Formulasi, Enkapsulasi Dan Karakterisasi Nanoemulsi Ekstrak Kurkuminoid Berbasis Medium Chain Triglycerides (Mct)
FORMULASI, ENKAPSULASI DAN KARAKTERISASI
NANOEMULSI EKSTRAK KURKUMINOID BERBASIS
MEDIUM CHAIN TRIGLYCERIDES (MCT)
ANIS WAMTAZUL LIANA
DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Formulasi, Enkapsulasi
dan Karakterisasi Nanoemulsi Ekstrak Kurkuminoid Berbasis Medium Chain
Triglycerides (MCT) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2016
Anis Wamtazul Liana
NIM G84120072
ABSTRAK
ANIS WAMTAZUL LIANA. Formulasi, Enkapsulasi dan Karakterisasi
Nanoemulsi Ekstrak Kurkuminoid Berbasis Medium Chain Triglycerides (MCT).
Dibimbing oleh LAKSMI AMBARSARI dan SRI YULIANI.
Kurkuminoid merupakan sub-kelompok senyawa fenolik pada rimpang
famili Zingiberaceae yang terbukti memiliki banyak aktivitas farmakologis, tetapi
bioavabilitasnya rendah. Tujuan dari penelitian ini yaitu membuat nanoemulsi
sebagai sistem penghantaran ekstrak kurkuminoid dengan metode emulsion
inversion point yang berbasis Medium Chain Triglycerides (MCT),
memformulasikan kadar Tween 80 selaku pengemulsi sehingga diperoleh
nanoemulsi terbaik berdasarkan ukuran partikel, Indeks Polidispersitas (IP) dan
potensial zeta serta melakukan enkapsulasi terhadap nanoemulsi terbaik
menggunakan maltodekstrin dengan metode spray dry. Berdasarkan hasil
penelitian, formula A dengan kadar pengemulsi 50% memiliki ukuran partikel
234.2 nm, IP 0.2315 dan potensial zeta -37.9 dan dipilih sebagai formula terbaik
untuk dienkapsulasi. Spray drying menghasilkan serbuk halus, tidak berbau
dengan rendemen 47.19%. Serbuk enkapsulat memiliki karakteristik warna Yellow
Red (YR) dengan nilai CIE L, a*, b* berturut-turut 67.33, +3.93, +73.94, kadar air
6.75%, aktivitas air (aw) 0.407 dan retensi minyak 88.6%. Morfologi permukaan
kapsul berbentuk bulat seperti bola dengan permukaan yang halus dan ukuran
bervariasi.
Kata kunci: enkapsulasi, kering hambur, kurkuminoid, MCT, nanoemulsi
ABSTRACT
ANIS WAMTAZUL LIANA. Formulation, Encapsulation and Characterization of
Medium Chain Triglycerides (MCT) Based Curcuminoid Extract Nanoemulsion.
Supervised by LAKSMI AMBARSARI and SRI YULIANI.
Curcuminoid is a group of phenolic compound from Zingiberaceae family
which has been proven with a lot of pharmacological activities but low of
bioavaibility. The aims of this research are to create nanoemulsion as curcuminoid
extract carrier system with emulsion inversion point method which based on
Medium Chain Tryglicerides (MCT), to formulate Tween 80 concentration as
emulsifier to get the best nanoemulsion based on its particle size, Poly-Dispersion
Index (PDI) and zeta potential and to encapsulate it with maltodextin by spray dry
method. Formula A with 50% emulsifier has particle size of 234.2 nm, PDI value
of 0.2315 and zeta potential of -37.9 and was chosen as the best formula for
encapsulation. Spray drying resulted soft, odorless powder with encapsulation
yield of 47.19%. The powder has Yellow Red (YR) colour with CIE L, a*, b*
value in order are 67.33, +3.93, +73.94. The powder contains 6.75% water with
water activity (aw) of 0.407 and oil retention of 88.6%. Morphological surface of
the capsule showed oval-ball like shapes with soft surface and in various sizes.
Keywords: encapsulation, curcuminoid, MCT, nanoemulsion, spray dry
FORMULASI, ENKAPSULASI DAN KARAKTERISASI
NANOEMULSI EKSTRAK KURKUMINOID BERBASIS
MEDIUM CHAIN TRIGLYCERIDES (MCT)
ANIS WAMTAZUL LIANA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Biokimia
DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Judul Skripsi : Formulasi, Enkapsulasi dan Karakterisasi Nanoemulsi Ekstrak
Kurkuminoid Berbasis Medium Chain Triglycerides (MCT)
Nama
: Anis Wamtazul Liana
NIM
: G84120072
Disetujui oleh
Dr Laksmi Ambarsari, MS
Pembimbing I
Dr Sri Yuliani, MT
Pembimbing II
Diketahui oleh
Dr Ir I Made Artika, MAppSc.
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena atas berkat rahmat dan karuniaNya, penelitian dan penyusunan karya ilmiah dengan judul “Formulasi,
Enkapsulasi dan Karakterisasi Nanoemulsi Ekstrak Kurkuminoid Berbasis Medium
Chain Triglycerides (MCT)” dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktu
yang telah direncanakan. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret hingga Juli
2016 di Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka IPB. Penulisan karya ilmiah ini
merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains dari
Departemen Biokimia.
Terimakasih penulis sampaikan kepada Dr Laksmi Ambarsari, MS selaku
dosen pembimbing I dan Dr Sri Yuliani, MT selaku pembimbing II atas segala
bimbingan dan arahan baik yang bersifat teori maupun praktik. Ungkapan terima
kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta keluarga atas segala doa dan restu
yang diberikan. Tidak lupa terima kasih disampaikan kepada keluarga besar Pusat
Studi Biofarmaka dan rekan mahasiswa Biokimia angkatan 49 yang senantiasa
memberikan dukungan kepada penulis.
Penulis sadar bahwa tulisan dalam karya ilmiah ini kemungkinan masih
belum sempurna. Oleh karena itu saran maupun kritik yang bersifat membangun
penulis harapkan dari semua pihak. Karya ilmiah ini diharapkan memberi manfaat
dan dapat dijadikan acuan dalam penelitian lebih lanjut.
Bogor, Agustus 2016
Anis Wamtazul Liana
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Alat
Bahan
Prosedur Penelitian
HASIL
Kadar Air dan Rendemen Ekstrak Temulawak
Kadar Kurkuminoid Ekstrak Temulawak
Ukuran, Distribusi dan Potensial Zeta Nanoemulsi
Enkapsulasi Nanoemulsi Ekstrak Kurkuminoid
Karakterisasi Serbuk Enkapsulat Nanoekstrak Kurkuminid
PEMBAHASAN
Kadar Air dan Rendemen Ekstrak Temulawak
Kadar Kurkuminoid Ekstrak Temulawak
Ukuran, Distribusi dan Potensial Zeta Nanoemulsi
Enkapsulasi Nanoemulsi Ekstrak Kurkuminoid
Karakterisasi Serbuk Enkapsulat Nanoekstrak Kurkuminoid
SIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
vi
vi
vi
1
2
2
2
2
3
5
5
6
6
7
7
9
9
10
10
13
14
17
18
22
31
DAFTAR TABEL
1 Pengukuran kadar air dan rendemen ekstrak temulawak
2 Ukuran partikel, Indeks Polidispersitas (IP) dan potensial zeta
3 Karakteristik serbuk enkapsulat nanoekstrak kurkuminoid
6
7
8
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
Kadar kurkuminoid ekstrak etanol temulawak
Nanoemulsi setelah penyimpanan minggu ke-3
Serbuk enkapsulat nanoekstrak kurkuminoid
Morfologi permukaan serbuk enkapsulat hasil analisis SEM
Skema metode fase inversi
6
7
7
8
12
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Bagan alir penelitian
Bobot penimbangan simplisia dalam analisis kadar air
Perhitungan rendemen ekstraksi
Kadar kurkuminoid ekstrak temulawak
Hasil uji PSA nanoemulsi ekstrak kurkuminoid
Potensial zeta nanoemulsi ekstrak kurkuminoid
Hasil uji kromameter
Bobot penimbangan serbuk dalam analisis kadar air
Hasil uji water activity meter
Perhitungan kadar minyak total dan retensi minyak
Perhitungan kadar minyak permukaan
Hasil SEM permukaan kapsul dalam berbagai perbesaran
23
24
24
25
26
27
28
28
28
29
29
30
PENDAHULUAN
Kurkuminoid merupakan sub-kelompok senyawa fenolik sebagai hasil
metabolisme sekunder dari rimpang famili Zingiberaceae. Berdasarkan penelitian
sebelumnya, kurkuminoid diketahui memiliki beberapa aktivitas farmakologis
seperti antiinflamasi, antioksidan, antikolestrol, antibakteri (Krup et al. 2013),
penyembuhan luka, antijamur, kemosensitisasi, radiosensitisasi, antikanker,
imunomodulator dan antihepatotoksik (Narlawar et al. 2008). Pemanfaatan
kurkuminoid dalam bidang farmasi oleh karena itu sangat luas baik secara
tradisional seperti pada jamu herbal maupun secara modern seperti obat-obatan
berbentuk sediaan ekstrak.
Ekstrak kurkuminoid memiliki banyak fungsi biologis, akan tetapi
bioavabilitas kurkuminoid di dalam tubuh tikus dan manusia berdasarkan
penelitian Chirio et al. (2011) tergolong rendah. Hal ini dapat diatasi dengan
penggunaan sistem koloid pembawa. Sistem koloid pembawa atau sistem
penghantar untuk kurkuminoid dapat berupa nanopartikel, kompleks fosfolipid,
kompleks polisakarida ataupun nanoemulsi dengan sistem berbasis lemak
(Solanki 2012). Berdasarkan penelitian Huda (2012), nanokurkumin tersalut
Virgin Coconut Oil (VCO) dengan Na-kaseinat sebagai emulgator menghasilkan
efisiensi penjerapan sebesar 43.54% dengan aktivitas disolusi yang meningkat.
Penggunaan sistem koloid pembawa untuk penghantaran obat dapat meningkatkan
stabilitas kurkuminoid serta efektivitas kurkuminoid mencapai sel target.
Sektor pembuatan obat herbal akhir-akhir ini semakin berkembang menuju
produksi sediaan ekstrak yang terstandardisasi atau sediaan ekstrak kering.
Produksi ekstrak kering yang terstandar oleh karena itu semakin berkembang dan
cenderung menggantikan sediaan tradisional dalam bentuk cair. Kecenderungan
ini diantaranya disebabkan oleh beberapa kelebihan sediaan ekstrak kering
(serbuk) dibandingkan dengan sediaan cair, yaitu konsentrasi yang lebih besar,
stabil dan mudah untuk dilakukan standardisasi terhadap senyawa bioaktif dalam
ekstrak, volume dan bobot yang lebih rendah sehingga memudahkan transportasi
dan penyimpanan serta kemungkinan kontaminasi mikroba yang sangat rendah
selama masa penyimpanan akibat aktivitas air yang rendah, sehingga sediaan
ekstrak kering jauh lebih mudah beradaptasi terhadap kebutuhan farmasi modern
(Oliveira et al. 2010).
Pembuatan sediaan ekstrak kering kurkuminoid dapat dilakukan dengan
berbagai macam teknologi kombinasi enkapsulasi dan pengeringan. Metode yang
umum digunakan yaitu kering hambur (spray dry) dan kering beku (freeze dry)
seperti pada penelitian Ekaputra (2013). Energi yang dibutuhkan dari masingmasing metode menjadi dasar pertimbangan metode spray dry lebih dipilih untuk
skala industri karena energi untuk operasionalnya jauh lebih rendah dibandingkan
metode freeze dry (Sadikoglu 2010). Formulasi sistem penghantaran kurkumin
dengan Solid Lipid Nanoparticle (SLN) pada penelitian Ekaputra (2013) tidak
memungkinkan untuk dienkapsulasi dengan metode spray dry, karena lemak
penyalut dapat rusak akibat suhu tinggi sehingga tidak terbentuk serbuk.
Berdasarkan hal tersebut, pada penelitian ini akan dilakukan formulasi
dengan sistem penghantaran yang berbeda, yaitu sistem nanoemulsi yang berbasis
Medium Chain Triglycerides (MCT). Sistem penghantaran obat ini telah banyak
2
diteliti dan terbukti efektif untuk beberapa senyawa bioaktif seperti oleoresin jahe
(Yuliani et al. 2007); kurkumin (Ahmed et al. 2012), akan tetapi belum banyak
diaplikasikan pada kurkuminoid. Nanoemulsi ekstrak kurkuminoid dengan MCT
ini diharapkan dapat meningkatkan efektivitas penyampaian kurkuminoid pada sel
target, serta dapat dienkapsulasi dengan metode spray dry untuk memperlambat
laju pelepasan kurkuminoid dan meningkatkan stabilitas selama penyimpanan.
Cakupan tujuan dari penelitian ini yaitu membuat nanoemulsi ekstrak
kurkuminoid temulawak dengan variasi persen Tween 80 sebagai pengemulsi
menggunakan metode Emulsion Inversion Point (EIP). Formula nanoemulsi
dengan karakteristik ukuran partikel, indeks polidispersitas dan potensial zeta
terbaik kemudian diperbanyak untuk dienkapsulasi dengan metode spray dry.
Serbuk enkapsulat kemudian dikarakterisasi dengan analisis rendemen, warna
serbuk, kadar air, aktivitas air, kadar minyak total, kadar minyak permukaan,
retensi minyak dan morfologi permukaan menggunakan Scanning Electron
Microscope (SEM).
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian berlangsung selama lima bulan, yakni pada bulan Maret sampai
dengan bulan Juli 2016. Keseluruhan alur tahapan penelitian terlampir pada bagan
alir penelitian (Lampiran 1). Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penelitian
Pusat Studi Biofarmaka IPB, yang beralamat di Jl. Taman Kencana Kampus IPB
Taman Kencana No.3, Babakan, Bogor Tengah, Kota Bogor, Jawa Barat,
Indonesia.
Alat
Peralatan yang digunakan untuk formulasi nanoemulsi yaitu pengaduk
magnetik, Particle Size Analizer (Malvern) dan zetasizer (Malvern). Peralatan
untuk enkapsulasi yaitu Spray Dryer (BUCHI-B190), sedangkan untuk
karakterisasi yaitu Aw-meter (HYGROLAB), Kromameter (KONICA MINOLTA
CR-310) dan Scanning Electron Microscope (SEM). Peralatan pendukung yang
digunakan diantaranya penguap putar, HPLC dan oven.
Bahan
Bahan utama yang digunakan adalah simplisia temulawak (Curcuma
xanthorriza Roxb.) dari Pusat Studi Biofarmaka IPB. Bahan lain yang digunakan
untuk percobaan pendahuluan yaitu etanol teknis 96%, metanol pro-analisis, nheksana, kertas saring, asetonitril, asam asetat 2%, alumunium foil dan akuades.
Medium Chain Triglycerides (MCT) Merck (DE), maltodekstrin dan Tween 80
Merck (DE) juga digunakan sebagai bahan utama pada saat formulasi dan
enkapsulasi.
3
Prosedur Penelitian
Penentuan Kadar Air Simplisia (AOAC 2005)
Cawan porselin kosong yang telah bersih dikeringkan di dalam oven pada
suhu 105ºC selama 30 menit. Cawan tersebut kemudian didinginkan di dalam
eksikator dan ditimbang sebagai bobot cawan kosong (A). Sebanyak 3 g serbuk
simplisia temulawak ditimbang dan dimasukkan ke dalam cawan lalu ditimbang
(B), kemudian dikeringkan pada suhu 105ºC hingga mencapai bobot konstan di
dalam oven. Cawan yang berisi simplisia hasil pemanasan setelah itu didinginkan
dalam eksikator dan ditimbang kembali (C). Penentuan kadar air sampel
dilakukan sebanyak tiga kali ulangan.
Kadar Air (%) =
-
- -
x 100 %
Ekstraksi Kurkuminoid dari Simplisia Temulawak (Sutrisno et al. 2008)
Simplisia rimpang temulawak kering yang didapatkan dari laboratorium
Pusat Studi Biofarmaka IPB ditimbang sebanyak 250 g dan diekstraksi secara
maserasi dengan etanol 96% selama 24 jam dengan perbandingan 1:10. Ekstrak
disaring dan filtratnya dikumpulkan dalam labu ekstraksi. Ekstrak etanol hasil
maserasi diekstraksi cair-cair dengan n-heksana (1:1). Fraksi etanol kemudian
dipekatkan dengan penguap putar. Ekstrak etanol yang diperoleh dihitung nilai
rendemennya.
Analisis Kurkuminoid dengan HPLC (Modifikasi Hastati et al. 2015)
Sebanyak 0.05 g sampel ditimbang dan dilarutkan dengan metanol di dalam
labu ukur 50 mL hingga garis tera. Larutan kemudian diencerkan dengan faktor
pengenceran 50 x. Larutan disaring dengan kertas saring whatman berukuran 0.45
μm, kemudian disonikasi selama 30 menit dan dimasukkan ke dalam vial HPLC.
Sebanyak 20 μL diinjeksikan ke dalam kolom HPLC. Standar kurkuminoid dibuat
dengan konsentrasi 0.5 ppm. Fase diam yang digunakan adalah senyawa C18,
sedangkan fase geraknya adalah asetonitril dan asam asetat 2%. Panjang diameter
kolom 25 x 4.6 mm, laju alir 1 mL/menit, panjang gelombang 425 nm, dan
menggunakan detektor UV. Kadar kurkuminoid dihitung dengan rumus:
Kadar Kurkuminoid (mg/g) =
Pembuatan Nanoemulsi Kurkuminoid (Huda 2012, Ostertag et al. 2012)
Komposisi nanoemulsi ekstrak kurkuminoid pada penelitian ini merupakan
modifikasi komposisi dari penelitian Huda (2012) dengan optimasi komposisi
Tween 80 selaku pengemulsi. Komposisi formula yang digunakan untuk
keseluruhan proses enkapsulasi yaitu ekstrak kurkuminoid: MCT: akuades = 1%:
10%: 72%. Tween 80 yang ditambahkan untuk formula A yaitu 50% dari fase
total organik (ekstrak kurkuminoid + MCT), untuk formula B yaitu 75% dari fase
total organik dan untuk formula B yaitu 100% dari total fase organik. Masingmasing formula dilakukan tiga kali pengulangan (triplo). Proses pembuatan
nanoemulsi ekstrak kurkuminoid dalam penelitian ini mengacu pada Ostertag et al.
(2012) dengan teknik energi rendah, metode Emulsion Inversion Point (EIP).
4
Pembuatan nanoemulsi kurkuminoid untuk optimasi pengemulsi dilakukan
dengan basis total 20 g di dalam gelas piala 50 ml. Proses diawali dengan
melarutkan 0.2 g ekstrak kurkuminoid ke dalam 2 g MCT. Setelah ekstrak larut,
kemudian Tween 80 ditambahkan sesuai dengan persentase masing-masing
formula dan dihomogenasi dengan pengaduk magnetik selama 30 menit. Setelah
menit ke-30, 14.4 g akuades ditambahkan pada larutan dengan kecepatan
penetesan 4 ml/menit. Selama penambahan akuades, homogenasi tetap
dilangsungkan dan dilanjutkan hingga 60 menit. Nanoemulsi kemudian
dipindahkan dalam tabung kaca dan dianalisis lebih lanjut.
Analisis Potensial Zeta dan Ukuran Partikel Nanoemulsi (Huda 2012)
Nilai potensial zeta dan ukuran partikel nanoemulsi dianalisis dengan
menggunakan alat Particle Size Analyzer (PSA) merk Malvern. Dua tetes sampel
nanoemulsi dilarutkan kedalam 20 ml akuades di dalam gelas piala. Sejumlah
cairan kemudian dimasukkan ke dalam kuvet dan diletakkan ke dalam slot PSA
dan dioperasikan. Nilai potensial zeta kemudian diukur dengan Zetasizer. Dari
analisis PSA didapatkan data rata-rata ukuran partikel dan juga distribusi ukuran
partikel yang dinyatakan dalam Indeks Polidispersitas (IP).
Enkapsulasi dengan Spray Drying (Modifikasi Huda 2012)
Nanoemulsi ekstrak kurkuminoid dengan karakteristik ukuran partikel,
indeks polidispersitas dan potensial zeta yang terbaik diperbanyak dan
dienkapsulasi menggunakan metode spray dry. Basis total 600 gram nanoemulsi
ditambahkan dengan 30% maltodekstrin dan dihomogenasi. Campuran kemudian
dikeringhamburkan dengan suhu inlet 160oC dan laju alir 20 ml/menit. Serbuk
enkapsulat kemudian ditampung dalam tabung melalui siklon satu dan siklon dua
kemudian ditimbang untuk penghitungan rendemen proses enkapsulasi. Serbuk
disimpan dalam botol kaca yang dilapis alumunium foil supaya kedap cahaya
untuk analisis lebih lanjut.
Penentuan Warna Enkapsulat (KONICA MINOLTA 2013)
Pengukuran warna serbuk enkapsulat dilakukan dengan sistem notasi
warna HunterLab. Sampel diletakkan pada wadah sampel kromameter yang
terlebih dulu telah dikalibrasi dengan standar putih pada alat, kemudian diukur.
Hasil pengukuran dikonversikan ke dalam nilai Lightness (L), warna kromatik
campuran merah-hijau (a*) dan warna kromatik campuran biru-kuning (b*).
Kadar Air dan Aktivitas Air (aw) Enkapsulat
Penentuan kadar air serbuk enkapsulat sama dengan metode penentuan
kadar air simplisia (AOAC 2005). Aktivitas air (aw) diukur menggunakan water
activity meter (HYGROLAB). Sampel dimasukkan dalam wadah sampel,
kemudian diletakkan ke dalam alat pengukur. Nilai aw akan terlihat pada layar alat
pengukur ketika keseimbangan RH di dalamnya sudah tercapai dalam waktu 5
hingga 10 menit.
Kadar Minyak Total dan Retensi Minyak pada Enkapsulat
Kadar minyak total diamati untuk mengetahui jumlah minyak baik yang
terdapat di dalam maupun yang menempel pada kapsul. Sampel sebanyak 10 gram
5
(a) ditambahkan dengan 100 mL akuades di dalam erlenmeyer 250 mL kemudian
dimaserasi dengan shaker waterbath pada kecepatan 130 rpm dan suhu 36oC
selama 2 jam. Hasil ekstraksi kemudian difraksinasi dengan penambahan nheksan pada perbandingan 1:1. Fraksi air kemudian dipisahkan dari fraksi nheksan. Fraksi n-heksan ditampung dalam labu yang diketahui bobotnya (b) dan
diuapkan dengan penguap putar. Labu berisi residu ditimbang (c) dan kadar
minyak total dihitung dengan persaman:
Kadar minyak total =
-
x 100%
Hasil perhitungan minyak total kemudian digunakan untuk menentukan retensi
minyak, yaitu persentase minyak yang diperoleh kembali setelah enkapsulasi.
Retensi minyak diketahui dengan membandingkan jumlah minyak total dengan
jumlah minyak yang ditambahkan pada proses enkapsulasi kemudian dikalikan
dengan 100% sehingga dapat dinyatakan dalam persentase.
Kadar Minyak Permukaan Enkapsulat (Modifikasi Yuliani et al. 2007)
Penentuan kadar minyak permukaan pada penelitian ini diadopsi dari
metode yang dilakukan oleh Yuliani et al. (2007), tetapi dimodifikasi pada
perbandingan sampel dan pelarut serta pengadukan sampel. Sampel sebanyak 15
gram (a) ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 mL yang
telah diketahui beratnya. Ke dalam erlenmeyer kemudian ditambahkan 150 mL nheksan dan diaduk dengan shaker pada kecepatan 100 rpm selama 2 jam. Maserat
kemudian disaring ke dalam labu yang telah diketahui beratnya (b) menggunakan
kertas saring lalu diuapkan dengan penguap putar. Labu berisi residu minyak
kemudian ditimbang (c) dan minyak yang tertinggal dihitung sebagai minyak
permukaan dengan persamaan:
Kadar minyak permukaan =
-
x 100%
Pengamatan Bentuk dan Morfologi Enkapsulat (Yuliani et al. 2007)
Struktur enkapsulat nanoekstrak kurkuminoid diamati dengan Scanning
Electron Microscope (SEM). Sejumlah sampel ditempatkan di atas stubs
(dudukan sampel) kemudian dilapisi dengan emas menggunakan alat gold sputter
coater selama 30 menit. Sampel yang telah terlapisi dianalisis dengan SEM pada
voltase akselerasi 20 kV. Gambar hasil pengamatan direkam dan dicetak.
HASIL
Kadar Air dan Rendemen Ekstrak Temulawak
Penentuan kadar air simplisia temulawak dilakukan untuk mengetahui
kualitas atau mutu simplisia setelah masa penyimpanan yang cukup lama.
Berdasarkan analisis (Lampiran 2), diketahui kadar air dalam simplisia temulawak
yang diuji sebesar 9.61%. Hasil pengukuran rendemen ekstrak etanol temulawak
(Lampiran 3) yaitu sebesar 4.48%. Data kadar air simplisia kemudian digunakan
6
sebagai faktor koreksi bobot pada penentuan rendemen ekstraksi sehingga
diperoleh rendemen ekstrak temulawak terkoreksi sebesar 4.53%.
Tabel 1 Pengukuran kadar air dan rendemen ekstrak temulawak
Parameter
Kadar air simplisia temulawak
Rendemen ekstrak temulawak
Rendemen ekstrak temulawak terkoreksi kadar air
Jumlah (%)
9.61
4.48
4.53
Kadar Kurkuminoid Ekstrak Temulawak
Kadar senyawa (mg/g)
Analisis HPLC dilakukan untuk mengukur kadar kurkuminoid yang
terkandung dalam ekstrak etanol temulawak yang diperoleh. Kurkuminoid
merupakan kelompok senyawa yang terdiri dari tiga senyawa utama yaitu
kurkumin, demetoksi kurkumin dan bisdemetoksi kurkumin. Berdasarkan
pembacaan kromatogram (Lampiran 4), hasil perhitungan menunjukkan kadar
kurkuminoid ekstrak etanol temulawak sebesar 130.84 mg/g dengan rincian kadar
bisdemetoksi kurkumin sebesar 3.90 mg/g, demetoksi kurkumin sebesar 36.10
mg/g dan kurkumin sebesar 90.84 mg/g (Gambar 1).
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
90.84
36.10
3.90
bisdemetoksi
kurkumin
demetoksi kurkumin
kurkumin
Gambar 1 Kadar kurkuminoid ekstrak etanol temulawak
Ukuran, Distribusi dan Potensial Zeta Nanoemulsi
Ukuran partikel yang diamati dengan Particle Size Analyzer (PSA)
menunjukkan hasil yang berbeda untuk masing-masing formula (Lampiran 5).
Penambahan kadar Tween 80 dalam sistem menghasilkan penurunan ukuran
partikel (Tabel 2). Rata-rata Indeks Polidispersitas (IP) pada setiap formula juga
bervariasi, dengan nilai IP tertinggi pada formula A dan terendah pada formula B.
Potensial zeta yang terukur pada formula A lebih besar daripada formula B
dengan muatan negatif, sedangkan formula C tidak diukur dengan melihat nilai
ukuran dan IP. Nanoemulsi ekstrak kurkuminoid pada masing-masing formula
7
berbentuk cair dengan warna kuning dan cukup stabil hingga penyimpanan
minggu ke-3 pada suhu ruang pendingin (~40C) (Gambar 2).
Tabel 2 Ukuran partikel, Indeks Polidispersitas (IP) dan potensial zeta
Formula Kadar Tween-80
Rata-rata
(%)
ukuran partikel (nm)
A
50
234.2
B
75
195.7
C
100
179.8
Rata-rata
IP
0.2315
0.0940
0.0970
Rata-rata
potensial zeta
-37.9
-33.7
Tidak diukur
Gambar 2 Nanoemulsi formula B setelah penyimpanan minggu ke-3
Enkapsulasi Nanoemulsi Ekstrak Kurkuminoid
Formula A dengan 50% Tween 80 dipilih untuk diperbanyak hingga 600.00
gram kemudian dienkapsulasi menggunakan 30% maltodekstrin dengan metode
spray dry. Serbuk enkapsulat yang dihasilkan memiliki tekstur yang sangat
lembut, tidak berbau, dan berwarna kuning (Gambar 3). Hasil serbuk enkapsulat
yang diperoleh yaitu 116.10 gram, dengan rendemen enkapsulasi 47.19%.
Gambar 3 Serbuk enkapsulat nanoekstrak kurkuminoid
Karakterisasi Serbuk Enkapsulat Nanoekstrak Kurkuminoid
Serbuk nanoekstrak kurkuminoid yang dihasilkan dari proses spray drying
dikarakterisasi lebih lanjut dengan hasil pengamatan yang meliputi warna, kadar
8
air, aktivitas air (aw), kadar minyak total, retensi minyak, kadar minyak
permukaan, kadar kurkuminoid dan morfologi (Tabel 3). Warna serbuk enkapsulat
nanoekstrak kurkuminoid yang didapatkan dari proses spray drying dinyatakan
dalam sistem notasi warna Hunter La*b*. Notasi warna La*b* merupakan
pemodelan warna yang diajukan oleh International d’Eclairage (CIE) dan
dijadikan standar internasional untuk ukuran warna. Hasil pengukuran
menunjukkan angka 67.33 untuk nilai L (Lightness), +3.93 untuk nilai a*, +73.94
untuk nilai b*, 74.4 untuk nilai C (chroma) dan 87.03 untuk nilai h (hue). Kadar
air serbuk enkapsulat hasil analisis gravimetri dari ketiga ulangan percobaan
(Lampiran 8) yaitu 6.75% berat kering. Aktivitas air (aw) adalah jumlah air bebas
dalam suatu bahan yang dapat digunakan oleh mikroba untuk pertumbuhannya.
Aw serbuk enkapsulat yang ditentukan dengan water activity meter dari ketiga
ulangan pada penelitian ini yaitu 0.407 (Lampiran 9).
Kadar minyak total merupakan nilai yang menyatakan jumlah minyak yang
berada di dalam kapsul maupun yang menempel pada permukaan kapsul.
Berdasarkan pengukuran yang dilakukan, kadar minyak total kapsul sebesar
8.86%. Kadar minyak total tersebut digunakan untuk menghitung retensi minyak
dengan membandingkan kadar minyak total terhadap kadar minyak sebelum
enkapsulasi (Lampiran 10). Retensi minyak yang didapatkan yaitu 88.6%. Kadar
minyak permukaan menunjukkan jumlah minyak yang tidak tersalut di dalam,
akan tetapi menempel pada permukaan kapsul. Kadar minyak permukaan yang
terhitung pada penelitian ini yaitu 1.74% dari total sampel. Morfologi permukaan
enkapsulat ditentukan dengan SEM pada perbesaran 1000x (Gambar 4).
Tabel 3 Karakteristik serbuk enkapsulat nanoekstrak kurkuminoid
Parameter
Warna CIE L
CIE a*
CIE b*
Kadar air
Aktivitas air (aw)
Kadar minyak total
Retensi minyak
Kadar minyak permukaan
Hasil
67.33
+3.93
+73.94
6.75%
0.407
8.86%
88.6%
1.74%
Gambar 4 Morfologi permukaan serbuk enkapsulat hasil analisis SEM
9
Kapsul terlihat berbentuk bulat dengan permukaan halus dan terdapat
partikel kecil yang teragregasi. Beberapa partikel terlihat memiliki permukaan
yang pecah, dan ada juga beberapa yang terlihat mengempis. Ukuran partikel
kapsul sangat beragam, sehingga sulit ditentukan ukuran rata-rata serbuk. Ukuran
terkecil yang terdeteksi yaitu 630.2 nm (Lampiran 12).
PEMBAHASAN
Kadar Air dan Rendemen Ekstrak Temulawak
Simplisia temulawak yang digunakan pada penelitian ini diperoleh dari PSB
IPB, yang merupakan simplisia dari rimpang temulawak aksesi wonogiri sediaan
September 2014. Temulawak dipilih karena memiliki efikasi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan kunyit (Setyowati dan Suryani 2013). Penentuan kadar air
perlu dilakukan untuk mengetahui kualitas simplisia setelah penyimpanan yang
cukup lama. Menurut Solihin et al. (2015), perbedaan masa simpan berpengaruh
nyata terhadap kadar air dan kualitas fisik bahan. Kadar air simplisia temulawak
yang terukur pada penelitian ini yaitu 9.61%. Nilai tersebut mengindikasikan
bahwa simplisia masih dalam kondisi baik selama penyimpanan, karena standar
yang ditetapkan oleh BPOM (2014) untuk simplisia kering adalah di bawah 10%.
Simplisia yang memiliki kadar air sesuai standar diharapkan masih memiliki
kandungan metabolit yang tinggi serta tidak terkontaminasi oleh mikroba.
Ekstraksi simplisia temulawak dalam penelitian ini dilakukan dengan
metode maserasi menggunakan pelarut etanol 96% teknis selama 24 jam pada
suhu ruang. Ektraksi temulawak dengan metode maserasi menggunakan etanol
telah banyak diteliti dan terbukti mampu mengekstrak kurkuminoid dalam
temulawak (Nurcholis et al. 2015; Maulia 2014). Pemilihan waktu ekstraksi
hingga 24 jam mengacu pada Anggoro et al. (2015), bahwa semakin lama waktu
ekstraksi maka semakin lama waktu kontak antara pelarut dan simplisia sehingga
proses penetrasi pelarut ke dalam simplisia akan semakin baik yang menyebabkan
semakin banyaknya senyawa yang berdifusi keluar sel dan terekstrak oleh pelarut.
Tahap ekstraksi dilakukan sebanyak tiga kali untuk memaksimalkan kandungan
metabolit sekunder yang terekstrak, karena pemberian pelarut baru pada setiap
tahap akan menghasilkan driving force yang lebih besar untuk proses difusi
ekstrak ke dalam pelarut (Anggoro et al. 2015).
Maserasi dipilih sebagai metode ekstraksi karena sederhana dan tanpa
penggunaan suhu tinggi sehingga diharapkan bahan aktif dalam simplisia tidak
rusak. Pemilihan pelarut etanol mengacu pada hasil penelitian Popuri dan Pagala
(2013), bahwa rendemen ekstrak etanol paling tinggi dibandingkan aseton, etil
asetat, metanol dan isopropanol. Etanol merupakan pelarut yang sesuai untuk
melarutkan senyawa dengan polaritas medium seperti kurkuminoid dan bersifat
mudah diuapkan (Setyowati dan Suryani 2013). Filtrat etanol temulawak hasil
maserasi kemudian diekstraksi cair-cair menggunakan pelarut n-heksana untuk
menghilangkan komponen non-polar yang kemungkinan ikut terekstrak dan
menyebabkan ekstrak tidak kering sempurna (Sari et al. 2013).
Fraksi etanol selanjutnya dipekatkan dengan penguap putar sehingga
dihasilkan ekstrak berwarna coklat pekat dan berbentuk padatan. Rendemen hasil
10
ekstraksi yaitu 4.53%. Hasil ini lebih kecil tetapi tidak berbeda jauh dengan hasil
dari penelitian Devaraj et al. (2010) yang menggunakan rimpang temulawak dari
Johor, Malaysia, yaitu 5.2%. Perbedaan hasil rendemen ini dapat disebabkan oleh
perbedaan produktivitas metabolit sekunder dari rimpang temulawak akibat faktor
genetik, enzim, umur tanaman, dan interaksi lingkungan baik biotik maupun
abiotik. Faktor-faktor tersebut yang mempengaruhi mekanisme biokimiawi
komplek dalam anabolisme kurkuminoid sehingga kadar kurkuminoid dapat
berbeda pada setiap rimpang temulawak (Nurcholis 2008).
Kadar Kurkuminoid Ekstrak Temulawak
Rimpang temulawak kering memiliki beberapa kandungan senyawa
metabolit yang terbagi ke dalam tiga fraksi yaitu fraksi pati (48.18% - 59.64%),
fraksi minyak atsiri (6.00% - 10.00%) dan fraksi kurkuminoid (1.60% - 2.20%)
(EMA 2013). Kurkuminoid merupakan sub-kelompok senyawa fenolik sebagai
hasil metabolisme sekunder dari rimpang famili Zingiberaceae. Kurkuminoid
terdiri dari campuran beberapa senyawa fenolik seperti diferuloilmetana
(kurkumin), demetoksi kurkumin, dan bisdemetoksi kurkumin (Chainani 2003).
Ketiga senyawa dengan gugus fenolik tersebut membuat kurkuminoid bersifat
cenderung non-polar dan larut dalam pelarut yang memiliki polaritas medium.
Kadar kurkuminoid dalam ekstrak etanol yang diperoleh dianalisis dengan
instrumen High Performance Liquid Chromatography (HPLC). Hasil pembacaan
pada kromatogram berupa kurva dengan berbagai puncak yang mencirikan waktu
retensi dari masing-masing senyawa dalam ekstrak (Lampiran 4). Berdasarkan
perhitungan yang dilakukan, senyawa utama yang terdapat dalam ekstrak adalah
kurkumin (69.43%), demetoksi kurkumin (27.59%) dan bisdemetoksi kurkumin
(2.98%). Hasil tersebut sesuai dengan penelitian Anand et al. (2007), bahwa
kurkuminoid komerisal memiliki kandungan tertinggi berupa kurkumin (77%),
kemudian demetoksi kurkumin (17%) dan terendah bisdemetoksi kurkumin (6%).
Kurkuminoid total dalam ekstrak etanol temulawak pada penelitian ini
cukup besar, yaitu 130.8387 mg/g ekstrak. Hasil ini lebih besar dibandingkan
dengan penelitian sebelumnya yaitu 85.19 mg/g (Nurcholis et al. 2015) dan 75.78
mg/g (Maulia 2014). Semakin tinggi kadar kurkuminoid dalam ekstrak
mengindikasikan bahwa proses ekstraksi dan pelarut yang digunakan semakin
baik. Pada penelitian ini dilakukan defatiasi, yaitu pencucian hasil maserasi
dengan n-heksana untuk mengeliminasi senyawa non-polar yang kemungkinan
masih terdapat dalam ekstrak, sehingga diharapkan ekstrak mengandung lebih
banyak senyawa kurkuminoid ataupun turunannya. Ekstrak yang mengandung
senyawa kurkuminoid rendah menunjukkan bahwa kemurnian ekstrak rendah,
karena masih banyak senyawa lain yang terkandung dalam ekstrak.
Ukuran, Distribusi dan Potensial Zeta Nanoemulsi
Pengembangan nanoteknologi dalam bidang farmakologi sebagai sistem
penghantaran obat semakin meningkat seiring dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Pada umumnya, sistem tersebut berbasis polisakarida
11
dan senyawa turunannya atau berbasis lipid. Salah satu sistem penghantaran obat
yang berbasis lipid yaitu sistem nanoemulsi. Nanoemulsi merupakan sistem
heterogen yang terdiri dari dua cairan yang tidak dapat saling bercampur. Salah
satu cairan tersebut terdispersi sebagai droplet dengan ukuran diameter 20 – 500
nm dalam cairan yang lain (Gupta et al. 2016). Keunggulan utama nanoemulsi
sebagai sistem pembawa obat meliputi peningkatan kapasitas pemuatan obat,
peningkatan kelarutan dan bioavabilitas, membuat pelepasan obat lebih terkontrol,
serta melindungi obat dari degradasi enzimatis (Chime et al. 2014). Sistem
nanoemulsi terbukti dapat meningkatkan bioaksesibilitas kurkumin (Ahmed et al.
2012) serta meningkatkan bioavabilitas dan efek anti-inflamasi kurkumin
(Vecchione et al. 2016).
Pembentukan nanoemulsi membutuhkan suatu energi, baik energi tinggi
dengan penggunaan alat mekanis seperti High Pressure Homogenizer (HPH),
high-shear stirring, ultrasonikator, ataupun energi rendah dengan memanfaatkan
potensial kimia dari komponen yang digunakan (Chime et al. 2014). Metode
emulsifikasi dengan energi rendah yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
metode fase inversi, dengan mengubah komposisi emulsi pada suhu konstan atau
yang disebut dengan metode Emulsion Inversion Point (EIP). Metode EIP
didasarkan pada fase katastropik yang terjadi ketika sejumlah air dititrasikan pada
sistem yang mengandung campuran minyak dan suatu surfaktan hidrofilik
(Ostertag et al. 2012).
Fase minyak yang digunakan dalam penelitian ini adalah Medium Chain
Triglycerides (MCT). MCT merupakan ester asam lemak rantai menengah (C6C12) dari gliserol. MCT dalam tubuh manusia diserap secara cepat dari usus halus
diikuti dengan proses hidrolisis menjadi Medium Chain Fatty Acid (MCFA).
Berbeda halnya dengan Long chain Triglycerides (LCT), maka MCT tidak
membutuhkan enzim pankreas dan garam empedu dalam pencernaannya maupun
penyerapannya sehingga MCT lebih mudah diserap tubuh (Syah 2005). MCT juga
telah diteliti sebagai fase minyak dalam nanoemulsi kurkumin dan terbukti lebih
optimal dalam meningkatkan bioaksesibilitas kurkumin dibandingkan dengan
LCT dan Short Chain Triglycerides SCT (Ahmed et al. 2012).
Nanoemulsi selain terdiri dari fase internal (terdispersi) dan fase eksternal
(pendispersi), juga terdiri dari fase interface yang merupakan suatu senyawa
dengan dua gugus fungsi (hidrofilik dan lipofilik) yang disebut sebagai
pengemulsi. Pengemulsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Polisorbat 80
(Tween 80). Tween 80 merupakan pengemulsi nonionik yang dinyatakan
Generally Recognized as Safe (GRAS) oleh FDA, bersifat hidrofilik dengan
Hydrophilic Lipophilic Balance (HLB) 15 sehingga cocok digunakan untuk
pembuatan sistem nanoemulsi minyak dalam air (Salager 2000). Pada metode EIP,
ukuran partikel sangat bergantung pada komponen dalam sistem, termasuk jenis
minyak, jenis surfaktan, dan konsentrasi surfaktan yang digunakan (Noor et al.
2015). Tween 80 yang digunakan dalam formulasi pada penelitian ini yaitu
dengan konsentrasi 50% (formula A), 75% (Formula B) dan 100% (formula C)
dari fase organik.
Konsentrasi surfaktan dalam sistem biasa dinyatakan sebagai Surfactant to
Oil Ratio (SOR). Formula A memiliki nilai SOR 0.5, formula B dengan nilai SOR
0.75 dan formula C dengan nilai SOR 1. Ukuran partikel dalam nanoemulsi
diukur mengggunakan alat Particle Size Analyzer (PSA), yang didasarkan pada
12
metode Dynamic Light Scattering (DLS). PSA lebih akurat dibandingkan dengan
metode lain karena hasil pengukuran berada dalam bentuk distribusi partikel,
sehingga dapat menggambarkan keseluruhan kondisi sampel (Rawle 2010).
Berdasarkan data pada Tabel 2, ukuran partikel mengecil seiring dengan
penambahan konsentrasi Tween 80. Hal ini sesuai dengan penelitian Ostertag et al.
(2012), bahwa ukuran droplet MCT dalam nanoemulsi semakin kecil dengan
meningkatnya nilai SOR.
Pada metode EIP, pembentukan droplet ditentukan oleh fase katastropik,
sehingga mengandalkan perubahan perbandingan komposisi air dan minyak untuk
mengubah sistem emulsi w/o menjadi o/w (Gambar 5). Pada fase intermediet,
akan terbentuk multi-emulsi o/w/o yang merupakan kunci penentu ukuran droplet.
Saat nilai SOR tinggi, multi-emulsi akan terbentuk selama proses titrasi dan
ukuran akhir droplet ditentukan pada saat mencapai fase o/w/o ini. Pada saat nilai
SOR rendah, proses pembentukan fase o/w/o akan ditekan sehingga ukuran akhir
droplet ditentukan saat sudah terbentuk fase o/w (Ostertag et al. 2012).
Keseragaman ukuran droplet dan distribusinya dalam nanoemulsi dapat
terbaca dengan PSA dan dinyatakan sebagai Indeks Polidispersitas (IP). Nilai IP
memiliki tiga rentang, yaitu monodispersi (kurang dari 0.3), polidispersi (0.3-0.7),
dan superdispersi (lebih dari 0.7). Nilai IP di bawah 0.3 menunjukkan bahwa
ukuran partikel mempunyai distribusi yang sempit sedangkan nilai di atas 0.3
menunjukkan distribusi yang lebar (Nanocomposix 2015). Penambahan nilai SOR
menghasilkan emulsi dengan nilai IP yang semakin kecil, akan tetapi secara
keseluruhan ketiga formula pada penelitian ini memiliki nilai IP di bawah 0.3
(Tabel 2), yang berarti bahwa ukuran partikel dalam emulsi seragam
(monodispersi).
Ukuran partikel dan distribusinya dalam suatu emulsi akan sangat
berpengaruh terhadap karakter penghantaran obat serta stabilitas emulsi. Ukuran
partikel yang tidak seragam dapat mengakibatkan terjadinya Ostwald ripening,
yaitu proses yang melibatkan pertumbuhan ukuran droplet akibat meleburnya
droplet berukuran besar dengan droplet lain yang lebih kecil (Wooster et al. 2008).
Gambar 5 Skema metode fase inversi (Ostertag et al. 2012)
13
Data ukuran partikel dan nilai IP menjadi dasar pemilihan konsentrasi
Tween 80 yang akan diperbanyak untuk tahap Spray Drying. Formula B memiliki
ukuran partikel yang lebih kecil (195.7 nm) dibandingkan dengan formula A
(234.2 nm). Akan tetapi untuk keperluan farmakologi terutama secara oral, ukuran
partikel pada formula A lebih dipilih karena selain ukuran partikel yang seragam
dan masih masuk dalam rentang ukuran nanoemulsi, apabila ukuran partikel
terlalu kecil dikhawatirkan penyebaran obat dalam tubuh tidak terkendali.
Formula C tidak diuji lanjut karena pertimbangan konsentrasi Tween 80 dalam
formula yang terlalu tinggi, mencapai 100% dari fase organik, mengingat bahwa
Tween 80 hanya berperan sebagai pengemulsi, bukan bahan utama yang
ditargetkan untuk dikonsumsi.
Potensial zeta diukur sebagai parameter muatan listrik antara partikel koloid.
Potensial zeta adalah potensial yang terdapat antara stern layer dan difuse layer.
Stern layer adalah lapisan kuat ion positif yang berdekatan dengan lapisan negatif
dari koloid. Difus layer adalah keseimbangan dinamik antara ion positif dan ion
negatif tersebut (Barnes dan Gentle 2005). Potensial zeta dapat digunakan untuk
mengetahui kestabilan suatu emulsi dan untuk mengetahui muatan permukaan
atau surface charge (Gogoi dan Sarma 2013). Potensial zeta pada formula A yaitu
-37.9 sedangkan pada formula B yaitu -33.7 (Lampiran 6). Nilai potensial zeta
pada kedua formula yang diuji menunjukkan bahwa partikel bermuatan negatif,
dengan peningkatan nilai potensial zeta seiring penambahan nilai SOR. Secara
keseluruhan, nilai potensial zeta pada kedua formula sangat baik, karena
kestabilan morfologi yang baik berada pada rentang ± 30 mV hingga 100 mV. Hal
ini juga dibuktikan dari tampilan fisik emulsi yang terlihat stabil setelah
penyimpanan minggu ke-3 (Gambar 2). Semakin tinggi nilai potensial zeta maka
akan semakin mencegah terjadinya flokulasi, yaitu peristiwa penggabungan koloid
dari yang kecil menjadi besar (Sinko 2006).
Enkapsulasi Nanoemulsi Ekstrak Kurkuminoid
Teknologi enkapsulasi merupakan suatu teknik untuk mengubah sediaan cair
suatu bahan menjadi bentuk serbuk yang terbungkus oleh suatu bahan pengkapsul
(encapsulating agent). Pengkapsul dalam hal ini dapat melindungi bahan aktif
dari pengaruh lingkungan yang merugikan seperti kerusakan akibat oksidasi,
hidrolisis, penguapan, degradasi panas serta membuat pelepasan bahan obat lebih
terkendali. Faktor penentu dalam teknologi enkapsulasi yaitu pemilihan teknik
serta bahan pengkapsul yang digunakan (Yuliani et al. 2007).
Teknik enkapsulasi yang dipilih untuk digunakan dalam penelitian ini adalah
spray dry. Pada proses spray drying, nanoemulsi diubah menjadi butiran kecil
fluida (droplet) dengan menggunakan alat pembutir (atomizer) dan dikeringkan
dengan udara panas yang dialirkan ke dalam sebuah ruang pengering (Arwizet
2009). Tipe spray dryer yang digunakan pada penelitian ini adalah BUCHI-B19.
Bahan pengkapsul yang digunakan dalam penelitian ini adalah maltodekstrin.
Maltodekstrin merupakan produk hidrolisis pati dengan rumus umum
[(C6H10O5)nH2O] dengan 2< n
NANOEMULSI EKSTRAK KURKUMINOID BERBASIS
MEDIUM CHAIN TRIGLYCERIDES (MCT)
ANIS WAMTAZUL LIANA
DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Formulasi, Enkapsulasi
dan Karakterisasi Nanoemulsi Ekstrak Kurkuminoid Berbasis Medium Chain
Triglycerides (MCT) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2016
Anis Wamtazul Liana
NIM G84120072
ABSTRAK
ANIS WAMTAZUL LIANA. Formulasi, Enkapsulasi dan Karakterisasi
Nanoemulsi Ekstrak Kurkuminoid Berbasis Medium Chain Triglycerides (MCT).
Dibimbing oleh LAKSMI AMBARSARI dan SRI YULIANI.
Kurkuminoid merupakan sub-kelompok senyawa fenolik pada rimpang
famili Zingiberaceae yang terbukti memiliki banyak aktivitas farmakologis, tetapi
bioavabilitasnya rendah. Tujuan dari penelitian ini yaitu membuat nanoemulsi
sebagai sistem penghantaran ekstrak kurkuminoid dengan metode emulsion
inversion point yang berbasis Medium Chain Triglycerides (MCT),
memformulasikan kadar Tween 80 selaku pengemulsi sehingga diperoleh
nanoemulsi terbaik berdasarkan ukuran partikel, Indeks Polidispersitas (IP) dan
potensial zeta serta melakukan enkapsulasi terhadap nanoemulsi terbaik
menggunakan maltodekstrin dengan metode spray dry. Berdasarkan hasil
penelitian, formula A dengan kadar pengemulsi 50% memiliki ukuran partikel
234.2 nm, IP 0.2315 dan potensial zeta -37.9 dan dipilih sebagai formula terbaik
untuk dienkapsulasi. Spray drying menghasilkan serbuk halus, tidak berbau
dengan rendemen 47.19%. Serbuk enkapsulat memiliki karakteristik warna Yellow
Red (YR) dengan nilai CIE L, a*, b* berturut-turut 67.33, +3.93, +73.94, kadar air
6.75%, aktivitas air (aw) 0.407 dan retensi minyak 88.6%. Morfologi permukaan
kapsul berbentuk bulat seperti bola dengan permukaan yang halus dan ukuran
bervariasi.
Kata kunci: enkapsulasi, kering hambur, kurkuminoid, MCT, nanoemulsi
ABSTRACT
ANIS WAMTAZUL LIANA. Formulation, Encapsulation and Characterization of
Medium Chain Triglycerides (MCT) Based Curcuminoid Extract Nanoemulsion.
Supervised by LAKSMI AMBARSARI and SRI YULIANI.
Curcuminoid is a group of phenolic compound from Zingiberaceae family
which has been proven with a lot of pharmacological activities but low of
bioavaibility. The aims of this research are to create nanoemulsion as curcuminoid
extract carrier system with emulsion inversion point method which based on
Medium Chain Tryglicerides (MCT), to formulate Tween 80 concentration as
emulsifier to get the best nanoemulsion based on its particle size, Poly-Dispersion
Index (PDI) and zeta potential and to encapsulate it with maltodextin by spray dry
method. Formula A with 50% emulsifier has particle size of 234.2 nm, PDI value
of 0.2315 and zeta potential of -37.9 and was chosen as the best formula for
encapsulation. Spray drying resulted soft, odorless powder with encapsulation
yield of 47.19%. The powder has Yellow Red (YR) colour with CIE L, a*, b*
value in order are 67.33, +3.93, +73.94. The powder contains 6.75% water with
water activity (aw) of 0.407 and oil retention of 88.6%. Morphological surface of
the capsule showed oval-ball like shapes with soft surface and in various sizes.
Keywords: encapsulation, curcuminoid, MCT, nanoemulsion, spray dry
FORMULASI, ENKAPSULASI DAN KARAKTERISASI
NANOEMULSI EKSTRAK KURKUMINOID BERBASIS
MEDIUM CHAIN TRIGLYCERIDES (MCT)
ANIS WAMTAZUL LIANA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Biokimia
DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Judul Skripsi : Formulasi, Enkapsulasi dan Karakterisasi Nanoemulsi Ekstrak
Kurkuminoid Berbasis Medium Chain Triglycerides (MCT)
Nama
: Anis Wamtazul Liana
NIM
: G84120072
Disetujui oleh
Dr Laksmi Ambarsari, MS
Pembimbing I
Dr Sri Yuliani, MT
Pembimbing II
Diketahui oleh
Dr Ir I Made Artika, MAppSc.
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena atas berkat rahmat dan karuniaNya, penelitian dan penyusunan karya ilmiah dengan judul “Formulasi,
Enkapsulasi dan Karakterisasi Nanoemulsi Ekstrak Kurkuminoid Berbasis Medium
Chain Triglycerides (MCT)” dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktu
yang telah direncanakan. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret hingga Juli
2016 di Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka IPB. Penulisan karya ilmiah ini
merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains dari
Departemen Biokimia.
Terimakasih penulis sampaikan kepada Dr Laksmi Ambarsari, MS selaku
dosen pembimbing I dan Dr Sri Yuliani, MT selaku pembimbing II atas segala
bimbingan dan arahan baik yang bersifat teori maupun praktik. Ungkapan terima
kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta keluarga atas segala doa dan restu
yang diberikan. Tidak lupa terima kasih disampaikan kepada keluarga besar Pusat
Studi Biofarmaka dan rekan mahasiswa Biokimia angkatan 49 yang senantiasa
memberikan dukungan kepada penulis.
Penulis sadar bahwa tulisan dalam karya ilmiah ini kemungkinan masih
belum sempurna. Oleh karena itu saran maupun kritik yang bersifat membangun
penulis harapkan dari semua pihak. Karya ilmiah ini diharapkan memberi manfaat
dan dapat dijadikan acuan dalam penelitian lebih lanjut.
Bogor, Agustus 2016
Anis Wamtazul Liana
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Alat
Bahan
Prosedur Penelitian
HASIL
Kadar Air dan Rendemen Ekstrak Temulawak
Kadar Kurkuminoid Ekstrak Temulawak
Ukuran, Distribusi dan Potensial Zeta Nanoemulsi
Enkapsulasi Nanoemulsi Ekstrak Kurkuminoid
Karakterisasi Serbuk Enkapsulat Nanoekstrak Kurkuminid
PEMBAHASAN
Kadar Air dan Rendemen Ekstrak Temulawak
Kadar Kurkuminoid Ekstrak Temulawak
Ukuran, Distribusi dan Potensial Zeta Nanoemulsi
Enkapsulasi Nanoemulsi Ekstrak Kurkuminoid
Karakterisasi Serbuk Enkapsulat Nanoekstrak Kurkuminoid
SIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
vi
vi
vi
1
2
2
2
2
3
5
5
6
6
7
7
9
9
10
10
13
14
17
18
22
31
DAFTAR TABEL
1 Pengukuran kadar air dan rendemen ekstrak temulawak
2 Ukuran partikel, Indeks Polidispersitas (IP) dan potensial zeta
3 Karakteristik serbuk enkapsulat nanoekstrak kurkuminoid
6
7
8
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
Kadar kurkuminoid ekstrak etanol temulawak
Nanoemulsi setelah penyimpanan minggu ke-3
Serbuk enkapsulat nanoekstrak kurkuminoid
Morfologi permukaan serbuk enkapsulat hasil analisis SEM
Skema metode fase inversi
6
7
7
8
12
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Bagan alir penelitian
Bobot penimbangan simplisia dalam analisis kadar air
Perhitungan rendemen ekstraksi
Kadar kurkuminoid ekstrak temulawak
Hasil uji PSA nanoemulsi ekstrak kurkuminoid
Potensial zeta nanoemulsi ekstrak kurkuminoid
Hasil uji kromameter
Bobot penimbangan serbuk dalam analisis kadar air
Hasil uji water activity meter
Perhitungan kadar minyak total dan retensi minyak
Perhitungan kadar minyak permukaan
Hasil SEM permukaan kapsul dalam berbagai perbesaran
23
24
24
25
26
27
28
28
28
29
29
30
PENDAHULUAN
Kurkuminoid merupakan sub-kelompok senyawa fenolik sebagai hasil
metabolisme sekunder dari rimpang famili Zingiberaceae. Berdasarkan penelitian
sebelumnya, kurkuminoid diketahui memiliki beberapa aktivitas farmakologis
seperti antiinflamasi, antioksidan, antikolestrol, antibakteri (Krup et al. 2013),
penyembuhan luka, antijamur, kemosensitisasi, radiosensitisasi, antikanker,
imunomodulator dan antihepatotoksik (Narlawar et al. 2008). Pemanfaatan
kurkuminoid dalam bidang farmasi oleh karena itu sangat luas baik secara
tradisional seperti pada jamu herbal maupun secara modern seperti obat-obatan
berbentuk sediaan ekstrak.
Ekstrak kurkuminoid memiliki banyak fungsi biologis, akan tetapi
bioavabilitas kurkuminoid di dalam tubuh tikus dan manusia berdasarkan
penelitian Chirio et al. (2011) tergolong rendah. Hal ini dapat diatasi dengan
penggunaan sistem koloid pembawa. Sistem koloid pembawa atau sistem
penghantar untuk kurkuminoid dapat berupa nanopartikel, kompleks fosfolipid,
kompleks polisakarida ataupun nanoemulsi dengan sistem berbasis lemak
(Solanki 2012). Berdasarkan penelitian Huda (2012), nanokurkumin tersalut
Virgin Coconut Oil (VCO) dengan Na-kaseinat sebagai emulgator menghasilkan
efisiensi penjerapan sebesar 43.54% dengan aktivitas disolusi yang meningkat.
Penggunaan sistem koloid pembawa untuk penghantaran obat dapat meningkatkan
stabilitas kurkuminoid serta efektivitas kurkuminoid mencapai sel target.
Sektor pembuatan obat herbal akhir-akhir ini semakin berkembang menuju
produksi sediaan ekstrak yang terstandardisasi atau sediaan ekstrak kering.
Produksi ekstrak kering yang terstandar oleh karena itu semakin berkembang dan
cenderung menggantikan sediaan tradisional dalam bentuk cair. Kecenderungan
ini diantaranya disebabkan oleh beberapa kelebihan sediaan ekstrak kering
(serbuk) dibandingkan dengan sediaan cair, yaitu konsentrasi yang lebih besar,
stabil dan mudah untuk dilakukan standardisasi terhadap senyawa bioaktif dalam
ekstrak, volume dan bobot yang lebih rendah sehingga memudahkan transportasi
dan penyimpanan serta kemungkinan kontaminasi mikroba yang sangat rendah
selama masa penyimpanan akibat aktivitas air yang rendah, sehingga sediaan
ekstrak kering jauh lebih mudah beradaptasi terhadap kebutuhan farmasi modern
(Oliveira et al. 2010).
Pembuatan sediaan ekstrak kering kurkuminoid dapat dilakukan dengan
berbagai macam teknologi kombinasi enkapsulasi dan pengeringan. Metode yang
umum digunakan yaitu kering hambur (spray dry) dan kering beku (freeze dry)
seperti pada penelitian Ekaputra (2013). Energi yang dibutuhkan dari masingmasing metode menjadi dasar pertimbangan metode spray dry lebih dipilih untuk
skala industri karena energi untuk operasionalnya jauh lebih rendah dibandingkan
metode freeze dry (Sadikoglu 2010). Formulasi sistem penghantaran kurkumin
dengan Solid Lipid Nanoparticle (SLN) pada penelitian Ekaputra (2013) tidak
memungkinkan untuk dienkapsulasi dengan metode spray dry, karena lemak
penyalut dapat rusak akibat suhu tinggi sehingga tidak terbentuk serbuk.
Berdasarkan hal tersebut, pada penelitian ini akan dilakukan formulasi
dengan sistem penghantaran yang berbeda, yaitu sistem nanoemulsi yang berbasis
Medium Chain Triglycerides (MCT). Sistem penghantaran obat ini telah banyak
2
diteliti dan terbukti efektif untuk beberapa senyawa bioaktif seperti oleoresin jahe
(Yuliani et al. 2007); kurkumin (Ahmed et al. 2012), akan tetapi belum banyak
diaplikasikan pada kurkuminoid. Nanoemulsi ekstrak kurkuminoid dengan MCT
ini diharapkan dapat meningkatkan efektivitas penyampaian kurkuminoid pada sel
target, serta dapat dienkapsulasi dengan metode spray dry untuk memperlambat
laju pelepasan kurkuminoid dan meningkatkan stabilitas selama penyimpanan.
Cakupan tujuan dari penelitian ini yaitu membuat nanoemulsi ekstrak
kurkuminoid temulawak dengan variasi persen Tween 80 sebagai pengemulsi
menggunakan metode Emulsion Inversion Point (EIP). Formula nanoemulsi
dengan karakteristik ukuran partikel, indeks polidispersitas dan potensial zeta
terbaik kemudian diperbanyak untuk dienkapsulasi dengan metode spray dry.
Serbuk enkapsulat kemudian dikarakterisasi dengan analisis rendemen, warna
serbuk, kadar air, aktivitas air, kadar minyak total, kadar minyak permukaan,
retensi minyak dan morfologi permukaan menggunakan Scanning Electron
Microscope (SEM).
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian berlangsung selama lima bulan, yakni pada bulan Maret sampai
dengan bulan Juli 2016. Keseluruhan alur tahapan penelitian terlampir pada bagan
alir penelitian (Lampiran 1). Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penelitian
Pusat Studi Biofarmaka IPB, yang beralamat di Jl. Taman Kencana Kampus IPB
Taman Kencana No.3, Babakan, Bogor Tengah, Kota Bogor, Jawa Barat,
Indonesia.
Alat
Peralatan yang digunakan untuk formulasi nanoemulsi yaitu pengaduk
magnetik, Particle Size Analizer (Malvern) dan zetasizer (Malvern). Peralatan
untuk enkapsulasi yaitu Spray Dryer (BUCHI-B190), sedangkan untuk
karakterisasi yaitu Aw-meter (HYGROLAB), Kromameter (KONICA MINOLTA
CR-310) dan Scanning Electron Microscope (SEM). Peralatan pendukung yang
digunakan diantaranya penguap putar, HPLC dan oven.
Bahan
Bahan utama yang digunakan adalah simplisia temulawak (Curcuma
xanthorriza Roxb.) dari Pusat Studi Biofarmaka IPB. Bahan lain yang digunakan
untuk percobaan pendahuluan yaitu etanol teknis 96%, metanol pro-analisis, nheksana, kertas saring, asetonitril, asam asetat 2%, alumunium foil dan akuades.
Medium Chain Triglycerides (MCT) Merck (DE), maltodekstrin dan Tween 80
Merck (DE) juga digunakan sebagai bahan utama pada saat formulasi dan
enkapsulasi.
3
Prosedur Penelitian
Penentuan Kadar Air Simplisia (AOAC 2005)
Cawan porselin kosong yang telah bersih dikeringkan di dalam oven pada
suhu 105ºC selama 30 menit. Cawan tersebut kemudian didinginkan di dalam
eksikator dan ditimbang sebagai bobot cawan kosong (A). Sebanyak 3 g serbuk
simplisia temulawak ditimbang dan dimasukkan ke dalam cawan lalu ditimbang
(B), kemudian dikeringkan pada suhu 105ºC hingga mencapai bobot konstan di
dalam oven. Cawan yang berisi simplisia hasil pemanasan setelah itu didinginkan
dalam eksikator dan ditimbang kembali (C). Penentuan kadar air sampel
dilakukan sebanyak tiga kali ulangan.
Kadar Air (%) =
-
- -
x 100 %
Ekstraksi Kurkuminoid dari Simplisia Temulawak (Sutrisno et al. 2008)
Simplisia rimpang temulawak kering yang didapatkan dari laboratorium
Pusat Studi Biofarmaka IPB ditimbang sebanyak 250 g dan diekstraksi secara
maserasi dengan etanol 96% selama 24 jam dengan perbandingan 1:10. Ekstrak
disaring dan filtratnya dikumpulkan dalam labu ekstraksi. Ekstrak etanol hasil
maserasi diekstraksi cair-cair dengan n-heksana (1:1). Fraksi etanol kemudian
dipekatkan dengan penguap putar. Ekstrak etanol yang diperoleh dihitung nilai
rendemennya.
Analisis Kurkuminoid dengan HPLC (Modifikasi Hastati et al. 2015)
Sebanyak 0.05 g sampel ditimbang dan dilarutkan dengan metanol di dalam
labu ukur 50 mL hingga garis tera. Larutan kemudian diencerkan dengan faktor
pengenceran 50 x. Larutan disaring dengan kertas saring whatman berukuran 0.45
μm, kemudian disonikasi selama 30 menit dan dimasukkan ke dalam vial HPLC.
Sebanyak 20 μL diinjeksikan ke dalam kolom HPLC. Standar kurkuminoid dibuat
dengan konsentrasi 0.5 ppm. Fase diam yang digunakan adalah senyawa C18,
sedangkan fase geraknya adalah asetonitril dan asam asetat 2%. Panjang diameter
kolom 25 x 4.6 mm, laju alir 1 mL/menit, panjang gelombang 425 nm, dan
menggunakan detektor UV. Kadar kurkuminoid dihitung dengan rumus:
Kadar Kurkuminoid (mg/g) =
Pembuatan Nanoemulsi Kurkuminoid (Huda 2012, Ostertag et al. 2012)
Komposisi nanoemulsi ekstrak kurkuminoid pada penelitian ini merupakan
modifikasi komposisi dari penelitian Huda (2012) dengan optimasi komposisi
Tween 80 selaku pengemulsi. Komposisi formula yang digunakan untuk
keseluruhan proses enkapsulasi yaitu ekstrak kurkuminoid: MCT: akuades = 1%:
10%: 72%. Tween 80 yang ditambahkan untuk formula A yaitu 50% dari fase
total organik (ekstrak kurkuminoid + MCT), untuk formula B yaitu 75% dari fase
total organik dan untuk formula B yaitu 100% dari total fase organik. Masingmasing formula dilakukan tiga kali pengulangan (triplo). Proses pembuatan
nanoemulsi ekstrak kurkuminoid dalam penelitian ini mengacu pada Ostertag et al.
(2012) dengan teknik energi rendah, metode Emulsion Inversion Point (EIP).
4
Pembuatan nanoemulsi kurkuminoid untuk optimasi pengemulsi dilakukan
dengan basis total 20 g di dalam gelas piala 50 ml. Proses diawali dengan
melarutkan 0.2 g ekstrak kurkuminoid ke dalam 2 g MCT. Setelah ekstrak larut,
kemudian Tween 80 ditambahkan sesuai dengan persentase masing-masing
formula dan dihomogenasi dengan pengaduk magnetik selama 30 menit. Setelah
menit ke-30, 14.4 g akuades ditambahkan pada larutan dengan kecepatan
penetesan 4 ml/menit. Selama penambahan akuades, homogenasi tetap
dilangsungkan dan dilanjutkan hingga 60 menit. Nanoemulsi kemudian
dipindahkan dalam tabung kaca dan dianalisis lebih lanjut.
Analisis Potensial Zeta dan Ukuran Partikel Nanoemulsi (Huda 2012)
Nilai potensial zeta dan ukuran partikel nanoemulsi dianalisis dengan
menggunakan alat Particle Size Analyzer (PSA) merk Malvern. Dua tetes sampel
nanoemulsi dilarutkan kedalam 20 ml akuades di dalam gelas piala. Sejumlah
cairan kemudian dimasukkan ke dalam kuvet dan diletakkan ke dalam slot PSA
dan dioperasikan. Nilai potensial zeta kemudian diukur dengan Zetasizer. Dari
analisis PSA didapatkan data rata-rata ukuran partikel dan juga distribusi ukuran
partikel yang dinyatakan dalam Indeks Polidispersitas (IP).
Enkapsulasi dengan Spray Drying (Modifikasi Huda 2012)
Nanoemulsi ekstrak kurkuminoid dengan karakteristik ukuran partikel,
indeks polidispersitas dan potensial zeta yang terbaik diperbanyak dan
dienkapsulasi menggunakan metode spray dry. Basis total 600 gram nanoemulsi
ditambahkan dengan 30% maltodekstrin dan dihomogenasi. Campuran kemudian
dikeringhamburkan dengan suhu inlet 160oC dan laju alir 20 ml/menit. Serbuk
enkapsulat kemudian ditampung dalam tabung melalui siklon satu dan siklon dua
kemudian ditimbang untuk penghitungan rendemen proses enkapsulasi. Serbuk
disimpan dalam botol kaca yang dilapis alumunium foil supaya kedap cahaya
untuk analisis lebih lanjut.
Penentuan Warna Enkapsulat (KONICA MINOLTA 2013)
Pengukuran warna serbuk enkapsulat dilakukan dengan sistem notasi
warna HunterLab. Sampel diletakkan pada wadah sampel kromameter yang
terlebih dulu telah dikalibrasi dengan standar putih pada alat, kemudian diukur.
Hasil pengukuran dikonversikan ke dalam nilai Lightness (L), warna kromatik
campuran merah-hijau (a*) dan warna kromatik campuran biru-kuning (b*).
Kadar Air dan Aktivitas Air (aw) Enkapsulat
Penentuan kadar air serbuk enkapsulat sama dengan metode penentuan
kadar air simplisia (AOAC 2005). Aktivitas air (aw) diukur menggunakan water
activity meter (HYGROLAB). Sampel dimasukkan dalam wadah sampel,
kemudian diletakkan ke dalam alat pengukur. Nilai aw akan terlihat pada layar alat
pengukur ketika keseimbangan RH di dalamnya sudah tercapai dalam waktu 5
hingga 10 menit.
Kadar Minyak Total dan Retensi Minyak pada Enkapsulat
Kadar minyak total diamati untuk mengetahui jumlah minyak baik yang
terdapat di dalam maupun yang menempel pada kapsul. Sampel sebanyak 10 gram
5
(a) ditambahkan dengan 100 mL akuades di dalam erlenmeyer 250 mL kemudian
dimaserasi dengan shaker waterbath pada kecepatan 130 rpm dan suhu 36oC
selama 2 jam. Hasil ekstraksi kemudian difraksinasi dengan penambahan nheksan pada perbandingan 1:1. Fraksi air kemudian dipisahkan dari fraksi nheksan. Fraksi n-heksan ditampung dalam labu yang diketahui bobotnya (b) dan
diuapkan dengan penguap putar. Labu berisi residu ditimbang (c) dan kadar
minyak total dihitung dengan persaman:
Kadar minyak total =
-
x 100%
Hasil perhitungan minyak total kemudian digunakan untuk menentukan retensi
minyak, yaitu persentase minyak yang diperoleh kembali setelah enkapsulasi.
Retensi minyak diketahui dengan membandingkan jumlah minyak total dengan
jumlah minyak yang ditambahkan pada proses enkapsulasi kemudian dikalikan
dengan 100% sehingga dapat dinyatakan dalam persentase.
Kadar Minyak Permukaan Enkapsulat (Modifikasi Yuliani et al. 2007)
Penentuan kadar minyak permukaan pada penelitian ini diadopsi dari
metode yang dilakukan oleh Yuliani et al. (2007), tetapi dimodifikasi pada
perbandingan sampel dan pelarut serta pengadukan sampel. Sampel sebanyak 15
gram (a) ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 mL yang
telah diketahui beratnya. Ke dalam erlenmeyer kemudian ditambahkan 150 mL nheksan dan diaduk dengan shaker pada kecepatan 100 rpm selama 2 jam. Maserat
kemudian disaring ke dalam labu yang telah diketahui beratnya (b) menggunakan
kertas saring lalu diuapkan dengan penguap putar. Labu berisi residu minyak
kemudian ditimbang (c) dan minyak yang tertinggal dihitung sebagai minyak
permukaan dengan persamaan:
Kadar minyak permukaan =
-
x 100%
Pengamatan Bentuk dan Morfologi Enkapsulat (Yuliani et al. 2007)
Struktur enkapsulat nanoekstrak kurkuminoid diamati dengan Scanning
Electron Microscope (SEM). Sejumlah sampel ditempatkan di atas stubs
(dudukan sampel) kemudian dilapisi dengan emas menggunakan alat gold sputter
coater selama 30 menit. Sampel yang telah terlapisi dianalisis dengan SEM pada
voltase akselerasi 20 kV. Gambar hasil pengamatan direkam dan dicetak.
HASIL
Kadar Air dan Rendemen Ekstrak Temulawak
Penentuan kadar air simplisia temulawak dilakukan untuk mengetahui
kualitas atau mutu simplisia setelah masa penyimpanan yang cukup lama.
Berdasarkan analisis (Lampiran 2), diketahui kadar air dalam simplisia temulawak
yang diuji sebesar 9.61%. Hasil pengukuran rendemen ekstrak etanol temulawak
(Lampiran 3) yaitu sebesar 4.48%. Data kadar air simplisia kemudian digunakan
6
sebagai faktor koreksi bobot pada penentuan rendemen ekstraksi sehingga
diperoleh rendemen ekstrak temulawak terkoreksi sebesar 4.53%.
Tabel 1 Pengukuran kadar air dan rendemen ekstrak temulawak
Parameter
Kadar air simplisia temulawak
Rendemen ekstrak temulawak
Rendemen ekstrak temulawak terkoreksi kadar air
Jumlah (%)
9.61
4.48
4.53
Kadar Kurkuminoid Ekstrak Temulawak
Kadar senyawa (mg/g)
Analisis HPLC dilakukan untuk mengukur kadar kurkuminoid yang
terkandung dalam ekstrak etanol temulawak yang diperoleh. Kurkuminoid
merupakan kelompok senyawa yang terdiri dari tiga senyawa utama yaitu
kurkumin, demetoksi kurkumin dan bisdemetoksi kurkumin. Berdasarkan
pembacaan kromatogram (Lampiran 4), hasil perhitungan menunjukkan kadar
kurkuminoid ekstrak etanol temulawak sebesar 130.84 mg/g dengan rincian kadar
bisdemetoksi kurkumin sebesar 3.90 mg/g, demetoksi kurkumin sebesar 36.10
mg/g dan kurkumin sebesar 90.84 mg/g (Gambar 1).
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
90.84
36.10
3.90
bisdemetoksi
kurkumin
demetoksi kurkumin
kurkumin
Gambar 1 Kadar kurkuminoid ekstrak etanol temulawak
Ukuran, Distribusi dan Potensial Zeta Nanoemulsi
Ukuran partikel yang diamati dengan Particle Size Analyzer (PSA)
menunjukkan hasil yang berbeda untuk masing-masing formula (Lampiran 5).
Penambahan kadar Tween 80 dalam sistem menghasilkan penurunan ukuran
partikel (Tabel 2). Rata-rata Indeks Polidispersitas (IP) pada setiap formula juga
bervariasi, dengan nilai IP tertinggi pada formula A dan terendah pada formula B.
Potensial zeta yang terukur pada formula A lebih besar daripada formula B
dengan muatan negatif, sedangkan formula C tidak diukur dengan melihat nilai
ukuran dan IP. Nanoemulsi ekstrak kurkuminoid pada masing-masing formula
7
berbentuk cair dengan warna kuning dan cukup stabil hingga penyimpanan
minggu ke-3 pada suhu ruang pendingin (~40C) (Gambar 2).
Tabel 2 Ukuran partikel, Indeks Polidispersitas (IP) dan potensial zeta
Formula Kadar Tween-80
Rata-rata
(%)
ukuran partikel (nm)
A
50
234.2
B
75
195.7
C
100
179.8
Rata-rata
IP
0.2315
0.0940
0.0970
Rata-rata
potensial zeta
-37.9
-33.7
Tidak diukur
Gambar 2 Nanoemulsi formula B setelah penyimpanan minggu ke-3
Enkapsulasi Nanoemulsi Ekstrak Kurkuminoid
Formula A dengan 50% Tween 80 dipilih untuk diperbanyak hingga 600.00
gram kemudian dienkapsulasi menggunakan 30% maltodekstrin dengan metode
spray dry. Serbuk enkapsulat yang dihasilkan memiliki tekstur yang sangat
lembut, tidak berbau, dan berwarna kuning (Gambar 3). Hasil serbuk enkapsulat
yang diperoleh yaitu 116.10 gram, dengan rendemen enkapsulasi 47.19%.
Gambar 3 Serbuk enkapsulat nanoekstrak kurkuminoid
Karakterisasi Serbuk Enkapsulat Nanoekstrak Kurkuminoid
Serbuk nanoekstrak kurkuminoid yang dihasilkan dari proses spray drying
dikarakterisasi lebih lanjut dengan hasil pengamatan yang meliputi warna, kadar
8
air, aktivitas air (aw), kadar minyak total, retensi minyak, kadar minyak
permukaan, kadar kurkuminoid dan morfologi (Tabel 3). Warna serbuk enkapsulat
nanoekstrak kurkuminoid yang didapatkan dari proses spray drying dinyatakan
dalam sistem notasi warna Hunter La*b*. Notasi warna La*b* merupakan
pemodelan warna yang diajukan oleh International d’Eclairage (CIE) dan
dijadikan standar internasional untuk ukuran warna. Hasil pengukuran
menunjukkan angka 67.33 untuk nilai L (Lightness), +3.93 untuk nilai a*, +73.94
untuk nilai b*, 74.4 untuk nilai C (chroma) dan 87.03 untuk nilai h (hue). Kadar
air serbuk enkapsulat hasil analisis gravimetri dari ketiga ulangan percobaan
(Lampiran 8) yaitu 6.75% berat kering. Aktivitas air (aw) adalah jumlah air bebas
dalam suatu bahan yang dapat digunakan oleh mikroba untuk pertumbuhannya.
Aw serbuk enkapsulat yang ditentukan dengan water activity meter dari ketiga
ulangan pada penelitian ini yaitu 0.407 (Lampiran 9).
Kadar minyak total merupakan nilai yang menyatakan jumlah minyak yang
berada di dalam kapsul maupun yang menempel pada permukaan kapsul.
Berdasarkan pengukuran yang dilakukan, kadar minyak total kapsul sebesar
8.86%. Kadar minyak total tersebut digunakan untuk menghitung retensi minyak
dengan membandingkan kadar minyak total terhadap kadar minyak sebelum
enkapsulasi (Lampiran 10). Retensi minyak yang didapatkan yaitu 88.6%. Kadar
minyak permukaan menunjukkan jumlah minyak yang tidak tersalut di dalam,
akan tetapi menempel pada permukaan kapsul. Kadar minyak permukaan yang
terhitung pada penelitian ini yaitu 1.74% dari total sampel. Morfologi permukaan
enkapsulat ditentukan dengan SEM pada perbesaran 1000x (Gambar 4).
Tabel 3 Karakteristik serbuk enkapsulat nanoekstrak kurkuminoid
Parameter
Warna CIE L
CIE a*
CIE b*
Kadar air
Aktivitas air (aw)
Kadar minyak total
Retensi minyak
Kadar minyak permukaan
Hasil
67.33
+3.93
+73.94
6.75%
0.407
8.86%
88.6%
1.74%
Gambar 4 Morfologi permukaan serbuk enkapsulat hasil analisis SEM
9
Kapsul terlihat berbentuk bulat dengan permukaan halus dan terdapat
partikel kecil yang teragregasi. Beberapa partikel terlihat memiliki permukaan
yang pecah, dan ada juga beberapa yang terlihat mengempis. Ukuran partikel
kapsul sangat beragam, sehingga sulit ditentukan ukuran rata-rata serbuk. Ukuran
terkecil yang terdeteksi yaitu 630.2 nm (Lampiran 12).
PEMBAHASAN
Kadar Air dan Rendemen Ekstrak Temulawak
Simplisia temulawak yang digunakan pada penelitian ini diperoleh dari PSB
IPB, yang merupakan simplisia dari rimpang temulawak aksesi wonogiri sediaan
September 2014. Temulawak dipilih karena memiliki efikasi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan kunyit (Setyowati dan Suryani 2013). Penentuan kadar air
perlu dilakukan untuk mengetahui kualitas simplisia setelah penyimpanan yang
cukup lama. Menurut Solihin et al. (2015), perbedaan masa simpan berpengaruh
nyata terhadap kadar air dan kualitas fisik bahan. Kadar air simplisia temulawak
yang terukur pada penelitian ini yaitu 9.61%. Nilai tersebut mengindikasikan
bahwa simplisia masih dalam kondisi baik selama penyimpanan, karena standar
yang ditetapkan oleh BPOM (2014) untuk simplisia kering adalah di bawah 10%.
Simplisia yang memiliki kadar air sesuai standar diharapkan masih memiliki
kandungan metabolit yang tinggi serta tidak terkontaminasi oleh mikroba.
Ekstraksi simplisia temulawak dalam penelitian ini dilakukan dengan
metode maserasi menggunakan pelarut etanol 96% teknis selama 24 jam pada
suhu ruang. Ektraksi temulawak dengan metode maserasi menggunakan etanol
telah banyak diteliti dan terbukti mampu mengekstrak kurkuminoid dalam
temulawak (Nurcholis et al. 2015; Maulia 2014). Pemilihan waktu ekstraksi
hingga 24 jam mengacu pada Anggoro et al. (2015), bahwa semakin lama waktu
ekstraksi maka semakin lama waktu kontak antara pelarut dan simplisia sehingga
proses penetrasi pelarut ke dalam simplisia akan semakin baik yang menyebabkan
semakin banyaknya senyawa yang berdifusi keluar sel dan terekstrak oleh pelarut.
Tahap ekstraksi dilakukan sebanyak tiga kali untuk memaksimalkan kandungan
metabolit sekunder yang terekstrak, karena pemberian pelarut baru pada setiap
tahap akan menghasilkan driving force yang lebih besar untuk proses difusi
ekstrak ke dalam pelarut (Anggoro et al. 2015).
Maserasi dipilih sebagai metode ekstraksi karena sederhana dan tanpa
penggunaan suhu tinggi sehingga diharapkan bahan aktif dalam simplisia tidak
rusak. Pemilihan pelarut etanol mengacu pada hasil penelitian Popuri dan Pagala
(2013), bahwa rendemen ekstrak etanol paling tinggi dibandingkan aseton, etil
asetat, metanol dan isopropanol. Etanol merupakan pelarut yang sesuai untuk
melarutkan senyawa dengan polaritas medium seperti kurkuminoid dan bersifat
mudah diuapkan (Setyowati dan Suryani 2013). Filtrat etanol temulawak hasil
maserasi kemudian diekstraksi cair-cair menggunakan pelarut n-heksana untuk
menghilangkan komponen non-polar yang kemungkinan ikut terekstrak dan
menyebabkan ekstrak tidak kering sempurna (Sari et al. 2013).
Fraksi etanol selanjutnya dipekatkan dengan penguap putar sehingga
dihasilkan ekstrak berwarna coklat pekat dan berbentuk padatan. Rendemen hasil
10
ekstraksi yaitu 4.53%. Hasil ini lebih kecil tetapi tidak berbeda jauh dengan hasil
dari penelitian Devaraj et al. (2010) yang menggunakan rimpang temulawak dari
Johor, Malaysia, yaitu 5.2%. Perbedaan hasil rendemen ini dapat disebabkan oleh
perbedaan produktivitas metabolit sekunder dari rimpang temulawak akibat faktor
genetik, enzim, umur tanaman, dan interaksi lingkungan baik biotik maupun
abiotik. Faktor-faktor tersebut yang mempengaruhi mekanisme biokimiawi
komplek dalam anabolisme kurkuminoid sehingga kadar kurkuminoid dapat
berbeda pada setiap rimpang temulawak (Nurcholis 2008).
Kadar Kurkuminoid Ekstrak Temulawak
Rimpang temulawak kering memiliki beberapa kandungan senyawa
metabolit yang terbagi ke dalam tiga fraksi yaitu fraksi pati (48.18% - 59.64%),
fraksi minyak atsiri (6.00% - 10.00%) dan fraksi kurkuminoid (1.60% - 2.20%)
(EMA 2013). Kurkuminoid merupakan sub-kelompok senyawa fenolik sebagai
hasil metabolisme sekunder dari rimpang famili Zingiberaceae. Kurkuminoid
terdiri dari campuran beberapa senyawa fenolik seperti diferuloilmetana
(kurkumin), demetoksi kurkumin, dan bisdemetoksi kurkumin (Chainani 2003).
Ketiga senyawa dengan gugus fenolik tersebut membuat kurkuminoid bersifat
cenderung non-polar dan larut dalam pelarut yang memiliki polaritas medium.
Kadar kurkuminoid dalam ekstrak etanol yang diperoleh dianalisis dengan
instrumen High Performance Liquid Chromatography (HPLC). Hasil pembacaan
pada kromatogram berupa kurva dengan berbagai puncak yang mencirikan waktu
retensi dari masing-masing senyawa dalam ekstrak (Lampiran 4). Berdasarkan
perhitungan yang dilakukan, senyawa utama yang terdapat dalam ekstrak adalah
kurkumin (69.43%), demetoksi kurkumin (27.59%) dan bisdemetoksi kurkumin
(2.98%). Hasil tersebut sesuai dengan penelitian Anand et al. (2007), bahwa
kurkuminoid komerisal memiliki kandungan tertinggi berupa kurkumin (77%),
kemudian demetoksi kurkumin (17%) dan terendah bisdemetoksi kurkumin (6%).
Kurkuminoid total dalam ekstrak etanol temulawak pada penelitian ini
cukup besar, yaitu 130.8387 mg/g ekstrak. Hasil ini lebih besar dibandingkan
dengan penelitian sebelumnya yaitu 85.19 mg/g (Nurcholis et al. 2015) dan 75.78
mg/g (Maulia 2014). Semakin tinggi kadar kurkuminoid dalam ekstrak
mengindikasikan bahwa proses ekstraksi dan pelarut yang digunakan semakin
baik. Pada penelitian ini dilakukan defatiasi, yaitu pencucian hasil maserasi
dengan n-heksana untuk mengeliminasi senyawa non-polar yang kemungkinan
masih terdapat dalam ekstrak, sehingga diharapkan ekstrak mengandung lebih
banyak senyawa kurkuminoid ataupun turunannya. Ekstrak yang mengandung
senyawa kurkuminoid rendah menunjukkan bahwa kemurnian ekstrak rendah,
karena masih banyak senyawa lain yang terkandung dalam ekstrak.
Ukuran, Distribusi dan Potensial Zeta Nanoemulsi
Pengembangan nanoteknologi dalam bidang farmakologi sebagai sistem
penghantaran obat semakin meningkat seiring dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Pada umumnya, sistem tersebut berbasis polisakarida
11
dan senyawa turunannya atau berbasis lipid. Salah satu sistem penghantaran obat
yang berbasis lipid yaitu sistem nanoemulsi. Nanoemulsi merupakan sistem
heterogen yang terdiri dari dua cairan yang tidak dapat saling bercampur. Salah
satu cairan tersebut terdispersi sebagai droplet dengan ukuran diameter 20 – 500
nm dalam cairan yang lain (Gupta et al. 2016). Keunggulan utama nanoemulsi
sebagai sistem pembawa obat meliputi peningkatan kapasitas pemuatan obat,
peningkatan kelarutan dan bioavabilitas, membuat pelepasan obat lebih terkontrol,
serta melindungi obat dari degradasi enzimatis (Chime et al. 2014). Sistem
nanoemulsi terbukti dapat meningkatkan bioaksesibilitas kurkumin (Ahmed et al.
2012) serta meningkatkan bioavabilitas dan efek anti-inflamasi kurkumin
(Vecchione et al. 2016).
Pembentukan nanoemulsi membutuhkan suatu energi, baik energi tinggi
dengan penggunaan alat mekanis seperti High Pressure Homogenizer (HPH),
high-shear stirring, ultrasonikator, ataupun energi rendah dengan memanfaatkan
potensial kimia dari komponen yang digunakan (Chime et al. 2014). Metode
emulsifikasi dengan energi rendah yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
metode fase inversi, dengan mengubah komposisi emulsi pada suhu konstan atau
yang disebut dengan metode Emulsion Inversion Point (EIP). Metode EIP
didasarkan pada fase katastropik yang terjadi ketika sejumlah air dititrasikan pada
sistem yang mengandung campuran minyak dan suatu surfaktan hidrofilik
(Ostertag et al. 2012).
Fase minyak yang digunakan dalam penelitian ini adalah Medium Chain
Triglycerides (MCT). MCT merupakan ester asam lemak rantai menengah (C6C12) dari gliserol. MCT dalam tubuh manusia diserap secara cepat dari usus halus
diikuti dengan proses hidrolisis menjadi Medium Chain Fatty Acid (MCFA).
Berbeda halnya dengan Long chain Triglycerides (LCT), maka MCT tidak
membutuhkan enzim pankreas dan garam empedu dalam pencernaannya maupun
penyerapannya sehingga MCT lebih mudah diserap tubuh (Syah 2005). MCT juga
telah diteliti sebagai fase minyak dalam nanoemulsi kurkumin dan terbukti lebih
optimal dalam meningkatkan bioaksesibilitas kurkumin dibandingkan dengan
LCT dan Short Chain Triglycerides SCT (Ahmed et al. 2012).
Nanoemulsi selain terdiri dari fase internal (terdispersi) dan fase eksternal
(pendispersi), juga terdiri dari fase interface yang merupakan suatu senyawa
dengan dua gugus fungsi (hidrofilik dan lipofilik) yang disebut sebagai
pengemulsi. Pengemulsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Polisorbat 80
(Tween 80). Tween 80 merupakan pengemulsi nonionik yang dinyatakan
Generally Recognized as Safe (GRAS) oleh FDA, bersifat hidrofilik dengan
Hydrophilic Lipophilic Balance (HLB) 15 sehingga cocok digunakan untuk
pembuatan sistem nanoemulsi minyak dalam air (Salager 2000). Pada metode EIP,
ukuran partikel sangat bergantung pada komponen dalam sistem, termasuk jenis
minyak, jenis surfaktan, dan konsentrasi surfaktan yang digunakan (Noor et al.
2015). Tween 80 yang digunakan dalam formulasi pada penelitian ini yaitu
dengan konsentrasi 50% (formula A), 75% (Formula B) dan 100% (formula C)
dari fase organik.
Konsentrasi surfaktan dalam sistem biasa dinyatakan sebagai Surfactant to
Oil Ratio (SOR). Formula A memiliki nilai SOR 0.5, formula B dengan nilai SOR
0.75 dan formula C dengan nilai SOR 1. Ukuran partikel dalam nanoemulsi
diukur mengggunakan alat Particle Size Analyzer (PSA), yang didasarkan pada
12
metode Dynamic Light Scattering (DLS). PSA lebih akurat dibandingkan dengan
metode lain karena hasil pengukuran berada dalam bentuk distribusi partikel,
sehingga dapat menggambarkan keseluruhan kondisi sampel (Rawle 2010).
Berdasarkan data pada Tabel 2, ukuran partikel mengecil seiring dengan
penambahan konsentrasi Tween 80. Hal ini sesuai dengan penelitian Ostertag et al.
(2012), bahwa ukuran droplet MCT dalam nanoemulsi semakin kecil dengan
meningkatnya nilai SOR.
Pada metode EIP, pembentukan droplet ditentukan oleh fase katastropik,
sehingga mengandalkan perubahan perbandingan komposisi air dan minyak untuk
mengubah sistem emulsi w/o menjadi o/w (Gambar 5). Pada fase intermediet,
akan terbentuk multi-emulsi o/w/o yang merupakan kunci penentu ukuran droplet.
Saat nilai SOR tinggi, multi-emulsi akan terbentuk selama proses titrasi dan
ukuran akhir droplet ditentukan pada saat mencapai fase o/w/o ini. Pada saat nilai
SOR rendah, proses pembentukan fase o/w/o akan ditekan sehingga ukuran akhir
droplet ditentukan saat sudah terbentuk fase o/w (Ostertag et al. 2012).
Keseragaman ukuran droplet dan distribusinya dalam nanoemulsi dapat
terbaca dengan PSA dan dinyatakan sebagai Indeks Polidispersitas (IP). Nilai IP
memiliki tiga rentang, yaitu monodispersi (kurang dari 0.3), polidispersi (0.3-0.7),
dan superdispersi (lebih dari 0.7). Nilai IP di bawah 0.3 menunjukkan bahwa
ukuran partikel mempunyai distribusi yang sempit sedangkan nilai di atas 0.3
menunjukkan distribusi yang lebar (Nanocomposix 2015). Penambahan nilai SOR
menghasilkan emulsi dengan nilai IP yang semakin kecil, akan tetapi secara
keseluruhan ketiga formula pada penelitian ini memiliki nilai IP di bawah 0.3
(Tabel 2), yang berarti bahwa ukuran partikel dalam emulsi seragam
(monodispersi).
Ukuran partikel dan distribusinya dalam suatu emulsi akan sangat
berpengaruh terhadap karakter penghantaran obat serta stabilitas emulsi. Ukuran
partikel yang tidak seragam dapat mengakibatkan terjadinya Ostwald ripening,
yaitu proses yang melibatkan pertumbuhan ukuran droplet akibat meleburnya
droplet berukuran besar dengan droplet lain yang lebih kecil (Wooster et al. 2008).
Gambar 5 Skema metode fase inversi (Ostertag et al. 2012)
13
Data ukuran partikel dan nilai IP menjadi dasar pemilihan konsentrasi
Tween 80 yang akan diperbanyak untuk tahap Spray Drying. Formula B memiliki
ukuran partikel yang lebih kecil (195.7 nm) dibandingkan dengan formula A
(234.2 nm). Akan tetapi untuk keperluan farmakologi terutama secara oral, ukuran
partikel pada formula A lebih dipilih karena selain ukuran partikel yang seragam
dan masih masuk dalam rentang ukuran nanoemulsi, apabila ukuran partikel
terlalu kecil dikhawatirkan penyebaran obat dalam tubuh tidak terkendali.
Formula C tidak diuji lanjut karena pertimbangan konsentrasi Tween 80 dalam
formula yang terlalu tinggi, mencapai 100% dari fase organik, mengingat bahwa
Tween 80 hanya berperan sebagai pengemulsi, bukan bahan utama yang
ditargetkan untuk dikonsumsi.
Potensial zeta diukur sebagai parameter muatan listrik antara partikel koloid.
Potensial zeta adalah potensial yang terdapat antara stern layer dan difuse layer.
Stern layer adalah lapisan kuat ion positif yang berdekatan dengan lapisan negatif
dari koloid. Difus layer adalah keseimbangan dinamik antara ion positif dan ion
negatif tersebut (Barnes dan Gentle 2005). Potensial zeta dapat digunakan untuk
mengetahui kestabilan suatu emulsi dan untuk mengetahui muatan permukaan
atau surface charge (Gogoi dan Sarma 2013). Potensial zeta pada formula A yaitu
-37.9 sedangkan pada formula B yaitu -33.7 (Lampiran 6). Nilai potensial zeta
pada kedua formula yang diuji menunjukkan bahwa partikel bermuatan negatif,
dengan peningkatan nilai potensial zeta seiring penambahan nilai SOR. Secara
keseluruhan, nilai potensial zeta pada kedua formula sangat baik, karena
kestabilan morfologi yang baik berada pada rentang ± 30 mV hingga 100 mV. Hal
ini juga dibuktikan dari tampilan fisik emulsi yang terlihat stabil setelah
penyimpanan minggu ke-3 (Gambar 2). Semakin tinggi nilai potensial zeta maka
akan semakin mencegah terjadinya flokulasi, yaitu peristiwa penggabungan koloid
dari yang kecil menjadi besar (Sinko 2006).
Enkapsulasi Nanoemulsi Ekstrak Kurkuminoid
Teknologi enkapsulasi merupakan suatu teknik untuk mengubah sediaan cair
suatu bahan menjadi bentuk serbuk yang terbungkus oleh suatu bahan pengkapsul
(encapsulating agent). Pengkapsul dalam hal ini dapat melindungi bahan aktif
dari pengaruh lingkungan yang merugikan seperti kerusakan akibat oksidasi,
hidrolisis, penguapan, degradasi panas serta membuat pelepasan bahan obat lebih
terkendali. Faktor penentu dalam teknologi enkapsulasi yaitu pemilihan teknik
serta bahan pengkapsul yang digunakan (Yuliani et al. 2007).
Teknik enkapsulasi yang dipilih untuk digunakan dalam penelitian ini adalah
spray dry. Pada proses spray drying, nanoemulsi diubah menjadi butiran kecil
fluida (droplet) dengan menggunakan alat pembutir (atomizer) dan dikeringkan
dengan udara panas yang dialirkan ke dalam sebuah ruang pengering (Arwizet
2009). Tipe spray dryer yang digunakan pada penelitian ini adalah BUCHI-B19.
Bahan pengkapsul yang digunakan dalam penelitian ini adalah maltodekstrin.
Maltodekstrin merupakan produk hidrolisis pati dengan rumus umum
[(C6H10O5)nH2O] dengan 2< n