternak bergabung dalam koperasi dan GKSI (Gabungan Koperasi Susu Indonesia), namun koperasi belum mampu meningkatkan posisi tawar dan mengimbangi IPS. Beberapa alasan yang menyebabkan rendahnya posisi tawar peternak dan koperasi adalah: pertama, terbukanya pasar susu impor yang memberikan alternatif bahan baku susu bagi IPS, sehingga dengan tidak adanya kewajiban untuk membeli susu bagi peternak, IPS akan semakin leluasa untuk memanfaatkan bahan baku impor. Kedua, karakterisktik susu yang merupakan produk agribisnis memiliki ciri perishable, yakni produk yang relatif cepat rusak bila tidak ditangani/diolah lebih lanjut. Ketiadaan unit pengolahaan susu yang memadai yang dimiliki oleh koperasi dan tidak terdapatnya pasar alternatif selain IPS menyebabkan peternak atau koperasi harus menjual susunya kepada IPS. Ketiga, rendahnya pengetahuan dan pemahaman peternak untuk meningkatkan


(42)

kualitas susu yang dihasilkan, agar memperoleh harga yang lebih tinggi berdasarkan yang disyaratkan oleh IPS, terutama dalam proses perawatan sapi perah dan alat yang digunakan. Keterbatasan modal menjadi alasan bagi peternak untuk tetap menggunakan alat-alat sederhana, seperti ember bekas, milk cain

(tempat penampungan susu) yang sudah rusak dan tidak memiliki tutup. Perbaikan sistem budidaya menurut pendapat peternak akan menimbulkan tambahan biaya bagi usahaternak.

2.4. Kebijakan Negara Maju di Bidang Persusuan

Komoditi peternakan khususnya susu merupakan komoditas yang memiliki nilai strategis dan bahkan politis bagi negara produsen susu, seperti New Zeland, Australia, Amerika Serikat, dan Eropa. Berbagai bentuk kebijakan dilakukan oleh pemerintah negara produsen untuk dapat meningkatkan produksi susu dan memasarkannya ke negara lain, khususnya negara berkembang termasuk Indonesia. Subsidi yang diberikan oleh negara maju terhadap peternakan merupakan bukti perlindungan. Pakpahan (2004) dalam Karo-Karo (2007) menyebutkan bahwa setiap sapi di negara-negara produsen mendapat subsidi sebesar US$ 1.00-US$ 2.00 per ekor per hari untuk pakan atau dalam bentuk lainnya. Pemberian subsidi tersebut dilakukan dalam bentuk green box, amber box

(subsidi input dan output), ataupun blue box (bantuan langsung), kebijakan-kebijakan tersebut adalah kebijakan-kebijakan yang ‘disepakati’ di dalam WTO (World Trade Organization). Negara maju memiliki dana untuk ketiga bentuk subsidi tersebut dan dalam pelaksanaannya tetap mengatakan tidak akan mendistorsi pasar. Sedangkan negara berkembang yang hanya memiliki dana dalam bentuk


(43)

subsidi amber box, diprotes negara maju karena menurut mereka akan mendistorsi pasar.

Kondisi tersebut tentunya akan memberikan konsekuensi pengembangan usaha sapi perah di negara masing-masing. Menurut PSE-KP Litbang Departemen Pertanian (2009) menyebutkan terdapat lima perilaku negara maju yang berupaya untuk melindungi produksinya dan mengupayakan komoditasnya masuk ke pasar negara-negara berkembang. Adapun kelima perilaku tersebut adalah: pertama, menekan negara berkembang menurunkan tarif, sementara negara maju melakukan non tarif barrier dengan sanitary phytosanitary (SPS), Non-Trade Concerns (NTCs), lingkungan hidup, dan pandangan masyarakat. Kedua, melakukan lobi dengan pemerintah negara-negara berkembang yang memiliki kemampuan untuk memutuskan agar tercipta kerjasama bilateral untuk menembus pasar negara berkembang. Ketiga, Membagi negara-negara berkembang yang sebelumnya bergabung ke dalam G20 dan G33, sehingga kekuatan negara berkembang akan semakin lemah dan dengan demikian akan semakin mudah untuk menembus pasar negara-negara berkembang yang rendah dari segi produksi susu dan pemenuhan asupan nilai gizi. Keempat, negara-negara maju lebih cenderung untuk menurunkan tarif impor minor dan mempertahankan tarif produk utama. Kelima, negara maju ternyata memanfaatkan Multinational Corporation

(MNC) yang memiliki cabang-cabang di negara berkembang untuk mengakses pasar negara berkembang tersebut.

Kebijakan yang diterapkan oleh negara maju untuk melindungi komoditas susu dan produk turunannya adalah dengan menetapakan tarif bea masuk ataupun non tarif yang berbentuk hambatan teknis. Menurut Litbang Departemen


(44)

Perdagangan (2009) negara-negara maju seperti Canada, Amerika Serikat, dan Australia menerapkan kebijakan untuk memproteksi komoditas susu dan turunan dari serbuan produk sejenis dari negara lain. Faktanya Amerika Serikat menerapkan tarif masuk sebesar 17.50-18.50 persen untuk produk susu dan turunannya, Canada menerapkan tarif bea masuk sebesar tujuh persen, sedangkan negara Australia menetapkan zero tariff untuk komoditas susu, namun menetapkan non tariff barrier dalam bentuk sanitary certificate, dan manufacture certificate.

2.5. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai pengukuran daya saing usaha ternak sapi perah yang diukur atau dilihat dari komoditas yang dihasilkan yakni susu segar masih terbatas dilakukan oleh para akademisi ataupun peneliti. Secara umum penelitian yang dilakukan untuk mengukur daya saing lebih banyak membahas komoditas sapi potong, penggemukan sapi potong dan komoditi di sektor pertanian lainnya. Sedangkan untuk daya saing susu segar sapi perah masih terbatas dilakukan dan dipublikasikan. Namun dari hasil penelusuran literatur dan pustaka yang dilakukan di beberapa tempat (perpustakaan, internet, lembaga penelitian seperti Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian) didapat tiga penelitian yang relevan dan membahas komoditi susu serta mengukur daya saingnya dengan menggunakan alat analisis PAM (Policy Analysis Matrix).

Penelitian yang dilakukan oleh Hutagaol dan Karo-Karo (2008), berjudul ”Analisis Daya Saing Koperasi di Era Globalisasi, Studi Kasus: Pada Koperasi Susu di Jawa Barat”. Penelitian ini menggunakan alat analisis PAM (Policy


(45)

Analysis Matrix) dan formulasi strategi dengan teknik SWOT (Strenghts, Weakness, Oppurtunities and Threats) untuk merumuskan strategi dalam peningkatan daya saing. Berdasarkan penelitian tersebut pengukuran daya saing kelembagaan koperasi yang diukur dari produk susu yang dihasilkan oleh koperasi tersebut. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa koperasi susu memiliki daya saing. Daya saing tersebut ditunjukkan dari keunggulan komparatif dan kompetitif yang dimilikinya. Keunggulan kompetitif ditunjukkan oleh koesifien PCR (Private Cost Ratio) sebesar 0.49 yang memiliki pengertian bahwa untuk mendapatkan nilai tambah output sebesar Rp. 1 pada harga privat diperlukan tambahan biaya faktor domestik sebesar Rp. 0.49, sehingga penggunaan faktor domestik sudah efisien sehingga layak untuk diusahakan. Sedangkan keunggulan komperatif ditunjukkan oleh koefisien nilai DRC (Domestic Resourse Cost) sebesar 0.23 yang berarti untuk memperoleh nilai tambah sebesar Rp. 6 456.51 per liter susu diperlukan tambahan biaya faktor produksi domestik sebesar Rp. 1 396.36 per liter susu, sehingga dapat dikatakan bahwa koperasi susu lebih efisien dalam menghasilkan susu dengan mengunakan sumberdaya domestik. Nilai DRC yang kurang dari satu (<1, semakin kecil) maka usaha produksi sapi perah di koperasi ini efisien secara ekonomi dan memiliki keunggulan komparatif. Penelitian tersebut juga merumuskan tujuh strategi dengan menggunakan teknik SWOT untuk dapat meningkatkan daya saing koperasi susu tersebut, beberapa strategi yang diformulasikan dan direkomendasikan adalah dari penelitian tersebut: (1) pengembangan dan peningkatan bisnis koperasi susu melalui konsep kluster, strategi ini direkomendasikan agar koperasi mampu bersaing dan memiliki posisi tawar


(46)

dengan mitranya (IPS); (2) meningkatkan kegiatan promosi bersama mengenai pentingnya konsumsi susu sehat; dan (3) pemantapan sistem manajemen pemasaran dan produksi susu turunannya untuk dapat memenuhi kebutuhan konsumen lokal.

Penelitian kedua yang menghitung daya saing dan bagaimana dampak kebijakan pemerintah terhadap komoditi susu dilakukan oleh Kuraisin (2006). Penelitian tersebut berjudul ”Analisis Daya Saing dan Dampak Perubahan Kebijakan Pemerintah terhadap Komoditi Susu Sapi (Studi Kasus di Desa Tajurhalang, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor)”. Penelitian tersebut menggunakan alat analisis PAM (Policy Analysis Matrix) dan sensitivitas untuk melihat dampak perubahaan kebijakan komoditi susu pada skala kepemilikan sapi yang berbeda-beda yakni tiga ekor, sama dengan tiga ekor, dan >3 ekor. Hasil penelitian yang diperoleh adalah secara umum komoditi dan pengusahaan sapi perah pada skala yang berbeda di Desa Tajurhalang memiliki keunggulan Daya saing hal ini ditunjukkan oleh nilai PCR dan DCR kurang dari satu (yakni rata-rata 0.70 dan 0.55) sehingga menguntungkan secara ekonomi dan efisien dalam pengusahannya. Penelitian tersebut juga merekomendasikan agar pada tahun 2006, pemerintah harus menetapkan tarif impor susu sebesar 15-20 persen untuk meningkatkan posisi daya saing yang baik dan peternak agar mampu bersaing dengan susu impor dari aspek harga, hal ini diperoleh dari analisis sensitivitas. Analisis sensitivitas gabungan (kenaikan harga input dan penurunan harga output) menunjukkan bahwa usaha ternak sapi perah di Desa Tajurhalang tetap memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif.


(47)

Penelitian ketiga yang dilakukan oleh Ilham dan Swastika pada tahun 2001, melakukan perhitungan dan pengukuran daya saing susu segar dalam negeri pasca krisis ekonomi dan dampak kebijakan pemerintah terhadap usaha peternakan sapi perah di Indonesia. Ilham dan Swastika pada penelitiannya melihat dan mengukur daya saing pada usahaternak di dataran tinggi (Lembang) dan di dataran rendah (Grati, Pasuruan). Hasil analisis daya saing menunjukkan bahwa usaha peternakan sapi perah yang diukur dari produk susu yang dihasilkan cukup efisien, baik di dataran tinggi maupun di dataran tinggi. Hal ini ditunjukkan oleh nilai rasio sumber daya domestik (DRC) selama pasca krisis sebesar 0.57 untuk dataran tinggi dan 0.67 untuk dataran rendah.

Penelitian yang menggunakan PAM sebagai alat analisis di sektor peternakan, yakni komoditi ayam ras yang dilakukan oleh Saptana (1999). Penelitian ini mengemukakan bahwa sistem komoditi ayam ras petelur dan pedaging pada berbagai pola, skala usaha, dan lokasi yang diteliti pada kondisi sebelum terjadi krisis moneter nilai efisien (nilai DRC<1), bahkan setelah krisis moneter lebih efisien.


(48)

3.1. Teori Perdagangan Internasional

Aktivitas atau kegiatan perdagangan yang terjadi antar negara menunjukkan bahwa negara-negara tersebut sudah memiliki sistem perekonomian yang terbuka. Perdagangan ini akibat adanya usaha untuk memaksimumkan kesejahteraan negara dan diharapkan dampak kesejahteraan tersebut akan diterima oleh negara pengekspor dan negara pengimpor. Alasan utama yang menyebabkan negara-negara melakukan perdagangan internasional adalah: (1) adanya perbedaan dalam pemilikan sumberdaya dan cara pengolahannya sehingga negara-negara akan memperoleh keuntungan melalui suatu pengaturan dengan cara yang berbeda secara relatif terhadap perbedaan sumberdaya tersebut, dan (2) negara-negara yang melakukan perdagangan mempunyai tujuan untuk mencapai economic of scale dalam produksi. Artinya, suatu negara akan lebih efisien jika hanya menghasilkan sejumlah barang tertentu tetapi dengan skala yang lebih besar dibandingkan dengan jika memproduksi berbagai jenis barang.

Seluruh alasan yang mendasari terjadinya perdagangan internasional bertitik tolak dari konsep keunggulan komparatif. Suatu negara akan mengekspor komoditi yang produksinya memerlukan faktor produksi yang secara relatif berlimpah, dengan demikian perdagangan mendorong penggunaan sumberdaya ke dalam sektor-sektor yang mempunyai keunggulan komparatif. Banyak ahli berpendapat bahwa ekspor suatu komoditi terjadi karena adanya penawaran domestik yang berlebih (excess supply), yang disebabkan harga relatif domestik di negara pengekspor lebih rendah dibandingkan dengan harga negara lain dan


(49)

sebaliknya suatu negara akan melakukan impor suatu komoditas karena adanya permintaan domestik yang berlebih (excess supply) atau karena suatu negara tidak mampu memenuhi permintaan masyarakat terhadap suatu komoditi tertentu.

Budiono (2001) mengungkapkan ada lima manfaat dibukanya liberalisasi perdagangan atau aktivitas perdagangan internasional. Pertama, akses pasar yang lebih luas sehingga memungkinkan adanya efisiensi yang berasal dari kegiatan produksi berskala besar (ecconomic of scale), dimana liberalisasi perdagangan cenderung menciptakan pusat-pusat produksi baru yang menjadi lokasi berbagai kegiatan industri yang saling terkait dan saling menunjang sehingga biaya produksi dapat diturunkan (economies of agglomeration). Kedua, iklim yang lebih kompetitif sehingga mengurangi kegiatan yang bersifat rent seeking dan mendorong pengusaha untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi, bukan mengharapkan untuk mendapat fasilitas dari pemerintah. Ketiga, arus perdagangan dan investasi yang lebih bebas mempermudah proses alih teknologi yang akan meningkatkan produktivitas dan efisiensi. Keempat, perdagangan yang lebih bebas memberikan signal harga yang ”benar” sehingga meningkatkan efisiensi investasi. Kelima, dalam perdagangan yang lebih bebas kesejahteraan konsumen meningkat karena terbuka pilihan-pilihan baru. Namun untuk dapat berjalan dengan lancar, suatu pasar yang kompetitif perlu dukungan perundang-undangan yang mengatur persaingan yang sehat dan melarang praktek monopoli.

Ekonomi pasar adalah suatu keadaan ekonomi dimana tidak ada campur tangan pemerintah didalamnya, dimana sistem harga terkoordinasi dari kejadian-kejadian yang mungkin timbul (Lipsey, 1985). Perubahan dalam surplus atau kelangkaan akan terefleksi pada perubahan harga dan jumlah. Hal ini merupakan


(50)

isyarat bagi pengambil keputusan (pembeli dan penjual) tentang bagaimana keadaan ekonomi saat itu, sehingga pembeli dan penjual mempunyai kekuatan yang sama dalam menentukan harga dan jumlah yang akan dibeli atau dijual.

Sistem harga yang efisien dalam ekonomi pasar akan menguntungkan masyarakat karena terjadi efisiensi alokasi sumberdaya dan efisiensi produksi. Sistem harga dalam ekonomi pasar akan efisien apabila memenuhi tiga kondisi, yaitu: (1) biaya yang dihadapi oleh perusahaan adalah biaya opportunitas terhadap masyarakat dari sumberdaya yang diperlukan untuk menghasilkan suatu komoditas, (2) harga penjualan output perusahaan sama dengan biaya marjinal, dan (3) masuk dan keluarnya perusahaan baru memaksa harga yang terjadi berada pada tingkat yang paling rendah dari biaya total rata-rata (Lipsey, 1985).

Namun pada kenyataannya, sistem harga tidak pasti memberikan keuntungan pada para pelakunya, walaupun secara otomatis mampu mengkoordinasikan jawaban terhadap isyarat pasar akan tetapi hal ini tidak berfungsi sempurna. Kegagalan pasar sering disebabkan oleh adanya campur tangan pemerintah sehingga pasar menjadi tidak efisien.

3.2. Teori Ekonomi Geografi

Jika perdagangan internasional berbicara mengenai transaksi perdagangan antar negara. Geografi ekonomi lebih berfokus pada arus migrasi individu atau perusahaan yang melampaui batas-batas geografis.

Menurut Handerson (2008) bahwa analisis Krugman berfokus pada dampak skala ekonomi terhadap sektor perdagangan dan lokasi bisnis. Menurut Krugman, pasar tidak akan berkompetisi secara sempurna seperti yang dinyatakan


(51)

oleh para pencipta teori perdagangan internasional terdahulu. Krugman memaparkan dengan jelas mengapa negara-negara tidak sama seperti perusahaan. Sehingga tidak harus kompetitif secara ekonomi. Selama produktivitas tenaga kerja meningkat, standar kehidupan akan meningkat. Penjelasan yang dipaparkan oleh Krugman adalah berdasarkan skala ekonomi.

Adapun dasar penemuan Krugman adalah adanya skala ekonomis. Produsen memiliki insentif untuk mengkonsentrasikan produksi barang dan jasa pada lokasi yang jumlahnya terbatas. Karena adanya biaya transaksi antar wilayah, lokasi yang dipilih untuk masing-masing produsen adalah daerah dengan permintaan yang tinggi atau daerah yang dekat dengan input-input utama yang secara umum dipilih oleh produsen.

Bagi Krugman, teori comparative advantage yang diciptakan oleh David Ricardo pada abad ke-19, tidak lagi dapat menjawab fenomena perdagangan internasional pada saat ini. Ricardo yang menyempurnakan teori absolute advantage Adam Smith, menyatakan bahwa tiap negara perlu mencari spesialisasi produksinya agar proses ‘barter’ terjadi dan pendapatan negara meningkat. Lebih lanjut Krugman mengungkapkan bahwa dalam faktanya perdagangan dunia abad 20 dan 21 didominasi hanya oleh segelintir negara yang ternyata memperdagangkan produk yang sama.

Menurut Krugman (2002) ketidakseimbangan suatu distribusi aktifitas industri merupakan proses alami pasar di bawah penghematan aglomerasi usaha. Sejalan dengan itu, Porter (1990) mempromosikan pentingnya kluster industri dalam menggerakan competitive advantages perusahaan pada suatu wilayah (McCan dan Mudambi, 2004). Pernyataan Porter mendukung argumentasi


(52)

Richardson (1978) yang mengatakan bahwa the spatial concentration of economic activity is more efficient and more conducive than dispersal (Porter, 2008). Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Bank Dunia bahwa pemerataan kegiatan ekonomi di semua daerah atau lokasi justru menghambat upaya mengurangi kemiskinan.

Krugman dan Venables (1996) mengindikasikan adanya kekuatan sentripetal yang mendorong konsentrasi kegiatan ekonomi dan sebaliknya ada kekuatan sentrifugal lebih besar yang dapat membuyarkannya. Menurut Kuncoro (2002) Krugman telah memberikan beberapa kontribusi penting, yakni: pertama, Krugman mengaitkan persamaan internal dan aglomerasi industri dalam skala regional dengan perdagangan yang mengkombinasikan model persaingan tidak sempurna dan skala ekonomi yang ditawarkan teori perdagangan baru dan teori lokasi (tradisional) yang mengungkap pentingnya biaya transportasi, kedua, disadari bahwa perbangunan ekonomi regional merupakan proses historis ( path-dependent process), dan ketiga, kejutan (shock) pada suatu daerah dapat menimbulkan konsekuensi pertumbuhan jangka panjang.

Kuncoro (2002) mendefinisikan aglomerasi sebagai konsentrasi spasial dari aktifitas ekonomi di kawasan perkotaan karena penghematan akibat lokasi yang berdekatan (economies of proximity) yang diasosiasikan dengan kluster spasial dari perusahaan, pakerja, dan konsumen. Maka dapat dikatakan bahwa aglomerasi merupakan pola pengelompokan industri atau sektor usaha dalam suatu wilayah atau kawasan tertentu.

Terdapat dua macam aglomerasi yaitu aglomerasi produksi dan aglomerasi pemasaran (Kuncoro, 2002). Aglomerasi produksi bilamana tiap perusahaan yang


(53)

mengelompok/kluster atau beraglomerasi mengalami eksternalitas positif di bidang produksi, artinya biaya produksi perusahaan berkurang pada waktu produksi perusahaan lain bertambah. Menurut Krugman (2002) hal itu dapat terjadi karena adanya skala ekonomis.

3.3. Analisis Dampak Kebijakan

Kebijakan pemerintah ditetapkan dengan tujuan untuk meningkatkan ekspor ataupun sebagai usaha untuk melindungi produk dalam negeri agar dapat bersaing dengan produk luar negeri. Kebijakan tersebut biasanya diberlakukan untuk input ataupun output yang menyebabkan terjadinya perbedaan harga input dan harga output yang diminta produsen (harga privat) dengan harga yang sebenarnya terjadi jika dalam kondisi perdagangan bebas (harga sosial). Kebijakan yang ditetapkan pemerintah pada suatu komoditas ada dua bentuk berupa subsidi dan hambatan perdagangan. Kebijakan subsidi terdiri dari subsidi positif dan subsidi negatif (pajak), sedangkan hambatan perdagangan berupa tarif dan kuota.

Menurut Salvator (1994) subsidi adalah pembayaran dari atau untuk pemerintah. Pembayaran dari pemerintah disebut subsidi positif dan pembayaran untuk pemerintah disebut subsidi negatif (pajak). Subsidi bertujuan untuk melindungi konsumen atau produsen dengan menciptakan harga domestik agar berbeda dengan harga internasional. Kebijakan perdagangan adalah pembatasan yang diterapkan pada impor atau ekspor suatu komoditi berupa pajak dan kuota dengan maksud untuk menurunkan kuantitas barang yang diperdagangkan secara internasional (tradable) dan untuk menciptakan perbedaan harga. Kebijakan


(54)

perdagangan terdiri dua, yaitu kebijakan ekspor dan kebijakan impor. Kebijakan ekspor ditujukan untuk melindungi konsumen dalam negeri melalui penetapan harga domestik yang lebih rendah dari harga dunia yaitu dengan penggunaan pajak ekspor baik per-unit barang yang diekspor maupun secara keseluruhan. Kebijakan impor dilakukan untuk melindungi produsen dalam negeri melalui penetapan harga pasar domestik yang lebih rendah dari harga pasar dunia, sehingga kebijakan yang dilakukan adalah berupa pengenaan tarif impor atau kuota impor.

Terdapat dua bentuk kebijakan pemerintah yang dapat ditetapkan pada suatu komoditas, yaitu kebijakan subsidi dan kebijakan perdagangan. Monke dan Pearson (1989) menjelaskan pengaruh intervensi pemerintah pada harga komoditi yang membagi ke dalam delapan tipe kebijakan subsidi dan dua tipe kebijakan perdagangan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Klasifikasi Kebijakan Pemerintah terhadap Harga Komoditi

Instrumen Dampak Pada Produsen Dampak Pada Konsumen

Kebijakan Subsidi

1. Tidak merubah harga pasar dalam negeri 2. Merubah harga pasar

dalam negeri

Subsidi Pada Produsen 1. Pada barang-barang

substitusi impor (S+PI; S-PI)

2. Pada barang-barang orientasi ekspor (S+PE; S-PE)

Subsidi Pada Konsumen 1. Pada barang-barang

substitusi impor (S+CI; S-CI)

2. Pada barang-barang orientasi ekspor (S+CE; S-CE)

Kebijakan Perdagangan (merubah harga pasar dalam negeri)

Hambatan pada barang impor (TPI)

Hambatan pada barang ekspor (TCE)

Sumber : Monke dan Pearson, 1989

Keterangan :

S+ : Subsidi CE : Konsumen Barang Orientasi Ekspor S- : Pajak CI : Konsumen Barang Substitusi Impor PE : Produsen Barang Orientasi Ekspor TCE : Hambatan Barang Ekspor PI : Produsen Barang Substitusi Impor TPI : Hambatan Barang Impor


(1)

Lembang), 0.94 (Kec. Pangalengan), dan 0.89 (Kec. Cikajang) yang menunjukkan masing-masing peternak hanya mengeluarkan tambahan biaya kurang dari satu untuk dapat bersaing dengan produk sejenis. Nilai indikator keunggulan komparatif dapat dilihat dari nilai DRC<1. Nilai DRC untuk Kec. Lembang sebesar 0.63, Kec. Pangalengan sebesar 0.75, dan 0.58 untuk Kec. Cikajang. Indikator DRC ini menunjukkan bahwa produk susu sapi segar akan lebih menguntungkan diproduksi di sentra produksi susu Provinsi Jawa Barat daripada harus mengimpornya.

Analisis dampak kebijakan dalam Tabel PAM ditunjukkan oleh hasil pengusahan susu sapi perah di ketiga lokasi penelitian yakni nilai OT bernilai negatif atau mengalami kerugian di Kec. Lembang (Rp. 622.80), Kec. Pangalengan (Rp. 610.75), dan Kec. Cikajang (Rp. 944.48) untuk setiap liter susu yang dihasilkan. Hasil ini menujukkan harga domestik susu lebih rendah dari harga internasionalnya, yang mengindikasikan adanya disinsentif terhadap output susu. Hasil IT usahaternak sapi perah menunjukkan nilai yang positif sebesar Rp. 91.30 (Kec. Lembang), Rp. 105.80 (Kec. Pangalengan), dan Rp. 27.79 per liter susu (Kec. Garut), dan nilai NPCI untuk ketiga lokasi yang lebih besar dari satu, hal ini mengkondisikan bahwa peternak yang menggunakan input tersebut mengalami kerugian, karena menanggung biaya input yang lebih mahal. Hasil analisis dampak kebijakan pemerintah terhadap input-output menunjukkan bahwa berdasarkan nilai Transfer bersih (TB), menunjukkan nilai yang negatif untuk ketiga lokasi penelitian yang berada pada kisaran negatif Rp. 741.80-Rp. 1 236.57 per liter susu, indikator ini memberikan informasi kebijakan yang diterapkan pemerintah memberikan kerugian bagi pengusahaan susu sapi perah. Sedangkan nilai koefisien proteksi efektif (EPC) sebesar 0.80 (Kec. Lembang dan Kec. Pangalengan), dan sebesar 0.74 (Kec. Cikajang) adanya kebijakan pemerintah tidak berdampak positif dan tidak memberikan insentif kepada peternak sapi perah karena nilai tambah keuntungan peternak menjadi lebih rendah dari yang seharusnya, karena peternak akan mengeluarkan dana ke konsumen (IPS) sebesar 80 persen dan 74 persen.

Berdasarkan analisis sensitivitas yang dilakukan, asumsi skenario yang digunakan yakni perubahan harga susu akibat penurunan tarif impor dan kenaikan harga pakan ternak secara umum pengusahaan susu sapi perah ternyata akan menurunkan daya saing pengusahan sapi perah di Provinsi Jawa Barat. Sehingga demikian untuk tetap memberikan keuntungan dan insentif bagi peternak sebaiknya pemerintah mengambil kebijakan untuk menetapkan tarif impor susu lebih besar dari lima persen (kondisi sekarang), yakni 15 persen. Penetapan subsidi pada input usahaternak, terutama pakan dan obat-obatan; (1) penetapan kembali BUSEP (Bukti Serap), dimana IPS memiliki kewajiban membeli dengan proporsi jumlah impor susu yang adil; (2) pengurangan atau penghapusan pajak dan biaya lainnya yang tidak terkait dengan pengusahaan susu segar sapi perah sehingga ekonomi biaya tinggi dapat dihilangkan; dan (3) memfasilitasi penelitian dan penyediaan teknologi yang mampu meningkatkan kualitas susu segar serta mampu melakukan pengolahan susu menjadi produk turunan yang memberikan nilai tambah bagi peternak.


(2)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2010 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(3)

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN

PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS

SUSU SAPI LOKAL DI JAWA BARAT

FERYANTO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(4)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Heny K. Daryanto, M.Ec (Dosen Departemen Agribisnis,

Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor)

Penguji Wakil Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian dan Pimpinan Sidang: Dr. Ir. Ratna Winandi, MS

(Dosen Departemen Agribisnis,


(5)

Judul : Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Komoditas Susu Sapi Lokal di Jawa Barat Nama Mahasiswa : Feryanto

Nomor Pokok : H353070111

Mayor : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing

Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, MS Dr. Ir. Nunung Nuryartono, MS Ketua Anggota

Mengetahui,

2. Kordinator Mayor 3. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Ekonomi Pertanian

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS


(6)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan karena atas berkat rahmat dan karunia Allah SWT, penulis dapat menyelesaikan penelitian dengan judul “Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Komoditas Susu Sapi Lokal di Jawa Barat”. Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat daya saing pengusahaan susu sapi segar yang dijalankan oleh peternak di lokasi sentra pengusahaan susu segar di Provinsi Jawa Barat, serta melihat dampak kebijakan pemerintah terhadap pengembangan komoditi susu sapi perah khususnya di Provinsi Jawa Barat.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya terutama kepada Komisi Pembimbing Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, MS (ketua) dan Dr. Ir. Nunung Nuryartono, MS (anggota) yang telah membimbing, mengarahkan dan memberikan masukan dalam proses penelitian dan pelaksanaan penulisan tesis ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada:

1. Dirjen Dikti-Depdiknas, Rektor IPB, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Dekan FEM IPB, Ketua, dan Sekretaris Departemen Agribisnis FEM IPB yang telah memberikan kesempatan bagi penulis mendapatkan beasiswa (BPPS) untuk mengikuti Program Magister di Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian IPB.

2. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA. selaku Ketua Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian dan seluruh staf pengajar yang telah memberikan bimbingan dan proses pembelajaran selama penulis kuliah di Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian. 3. Dr. Ir. Heny K. Daryanto, M. Ec selaku Penguji Luar Komisi dan Dr. Ir. Ratna